Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Berbagai jenis penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular sekarang banyak
bermunculan. Banyak pula penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup sehingga timbul penyakit baru.
Beberapa penyakit bersifat kronis sehingga dapat membahayakan kesehatan dan mempunyai beberapa
kaitan dengan mental emosionalnya.

Saat ini perhatian penyakit tidak menular semakin meningkat karena frekuensi kejadiannya pada
masyarakat semakin tinggi. Dari sepuluh penyebab utama kematian, dua diantaranya adalah penyakit
tidak menular. Keadaan ini terjadi di dunia, baik di Negara maju maupun Negara dengan ekonomi rendah
dan menengah (Putri dan Isfandiari, 2013).

Penyakit kronis merupakan penyakit yang berkepanjangan dan jarang sembuh sempurna. Walaupun
tidak semua penyakit mengancam jiwa, tetapi akan menjadi beban ekonomi bagi individu, keluarga, dan
komunitas secara keseluruhan. Penyakit kronis akan menyebabkan masalah medis, sosial dan psikologis
yang akan membatasi aktifitas manusia sehingga akan menyebabkan penurunan quality of life (Yenny
dan Herwana, 2006).

Hasil penelitian menunjukkan sebasar 11,58% penduduk usia 15 tahun di Indonesia tahun 2007
mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, sebasar 3,5% penduduk Indonesia mengalami paling
tidak satu dari enam penyakit kronis berikut yaitu TBC, DM, tumor atau keganasan, stroke, hepatitis atau
lever, dan jantung. Penyakit jantung, stroke, kanker dan penyakit kronis lainnya sering dianggap menjadi
masalah kesehatan masyarakat hanya untuk Negara-negara berpenghasilan tinggi, padahal sebetulnya
tidak. Pada kenyataannya, hanya 20% dari kematian penyakit kronis terjadi di Negara berpenghasilan
tinggi, sementara 80% terjadi di Negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang menjadi
sebagian besar keberadaan penduduk dunia (Widakdo dan Besral, 2013).

Menurut Harlan (2006), skrining untuk pengendalian penyakit adalah pemeriksaan orang-orang
asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori yang diperkirakan mengidap atau
tidak mengidap penyakit (as likely or unlikely to have disease).

Skrining merupakan salah satu komponen pelayanan kesehatan yang modern. Alasannya adalah untuk
mendeteksi penyakit pada awal asymptomatic individu dan untuk mengurangi angka morbiditas (Saquib,
Saquib, dan Loannidis, 2015).

Dengan adanya kegiatan skrining, masyarakat dapat mengetahui terlebih dahulu apakah ia terkena suatu
penyakit atau tidak melalui beberapa proses. Sehingga masyarakat dengan mudah melakukan tindakan
pencegahan terhadap penyakit tersebut.

Adapun pengertian, tujuan, syarat, macam dan validitas maupun reliabilitas skrining akan dijelaskan
dalam makalah ini yang berjudul “SKRINING”
B. Tujuan

Tujuan pembuatan makalah skrining ini adalah:

1. Mengetahui apa itu skrining.

2. Mengetahui tujuan diadakannya skrining.

3. Mengetahui syarat agar skrining dapat dilakukan dengan baik.

4. Mengatahui macam-macam skrining.

5. Mengetahui validitas dan reliabilitas dari skrining.

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Skrining

Dibawah ini dijelaskan beberapa pengertian skrinning menurut ahli.

Menurut Harlan (2006), skrining untuk pengendalian penyakit adalah pemeriksaan orang-orang
asimptomatik untuk mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori yang diperkirakan mengidap atau
tidak mengidap penyakit (as likely or unlikely to have disease).

Contoh uji skrining antara lain pemeriksaan Rontgen, pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan tekanan
darah. Uji skrining tidaklah bersifat diagnostik. Orang-orang dengan temuan positif atau mencurigakan
harus dirujuk ke dokter untuk diagnosis dan pengobatannya (Harlan, 2006).

Secara garis besar, skrining adalah cara untuk mengidentifikasi penyakit yang belum tampak melalui
suatu tes atau pemeriksaan atau prosedur lain yang dapat dengan cepat memisahkan antara orang yang
mungkin menderita penyakit dengan orang yang mungkin tidak menderita (Amiruddin dkk, 2011).

sumber: https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSUnWh_ST2s22OzP9r80OYm-
1jpf_gQp6FySOrkJsuqZAhze4Rq
Amiruddin, dkk (2011), mengemukakan pula mengenai cara untuk mendeteksi tanda dan gejala penyakit
secara dini dan menemukan penyakit sebelum menimbulkan gejala dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Deteksi tanda dan gejala dini

Dalam hal mendeteksi tanda dan gejala dini diperlukan pengetahuan tentang tanda dan gejala tersebut
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan masyarakat. Dengan cara demikian, timbulnya kasus baru
dapat segera diketahui dan diberikan pengobatan. Biasaya penderita datang untuk mencari pengobatan
setelah penyakit menimbulkan gejala dan mengganggu kegiatan sehari-hari yang berarti penyakit telah
berada dalam stadium lanjut. Hal ini disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan penderita.

2. Penemuan kasus sebelum menimbulkan gejala

Penemuan kasus ini dapat dilakukan dengan mengadakan skrining terhadap orang-orang yang tampak
sehat, tetapi mungkin menderita penyakit. Diagnosis dan pengobatan penyakit yang diperoleh dari
penderita yang datang untuk mencari pengobatan setelah timbul gejala relatif sedikit sekali
dibandingkan dengan penderita tanpa gejala.

Tujuan Skrining

Tujuan dan sasaran skrining menurut Noor (1997), sebagai berikut:

1. Mendapatkan mereka yang menderita sedini mungkin sehingga dapat dengan segera memperoleh
pengobatan.

2. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat.

3. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.

4. Mendidik dan memberikan gambaran kepada petugas kesehatan tentang sifat penyakit dan untuk
selalu waspada atau melakukan pengamatan terhadap setiap gejala dini.

5. Mendapat keterangan epidemiologi yang berguna bagi klinisi dan peneliti.

Menurut Budiarto dan Anggraeni (2002), bahwa tujuan skrining adalah:

1. Deteksi dini penyakit tanpa gejala atau dengan gejala tidak khas terhadap orang-orang yang tampak
sehat, tetapi mungkin menderita penyakit yaitu orang yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena
penyakit (population at risk).

2. Dengan ditemukannya penderita tanpa gejala dapat dilakukan pengobatan secara tuntas hingga
mudah disembuhkan dan tidak membahayakan dirinya maupun lingkungannya dan tidak menjadi
sumber penularan hingga epidemi dapat dihindari.
Menurut Morton et al (2008), tujuan skrining adalah untuk mencegah penyakit atau akibat penyakit
dengan mengidentifikasi individu-individu pada suatu titik dalam riwayat alamiah ketika proses penyakit
dapat diubah melalui intervensi. Terdapat tiga tingkatan pencegahan yang pada umumnya ditargetkan di
dalam program-program skrining:

1. Pencegahan primer, ditujukan kepada orang-orang yang tidak memiliki gejala atau asymptotic untuk
mengidentifikasi faktor resiko dini penyakit guna menahan proses patologi sebelum timbul gejala.
Contohnya, mengidentifikasi orang-orang dalam tahap awal gangguan toleransi glukosa, dan
mengendalikan berat badan serta pola makan mereka untuk mencegah kemunculan diabetes.

2. Pencegahan sekunder, ditujukan kepada orang-orang dalam proses awal penyakit untuk
memperbaiki prognosis. Contohnya, mengidentifikasi orang-orang pengidap diabetes yang tidak
terdeteksi atau tidak teramati untuk meningkatkan toleransi glukosa guna mencegah.

3. Pencegahan tersier, ditujukan kepada orang-orang yang mengalamikomplikasi untuk mencegah


dampak lanjutan komplikasi tersebut. Contohnya, melakukan skrining pada orang-orang untuk
mendeteksi riwayat retinopatidiabetik agar mendapat pengobatan laser untuk mengendalikan
perdarahan retina (retinal hemorrhages) dan mencegah kebutaan.

C. Kriteria dalam Menyusun Program Skrining

Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi beberapa kriteria atau
ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes penyaringan.

a. Penyakit yang dituju harus merupakan masalah kesehatan yang berarti dalam masyarakat dan
dapat mengancam derajat kesehatan masyarakat tersebut.

b. Tersedianya obat yang potensial dan memungkinkan pengobatan bagi mereka yang dinyatakan
menderita penyakit yang mengalami tes. Keadaan penyedia obat dan keterjangkauan biaya pengobatan
dapat mempengaruhi tingkat atau kekuatan tes yang dipilih.

c. Tersedianya fasilitas dan biaya untuk diagnosis pasti bagi mereka yang dinyatakan positif serta
tersedianya biaya pengobatan bagi mereka yang dinyatakan positif melalui diagnosis klinis.

d. Tes penyaringan terutama ditujukan pada penyakit yang masa latennya cukup lama dan dapat
diketahui melalui pemeriksaan /tes khusus.

e. Tes penyaringan hanya dilakukan bila memenuhi syarat untuk tingkat sensitivitas dan spesifitivitas
dan spesifisitasnya.

f. Semua bentuk/teknik dan cara pemeriksaan dalam tes penyaringan harus dapat diterima oleh
masyarakat secara umum.

g. Sifat perjalanan penyakit yang akan dilakukan tes harus diketahui dengan pasti.
h. Adanya suatu nilai standar yang telah disepakati bersama tentang mereka yang dinyatakan
menderita penyait tersebut.

i. Biaya yang digunakan dalam melaksanakan tes penyaringan sampai pada titik akhir pemeriksaan
harus seimbang dengan risiko biaya bila tanpa melakukan tes tersebut.

j. Harus dimungkinkan untuk diadakan pemantauan (follow up) terhadap penyakit tersebut serta
penemuan penderita secara berkesinambungan dapat dilaksanakan (Noor, 2008).

Kriteria Skrining

Menurut Carr (2014), beberapa kriteria harus dipertimbangkan dalam melakukan pengembangan
program skrining. Kriteria tersebut dapat sepenuhnya dipenuhi atau tidak dapat dipenuhi sama sekali.

Penentuan kelompok sasaran skrining berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Kondisi/penyakit merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting. Jenis penyakit yang
tepat untuk skrining :

· Merupakan penyakit yang serius, misalnya penyakit kanker payudara ini sangat berbahaya apabila
tidak segera ditangani.

· Pencegahan sebelum terjadi gejala muncul itu lebih baik daripada setelah gejala muncul, misalnya
hindari kegemukan, kurangi makaan lemak, usahakan hanya mengkonsumsi makanan yang mengandung
vitamin A dan C, olahraga secara teratur, dan chek-up payudara sejak dini secara teratur.

· Prevalensi penyakit pre-klinik harus lebih tinggi pada populasi yang diskrining

b. Harus ada cara pengobatan untuk penderita yang ditemukan dengan skrining, misalnya pada kasus
kanker payudara penderita yang diketahui terpapar penyakit harus segera dilakukan pengobatan sesuai
dengan tipe dan stadium yang dialami penderita. Seperti pembedahan, radiotherapy, therapy hormone,
chemotherapy, dan pengobatan herceptin.

c. Terseda fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan, misalnya pada kasus kanker payudara di rumah
sakittelah tersedia pelayanan untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit kanker payudara.

d. Harus dikenal simtomatik dini dan masa laten.

e. Tidak berbahaya dan dapat diterima masyarakat.

f. Harus ada cara pemeriksaan yang cocok, misalnya pada kasus kanker payudara deteksi dini yang
paling sederhana adalah sadari atau mammografi.

g. Diketahui riwayat alamiah penyakit. pada kanker payudara sejak ditemukan prakanker sampai
terjadinya kanker memerlukan waktu yang lama yaitu lebih dari satu tahun.

h. Harus ada kebijakan yang dianggap penderita


i. Biaya skrining (termasuk diagnosis dan pengobatan) seimbang dengan biaya medis keseluruhan.

j. Penemuan kasus merupakan proses yang berlangsung terus menerus, misalnya pada kasus kanker
payudara ini didapatkan data selama satu tahun tiap bulannya.

Masalah yang termasuk dalam kriteria skrining :

· Harus terdapat kebutuhan yang diidentifikasi.

· Terdapat uji skrining yang dapat diterima.

· Strategi intervensi harus tersedia.

· Tanpa adanya intervensi dini, penyakit dapat berdampak buruk.

· Menargetkan program skrining.

· Uji skrining harus memiliki kualitas tertentu.

· Individu yang berisiko harus memiliki kecenderungan yang kuat agar ikut berpartisipasi dalam
skrining yang ditawarkan (Carr, 2014).

E. Macam-macam Skrining

Menurut Bustan (2002), macam-macam skrining yang dapat dilakukan dalam bidang kesehatan adalah:

1. Mass scrining

Merupakan penyaringan yang dilakukan pada seluruh penduduk.

2. Selectif scrining

Penyaringan yang dilakukan terhadap kelompok penduduk tertentu.

3. Single disease scrining

Merupakan penyaringan yang hanya ditunjukan pada suatu jenis penyakit misalnya penyaringan untuk
mengetahui penyakit TBC.

4. Multiphase scrining

Merupakan penyaringan untuk mengetahui kemungkinan adanya beberapa penyakit pada individu,
misalnya penyaringan kesehatan pada pegawai sebelum bekerja.

5. Chase Finding Screning

Adalah screening yang dilakukan karena penemuan kasus baru


6. Penyaringan Yang Ditargetkan

Penyaringan yang dilakukan pada kelompok-kelompok yang terkena paparan yang spesifik.

F. Validitas

Validitas adalah kemampuan daripada tes penyaringan untuk memisahkan mereka yang betul-betul
menderita terhadap mereka yang betul-betul sehat atau dengan kata lain besarnya kemungkinan untuk
menempatkan setiap individu pada keadaan yang sebenarnya. Validitas ditentukan dengan melakukan
pemeriksaan di luar tes penyaringan untuk diagnosis pasti, dengan ketentuan bahwa biaya dan waktu
yang digunakan pada setiap pemeriksaan diagnostik lebih besar daripada yang dibutuhkan pada
penyaringan. Ada dua komponen yang menentukan tingkat validitas, yakni: (1) nilai sensivitas yaitu
kemampuan dari suatu tes penyaringan yang secara benar menempatkan mereka yang betul-betul
menderita pada kelompok penderita; dan (2) nilai spesifitas yaitu kemampuan daripada tes tersebut
yang secara benar menempatkan mereka yang betul-betul tidak menderita pada kelompok sehat. (Noor,
2008).

Menurut (Murti, 1997), validitas mempersoalkan akurasi peneliti dalam mengamati mengukur,
mewawancarai, menginterpretasikan, mencatat, mengolah informasi yang diperoleh dari subjek
penelitian. Validitas dalam pengertian itu disebut validitas pengukuran (validitas instrumen). Validitas
pengukuran mencakup sejumlah dimensi:

1. Validitas Muka

Validitas muka adalah fakta yang mempersoalkan kemampuan model pertanyaan dalam suatu instrumen
untuk merefleksikan variabel yang hendak diukur, dan untuk dapat ditafsirkan responden dengan benar.

2. Validitas Isi

Validitas isi adalah fakta yang mempersoalkan kemampuan instrumen meliputi semua substansi variabel
yang hendak diukur.

3. Validitas Kriteria

Validitas kriteria adalah fakta yang mempersoalkan akurasi instrumen yang baru (murah), relatif
dibandingkan dengan instrumen yang ideal (mahal).

4. Validitas Konstruk

Validitas konstruk adalah fakta yang mempersoalkan relevansi pengukuran instrumen terhadap konteks
teori yang berlaku.
Untuk kepentingan validitas diperlukan beberapa perhitungan tertentu menurut Noor (2008), sebagai
berikut:

a. Positif sebenarnya, yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita dan yang
kemudian didukung oleh diagnosis klinis yang positif.

b. Positif palsu yaitu mereka yang oleh tes penyaringan dinyatakan menderita, tetapi pada diagnosis
klinis dinyatakan sehat/negatif.

c. Negatif sebenarnya yaitu mereka yang pada penyaringan dinyatakan sehat dan pada diagnosis
klinis ternyata betul sehat.

d. Negatif palsu yaitu mereka yang pada tes penyaringan dinyatakan sehat, tetapi oleh diagnosis klinis
ternyata menderita.

Konsep validitas dapat juga dipandang dari sudut kebenaran hasil akhir (out come) penelitian. Tanpa
mengesampingkan validitas pengukuran (yakni, suatu kegiatan penting dalam proses riset), validitas
dalam riset epidemiologi menekankan kebenaran penaksiran parameter populasi sasaran berdasarkan
statistik sampel. Tergantung tujuan penelitian, parameter yang dimaksud bisa berwujud: (1) Ukuran
frekuensi pada populasi sasaran; atau (2) Pengaruh paparan faktor penelitian terhadap kejadian penyakit
pada populasi sasaran (Murti, 1997).

Reliabilitas Screening

Azwar (2003) menyatakan bahwa reliabilitas merupakan salah-satu ciri atau karakter utama instrumen
pengukuran yang baik. Sudjana (2004) menyatakan bahwa reliabilitas alat penilaian adalah ketepatan
atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa yang dinilainya.

Reliabilitas meliputi dua aspek (Khotari,1985) :

1. Stabilitas (stability) adalah konsistensi hasil atau pengukuran ke pengukuran lainnya oleh seorang
pengamat, terhadap subyek penelitian yang sama dan dengan instrumen yang sama. Stabilitas dalam
jargon yang lebih populer disebut sebagai konsistensi intra-pengamat.

2. Kesamaan (equivalence) adalah konsistensi antara hasil pengukuran seorang pengamat dan hasil
pengukuran oleh pengamat lainnya,terhadap subjek penilitian yang sama dan dengan instrumen yang
sama. Kesamaan dalam jargon yang lebih populer disebut sebagai konsistensi antar-pengamat.

Dalam hal tingkat reliabilitas maka ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan, antara lain:

a. Variasi dari cara penyaringan yang sangat dipengaruhi oleh stabilitas alat tes atau regensia yang
digunakan, serta fluktuasi keadaan dari nilai yang akan diukur (contohnya: tekanan darah yang sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan alat yang digunakan).
b. Kesalahan pengamatan atau perbedaan pengamat yang meliputi adanya nilai yang berbeda karena
dilakukan oleh pengamat yang berbeda, atau adanya kesalahan walaupun dilakukan oleh pengamat yang
sama.

Untuk meningkatkan nilai reliabilitas tersebut diatas maka dapat dilakukan beberapa usaha tertentu.

a. Pembakuan/standarisasi cara penyaringan

b. Peningkatan dan pemantapan keterampilan pengamat melalui training

c. Pengamatan yang cermat pada setiap nilai hasil pengamatan

d. Menggunakan dua atau lebih penagamat untuk setiap pengamatan

e. Memperbesar klasifikasi (kelompok) kategori yang ada,terutama bila kondisi penyakit juga
bervariasi/bertingkat (Noor, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Ridwan., dkk. 2011. Modul Epidemiologi Dasar. Sumatra Utara: Universitas Hasanuddin.

Azwar, Saefuddin. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Budiarto, E dan Dewi Anggraeni. 2002. Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Bustan, MN. 2002. Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Carr, Susan., Unwin, Nigel., Tanja Pless-Mulloli. 2014. Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi Edisi 2.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC.

Harlan, Johan. 2008. Epidemiologi Kebidanan. Jakarta: Universitas Gunadarma.

Morton, R.F., J. Richard H dan Robert J.McCarter. 2008. Epidemiologi dan Biostatistika: Panduan Studi
Edisi 5. Alih bahasa: Aprinangsih. Ed: Fema Solekhah B.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Murti, Bhisma. 1997. Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Noor, Nur Nasry. 1997. Dasar Epidemiologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.


___. 2003. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.

___. 2008. Epidemiologi. Jakarta : PT Asdi Mahasatya.

Putri, Nurlaili HK dan Muhammad Atoillah Isfandiari. 2013. “Hubungan Empat Pilar Pengendalian dalam
DM Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula Darah”. Journal Berkala Epidemiologi. Vol 1. Nomor 2: 234-243.

Saquib, Nazmus., Juliann Saquib, dan John PA Loannidis. 2015. “Does Screening for Disease Save Live in
Asymptomatic Adults? Systematic Review of Meta-analyses and Randomized Trials”. Internasional
Journal of Epidemiology. Vol 0. Nomor 0.

Sudjana, Nana. 2004. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Yenny dan Elly Herwana. 2006. “Prevalensi Penyakit Kronis dan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Jakarta
Selatan”. Universa Medicina. Vol: 25. Nomor 4.

Glosarium

Anda mungkin juga menyukai