html
Home / Psikologi / Pengertian Spiritualitas Definisi Komponen Aspek dan Faktor yang
Berhubungan dengannya
23:58:00
Psikologi
Pengertian Spiritualitas adalah - Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau
dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang
individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan
penuh kasih.
Definisi Spiritualitas
Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang
lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah
sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian
spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:
1. Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah
kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk
berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
2. Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara
keseluruhan.
Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs
(2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok
transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan
dan pengharapannya terhadap Yang
Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan spiritualitas
sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan
dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi
terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang
Kuasa.
Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari Tischler (2002)
yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu
dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka,
memberi, dan penuh kasih.
Komponen Spiritualitas
Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang yang mereka
anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual). Partisipan dalam penelitian
ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai komponen spiritualitas (yang didapat dari
studi teoritis berbagai literatur humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah
dilakukan sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut berdasarkan
pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu sendiri. Hasil dari
penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada sembilan komponen dari
spiritualitas, yaitu:
1. Dimensi transenden
Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang
mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan atau apapun yang
dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya
dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora.
Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu
yang lebih dari sekedar hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa
perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut.
Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden.
Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang transenden dari LaPierre dalam
Hill (2000).
4. Kesakralan hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal
hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang
sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa
semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal
keduniaan.
5. Nilai-nilai material
Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk
pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang
spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan
sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup
semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.
6. Altruisme
Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing
orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa
tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain
sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran
mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen
untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.
7. Idealisme
Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat
diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa
yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada
kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu
yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki
komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya
masing-masing.
Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins et. al. (1988) mencakup hubungan seorang
individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya.
Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di
atas. Selanjutnya akan diuraikan mengenai aspek-aspek dari spiritualitas.
Aspek-Aspek Spiritualitas
Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek
kognitif, dan aspek relasional:
1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya
yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek
ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap
realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau
melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk
konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk
sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta
melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas
yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan
Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang membangun,
mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.
Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang didapat dari spiritualitas
yang berkembang.
Tischler (2002) mengemukakan terdapat empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas
yang berkembang, yaitu :
Setelah diuraikan beberapa kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang,
selanjutnya akan diuraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas.
Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan spiritualitas,
yaitu:
a. Diri sendiri
Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau
penyelidikan spiritualitas
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk
menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian
pokok pengalaman manusiawi
c. Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami
dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa ini telah dikembangkan secara lebih
luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau
hakikat hidup. Kodrat Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai
makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan dalam
banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan.
Penyelenggara kesehatan dan penyelenggara perawatan spiritual yang efektif dapat
mengintegrasikan semua ungkapan spiritualitas ini dalam perawatan pada pasien.
Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu
lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
di sekitar seseorang.
Young (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting
dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki
spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai
pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.
Young, C., Koopsen, C. (2007). Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan: Bina
Media Perintis
1. Definisi Religiusitas
Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris),
religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie
(Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin
“religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Menurut Cicero
(Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan,
yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab,
agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai
arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull
(tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan)
(Kahmad, 2002).
Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski
berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang
berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan
dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang
telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982). Religiusitas seringkali
pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan
seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas
dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan
atas agama Islam (Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002).
Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan
berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang
melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang
didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan
yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan
alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa
ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya
yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu
diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan kaiklasan hati dan
pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil
atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat
pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman
yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun
di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama di
masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama
dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di
sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam
yaitu:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang
pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan
b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan
yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan
ancaman kematian
1. Pengertian Religiusitas
Religiusitas adalah hubungan interpersonal antara manusia dengan Allah SWTnya,
serta suatu pola yang mengatur kehidupan manusia menjadi teratur sehingga pemujaan
kepada Allah SWT tidak terjadi kekacauan (Siswanto, 2007). Religiusitas adalah sebuah
sistem yang memiliki dimensi yang banyak dan diwujudkan dalam berbagai lingkup
kehidupan baik itu yang tampak oleh mata manusia maupun yang tidak tampak oleh mata
manusia (Ancok & Suroso, 1994).
Religiusitas adalah keyakinan yang kuat terhadap apa yang akan terjadi pada kehidupan
manusia itu semata-mata adalah takdir dari Allah SWT (Sari L. M., 2013). Religiusitas
adalah tingkat pengetahuan seseorang terhadap agama yang dianutnya serta suatu tingkat
pemahaman yang menyeluruh terhadap agama yang dianutnya (Glock & Stark, 1970).
2. Dimensi Religiusitas
Religiusitas menurut Glock & Stark (1970) terdiri dari lima dimensi antara lain:
a. Dimensi ideologi/keyakinan yang berkaitan dengan harapan-harapan dimana
seseorang yang religius akan berpegang teguh pada suatu pandangantertentu serta mengakui
akan adanya kebenaran.
b. Dimensi praktik ibadah yang meliputi pada perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus
keagamaan yang formal, ketaatan serta segala hal yang dilakukan manusia untuk
menunjukkan komitmennya terhadap keyakinan yang dianut. Praktik-praktik agama ini terdiri
dari dua kelas yang penting, yaitu: (1) Ritual, praktik ini mengacu pada seperangkat ritus,
tindakan formal keagamaan serta praktik-praktik suci yang mengharapkan agar dilaksanakan
oleh para pemeluk. (2) Ketaatan, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat
tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas.
c. Dimensi Pengalaman, berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi
dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau
masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi dengan Allah
SWT, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
d. Dimensi pengetahuan agama, mengacu pada harapan bagi seseorang yang beragama
paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci
dan tradisi-tradisi dari agama yang dianut.
e. Dimensi Konsekuensi, mengacu pada sejauh mana ajaran dari keyakinan yang dianut
mempengaruhi perilakunya.
Dimensi religiusitas menurut Fetzer Institute (1999) terbagi menjadi 12 dimensi antara
lain:
a. Daily spiritual experienceadalah memandang dampak agama dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Meaning adalah sejauhmana agama menjadi tujuan hidup.
c. Value adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai dalam kehidupan.
d. Belief adalah keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama.
e. Forgiveness adalah dimensi yang mencakup lima dimensi turunan yaitu pengakuan
dosa, merasa diampuni oleh Allah SWT, merasa dimaafkan oleh orang lain, memaafkan
orang lain, memaafkan diri sendiri.
f . Private religious practice adalah perilaku beragama dalam praktek agama
dengan tujuan untuk meningkatkan religiusitasnya.
g. Religious adalah koping stres dengan menggunakan pola-pola dan metode religius.
h. Konsep religious support adalah aspek hubungan sosial antara individual dengan
sesama pemeluk agama.
i. Religious spiritual history mengukur sejarah keberagamaan seseorang.
j. Commitment sejauhmana individu mementingkan agamanya, komitmen serta
berkontribusi terhadap agamanya.
k. Organizational religiousness mengukur sejauhmana seseorang ikut dalam lembaga
keagamaan yang ada dimasyarakat.
l. Religious preference sejauhmana seseorang membuat pilihan dan memastikan
pilihannya.
Dimensi religiusitas menurut Kendler, dkk (2003) ada tujuh yaitu:
a. General religiositybagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannnya.
b. Social religiosity bagaimana seseorang membina hubungan dengan sesama penganut
agamanya.
c. Involved God keyakinan akan keterlibatan Allah SWT dalam segala urusan manusia.
d. Forgiveness menggambarkan kepedulian dan saling memaafkan.
e. God as judge menggambarkan kekuasaan Allah SWT.
f. Unvengefulness perilaku seseorang yang tidak dendam kepada orang lain.
g. Thankfulness bagaimana seseorang menggambarkan rasa syukur.
Nilai
Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa "cara pelaksanaan atau keadaan
akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir
yang berlawanan.[1] Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang
individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan.[1]
Pentingnya nilai
Jenis-jenis nilai
Milton Rokeach menciptakan Rokeach Value Survey.(RVS)[3] RVS terdiri atas dua kumpulan
nilai, dengan setiap kumpulan memuat 18 pokok nilai individual[3]. Satu kumpulan, yang
disebut nilai terminal, merujuk pada keadaan-keadaan akhir yang diinginkan[3]. Ini adalah
tujuan yang ingin dicapai seseorang selama hidupnya[3]. Kumpulan lainnya, disebut dengan
nilai instrumental, merujuk pada perilaku atau cara-cara yang lebih disukai untk mencapai
nilai terminal[3].
Beberapa analisis baru mengenai nilai kerja telah digabungkan ke dalam empat kelompok
yang berusaha mendapatkan nilai unik dari kelompok atau generasi yang berbeda-beda dalam
angkatan kerja Amerika Serikat.[4] Nilai memang mengalami perubahan dari generasi ke
generasi.[5]
Generasi Boomer adalah kelompok yang lahir setelah perang dunia II ketika para veteran
kembali ke keluarga mereka masing-masing dan zaman sudah membaik.[1] Boomers
memasuki angkatan kerja dari pertengahan tahun 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-
an.[1]
Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menganalisis variasi kultur
dibuat pada akhir tahun 1970-an oleh Geert Hofstede.[6] Hofstede menemukan bahwa manajer
dan karyawan memiliki lima dimensi nilai kultur nasional yang berbeda-beda.[6]
Referensi
^ a b c d Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, 2007,
hal. 146-156.
Ancok, D., & Suroso, F. N. (1994). Psikologi islami solusi islam atas problem-problem
psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Z. (1996). Ilmu jiwa agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Fetzer Institute. (1999). Multidimensional measurement of religiousness, spiritually for use in
health research. National Institute On Aging Working Group. Kalamazoo: John. E Fetzer
Institute.
Glock, C. Y., & Stark, R. (1970). Religion and society in tension. San Francisco: Rand
McNally.
Jalaluddin. (2010). Psikologi agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kendler, K. S., Liu, X.-Q., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., & Prescott, C. A.
(2003, Maret). Dimension of religiosity and their relationship to lifetime psychiatric and
substance use disorders. Religiosity and Psychiatric Disorders , p. 498.
Sari, L. M. (2013). Tingkat religiusitas dengan kecemasan menghadapi menopause. Jurnal
Online Psikologi , 01 (02), 618-627.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta.
Thouless, H. (2000). Pengantar psikologi agama. Jakarta: Rajawali Press.
http://teorionline.net/teori-nilai-value/
Abstract
Nilai dan teori nilai merupakan gabungan dari berbagai bidang keilmuan seperti filsafat,
etika, atau manajemen. Pendekatan pertama, dilakukan oleh M.J. Langeveld dalam tulisannya
“menuju pemikiran filsafat” tahun 1957. Langeveld membahas mengenai teori nilai dan etika
dalam Bab VII bukunya.
Nilai atau value didefinisikan sebagai alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan
akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan
atau keadaan akhir yang berlawanan (Rokeach, 1973, dalam Robbins, 2007).
Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai
hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi
menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting.
Sifat intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.
Definisi Nilai
Meglino dan Ravlin [1998] mendefinisikan nilai sebagai keyakinan tentang diinternalisasi
sesuai perilaku, ini dampak (antara lain) bagaimana seorang individu menafsirkan informasi.
para penulis melakukan kajian komprehensif dari literatur dan mengusulkan kerangka kerja
untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi ada nilai penelitian, menunjukkan sifat iteratif
nilai-nilai dan cara bahwa nilai-nilai dapat mempengaruhi baik persepsi dan perilaku.
Rokeach mendefinisikan konsep nilai sebagai “an enduring belief that a specific mode of
conduct or end-state of existence is personally or socially preferable …” (Rokeach, 1973, hal.
5).
Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih disukai
secara pribadi atau social dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang
berlawanan (Rokeach, 1973:5). Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide
seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan diinginkan. Para peneliti bidang
perilaku organisasi sudah lama memasukkan konsep nilai sebagai dasar pemahaman sikap
dan motivasi individu. Individu yang memasuki suatu organisasi dengan pendapat yang telah
terbentuk sebelumnya tentang apa yang “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya”
terjadi. Hal ini selanjutnya menimbulkan implikasi pada perilaku atau hasil-hasil tertentu
yang lebih disukai dari yang lain. Dengan kata lain, nilai menutupi objektivitas dan
rasionalitas (Robbins, 2007:148)
Nilai Individu
Smith dan Schwartz (1997) mendefinisikan nilai-nilai sebagai keyakinan yang mengacu pada
tujuan yang diinginkan, melampaui tindakan atau situasi tertentu, berfungsi sebagai standar
untuk memandu pemilihan atau evaluasi perilaku, orang dan peristiwa, dan diperintahkan
oleh kepentingan relatif untuk
satu sama lain.
Sikap telah didefinisikan sebagai organisasi yang relatif abadi keyakinan yang saling terkait
yang menjelaskan, mengevaluasi, dan tindakan advokasi terhadap suatu objek atau situasi
(Rokeach, 1968). Sikap kurang umum daripada sistem nilai. Sikap berada di sekitar obyek
sikap atau situasi predisposisi individu untuk merespon dalam beberapa cara preferensial.
Sementara Nilai, tidak terikat dengan benda sikap tertentu atau situasi, yang lebih mendasar
dari sikap dan sering mendasari sikap dan perilaku (Rokeach, 1968).
Nilai Organisasi
Kesimpulan
https://www.facebook.com/nlpbusinesscoach/posts/232399736834908
Beliefs
Beliefs/keyakinan adalah salah satu dasar sebuah pencapaian. Adanya keyakinan mendorong
kita untuk bertindak untuk meraih hasil yang memuaskan. Saat hasil yang kita dapat
memuaskan dan berhasil maka hal itu akan membuat keyakinan kita semakin bertambah kuat.
Beliefs adalah segala sesuatu yang kita imani, kita percayai dan kita yakini. Yang positif
ataupun negatif bisa saja tertancap di beliefs system kita.
Contoh beliefs negatif:
o Tidak mungkin bisnis tanpa modal uang. Kami sering menjumpai orang yang katanya ingin
berbisnis atau membangun usaha namun mereka tidak mempunyai uang.
Ya tentu saja uang dibutuhkan dalam membangun usaha, tetapi tidak banyak contoh orang
yang membangun usaha tidak menggunakan uangnya sendiri, modalnya hanya ide dan
keahlian teknis.
Beliefs negative seperti contoh di atas sudah barang tentu akan mempengaruhi keputusan dan
tindakan kita.
o Hidup ini sangat kejam. Biasanya orang-orang yang beranggapan bahwa kehidupan ini
kejam justru akan sering menemukan kekejaman, diasingkan dari pertemanan, dikhianati oleh
mitranya, dinistakan orang, dihimpit oleh segudang permasalahan dan seolah Tuhan sudah
melupakannya.
Padahal jika beliefs itu diubah lebih positif menjadi hidup ini penuh tantangan maka akan jadi
lebih memberdayakan. Ketika dianggap tantangan ada kecenderungan kuat untuk melakukan
sesuatu terhadap tantangan yang ada. Ada optimisme dan itu akan membawa pengaruh pada
hidup seseorang.
Bagaimana caranya merubah beliefs negatif menjadi lebih positif sehingga bisa memberikan
daya guna dan manfaat yang positif pula dalam kehidupan kita?
Adapun trik sederhana untuk membongkar beliefs negatif dan menemukan beliefs yang lebih
positif dan memberdayakan antara lain:
1. Buatlah daftar beliefs negatif yang anda miliki saat ini sebanyak-banyaknya
2. Tentukan atau pilih salah satu beliefs yang anda prioritaskan untuk diubah
3. Cari tahu sumber yang mengatakan itu
4. Perjelas dasar alasannya sehingga anda benar-benar mendapatkan alasan yang menjadikan
hal itu layak untuk anda percayai
5. Apa untungnya jika memiliki beliefs tersebut
6. Jika tidak bermanfaat,keyakinan seperti apa yang harus dimiliki agar hidup menjadi lebih
berarti.
Dari daftar beliefs negative yang sudah ada dan setelah melakukan pengujian dan perubahan,
maka sekarang tulislah sebanyak-banyaknya daftar beliefs positif yang anda miliki.
Beiefs positif sangat kita perlukan karena sangat erat pencapaiannya dalam meraih
kesuksesan. Keyakinan akan mempengaruhi tindakan kita dan tindakan kita mempengaruhi
hasilnya. Semakin positif dan kuat keyakinan, maka kita semakin terdorong untuk bertindak.
Semakin positif tindakan kita maka resikonya kita akan mendapatkan hasil. Dan semakin
positif hasil yang bisa kita capai akan menebalkan keyakinan kita.
https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi, dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.[1]
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang
dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-
nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam
berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan
alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.
Pengertian Budaya
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.
Unsur-Unsur
Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:
Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.
Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut
ahli antropologi Cateora, yaitu :
Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi
ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
Lembaga sosial
Lembaga sosial, dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek
berhubungan, dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbentuk
dalam suatu Negara akan menjadi dasar, dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota, dan desa dibeberapa wilayah, wanita
tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan.
Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun system kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada
dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan,
bagaimana memandang hidup, dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai
dengan cara bagaimana berkomunikasi.
Estetika
Berhubungan dengan seni, dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan
tari –tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia
setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami
dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan
efektif. Misalkan di beberapa wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu
bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning, dan buah – buahan, sebagai
symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang
mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian, dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu
komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa
memiliki sidat unik, dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna
bahasa tersebu. Jadi keunikan, dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan
dipahami agar komunikasi lebih baik, dan efektif dengan memperoleh nilai empati,
dan simpati dari orang lain.