Anda di halaman 1dari 22

http://www.landasanteori.com/2015/09/pengertian-spiritualitas-definisi.

html

Home / Psikologi / Pengertian Spiritualitas Definisi Komponen Aspek dan Faktor yang
Berhubungan dengannya

Pengertian Spiritualitas Definisi Komponen Aspek dan Faktor yang Berhubungan


dengannya

23:58:00
Psikologi
Pengertian Spiritualitas adalah - Tischler (2002) mengatakan bahwa spiritualitas mirip atau
dengan suatu cara, berhubungan dengan emosi atau perilaku dan sikap tertentu dari seorang
individu. Menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi, dan
penuh kasih.

Definisi Spiritualitas

Spiritualitas adalah kebutuhan bawaan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang
lebih besar dari diri manusia itu. Istilah ”sesuatu yang lebih besar dari manusia”adalah
sesuatu yang diluar diri manusia dan menarik perasaan akan diri orang tersebut. Pengertian
spiritualitas oleh Wigglesworth ini memiliki dua komponen, yaitu vertikal dan horizontal:

1. Komponen vertikal, yaitu sesuatu yang suci, tidak berbatas tempat dan waktu, sebuah
kekuatan yang tinggi, sumber, kesadaran yang luar biasa. Keinginan untuk
berhubungan dengan dan diberi petunjuk oleh sumber ini.
2. Komponen horizontal, yaitu melayani teman-teman manusia dan planet secara
keseluruhan.

Komponen vertikal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas dari Schreurs
(2002) yang memberikan pengertian spiritualitas sebagai hubungan personal terhadap sosok
transenden. Spiritualitas mencakup inner life individu, idealisme, sikap, pemikiran, perasaaan
dan pengharapannya terhadap Yang

Mutlak. Spiritualitas juga mencakup bagaimana individu mengekspresikan hubungannya


dengan sosok transenden tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu juga sejalan dengan pendapat Elkins et al. (1988) yang mengartikan spiritualitas
sebagai suatu cara menjadi dan mengalami sesuatu yang datang melalui kesadaran akan
dimensi transenden dan memiliki karakteristik beberapa nilai yang dapat diidentifikasi
terhadap diri sendiri, kehidupan, dan apapun yang dipertimbangkan seseorang sebagai Yang
Kuasa.

Sedangkan komponen horizontal dari Wigglesworth sejalan dengan pengertian spiritualitas


dari Fernando (2006) yang mengatakan bahwa spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan
tujuan, makna, dan perasaan terhubung dengan orang lain. Pendapat ini tidak memasukkan
agama dalam mendefinisikan spiritualitas dan spiritualitas.
Spiritualitas dapat diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari termasuk juga di tempat kerja.
Ashmos (2000) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja sebagai suatu pengenalan bahwa
karyawan memiliki ”kehidupan dalam” yang memelihara dan dipelihara oleh pekerjaan yang
bermakna yang mengambil tempat dalam konteks komunitas. Pengertian spiritualitas di
tempat kerja dari Ashmos memiliki tiga komponen, yaitu kehidupan dalam (inner life),
pekerjaan yang bermakna, dan komunitas. Ashmos ingin menekankan bahwa spiritualitas di
tempat kerja bukan tentang agama, walaupun orang terkadang mengekspresikan kepercayaan
agama mereka di tempat kerja.

Spiritualitas yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada definisi dari Tischler (2002)
yaitu spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu
dari seorang individu, menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka,
memberi, dan penuh kasih.

Setelah menguraikan beberapa definisi spiritualitas dan spiritualitas di tempat kerja,


selanjutnya akan diuraikan mengenai komponen-komponen dari spiritualitas.

Komponen Spiritualitas

Elkins et al. (1988) melakukan penelitian dengan melibatkan beberapa orang yang mereka
anggap memiliki spiritualitas yang berkembang (highly spiritual). Partisipan dalam penelitian
ini diberikan pertanyaan menyangkut berbagai komponen spiritualitas (yang didapat dari
studi teoritis berbagai literatur humanistik, fenomenologis dan eksistensialisme yang telah
dilakukan sebelumnya) dan diminta untuk menilai komponen-komponen tersebut berdasarkan
pengalaman dan pengertian pribadi mereka mengenai spiritualitas itu sendiri. Hasil dari
penelitian ini mengarahkan Elkins et al. untuk sampai pada sembilan komponen dari
spiritualitas, yaitu:

1. Dimensi transenden
Individu spiritual percaya akan adanya dimensi transenden dari kehidupan. Inti yang
mendasar dari komponen ini bisa berupa kepercayaan terhadap tuhan atau apapun yang
dipersepsikan oleh individu sebagai sosok transenden. Individu bisa jadi menggambarkannya
dengan menggunakan istilah yang berbeda, model pemahaman tertentu atau bahkan metafora.
Pada intinya penggambaran tersebut akan menerangkan kepercayaannya akan adanya sesuatu
yang lebih dari sekedar hal-hal yang kasat mata. Kepercayaan ini akan diiringi dengan rasa
perlunya menyesuaikan diri dan menjaga hubungan dengan realitas transenden tersebut.
Individu yang spiritual memiliki pengalaman bersentuhan dengan dimensi transenden.
Komponen ini sama dengan komponen kesatuan dengan yang transenden dari LaPierre dalam
Hill (2000).

2. Makna dan tujuan dalam hidup


Individu yang spiritual memahami proses pencarian akan makna dan tujuan hidup. Dari
proses pencarian ini, individu mengembangkan pandangan bahwa hidup memiliki makna dan
bahwa setiap eksistensi memiliki tujuannya masing-masing. Dasar dan inti dari komponen ini
bervariasi namun memiliki kesamaan yaitu bahwa hidup memiliki makna yang dalam dan
bahwa eksistensi individu di dunia memiliki tujuan. Komponen ini sama dengan komponen
pencarian akan makna hidup dari LaPierre dalam Hill (2000).
3. Misi hidup
Individu merasakan adanya panggilan yang harus dipenuhi, rasa tanggung jawab pada
kehidupan secara umum. Pada beberapa orang bahkan mungkin merasa akan adanya takdir
yang harus dipenuhi. Pada komponen makna dan tujuan hidup, individu mengembangkan
pandangan akan hidup yang didasari akan pemahaman adanya proses pencarian makna dan
tujuan. Sementara dalam komponen misi hidup, individu memiliki metamotivasi yang berarti
mereka dapat memecah misi hidupnya dalam target-target konkrit dan tergerak untuk
memenuhi misi tersebut.

4. Kesakralan hidup
Individu yang spiritual mempunyai kemampuan untuk melihat kesakralan dalam semua hal
hidup. Pandangan akan hidup mereka tidak lagi dikotomi seperti pemisahan antara yang
sakral dan yang sekuler, atau yang suci dan yang duniawi, namun justru percaya bahwa
semua aspek kehidupan suci sifatnya dan bahwa yang sakral dapat juga ditemui dalam hal-hal
keduniaan.

5. Nilai-nilai material
Individu yang spiritual menyadari akan banyaknya sumber kebahagiaan manusia, termasuk
pula kebahagiaan yang bersumber dari kepemilikan material. Oleh karena itu, individu yang
spiritual menghargai materi seperti kebendaan atau uang namun tidak mencari kepuasaan
sejati dari hal-hal material tersebut. Mereka menyadari bahwa kepuasaan dalam hidup
semestinya datang bukan dari seberapa banyak kekayaan atau kebendaan yang dimiliki.

6. Altruisme
Individu yang spiritual menyadari akan adanya tanggung jawab bersama dari masing-masing
orang untuk saling menjaga sesamanya (our brother’s keepers). Mereka meyakini bahwa
tidak ada manusia yang dapat berdiri sendiri, bahwa umat manusia terikat satu sama lain
sehingga bertanggung jawab atas sesamanya. Keyakinan ini sering dipicu oleh kesadaran
mereka akan penderitaan orang lain. Nilai humanisme ini diikuti oleh adanya komitmen
untuk melakukan tindakan nyata sebagai perwujudan cinta altruistiknya pada sesama.

7. Idealisme
Individu yang spiritual memiliki kepercayaan kuat pada potensi baik manusia yang dapat
diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan. Memiliki keyakinan bukan saja pada apa
yang terlihat sekarang namun juga pada hal baik yang dimungkinkan dari hal itu, pada
kondisi ideal yang mungkin dicapai. Mereka percaya bahwa kondisi ideal adalah sesuatu
yang sebenarnya mungkin untuk diwujudkan. Kepercayaan ini membuat mereka memiliki
komitmen untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik, setidaknya dalam kapasitasnya
masing-masing.

8. Kesadaran akan peristiwa tragis


Individu yang spiritual menyadari akan perlu terjadinya tragedi dalam hidup seperti rasa
sakit, penderitaan atau kematian. Tragedi dirasa perlu terjadi agar mereka dapat lebih
menghargai hidup itu sendiri dan juga dalam rangka meninjau kembali arah hidup yang ingin
dituju. Peristiwa tragis dalam hidup diyakininya sebagai alat yang akan membuat mereka
semakin memiliki kesadaran akan eksistensinya dalam hidup.

9. Buah dari spiritualitas


Komponen terakhir merupakan cerminan atas kedelapan komponen sebelumnya dimana
individu mengolah manfaat yang dia peroleh dari pandangan, kepercayaan dan nilai-nilai
yang dianutnya. Pada komponen ini individu menilai efek dari spiritualitasnya, dan biasanya
dikaitkan dengan hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, alam, kehidupan, dan apapun
yang dipersepsikannya sebagai aspek transenden.

Komponen-komponen spiritualitas menurut Elkins et. al. (1988) mencakup hubungan seorang
individu dengan daya yang melebihi dirinya dan juga dengan orang-orang di sekitarnya.
Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di
atas. Selanjutnya akan diuraikan mengenai aspek-aspek dari spiritualitas.

Aspek-Aspek Spiritualitas

Menurut Schreurs (2002) spiritualitas terdiri dari tiga aspek yaitu aspek eksistensial, aspek
kognitif, dan aspek relasional:

1. Aspek eksistensial, dimana seseorang belajar untuk “mematikan” bagian dari dirinya
yang bersifat egosentrik dan defensif. Aktivitas yang dilakukan seseorang pada aspek
ini dicirikan oleh proses pencarian jati diri (true self).
2. Aspek kognitif, yaitu saat seseorang mencoba untuk menjadi lebih reseptif terhadap
realitas transenden. Biasanya dilakukan dengan cara menelaah literatur atau
melakukan refleksi atas suatu bacaan spiritual tertentu, melatih kemampuan untuk
konsentrasi, juga dengan melepas pola pemikiran kategorikal yang telah terbentuk
sebelumnya agar dapat mempersepsi secara lebih jernih pengalaman yang terjadi serta
melakukan refleksi atas pengalaman tersebut, disebut aspek kognitif karena aktivitas
yang dilakukan pada aspek ini merupakan kegiatan pencarian pengetahuan spiritual.
3. Aspek relasional, merupakan tahap kesatuan dimana seseorang merasa bersatu dengan
Tuhan (dan atau bersatu dengan cintaNya). Pada aspek ini seseorang membangun,
mempertahankan, dan memperdalam hubungan personalnya dengan Tuhan.

Selanjutnya akan diuraikan mengenai kompetensi apa saja yang didapat dari spiritualitas
yang berkembang.

Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang Berkembang

Tischler (2002) mengemukakan terdapat empat kompetensi yang didapat dari spiritualitas
yang berkembang, yaitu :

1. Kesadaran Pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya


sendiri, self-awareness, emotional self-awareness, penilaian diri yang positif, harga
diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi waktu, aktualisasi diri
2. Keterampilan Pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri, fleksibel,
mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik
3. Kesadaran Sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang positif,
empati, altruisme
4. Keterampilan Sosial (social skills) yaitu memiliki hubungan yang baik dengan teman
kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang lain (menerima orang
baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik terhadap nilai positif, baik dalam
menanggapi kritikan

Seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponen-komponen di


atas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, Orang-orang yang spiritualnya baik
memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih empati, dan menunjukkan altruisme
yang besar. Mereka juga cenderung untuk merasa lebih puas dengan pekerjaannya. Penelitian
ini akan menggunakan kompetensi-kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang
berkembang sebagai dasar untuk membuat alat ukur.

Setelah diuraikan beberapa kompetensi yang didapat dari spiritualitas yang berkembang,
selanjutnya akan diuraikan faktor-faktor yang berhubungan dengan spiritualitas.

Faktor yang berhubungan dengan spiritualitas

Dyson dalam Young (2007) menjelaskan tiga faktor yang berhubungan dengan spiritualitas,
yaitu:
a. Diri sendiri
Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam eksplorasi atau
penyelidikan spiritualitas

b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri. Kebutuhan untuk
menjadi anggota masyarakat dan saling keterhubungan telah lama diakui sebagai bagian
pokok pengalaman manusiawi

c. Tuhan
Pemahaman tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara tradisional dipahami
dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi, dewasa ini telah dikembangkan secara lebih
luas dan tidak terbatas. Tuhan dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau
hakikat hidup. Kodrat Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan mempunyai
makna yang berbeda bagi satu orang dengan orang lain. Manusia mengalami Tuhan dalam
banyak cara seperti dalam suatu hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan.
Penyelenggara kesehatan dan penyelenggara perawatan spiritual yang efektif dapat
mengintegrasikan semua ungkapan spiritualitas ini dalam perawatan pada pasien.

Howard (2002) menambahkan satu faktor yang berhubungan dengan spiritualitas, yaitu
lingkungan. Young (2007) mengartikan bahwa lingkungan adalah segala sesuatu yang berada
di sekitar seseorang.
Young (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan adalah suatu langkah yang penting
dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan spiritual seseorang. Orang-orang yang memiliki
spiritualitas berjuang mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai
pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.

Daftar Pustaka Makalah Spiritualitas


Tischler, L. (2002). Linking Emotional Intelligence, Spirituality and Workplace
Performance: Definitions, Models and Ideas for Research. Journal of Managerial
Psychology. 17 (3): 203

Young, C., Koopsen, C. (2007). Spiritualitas, Kesehatan, dan Penyembuhan. Medan: Bina
Media Perintis

Howard, S. (2002). A spiritual perspective on learning in the workplace. Journal of


Managerial Psychology. 17 (3): 230

Schreurs, A. (2002). Psychotherapy and Spirituality: Integrating the Spiritual

Elkins, D. N., dkk. (1988). Toward a Humanistic-phenomenological spirituality: Definition,


description and measurement. Journal of Humanistic Psychology. 28 (4): 5-18

Ashmos, D, P. (2000). Spirituality at Work: A conceptualization and measure. Journal of


Management Inquiry. 9 (2): 134

Fernando, M. (2006). The influence of religion-based workplace spirituality on business


leaders’ decision making: An inter-faith study. Journal of Management and Organization. 12
(1): 23
Pengertian Religiusitas

1. Definisi Religiusitas

Ada beberapa istilah untuk menyebutkan agama, antara lain religi, religion (Inggris),

religie (Belanda), religio/relegare (Latin), dan dien (Arab). Kata religion (Inggris) dan religie

(Belanda) adalah berasal dari bahasa induk dari kedua bahasa tersebut, yaitu bahasa Latin

“religio” dari akar kata “relegare” yang berarti mengikat (Kahmad, 2002). Menurut Cicero

(Ismail, 1997), relegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh penderitaan,

yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan tetap. Dalam bahasa Arab,

agama dikenal dengan kata al-din dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai

arti. Ia bisa berarti al-mulk (kerajaan), al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull

(kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat

(pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallul wa al-khudu

(tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan)

(Kahmad, 2002).

Dari istilah agama inilah kemudian muncul apa yang dinamakan religiusitas. Meski

berakar kata sama, namun dalam penggunaannya istilah religiusitas mempunyai makna yang

berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama menunjuk pada aspek formal yang berkaitan

dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban; religiusitas menunjuk pada aspek religi yang

telah dihayati oleh individu di dalam hati (Mangunwijaya, 1982). Religiusitas seringkali

diidentikkan dengan keberagamaan. Religiusitas diartikan sebagai seberapa jauh

pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah dan

seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, religiusitas

dapat diketahui dari seberapa jauh pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan penghayatan

atas agama Islam (Fuad Nashori dan Rachmy Diana Mucharam, 2002).
Hawari (1996) menyebutkan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan

dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari,

berdoa, dan membaca kitab suci.

Ancok dan suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang

berarti meliputi berbagai macam sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang

melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang

didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan

yang mutlak (sense of depend). Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan

alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa

ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya

yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu

kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan.

Berdasarkan uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa religiusitas adalah kedalaman

penghayatan keagamaan seseorang dan keyakinannya terhadap adanya tuhan yang

diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan kaiklasan hati dan

dengan seluruh jiwa dan raga.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Religiusitas

Religiusitas atau keagamaan seseorang ditentukan dari banyak hal, di antaranya:

pendidikan keluarga, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilakukan pada waktu kita kecil

atau pada masa kanak-kanak. Seorang remaja yang pada masa kecilnya mendapat

pengalaman-pengalaman agama dari kedua orang tuanya, lingkungan sosial dan teman-teman

yang taat menjalani perintah agama serta mendapat pendidikan agama baik di rumah maupun

di sekolah, sangat berbeda dengan anak yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama di

masa kecilnya, maka pada dewasanya ia tidak akan merasakan betapa pentingnya agama
dalam hidupnya. Orang yang mendapatkan pendidikan agama baik di rumah mapun di

sekolah dan masyarakat, maka orang tersebut mempunyai kecenderungan hidup dalam

aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, dan takut melanggar larangan-larangan

agama (Syahridlo, 2004).

Thoules (azra, 2000) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas,

yaitu:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial) yang

mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan sikap keagamaan, termasuk

pendidikan orang tua, tradisi-tradisi sosial untuk menyesuaikan dengan berbagai pendapatan

sikap yang disepakati oleh lingkungan.

b. Berbagai pengalaman yang dialami oleh individu dalam membentuk sikap keagamaan

terutama pengalaman mengenai:

1) Keindahan, keselarasan dan kebaikan didunia lain (faktor alamiah)

2) Adanya konflik moral (faktor moral)

3) Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian yang timbul dari kebutuhan-kebutuhan

yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan terhadap keamanan, cinta kasih, harga diri, dan

ancaman kematian

Read more: http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/religiusitas.html#ixzz4dzrYy7Mi

Religiusitas menurut ahli

1. Pengertian Religiusitas
Religiusitas adalah hubungan interpersonal antara manusia dengan Allah SWTnya,
serta suatu pola yang mengatur kehidupan manusia menjadi teratur sehingga pemujaan
kepada Allah SWT tidak terjadi kekacauan (Siswanto, 2007). Religiusitas adalah sebuah
sistem yang memiliki dimensi yang banyak dan diwujudkan dalam berbagai lingkup
kehidupan baik itu yang tampak oleh mata manusia maupun yang tidak tampak oleh mata
manusia (Ancok & Suroso, 1994).
Religiusitas adalah keyakinan yang kuat terhadap apa yang akan terjadi pada kehidupan
manusia itu semata-mata adalah takdir dari Allah SWT (Sari L. M., 2013). Religiusitas
adalah tingkat pengetahuan seseorang terhadap agama yang dianutnya serta suatu tingkat
pemahaman yang menyeluruh terhadap agama yang dianutnya (Glock & Stark, 1970).
2. Dimensi Religiusitas
Religiusitas menurut Glock & Stark (1970) terdiri dari lima dimensi antara lain:
a. Dimensi ideologi/keyakinan yang berkaitan dengan harapan-harapan dimana
seseorang yang religius akan berpegang teguh pada suatu pandangantertentu serta mengakui
akan adanya kebenaran.
b. Dimensi praktik ibadah yang meliputi pada perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus
keagamaan yang formal, ketaatan serta segala hal yang dilakukan manusia untuk
menunjukkan komitmennya terhadap keyakinan yang dianut. Praktik-praktik agama ini terdiri
dari dua kelas yang penting, yaitu: (1) Ritual, praktik ini mengacu pada seperangkat ritus,
tindakan formal keagamaan serta praktik-praktik suci yang mengharapkan agar dilaksanakan
oleh para pemeluk. (2) Ketaatan, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat
tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas.
c. Dimensi Pengalaman, berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi
dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagaman (atau
masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi dengan Allah
SWT, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.
d. Dimensi pengetahuan agama, mengacu pada harapan bagi seseorang yang beragama
paling tidak memiliki pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci
dan tradisi-tradisi dari agama yang dianut.
e. Dimensi Konsekuensi, mengacu pada sejauh mana ajaran dari keyakinan yang dianut
mempengaruhi perilakunya.
Dimensi religiusitas menurut Fetzer Institute (1999) terbagi menjadi 12 dimensi antara
lain:
a. Daily spiritual experienceadalah memandang dampak agama dalam kehidupan sehari-
hari.
b. Meaning adalah sejauhmana agama menjadi tujuan hidup.
c. Value adalah pengaruh religiusitas terhadap nilai-nilai dalam kehidupan.
d. Belief adalah keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama.
e. Forgiveness adalah dimensi yang mencakup lima dimensi turunan yaitu pengakuan
dosa, merasa diampuni oleh Allah SWT, merasa dimaafkan oleh orang lain, memaafkan
orang lain, memaafkan diri sendiri.
f . Private religious practice adalah perilaku beragama dalam praktek agama
dengan tujuan untuk meningkatkan religiusitasnya.
g. Religious adalah koping stres dengan menggunakan pola-pola dan metode religius.
h. Konsep religious support adalah aspek hubungan sosial antara individual dengan
sesama pemeluk agama.
i. Religious spiritual history mengukur sejarah keberagamaan seseorang.
j. Commitment sejauhmana individu mementingkan agamanya, komitmen serta
berkontribusi terhadap agamanya.
k. Organizational religiousness mengukur sejauhmana seseorang ikut dalam lembaga
keagamaan yang ada dimasyarakat.
l. Religious preference sejauhmana seseorang membuat pilihan dan memastikan
pilihannya.
Dimensi religiusitas menurut Kendler, dkk (2003) ada tujuh yaitu:
a. General religiositybagaimana hubungan seseorang dengan Tuhannnya.
b. Social religiosity bagaimana seseorang membina hubungan dengan sesama penganut
agamanya.
c. Involved God keyakinan akan keterlibatan Allah SWT dalam segala urusan manusia.
d. Forgiveness menggambarkan kepedulian dan saling memaafkan.
e. God as judge menggambarkan kekuasaan Allah SWT.
f. Unvengefulness perilaku seseorang yang tidak dendam kepada orang lain.
g. Thankfulness bagaimana seseorang menggambarkan rasa syukur.

3. Faktor yang mempengaruhi religiusitas


Religiusitas menurut Thouless (2000) dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
1. Faktor sosial, meliputi semua pengaruhsosial seperti, pendidikan dan pengajaran dari
orangtua, tradisi‐tradisi dan tekanan‐tekanan sosial.
2. Faktor alami, meliputi moral yang berupa pengalaman‐pengalaman baik yang
bersifat alami, seperti pengalaman konflik moral maupun pengalaman emosional.
3. Faktor kebutuhan untuk mendapatkan harga diri serta kebutuhan yang timbul
disebabkan adanya kematian.
4. Faktor intelektual dimana faktor ini menyangkut proses pemikiran secara verbal
terutama dalam pembentukan keyakinan‐keyakinan agama.
Jalaluddin (2010) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
religiusitas seseorang antara lain:
1. Faktor internal yaitu faktor yang muncul dari dalam diri seseorang yang mendorong
seseorang untuk tunduk kepada Allah SWT.
2. Faktor eksternal yaitu faktor yang meliputi lingkungan masyarakat.Lingkungan
keluarga dimana keluarga adalah sebuah sistem kehidupan sosial terkecil dan merupakan
tempat seseorang anak pertama kali belajar mengenai berbagai hal salah satunya adalah
mengenai religiusitas.
Daradjat (1996) menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
religiusitas seseorang antara lain:
1. Pertentangan batin atau konflik batin dan ketegangan perasaan yaitu kondisi dimana
seseorang merasa tidak mampu menghadapi berbagai persoalan dalam hidup.
2. Pengaruh hubungan dengan tradisi agama meliputi pengalaman pendidikan dan
suasana keluarga, lembaga keagamaan.
3. Ajakan dan sugesti yaitu bantuan-bantuan moriil dan material yang dilakukan oleh
para pemimpin dan pemuka agama kepada seseorang yang mengalami kegelisahan dan
kesengsaraan dalam hidup.
4. Faktor-faktor emosi yaitu seseorang yang emosional akan dengan mudah menerima
nasehat ketika sedang mengalami persoalan.
5. Kemauan yaitu keinginan seseorang untuk bisa hidup lebih baik dan tidak menyerah
dengan keadaan yang mengecewakan.

Nilai

Nilai adalah alat yang menunjukkan alasan dasar bahwa "cara pelaksanaan atau keadaan
akhir tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir
yang berlawanan.[1] Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang
individu mengenai hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan.[1]
Pentingnya nilai

Secara umum, nilai memengaruhi sikap dan perilaku.[2]

Jenis-jenis nilai

Rokeach Value Survey

Milton Rokeach menciptakan Rokeach Value Survey.(RVS)[3] RVS terdiri atas dua kumpulan
nilai, dengan setiap kumpulan memuat 18 pokok nilai individual[3]. Satu kumpulan, yang
disebut nilai terminal, merujuk pada keadaan-keadaan akhir yang diinginkan[3]. Ini adalah
tujuan yang ingin dicapai seseorang selama hidupnya[3]. Kumpulan lainnya, disebut dengan
nilai instrumental, merujuk pada perilaku atau cara-cara yang lebih disukai untk mencapai
nilai terminal[3].

Kelompok kerja kontemporer

Beberapa analisis baru mengenai nilai kerja telah digabungkan ke dalam empat kelompok
yang berusaha mendapatkan nilai unik dari kelompok atau generasi yang berbeda-beda dalam
angkatan kerja Amerika Serikat.[4] Nilai memang mengalami perubahan dari generasi ke
generasi.[5]

Generasi Boomer adalah kelompok yang lahir setelah perang dunia II ketika para veteran
kembali ke keluarga mereka masing-masing dan zaman sudah membaik.[1] Boomers
memasuki angkatan kerja dari pertengahan tahun 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-
an.[1]

Nilai lintas kultur

Kerangka Hofstede untuk menilai kultur

Salah satu pendekatan yang paling banyak digunakan untuk menganalisis variasi kultur
dibuat pada akhir tahun 1970-an oleh Geert Hofstede.[6] Hofstede menemukan bahwa manajer
dan karyawan memiliki lima dimensi nilai kultur nasional yang berbeda-beda.[6]

Referensi
 ^ a b c d Robbins, Stephen P. Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat, 2007,
hal. 146-156.

 ^ Meglino dan Ravin. (Inggris)"Individual Value in Organizations," hal. 351-489.

 ^ a b c d e Rokeach, (Inggris)The Nature of Human Value, hal. 6

 ^ Zemke, R. (Inggris)Generation at Work, New York: AMACOM, 1999.hal. 1-10

 ^ Smola, K. W. (Inggris)"Generational Differences Revisiting Generational Work Values


for the New Millenium," Journal of Organizational Behavior, 2002, hal. 363-382.

 ^ a b Hofstede, G. (Inggris)"Culture Consequencies," Beverly Hills, CA: Sage, 1980, hal. 8


Sumber

Ancok, D., & Suroso, F. N. (1994). Psikologi islami solusi islam atas problem-problem
psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daradjat, Z. (1996). Ilmu jiwa agama. Jakarta: Bulan Bintang.
Fetzer Institute. (1999). Multidimensional measurement of religiousness, spiritually for use in
health research. National Institute On Aging Working Group. Kalamazoo: John. E Fetzer
Institute.
Glock, C. Y., & Stark, R. (1970). Religion and society in tension. San Francisco: Rand
McNally.
Jalaluddin. (2010). Psikologi agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kendler, K. S., Liu, X.-Q., Gardner, C. O., McCullough, M. E., Larson, D., & Prescott, C. A.
(2003, Maret). Dimension of religiosity and their relationship to lifetime psychiatric and
substance use disorders. Religiosity and Psychiatric Disorders , p. 498.
Sari, L. M. (2013). Tingkat religiusitas dengan kecemasan menghadapi menopause. Jurnal
Online Psikologi , 01 (02), 618-627.
Siswanto. (2007). Kesehatan mental konsep, cakupan dan perkembangannya. Yogyakarta:
ANDI Yogyakarta.
Thouless, H. (2000). Pengantar psikologi agama. Jakarta: Rajawali Press.
http://teorionline.net/teori-nilai-value/

Nilai (Value) Individu dan Organisasi

Oleh : Hendry ** (tulisan rintisan)

Abstract

Nilai dan teori nilai merupakan gabungan dari berbagai bidang keilmuan seperti filsafat,
etika, atau manajemen. Pendekatan pertama, dilakukan oleh M.J. Langeveld dalam tulisannya
“menuju pemikiran filsafat” tahun 1957. Langeveld membahas mengenai teori nilai dan etika
dalam Bab VII bukunya.

Nilai atau value didefinisikan sebagai alasan dasar bahwa “cara pelaksanaan atau keadaan
akhir tertentu lebih disukai secara pribadi atau sosial dibandingkan dengan cara pelaksanaan
atau keadaan akhir yang berlawanan (Rokeach, 1973, dalam Robbins, 2007).

Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seseorang individu mengenai
hal-hal yang benar, baik dan diinginkan. Nilai memiliki sifat isi dan intensitas. Sifat isi
menyampaikan bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir dari kehidupan adalah penting.
Sifat intensitas menjelaskan betapa pentingnya hal tersebut.

Definisi Nilai

Meglino dan Ravlin [1998] mendefinisikan nilai sebagai keyakinan tentang diinternalisasi
sesuai perilaku, ini dampak (antara lain) bagaimana seorang individu menafsirkan informasi.
para penulis melakukan kajian komprehensif dari literatur dan mengusulkan kerangka kerja
untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi ada nilai penelitian, menunjukkan sifat iteratif
nilai-nilai dan cara bahwa nilai-nilai dapat mempengaruhi baik persepsi dan perilaku.

Rokeach mendefinisikan konsep nilai sebagai “an enduring belief that a specific mode of
conduct or end-state of existence is personally or socially preferable …” (Rokeach, 1973, hal.
5).

Berdasarkan definisi ini, konsep nilai mencerminkan tiga karakteristik penting:


(1) itu adalah kognisi tentang apa yang diinginkan;
(2) itu afektif, dengan emosi yang terkait, dan
(3) memiliki komponen perilaku yang mengarah ke tindakan ketika diaktifkan (Rokeach,
1973, hlm 5-7).

Nilai menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan tertentu lebih disukai
secara pribadi atau social dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang
berlawanan (Rokeach, 1973:5). Nilai memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide
seseorang individu mengenai hal-hal benar, baik, dan diinginkan. Para peneliti bidang
perilaku organisasi sudah lama memasukkan konsep nilai sebagai dasar pemahaman sikap
dan motivasi individu. Individu yang memasuki suatu organisasi dengan pendapat yang telah
terbentuk sebelumnya tentang apa yang “seharusnya” dan apa yang “tidak seharusnya”
terjadi. Hal ini selanjutnya menimbulkan implikasi pada perilaku atau hasil-hasil tertentu
yang lebih disukai dari yang lain. Dengan kata lain, nilai menutupi objektivitas dan
rasionalitas (Robbins, 2007:148)
Nilai Individu

Smith dan Schwartz (1997) mendefinisikan nilai-nilai sebagai keyakinan yang mengacu pada
tujuan yang diinginkan, melampaui tindakan atau situasi tertentu, berfungsi sebagai standar
untuk memandu pemilihan atau evaluasi perilaku, orang dan peristiwa, dan diperintahkan
oleh kepentingan relatif untuk
satu sama lain.

Sikap telah didefinisikan sebagai organisasi yang relatif abadi keyakinan yang saling terkait
yang menjelaskan, mengevaluasi, dan tindakan advokasi terhadap suatu objek atau situasi
(Rokeach, 1968). Sikap kurang umum daripada sistem nilai. Sikap berada di sekitar obyek
sikap atau situasi predisposisi individu untuk merespon dalam beberapa cara preferensial.
Sementara Nilai, tidak terikat dengan benda sikap tertentu atau situasi, yang lebih mendasar
dari sikap dan sering mendasari sikap dan perilaku (Rokeach, 1968).

Nilai Organisasi

Nilai Lintas Kultur

Penelitian Tentang Nilai

Kesimpulan
https://www.facebook.com/nlpbusinesscoach/posts/232399736834908

Beliefs

Beliefs/keyakinan adalah salah satu dasar sebuah pencapaian. Adanya keyakinan mendorong
kita untuk bertindak untuk meraih hasil yang memuaskan. Saat hasil yang kita dapat
memuaskan dan berhasil maka hal itu akan membuat keyakinan kita semakin bertambah kuat.
Beliefs adalah segala sesuatu yang kita imani, kita percayai dan kita yakini. Yang positif
ataupun negatif bisa saja tertancap di beliefs system kita.
Contoh beliefs negatif:
o Tidak mungkin bisnis tanpa modal uang. Kami sering menjumpai orang yang katanya ingin
berbisnis atau membangun usaha namun mereka tidak mempunyai uang.
Ya tentu saja uang dibutuhkan dalam membangun usaha, tetapi tidak banyak contoh orang
yang membangun usaha tidak menggunakan uangnya sendiri, modalnya hanya ide dan
keahlian teknis.
Beliefs negative seperti contoh di atas sudah barang tentu akan mempengaruhi keputusan dan
tindakan kita.

o Hidup ini sangat kejam. Biasanya orang-orang yang beranggapan bahwa kehidupan ini
kejam justru akan sering menemukan kekejaman, diasingkan dari pertemanan, dikhianati oleh
mitranya, dinistakan orang, dihimpit oleh segudang permasalahan dan seolah Tuhan sudah
melupakannya.

Padahal jika beliefs itu diubah lebih positif menjadi hidup ini penuh tantangan maka akan jadi
lebih memberdayakan. Ketika dianggap tantangan ada kecenderungan kuat untuk melakukan
sesuatu terhadap tantangan yang ada. Ada optimisme dan itu akan membawa pengaruh pada
hidup seseorang.

Membangun Beliefs Yang Memberdayakan


Beliefs yang memberdayakan tentu saja beliefs positif atau memiliki dampak positif.
Pertanyaannya kemudian,
Bagaimana membangun beliefs positif dalam diri kita, padahal selama ini banyak beliefs
negatif?

Bagaimana caranya merubah beliefs negatif menjadi lebih positif sehingga bisa memberikan
daya guna dan manfaat yang positif pula dalam kehidupan kita?
Adapun trik sederhana untuk membongkar beliefs negatif dan menemukan beliefs yang lebih
positif dan memberdayakan antara lain:
1. Buatlah daftar beliefs negatif yang anda miliki saat ini sebanyak-banyaknya
2. Tentukan atau pilih salah satu beliefs yang anda prioritaskan untuk diubah
3. Cari tahu sumber yang mengatakan itu
4. Perjelas dasar alasannya sehingga anda benar-benar mendapatkan alasan yang menjadikan
hal itu layak untuk anda percayai
5. Apa untungnya jika memiliki beliefs tersebut
6. Jika tidak bermanfaat,keyakinan seperti apa yang harus dimiliki agar hidup menjadi lebih
berarti.

Dari daftar beliefs negative yang sudah ada dan setelah melakukan pengujian dan perubahan,
maka sekarang tulislah sebanyak-banyaknya daftar beliefs positif yang anda miliki.
Beiefs positif sangat kita perlukan karena sangat erat pencapaiannya dalam meraih
kesuksesan. Keyakinan akan mempengaruhi tindakan kita dan tindakan kita mempengaruhi
hasilnya. Semakin positif dan kuat keyakinan, maka kita semakin terdorong untuk bertindak.
Semakin positif tindakan kita maka resikonya kita akan mendapatkan hasil. Dan semakin
positif hasil yang bisa kita capai akan menebalkan keyakinan kita.

https://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

Budaya

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan
budi, dan akal manusia.

Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.

Definisi Budaya

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi.[1] Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.[1] Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya, dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.[1]

Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.[2]

Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang
dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-
nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas
keistimewaannya sendiri."Citra yang memaksa" itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam
berbagai budaya seperti "individualisme kasar" di Amerika, "keselarasan individu dengan
alam" di Jepang dan "kepatuhan kolektif" di Cina.

Citra budaya yang bersifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan


pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang
dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa
bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk
mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang
lain.

Pengertian Budaya

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan


Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah
untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.

Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai


sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual, dan artistik yang menjadi ciri khas
suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.

Menurut Selo Soemardjan, dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah
sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia


sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.

Unsur-Unsur

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan, antara lain sebagai berikut:

1. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:


o alat-alat teknologi
o sistem ekonomi
o keluarga
o kekuasaan politik
2. Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
o sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya
o organisasi ekonomi
o alat-alat, dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan
(keluarga adalah lembaga pendidikan utama)
o organisasi kekuatan (politik)
3. C. Kluckhohn mengemukakan ada 7 unsur kebudayaan secara universal (universal
categories of culture) yaitu:
o bahasa
o sistem pengetahuan
o sistem tekhnologi, dan peralatan
o sistem kesenian
o sistem mata pencarian hidup
o sistem religi
o sistem kekerabatan, dan organisasi kemasyarakatan

Wujud dan komponen

Wujud

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan
artefak.

 Gagasan (Wujud ideal)


Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak;
tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala
atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan
gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu
berada dalam karangan, dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat
tersebut.
 Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem
sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan
kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dan dapat diamati, dan didokumentasikan.
 Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan,
dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang
dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga
wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud
kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain.
Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur, dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Sedangkan menurut Koentjaraningrat, wujud kebudayaan dibagi menjadi nilai budaya,


sistem budaya, sistem sosial, dan kebudayaan fisik.
 Nilai-nilai Budaya
Istilah ini, merujuk kepada penyebutan unsur-unsur kebudayaan yang merupakan
pusat dari semua unsur yang lain. Nilai-nilai kebudayaan yaitu gagasan-gagasan yang
telah dipelajari oleh warga sejak usia dini, sehingga sukar diubah. Gagasan inilah
yang kemudian menghasilkan berbagai benda yang diciptakan oleh manusia
berdasarkan nilai-nilai, pikiran, dan tingkahlakunya.
 Sistem Budaya
Dalam wujud ini, kebudayaan bersifat abstrak sehingga hanya dapat diketahui dan
dipahami. kebudayaan dalam wujud ini juga berpola dan berdasarkan sistem-sistem
tertentu.
 Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan pola-pola tingkah laku manusia yang menggambarkan
wujud tingkah laku manusia yang dilakukan berdasarkan sistem. Kebudayaan dalam
wujud ini bersifat konkret sehingga dapat diabadikan.
 Kebudayaan Fisik
Kebudayaan fisik ini merupakan wujud terbesar dan juga bersifat konkret. Misalnya
bangunan megah seperti candi Borobudur, benda-benda bergerak seperti kapal tangki,
komputer, piring, gelas, kancing baju, dan lain-lain

Komponen

Berdasarkan wujudnya tersebut, Budaya memiliki beberapa elemen atau komponen, menurut
ahli antropologi Cateora, yaitu :

 Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.
Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari
suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya.
Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang,
stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
 Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi
ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.
 Lembaga sosial
Lembaga sosial, dan pendidikan memberikan peran yang banyak dalam kontek
berhubungan, dan berkomunikasi di alam masyarakat. Sistem sosial yang terbentuk
dalam suatu Negara akan menjadi dasar, dan konsep yang berlaku pada tatanan sosial
masyarakat. Contoh Di Indonesia pada kota, dan desa dibeberapa wilayah, wanita
tidak perlu sekolah yang tinggi apalagi bekerja pada satu instansi atau perusahaan.
Tetapi di kota – kota besar hal tersebut terbalik, wajar seorang wanita memilik karier
 Sistem kepercayaan
Bagaimana masyarakat mengembangkan, dan membangun system kepercayaan atau
keyakinan terhadap sesuatu, hal ini akan mempengaruhi system penilaian yang ada
dalam masyarakat. Sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan,
bagaimana memandang hidup, dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai
dengan cara bagaimana berkomunikasi.
 Estetika
Berhubungan dengan seni, dan kesenian, music, cerita, dongeng, hikayat, drama, dan
tari –tarian, yang berlaku, dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia
setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami
dalam segala peran, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan, dan
efektif. Misalkan di beberapa wilayah, dan bersifat kedaerah, setiap akan membangu
bagunan jenis apa saj harus meletakan janur kuning, dan buah – buahan, sebagai
symbol yang arti disetiap derah berbeda. Tetapi di kota besar seperti Jakarta jarang
mungkin tidak terlihat masyarakatnya menggunakan cara tersebut.
 Bahasa
Bahasa merupakan alat pengantar dalam berkomunikasi, bahasa untuk setiap walayah,
bagian, dan Negara memiliki perbedaan yang sangat komplek. Dalam ilmu
komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa
memiliki sidat unik, dan komplek, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna
bahasa tersebu. Jadi keunikan, dan kekomplekan bahasa ini harus dipelajari, dan
dipahami agar komunikasi lebih baik, dan efektif dengan memperoleh nilai empati,
dan simpati dari orang lain.

Anda mungkin juga menyukai