PUJI ASTUTI
0906504921
Oleh:
PUJI ASTUTI
0906504921
NPM : 0906504921
Tanda Tangan :
iii
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas karuniahNya
sehingga penulisan dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir ini dengan judul
“Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan
Gangguan Sistem Persarafan dengan Penerapan Teori Adaptasi Roy di Rumah
Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta”. Penulisan karya ilmiah ini merupakan
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal
Bedah pada Program Ners Spesialis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia.
vi
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 11 Juli 2011
Yang Menyatakan
Puji Astuti
vii
Puji Astuti
Juli 2012
ABSTRAK
Karya Ilmiah ini mengambarkan kegiatan praktik ners spesialis dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system
persarafan dengan kasus utama pada pasien dengan stroke hemoragik. Pada
praktik ini residen juga menerapkan evidence based nursing practice berupa
masase abdomen pada klien stroke dengan konstipasi sehingga memperbaiki
kondisi konstipasi dan frekuensi buang air besar serta menerapkan inovasi
pengkajian menggunakan indek barthel untuk mengukur kemampuan fungsional
paisen dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari.
Puji Astuti
Juli 2012
ABSTRACT
The purpose of this final scientific report is to describe advance clinical practice
activities in providing nursing care on patient with neurological system disorder
with haemoragic stroke as the majority case. In this residency clinical practice, we
tried to implement evidence based nursing practice on abdominal massage of
stroke client who experience constipation. This intervention can decrease
constipation and improve defecation, and the innovation activity was on the use of
Barthel index assessment to assess patient’s functional status in performing their
daily activities.
Hal
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi
DAFTAR SKEMA .......................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiii
Hal
Tabel 2.1 Skala Hunt ..................................................................................... 19
Tabel 2.2 Asumsi yang mendasari teori adaptasi Sister Calista Roy ............ 23
Tabel 2.3 Rencana Keperawatan Stroke hemoragik dengan Pendekatan Model
Adaptasi Roy ................................................................................. 38
xi
Hal
Skema 2.1 Model Sistem Adaptasi Manusia berdasar Roy Adaptation
Model ............................................................................................ 25
xii
xiii
Perawatan dapat diberikan kepada klien menggunakan pelayanan yang sesuai dengan
kriteria dalam standar keperawatan dan mengikuti kode etik (American Nurse
Association, ANA, 2004). ANA mendefinisikan keperawatan sebagai “Perlindungan,
promosi, optimalisasi kesehatan dan kemampuan, pencegahan penyakit dan cedera,
pengentasan penderitaan melalui diagnosis dan pengobatan respon manusia, dan
advokasi dalam perawatan individu, keluarga, masyarakat, dan populasi” (ANA,
2003). Definisi tersebut menegaskan bahwa perawat sangat berperan dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di dunia.
1 Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
2
beradaptasi terhadap perubahan kebutuhan psikologis, konsep diri, aturan- aturan yang
berlaku dan hubungan bebas pada saat sehat dan sakit (Tomey & Alligood, 2006).
Roy juga menyatakan pelayanan keperawatan dibutuhkan saat klien tidak dapat
beradaptasi dengan tekanan dari lingkungan internal dan eksternal. Setiap perubahan
lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan respon system adaptasi
merupakan suatu stimulus (Tomey & Alligood, 2006). Konsep model adaptasi Roy
merupakan proses keperawatan yang meliputi 6 langkah yang dilakukan secara
serentak, terus menerus dan dinamis yang terdiri dari pengkajian perilaku, pengkajian
stimulus, diagnose keperawatan, tujuan, intervensi dan evaluasi (Roy & Andrews,
1999). Tujuan keperawatan dalam model adaptasi Roy adalah untuk mempromosikan
adaptasi melalui tiap tahap tersebut dengan 4 macam mode adaptasi yaitu mode
adaptasi: fisiologik, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
Adapun klien yang mendapatkan perawatan dirumah sakit dengan berbagai kondisi
kesakitan, salah satunya adalah klien dengan gangguan system neurologi. angka
kesakitan pada system ini menunjukkan peningkatan tiap tahun seiring bertambahnya
usia harapan hidup. Salah satu penyakit neurologi yang menjadi perhatian adalah
stroke. Penyakit Stroke di Amerika menduduki peringkat nomor tiga sebagai penyebab
kematian pasien. Prevalensi stroke pada usia diatas 20 tahun diperkirakan mencapai
6.5 juta pasien pertahun (Lloyd et al, 2009).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
3
Dari keseluruhan kasus stroke jenis iskemia diperkirakan mencapai 80%, sedangkan
jenis hemoragik hanya 20 %, namun beberapa referensi menunjukkan perbandingan ini
berbeda pada tiap ras. Kejadian stroke hemoragik pada populasi orang asia dan orang
kulit hitam mencapai 30%- 40 % dari seluruh kasus stroke dari angka tersebut
diperkirakan 75 % adalah perdarahan intraserebral (PIS) dan 25 % adalah perdarahan
subarachnoid (SAH). Dalam beberapa riset kejadian PIS adalah 12 – 15 kasus tiap
100.000 populasi tiap tahun. Sementara data di Amerika menunjukkan kejadian PSA
sekitar 10 kasus per 100.000 populasi (Wahjoepramono, 2005).
Sementara data dari Riskesdas 2007 juga menunjukkan tren peningkatan penyakit
neuro-degeneratif dan metabolik seperti demensia, gangguan fungsi eksekutif,
keseimbangan, koordinasi, rasa tidak nyaman fungsi sensorik pada ektrimitas. Masalah
neurologi lain yang juga cukup memprihatinkan adalah semakin tingginya angka
kejadian trauma kepala dan tulang belakang akibat kecelakaan lalu lintas. Angka
kejadian cidera kepala dan tulang belakang mencapai 7,5% dari total populasi.
Demikian juga kasus neuro-infeksi pada otak dan persarafannya seperti
meningitis/meningoensefalitis tuberculosis, bakteri non spesifik, jamur dan juga
bertambahnya insiden ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan manifestasi awal dan
lanjut pada otak dan saraf. Selain itu tumor otak dan medula spinalis juga
memperlihatkan kecenderungan peningkatan (Pusat Komunikasi Publik Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI, 2011). Seiring dengan meningkatnya angka
kejadian tersebut, maka dampak penyakit tersebut juga mengikutinya terutama kasus
yang menduduki peringkat utama yaitu stroke.
Dampak penderita stroke dapat berupa disabilitas atau kecacatan, Disabilitas pada
penderita stroke di Amerika terjadi berkepanjangan : diperkirakan 50 juta penderita
diseluruh dunia mengalami deficit fisik, kognitif dan emosional yang bermakna. Dan
terdapat 25% sampai dengan 74% penderita tersebut mengalami ketergantungan total
dan membutuhkan beberapa bantuan perawat untuk aktivitas sehari-hari (activities of
daily living, ADL) (Gladstone, Danells, & Black, 2002). Dengan bertambah
meningkatnya angka kejadian stroke beserta dampak disabilitas, hal ini menjadi
tantangan perawat dalam menerapkan managemen stroke dengan baik melalui
pemberian pelayanan keperawatan yang berkualitas.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
4
Managemen stroke hemoragik pada prinsipnya ditujukan mengurangi efek massa dan
mencegah penambahan volume perdarahan atau perdarahan ulang (Wahjoepramono,
2005). Pada fase akut akibat perdarahan intraserebral beberapa hal yang menjadi
perhatian adalah terjaganya jalan nafas, pengendalian tekanan darah, dan adekwatnya
perfusi serebral, beberapa pengobatan dilakukan pada fase ini. Berikutnya pada
beberapa kasus adalah penatalaksanaan pada peningkatan tekanan intracranial dan
tindakan operasi untuk mengurangi efek massa serta efek bekuan darah. Selanjutnya
pada fase pemulihan dan rehabilitasi dapat dimulai beberapa minggu setelah serangan
sampai beberapa bulan setelah serangan. Rehabilitasi harus mencakup pendidikan bagi
pasien dan pengasuhnya tentang pencegahan stroke sekunder dan sarana untuk
mencapai tujuan rehabilitasi. Program rehabilitasi harus mempertimbangkan
perubahan gaya hidup, depresi, dan beban pengasuh sebagai isu penting untuk bekerja
dengan pasien dan pengasuhnya (Morgenstern et al, 2010).
Sementara itu kualitas perawatan dapat ditingkatkan salah satunya melalui peran
perawat spesialis demikian juga pengembangan staf dan praktek profesional yang
evidenced-based outcomes pada pasien, unit perawatan, dan tingkat organisasi. Pada
saat ini peran perawat spesialis sangat penting untuk menjamin penyediaan kualitas
perawatan pasien. Sebagai anggota dari tim kepemimpinan, perawat spesialis dapat
secara langsung mempengaruhi perawatan pasien dengan merespon setiap kebutuhan
pasien, dokter pemula, dan praktisioner ahli (LaSala et al, 2007).
Pada praktik pendidikan spesialis ini, penulis adalah peserta didik dalam program
pendidikan perawat spesialis. Penulis berperan sebagai perawat spesialis dimana
penulis memiliki kesempatan yang unik untuk mempengaruhi hasil perawatan pasien
secara positif, kontinuitas perawatan, dan pengembangan profesional staf melalui
perannya sebagai model, educator, inovator, pelatih, dan pemberi perawatan secara
langsung. Penulis juga meningkatkan perasaan untuk melaksanakan penyelidikan
klinis dan pemikiran kritis melalui penelitian dengan menerapkan praktik berbasis
bukti (evidence base nursing practice).
Penerapan evidence base nursing practice (EBN) yang dilakukan oleh penulis adalah
masase abdomen untuk mengatasi konstipasi pada pasien stroke. Pada beberapa
penelitian metode ini dapat diterima karena beberapa alasan yaitu tidak membutuhkan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
5
perawatan lama, dan kemungkinan merupakan terapi yang diinginkan karena tidak
mahal, non invasive, bebas dari efek samping yang membahayakan, dan dapat
dilakukan oleh pasien sendiri (Sinclair, 2010). Efek masase abdomen menurut Liu et
al (2005), yaitu dapat mendorong pemuatan rektum, dengan meningkatkan tekanan
intra abdomen. Dalam beberapa kasus neurologis, masase abdomen dapat
memproduksi gelombang rektum yang menstimulasi reflek somato-autonomic dan
sensasi buang air besar. Penerapan EBN dilakukan oleh penulis selama 7 minggu pada
12 orang klien dengan stroke menunjukkan hasil masase abdomen secara signifikan
memperbaiki kondisi konstipasi dan frekuensi buang air besar.
Penulis berperan sebagai pemberi keperawatan langsung yaitu penulis telah melakukan
praktek keperawatan selama 1 tahun dan pada periode tersebut penulis telah
melaksanakan asuhan keperawatan pada 33 pasien dengan gangguan neurologis, dan
lebih memfokuskan melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan stroke
hemoragik. Peran penulis yang lain dalam praktek perawat spesialis adalah sebagai
inovator. Inovasi yang dilakukan adalah pelaksanaan pengkajian ADL menggunakan
Barthel Index. Barthel Index merupakan salah satu alat ukur untuk menilai
kemampuan fungsional pasien. Barthel Index ini juga merupakan instrumen untuk
mendapatkan data ADL pasien yang terdiri dari kemampuan buang air besar, buang air
kecil, merawat diri, penggunaan toilet, makan, berpindah, mobilitas, berpakaian,
menggunakan tangga dan mandi. Data dari kemampuan pasien akan kegiatan tersebut
menjadi dasar dalam menegakkan diagnosa keperawatan. Berdasarkan data tersebut
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi status fungsional pasien setelah melalui
proses asuhan keperawatan diruang neurologi lantaiVI ruang teratai RSUP Fatmawati
Jakarta.
Laporan analisis praktik ini merupakan tugas akhir dalam melaksanakan pendidikan
perawat spesialis. Laporan analisis praktek keperawatan ini menggambarkan
pengalaman praktek perawat spesialis selama 1 tahun praktik dengan menerapkan
model konsep dan teori adaptasi Roy dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan neurologi khususnya pasien stroke hemoragik, serta
menjalankan peran sebagai pendidik, peneliti dan inovator.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
6
1.1.Tujuan Penulisan
1.1.1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran yang menyeluruh terhadap pengalaman praktek pendidikan ners
spesialis dan penerapan model konsep dan teori adaptasi Roy dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan neurologi terutama klien stroke hemoragik di
ruang perawatan neurologi lantaiVI teratai RSUP Fatmawati Jakarta.
1.2.Manfaat
Laporan analisis praktek ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada beberapa pihak
terkait antara lain :
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
7
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
8
BAB 2
TINJAUAN TEORI
Tinjauan teori dalam bab 2 ini akan menjabarkan konsep stroke khususnya stroke
hemoragik, asuhan keperawatan dengan pendekatan model adaptasi Roy dan
aplikasi asuhan keperawatan pasien menggunakan model adaptasi Roy pada klien
stroke hemoragik.
2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke atau penyakit serebrovaskuler yang mengacu pada gangguan neurologic
yang mendadak dan terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah yang
melalui system suplai arteri otak (Price & Wilson, 2006). Sedangkan Warlow et al,
(2007) mendefinisikan stroke adalah sindrom yang memberikan tanda dengan
gejala dan atau tanda klinis yang berkembang dengan cepat berupa gangguan
fungsional otak fokal maupun global yang terjadi lebih dari 24 jam (kecuali ada
tindakan bedah atau kematian) yang disebabkan oleh vaskuler dan bukan penyebab
lain. Definisi ini meliputi stroke akibat infark otak (stroke iskemik), perdarahan
intraserebral (PIS) non traumatic, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus
perdarahan subarachnoid (PSA). Wahjoepramono (2005) menjelaskan bahwa
stroke adalah terminologi klinis untuk gangguan sirkulasi darah non traumatic yang
terjadi secara tiba-tiba pada suatu area fokal di otak, sehingga mengakibatkan
keadaan iskemia dan gangguan fungsi neurologic fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam, dan atau langsung menyebabkan kematian.
8 Universitas Indonesia
sampai 64 tahun, dan 1.50 pada usia 65 tahun sampai dengan 74 tahun, serta 1.07
pada usia 75 sampai 84 tahun, serta 0.76 pada usia 85 tahun (Lloyd, 2009). Dari
keseluruhan stroke tersebut 87% adalah stroke ischemic dan sisanya adalah PIS dan
PSA.
Universitas Indonesia
tingkat fatalitas setelah stroke iskemik tidak berbeda antara klien dengan dan
tanpa diabetes (Kissela et al, 2005)
e. Penyakit Atrial Fibrilasi (AF)
Menurut Hajat et al (2001) dalam penelitiannya AF berhubungan dengan semua
infark non lakunar, sirkulasi anterior posterior, dan sirkulasi anterior parsial.
Sementara Gage et al (2004, dalam Gofir, 2009) dalam penelitiannya
mengungkapkan AF adalah gangguan irama jantung yang menyerang pada
kebanyakan pria dewasa, AF ditemukan 1-1,5% populasi dinegara-negara barat.
Kejadian AF meningkat dengan bertambahnya umur, ditemukan 1% pada usia
< 60 tahun, tetapi kurang lebih 10% pada usia > 80 tahun. Risiko stroke atau
emboli meningkat 5 kali lipat pada klien AF dibandingkan non AF.
f. Merokok
Resiko relatif (RR) stroke pada perokok berat (lebih dari 40 batang sehari)
adalah dua kali lipat dari perokok ringan (kurang dari 10 batang per hari).
Risiko stroke menurun secara signifikan 2 tahun setelah berhenti merokok dan
pada tingkat bukan perokok sebesar 5 tahun ( Wolf et al,1988). Faktor resiko
stroke meningkat menjadi 22 kali lebih besar daripada rata- rata adalah pada
wanita perokok berusia lebih dari 30 tahun dengan kontrasepsi oral dengan
kandungan estrogen tinggi (http://www.stroke.org dalam Price & Wilson, 2006)
g. Hipertensi
Menurut Harmsen (2006, dalam Gofir, 2009) tekanan darah tinggi memiliki
hubungan yang independen dengan risiko stroke
h. Obesitas
Menurut Harmsen (2006, dalam Gofir, 2009) peningkatan BMI (body mass
index) memprediksi stroke. Pada penelitian United States Physician Health
Study mendapatkan subject dengan BMI lebih dari 27.8 kg/m2 secara
signifikan memiliki risiko stroke iskemik dan hemoragik yang lebih besar
(Kurth et al, 2001)
i. Aktivitas fisik
Hubungan antara jenis kegiatan fisik dan risiko stroke telah diteliti dalam
beberapa penelitian. Sebuah kohort study aktivitas berjalan dan partisipasi
olahraga pada 73265 pria dan wanita di Jepang, risiko kematian stroke di
Universitas Indonesia
kategori tertinggi pada aktivitas jalan dan partisipasi olahraga adalah berkurang
29% dan 20% untuk masing-masing (Noda, 2005).
Prosentase kejadian stroke hemoragik adalah 15 – 20% dari semua kasus stroke.
Pada keadaan non traumatic stroke hemoragik terbagi dalam 2 katagori (Price &
Wilson, 2006; Wahjoepramono, 2005; Mumenthaler & Mattle, 2006).
a. Perdarahan intraserebrum (PIS) adalah adanya ekstravasai darah kedalam
jaringan parenkim yang disebabkan rupture arteri perforantes dalam
(Wahjoepramono, 2005). PIS sebagian besar disebabkan oleh hipertensi, selain
itu PIS juga bisa disebabkan oleh diskrasia darah, malformasi vaskuler serebral,
tumor otak, kebiasaan merokok, penyalahgunaan obat, dan konsumsi alkohol
(Price & Wilson, 2006; Wahjoepramono, 2005). Menurut Hankey & Less
(2001) faktor penyebab stroke dapat dibagi dalam tiga katagori yaitu faktor
anatomik, faktor hemostatik, dan faktor hemodinamik.(1) Faktor anatomik
berhubungan dengan penyakit arterial, sebagai contoh : malformasi arteriovena,
aneurisma, amiloid angiopati, diseksi arteri, dan lain-lain. (2) Faktor hemostatik
berhubungan dengan diatesa perdarahan, seperti: pemakaian antikoagulan
(terutama pada pasien berusia lanjut), leukimia, pengobatan trombolitik, DIC
(disseminated intravascular coagulation), dan sebagainya. (3) Faktor
hemodinamik berhubungan dengan kenaikan tekanan darah seperti : Hipertensi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
interna akan terdorong kearah medial ataupun berada dilokasi hematom tersebut.
Secara umum perdarahan cabang arteri striata ini menimbulkan PIS di putamen
lateral posterior, karena arteri ini mengalirkan darah ke putamen, kapsula interna,
dan bagian proksimal nucleus kaudatus.
Perdarahan pada putamen dan claustra akan meluas ke area sekitarnya, meluas ke
medial yaitu kedalam kapsula interna dan ventrikel lateral, ke area superior yaitu
corona radiata, dan ke lateral inferior yaitu substansia alba lobus temporal.
Perdarahan akan menimbulkan gejala yang berbeda tergantung dari lokasi awal
perdarahan, daerah perluasan dan ada tidaknya peningkatan tekanan intracranial
(PTIK).
Akumulasi local darah ini akan merusak parenkim secara lokal, menempati dan
memotong struktur nervus disekitarnya. Setelah perdarahan berhenti dan hematom
membentuk suatu bekuan maka tidak tampak perubahan secara histopatologis,
sampai proses perbaikan kurang lebih 3 minggu setelah onset. Makrofag yang
mengandung hemosiderin akan tampak yang menjadi penanda mulainya proses
penghilangan bekuan, dimana proses ini berjalan perlahan dari perifer ke sentral
hematom. Proses fagositosis ini terjadi beberapa bulan lalu sisa area hematom
menjadi kavitas yang kolaps, mendatar, dan mempunyai garis merah jingga yang
berasal dari akumulasi makrofag yang mengandung hemosiderin (Wahjoepramono,
2005).
Perdarahan bisa juga disebabkan oleh infark serebrum (akibat embolus), alasannya
apabila embolus dibersihkan dari arteri maka dinding pembuluh darah setelah
tempat oklusi akan mengalami perlemahan dalam beberapa hari pertama setelah
oklusi, sehingga dapat terjadi kebocoran dari dinding pembuluh darah tersebut.
Terkait dengan hal ini pengendalian hipertensi diperlukan pada minggu- minggu
pertama setelah stroke emboli, guna mencegah kerusakan lebih lanjut, namun perlu
diingat bahwa penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan
berkurangnya perfusi dan meluasnya iskemik (Price & Wilson, 2006).
Universitas Indonesia
Pada kasus pemakaian kokain yang menjadi kausa PIS pada stroke hemoragik,
hubungan pasti antara kokain dengan PIS masih kontroversial, walaupun diketahui
peningkatan aktivitas saraf simpatis dapat dipicu oleh penggunaan kokain.
Peningkatan aktivitas saraf simpatis ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah secara mendadak. Perdarahan dapat terjadi pada pembuluh darah
intraserebrum atau subarachnoid pada kasus terakhir biasanya terdapat aneurisma
(Price & Wilson, 2006).
Mekanisme PSA tidak berbeda dengan PIS, hanya lokasi ekstravasasi perdarahan
meliputi ruang subaraknoid. Karena rupture aneurisma menjadi penyebab tersering
maka dapat dijelaskan sebagai berikut. Mayoritas aneurisma intracranial yang
ditemukan sekitar 80 – 85% berada di sirkulasi anterior, dengan lokasi paling
sering pada persambungan arteri karotis interna dengan arteri komunikan posterior,
kompleks arteri komunikan anterior atau di trifurkasio arteri serebralis medialis.
Sedangkan pada sirkulasi posterior, aneurisma sering terdapat pada bifurkasio
arteri basilaris atau dipersambungan antara arteri vertebralis dan arteri serebral
posterior inferior ipsilateral (Wahjoepramono, 2005)
Universitas Indonesia
mengalami deficit neurologic fokal), namun ada tanda yang spesifik pada
perdarahan intracranial yaitu :
a. Nyeri kepala tiba- tiba yang sering disertai muntah- muntah.
b. Secara cepat terjadi deficit neurologic (dimana tipenya tergantung lokasi
perdarahan)
c. Penurunan kesadaran progresif yang mungkin menuju koma.
d. Terjadi serangan epilepsy pada beberapa pasien.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
kaku pada leher dan bahu, tinnitus serta hiccup. Kehilangan kesadaran
secara total saat onset jarang terjadi, namun perburukan segera terjadi
dalam 1-3 jam seperti halnya PIS jenis lain. Beberapa analisa menunjukkan
trias karakteristik perdarahan ini adalah ataksia apendikular, ipsilateral gaze
palsy dan kelumpuhan nervus fasialis perifer. Gejala lain adalah adalah
deviasi asimetris ocular, hemiplegic kontralateral, pupil mata biasanya kecil
dan reaktif terhadap cahaya, serta terjadinya disartria pada 2/3 kasus.
f. Perdarahan pada mesenfalon menunjukkan gejala ataksia dan oftamoplegia,
hidrosefalus dapat terjadi akibat blockade atau distensi pada akuaduktus
atau ventrikel 3. Diatesa perdarahan juga dapat menimbulkan perdarahan
pada otak tengah yang terisolir, seperti yang dilaporkan pada pasien
leukemia yang tiba- tiba mengalami kelumpuhan nervus okulomotorius dan
tremor kontralateral. Beberapa kasus melaporkan gejala berupa
kelumpuhan nervus III, kelemahan bulbar, reflex ekstensor plantar, sakit
kepala yang menyeluruh, muntah, hemiparese, ataxia serebral,
hemihipostesia kontralateral, diplopia, kelumpuhan nervus VI dan pupil
pinpoint.
g. Perdarahan pada pons biasanya fatal walaupun kematian tidak terjadi
mendadak saat kejadian, kematian biasanya terjadi 24 – 48 jam pertama.
Evaluasi oleh Steegman (1951) didapatkan hasil bahwa pasien tidak
mengalami kematian secara cepat dan tidak ada yang meninggal kurang
dari 22 jam. Gejalanya adalah pupil pinpoint, paralisis bulbar, terdapat
aktivitas irregular motorik pada ekstremitas yang diistilahkan “shaking,
twisting dan trembling” yang bukan cerminan konvulsi epileptiform.
Selain itu terjadi abnormalitas pola pernafasan, berupa pernafasan berat,
lambat, gasping dengan frekuensi yang irregular. Gejala lain adalah sakit
kepala hebat, beberapa menit sebelum koma, vomitus prominen dan kejang.
Episode spasmodic deserebrasi dan terkadang disertai menggigil hebat
dengan hipertermi (yang sebagian mencapai 39°C, namun dapat pula 42°-
43° C pada fase terminal).
h. Perdarahan pada medulla oblongata menunjukkan gejala rasa pening,
muntah, sakit kepala, diplopia, dan parestesia tungkai atas kanan. Pada
Universitas Indonesia
umumnya menjadi somnolen dalam waktu singkat dan ataksik disertai kaku
kuduk, hemiparesis kiri, nistagmus, disfonia dan disfagia.
Universitas Indonesia
Tabel 2.1. Skala Hunt dan Hess untuk penentuan derajat PSA
Derajat Status neurologik
I Asimptomatik, atau nyeri kepala minimal dan kaku kuduk ringan
II Nyeri kepala sedang sampai parah, kaku kuduk, tidak ada deficit neurologic,
kecuali kelumpuhan nervus kranialis
III Mengantuk, deficit neurologic minimal
IV Stupor, hemiparesis sedang sampai berat, mungkin rigiditas, deseberasi dini
dan gangguan vegetative.
V Koma dalam, rigiditas deseberasi, penampakan parah
Sumber : Hunt WE,Hess RM (1968, dalam Price & Wilson, 2006).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(inti atom H) di dalam lapangan magnet yang kuat. Teknik MRI yang terbaru
mampu menggambarkan anatomi secara rinci, membedakan iskemik dan infark
serebral, menyingkirkan perdarahan intracranial, dan menginformasikan
angiografi, spektroskopi, dan perfusi dari pembuluh darah serebral. Kekurangan
alat ini : memakan waktu lebih lama sehingga tidak sesuai untuk kasus akut,
tidak dapat dilakukan pada pasien dengan pace maker, atau yang memakai
implant berbahan metal dan prothese.
d. Cerebral Angiography; merupakan baku emas pemeriksaan serebrovaskuler.
berguna untuk mengevaluasi aneurisma dan malformasi arteriovenosa.
Visualisasi arteri pada sirkulasi serebral didapatkan dengan menyuntikan
kontras langsung kedalam arkus aorta atau secara selektif kedalam arteri
karotid dan vertebra. Namun dengan berkembangnya CTA (CT Angiografi)
dan MRA, pemeriksaan ini jarang digunakan untuk tujuan diagnostic tetapi
untuk intervensi. Magnetic Resonance Angiografy (MRA) dapat membuat
pemetaan struktur anatomis berdasarkan rekaman radiofrekuensi dari proton
yang ada pada aliran darah (jaringan yang bergerak) dan proton pada jaringan
sekitarnya yang bersifat statis. MRA telah menggantikan peran angiografy
kontras pada beberapa situasi. Saat ini dikenal DSA (digitalsubtraction
angiography) keuntungan alat ini dapat menggunakan kontras dengan dosis
yang lebih kecil, karena dapat menggunakan kateter yang lebih kecil.
e. Transcranial Doppler (TCD); TCD adalah pemeriksaan standar untuk stroke,
terutama jika dipertimbangkan untuk dilakukan Carotidendarterectomy (CEE).
TCD digunakan untuk mendeteksi stenosis intrakranial, evaluasi pembuluh
darah karotis dan vertebrobasilar, mengkaji pola dan luasnya sirkulasi kolateral
pada pasien yang diketahui mengalami stenosis atau oklusi arteri, dan
mendeteksi adanya mikroemboli.
f. Ultrasonography (USG) dapat mengevaluasi arteri karotis pars servikalis dan
arteri vertebralis; pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya stenosis karotis.
g. Electrocardiogram (ECG); digunakan untuk mendeteksi adanya infark miokard
atau aritmia yaitu atrial fibrilasi yang sering mengakibatkan stroke iskemik
akibat emboli yang ditimbulkannya
Universitas Indonesia
h. Pungsi lumbal pada stroke hemoragik karena PIS dan PSA akan diperoleh
gambaran cairan serebro spinalis berwarna xantrochrom dan mengandung sel
darah merah.
2.1.4. Penatalaksanaan
Managemen stroke hemoragik pada prinsipnya ditujukan mengurangi efek massa
dan mencegah penambahan volume perdarahan atau perdarahan ulang
(Wahjoepramono, 2005). Pada fase akut akibat perdarahan intraserebral beberapa
hal yang menjadi perhatian adalah terjaganya jalan nafas, pengendalian tekanan
darah, dan adekwatnya perfusi serebral, beberapa pengobatan dilakukan pada fase
ini. Menurut Mumenthaler dan Mattle (2006) pengobatan dan prognosis pasien
penderita perdarahan intraserebral akut memerlukan pengamatan klinis ketat;
khususnya tanda-tanda hipertensi intrakranial (Muntah, gangguan kesadaran
progresif dan kadang-kadang anisokor dan papil edema) harus waspada mengamati
hipertensi intrakranial karena dapat disebabkan oleh perdarahan berulang, progresif
edema otak, dalam kedua kasus, harus segera terdeteksi dan diobati. Selain itu,
stabilisasi fungsi vital dan pengobatan serangan epilepsi, jika ada. Berikutnya pada
beberapa kasus adalah dibutuhkan tindakan operasi untuk mengurangi efek massa
serta efek bekuan darah.
Selanjutnya pada fase pemulihan dan rehabilitasi dapat dimulai beberapa minggu
setelah serangan sampai beberapa bulan setelah serangan. Rehabilitasi harus
mencakup pendidikan bagi pasien dan pengasuhnya tentang pencegahan stroke
sekunder dan sarana untuk mencapai tujuan rehabilitasi. Program rehabilitasi harus
mempertimbangkan perubahan gaya hidup, depresi, dan beban pengasuh sebagai
isu penting untuk bekerja dengan pasien dan pengasuhnya (Morgenstern LB,
2010).
Universitas Indonesia
Roy. Beliau lahir di Los Angeles pada tanggal 14 Oktober 1939, beliau adalah
seorang profesor keperawatan dari Saint Josept of Corondelet, dan mulai
memperkenalkan teori adaptasi keperawatan pada tahun 1960, saat beliau
menempuh pendidikan master di universitas California Los Angeles (Clarke,
2011). Roy mengembangkan ilmu dan filosofisnya melalui tiga pendekatan
(pendekatan system, adaptasi dan humanism). Asumsi ilmiahnya diawali dengan
merefleksikan teori Von Bertalanffy (1968) tentang teori system secara umum.
Dalam rangka membangun pengertian konsepnya Roy mengkombinasikan dengan
teori tingkat adaptasi Helson (1964) dan kemudian termasuk kesatuan dan
kebermaknaan dari penciptaan alam semesta. Asumsi filosofi pada model tersebut
adalah berdasarkan identitas aslinya yang dikaitkan dengan humanism veritivity.
Menurut Helson (1964) manusia adalah system adaptasi yang mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi dan membuat suatu perubahan pada lingkungannya.
Teori adaptasi Sister Callista Roy (Roy, 1980, 1989, Roy dan Obloy, 1979)
menerangkan klien sebagai suatu system adaptasi. Roy menggambarkan manusia
dalam istilah system adaptasi holistic. Dari perspektif disiplin keperawatan
manusia adalah focus dari aktivitas perawat (Roy & Andrews, 1999). Tujuan
keperawatan menurut Roy adalah membantu individu beradaptasi terhadap
perubahan kebutuhan psikologis, konsep diri, aturan- aturan yang berlaku dan
hubungan bebas pada saat sehat dan sakit (Tomey & Alligood, 2006)
Tabel 2.2 Asumsi yang mendasari Teori adaptasi Sister Callista Roy
Asumsi ilmiah
Teori system teori tingkat adaptasi
Holistime perilaku adaptif
Interdependensi adaptasi sebagai fungsi stimuli dan tingkat adaptasi
Proses control individual, tingkat adaptasi yang dinamis
Umpan balik informasi proses respon positif dan aktif
Kompleksitas system kehidupan
Filosofi
Humanism Veritivity
Kreativitas tujuan utama dari keberadaan manusia
Tujuan utama kesatuan dari tujuan
Holism aktivitas, kreativitas
Proses interpersonal nilai dan arti kehidupan
Sumber : Roy & Andrews (1999)
Universitas Indonesia
Roy mengidentifikasikan asumsi ilmiah dari RAM adalah teori system dan teori
tingkat adaptasi. Lima hal utama dari teori sistem yang menjadi asumsi ilmiah
adalah : 1) satu kesatuan (holism); 2) saling tergantung (interdependence); 3)
proses control (control processes), 4) umpan balik informasi (information
feedback), dan 5) kompleksitas dari sistem kehidupan (complexity of living
systems). Sedangkan 4 hal yang menjadi asumsi ilmiah pada teori adaptation-level
adalah bahwa 1) perilaku (behavior) merupakan kemampuan beradaptasi; 2)
adaptasi dipandang sebagai fungsi stimulasi dan tingkat adaptasi; 3) individu
memiliki tingkat adaptasi yang dinamis; serta 4) adanya proses merespon yang
bersifat positif dan aktif dari manusia (Roy & Andrews, 1999).
Sedangkan asumsi filosofi yang menjadi prinsip terdiri dari humanism dan
veritivity yang berhubungan dengan delapan asumsi khusus. Humanism
didefinisikan sebagai gerakan yang luas dalam filsafat dan psikologi yang
mengakui dimensi pribadi dan subyektif dari pengalaman manusia sebagai pusat
untuk mengetahui dan menilai. Sementara veritivity adalah istilah yang diciptakan
Roy yang berkaitan dengan prinsip sifat manusia untuk menegaskan tujuan utama
secara umum dari keberadaan manusia (Roy & Andrews, 1999).
Kontibusi teori system pada dasar ilmiah RAM adalah menjelaskan deskripsi dari
manusia sebagai system adaptif. Roy melihat manusia sebagai system adaptif
sebagai suatu fungsi dari beberapa bagian yang saling tergantung dalam satu
kesatuan untuk mencapai beberapa tujuan. Mekanisme control merupakan pusat
untuk fungsi dari system manusia. Konsep teori system berhubungan dengan input
(stimulus) dan output (perilaku) yang juga menjadi konsep penting dalam RAM.
Suatu proses tidak pernah menunjukkan stimulus tunggal yang menginisiasi respon
(Roy & Andrews, 1999). Pada awalnya Roy mendeskripsikan bagian dalam dari
adaptasi adalah regulator dan kognator yang mempunyai control subsistem, dari
waktu ke waktu, meningkatkan pemahaman dari pusat system adaptasi dan tingkat
adaptasi.
Universitas Indonesia
Roy juga menyatakan pelayanan keperawatan dibutuhkan saat klien tidak dapat
beradaptasi dengan tekanan dari lingkungan internal dan eksternal. Setiap
perubahan lingkungan internal dan eksternal yang menyebabkan respon system
adaptasi merupakan suatu stimulus (Tomey & Alligood, 2006). Roy adaptation
Model (RAM) bisa digunakan untuk pasien dengan penyakit akut, kronis dan
terminal. RAM menunjukkan bahwa seseorang adalah suatu system adaptasi
dimana didalamnya terjadi interaksi yang konstan antara lingkungan internal dan
eksternal.
Broadly mendefinisikan system adalah satu set dari beberapa bagian yang saling
berhubungan dan bergantung satu sama lain yang berfungsi untuk mencapai tujuan
tertentu (Roy & Andrews, 1999). System digambarkan sebagai input pengalaman,
control,output dan proses feedback. Roy mengaplikasikan teori system secara
umum adalah manusia sebagai system adaptif. Input berupa stimulus. Stimulus
didefinisikan sebagai sesuatu yang mencetuskan respon.
Skema 2.1 Model Sistem Adaptasi Manusia berdasar ”Roy Adaptation Model”
Tingkat adaptasi
(stimulus fokal, Mekanisme Fungsi fisiologi Respon
konstektual dan koping : Konsep diri
Fungsi Peran o Adaptif
residual
/ Regulator Interdependen o Inefektif
Kognator si
Umpan Balik
Universitas Indonesia
2.2.2.1 Pengkajian Perilaku : dalam perspektif Roy perilaku adalah aksi atau reaksi
terhadap stimulus. Pada level pengkajian perawat manganalisis perilaku secara
subyektif maupun obyektif. Perilaku dapat diobservasi atau bahkan tersembunyi.
Contoh perilaku yang dapat diobservasi seperti jumlah nadi. Yang tidak dapat
diobservasi/ tersembunyi seperti perasaan yang dirasakan oleh seseorang dan
dilaporkan ke perawat. Eksplorasi dari perilaku dimanifestasikan dalam 4 mode
adaptasi yaitu
1. Mode adaptasi fisiologis adalah yang berhubungan dengan proses fisik dan
kimia yang termasuk dalam fungsi dan aktivitas kehidupan organisme. Adapun
mode adaptasi fisiologis meliputi pengkajian kebutuhan:
1) Oksigenasi: melibatkan kebutuhan tubuh terhadap oksigen, dan proses
dasar hidup dari ventilasi, perubahan gas dan proses dari transport gas (Roy
& Andrews, 1999; Vairo, 1984). Ventilasi merupakan pergerakan udara
masuk dan keluar dari paru (terutama perpindahan oksigen dari paru).
Menurut Black dan Hawks (2005) ventilasi melibatkan 3 kekuatan yaitu
dari beberapa alat pengembangan paru dan thorak, tekanan permukaan, dan
upaya otot-otot inspirasi. Pertukaran gas terjadi antara udara dan darah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
- Fokal : stimuli internal dan eksternal yang dihadapi langsung pada system
adaptasi manusia
- Kontekstual : seluruh stimuli internal dan eksternal berdasarkan pada situasi
selain dari stimuli fokal
- Residual : stimuli yang mempunyai pengaruh yang belum dapat ditentukan
pada perilaku dari system adaptasi manusia
Adaptasi yang positif dapat diidentifikasi dengan tiga indicator yaitu: adekwatnya
sumber keuangan, kemampuan anggota dan ketersediaan fasilitas fisik. Hal ini juga
merupakan problem adaptasi secara umum yaitu tidak adekwatnya sumber
keuangan, deficit kemampuan dan tidak adekwatnya fasilitas fisik (Roy &
Andrews, 1999).
Universitas Indonesia
2.2.2.5 Intervensi
Intervensi berfokus pada cara untuk mencapai tujuan. Intervensi keperawatan
adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat profesional yaitu yang mereka
percayai dapat mempromosikan perilaku adaptasi klien. Intervensi keperawatan
adalah pendekatan yang dilakukan perawat yang dimaksudkan untuk
mempromosikan adaptasi dengan merubah stimuli atau memperkuat proses
adaptasi (Roy & Andrews, 1999).
2.2.2.6 Evaluasi
Proses keperawatan diakhiri dengan evaluasi, dimana dilakukan pengkajian respon
perilaku dihubungkan dengan tujuan yang ingin dicapai (Roy & Andrews, 1999).
Evaluasi RAM berfokus pada satu pertanyaan „apakah seseorang mengalami
kemajuan menuju adaptasi. Pada fase evaluasi perawat mempertimbangkan
keefektivan intervensi keperawatan yang telah dilaksanakan dan menentukan
tingkatan pencapaian berdasarkan tujuan yang disepakati (Tomey & Alligood,
2006). Apabila tujuan tercapai maka intervensi adalah efektif, namun jika tujuan
tidak tercapai maka dibutuhkan pengkajian lagi, dan pertimbangan ulang untuk
penetapan tujuan maupun intervensi yang diperlukan (Roy & Andrews, 1999).
2.3 Penerapan model adaptasi Roy dalam asuhan keperawatan pasien stroke
hemoragik
Asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik dengan menggunakan RAM
dilakukan dengan melalui 6 langkah, sebagaimana dalam RAM proses tersebut
dilakukan secara serentak, terus menerus dan dinamis. Proses pengkajian termasuk
dalam dua langkah pengkajian. langkah pertama mengumpulkan data subyektif
maupun obyektif tentang perilaku manusia, dalam tiap empat mode adaptasi. Dari
Universitas Indonesia
2.3.1 Pengkajian perilaku (behavior) ; hal yang harus dikaji dalam pengkajian
perilaku meliputi empat mode adaptif yaitu:
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.3.1.4 Interdependensi
Hubungan interdependen termasuk kemauan dan kemampuan untuk memberi
kepada yang lain dan menerima beberapa aspek dari mereka dari semua yang
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
perilaku yang dapat diubah, perubahan yang diinginkan, dan target waktu yang
dibutuhkan untuk terjadinya perubahan perilaku.
Sementara pada langkah kelima memutuskan intervensi yang sesuai. Intervensi ini
diharapkan dapat merubah stimulus sehingga pasien stroke hemoragik dapat
menujukkan respon adaptif. Selanjutnya pada langkah keenam dilakukan evaluasi,
perawat mengkaji respon perilaku pasien stroke hemoragik dan menghubungkan
dengan tujuan yang telah disepakati. Adapun Proses keperawatan pada pasien
stroke hemoragik dengan menggunakan RAM dapat dilihat dalam tabel 2.3
Universitas Indonesia
Obstruksi jalan nafas - Ketidak efektifan bersihan jalan - Pencegahan aspirasi (1918) - Manajemen jalan nafas (3148)
(spasme jalan nafas, lendir nafas (Roy & Andrews, 1999; - Status respirasi : kepatenan jalan - Suctioning jalan nafas (3460)
yang berlebihan, sekresi NANDA, 2012) nafas (0410) - Peningkatan batuk (3250)
bronkus)(F), adanya endo
- Status respirasi : ventilasi (0402)
tracheal tube (K), penyakit
alergi (K), kurang - Status respirasi : pertukaran gas
pengetahuan (R) (0402)
Cemas (F), kerusakan - Ketidakefektifan pola nafas - Status respirasi : kepatenan jalan - Membantu ventilasi (3390)
kognitif (K), kerusakan (Roy & Andrews, 1999; nafas (0410) - Terapi oksigen (3320)
musculoskeletal (F), NANDA, 2012) - Status respirasi : ventilasi (0402 - Monitor respirator (3350)
disfungsi neuromuscular (F)
- Tanda-tanda vital (0802) - Manajemen jalan nafas (3148)
Ketidak seimbangan - Kerusakan pertukaran gas (Roy - Status respirasi : ventilasi (0402) - Manajemen jalan nafas (3148)
ventilasi perfusi (F), & Andrews, 1999; NANDA, - Status respirasi : pertukaran gas - Manajemen asam-basa (1910)
perubahan membrane 2012) (0402)
alveoli-kapiler(F),
pneumonia (K), usia (R)
Adanya klot, emboli, atau - Risiko perubahan perfusi - kognitif (0900) - Manajemen medikasi (2380)
perdarahan dari pembuluh jaringan serebral (Ackley & - status neurologi (0909) - Monitor neurologi (2620)
darah otak (F), abnormal PT Ladwig, 2011; NANDA, 2012) - status neurologi: kesadaran - Posisi : neurologi (0844)
Universitas Indonesia
Ketidak mampuan absorbsi - Perubahan nutrisi kurang dari - Status nutrisi: intake makanan - Managemen berat badan (1260)
nutrisi (F), ketidak kebutuhan (Roy & Andrews, dan cairan (1008) - Manajemen nutrisi (1100)
mampuan untuk mencerna 1999; NANDA, 2012; Black - Intake nutrient (1009)
makanan (F), &Hawk, 2009
- Control berat badan (1612)
ketidakmampuan untuk
mengunyah makanan (F),
factor psikologi (K), kurang
pengetahuan (R)
Kelemahan fisik (F), - Defisit perawatan diri makan Perawatan diri aktivitas kehidupan Membantu perawatan diri untuk
Gangguan kognitif (F), (Roy & Andrews, 1999; sehari-hari (ADL) makan (0303) makan (1803)
penurunan motivasi (K), NANDA, 2012)
ketidak nyamanan,
hambatan lingkungan (R),
kerusakan neuromuscular
(F), nyeri (F), kerusakan
persepsi (K), ansietas berat
(F)
Universitas Indonesia
Kehilangan rasa untuk - Inkontinensia urine reflek (Roy - Kontinensia urin (0502) - Manajemen eliminasi urine (0590)
menahan (K), kerusakan & Andrews, 1999; Ackley & - Eliminasi urine (0503) - Perawatan inkontinensia urine
neurologic (F), kerusakan Ladwig, 2011; NANDA, 2012)
Universitas Indonesia
Gangguan kognitif (F), Defisit perawatan diri toileting - Perawatan diri tolileting (0310) Asistensi perawatan diri tolileting
penurunan motivasi (K), (Roy & Andrews, 1999; - Perawatan diri aktivitas sehari- (1804)
ketidak nyamanan (R), NANDA, 2012) hari (0306)
hambatan lingkungan (R), Manajemen lingkungan (6480)
kerusakan neuromuscular
(F), nyeri (F), kerusakan
persepsi (F), ansietas berat
(F)
Aktivitas/ Toleransi aktivitas (F), Kerusakan mobilitas fisik (Roy - Ambulasi (0200) - Terapi latihan: gerakan sendi
istirahat perubahan metabolism (F), & Andrews, 1999; Ackley & - Ambulasi dengan kursi roda (0224)
cemas (F), usia diatas 75 Ladwig, 2011; NANDA, 2012; (0201) - Terapi latihan ambulasi (0221)
tahun (R), kerusakan Black &Hawk, 2009)
- Menampilkan berpindah (0210) - Promosi latihan (0200)
kognitif (F), kontraktur (F),
budaya (R), depresi (F), - Instrumen perawatan diri - Memposisikan (0840)
penurunan kontrol otot (F), aktivitas sehari- hari (0306)
penurunan pengetahuan
tentang aktivitas fisik (R),
penurunan massa otot (K),
penurunan kekuatan otot
(F), kerusakan
neuromuscular (F), nyeri
(F).
Kerusakan kognitif (F) , Kerusakan berpindah (Ackley - Menampilkan berpindah (0210) - Promosi latihan: training
hambatan peregangan otot & Ladwig, 2011; NANDA, - Keseimbangan (0202) peregangan (0201)
(K), kerusakan 2012) - Memposisikan tubuh :inisiasi - Promosi latihan : control otot
musculoskeletal (F), kurang
sendiri (0203) (0226)
pengetahuan (R)
Universitas Indonesia
Perubahan kesadaran, Risiko disuse sindrom (Roy & - Daya tahan (0001) - Manajemen energy (0180)
immobilisasi, paralisis, Andrews, 1999; Ackley & - Konsekuensi fisiologik - Terapi latihan: gerak sendi
nyeri berat. Ladwig, 2011; NANDA, 2012) imobilitas (0204) (0224)
- Mobilitas (0208) - Control otot (0226)
- Status neurologi: kesadaran
(0912)
- Tingkat nyeri (2102)
Penuaan (F), demensia (K), Gangguan pola tidur (Roy & - Istirahat (0003) - Peningkatan istirahat/ tidur
lingkungan (R) Andrews, 1999; NANDA, 2012 - Tidur (0004) (1850)
- Tingkat gejala (2103)
Universitas Indonesia
Dehidrasi (F), peningkatan Hipertermi (Roy & Andrews, Termoregulasi (0800) - Penatalaksanaan demam (3740)
laju metabolism (F), 1999; NANDA, 2012; Black - Pencegahan hipertermi malignan
penyakit (K), pengobatan &Hawk, 2009 (3840)
(K), trauma (K), lingkungan
(R).
Sensori/ Deficit neurologi (F), - Perubahan persepsi sensori - Gambaran diri (1200) - Stimulasi kognitif (4720)
pengindraan perdarahan pada retina atau (Roy & Andrews, 1999; Ackley - Orientasi kognitif (0901) - Peningkatan komunikasi: deficit
intraokuler (F), defek visual & Ladwig, 2011; NANDA, - Fungsi sensori penglihatan pendengaran (4974)
(K), afasia (F), fotofobia 2012)
(2404) - Peningkatan komunikasi: deficit
(K), nyeri kepala (R).
- Perilaku kompensasi pada bicara (4976)
penglihatan (1611) - Peningkatan komunikasi: deficit
visual (4978)
- Manajemen lingkungan (6480)
Kerusakan akibat tekanan - Kerusakan komunikasi verbal - Komunikasi (0902) - Aktiv mendengarkan
dari perdarahan otak (F), (Roy & Andrews, 1999; Ackley - Komunikasi ekspresi dan reseptif mendengarkanPeningkatan
edema otak (F), herniasi & Ladwig, 2011; NANDA, (0903-0904) komunikasi: deficit pendengaran
otak (F). penurunan 2012; Black &Hawk, 2009)
(4974)
sirkulasi pada pusat bicara
(F), sumber informasi di - Peningkatan komunikasi: deficit
Universitas Indonesia
Lekopenia (F), leukositosis - Risiko injuri (Black & Hawks, - Perilaku personal aman(1911) - Pencegahan jatuh (6490)
(F), perubahan factor 2009) - Control risiko (1902) - Manajemen lingkungan:keamanan
pembekuan (F), - Lingkungan aman (1910) (6486)
trombositopenia (F),
- Pengetahuan: pencegahan jatuh - Pendidikan kesehatan (5510)
penurunan hemoglobin (K),
disfungsi sensori (F), (1828)
hipoksia jaringan (F),
lingkungan (R)
Fisiologis Cairan dan Penurunan kesadaran (K), Deficit volume cairan (Roy & - Keseimbangan cairan (0601) - Manajemen cairan (4120)
elektrolit disfagia (F), intake cairan Andrews, 1999; NANDA, - Hidrasi (0602) - Manajemen hipovolemik (4180)
tidak adekwat (F), muntah- 2012) - Status nutrisi : intake makannan
muntah (F), hipertermia (F),
dan minuman (1008)
kurang pengetahuan (R)
Penyimpangan intake cairan Risiko deficit volume cairan - Keseimbangan cairan (0601) - Manajemen cairan (4120)
(F), kehilangan cairan (Roy & Andrews, 1999; - Hidrasi (0602) - Manajemen hipovolemik (4180)
berlebihan (F), kurang NANDA, 2012) - Status nutrisi : intake makannan
pengetahuan (R),
dan minuman (1008)
pengobatan (K)
Fungsi Hipoksia (F), Perdarahan - Kerusakan memori (Ackley & - Orientasi kognitif (0901) - Memori training (4760)
neurologi intracerebral kerusakan Ladwig, 2011; NANDA, 2012) - Memori (0908)
parenkim otak dan nervus - Status neurologi : kesadaran
sekitarnya (F), perdarahan
(0912)
meluas (F), rebleeding (F),
PTIK (F), edema otak (K), - Kognisi (0900)
Universitas Indonesia
Fungsi Diabetes melitus yang tidak - Risiko tidak stabil kadar - Kadar gula darah (2300) - Manajemen hiperglikemi (2120)
endokrin terkontrol (F), ketidak glukosa darah (NANDA, 2012) - Manajemen hipoglikemi (2130)
patuhan diit (K),
ketidaktahuan (R)
Konsep diri Fisik diri Hemiparese (F), kehilangan - Gangguan gambaran diri (Roy - Gambaran diri (1200) - Peningkatan gambaran diri
fungsi pengindraan (K), usia & Andrews, 1999; Ackley & - Harga diri (1205) (5220)
(R) Ladwig, 2011; NANDA, 2012) - Koping (1302) - Kesadaran diri (5390)
- penerimaan terhadap status
kesehatan (1300)
- Identitas (1202)
Kehilangan kesehatan (F), - Berduka antisipatori, - Ketahanan keluarga (2608) - Promosi integritas keluarga
Kehilangan antisipasi disfungsional (Roy & Andrews, - Mendekati kehidupan yang (7100)
terhadap obyek yang 1999; Ackley & Ladwig, 2011; bermartabat (1307) - Perawatan menjelang kematian
penting (F) (seperti NANDA, 2012)
- Solusi berduka (1304) (5260)
pekerjaan, status, tubuh) dan
orang yang penting (K), - Harapan (1201) - Dukungan emosi(5270)
serta kehilangan obyek - Penyesuaian - Instalasi harapan (5310)
penting (K) (kehilangan psikososial:Perubahan hidup - Peningkatan support system
penglihatan, kemampuan (1305) (5440)
bicara), budaya (R)
Universitas Indonesia
Kebutuhan homecare yang - Ketegangan peran pengasuh - Adaptasi pengasuh (2200) - Support pengasuh (7040)
bermakna (K), problem (Roy & Andrews, 1999; Ackley - Kesehatan emosional pengasuh - Support keluarga (7140)
kognitif untuk penerima & Ladwig, 2011; NANDA, (2506)
perawatan(F), keluarga kecil 2012)
- Hubungan pengasuh dan
(R)
pasien(2204)
- Kesiapan pengasuh dirumah
(2202)
- Penampilan pengasuh (2205-
2206)
- Stressor pengasuh (2208)
- Kesejahteraan pengasuh (2508)
Universitas Indonesia
Kondisi social ekonomi (R), Ketidak efektifan managemen - Koping keluarga (2600) - Promosi integritas keluarga
pengobatan yang kompleks terapi keluarga (Roy & - Fungsi keluarga (2602) (7100)
(K), ketidak tahuan individu Andrews, 1999; NANDA, - Pengetahuan tentang regimen - Proses pemeliharaan keluarga
dan keluarga tentang 2012)
terapi (1813) (7130)
penyakit dan regimen terapi
(F) - Ketahanan keluarga (2608) - Terapi keluarga (7150)
- Partisipasi keluarga
Interde- Keterbatasan mobilitas fisik - Kerusakan interaksi social (Roy - Penampilan peran (1501) - Peningkatan sosialisasi (5100)
pendensi (F), keterbatasan untuk & Andrews, 1999; Ackley & - Ketrampilan interaksi social
komunikasi (F), kecacatan Ladwig, 2011; NANDA, 2012) (1502)
(K), afasia (F), pekerjaan
- Keterlibatan social (1503)
(R)
Deficit neurologic (F), - Koping individu tidak efektif - Koping (1302) - Peningkatan koping (5230)
Ketidak mampuan (K), (Roy & Andrews, 1999; Ackley - Membuat keputusan (0906) - Support membuat keputusan
stress (R) & Ladwig, 2011; NANDA, - Control diri terhadap impuls (5250)
2012; Black &Hawk, 2009)
(1405)
- Memproses informasi (0907)
kondisi sosioekonomi - Perubahan proses dalam - Koping keluarga (2600) - Promosi integritas keluarga
keluarga (F), penyakit (K), keluarga (Roy & Andrews, - Fungsi keluarga (2602) (7100)
ketidakmampuan (F), 1999; Ackley & Ladwig, 2011; - Penampilan peran (1501) - Proses pemeliharaan keluarga
budaya (R) NANDA, 2012)
- Penyesuaian psikososial: (7130)
perubahan hidup (1305)
Universitas Indonesia
Penyakit neurologi yang - Kerusakan pemeliharaan rumah - Lingkungan rumah aman (1910) Asistensi pemeliharaan rumah
menyebabkan (Roy & Andrews, 1999; Ackley - Asistensi perawatan diri (7180)
ketidakmampuan untuk & Ladwig, 2011; NANDA, instrument aktivitas sehari-hari
melakukan ADL (F), usia 2012)
(0306)
(R), tidak ada partner (K)
Sumber: “Telah diolah kembali” (Roy & Andrews, 1999; Dotchterman & Bulechek, 2004;Ackley & Ladwig, 2011; NANDA, 2012)
Catatan “F”= stimulus fokal; “K”= stimulus kontekstual; “R”=stimulus residual.
Universitas Indonesia
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN STROKE HEMORAGIK
Bab 3 menggambarkan penerapan teori adaptasi Roy pada asuhan keperawatan Ny.
H dengan stroke hemoragik. Stroke hemoragik yang dialami oleh Ny H berdampak
pada perilaku adaptasi klien yaitu terjadi respon pada mode-mode kognator dan
regulator sebagai mekanisme koping klien. Asuhan keperawatan yang diberikan
bertujuan untuk promosi proses koping klien menjadi bersifat adaptif. Asuhan
keperawatan yang penulis lakukan pada Ny. H menggunakan pendekatan RAM (Roy
Adaptation Model) dengan enam langkah yang dimulai dengan melakukan
pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus, perumusan diagnosa keperawatan,
perumusan tujuan dan intervensi, pelaksanaan dan evaluasi.
Di RSUP fatmawati klien dirawat bersama oleh dokter neuro dan penyakit dalam,
dalam bidang neuro diagnosa dokter CVD SH (cerebro vasculer desease stroke
49 Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
50
Selama dirawat dirumah sakit, klien mndapatkan terapi sistenol 3x1, Ambroxol 3x1,
curcuma 3x1, sucralfat 4xCI, Ozid 1x 40 mg, simvastatin 1x10 mg, Cefotaxim 3 x 1
gram (hari ke-7 stop) intra vena, mikrolag/ rectal. Riwayat pengobatan sebelumnya
(di ruang HCU): Manitol terakhir tanggal 21/2/2012, Ceftriaxon 2x 1 gram
intravena terakhir tanggal 25/2/2012, levofloxaxin 1x 500 mg terakhir tanggal
19/2/2012, amboxol syrup 3x II C, curcuma 3 x1, sistenol 3 x 500 mg (kalau perlu),
tranfusi TC 10 kantong, tranfusi PRC 500 cc.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
51
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
52
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal adalah perdarahan intraparenkimal, penurunan kesadaran,
pemasangan NGT, stimulus kontekstual adalah penyakit MDS stimulus residual
kurang pengetahuan.
2) Nutrisi
a. Pengkajian perilaku
Terpasang NGT, diit cair 6 x 200 cc. bising usus 10 x/menit, perkusi timpani, palpasi
supel. Hasil laboratorium: hemoglobin adalah 12.2 g/dL (11.7 – 15.5 g/dL),
Hematocrit 36% (33%- 45%), albumin 3.40 g/dL (3,40- 4,80 g/dL), gula darah
sewaktu 208 mg/dl (90-120mg/dl) laboratorium tgl 17/2/12 kolesterol total 130
mg/dL (120 – 200 mg/dL), trigliserida 105 mg/dL (50 – 150 mg/dL), HDL 32 mg/dL
(40 – 55 mg/dL), LDL 110 mg/dL (50- 130mg/L). Tinggi badan 158 cm, LILA
27cm, perkiraan BB 52 kg.
BB ideal 52,2 ; BMI klien berdasarkan taksiran BB
52 = 20.8(N 18,5 – 24,9)
(1,58)²
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal adalah penurunan kesadaran, stimulus kontekstual adalah perdarahan
intraparenkimal, edema cerebri, penyakit MDS, stimulus residual tidak ditemukan..
3) Eliminasi
a. Pengkajian perilaku
Eliminasi urin: Terpasang foley catheter sejak tanggal 17/2/12 (saat klien terjadi
penurunan kesadaran). Produksi urin kuning, kejernihan: jernih produksi 4500 cc/ 24
jam. Eliminasi fekal: belum BAB 3 hari. Klien ingin mengedan karena seperti ada
rasa tekanan dianus tapi tidak dapat keluar, aktivitas klien kurang, klien tampak
jarang miring kanan dan kiri.. Hasil laboratorium ureum: 13 (urine lengkap: leukosit
3+ /LPB, eritrosit 0 – 1 /LPB, berat jenis 1.020 (1.005 – 1.030), pH 7,0 (4,5 – 8,0),
protein (-), urobilinogen 0,2, bilirubin (-), nitrit (+).
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
53
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal adalah penurunan aktivitas, stimulus kontekstual adalah penurunan
kesadaran, perdarahan intraparenkimal, edema cerebri, penyakit MDS, stimulus
residual belum ditemukan.
aktifitas sehari-hari dibantu penuh oleh perawat dan keluarga. Kesadaran somnolen,
GCS (E3 M6V4).. klien tidak mampu menggunakan anggota tubuhnya yang kuat
untuk merawat diri atau memenuhi kebutuhannya. Pengukuran dengan Barthel
indeks= 0 (ketergantungan total)
b. Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus fokal pada aktivitas didapatkan klien mengalami hemiparese
1111 5555
dekstra dengan kekuatan otot stimulus kontekstualnya adalah penurunan
1111 5555
5) Proteksi
a. Pengkajian perilaku
Kulit bersih, terdapat lecet pada paha atas kanan (luka tekan derajat 1), ruam- ruam
merah pada punggung dan ketiak terasa gatal, edema (-), suhu 39,5°C. Rambut
bersih, tebal dan tidak mudah rontok.keluarga tidak tahu bagaimana merawat kulit.
Tidak terjadi penurunan imun. Klien banyak berkeringat, baju klien belum diganti 1
hari karena persediaan yang dibawa habis. Suami klien mengatakan 3 hari ini belum
pulang karena menunggu klien sehingga belum sempat mengambil baju. Hasil
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
54
penghitungan skala braden skore= 10 yang berarti klien berisiko tinggi. Hasil
pemeriksaan laboratorium lekosit hasilnya 9.8 x 10^3/ul (5,0 – 10,0 10^3/ul).
b. Pengkajian stimulus
Pengkajian stimulus fokal pada proteksi yaitu klien mengalami hemiparese dekstra,
febris suhu 39,5°C, dan keringat berlebihan, hygiene kurang, stimulus
kontekstualnya adalah penurunan kesadaran, perdarahan intraparenkimal, edema
cerebri, penyakit MDS, stimulus residual kurangnya baju bersih..
6) Sensori/Penginderaan
a. Pengkajian perilaku
Nervus I, klien dapat membedakan bau minyak kayu putih dan kopi. Nervus II
fungsi peglihatan klien mengalami perdarahan retina pada mata kanan dan kiri
sehingga klien tidak dapat melihat, hanya dapat membedakan gelap dan terang.
Sedangkan nervus VIII fungsi pendengaran klien tidak mampu mendengar detik
arloji pada telinga kanan dan kiri, tapi masih mampu mendengar jika diajak bicara
dengan jarak dekat dan suara agak keras. Terjadi parese pada nervus VII, sementara
N IX, X, dan XII belum dapat dikaji.
b. Pengkajian stimulus
Stimulus Fokal adanya kebutaan akibat perdarahan retina, dan gangguan
pendengaran, stimulus kontekstualnya adalah penurunan kesadaran stimulus residual
perdarahan intraparenkimal, edema cerebri, penyakit MDS.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
55
kreatinin darah 0,3 mg/dL (0,5 - 1.3 mg/dL); ureum darah 13 mg/dL (10 – 50
mg/dL); hematokrit 36 % (40,0 – 48,0 %), trombosit 135 ribu/UL (150- 140
ribu/UL). gambaran darah tepi kesan trombositopenia
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal adanya penurunan kesadaran, muntah- muntah, febris, stimulus
kontekstualnya adalah perdarahan intraparenkimal, edema cerebri, penyakit MDS,
stimulus residual adalah fungsi sensori menurun (kebutaan dan penurunan
pendengaran)
8) Neurologi
a. Pengkajian perilaku
1111 5555
Kesadaran somnolen, GCS: E3V4M6 kekuatan otot1111 5555 ; reflek fisiologi : bisep
+1/+1, trisep +1/+1, patella +1/+1, tendon achiles +1/+1. reflek patologi : Babinski,
Chaddock, Gordon, Oppenheim, Schaefer, (-/-). Fungsi serebelum: test koordinasi
belum dapat dikaji. Fungsi otonom : inkontinensia uri, terpasang kateter
menetap.Tanda peningkatan tekanan intrakranial: nyeri kepala (+), muntah (+),
papiledema tidak dilakukan. Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk(-), brudzinski
(-), kernig <135//<135, laseg <70/<70 mengeluh nyeri pada ujung persendian kaki
saat digerakkan. Pemeriksaan saraf kranial adalah sebagai berikut : Nervus I tidak
ada gangguan,N II hanya bisa kelihatan gelap dan terang, N IVdan VI belum dapat
dikaji; Nervus III pupil bulat isokor Ø 4 mm/4 mm, reflek cahaya langsung dan
tidak langsung pada mata kanan dan kiri +/+, Nervus V (trigeminus), tidak ada
parese pada mandibularis dan maksilaris, tidak ada gangguan sensasi pada ramus
oftalmik, ramus maksilaris dan ramus mandibularis; Nervus VII (fasialis), asimetri,
otot wajah kanan mengalami kelemahan, N VII parese sentral, Nervus VIII
(vestibulo kokhlearis), N VIII pendengaran kanan dan kiri tidak dapat mendengar
detik arloji dan gesekan jari.namun dapat mendengar perkataan yang agak keras;
Nervus IX, X dan XII belum dapat dikaji, Nervus XI (aksesorius) kelemahan pada
sisi tubuh sebelah kanan. Hasil CT Scan tgl 17/02/2012= perdarahan intraparenkimal
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
56
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal adalah perdarahan intraparenkimal, edema cerebri, stimulus
kontekstualnya adalah penyakit MDS, stimulus residual belum diketahui.
9) Endokrin
a. Pengkajian perilaku
Klien tidak memiliki riwayat penyakit diabetes melitus (DM). Hasil gula darah tgl
17/02/2012 adalah 122 mg/dl, sedangkan saat ini 208 mg/dl
b. Pengkajian stimulus
Tidak ditemukan stimulus fokal, kontekstual,maupun residual
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
57
habisan, dan barang- barangnya sudah banyak yang dijual. Sedangkan untuk
pengobatan klien keluarga klien melakukan pembayaran langsung tanpa fasilitas
jaminan dari pemerintah. keluarga klien mengeluh penyakit klien sudah lama tidak
sembuh-sembuh, dan menanyakan apa sebenarnya obat yang tepat dan kesembuhan
seperti apa yang bisa diharapkan disini.
b. Pengkajian stimulus
Stimulus fokal pengobatan yang kompleks, stimulus kontekstual kehilangan fungsi
penglihatan, hemiparese dekstra pada klien, masalah keuangan,stimulus residual
kurang informasi pada keluarga tentang jaminan kesehatan, kondisi penyakit.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
57
Mode Diagnosa
Perilaku Stimulus NOC NIC Aktivitas
adaptasi keperawatan
Fisiologis Perilaku adaptif: Stimulus Ketidakefektifan - kognitif (0900) - Manajemen Regulator
tekanan darah: 130/ 80 fokal adalah perfusi jaringan - status neurologi medikasi (2380) 1. Menanyakan pada klien atau
mmHg, , pupil bulat isokor perdarahan serebral (0909) - Monitor neurologi keluarga riwayat medis
Ø 4 mm/4 mm, reflek intraparenki - status neurologi: (2620) sebelumnya dan riwayat
cahaya langsung dan tidak mal, kesadaran (0912) - Posisi : neurologi pembedahan yang
langsung pada mata kanan stimulus - status neurologi: (0844) berhubungan dengan perfusi
dan kiri +/+. Hasil kontekstual control sentral motor - Promosi perfusi serebral
laboratorium tanggal adalah (0911) serebral (2550) 2. Membantu klien mendapatkan
02/03/12 hemoglobin penyakit - perfusi jaringan - Pencegahan jatuh posisi istirahat, mengatur
12,2 g/dL (11.7 – 15.5 MDS, serebral (0406) (6490) posisi kepala 30° dan
peningktan - Stimulasi kognitif mengevaluasi pemberian
mg/dL); eritrosit 4.40 suhu , (4720) posisi, menghindari fleksi
Juta/ul (3.80 – 5,20 Stimulus - Manajemen kepala dengan memberi bantal
Juta/ul)hematokrit 36 % residual lingkungan:keama sampai ke bawah bahu klien,
(40,0 – 48,0 %) tidak nan (6486) 3. Menyediakan cairan resusitasi
ditemukan dengan hati-hati sesuai order,
Perilaku inefektif: secara umum menggunakan
Kesadaran somnolen, GCS cairan NaCl 0,9%
13 (E3M6V4), klien 4. Menghindarkan klien dari
muntah-muntah, dan kepala stress fisiologik karena dapat
pusing. Suhu: 39,5°C, memicu hypoxemia dan
Nadi: 128x/mt, RR: meminimalisasi stress dari
28x/mt, hasil CT Scan lingkungan,
menunjukkan adanya 5. Memberikan oksigen sesuai
perdarahan intraparenkimal order 3 lpm dan memonitor
dibasal ganglia sinistra saturasi oksigen sesuai
uk.1.86x2.2x2cm, kebutuhan,
ruang.oksipital sinistra 6. Mencegah hipovolemik dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
58
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
59
Fisiologis Perilaku adaptif: Stimulus Risiko aspirasi - Pencegahan aspirasi - Membantu regulator
tekanan darah: 130/ 80 fokal adalah (1918) ventilasi (3390) 1. Posisikan klien untuk
mmHg. Rh-/- Wh -/-, penurunan - Status neurologi - Terapi oksigen ventilasi maksimal
perkusi resonan, nafas kesadaran, (0909) (3320) 2. Berikan terapi fisik dada
reguler dan dalam, pemasangan - Status menelan - Manajemen jalan sesuai kebutuhan
batuk (-), tersedak (-) NGT (1010) nafas (3148) 3. Dorong untuk nafas dalam,
stimulus - Status respirasi: - Pencegahan turning dan batuk efektif
Perilaku inefektif: kontekstual ventilasi (0402) aspirasi (3200) 4. Instruksikan bagaimana batuk
kesadaran somnolen GCS perdarahan - Monitor respirasi efektif
13(E3M6V4), terpasang intraparenki (3350) 5. Auskultasi bunyi nafas, catat
NGT sejak MRS karena m, penyakit area dimana ada penurunan
gangguan menelan akibat MDS, dan absennya ventilasi dan
penurunan kesadaran stimulus adanya suara-suara tambahan
waktu MRS, keluarga tidak residual 6. Berikan udara humidifi atau
tahu bagaimana kurang oksigen, sesuai kebutuhan
mempertahankan posisi pengetahuan 7. Atur asupan cairan untuk
NGT yang benar, klien keluarga mengoptimalkan
muntah- muntah, tekanan keseimbangan cairan
darah: 130/ 80 mmHg. 8. Monitor status respirasi dan
Suhu: 39,5°C, Nadi: oksigenasi
128x/mt, RR: 28x/mt, Kognator
Terpasang oksigen 3 lpm. 1. Jelaskan pada keluarga risiko
yang mungkin terjadi pada
jalan nafas jika klien
mengalami penurunan
kesadaran
2. Jelaskan pada klien dan
keluarganya untuk tidak
memberi makan lewat mulut
selama klien belum sadar
penuh. Atau sampai dijinkan
oeh dokter atau perawat.
3. Jelaskan pada klien dan
keluarga tentang selang NGT,
posisi NGT yang benar dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
60
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
61
melakukan mobilisasi.
9. Kolaborasi dengan tim
rehabilitasi
Kognator
10. Ajarkan keluarga untuk
melakukan ROM pada klien
untuk mencegah kontraktur
pada sendi.
11. Anjurkan keluarga untuk
melatih ROM
Fisiologis Perilaku inefektif: Stimulus Defisit - Perawatan dri ADL - Asistensi Regulator
fokal perawatan diri (0300) perawatan diri 1. Monitor kemampuan klien
Kesadaran somnolen GCS penurunan - Instrument ADL (1800) dalam perawatan diri
(E3M6V4), RR 28x/mt kesadaran, (0306) - Asistensi 2. Monitor kebutuhan alat untuk
terpasang O2 3 lpm, N: 128 kelemahan - Perawatan diri: perawatan diri klien dalam melakukan
tubuh, mandi (0301), mandi/ hygiene perawatan diri personal higiene,
x/mt.Terpasang NGT, klien
Stimulus hygiene (0305), (1801) berpakaian, berhias, toileting
jarang bergerak, aktifitas kontekstual berpakaian (0302). - Asistensi dan makan.
sehari-hari dibantu penuh adanya perawatan diri 3. Sediakan alat pribadi sesuai
oleh perawat dan keluarga , perdarahan berpakaian (1802 keinginan (deodoran, sikat gigi,
Keringat banyak, klien intraparenki sabun mandi)
tampak lelah jika bergerak, m, penyakit 4. Sediakan bantuan sampai
Baju sehari belum diganti, MDS, dengan klien mampu
stimulus melakukan perawatan diri
hemiparese dekstra,
1111 5555
residual 5. Gunakan pengulangan rutinitas
kekuatan otot , kurang kesehatan secara konsisten
1111 5555
skor BI=0 pengetahuan sebagai cara untuk menetapkan
klien
6. Tetapkan rutinitas untuk
aktivitas perawatan diri
7. Pertimbangkan usia klien jika
mempromosikan aktivitas
peratan diri
Kognator
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
62
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
63
Fisiologis Perilaku inefektif Stimulus Konstipasi - Eliminasi bowel - Manajemen bowel Regulator
Klien mengedan berusaha fokal adalah (0501) (0430) 1. Kaji pola kebiasaan BAB,
mengeluarkan BAB, belum penurunan - Hidrasi (0602) - Konstipasi/ termasuk waktu dalam sehari,
BAB 3 hari, Klien jarang aktivitas, manajemen frekuensi,konsistensi tinja,
bergerak miring kanan dan stimulus impaksi (0450) penggunaan pencahar, diet,
kiri, hemiparese dekstra, kontekstual latihan, intake serat dan cairan.
1111 5555 adalah 2. Gunakan bristol stool card
kekuatan otot
1111 5555
penurunan untuk mengidentifikasi
kesadaran, konsistensi tinja
perdarahan 3. Review beberapa pengobatan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
64
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
65
Suami menanyakan apa kontekstual - Ketahanan keluarga pemeliharaan ketika membantu individu
sebenarnya obat yang tepat, kehilangan (2608) keluarga (7130) dengan problem kesehatah
apakah penglihatan istrinya fungsi - Partisipasi keluarga - Terapi keluarga dimana diperlukan untuk
bisa pulih. Suami klien penglihatan, (7150) manajemen terapi
menanyakan kesembuhan hemiparese 3. Review dengan anggota
seperti apa yang bisa dekstra pada keluarga mana perilaku yang
diharapkan disini. klien, selaras dan mana yang tidak.
keluarga klien mengatakan masalah 4. Berikan tantangan integrasi
tidak mengetahui keuangan,sti regimen terapi dalam perilaku
bagaimana perawatan klien mulus keluarga.
dirumah, telah 3 kali residual 5. review gejala pada penyakit
pindah rumah sakit untuk kurang yang khusus dan kembangkan
pengobatan. informasi self-efficaccy keluarga yang
keluarga klien mengeluh pada bagus dalam kaitannya dengan
penyakit klien sudah lama keluarga gejala tersebut.
tidak sembuh-sembuh, dan tentang 6. dukung keputusan keluarga
sudah kehabisan biaya jaminan untuk menyesuaikan regimen
kesehatan, terapi sesuai indikasi
kondisi 7. damping keluarga untuk
penyakit negosiasi regimen terapi dengan
pemberi layanan kesehatan
8. Bantu keluarga bergerak ke
pendukung soasial
9. Bantu keluarga memodifikasi
persepsi sesuai indikasi
10. Promosi dan dukung puskesmas
untuk dukungan keluarga
11. Metode latihan dapat digunakan
keluarga untuk meningkatkan
kesehatan klien.
12. Rujuk ke terapi keluarga sesuai
indikasi
13. Identifikasi kekuatan dan
sumber dalam keluarga dan
sistem dukungan mereka dan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
66
masyarakat
14. Berikan informasi dengan
sering pada keluarga dan bantu
mereka untuk mengidentifikasi
keterbatasan, perkembangan
dan implikasi untuk dirawat
15. Kolaborasikan dengan keluarga
tentang perencanaan dan
pelaksanaan terapi klien dan
perubahan gaya hidup
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
67
3.2.2 Evaluasi
Pada evaluasi penulis mengkaji respon perilaku klien Ny H setelah dilakukan
intervensi dengan indicator tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya evaluasi
catatan perkembangan dapat dilihat pada lampiran 2. Adapun hasil ringkasan
evaluasi adalah sebagai berikut
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
68
tampak perdarahan baru. Selain itu hasil evaluasi menunjukkan klien dapat
menjalankan perintah sederhana seperti miring kanan-kiri, dan latihan duduk dan
perilaku kognator yang diperlihatkan klien dengan mematuhi kegiatan menghindari
valsava manuever dan terapi oksigen yang diberikan. Klien pulang pada perawatan
hari ke-32. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada hari ke-19 klien
adaptif (terintegrasi) terhadap masalah gangguan perfusi jaringan serebral.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
69
ataupun keluarga, demikian juga ROM pada ekstremitas kiri dilakukan aktif
sedangkan pada ekstremitas kanan dibantu penulis atau keluarga klien. Klien
melakukan latihan dengan perawat dan/atau keluarga 3 kali sehari. Latihan duduk
dilakukan oleh klien mulai hari ketujuh intervensi penulis (hari perawatan ke-20)
pada awalnya klien hanya tahan ½ jam duduk sehari 3 kali dalam posisi 45˚- 60˚
kemudian mengalami kemajuan 1 jam duduk 4 kali sehari dalam posisi 90˚ ( namun
belum dapat seimbang) pada hari ke 15 intervensi penulis. Sampai dengan intervensi
hari ke 17 oleh penulis, klien sudah mampu duduk uncang-uncang walaupun belum
seimbang dengan dibantu penulis. Pada pengukuran kekuatan otot tidak
2222 5555
menunjukkan perubahan yang berarti 2222 5555
sehingga disimpulkan klien mengalami
adaptasi compromise.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
70
kartu bristol stool), warna kuning tanpa ada darah. Pada 3 hari berikutnya klien dapat
BAB sendiri hanya dengan stimulasi digital jumlah + 200 gram konsistensi lunak
(type 4 pada kartu bristol stool), warna kuning kecoklatan tanpa ada darah.
Selanjutnya eliminasi bowel stabil, klien mampu BAB sendiri tanpa bantuan
stimulasi setiap hari dengan jumlah + 200 gram konsistensi lunak (type 4-5 pada
kartu bristol stool), warna kuning kecoklatan.klien juga menunjukkan mobilisasi
miring kiri aktif dan adekwat.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
71
peran dan peran integrasi yang efektif. Adapun perilaku kognator yang ditunjukkan
adalah: Suami klien telah mendapatkan konsultasi pribadi dengan dokter mata,
dokter neurologi dan dokter hematologi serta dokter rehabilitasi medic terkait
penyakit klien dengan didampingi penulis. Suami klien mengungkapkan walaupun
mata klien tidak mampu disembuhkan dari kebutaan, dia ingin klien bisa duduk
secara mandiri. Suami klien mengatakan akan menyiapkan pembantu lagi yang
perempuan untuk menemani klien selama dia bekerja. Suami klien mengatakan
selama klien sakit sudah membiasakan anak- anaknya untuk mandiri. Suami klien
menunjukkan ketrampilan merawat klien sesuai yang diajarkan oleh penulis dengan
baik. Suami klien sudah tidak mengeluh dalam merawat istrinya. Suami klien
mengatakan untuk pengobatan rumah sakit sudah mengurus surat keterangan tidak
mampu dirumahnya dan mengajukan permohonan dirumah sakit.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
72
perfusi jaringan otak. Kejadian stroke hemoragik pada klien Ny. H diawali dengan
penyakit MDS.
Penyakit MDS klien Ny. H ditunjang oleh hasil BMP tanggal 15 Januari 2012 kesan
hasil: disentropoesis, disgranulopoesis dan distrombopoesis sesuai dengan MDS.
Pada Ny H. terjadi perdarahan intraserebral dan organ- organ lain disebabkan oleh
trombocitopenia (trombosit klien menurun pada tanggal 17/2/12 sampai 9000/L).
Mekanisme ini diikuti oleh peningkatan D- Dimer dan Fibrinogen sebagai respon
karena perdarahan (“disampaikan Dr. Martin Batubara, 12/03/12”). Klien selama di
HCU telah mendapat tranfusi TC sebanyak 10 kolf, namun masuk keruang
perawatan kelas III kadar trombosit masih rendah yaitu 135 ribu/L, hal ini karena
trombosit hanya berumur 10- 12 hari, dan pada saat ini klien masih terganggu proses
pematangan sel darahnya.
Data lain yang juga menganggu adaptasi klien pada perfusi serebral adalah febris
39,5°C. Peningkatan suhu bisa menimbulkan potensiasi iskemi (Wahjoepramono,
2005). Pada klien dengan stroke fase akut suhu tubuh akan naik pada kurang lebih
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
73
50% (Corbett & Thornhill, 2000). Peningkatan suhu tubuh pada klien stroke pada
fase akut adalah mempunyai penyebab utama kejadian stroke itu sendiri, khususnya
pada serangan stroke yang parah (Boysen & Christensen, 2001) dan infeksi
sebelumnya atau setelah serangan stroke (Grau et al, 1995). Pada klien stroke akut
dilakukan pengukuran suhu tubuh dengan lebih sering, jika terjadi demam maka
harus dicari secara teliti kemungkinan infeksi misalnya pneumonia, infeksi saluran
kemih, plebitis, dan lain-lain.
Adapun intervensi yang penting dapat merubah stimulus adalah menyediakan cairan
resusitasi dengan hati-hati sesuai order, secara umum gunakan cairan isotonic
termasuk normal salin 0,9%, pemberian cairan yang kurang pada klien berhubungan
dengan kejadian kecacatan dan kematian (Cottingham & Bridges, 2006). Hindarkan
klien dari stress fisiologik karena dapat memicu hypoxemia. Minimalisasi stress dari
lingkungan, berikan oksigen sesuai order, dan monitor saturasi oksigen. Ambil
langkah mencegah hipovolemik dan hipotensi. Stress fisiologi sering berhubungan
dengan kondisi kritis penyakit yang disebabkan oleh mekanisme proteksi awal yang
mencurahkan darah pada organ-organ vital untuk perfusi otak dan jantung. Dan
menurunkan perfusi pada gastrointestinal serta organ non vital lainnya (Singh et al,
2008). Kaji status neurologi setiap jam atau 4 jam sekali. Tanda klinis dari serebral
vasospasme termasuk fluktuasi kesadaran, kelemahan motorik dan aphasia
(Sakowitz & Unterberg, 2006). Selanjutnya monitor perubahan status dan perilaku.
Perubahan status mental menunjukkan penurunan perfusi serebral (Goodrich &
bridges, 2006)
3.1.1.2 Diagnosa kedua adalah risiko aspirasi. Perumusan diagnose ini telah
disepakati oleh NANDA (2012), Ackley dan ladwig (2011), Black dan Hawks
(2009), serta termasuk dalam katagori diagnose untuk mode adaptasi fisiologi untuk
perilaku oksigenasi (Roy dan Andrews, 1999). Diagnosis aspirasi timbul karena
pentingnya mempertahankan jalan nafas untuk oksigenasi. Black dan Hawks (2009)
menjelaskan bahwa diagnosis ini dapat dipertimbangkan muncul jika ada penyebab
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
74
yang mengikuti aspirasi antara lain: kerusakan menelan, penekanan batuk dan reflek
muntah, serta penurunan kesadaran. Sedangkan Roy menyebutkan diagnose
keperawatan haruslah mengilustrasikan adaptasi dan ringkasan perilaku dari
pengkajian perilaku dan stimulus misalnya oksigenasi yang adekwat pada ujung jari
kaki kiri karena sirkulasi yang bagus pada kaki dengan jantung. Ringkasan penyebab
aspirasi tersebut terdapat pada Ny. H, dari hasil pengkajian perilaku fisiologis dan
stimulus didapatkan: stimulus penurunan kesadaran maka data perilakunya adalah
GCS 13(E3M6V4); selain itu data muntah- muntah memungkinkan aspirasi karena
adanya cairan isi perut yang masuk ke jalan nafas dalam kondisi klien yang
mengalami penurunan kesadaran sehingga kemungkinan reflek muntah tidak
adekwat. Data lain yang juga menganggu adaptasi klien pada oksigenasi adalah
febris 39,5°C yang dikuti peningkatan RR 28 x/mt sebagai mekanisme pertahanan
diri klien. Pada stroke hemoragik, demam dapat merupakan manifestasi gangguan
center thermoregulator di hipotalamus (Wahjoepramono, 2005). Namun pada klien
tidak dijumpai perdarahan pada hipotalamus sebagaimana hasil CT scan (17/2/12)
sehingga dimungkinkan peningkatan suhu adalah karena factor metabolic atau
infeksi yang belum diketahui.
adapun intervensi yang mampu merubah stimulus diagnose ini yang penting adalah
melakukan monitor pernafasan; respirasi rate, kedalaman dan usahanya. Saat itu
penulis mencatat beberapa tanda aspirasi termasuk dispnoe, batuk, sianosis,
wheezing dan demam. Menurut pendapat Ramsay et al (2005), Guy dan Smith
(2009) bahwa tanda aspirasi sebaiknya dideteksi lebih cepat lebih baik guna
mencegah aspirasi lebih lanjut dan untuk pengobatan lebih awal, hal ini bisa
mempertahankan hidup klien. Karena laryngeal pooling dan sisa pada klien dengan
disfagia, silent aspirasi (tidak menimbulkan manifestasi tersedak atau batuk) dapat
terjadi.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
75
merasakan tonjolan laring saat klien menelan dan hasilnya klien tidak mengalami
gangguan menelan sehingga diit peroral dapat dimulai. Cek menelan penting
dilakukan karena klien dapat mengalami aspirasi walaupun dengan reflek muntah
utuh (Wieseke & Siktberg, 2008).
Adapun intervensi regulator yang bisa dilakukan pada klien yang immobile adalah
melakukan ROM aktif pada alat gerak yang sehat dan ROM pasif pada alat gerak
yang lemah lebih kurang 2 kali sehari kecuali ada kontraindikasi, ulang tiap gerakan
3 kali. Kondisi inaktif dapat mempercepat pengecilan otot dan merubah periarticular
dan kartilaginosa struktur sendi. Sedangkan terbentuknya kontraktur mulai setelah 8
jam kondisi immobile (Fletcher, 2005). Bantu klien mencapai mobilitas dan mulai
berjalan lebih cepat lebih baik jika tidak ada kontraindikasi. Ambulasi awal dapat
mencegah komplikasi dan lebih meningkatkan tingkat kemandirian (Radawiec et al,
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
76
stimulus hygiene kurang ditunjukkan klien belum ganti baju selama 1 hari.
Adapun intervensi regulator yang dapat dilakukan untuk merubah stimulus
diantaranya adalah tidak memposisikan klien menekan area kulit yang rusak,
lakukan perubahan posisi tiap 2 jam. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin
hindari trauma, panas terhadap kulit, pergesekan dan terlalu sering membersihkan.
Intervensi ini didukung oleh evidence base bahwa jangan memposisikan klien yang
secara langsung menekan luka, lanjutkan reposisi individu terlepas dari area support
yang digunakan dan tetapkan frekuensi berdasarkan karakteristik area yang di
support dan respon individu (NPUAP,2009). Selanjutnya untuk mendukung
penyembuhan ruam- ruam yang diduga penyakit kulit, penulis melakukan kolaburasi
dengan dokter untuk pemberian terapi topical kulit.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
77
Sedangkan intervensi kognator yang penulis lakukan adalah edukasi klien dan
keluarga untuk pemberian nutrisi yang baik, serta mengajarkan pada klien dan
keluarga bagaimana merubah posisi setiap 2 jam. Optimalisasi intake nutrisi
termasuk kalori, lemak, protein, vitamin dibutuhkan untuk promosi penyembuhan
luka (NPUAP, 2009)
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
78
Intervensi regulator untuk merubah stimulus adalah mengkaji pola kebiasaan BAB
termasuk waktu dalam sehari, frekuensi, konsistensi tinja, penggunaan pencahar,
diet, latihan, intake serat dan cairan. Langkah ini penting dilakukan menurut Bleser
et al (2005) bahwa konstipasi dapat terjadi karena beberapa alasan, langkah pertama
adalah melakukan pengkajian pola buang air besar klien. Gunakan kartu bristol stool
untuk mengidentifikasi konsistensi tinja, menurut Bleser et al (2005) kartu bristol
stool sangat obyektif dalam mendeskripsikan konsistensi tinja. Lakukan cek terhadap
impaksi tinja, hal ini didukung oleh pendapat Hinrich et al (2001) bahwa pada
impaksi feses konsistensinya sangat keras dan terlalu besar untuk melewati spinchter
sehingga perlu bantuan manual untuk mengeluarkannya sebelum klien memperoleh
BAB rutin. Lakukan masase abdomen 1 kali sehari. Hal ini sesuai dengan pendapat
Liu et al (2005), masase abdomen dapat mendorong pemuatan rektum, dengan
meningkatkan tekanan intra abdomen. Dalam beberapa kasus neurologis, masase
abdomen dapat memproduksi gelombang rektum yang menstimulasi reflek somato-
autonomic dan sensasi buang air besar.
3.1.1.6 Diagnosa ke-6 adalah defist perawatan diri total berhubungan dengan
kelemahan tubuh, kehilangan fungsi penglihatan sekunder stroke hemoragik dan
perdarahan retina. Perumusan diagnose ini telah disepakati oleh NANDA (2012),
Ackley dan Ladwig (2011), Black dan Hawks (2009), serta termasuk dalam katagori
diagnose untuk mode adaptasi fisiologi (Roy dan Andrews, 1999). Menurut Black
dan Hawks (2009) deficit perawatan diri bisa seputar ketidakmampuan mencapai
kemandirian dengan ekstremitas yang lemah. Diagnose ini berlaku jika pencapaian
hasil bisa diperoleh. Oleh karena itu klien dengan paralisis lengkap dan deficit
kognitif tidak dapat menunjukkan deficit perawatan diri. Pada klien Ny H
didapatkan stimulus kelemahan tubuh yang ditunjukkan dengan perilaku klien tidak
mampu menggunakan anggota tubuhnya yang kuat untuk merawat diri atau
memenuhi kebutuhannya, aktifitas klien dilakukan di atas tempat tidur, aktifitas
sehari-hari dibantu penuh oleh perawat dan keluarga.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
79
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
80
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
81
yaitu risiko aspirasi, ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidak efektifan pola
nafas, kerusakan pertukaran gas. Sedangkan diagnosa risiko perubahan perfusi
serebral dan ketidak efektifan perfusi serebral tidak tertera dalam semua mode RAM.
Diagnosa keperawatan secara umum timbul pada 11 orang klien dengan stroke
hemoragik dan 9 orang dengan stroke infark adalah risiko aspirasi, ketidakefektifan
bersihan jalan nafas, ketidak efektifan pola nafas, kerusakan pertukaran gas, risiko
perubahan perfusi serebral dan ketidak efektifan perfusi serebral, namun yang
tersering adalah risiko aspirasi, ketidakefektifan perfusi serebral dan risiko
perubahan perfusi serebral. Sedangkan diagnosa ketidak efektifan bersihan jalan
nafas ketidak efektifan pola nafas, dan kerusakan pertukaran gas lebih sering pada
klien stroke perdarahan yang sudah mengalami herniasi otak, dan stroke infark yang
luas. Adapun stimulus dan perilaku terkait diagnosa tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut.
1. Diagnosa risiko perubahan perfusi serebral dan ketidakefektifan perfusi serebral.
Perfusi serebral adalah hal yang paling kritis dalam mempertahankan hidup dan
outcome jangka panjang, dan hal ini seharusnya menjadi prioritas nomor 1 dalam
merawat klien stroke akut (Black & Hawks, 2009). Pada 11 orang klien dengan
stroke hemoragik rata- rata memiliki stimulus memiliki stimulus fokal yang hampir
sama yaitu interupsi aliran darah di otak, dengan menunjukkan perilaku yang sesuai
dengan area yang mengalami perdarahan dan luasnya perdarahan, serta volume
perdarahan, stimulus fokal yang berat adalah adanya PTIK akibat herniasi otak
sebagai dampak meluasnya perdarahan. Sedangkan stimulus kontekstual terdiri dari
penyakit penyerta lain yang mempunyai faktor risiko pada stroke hemoragik seperti
Hipertensi, DM ataupun gangguan darah. Stimulus residual biasanya disebabkan
oleh resiko timbulnya masalah dalam hal ini penulis lebih memahami penyebab
stimulus kontekstual seperti gaya hidup yg tidak sehat seperti perokok, kebiasaan
makanan berlemak dan konsumsi narkoba.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
82
Sedangkan pada 9 orang klien dengan stroke infark stimulus fokal yang hampir sama
yaitu interupsi aliran darah di otak, dengan menunjukkan perilaku yang sesuai
dengan area yang mengalami infark dan luasnya infark, stimulus fokal yang berat
adalah adanya PTIK akibat herniasi otak sebagai dampak edem otak yang luas.
Sedangkan stimulus kontekstual terdiri dari penyakit penyerta lain yang mempunyai
faktor risiko pada stroke infark seperti hipertensi, DM, atrial fibrilasi, obesitas,
hiperkolesterolimia. Stimulus residual perokok, kebiasaan makanan berlemak dan
konsumsi narkoba.
Pada 5 orang klien dengan trauma kepala stimulus fokal adalah PTIK akibat EDH
atau SDH, herniasi otak sebagai dampak penekanan volume darah pada otak.
Sedangkan stimulus kontekstual terdiri dari penyakit penyerta lain yang mempunyai
faktor risiko pada trauma kepala seperti hipertensi, DM, riwayat stroke. Stimulus
residual kebiasaan minum alkohol dan konsumsi narkoba.
Pada 5 kasus infeksi otak hampir seluruhnya mengalami masalah risiko perubahan
perfusi serebral dengan stimulus fokal berkaitan PTIK akibat peningkatan cairan
serebrospinal yang menekan struktur otak sehingga menyebabkan aliran darah diotak
terganggu stimulus kontekstual terdiri dari penyakit penyerta lain yang mempunyai
faktor risiko pada infeksi otak seperti riwayat tuberculose paru (pada 3 kasus), HIV
(pada 1 kasus), riwayat cedera (pada 1 kasus). Stimulus residual perokok, kebiasaan
minum alkohol, dan konsumsi narkoba suntik dan oral.
2. Risiko aspirasi terjadi pada 7 orang stroke hemoragik (dari total 11 orang), 6
orang klien stroke infark (dari total 9 orang), 3 orang klien dengan infeksi otak (dari
5 klien infeksi otak/ meningo ensefalitis), 4 orang klien dengan trauma kepala (dari 5
orang klien cedera kepala) dan 4 orang dengan SOL. stimulus fokalnya lebih sering
kerusakan menelan, penurunan kesadaran dan reflek muntah tidak utuh. Hal ini
sesuai dengan pendapat Black dan Hawks (2009) menjelaskan bahwa diagnosis ini
dapat dipertimbangkan muncul jika ada penyebab yang mengikuti aspirasi antara
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
83
lain: kerusakan menelan, penekanan batuk dan reflek muntah, serta penurunan
kesadaran. Adapun perilaku yang bisa ditunjukkan adalah pengukuran GCS turun,
parese pada N V,VII,IX,X,XII.
3.4.1.2 Nutrisi
Meliputi serangkaian proses yang terintegrasi dimana berhubungan dengan
pencernaan (ingesti dan asimilasi makanan) dan metabolisme (ketentuan dari energi,
pertumbuhan jaringan, dan regulasi proses metabolik) (Roy & Andrews, 1999;
Servonsky, 1984a). Diagnosa pada area nutrisi penderita stroke yang dirumuskan
oleh Ackley dan Ladwig (2011) dan sesuai dengan NANDA (2012) hanya ada 1
diagnosa yaitu kerusakan menelan. Sedangkan menurut Black dan Hawks (2009) dan
sesuai dengan NANDA (2012) hanya ada 1 diagnosa yaitu perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan. Sementara dirumuskan oleh Roy dan Andrews (1999) sesuai dengan
NANDA (2012) ada 3 diagnosa yaitu kerusakan menelan, perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan dan perawatan diri makan.yang paling umum adalah kerusakan
menelan, perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan sementara untuk perawatan diri
makan biasanya kompleks dengan perawatan diri mandi/ higiene, berpakaian dan
berhias.
Pada aplikasi di ruangan ke-2 diagnosa tersebut terjadi kasus stroke, infeksi otak,
SOL dan cedera kepala dengan penjelasan sebagai berikut: .
1. Diagnosa kerusakan menelan dari 11 orang klien dengan stroke hemoragik
terdapat 3 orang, pada 9 orang dengan stroke infark terdapat 4 orang, pada
penderita SOL, cedera kepala dan Infeksi otak tidak dijumpai.
2. Diagnosa perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pada 11 orang klien dengan
stroke hemoragik terdapat 2 orang, pada 9 orang dengan stroke infark terdapat 3
orang, pada 3 orang penderita SOL seluruhnya mengalami masalah nutrisi, pada
klien cedera kepala tidak dijumpai, dan Pada 5 orang klien infeksi otak terdapat
3 orang.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
84
3.4.1.3 Eliminasi
Diagnosa pada area eliminasi penderita stroke yang dirumuskan oleh Ackley dan
Ladwig (2011) dan sesuai dengan NANDA (2012) hanya ada 3 diagnosa yaitu
konstipasi, incontinensia urine reflek dan inkontinensia urine fungsional. Sedangkan
menurut Roy dan Andrews (1999) sesuai dengan NANDA (2012) ada 6 diagnosa
yaitu diagnosa tersebut ditambah inkontinensia fokal, retensi urine, dan defisit
perawatan diri toileting. Diagnosa yang umum terjadi pada 33 klien gangguan
neurologi adalah konstipasi, inkontinensia fecal, dan inkontinensia urine fungsional,
sementara incontinensia urine reflek ditemukan hanya pada 1 kasus dengan
kecurigaan keganasan pada medula spinalis. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Diagnosa konstipasi terjadi pada klien dengan stroke hemoragik sejumlah 3
orang, pada klien stroke infark sejumlah 4 orang, pada klien SOL, penderita infeksi
serta cedera kepala tidak didapatkan. Pada penderita stroke dapat terjadi konstipasi
hingga mencapai 30% sampai 60% (Scivoletto et al, 1997; Robain et al, 2002;
Harari et al, 2004). Sementara Su, et al (2009) melakukan penelitian di departemen
neurologi rumah sakit dan stroke center di Guang zhou China mendapatkan hasil
dari 154 responden stroke terdapat 55,2% klien mengalami onset baru konstipasi
dalam 4 minggu setelah awal stroke. Pada hari ketiga poststroke terdapat 3 kasus,
dan insiden kumulatif meningkat tajam pada hari ke-4 hingga ke-9 poststroke.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
85
Diagnosa yang umum terjadi pada pada klien dengan gangguan persarafan adalah
adalah kerusakan mobilitas fisik yang dapat didefinisikan sebagai keterbatasan pada
kemandirian dan untuk secara sengaja menggerakkan ekstremitas satu atau lebih
(Ackley & Ladwig, 2011). Dari total 9 orang klien dengan stroke hemoragik yang
mendapat diagnosa ini 7 orang, dimana 1 orang mengalami disuse sindroma (klien
mengalami vegetatif state) dan 2 orang meninggal. Pada stroke infark terdapat 8
orang dan pada SOL terjadi pada seluruh klien. Pada klien cedera kepala hanya 1
orang yang mengalaminya, dan pada klien dengan infeksi hanya ada 1 yang
mengalaminya.
3.4.1.5 Proteksi
Diagnosa pada proteksi penderita stroke yang dirumuskan oleh Ackley dan Ladwig
(2011) dan sesuai dengan NANDA (2012) hanya ada 1 diagnosa yaitu kerusakan
integritas kulit. Sedangkan menurut Black dan Hawks (2009) dan sesuai dengan
NANDA (2012) hanya ada 2 diagnosa yaitu risiko kerusakan integritas kulit dan
hipertemia. Sementara dirumuskan oleh Roy dan Andrews (1999) yang sesuai
dengan NANDA (2012) adalah 3 diagnosa tersebut. Pada klien dengan gangguan
persarafan ketiga diagnosa tersebut muncul. Diagnosa yang paling sering adalah
risiko kerusakan integritas kulit. Diagnosa ini terjadi pada 7 orang klien dengan
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
86
stroke hemoragik, 5 orang pada klien stroke infark, 2 orang pada klien SOL, dan 1
orang dengan infeksi otak, namun tidak terjadi pada klien cedera kepala
3.4.1.6 Sensori/pengindraan
Diagnosa pada proteksi penderita stroke yang dirumuskan oleh Ackley dan Ladwig
(2011) dan sesuai dengan NANDA (2012) hanya ada 2 diagnosa yaitu perubahan
persepsi sensori dan kerusakan komunikasi verbal. Menurut Black dan Hawks,
(2009) ada 2 diagnosa komunikasi verbal dan risiko injuri. Sedangkan dirumuskan
oleh Roy dan Andrews (1999) dan sesuai dengan NANDA (2012) ada 3 diagnosa
yaitu perubahan persepsi sensori dan kerusakan komunikasi verbal dan nyeri. Pada
klien dengan stroke diagnose yang paling sering terjadi adalah kerusakan
komunikasi karena mengalami afasia. Diagnosa kerusakan komunikasi verbal terjadi
pada 4 orang dengan stroke hemoragik, 2 orang stroke infark, 1 orang pada SOL, dan
tidak terjadi pada klien dengan cedera kepala dan infeksi.
Sementara diagnose Nyeri terjadi pada seluruh klien dengan infeksi otak dan cedera
kepala. Risiko injuri terjadi pada seluruh klien dengan cedera kepala.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
87
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
88
Dari uraian diatas dapat disimpulkan oleh penulis bahwa dari 45 diagnosa yang
dapat terjadi pada klien dengan gangguan neurologis terutama pada kasus stroke
hemoragik menurut mode diatas, yang penulis temui terjadi pada klien yang dirawat
penulis hanya 25 diagnosa, yaitu risiko aspirasi, kerusakan pertukaran gas, risiko
perubahan perfusi jaringan serebral, perfusi jaringan serebral tidak efektif,
inkontinensia fecal, konstipasi, inkontinensia urine disfungsional, inkontinensia
urine reflek, deficit perawatan diri toileting, deficit perawatan diri total, kerusakan
mobilitas fisik, risiko disuse syndrome, kerusakan integritas kulit, kerusakan
komunikasi verbal, Nyeri, risiko injury, deficit volume cairan, konfusi akut, berduka,
cemas, ketidak efektifan manajemen kesehatan individu dan ketidak efektifan
manajemen keluarga.
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
BAB 4
PENERAPAN EVIDENCE BASED NURSING PADA GANGGUAN
SISTEM PERSARAFAN
Bab ini akan menggambarkan penerapan evidence based nursing pada gangguan persarafan
khususnya pasien stroke. Evidence based nursing yang akan diterapkan pada pasien stroke
adalah masase abdomen dalam mengatasi konstipasi. Stroke bisa memberikan berbagai
dampak ketidak mampuan tubuh menjalankan beberapa fungsinya karena gangguan pada
pusat kendali di otak. Salah satunya adalah penderita stroke mengalami konstipasi.
Konstipasi adalah gangguan motilitas pada saluran pencernaan dengan karakteristik
kesulitan atau penurunan frekuensi buang air besar ( kurang dari tiga kali setiap minggu).
(Liu et al, 2005; Southwell et al, 2009). Konstipasi bisa disebabkan oleh perubahan diet,
pengobatan, perubahan rutinitas, operasi abdomen atau stress emosional akut. Konstipasi
yang berlangsung lama secara umum terjadi karena penyakit, spastisitas otot, obstruksi
fisik, kontraksi lambat atau factor lain yang yang menyebabkan feses yang melalui kolon
bergerak lebih lambat dari normal sampai saat tiba pada akhir usus besar menjadi
kehilangan banyak air sehingga menjadi keras, kering dan sulit untuk dikeluarkan (Leung,
2007).
Kejadian konstipasi pada penderita stroke mencapai 30% sampai 60% (Scivoletto et al,
1997; Robain et al, 2002; Harari et al, 2004). Hasil penelitian Su et al (2009) menyebutkan
dari 154 responden stroke yang diteliti di departemen neurologi rumah sakit dan stroke
center di Guang zhou China terdapat 55,2% pasien mengalami onset baru konstipasi dalam
4 minggu setelah awal stroke. Tiga kasus terjadi pada hari ketiga poststroke, dan insiden
kumulatif meningkat tajam pada hari ke-4 hingga ke-9 poststroke.
Konstipasi pada pasien stroke terkait dengan gangguan pada system saraf pusat. Pada
stroke dapat terjadi kelemahan pada otot abdomen dan pelvic serta hipomotilitas yang
tergantung pada lokasi lesi. Rektum bilateral diinervasi pada kortex motor dengan
representasi asimetrik dan dominasi unilateral. Tidak pasti apakah asimetris ini
menyumbang kesulitan defekasi setelah cedera kepala, atau apabila terdapat injuri nervus
pudendal unilateral menyebabkan gangguan pada otot dasar pelvis (Thompson, 2006). Lesi
mempengaruhi pusat defekasi pontine menganggu urutan komponen buang air besar
89 Universitas Indonesia
simpatis dan parasimpatis dan merusak koordinasi gerakan peristaltic dan relaksasi dari
otot dasar pelvic dan spinkter eksterna.
Pada pasien stroke ischemic disfungsi kolorektal bisa disebabkan kombinasi lesi saraf pusat
atau perifer, immobilitas, atau perubahan kebiasaan diet. Konstipasi pada pasien stroke
merupakan gangguan modulasi saraf pada motilitas kolon. Waktu transit kolon memanjang
terutama pada kolon sebelah kanan. Mekanisme dari pseudo obstruksi intestinal merusak
neuron enteric, otot halus atau keduanya. Dapat disimpulkan pada stroke iskemik terjadi
gangguan control neural pada motilitas GI melalui interupsi atau perubahan arus informasi
diantara kortek dan system GI (Schaller et al, 2004).
Selain terkait lokasi lesi, konstipasi pada penderita stroke dapat disebabkan oleh pemakaian
obat. Ada beberapa factor yang menjadi resiko konstipasi pada pasien stroke yaitu usia tua,
menggunakan beberapa obat-obatan, dehidrasi, dan inaktivitas fisik (Winge et al, 2003).
Obat yang berkontribusi timbulnya konstipasi pada pasien stroke antara lain diuretik, zat
besi, antihypertensi, antipsikotik, antikolinergik, antikonvulsi, opioids and ganglionic
blockers (Winge et al, 2003). Tricyclic antidepressant dapat menginduksi konstipasi dengan
memblokade reuptake norepinephrine atau serotonin. Antidepresan lain termasuk
amitriptyline, serta selective serotonin reuptake inhibitors, mempengaruhi sensitivitas
visceral dan motilitas (Quander et al, 2005). Sembilan puluh lima persen pasien yang
mendapatkan opioid mengalami konstipasi. Verapamil, merupakan calcium channel
blocker, menyebabkan konstipasi dengan memperlambat waktu transit gastro intestinal (GI).
Antasida yang mengandung aluminum menyebabkan konstipasi karena agen konstriksi.
Diuretik menyebabkan konstipasi karena kehilangan cairan yang menyebabkan konstipasi.
Pada penelitian yang lain konstipasi pada penderita stroke berhubungan dengan barthel
indek. Barthel indek merupakan alat standar yang digunakan untuk mengukur status
fungsional pada aktivitas kehidupan sehari- hari. Individu mendapatkan skor dari
penampilan yang ditampakkan pada beberapa area mulai dari skor 0 (tergantung) sampai
100 (mandiri). Studi prospektif yang dilakukan oleh Robain et al (2002) melaporkan
Universitas Indonesia
konstipasi pada pasien stroke di pusat rehabilitasi sangat kuat berhubungan dengan barthel
index, dimana semakin turun angka konstipasi sejalan dengan semakin tinggi angka barthel
indek.
Dampak konstipasi dapat secara fisik maupun psikologis menimpa pasien dan keluarganya.
konstipasi memberikan dampak negative pada kualitas hidup dan dan akan membatasi
aktivitas social pasien (Wiesel et al, 2001).
Artikel yang ditulis oleh Sinclair (2010) berdasarkan sains review sejak tahun 1999
hingga saat ditampilkan menunjukkan bahwa masase abdomen dapat menstimulasi
peristaltic, menurunkan waktu transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air besar, dan
menurunkan rasa tidak nyaman serta nyeri pada pasien konstipasi. Dari hasil laporan
individual menunjukkan bahwa masase abdomen efektif untuk pasien konstipasi dengan
berbagai diagnosis fisiologik abnormal serta konstipasi fungsional jangka panjang.
Sementara menurut Liu et al (2005), masase abdomen dalam beberapa kasus neurologis
dapat memproduksi gelombang rektum yang menstimulasi reflek somato-autonomic dan
sensasi buang air besar.
Universitas Indonesia
Sistem saraf otonom mempersarafi usus besar kecuali sfingkter eksterna yang berada dalam
pengendalian voluntary. Serabut parasimpatis berjalan melewati saraf vagus kebagian
tengah kolon tranversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral menyuplai
bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus.
Sinaps serabut ini ada dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, lalu serabut pascaganglionik
menuju kolon (Price & Wilson,2006).
Kontrol neurologis (refleks). saluran pencernaan adalah unik daripada sistem organ lain,
karena fungsi usus dipengaruhi dan diubah oleh lingkungan luar. Sebagian besar fungsinya
tidak di bawah kontrol langsung dari otak namun fungsi saluran pencernaan dengan
komponen saraf intrinsik dan ekstrinsik. Saraf intrinsik mengontrol aktivitas usus yang
paling dasar, sementara saraf ekstrinsik memodulasi aktivitas visceral melalui fungsi
simpatis dan parasimpatis (Winge et al, 2003). Reflek GI (gastro intestinal) dimediasi oleh
ekstrinsik jalur saraf vagus atau splanchic. Sumbu otak-usus mengubah fungsi di area tidak
berada di bawah peraturan sukarela. Stres yang disebabkan oleh kekuatan eksternal dapat
mengubah motilitas GI serta fungsi kekebalan usus (Thompson, 2006).
Sistem saraf enterik dan hubungannya dengan sistem simpatis dan parasimpatis mendukung
tiga jenis refleks pencernaan penting untuk kontrol bowel dan buang air besar. Kelompok
pertama refleks terjadi dalam sistem saraf enterik dan kontrol GI. Sekresi, gerak peristaltik,
dan pencampuran kontraksi kelompok kedua refleks perjalanan dari usus ke ganglia
simpatik prevertebral dan kembali ke saluran pencernaan. Refleks gastrocolic mengirimkan
sinyal dari perut menyebabkan evakuasi dari usus besar. Refleks enterogastric dari usus
besar dan usus kecil menghambat motilitas lambung dan sekresi. Reflek colonoileal
mencegah pengosongan isi ileum ke dalam kolon. Kelompok ketiga refleks berjalan dari
usus ke batang otak dan kemudian kembali ke saluran pencernaan. Ini termasuk reflek pada
lambung dan duodenum yang mengontrol motorik lambung dan aktivitas sekretori. Reflek
defekasi menghasilkan kontraksi usus, dubur dan perut yang diperlukan untuk buang air
besar. Kontrol saraf intrinsik diubah oleh sinyal dari otak ke sistem saraf otonom yang
innervates saluran pencernaan (Guyton & Hall, 1997).
Universitas Indonesia
Kontrol motor otomatis system saraf enterik saluran pencernaan mengatur fungsi sekresi,
dan memungkinkan usus untuk terus berfungsi secara terpisah dari suplai saraf ekstrinsik
nya. Aktivitas usus bergantung pada tindakan terkoordinasi dari berbagai bagian dari sistem
saraf, termasuk pleksus intramural pada dinding usus, sistem saraf otonom, dan sistem saraf
sukarela. Otak manusia dapat menghambat pusat tulang belakang sacral untuk menurunkan
aktivitas peristaltik dengan sukarela meningkatkan nada sfingter anal dan relaksasi usus
besar, menyebabkan dorongan untuk buang air besar menghilang (Folden, 2003)
Peregangan rektum oleh feses akan mencetuskan kontraksi reflex otot-otot rectum dan
keinginan buang air besar. Pada manusia, persarafan simpatis ke sfingkter ani internus
bersifat eksitatorik, sedangkan persarafan parasimpatis bersifat inhibitorik. Sfingkter
melemas sewaktu rectum teregang. Persarafan ke sfingkter ani eksternus datang dari nervus
pudendus. Sfingkter dipertahankan dalam keadaan kontraksi tonik, dan peregangan sedang
rectum meningkatkan kekuatan kontraksinya. Keinginan berdefekasi pertama kali muncul
saat tekanan rectum meningkat sampai sekitar 18 mmHg, apabila tekanan sudah mencapai
55 mmHg maka sfingkter internus dan eksternus melemas dan isi rectum terdorong keluar
(Winge et al, 2003).
Penelusuran literatur melalui google dengan kata kunci abdominal massage kemudian
melalui pubmed http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15778565. Selanjutnya dapat
mengunduh jurnal The effects of abdominal meridian massage on constipation among CVA
Universitas Indonesia
patients” yang dilakukan oleh Jeon & Jung (2005), namun masih dalam bahasa asli korea.
Sedangkan melalui federated search http://ui.deepwebaccess.com/ui/ data bases; Science
direct. Kata kunci yang digunakan yaitu: abdominal massage and stroke. Salah satu hasil
penelusuran yang ditemukan adalah suatu penelitian yang dilakukan oleh Lamas et al tahun
2009 tentang “Effects of abdominal massage in management of constipation- A randomized
controlled trial”. Selanjutnya hasil penelitian tersebut akan diterapkan pada pasien Stroke
yang menjalani perawatan di rumah sakit.
Abdominal massage dengan swedia massage merupakan salah satu tehnik massage
abdomen yang efektif untuk meringankan konstipasi. Keefektifan masase Swedia didukung
oleh beberapa penelitian RCT antara lain Lamas et al (2009), Emly (2001, 2006), Preece
(2002). Teknik yang digunakan dalam studi yang berbeda bervariasi sampai batas tertentu:
misalnya, Lamas et al (2009) menggunakan terutama tekanan ringan, Effleurage dari
abdomen untuk total 7 menit, sementara Emly (2001, 2006) menggunakan tekanan moderat
Effleurage, menguleni dan getaran, dengan total 15 sampai 20 menit, sementara Preece
(2002) menggunakan masase pendorong, dengan total 10 menit. Sementara itu efektifitas
dan efek masase abdomen dapat dijelaskan berdasarkan artikel yang ditulis Sinclair (2010),
beliau telah melakukan sains review sejak tahun 1999 hingga saat ditampilkan menunjukkan
bahwa masase swedia adalah efektif. Menurut beliau masase abdomen dapat menstimulasi
peristaltic, menurunkan waktu transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air besar, dan
menurunkan rasa tidak nyaman serta nyeri pada pasien konstipasi. Dari hasil laporan
individual menunjukkan bahwa masase abdomen efektif untuk pasien konstipasi dengan
berbagai diagnosis fisiologik abnormal serta konstipasi fungsional jangka panjang.
Penelitian masase abdomen pada penderita stroke dilakukan oleh Jeon & Jung (2005) studi
ini mempelajari efek meridian masase abdomen terhadap konstipasi pada penderita stroke.
Penelitian ini menggunakan 31 penderita stroke yang terbagi 16 orang pada grup intervensi
dan 15 orang grup control. Dimana pada grup intervensi mendapatkan meridian masase
abdomen dan grup control tidak. Dari 31 partisipan tersebut tercapai homogenitasnya
berdasarkan gender, onset CVD, area paralisis, penyakit (CVD SI dan CVD SH), tingkat
Universitas Indonesia
aktivitas, usia, dan tekanan darah. Demikian juga homogenitas konstipasinya juga tercapai
yakni meliputi onset konstipasi, keteraturan defekasi frekuensi dari makanan, tipe makanan,
dan pemakaian laksativ. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna antara
grup intervensi dan grup control. Grup intervensi mengalami peningkatan frekuensi buang
air besar, mean frekuensi sebelum dilakukan masase abdomen adalah 2.8, meningkat
menjadi 4.4 pada minggu pertama, 4.69 pada minggu kedua, dan 4.5 pada minggu ketiga.
Sementara pada grup control tidak terdapat perbedaan, dimana mean frekuensi buang air
besar awal adalah 3, menjadi 2.6 pada minggu pertama, 3 pada minggu kedua, dan 2.8 pada
minggu ketiga. Masase abdomen meridian secara signifikan berpengaruh terhadap frekuensi
BAB (p=0.000) dan gejala konstipasi (P= 0.000) pada kelompok intervensi dibandingkan
pada kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan masase abdomen meridian secara
significan memperbaiki gejala konstipasi dan frekuensi BAB.
Beberapa penelitian lain yang dilakukan untuk melihat efektifitas masase abdomen dengan
desain RCT (randomized Clinical Trial) antara lain adalah oleh Lamas et al (2009) studi ini
menggunakan masase abdomen pada 60 orang lanjut usia, baik yang mengalami konstipasi
maupun yang tergantung obat laksativ. Partisipan dibagi menjadi 2 grup yakni grup control
dan grup intervensi, selama 8 minggu penelitian partisipan boleh tetap menggunakan
laksativ. Grup intervensi menerima masase abdomen selama 7 menit, 5 hari tiap minggu
untuk 8 minggu. Partisipan mendapatkan masase pada tangan untuk membantu relaksasi
dan tekanan ringan pada masase abdomen. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
masase abdomen secara significan menurunkan gejala memberatnya gastrointestinal yaitu
sindroma konstipasi (p=0.013), dan nyeri perut (0.019). Pada kelompok intervensi
mengalami peningkatan BAB dibandingkan dengan kelompok kontrol (p=0.016). kemudian
untuk intake laksative tidak ada perubahan selama 8 minggu antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol. Walaupun tidak ada pengurangan penggunaan laksativ, namun peneliti
menyimpulkan masase abdomen dapat dilakukan bersama penggunaan laksativ dan
intervensi masase abdomen jangka panjang dapat menunjukkan hasil setelah 4 minggu
Pada laporan berikutnya pada analisis biaya masase abdomen berdasarkan hasil temuan
Lamas et al (2009) bahwa pada pembiayaan masase abdomen terbukti lebih efektif untuk
Universitas Indonesia
jangka panjang dan patut dipertimbangkan dalam pengelolaan konstipasi (Lamas et al,
2010).
Penelitian terkini dengan RCT dilakukan oleh McClurg et al (2011), penelitian ini
menggunakan 2 grup yang terdiri dari 30 orang penderita multiple sclerosis. Pada grup
intervensi mendapatkan nasehat dan masase abdomen, sedangkan grup control hanya
mendapatkan nasehat. Masase abdomen diajarkan kepada peserta atau wali mereka dan
dilakukan setiap hari selama empat minggu, dengan kedua grup menerima kunjungan
mingguan untuk memperkuat teknik masase dan saran pada manajemen buang air besar.
Ukuran Hasil utama adalah system scoring konstipasi yang menunjukkan manfaat yang
signifikan secara statistik dengan grup masase abdomen. Alat ini menggunakan delapan
variabel: frekuensi; ketidaknyamanan, sakit pada evakuasi, penggunaan stimulasi; waktu
yang dihabiskan; perasaan evakuasi lengkap, riwayat, dan kegagalan untuk evakuasi. Ini
dinilai dari 0-4 tergantung pada beratnya, sebuah skor global diperoleh dengan
menjumlahkan skor item individual, dengan skor 15 atau lebih didefinisikan sebagai
konstipasi. Peserta penelitian melaporkan peningkatan frekuensi dan kemudahan buang air
besar, dan perubahan konsistensi gerakan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Teknik yang digunakan dalam studi yang berbeda bervariasi sampai batas tertentu:
misalnya, Lamas et al (2009) menggunakan terutama tekanan ringan, Effleurage dari
abdomen untuk total 7 menit, sementara Emly (2001, 2006) menggunakan moderat tekanan
Effleurage, menguleni dan getaran, dengan total 15 sampai 20 menit, sementara Preece
(2002) menggunakan masase pendorong, dengan total 10 menit.
Universitas Indonesia
4.2.1.3 Masase abdomen meridian dalam penelitian Jeon dan Jung (2005). Penelitian ini
melakukan masase abdomen meridian berdasarkan teknik dasar masase meridian TAICO.
Adapun bagian-bagian yang diberi stimulasi masase adalah sebagai berikut:
1. Gosok dengan arah jarum jam yang dilakukan dengan telapak tangan pada bagian titik di
antara tengah perut bawah pusar dan perut bawah (gwanwon), titik tengah perut atas pusar
(junggwan), dan titik samping pusar (cheonchu) sebanyak 16 kali putaran. Gerakan ini
disebut rounding.
2. Lakukan ketukan ringan pada bagian pinggang perut samping (gyeongmun) dan rongga
perut (jangmun) selama 7 hitungan. Gerakan ini disebut kneading
3. Gunakan telapak tangan untuk menekan bagian pinggang perut samping (gyeongmun)
dan juga rongga perut (jangmun) bagian kiri, kemudian tekan-tekan dan gosok-gosok
sebanyak 2 kali selama 1 hitungan sampai 7 hitungan.
4. Ketuk dengan ringan pada bagian pinggang perut samping (gyeongmun) dan juga rongga
perut (jangmun) bagian kiri selama 7 hitungan, kemudian remas-remas dan pijat-pijat
sambil menggosoknya.
5. Periksalah dengan teliti dengan menggunakan hydrosphere pada bagian abdomen,
kemudian gerakan ke arah titik pinggang perut samping (gyeongmun) dan rongga perut
(jangmun).
6. Ulangi gerakan ke-2 dan ke-4 masing-masing 1 kali saja
7. Ulangi gerakan ke-2, kemudian tekan dan gosok pada titik perut bawah (di atas kelamin)
(junggeuk) selama 1 hitungan sampai 7 hitungan masing-masing sebanyak 2 kali.
8. Gunakan hydrosphere untuk meremas-remas dan memijat-mijat, kemudian gosok-gosok
pada titik perut bawah (di atas kelamin) (junggeuk ) selama 7 hitungan..
9. Gerakan jari dari titik perut bawah atas kelamin (junggeuk ) ke arah titik pinggang perut
samping (gyeongmun) dan titik rongga perut (jangmun) kemudian gosok-gosok selama 1
hitungan sampai 7 hitungan sebanyak 2 kali. Setelah itu remas-remas dan pijat-pijat juga
gosok selama 7 hitungan pada titik pinggang perut samping (gyeongmun) dan titik rongga
perut (jangmun) bagian kiri. Setelah itu remasan, pijatan dan gosokan dilakukan pada titik
pinggang perut samping (gyeongmun) dan titik rongga perut (jangmun) bagian kanan.
10. Ulangi gerakan ke-7 dan ke-8 masing-masing 1 kali saja.
Universitas Indonesia
11. Periksa titik pinggang perut samping (gyeongmun) bagian kanan dan juga titik rongga
perut (jangmun), kemudian tekan bagian titik-titik tersebut dengan tiga jari tangan (telunjuk,
jari tengah, dan jari manis) sebanyak 3 kali. Gerakkan jari ke titik di antara tengah perut
bawah pusar dan perut bawah (gwanwon) dengan arah garis lurus, dan pada saat yang sama
dan juga cara yang sama tekan bagian tersebut sebanyak 3 kali. Setelah itu gerakan tiga jari
ke arah berlawanan yaitu ke kiri dengan arah garis lurus dan lakukan hal yang sama, yaitu
menekannya sebanyak 3 kali. Tekan daerah titik yang sama dengan satu jari kemudian
dengan ibu jari sebanyak 3 kali.
12. Gerakan ke-11 diulang dan dimulai dari bagian kanan
13. Ulangi gerakan ke-11 dan ke-12 sebanyak satu kali saja.
Pada penelitian ini intervensi dilakukan dengan teknik masase abdomen dengan swedia
masase dan edukasi tentang aktivitas, intake cairan dan serat yang cukup sedangkan pada
kelompok kontrol hanya diberikan edukasi. Output pada kegiatan ini adalah menurunkan
episode konstipasi dan frekwensi BAB menjadi lebih baik pada pasien stroke yang ditandai
dengan pasien dapat BAB rutin 1-2 kali dalam 1-2 hari, tidak merasakan nyeri diperut, tidak
mengalami kesulitan BAB, perasaan tuntas dalam BAB, tidak menggunakan bantuan untuk
BAB seperti pemakaian laksative ataupun bantuan digital/ enema. Pertanyaan klinis adalah
apakah penerapan masase abdomen dapat menurunkan kondisi konstipasi pada pasien
stroke dibandingkan dengan kelompok yang diberikan edukasi.
Universitas Indonesia
Rencana penerapan EBN terkait dengan pelaksanaan masase abdomen di Ruang Teratai
IRNA B Lantai VI Selatan RSUP Fatmawati Jakarta sebelumnya telah disampaikan secara
singkat kepada kepala ruangan, dan perawat primer yang ada diruangan dan pada
prinsipnya disetujui dan dapat dilaksanakan. Namun masih yang menjadi kendala
diantaranya adalah rata-rata hari rawat pasien 7-10 hari sehingga masase dilanjutkan setelah
pasien pulang. Sementara itu untuk proses masase setelah penulis mendapatkan ijin dari
pasien dan keluarganya pelaksanaan masase abdomen selalu didampingi oleh suami atau
istri pasien untuk memberikan ketenangan berkaitan area yang dimasase adalah dekat
dengan area intim.
Pada penerapan EBN ini melibatkan pasien stroke yang dirawat di lantai VI RSUP
Fatmawati Jakarta, sejumlah 12 orang yang terbagi atas 8 orang dalam kelompok intervensi
dan 4 orang dalam kelompok kontrol. Adapun kriteria pasien tersebut adalah: bersedia
menjadi responden, bisa membaca dan menulis, tanda-tanda vital stabil, kesadaran
composmentis dan mengalami konstipasi, minimal 3 hari belum BAB. Sedangkan kriteria
pasien yang dieksklusi adalah: pasien mengalami obstruksi abdomen, massa abdomen,
perdarahan usus, terapi radiasi abdomen, strangulasi hernia dan kurang dari 6 minggu pasca
operasi abdomen EBN ini dilakukan di Ruang teratai lantai 6 RSUP Fatmawati Jakarta.
EBN ini dilaksanakan pada minggu III Maret – mgg I Mei 2012 (7 minggu)
Pelaksanaan EBN ini, adalah sebagai berikut: (1) Prosedur administrasi : proposal EBN dan
ijin ruangan; (2) Menentukan pasien stroke yang akan diberikan masase abdomen; (3)
Meminta persetujuan pasien yang dipilih; (4) Prosedur intervensi keperawatan : mengukur
tanda- tanda vital pasien, mengukur CSS (Constipation Scoring System) pasien pada awal
sebelum tindakan,pelaksanaan intervensi keperawatan memberikan masase abdomen.
Waktu masase abdomen 7 menit, satu kali sehari selama 5 hari dalam seminggu; (5)
Evaluasi konstipasi dengan system scoring konstipasi (CSS) setelah 1 minggu tindakan.
Universitas Indonesia
Berbeda dengan hasil yang diperoleh penulis pada katagori umur, pada penelitian Jeon &
Jung (2005) rata-rata responden stroke yang mengalami konstipasi adalah umur 63 tahun,
dimana umur tersebut adalah sudah dalam masa lanjut usia. Demikian juga pada penelitian
Su et al (2009) dari 154 responden stroke terdapat 85 responden stroke yang mengalami
konstipasi dan dari angka tersebut terbanyak 50 orang (58,8%) yang mempunyai umur
diatas 65 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konstipasi pada pasien stroke dapat terjadi
pada semua umur.
Berkaitan dengan umur, walaupun stroke dapat terjadi pada semua umur, namun kejadian
stroke meningkat seiring dengan bertambahnya umur, hal ini terkait dengan pathofisologi
yang mendasarinya yaitu sebagian besar berhubungan dengan proses atherosclerosis dan
hipertensi (Wahjoepramono,2005). Setelah serangan stroke maka beberapa ketidak
mampuan maupun kecacatan mengikutinya, dan ini berdampak pada mobilitas pasien stroke
Universitas Indonesia
demikian juga pemberian obat-obatan, selanjutnya hal ini akan berkontribusi pada kejadian
konstipasi pada pasien stroke.
Karakteristik lainnya yang penulis dapatkan dari 12 orang responden sebagian besar adalah
laki-laki yaitu 9 orang (75%), hal ini selaras dengan hasil penelitian Su et al (2009) bahwa
dari 85 responden stroke yang mengalami konstipasi sebagian besar adalah laki-laki yaitu
57 orang (67,1%).
Berkaitan dengan type stroke dari 12 orang responden sebagian adalah type stroke infark 8
orang (66.7%). Hal ini juga selaras dengan hasil penelitian Su et al (2009) bahwa dari 85
responden stroke yang mengalami konstipasi sebagian besar adalah type stroke ischemic
yaitu 63 orang (74.1%), demikian juga Jeon & Jung (2005) dari 32 responden stroke yang
mengalami konstipasi terdapat 27 orang (84,4%) adalah type stroke infark. Menurut
Wahjoepramono (2005) Dari keseluruhan stroke, type stroke iskemia diperkirakan terjadi
pada 80% dan stroke hemorragik 20%, akan tetapi beberapa literature menyatakan bahwa
perbandingan ini tidaklah sama pada setiap ras.
Demikian juga penggunaan laksative atau bantuan stimulasi BAB terdapat pada 6 orang
(50%), namun pada penelitian Jeon & Jung (2005) dari 32 responden stroke yang
mengalami konstipasi terdapat 30 orang (94,%) adalah menggunakan laksative. Pada pasien
stroke keadaan defekasi yang lancar diperlukan, stroke guna mencegah pasien mengedan
yang merupakan valsava maneuver, sebagaimana diketahui valsava manuever dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Maka dalam kondisi konstipasi pasien stroke hampir
selalu mendapat terapi dari dokter berupa pemberian laksative.
Universitas Indonesia
Ini dinilai dari 0-4 tergantung pada beratnya, sebuah skor global diperoleh dengan
menjumlahkan skor item individual. Skor total 0 -30 semakin tinggi menunjukkan semakin
berat konstipasi,
Pada responden control terdapat penurunan rata-rata hasil CSS dari pretest ke post test
namun pada hasil analisis tidak ada perbedaan kondisi konstipasi yang bermakna pada
pengukuran pre dan post massage abdomen yaitu p > 0,05 (p= 0,391 pada α= 0,05). Hal ini
terjadi karena pada responden control menerima edukasi untuk meningkatkan intake serat
dan cairan serta melakukan aktivitas sesuai yang diperbolehkan, beberapa responden
menunjukkan perubahan dalam intake cairan dan serat karena dukungan perawat,
keluarganya dan juga tim gizi yang membantu perubahan tersebut, namun untuk aktivitas
masih sulit dilakukan terkait beberapa keluhan seperti disabilitas dan rasa nyeri kepala yang
dirasakan pasien.
Pada responden intervensi terdapat penurunan rata-rata hasil CSS dari pretest ke post test
dan pada hasil analisis ada perbedaan kondisi konstipasi yang bermakna pada pengukuran
pre dan post massage abdomen yaitu p > 0,05 (p= 0,00 pada α= 0,05). Hal ini terjadi karena
pada responden intervensi menerima masase abdomen selain menerima edukasi untuk
meningkatkan intake serat dan cairan serta melakukan aktivitas sesuai yang diperbolehkan,
beberapa responden menunjukkan perbaikan fungsi gastrointestinal diantaranya rasa mual
dan muntah, 2 orang responden yang mengeluhkan mual dan muntah setelah mendapatkan
masase 2 kali (selama 2 hari) menyatakan perut terasa nyaman dan tidak muntah lagi, serta
menunjukkan intake makanan yang adekwat. Selain itu 6 dari 8 orang responden intervensi
menyatakan merasa senang bisa BAB normal lagi dan perutnya juga tidak sakit lagi.
Disamping itu juga rata- rata responden intervensi memiliki penyakit penyerta selain stroke
seperti hipertensi dan diabetes mellitus. Hal ini selaras dengan pendapat Sinclair (2010),
bahwa masase abdomen dapat menstimulasi peristaltic, menurunkan waktu transit kolon,
meningkatkan frekuensi buang air besar, dan menurunkan rasa tidak nyaman serta nyeri
pada pasien konstipasi. Dari hasil laporan individual menunjukkan bahwa masase abdomen
Universitas Indonesia
efektif untuk pasien konstipasi dengan berbagai diagnosis fisiologik abnormal serta
konstipasi fungsional jangka panjang.
Pada hasil CT Scan kepala rata- rata pasien stroke yang mengalami konstipasi untuk stroke
infark adalah dari 8 orang responden, terdapat 6 orang pada hasil CT Scannya mengalami
infark luas atau multiple infark pada daerah fronto-temporo dan parietal dan merupakan
infark baru, dan hanya 2 orang yang mengalami infark pada kapsula interna dan basal
ganglia. Sedangkan pada 4 orang responden stroke hemoragik seluruhnya terdapat
perdarahan pada basal ganglia. Namun dari 12 responden tersebut baik stroke infark
maupun hemoragik 8 orang responden terdapat infark ataupun perdarahan di basal ganglia.
Basal ganglia adalah accessory motor system yang tidak bisa bekerja sendiri, berasosiasi
dengan cerebral cortex dan corticospinal motor control system. Basal ganglia mendapat
sebagian besar input signal dari cerebral cortex dan dan juga mengembalikan output signal
ke cerebral cortex. Ganglia terdiri dari caudate nucleus, putamen, globus pallidus,
substantia nigra, subthalamic nucleus. Hubungan antara basal ganglia dengan elemen otak
lainnya untuk kontrol motor sangat kompleks. Basal ganglia berasosiasi dengan
corticospinal system untuk mengontrol pola kompleks aktivitas motor. Contoh: menulis,
menggunting kertas, memasang paku, melempar bola basket ke ranjang, vocalization,
kontrol pergerakan mata dan gerakan terlatih lainnya. Sehingga lesi atau kerusakan pada
bagian ini menyebabkan gangguan pada gerakan motorik.
Universitas Indonesia
Selanjutnya hasil analisis frekuensi BAB rata-rata pada pengukuran selama 1 minggu
pertama setelah masase abdomen pada responden control adalah 0.5 kali/minggu, sementara
rata-rata pada responden intervensi adalah 2.5 kali/minggu. Pada tahap analisis lebih lanjut
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan frekuensi BAB yang bermakna pada pengukuran
minggu pertama post massage abdomen antara responden control dan intervensi p < 0,05
(p= 0,006 pada α= 0,05). Hasil EBN ini selaras dengan hasil penelitian Jeon & Jung (2005)
bahwa masase abdomen meridian secara signifikan berpengaruh terhadap frekuensi BAB
(p=0.000). Demikian juga pada penelitian Lamas et al (2009) didapatkan perbedaan
frekuensi BAB yang signifikan pada minggu ke-8, antara kelompok intervensi dengan
kelompok kontrol (p=0.016) setelah dilakukan masase.
Keterbatasan pada pelaksanaan EBN yang idealnya dilakukan selama 8 minggu namun
karena waktu rawat penderita yang jarang mencapai 2 minggu sehingga massage tidak dapat
dilakukan selama 8 minggu, namun karena massage dapat dilakukan oleh penderita atau
keluarga sehingga dapat dilanjutkan secara mandiri oleh penderita dan keluarganya di
rumah maka penulis selalu menganjurkan untuk melakukannya secara mandiri dirumah.
Pengisian CSS kadang- kadang mengalami kesulitan pada pasien yang mempunyai
gangguan kognitif sehingga pengisiannya sering dibantu keluarga untuk mengingatnya.
Universitas Indonesia
bantuan dalam ADL seperti mandi, merawat diri, ambulasi, makan dan eliminasi
(DeLaune & Ladner, 2002). Di ruang teratai lantai 6 rumah sakit Fatmawati Jakarta,
penetapan diagnosa keperawatan menggunakan diagnosa keperawatan yang sudah
terkomputerisasi. Diagnosa keperawatan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan fungsional yang digunakan adalah gangguan mobilitas fisik,
intoleransi aktivitas, gangguan pemenuhan kebersihan diri, gangguan pemenuhan
kebutuhan berpakaian dan berhias serta gangguan pemenuhan eliminasi.
Barthel Index pertama kali dikeluarkan pada tahun 1965 yang mengandung 10 item
yaitu personal hygiene, mandi, makan, penggunaan toilet, menggunakan tangga,
berpakaian, eliminasi buang air besar, eliminasi buang air kecil, ambulasi atau
berpindah. Barthel Index mudah digunakan, sederhana dan membutuhkan waktu
sekitar 30 detik sampai 1 menit. Penggunaan indeks ini dapat diulang dengan
interval yang teratur untuk menilai perubahan kemampuan fungsional yang dialami
pasien.
hasil bahwa pelaksanaan asuhan keperawatan sudah cukup (60%) dan pelaksanaan
intervensi neurologi (60%), namun dalam melakukan pengkajian terkait dengan
ADL belum menggunakan format pengkajian menggunakan skala sehingga dalam
menetapkan diagnosa dan mengevaluasi pencapaian tujuan tidak memiliki dasar
yang jelas. Berikut ini dijelaskan analisis situasi berdasarkan analisis SWOT.
a. Strenght
Ruang Teratai lantai 6 Selatan RSUP. Fatmawati Jakarta sudah spesifik merawat
pasien dengan penyakit neurologi dan kardiologi. Kepala ruangan sudah
berpendidikan S2 keperawatan dengan system pelayanan MPKP, mempunyai 4
orang PN dengan 2 orang berpendidikan S1 dan 2 orang berpendidikan D3
dengan pengalaman lebih dari 10 tahun. Jumlah tenaga perawat 35 orang dengan
pendidikan SPK, D3 dan S1 Keperawatan. Sistem pendokumentasian dengan
computer untuk diagnosa dan intervensi keperawatan. Sudah mempunyai tenaga
administrasi dan 2 orang pekarya sehingga perawat dapat melaksanakan asuhan
keperawatan yang optimal.
b. Weakness
Sistem pelayanan MPKP belum optimal. Sistem pendokumentasian dilakukan
oleh PN dan PA dan belum mencerminkan seluruh kondisi pasien yang menjadi
data dalam asuhan keperawatan sesuai diagnosis keperawatan.
c. Opportunity
Merupakan rumah sakit tipe A dan merupakan rumah sakit rujukan. Selain itu,
RSUP. Fatmawati merupakan rumah sakit pendidikan.
d. Treath
Banyaknya rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan dengan kasus
spesifik.
Universitas Indonesia
5.2.1 Persiapan
Persiapan inovasi dimulai dengan melakukan identifikasi kebutuhan inovasi ruangan.
Persiapan meliputi:
a. Menyiapkan proposal kegiatan penggunaan Barthel Indeks untuk menilai
kemampuan fungsional pasien.
b. Menentukan time schedule
c. Melakukan konsultasi dan perbaikan proposal
d. Menentukan fasilitas pendukung dan sumber daya termasuk team work dalam
pelaksanaan inovasi.
e. Menyiapkan format pengkajian Barthel Index.
5.2.2 Pelaksanaan
Pelaksanaan inovasi dimulai dengan sosialisasi program dilanjutkan sosialisasi
penggunaan Barthel Index. Sosialisasi penggunaan Barthel Index dilaksanakan pada
tanggal 09 April 2012 yang dihadiri oleh oleh supervisor, kepala ruangan, wakil
kepala ruangan, 2 orang PN dan 6 orang perawat pelaksana serta 4 orang mahasiswa.
Materi sosialisasi meliputi latar belakang perlunya penggunaan Barthel Index,
pengertian Barthel Index, tujuan penggunaan Barthel Index, cara penggunaan
Barthel Index dengan contoh kasus dan interprestasi hasil pengkajian serta
pendokumentasian dalam asuhan keperawatan.
Universitas Indonesia
5.2.3 Evaluasi
Penilaian barthel index paling baik dilakukan pada 24 – 48 jam pertama pada saat
pasien masuk. Untuk evaluasi dilakukan sesuai dengan kriteria waktu yang
ditetapkan oleh perawat untuk mencapai keberhasilan dari masalah keperawtan.
Evaluasi bisa diakukan pada hari ke 3,7,10 dst atau sewaktu waktu bila kondisi
pasien memerlukan pengkajian barthel index. Evaluasi merupakan tahap akhir dari
kegiatan inovasi. Evaluasi meliputi evaluasi diri penggunaan barthel index terdiri
dari 10 item pertanyaan yang terdiri dari jawaban “ya” dan “tidak” yang meliputi
pengetahuan, penggunaan , kecocokan dari format Barthel Index di ruangan.
Penggunaan format dievaluasi dengan melakukan observasi terhadap pengisian
Berthel Index dengan menggunakan format evaluasi dokumentasi pada pertanyaan
nomor 1 dan 2 . Penilaian dokumentasi dievaluasi dengan melakukan observasi
terhadap dokumentasi Berthel Index dengan menggunakan format evaluasi
dokumentasi pada pertanyaan nomor 3,4 dan 5 (format evaluasi terlampir).
Universitas Indonesia
hanya 18 orang (90%) perawat yang menganggap bahwa Barthel Index mudah
diaplikasikan dan 9 orang (45%) yang selalu menggunakan Barthel Index.
Evaluasi dokumentasi dilakukan pada minggu pertama Mei terhadap 20 pasien yang
akan melanjutkan perawatan di rumah. Berdasarkan hasil evaluasi dokumentasi, 15
format Barthel Index (75%) sudah diisi dengan benar, namun hanya 3 format (15%)
yang diisi secara berkala. Pengkajian Barthel Index yang ditulis sebagai data
penunjang diagnosa keperawatan sebanyak 7 kasus (35%), menjadi kriteria evaluasi
teratasinya masalah keperawatan sebanyak 3 kasus (15%) dan Barthel Index ditulis
dalam catatan perkembangan sebanyak 4 kasus (20%). Data tersebut menunjukkan
bahwa, masih dibutuhkan pemahaman, kesadaran dan pembiasaan dari perawat
untuk menggunakan Barthel Index dan menjadi bagian dari dokumentasi asuhan
keperawatan.
5.3 Pembahasan
Sebagian besar perawat memiliki pengetahuan tentang pengkajian menggunakan
Barthel Indeks. Hal ini dikarenakan pemberian sosialisasi yang dilakukan dengan
metode diskusi disertai bedside teaching. Disamping itu, residensi siap sedia
memberikan masukan dan penguatan pada perawat di ruangan dalam menggunakan
format. Disamping itu barthel Index merupakan instrumen yang mudah digunakan,
serta pengisiannya hanya membutuhkan waktu sekitar 3 menit (Dewing, 1992).
Mengerjakan sesuatu yang baru yang belum menjadi bagian dari system dibutuhkan
kesadaran dan kemauan dari perawat untuk meningkatkan kualitas pelayanan
keperawatan sehingga menjadi lebih baik. Hal ini akan menjadi suatu rutinitas jika
didukung oleh role model dari PN dan ditetapkan menjadi standar keperawatan di
ruangan dan menjadi bagian dari system pelayanan keperawatan.
Universitas Indonesia
BAB 6
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini disampaikan simpulan dan saran yang disusun berdasarkan uraian pada
bab 1 sampai 5 sebagai berikut
6.1. Simpulan
6.1.2. Penerapan EBN masase abdomen yang dilakukan pada 12 orang pasien stroke
dengan konstipasi yang terdiri dari 7 orang kelompok intervensi dan 4 orang
kelompok control selama 5 kali intervensi ( dalam 1 minggu), menunjukkan pengaruh
yang signifikan pada kondisi konstipasi dan frekuensi buang air besar.
6.1.3. Pengkajian dengan skala sangat akurat yaitu indek barthel dapat digunakan
untuk menilai ketidakmampuan fungsional pasien dalam melakukan ADL. Pada
pengkajian ini dapat diperoleh data yang mendukung untuk menegakkan diagnose
keperawatan dan menentukan intervensi terkait, selanjutnya juga sebagai evaluasi
untuk menilai kemandirian pasien. Selain itu pengkajian menggunakan format indek
barthel mudah dilakukan hanya butuh waktu 3 menit namun membawa manfaat pada
proses keperawatan klien sehingga dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Pada hasil pelaksanaan inovasi seluruh perawat di ruang teratai lantai VI selatan
114
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
115
6.2. Saran
Berdasarkan simpulan di atas dapat disarankan kepada :
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
116
Universitas Indonesia
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
117
DAFTAR PUSTAKA
Agachan F, Chen T, Pfiefer J., Reissman, P., & Wexner, D.S.(1996). A constipation
scoring system to simplify evaluation and management of constipated patients.
Journal disease colon rectum, 39, 681–685.
Black, M. J., & Hawks, H.J. (2005) Medical Surgical Nursing Clinical Management
for Contiunity of Care, 5 th ed. WB Saunders Company, Philadelphia.
Bleser, S., Brunton, S., Carnichael, B., Olden, K.,Rasch, R.,& Stage, J.(2005)
managemen of cronic constipation recommendations from a concesus
panel.J.fam pract, 54 (8) 692-698
Bliss, D. Z., Jung, H. Z., Savik, K., & Lowry, A,C.(2001) Supplementation with
dietary fiber improves fecal incontinence, nurs,Res 50 (4): 203
Boysen, G., & Christensen, H.(2001). Stroke severity determines body temperature
in acute stroke. Stroke 32: 413–417.
Burrel & Barlack, (1997) Nursing Management of Adult with Neurologic Problem, 2
nd
ed, Appleton & Lange, USA
Clarke, N. P., Barone, H. S., Hanna, H. D., Senesac, M. P.(2011). Roy’s Adaptation
Model Nursing Science Quarterly.24(4). 337–344.sagepub.com/journals
Permissions. nav DOI: 10.1177/08943 18411419223http://nsq.sagepub.com
117
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
118
Dewing, J. (1992). Clinical review a critique of the barthel index. British. Journal of
Nursing, 1 (7), 325-329.
Folden, S. L., Backer, J. H., Maynard, F., Steven, K.,Gilbride, J.A., & Pires, M., et
al (2002) RNF practice guidelines for the management of constipation in adults.
Rehabilitation Nursing Foundation. Available at: http://www.rehabnurse.org.
Grau, A.J., Buggle, F., Becher, Zimmermann, M., Spiel, T.,& Fent, M., et al.,
(1995). Recent infection as a risk factor for cerebrovascular ischemia. Stroke 26:
373
Grau, A. J., Buggle, F., Schnitzler, P., Spiel, M.,Lichy, C.,Hacke, W. (1999). Fever
and infection early after ischemic stroke. Journal Neurologi Science. 171: 115–
120.
Guyton, C.A., & Hall, J.E. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC
Hankey GJ, Less KR, (2001), Stroke management in Practice, Harcot Health
Communication. Mosby International Ltd.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
119
Hinrich, M., Huseboe, J., & Tang, J.H., & Tittler, M.G. (2001) Research based
protocol. Managemen of constipation. Journal Gerontologi nurse 27 (2):17
Jeon, S.Y., Jung, H.M., (2005) The effects of abdominal meridian massage on
constipation among CVA patients. Daehan Ganho Haghoeju; 35: 1, 135-142.
Kissela, B.M., Khoury, J., Kleindorfer, D., Woo, D., Schneider, A., Alwell, K.,et al
(2005) Epidemiology of ischemic stroke in patients with diabetes: the greater
Cincinnati/Northern Kentucky Stroke Study. Diabetes Care.28:355–359.
Lamas, K., Lindholm, L., Stenlund, H., Engstro, B., & Jacobsson, C.(2009) Effects
of abdominal massage in management of constipation: a randomised controlled
trial. International.Journal of Nursing Studies; 46: 759-767.
Lamas, K., Lindholm, L., Engstro, B., & Jacobsson, C. (2010) Abdominal massage
for people with constipation: a cost utility analysis. Journal of Advanced
Nursing; 66: 8, 1719-1729.
LaSala, A. C,. Connors, M. P., Pedro, T. J., & Phipps, M. (2007). The Role of the
Clinical Nurse Specialist in Promoting Evidence-Based Practice and Effecting
Positive Patient Outcomes. The Journal of Continuing in Nursing, 38(6), 262 –
270.
Liu, Z., , Sakakibara, R., Odaka, T.,Uchiyama, T.,Yamamoto,T., & Ito, T., et al
(2005) Mechanism of abdominal massage for difficult defecation in a patient with
myelopathy (HAM/TSP). Journal of Neurology, 252: 10, 1280–1282.
Lubkin & Larsen, (2006) Cronic illness impact and intervention, ed 6, Boston, Jones
and Barlett
Martino, R., Foley, N., Bhogal, S.,Diamant, N.,Speechley, M., & Teasell, R.(2005).
Dysphagia after stroke: incidence, diagnosis, and pulmonary complications.
Stroke 36: 2756–2763.
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
120
McClurg, D.,Hagen, S., Hawkin, S., & Lowe-Strong, A.(2011) Abdominal massage
for the alleviation of constipation symptoms in people with multiple sclerosis: a
randomized controlled feasibility study. Journal Multiple Sclerosis; 17: 2, 223-
233.
Morgenstern, L. B., Hemphill, J. C., Anderson, C., Becker, K., Joseph, P., &
Broderick, E. (2010) Guidelines for the Management of Spontaneous
Intracerebral Hemorrhage : A Guideline for Healthcare Professionals From the
American Heart Association/American Stroke Stroke. ;41:2108-2129; originally
published online
Ness, W.(2008) Faecal incontinence: what influences care and management options?
British Journal of Nursing. 17, 18, 1148-1152.
Price S.A., dan Wilson, (2006), Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,
EGC, Jakarta
Quander, C.R., Morris, M.C., Melson, J., Bienias, J.L., & Evans, D.A. (2005),
Prevalence of and factors associated with fecal incontinence in a large
community study of older individuals. Am Journal Gastroenterologi; 100:905-
909
Roy, C.S.,& Andrews, A.H.(1999). The Roy adaptation models, 2thedition, Appleton
& Lange,USA
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
121
Silbernagl, S., & Lang, F. (2006). Teks & atlas berwarna patofisiologi. (Iwan
Setiawan & Iqbal Mochtar, Penerjemah). Jakarta: EGC.
Thompson, W.G., Long, Longstreth, G.F., Drossman, D.A, Heaton, K.W.,& Irvine
E.J., et al (1999), Functional bowel disorders and functional abdominal pain. Gut
;45(suppl 2):43– 47.
Warlow, C.P., Dennis, M.S., Gijn, V.J., Hankey, G.J., Sandercock, P. A., &
Bamford, J.M. (2007), Stroke, In: apractical guide to management. Ist
ed.London : Blackwell Science.
Weisbrodt, N. W. (2001). Motility of the large intestine. In: Johnson LR, ed (2001).
Gastroinestinal Physiology.6th ed, St. Louis, Mo: Mosby, Inc.,p:57–63.
Wolf, P.A., D’Agostino, R.B., Kannel, W.B., Bonita, R., & Belanger, A.J. (1988).
Cigarette smoking as a risk factor for stroke: the Framingham study. JAMA.
259:1025–1029.
Wright & Leahey ,(2005). Nurses and families: a guide to family assessment and
intervention, ed.4, Philadelphia, FA Davis
Su, Y., Zhang, X., Zeng, J., Pei, Z., Cheung, F. T. R., & Zhou, Q.. et al. (2009), New
onset Constipation at Acute Stage After First Stroke Incidence, risk Factors, and
Impact on the Stroke Outcome, journal American heart Association. 40:1304-
1309
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis praktik..., Puji Astuti, FIK UI, 2012
lampiran 1
PENGKAJIAN KEPERAWATAN DENGAN PEDEKATAN TEORI ADAPTASI ROY
INFORMASI UMUM
1. ADAPTASI FISIOLOGI
PENGKAJIAN PERILAKU
Subjektif:
Kesulitan bernapas: Tidak, Ya: .................................................................................... .....................................................................................
Aktivitas mempengaruhi pernapasan: Tidak, Ya: ................................................................................................................ ..............................
Batuk: Tidak, Ya:................................................................................................................................................................................................
Objektif:
Tekanan darah: ..................mmHg, Nadi: ......... x/menit, Suhu: ..........oC, Pernapasan:..........x/menit, CRT: ..........detik
OKSIGENASI
Irama napas: ........................Penggunaan otot aksesori pernapasan: Tidak Ya Bunyi napas: Vesikuler Ronchi Wheezing
Bunyi jantung: ...................................................................................................................
Analisa Gas Darah: Tanggal: ........................................
pH: ......................... PaO2: .........................mmHg PaCO2: ............................mmHg HCO3: ...................mmol/L
Saturasi O2: ............% BE: .............................mmol/L Total CO2 ........................ mmol/L
Radiologi: ................................................................................................................................... .................................................................................
CT Scan: ..................................................................................................................................................................... .................................................
.............................................................................................................................................................................................................. ........................
Therapy: ................................................................................................. ......................................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
PENGKAJIAN PERILAKU
Subjektif:
Apakah mengalami: Anoreksia Mual Muntah Kesulitan mengunyah Kesulitan menelan
Frekuensi makan:......../hari, jenis makanan: .............................................................Diet khusus: Ya:...................... Tidak
Alergi terhadap makanan? Ya ............................ Tidak
Objektif:
Kulit: Ruam Edema Kering Lembab Kuku: Warna .................... Kebersihan: ...........................................................................
NUTRISI
Mukosa Oral/Bibir: Lembab Lesi Pucat Gigi: Jumlah Gigi............Buah Kebersihan: .....................................................................
Gusi: Perdarahan Inflamasi Lidah: Warna....................... Edema Lesi
BB: .................. Kg IMT: .................Kg/M 2
TB: ...................Cm LLA: ................. Cm
Laboratorium:
Hb...................g/dl Hematokrit: ..................% Trombosit: ...............ribu/µl Eritrosit: .................. juta/µl Albumin: ..................g/dl
SGOT: ...................U/l SGPT: ......................... U/l GDS: ........................mg/dl
Therapy: .................................................................................................................... ..................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Objektif:
Urine: Bau ....................... Warna: .................... Jumlah: .....................Feses: Bau: ..................... Warna: ....................... Konsistensi: .................
Distensi bladder Ya Tidak Teraba scibala Ya Tidak Bising usus: .........x/menit
Laboratorium:Urine: ...............................................................................................Feses: ......................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
PENGKAJIAN PERILAKU
Subjektif:
Jenis aktivitas yang dilakukan: ......................................... Frekuensi .......................... Intensitas ..........................Durasi......................
Adakah sesuatu yang membatasi aktivitas bapak/ibu? .......................................................................... .....................................................................
Kualitas tidur: ................................. Kuantitas tidur: ..................jam/hari Gangguan tidur: Tidak Ya: ..............................................
AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Objektif:
Keterbatasan: Tidak ada Kelemahan Kelelahan Lain-lain......................................................................................................................... .
Tonus otot: Normal Menurun Meningkat Massa otot: Normal Atropi Hipertropi
ROM terbatas: Ya Tidak, Hemiplegia: Ya Tidak, Hemiparese: Ya Tidak, Kekuatan otot: ....................................................
Kemampuan perawatan diri: Derajat ADLs 0: Mandiri 1: Memerlukan alat bantu 2: Memerlukan bantuan orang lain
3: Memerlukan alat bantu dan bantuan orang lain 4: Tergantung
[ ]Makan [ ]Mandi [ ]Merawat diri [ ]Berpakaian [ ]Penggunaan toilet [ ]Berpindah/Ambulasi
Kesimpulan: ................................................................................................................. ................................................................................................
Perubahan gaya berjalan: Pelan Sulit melangkah Kaki diseret, Kordinasi dan keseimbangan: ...................................................................
Bahasa non verbal: Menguap Bayangan hitam di bawah mata Tidak dapat berkonsentrasi
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
PENGKAJIAN PERILAKU
Subjektif:
Riwayat: Trauma Alergi, Jelaskan..................................................................................................................... .................................................
Objektif:
Kulit: Intak Dekubitus Lesi Luka Lembab Lain-lain................................................................................................................
PROTEKSI
Apakah ada gangguan pendengaran? Tidak Tuli [D/S] Alat bantu dengar [D/S]
Kesulitan pengecapan dan penghidu: Ya Tidak, jelaskan ............................................................................................................................. .....
Nyeri/ketidaknyamanan:
Jelaskan: .......................................................................................................................................................................................................................
Objektif:
Gangguan fisik pada: Mata Telinga Hidung Lidah Kulit, Lama mengalami gangguan: ........................ Visus OD/OS: .................
Jenis minuman yang dikonsumsi: ............................Jumlah: ..................., Apakah mengkonsumsi suplemen? Ya: .............................. Tidak
DAN ASAM BASA
Objektif:
EKG:......................................................................................................................... ....................................................................................................
Laboratorium: Tanggal:.................. Natrium:........... mmol/l Kalium: ........mmol/l Chlorida: ...........mmol/l
Therapy: .................................................................................................................... ...................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
PENGKAJIAN PERILAKU
Subjektif:
Apakah merasa ada perubahan dalam rentang perhatian? kewaspadaan? ingatan? Jelaskan:........................................................................... ..........
Apakah mengalami kesulitan menelan? Makan? Berjalan? Jelaskan: ........................................................................................................................
Apakah pernah mengalami kejang? Kapan? Berapa kali? Berapa lama? Jelaskan: ....................................................................................................
Apakah mengalami tremor? Dimana? Berapa lama? Jelaskan: ...................................................................................... ............................................
Objektif:
Status Mental
Tingkat kesadaran: Compos mentis Apatis Somnolen Sopor Soporo-comatous Coma Skor GCS: E....M....V..........
Orientasi: Waktu Ya Tidak Tempat Ya Tidak Orang Ya Tidak
Memori: Segera Ya Tidak Jangka pendek Ya Tidak Jangka panjang Ya Tidak
FUNGSI NEUROLOGIS
Subjektif:
Apakah ada riwayat diabetes melitus?
Objektif:
Pembesaran tiroid: Ya Tidak Eksoftalmus: Ya Tidak Kretinisme: Ya Tidak Gigantisme: Ya Tidak
Laboratorium: ..........................................................................................................................................................................................................
Therapy: .................................................................................................................... ...................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULI
Stimulus Fokal:
Apakah bapak/ibu sulit menerima perubahan kondisi yang dialami? ........................................................................ .................................................
Bagaimana perasaan bapak/ibu terhadap penampilannya? .........................................................................................................................................
PERSONAL DIRI
Konsistensi diri:
Bagaimana bapak/ibu menggambarkan diri sebagai manusia? Karakter pribadi? ......................................................................................................
Ideal diri:
Apa harapan bapak/ibu terhadap diri?............................................................................................................................ ..............................................
Moral-etik-spiritual diri:
Keyakinan spiritual: ........................................................ Jenis aktivitas keagamaan yang diikuti: ............................ .........................................
Objektif:
Komunikasi non verbal: Tidak mau melihat bagian tubuh ............................ Tidak mau menyentuh bagian tubuh .....................................
Penampilan: ................................................................................................................. ................................................................................................
Ekspresi perasaan: Menyalahkan diri Tidak berdaya Kesendirian Perasaan sedih yang sangat hebat
Nilai dan praktik keagamaan sejak sakit: ....................................................................................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
3. FUNGSI PERAN
PENGKAJIAN PERILAKU
Peran primer: ............................................................................................................................. ..................................................................................
Peran sekunder: ............................................................................................................................................................. ..............................................
Peran tertier: .................................................................................................................................................................................................. ..............
Pengharapan keluarga/orang terdekat: .........................................................................................................................................................................
Pendapat bapak/ibu tentang pengharapan orang lain? .......................................................................... .......................................................................
Harapan terhadap diri sendiri: .............................................................................................. .......................................................................................
Objektif:
Peran selama sakit: ......................................................................................................... .............................................................................................
PENGKAJIAN STIMULUS
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
4. INTERDEPENDENSI
PENGKAJIAN PERILAKU
Anggota keluarga: ........................................................................................................................................................................................................
Orang yang paling dekat: ........................................................... alasan: ....................................................................................... ..............................
Selain keluarga, sosialisasi dengan ..............................................................................................................................................................................
Objektif:
Respon non verbal saat berinteraksi dengan orang lain: ............................................................................................................................. ...............
Observasi perilaku memelihara kasih sayang, perhatian, bantuan: .............................................................................................................................
PENGKAJIAN STIMULI
Stimulus Fokal:
Stimulus Kontekstual:
Stimulus Residual:
19 SI+ HT Pengkajian tanggal 11/10/11 Kesadaran compos mentis. Stimulus fokal adalah - Risiko Klien KRS tanggal 18/10/11.
Ny. SS/59 th tekanan darah 150/9 0mmHg, hasil CT Scan menunjukkan kelemahan anggota perubahan Setelah dilakukan tindakan
No. RM: 00771289 mrs adanya lacunar infark dan infark diparaventrikel lateral gerak, stimulus perfusi keperawatan selama 8 hari klien
sejak tanggal 10/10/2011 sinistra, tak tampak perdarahan, perselubungan ringan dari kontekstual adalah jaringan tidak menunjukkan penurunan
beragama Islam, suku sinus ethmoidalis dekstrasinusitis. BAB (+) lembek. Infark serebral, serebral. perfusi serebral. Klien sudah
Jawa, pekerjaan pedagang. Klien tidak didapatkan inkontinensia urine dan stimulus residual - Kerusakan mampu duduk seimbang dan
Klien dibawa kerumah inkontinensia alvi.BAK 4-5 kali sehari warna kuning jernih, adalah hipertensi, mobilitas duduk dikursi roda serta mampu
sakit dengan keluhan 2 hr mual(-), muntah (-), makan masih sedikit malas, nyeri kurang pengetahuan fisik berjalan kekamar mandi. Nyeri
sebelum MRS pada malam kepala skala 6 (1-10) pada area belakang. Pemeriksaan N I- - Defisit berkurang pada skala 1, T:
hari klien tidur dan pada XII dalam batas normal, hanya pada N XI: lemah pada sisi perawatan 130/80 mmHg, S:36°C, RR:
pgi hari ketika bangun kanan tubuh dan N VII parese sentral dekstra. Pupil bulat diri 20x/mt, N: 80x/mt, klien
sudah tidak mampu isokor Ø 2 mm/2 mm, reflek cahaya langsung dan tidak mengungkapkan sudah mengerti
EVALUASI KEPERAWATAN
Usia : 32 tahun
EVALUASI KEPERAWATAN
Usia : 32 tahun
EVALUASI KEPERAWATAN
Usia : 32 tahun
EVALUASI KEPERAWATAN
EVALUASI KEPERAWATAN
Usia : 32 tahun
EVALUASI KEPERAWATAN
Nama : Ny. H No RM: 01126842
Usia : 32 tahun
Diagnosa keperawatan: perawatan diri total
Hari/ Catatan perkembangan Nama/
tanggal paraf
Jum’at, 2 Perilaku adaptif :
Maret 2012 - Klien mau miring kanan dan kiri dengan bantuan
Perilaku inefektif:
- Terpasang NGT
- Kesadaran somnolen GCS (E3M6V4)
- Seluruh kebutuhan klien dibantu
Analisis: Klien belum beradaptasi dengan perawatan diri
Intervensi: pertahankan
senin, 5 Perilaku adaptif :
Maret 2012 - Klien mau miring kanan dan kiri dengan bantuan
- Kesadaran komposmentis GCS (E4M6V5 )
Perilaku inefektif:
- Terpasang NGT
- Mudah capek kalau gerak, keringat banyak
- Seluruh kebutuhan klien dibantu, skor BI=3
Analisis: Klien belum beradaptasi dengan perawatan diri
Intervensi: pertahankan
kamis, 8 Perilaku adaptif :
Maret 2012 - Klien mau miring kanan dan kiri dengan aktif
- Kesadaran komposmentis GCS (E4M6V5 )
- Klien makan melalui mulut dengan tangan kirinya
- Klien minta tolong untuk mengambilkan minum atau makanannya dan
selanjutnya makan/minum sendiri
- NGT dilepas
Perilaku inefektif:
- Mudah capek kalau gerak, keringat banyak
- Seluruh kebutuhan klien masih dibantu, skor BI=8
Analisis: Klien belum beradaptasi dengan perawatan diri
Intervensi: pertahankan
Senin, 12 Perilaku adaptif :
Maret 2012 - Klien mau miring kanan dan kiri dengan aktif serta duduk disanggah
- Kesadaran komposmentis GCS (E4M6V5 )
- Klien minta tolong untuk mengambilkan minum atau makanannya dan
selanjutnya makan/minum sendiri
- Klien dapat memakai baju sendiri dengan bantuan minimal, dan menyisir
rambut sendiri
- Klien minta ganti baju jika terasa agak basah
Perilaku inefektif:
- Seluruh kebutuhan klien masih dibantu, skor BI=9
Analisis: Klien belum beradaptasi dengan perawatan diri
Intervensi: pertahankan
Rabu, 14 Perilaku adaptif :
Maret 2012 - Klien mau miring kanan dan kiri dengan aktif, dan duduk
- Kesadaran komposmentis GCS (E4M6V5 )
- Klien makan melalui mulut dengan tangan kirinya
- Klien minta tolong untuk mengambilkan minum atau makanannya dan
selanjutnya makan/minum sendiri
- Klien dapat memakai baju sendiri dengan bantuan minimal, dan menyisir
rambut sendiri
- Klien mampu menggosok gigi dan seka sendiri dengan tangan kiri pada
tempat yang terjangkau
- Klien minta ganti baju jika terasa agak basah
- skor BI=11 (ketergantungan sedang)
Analisis: Klien dapat beradaptasi dengan perawatan diri
Intervensi: pertahankan
EVALUASI KEPERAWATAN
Usia : 32 tahun
Pelaksana : Perawat
Peralatan : 1. Babby oil
2. Selimut
3. Sketsel
4. Waslap
5. Spigmomanometer
6. Stetoskope
7. Termometer
8. Arloji
9. Buku catatan
D. Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi hasil masase abdomen (rasa nyaman, hasrat
untuk BAB, keluhan lain, ekspresi)
2. Menganjurkan pasien atau keluarga untuk melaksanakn
masase setiap hari selama 8 minggu, baik dibantu perawat,
atau keluarga.
3. Berpamitan pada pasien
4. Mendokumentasikan tindakan dan respon pasien dalam
catatan perawatan
Tujuan :
dapat menstimulasi peristaltic, menurunkan waktu
transit kolon, meningkatkan frekuensi buang air
besar, dan menurunkan rasa tidak nyaman serta nyeri
2. Effleurage dari otot dinding perut (rektus
pada pasien konstipasi
abdominis, obliques eksternal dan internal
Waktu : 7 menit satu kali sehari dan otot tranversa abdominis) masing -
masing10 kali
DISUSUN OLEH :
Syarat:
MAHASISWA RESIDENSI
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH Tanda-tanda vital stabil, kesadaran composmentis.
PEMINATAN NEUROLOGI
Kontra indikasi :
Pasien mengalami obstruksi perut, massa perut,
Program Magister Ilmu Keperawatan
perdarahan usus, terapi radiasi perut, strangulasi
Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas Ilmu Keperawatan hernia dan kurang dari 6 minggu pasca operasi perut
Universitas Indonesia
Tahun 2012
7. Kneading/Menguleni di atas jalur usus besar, 9. Getaran diatas jalur yang diduga usus
dengan tumit tangan, tangan atau jempol satu besar.
menit atau lebih. 10. Ulangi Langkah 4.
3. Kneading/ Menguleni dari perut-3 kali.
SELAMAT MENGERJAKAN
EVALUASI DIRI
MENGGUNAKAN BARTHEL INDEX
NO PERNYATAAN YA TIDAK
1. Saya mengetahui tentang pengkajian
kemampuan fungsional menurut Barthel Index
2. Saya mengetahui cara penggunaan Barthel
Index
3. Penggunaan Barthel Index mudah diaplikasikan
4. Saya mengetahui kapan harus menggunakan
Barthel Index
5. Barthel Index membantu dalam menilai
kemampuan fungsional pasien
6. Barthel Index membantu dalam merumuskan
diagnosa yang berhubungan dengan
ketidakmampuan fungsional (misalnya defisit
perawatan diri)
7. Saya selalu menggunakan Barthel Index untuk
menegakkan diagnosa keperawatan yang
berhubungan dengan ketidakmampuan
fungsional
8. Barthel Index sangat membantu dalam
mengevaluasi keberhasilan diagnosa
keperawatan
9. Saya tidak mengalami kesulitan dalam
menginterpretasikan hasil pengkajian Barthel
Index
10. Barthel Index sangat cocok digunakan di ruang
kardiologi dan neurologi
EVALUASI DOKUMENTASI