Alergi Makanan 5
Alergi Makanan 5
ALERGI MAKANAN
OLEH:
PEMBIMBING:
dr. I Wayan Hendrawan, M.Biomed, Sp.KK
PENDAHULUAN
Alergi makanan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
mempengaruhi anak-anak dan dewasa. Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di
Amerika Serikat percaya bahwa mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan
namun insidensi sesungguhnya setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan
1
pemeriksaan adalah 2-8% pada populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari
populasi dewasa.1 Prevalensi alergi makanan di Indonesia adalah 5-11%.
Prevalensi alergi makanan yang kecil ini dapat terjadi karena masih banyak
masyarakat yang tidak melakukan tes alergi untuk memastikan apakah mereka
positif alergi makanan atau tidak. Persepsi mereka, jika setelah makan makanan
tertentu mereka merasa gatal-gatal, maka mereka menganggap bahwa mereka
alergi terhadap makanan itu sehingga data yang ada tidak cukup mewakili.
Disamping itu, tempat untuk melakukan tes alergi masih belum banyak
ditemukan. Keadaan ini membuat beberapa orang terutama ibu-ibu seringkali
melarang anaknya untuk mengkonsumsi makanan tertentu sehingga secara tidak
langsung akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. 2
TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk melengkapi tugas di bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin dan untuk menambah pengetahuan tentang definisi
alergi makanan, patofisiologi, faktor resiko, manifestasi klinik, diagnosis dan
penatalaksanaannya.
DEFINISI
Alergi makanan merupakan respons imunologis yang abnormal terhadap
makanan yang dialami oleh seseorang yang rentan terhadap makanan tersebut.
Reaksi ini terjadi setiap kali mengkonsumsi makanan dan relatif tidak bergantung
pada jumlah makanan yang dimakan. Berdasarkan mekanisme imunologis yang
melatarbelakanginya, alergi makanan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu reaksi
diperantarai IgE yang dimediasi oleh antibodi IgE dan khas untuk reaksi alergi
makanan, reaksi tidak diperantarai IgE yang dimediasi oleh sejumlah komponen
sel dari sistem imun dan kebanyakan melibatkan traktus gastrointestinal, dan
gabungan dari kedua klasifikasi tersebut. Keadaan klinis dari ketiga klasifikasi
dapat dilihat pada tabel 1.1,3
2
Alergi makanan harus dibedakan dengan reaksi makanan non alergi. Alergi
makanan dimediasi oleh sistem imun sementara reaksi makanan non alergi tidak
dimediasi oleh sistem imun. Reaksi makanan non alergi disebut juga sebagai
reaksi intoleransi makanan dan dibagi menjadi reaksi toksik dan non toksik.
Reaksi toksik terjadi akibat aksi farmakologis dari suatu substansi di dalam
makanan. Reaksi ini dapat dialami oleh siapa saja yang terpapar oleh makanan
tersebut dan tidak diperantarai dengan faktor host. Substansi dapat berupa enzim
atau agen lainnya yang menyebabkan reaksi di dalam tubuh. Contoh reaksi toksik
antara lain muntah setelah keracunan makanan yang terkontaminasi bakteri atau
metal berat, dan gatal serta kemerahan pada kulit setelah mengkonsumsi histamin
yang terkandung di dalam ikan jenis tertentu.Konsumsi makanan yang
mengandung kafein seperti kopi dan the dapat menyebabkan tremor. Tiramin yang
terkandung di dalam keju yang sudah lama diproduksi dapat menyebabkan
migrain, dan konsumsi alkohol dapat menyebabkan sejumlah gejala yang tidak
diinginkan. Defisiensi enzim seperti defisiensi laktase dan galaktosemia termasuk
ke dalam intoleransi makanan non toksik. Insufisiensi pankreas, penyakit hati dan
empedu, herniasi hiatus, dan rinitis gustatori merupakan kondisi diperantarai
reaksi lanjutan akibat konsumsi makanan tertentu. Gangguan psikiatrik seperti
anoreksia nervosa dengan muntah atau sindrom aurikulotemporal juga dapat
menyerupai gejala intoleransi makanan.3
Toksik (farmakologis)
Kafein (tremor), tiramin dalam keju yang sudah lama diproduksi (migrain), alkohol, histamin (keracunan ikan)
3
aurikulotemporal (kemerahan pada muka dan salivasi).
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan sekitar 25% masyarakat di Amerika Serikat percaya bahwa
mereka memiliki reaksi alergi terhadap makanan namun insidensi sesungguhnya
setelah dikonfirmasi dengan anamnesis dan pemeriksaan adalah 2-8% pada
populasi anak-anak dan kurang dari 2% dari populasi dewasa. Banyak penelitian
dalam bebeberapa dekade terakhir juga menunjukkan bahwa meskipun 40-60%
orang tua percaya bahwa anaknya memiliki gejala alergi terkait makanan, hanya
4% - 8% yang terbukti alergi dengan tes provokasi makanan. 1 Prevalensi alergi
makanan di Indonesia adalah 5-11%.2
Alergi makanan merupakan penyebab terbanyak dari kasus anafilaksis di
instalasi gawat darurat di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Alergi makanan
sendiri di Amerika Serikat menyebabkan sekitar 30.000 reaksi anafilaksis, 2.000
orang dirawat inap, dan sekitar 200 jiwa meninggal setiap tahun. Pada anak-anak
alergi makanan merupakan penyebab anafilaksis terbanyak. Anak dengan
dermatitis atopik sedang sampai berat merupakan prevalensi tertinggi alergi
makanan diperantarai IgE yaitu sekitar 10-30% tergantung pada derajat beratnya
dermatitis atopik. Lebih dari 90% anak dengan eosinofilik esofagitis diduga akibat
alergi makanan.1
Kejadian alergi makanan dipengaruhi oleh genetik, umur, jenis kelamin,
pola makan, jenis makanan awal, jenis makanan, dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Oehling et al. dalam
Prawirohartono pada 400 anak umur 3-12 tahun didapatkan data bahwa 60%
penderita alergi makanan adalah perempuan dan 40% laki-laki. Pola makan
(eating habits) juga memberi pengaruh terhadap reaksi tubuh, contohnya populasi
di Skandinavia sering menderita alergi terhadap ikan. 2 Terdapat delapan makanan
yang paling sering menimbulkan alergi di Amerika Serikat yaitu susu, telur,
kacang tanah, kacang mete, kedelai, gandum, ikan, dan hewan laut yang tergolong
ke dalam famili crustacea (kerang, lobster, crayfish, dan udang.4 Sementara di
4
Indonesia, studi yang dilakukan oleh Candra dkk pada tahun 2007 terhadap 208
pasien yang berobat di poli alergi imunologi RSCM memberikan hasil bahwa
makanan yang paling banyak menyebabkan alergi pada anak-anak adalah susu
sapi dan tepung terigu dan pada dewasa adalah kepiting.2
PATOFISIOLOGI
5
memicu TH2. Meskipun demikian, karakteristik biokimia dari alergen tidak dapat
dijelaskan sepenuhnya karena hanya sejumlah orang yang terpapar dengan alergen
menimbulkan reaksi alergi.1
Gambar 1. Mekanisme sensitasi dan reaktivitasi sel imun akibat alergen makanan 5
6
namun diduga terjadi akibat inflamasi akut atau kronis di saluran pencernaan
dimana eosinofil dan sel T memegang perananan. Pada pasien dengan
enterekolitis yang dinduksi protein makanan, TNF-α tampaknya turut memegang
peranan. TNF-α berhasil dikultur secara in vitro dari monosit darah perifer pada
anak-anak dengan sindrom enterekolitis yang diinduksi protein makanan. Pada
eosinofilik esofagitis, eosinofil dan faktor pertumbuhan, faktor kemotaktik, IL-13,
IL-5,VCAM 1, dan TGF-β memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi.1
FAKTOR RESIKO
2. Maturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia
dewasa. Fenomena lain adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami
alergi makanan tetapi dalam pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena
belum sempurnanya saluran cerna pada anak. Secara mekanik integritas mukosa
7
usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya alergen ke dalam tubuh.
Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi
allergen. Secara imunologik sIgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada
lamina propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur
(tidak matang) system pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi
sehingga memudahkan allergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel
yang mengandung IgA, Imunoglobulin utama di sekresi eksternal, jarana ditemui
di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan meningkat sesuai dengan maturasi
(kematangan) sistem kekebalan tubuh. Dilaporkan persentasi sampel serum yang
mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar pada bayi berumur kurang 3
bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah usia 3 bulan.
Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai
usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun pertama
kehidupan.6
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi
sejak bayi dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap
penisilin, gandum, telur dan susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian
ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada
tahun pertama kehidupan. Pemberian MPASI (makanan pendamping ASI)
meningkatkan angka kejadian alergi.6 Konsumsi makanan tertentu selama hamil
diduga dapat menurunkan angka kejadian beberapa jenis alergi makanan.
Konsumsi kalsium dan produk susu dibandingkan yogurt selama hamil
menurunkan resiko kejadian wheezing pada anak-anak. Konsumsi vitamin D
selama hamil memberikan efek proteksi pada anak agar terhindar dari wheezing
dan eksema.7
8
seperti digigit serangga) atau furunkel (bisul). Sedangkan buah-buahan
menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga tergantung dengan
organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa pakar
alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik
menimbulkan gejala tertentu. Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh
penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh pencetus alergi. Beberapa hal yang
menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor pencetus. Faktor
pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi virus
atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan,
sedih, stress atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme
yang mengalami infeksi saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat.
Selanjutnya akan berakibat meningkatkan gangguan perilaku pada penderita.
Fenomena ini sering dianggap penyebabnya adalah karena pengaruh obat.6
MANIFESTASI KLINIS
9
Reaksi terhadap alergi makanan dapat bermanifestasi di sistem
gastrointestinal, kulit, dan respiratorius seperti yang terlihat di tabel 2. Pada
keadaan yang berat dapat timbul reaksi anafilaksis yang dapat menyebabkan
kematian. 8 Kriteria klinis untuk diagnosis anafilaksis akibat alergi makanan dapat
dilihat pada tabel 3.3
10
karena aktivitas Mencetuskan mengubah absorbsi usus, biasanya kerang, menetap
yang berhubungan anafilaksis hanya pencernaan alergen, atau remaja/dew
dengan makanan jika proses keduanya asa
pencernaan diikuti
oleh aktivitas
Diperantarai antibodi IgE/ diperantarai sel
(Onset Lambat/ kronik)
Dermatitis Dikaitkan dengan Mungkin terkait dengan Bayi > Alergen Biasanya
Atopik (Gambar makanan pada ~ makanan – responsif sel anak-anak dominan, sembuh
5) 35% anak dengan T terhadap kulit > dewasa biasanya susu
ruam sedang dan telur
sampai berat
Gastroenteropati Gajala bervariasi Mediator yang berperan Semua Multiple Kemungkinan
eosinofil pada letak atau mengaktivasi eosinofil, orang menetap
derajat inflamasi seperti Eotaxin dan IL 5
eosinofili
Esofageal:
Disfagia dan nyeri
Generalisata:
asites, penurunan
berat badan,
edema, dan
obstruksi
Diperantarai sel (Onset Lambat/ Kronis)
Enterokolitis Biasanya Meningkatkan respon Balita Susu sapi, Biasanya
protein makanan mempengaruhi TNF-α, Pengurangan kedelai, nasi, sembuh
bayi respon terhadap TGF - β dan gandum
Paparan
kronis:mual,
diare, letargi
Paparan kembali
setelah
pembatasan: mual
diare, dan
hipotensi (15%) 2
jam setelah makan
Proktitis pada diet Mucus-laden, Inflamasi eosinofili Balita ASI Biasanya
protein Feses berdarah sembuh
pada bayi
11
c. Penurunan tekanan darah atau timbul gejala disfungsi organ seperti hipotonia (kolaps),
sinkop, atau inkontinens.
d. Gejala gastrointestinal yang persisten seperti kerap perut, nyeri, dan muntah-muntah.
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang sudah dipastikan menimbulkan reaksi
pada pasien (menit sampai beberapa jam)
a. Pada bayi dan anak-anak: tekanan sistolik rendah atau turun >30% dari tekanan darah
sistolik.*
b. Pada dewasa: tekanan sistolik <90 mmHg atau atau turun >30% dari normal.
*Tekanan sistolik rendah jika <70 mmHg untuk usia 1 bulan s.d 1 tahun, kurang dari [70 mmHg + (2xusia)] untuk usia 1 s.d
10 tahun dan <90 mmHg untuk usia 11 s.d 17 tahun.
12
bersifat akut (durasi kurang dari 6 minggu) berupa urtikaria dan/atau angioedema.
Urtikaria yang disebabkan oleh kontak kulit dengan makanan harus dibedakan
dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Makanan yang dapat
menyebabkan urtikaria setelah kontak dengan kulit adalah kerang, daging mentah,
ikan, sayuran mentah, buah-buahan, nasi, telur, mustard, bir, dan susu. Lesi
urtikaria dan angioedema dikatakan kronis jika manifestasinya persisten and
muncul selama lebih dari 6 minggu namun alergi makanan jarang menyebabkan
urtikaria dan/atau angioedema kronis. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah
memegang bahan makanan dan dijumpai pada orang yang kesehariannya bekerja
dan terus terpapar dengan bahan makanan tersebut. Kulit yang terpapar akan
tampak eritema dan dijumpai vesikel. 3
DIAGNOSIS
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
13
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengevaluasi sistem kulit,
gastrointestinal, dan respiratorius. Pada pasien yang dicurigai menderita alergi
makanan, kulit harus diperiksa dengan cermat dengan memfokuskan pada tanda-
tanda seperti pruritus, papulovesikel eritema dengan ekskoriasi, eksudat serosa,
xerosis, likenifikasi, papul, dan keratosis pilaris. Distribusi dan pola lesi kulit juga
penting untuk diperhatikan. Pada bayi dan anak umumnya lesi ditemukan di
muka, leher dan ekstensor sementara pada anak yang lebih tua biasanya
didapatkan likenifikasi atau rash yang terlokalisir di fleksor ekstremitas.3
Pemeriksaan Penunjang
14
Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarahkan diagnosis ke reaksi
imunologis tidak diperantarai IgE maka dokter dapat melakukan sejumlah
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan tersebut antara lain
endoskopi dan biopsi traktus gastrointestinal untuk mendiagnosis eosinofilik
gastrointestinal atau penyekit celiac. Pasien dengan eosinofilik gastrointestinal
berat pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan anemia, darah di feses, dan
penurunan protein, albumin, dan level IgG serum. Pasien dengan suspek penyakit
celiac dapat disarankan untuk melakukan pemeriksaan antibodi transglutaminase
IgA karena spesifisitas dan sensitivitasnya tinggi. Tes napas hidrogen berguna
untuk mendiagnosis intoleransi laktosa sebagai etiologi diare akibat konsumsi
susu.3
15
tidak sadar terhadap kandungan makanan yang dikonsumsinya. Contohnya,
seorang anak dengan riwayat alergi telur diberikan kandungan telur yang telah
disembunyikan dalam makanan lain.4
DBPCFC dilakukan baik dokter dan pasien tidak mengetahui apa yang
pasien makan. Makanan yang dicurigai disamarkan pada makanan lain. DBPCFC
adalah gold standard atau baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi
makanan. DBPCFC merupakan metode paling reliabel karena menghilangkan bias
pada dokter maupun pada pasien. Pemeriksaan DBPCFC memberitahukan kepada
kita bahwa: sebagian besar riwayat penyakit tidak akurat, terdapat daftar makanan
penyebab pada 90% kasus, sebagian besar anak-anak alergi terhadap 1-2 jenis
makanan saja.4
PENATALAKSANAAN
16
menjaga peralatan dapur agar tidak kontak dengan makanan yang menyebabkan
alergi. Pasien yang beresiko mengalami reaksi anafilaksis sebaiknya harus selalu
membawa injeksi epinefrin yang tersedia dalam bentuk pen (gambar 2) yang
tersedia dalam dosis 0,3 mg dan 0,15 mg dan jika memungkinkan menggunakan
gelang yang berisi identitas dan keterangan bahwa pasien menderita alergi dengan
reaksi berat.8 Dosis epinefrin untuk reaksi anafilaksis adalah 0,3 sampai dengan
0,5 mg untuk dewasa atau 0,01 mg/kgBB.9,10
17
penyebab alergi sebelumnya. Alergi terhadap kacang tanah, kacang, ikan, dan
kerang-kerangan, mungkin akan bertahan seumur hidup.4
KESIMPULAN
Reaksi simpang makanan terdiri dari reaksi imunologis atau disebut alergi
makanan dan non imunologis atau disebut intoleransi makanan. Alergi makanan
dibagi lagi menjadi alergi yang diperantarai IgE, alergi yang tidak diperantarai
IgE, dan gabungan keduanya. Manifestasi klinis dari alergi makanan dapat
muncul di kulit, saluran gastrointestinal, maupun saluran respiratorius. Diagnosis
yang tepat akan membantu dalam penatalaksanaan dan pencegahan reaksi alergi
yang berulang terutama reaksi alergi yang mengancam nyawa. Terapi primer
untuk alergi makanan adalah dengan mencegah paparan terhadap makanan yang
menyebabkan alergi.
DAFTAR PUSTAKA
4. Boyce JA, et al. Guideline for the diagnosis and management of food allergy
in the United State: report of the NIAID-sponsored expert panel. J Allergy
Clin Immunol 2010; 126: S158-S1.
18
7. Miyake Y, Sasaki S, Tanaka K, Hirota Y. Dairy food, calcium, and vitamin D
intake in pregnancy and wheeze and eczema in infant. Eur Repir J 2010; 35:
1234-1228.
8. Sicherer SH, Sampson HA. Food Allergy. J Allergy Clin Immunol 2009;
125(2): S125-S116
10. Sincherer SH, Simon FE. Self injectable epinephrin for first-aid management
of anaphylaxis. Pediatrics 2007; 119(03): 638-46.
19