Anda di halaman 1dari 28

Referat

NEFROPATI DIABETIK

Disusun Oleh :

Salma Munifah

H1AP12038

Pembimbing :

dr. Galuh Setyorini, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN PENYAKIT DALAM TERINTEGRASI


RSUD DR. M.YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam Terintegrasi RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
Dalam kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Galuh Setyorini, Sp.PD yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis selama mengikuti kepaniteraan klinik penyakit dalam.
Kritik dan saran penulis harapkan guna memperoleh hasil yang lebih baik
dalam menyempurnakan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan pembaca.

Bengkulu, Juli 2017

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik


dengan karakteristik hiperglikemik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.1 Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama
bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO memprediksi kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang
DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes
Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.1

Melihat tendensi kenaikan kejadian diabetes secara global, maka dengan


demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1
dekade yang akan datang DM di Indonesia akan meningkat dengan drastis. WHO
memperkirakan pada tahun 2025 Indonesia berada di urutan ke-5 negara dengan
jumlah pengidap diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia akibat
peningkatan kemakmuran di negara ini.1

DM jika tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya


komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah
kaki, syaraf, dll. Nefropati Diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular dari
diabetes mellitus. Mekanisme patofisiologi nefropati diabetik tidak sepenuhnya
dimengerti. Abnormalitas awal yang dapat dibuktikan termasuk hipertensi intrarenal,
hiperfiltrasi (laju filtrasi glomerulus meningkat), dan mikroalbuminuria. Secara
klinis, alat skrining yang paling penting untuk mengidentifikasi nefropati dari awal
adalah deteksi mikroalbuminuria2.
Nefropati diabetik yang lanjut juga menjadi penyebab utama
glomerulonekrosis dan stadium terakhir penyakit ginjal di seluruh dunia. Antara 20%

3
dan 40% dari pasien dengan diabetes pada akhirnya berkembang menjadi nefropati,
meskipun alasan mengapa tidak semua pasien dengan diabetes berkembang menjadi
komplikasi yang tidak diketahui. Riwayat alami nefropati diabetik berbeda sesuai
dengan jenis diabetes dan mikroalbuminuria (didefinisikan sebagai > 30 mg tetapi <
300 mg albumin dalam urin per hari) hadir. Jika tidak diobati, 80% orang yang
memiliki diabetes tipe 1 dan mikroalbuminuria akan berlanjut menjadi nefropati yang
jelas (yakni proteinuria ditandai oleh > 300 mg albuminase dieksresikan per hari).
Sedangkan hanya 20%-40% dari merekan dengan diabetes tipe 2 selama periode 15
tahun akan mengalami perkembangan sebagaimana Nielsen et al. memperlihatkan
lebih dari satu dekade yang lalu, secara jelas, prediksi awal perkembangan penyakit
adalah meningkatnya tekanan darah sistol, bahkan dalam rentang prehypertensi.
Diantara pasien yang memiliki diabetes tipe 1 dengan nefropati diabetik dan
hipertensi 50% akan terus berkembang menjadi stadium akhir penyakit ginjal dalam
satu dekade.3
Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab gagal ginjal
terminal juga menjadi masalah di negara maju. Terutama di Amerika dan Eropa, DM
telah menjadi penyebab utama terjadinya gagal ginjal terminal, seiring dengan
meningkatnya prevalensi diabetes sekitar 20%-30% dari penderita DM baik tipe 1
atau tipe II berkembang menjadi nefropati diabetik. Tetapi pada DM tipe II lebih
sedikit terjadinya nefropati diabetic.4
Sekitar 35% penderita gagal ginjal terminal yang melakukan cuci darah di
Amerika disebabkan oleh nefropati diabetik. Laporan di eropa menyebutkan
prevalensi sebesar 15%, prevalensi di Singapura pada tahun 1992 adalah 25%, Urutan
penyebab gagal ginjal pasien hemodialisis baru di Indonesia dari data tahun 2014
masih sama dengan tahun sebelumnya. Penyakit ginjal hipertensi meningkat menjadi
37 % diikuti oleh Nefropati diabetik sebanyak 27 %. Perbedaan prevalensi selain
disebabkan adanya perbedaan kriteria diagnosis, mungkin juga disebabkan oleh
perbedaan ras, genetik, geografi, atau faktor-faktor lain yang belum diketahui
mengingat mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok ginjal. Berbagai upaya
4
dilakukan untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetik sedini mungkin, sehingga
progrefitasnya menjadi gagal ginjal terminal dapat dicegah atau sedikitnya
diperlambat.5

5
BAB II
NEFROPATI DIABETIK

2.1. DEFINISI
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang
ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam atau > 200 ig/menit) pada
minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 – 6 bulan. Di Amerika dan
Eropa, nefropati diabetik merupakan penyebab utama gagal ginjal terminal. Di
Amerika, nefropati diabetik merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di
antara semua komplikasi DM.6
2.2. EPIDEMIOLOGI
Diabetes melitus mengambil peran sebesar 30-40% sebagai penyebab utama
stadium akhir penyakit ginjal kronis di Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang
diawali dengan nefropati diabetik7, sedangkan di Indonesia nefropati diabetik
menyebabkan gagal ginjal kronis sebesar 27%. Progresivitas nefropati diabetik
mengarah stadium akhir penyakit ginjal dipercepat dengan adanya hipertensi.8 Angka
kejadiannya nefropati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi
insiden pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes
mellitus tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus
tipe 2 leih besar banyak daripada tipe 1. Pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan end-
stage renal failure (ESRF) jumlahnya saat ini meningkat karena meningkatnya pula
prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan secara progresif akan menurunkan angka
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah.8 Insidensi
nefropati diabetik terutama banyak terjadi pada ras kulit hitam dengan frekuensi 3-6
kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Sementara itu, tidak ada
perbedaan yang begitu signifikan kejadian nefropati diabetik antara pria dan wanita.9
Prognosis yang buruk akan muncul apabila terjadi progresi nefropati diabetik
dan memburuknya fungsi ginjal yang cepat sehingga menyebabkan mortalitas 70-100
kali lebih tinggi dari pada populasi normal. Bahkan dengan upaya dialisa,

6
kelangsungan hidupnya pun masih rendah yitu sepertiga pasien meninggal dalam satu
tahun setelah dimulai dialisa. Pasien nefropati diabetik yang menjalani terapi
penggantian ginjal, morbiditasnya 2-3 kali lebih tinggi dibanding pasien non diabetik
dalam penyakit ginjal stadium akhir10.

2.3. PREVALENSI
Penelitian di luar negeri pada penderita diabetes mellitus tipe 1 menyatakan
bahwa 30-40% dari penderita ini akan berlanjut menjadi nefropati diabetik dini dalam
waktu 5-15 tahun setelah diketahui menderita diabetes. Apabila telah berlanjut
manjadi nefropati diabetik, maka perjalanan penyakitnya tidak dapat dihambat lagi.
Dengan demikian setelah 20-30 tahun menderita diabetes maka sekitar 40-50% akan
mengalami gagal ginjal yang membutuhkan cuci darah dan transplantasi ginjal.11
Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 diperkirakan sekitar 5-10% dari
penderita akan menjadi gagal ginjal terminal. Secara persentasi tidak terlalu besar,
tetapi mengingat jumlah penderita diabetes mellitus tipe-tipe lebih banyak maka
secara keseluruhan jumlah penderita gagal ginjal terminal pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 akan lebih banyak.2 Prevalensi nefropati diabetik di Negara barat
sekitar 16%. Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang asia jumlah
penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini
disebabkan karena penderita diabetes mellitus tipe 2 di Asia terjadi pada umur yang
relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar.
Di Thailand nefropati diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%,
sedang di Hongkong 13,1. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0%
sampai 39,3%.12

2.4. FAKTOR RISIKO

7
Faktor-faktor risiko terjadinya nefropati diabetik antara lain hipertensi,
glikosilasi hemoglobin, kolesterol total, peningkatan usia, resistensi insulin, jenis
kelamin, ras (kulit hitam), dan diet tinggi protein.12
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung
terjadinya nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan
progresivitas untuk mencapai fase nefropati diabetik yang lebih tinggi (Fase V
nefropati diabetik).9
Tidak semua pasien diabetes mellitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati
diabetik. Dari studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa factor risiko
antara lain:
1. Hipertensi
Hipertensi dapat menjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetik. Dalam
glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola
afferentia, yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi,
dan kerusakan hemodinamik. Respon ginjal terhadap system rennin-
angiotensin menjadi abnormal pada ginjal diabetes. Untuk alas an ini, agen
yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan intraglomerular dipilih dalam terapi
diabetes. ACE inhibitor secara spesifik menurunkan tekanan arteriola
efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat
membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat
dari efeknya pada mikroalbuminuria.9
2. Predisposisi genetika barupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetik
dan hipertensi.9
3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetik
a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan factor genetic tipe antigen
HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok penderita diabetes
dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9.9
8
b. Glukosa Transporter (GLUT)
Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunya GLUT 1-5
mempunyai potensi untuk mendapat nefropati diabetik.9
4. Hiperglikemia
Kontrol metabolik yang buruk dapat menjadi memicu terjadinya nefropati
diabetik. Nefropati diabetik jarang terjadi pada orang dengan HbA <7,5-8,0.
Pada akhirnya glukosa memiliki arti dan pertanda klinis untuk kelainan
metabolik yang memicu nefropati diabetik.13
5. Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemia
juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetik termasuk AGEs dan
polyols. AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya
mengubah struktur tersier protein, tapi juga menghasilkan intra dan
intermolekular silang. Berbagai macam protein dipengaruhi oleh proses ini.
Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan diketahui berhubungan dengan
mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs pada dinding kolagen
arteri lebih besar 4 kali pada orang dengan diabetes. Pasien diabetes dengan
ESRD memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien
diabetes tanpa gangguan ginjal.6
6. Merokok
Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetik.9 Analisis mengenai faktor
risiko menunjukan bahwa merokok meningkatkan kejadian nefropati diabetik
sebesar 1,6 kali lipat lebih besar.16
2.5. ETIOLOGI
Faktor-faktor etiologis timbulnya nefropati diabetik antara lain14:
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa > 140 – 160 mg/dl
[7.7 – 8.8 mmol/l]); dimana A1C > 7 – 8 %
2. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan LFG,
peningkatan tekanan intraglomerulus)
3. Hipertensi sistemik
4. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolik)
9
5. Inflamasi
6. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
7. Asupan protein berlebih
8. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced
glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
9. Pelepasan growth factors
10. Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
11. Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
12. Gangguan ion pump (peningkatan Na+ - H+ pump dan penurunan Ca2+ -
ATPase pump)
13. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)
14. Aktivasi protein kinase C

2.6. KLASIFIKASI
Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan istilah
‘mikroalbuminuria’ dan ‘makroalbuminuria’ tetapi albuminuria saja. Nefropati
diabetik dibagi atas albuminuria persisten pada level 30-299mg/24 jam dan
albuminuria persisten pada level ≥300mg/24 jam.
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari
pada DM tipe 1 daripada tipe 2, dibagi menjadi 5 tahapan.6
 Tahap 1
Pada tahap ini LFG meningkat sampai dengan 40% di atas normal yang
disertai dengan hiperfiltrasi dan hipertropi ginjal. Albuminuria belum nyata dan
tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masib reversible dan berlangsung 0-5 tahun
sejak awal diagnosis DM tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang
ketat, biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.
 Tahap 2
Pada Tahap ini terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat perubahan
morfologik ginjal dan faal ginjal berlanjut, dengan LFG masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan stress atau
kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung lama. Hanya saja

10
sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan
memburuknya kendali metabolik. Tahap ini selalu disebut sebagai tahap sepi (Silent
Stage) atau disebut juga tahap asimptomatik.
 Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. LFG
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi albumin dalam
urin adalah 20 – 200 ig/menit (30 – 300 mg/24 jam). Tekanan darah mulai meningkat.
Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah
masih tetap ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahun-tahun dan
progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang
kuat.
 Tahap 4
Tahap ini merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis
lebih jelas, seperti yang ditunjukkan Gambar 1, dan juga timbul hipertensi pada
sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. LFG
menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan
dengan tingginya tekanan darah.

11
Gambar 1. Gambaran Histologis Nefropati Diabetik
Tahap 5
Ini adalah tahap gagal ginjal atau End Stage Renal Failure, saat LFG sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik, dan
memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal.

12
Gambar 2. Progresi Kerusakan Ginjal Kronik

2.7. PATOFISIOLOGI
Hingga saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron
yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.6
Mekanisme terjadinya peningkatan LFG pada nefropati diabetik masih belum
jelas, tetapi diduga disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung
glukosa. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein (reaksi Mallard dan Browning). Proses ini akan terus
berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap menurut Mogensen. Hipertensi yang
timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong
sklerosis pada ginjal pasien DM. diperkirakan bahwa hipertensi pada DM terutama
disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.6

13
Gambar 3. Patofisiologi nefropati diabetik
Teori patogenesis nefropati diabetik menurut Viberti (Permanasari, 2010) :
1. Hiperglikemia
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa penurunan kadar glukosa darah dan kadar HbA1c pada

14
penderita DM tipe 1 dapat menurunkan resiko perkembangan nefropati
diabetik. Perbaikan kontrol glukosa pada penderita DM tipe 2 dapat mencegah
kejadian mikroalbuminuria. Keadaan mikroalbuminuria akan memperberat
kejadian nefropati diabetik. Dengan bukti-bukti ini menunjukan bahwa
hubungan antara hiperglikemia dengan nefropati tidak ada yang meragukan,
ini tampak pada kenyataan bahwa nefropati dan komplikasi mikroangiopati
dapat kembali normal bila kadar glukosa darah terkontrol.
2. Glikolisasi Non Enzimatik
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi non enzimatik
asam amino dan protein. Terjadi reaksi antara glukosa dengan protein yang
akan menghasilkan produk AGEs (Advanced Glycosylation Products).
Penimbunan AGEs dalam glomerulus maupun tubulus ginja dalam jangka
panjang akan merusak membrane basalis dan mesangium yang akhirnya akan
merusak seluruh glomerulus.
3. Polyolpathyway
Dalam polyolpathway, glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim
aldose reduktase. Di dalam ginjal enzim aldose reduktase merupakan peran
utama dalam merubah glukosa menjadi sorbitol. Bila kadar glukosa darah
meningkat maka sorbitol akan meningkat dalam sel ginjal dan akan
mengakibatkan kurangnya kadar mioinositol, yang akan mengganggu
osmoregulase sel sehingga sel itu rusak.
4. Glukotoksisitas
Hiperglikemia berperan dalam perkembangan nefropati diabetik pada studi
tentang sel ginjal dan glomerulus yang disolasi menunjukkan bahwa
konsentrasi glukosa yang tinggi akan menambah penimbunan matriks
ekstraselular sehingga dapat terjadi nefropati diabetik.

5. Hipertensi
15
Hipertensi mempunyai peranan paling dalam patogenesis nefropati diabetik
disamping hiperglikemia. Penelitian menunjukkan bahwa penderita diabetes
dengan hipertensi lebih banyak mengalami nefropati dibandingkan penderita
diabetes tanpa hipertensi. Hemodinamik dan hipertropi mendukung adanya
hipertensi sebagai penyebab terjadinya hipertensi glomerulus dan hiperfiltrasi.
Hiperfiltrasi dari neuron yang sehat lambat lain akan menyebabkan sclerosis
dari nefron tersebut. Jika dilakukan penurunan tekanan darah, maka penyakit
ini akan reversibel.
6. Proteinuria
Proteinuria merupakan prediktor independen dan kuat dari penurunan fungsi
ginjal baik pada nefropati diabetik maupun glomerulopati progresif lainnya.
Adanya hipertensi renal dan hiperfiltrasi akan menyebabkan terjadinya filtrasi
protein, dimana pada keadaan normal tidak terjadi. Proteinuria yang
berlangsung lama dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan tubulo-
intertisiel dan progresifitas penyakit. Bila reabsorbsi tubuler terhadap protein
meningkat maka akan terjadi akumulasi protein dalam sel epitel tubuler dan
menyebabkan pelepasan sitokin inflamasi seperti endotelin I, osteoponin, dan
monocyte chemotractant protein-I (MCP-1). Factor factor ini akan merubah
ekspresi dari pro-inflammatory dan fibritic cytokines dan infiltrasi sel
mononuklear, menyebabkan kerusakan dari tubulointertisiel dan akhirnya
terjadi renal scarring dan insufisiensi.
Patogenesis terjadinya kelainan ginjal pada diabetes tidak dapat diterangkan
dengan pasti. Pengaruh genetik, lingkungan, faktor metabolik, dan hemodinamik
berpengaruh terhadap terjadinya proteinuria. Gangguan awal pada jaringan ginjal
sebagai bagian dasar terjadinya nefropati diabetik adalah terjadinya proses
hiperfiltrasi-hiperperfusi membran basal glomerulus. Gambaran histologi jaringan
pada nefropati diabetik memperlihatkan adanya penebalan membran basal
glomerulus, ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan
glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo intertitial.
16
Berbagai fakto berperan dalam terjadinya kelainan tersebut. Peningkatan glukosa
yang menahun (glukotoksisitasi) pada penderita yang mempunya predisposisi genetik
merupakan faktor-faktor utama ditambah faktor lainnya dapat menimbulkan nefropati
diabetik.
Jika dibiarkan tidak dikelola dengan baik, DM akan menyebabkan terjadinya
berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya
pertumbuhan dan kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya
komplikasi kronik pada DM. perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi
pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel
mesangial ginjal. Semuanya penyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel, yang kemudian pada gilirannya akan menyebabkan
komplikasi vaskuler diabetes. Pada nefropati diabetik terjadi peningkatan glomerular.
Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi
perubahan yang mengarah kepada terjadinya glomerulsklerosis.6
Patogenesis terjadinya kelainan vaskuler pada DM meliputi terjadinya
imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh darah
maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel juga
berespon terhadap berbagai substansi vasoaktif dalam darah, terutama angiotensin 2.
Dipihak lain hiperinsulinemia seperti yang tampak pada DM tipe 2 atau pemberian
insulin eksogen ternyata akan memberikan stimulus mitogenik yang akan menambah
perubahan yang terjadi akibat angiotensin pada sel otot polos pembuluh darah
maupun pada sel mesangia. Jelas baik faktor hormonal maupun metabolik berperan
dalam patogenesis terjadinya kelainan vaskuler diabetes.6
Jaringan yang rentan terhadap terjadinya komplikasi kronik DM (jaringan
saraf,jaringan kardiovaskuler, sel endotel pembuluh darah dan sel retina (lensa mata)
mempunyai kemampuan untuk memasukkan glukosa dari lingkungan sekitar ke
dalam sel tanpa memerlukan insulin (insulin independent), agar dengan demikian
jaringan yang sangat penting tersebut akan diyakinkan mendapat cukup pasokan
glukosa sebelum glukosa tersebut digunakan untuk energi di otot maupun untuk
17
disimpan sebagai cadangan lemak. Tetapi pada keadaan hiperglikemi kronik, tidak
cukup terjadi down regulation dari sistem transport glukosa yang insulint dependent
ini, sehingga sel akan kebanjiran masuknya glukosa, suatu keadaan yang disebut
sebgai hiperglisolia.6
Hiperglisolia kronik akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut
yang kemudian berfungsi dan berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa jalur biokimiawi
seperti jalur reduktase aldosa, jalur stres oksidatif sitoplasmik, jalur pleiotropik
protein kinase C dan terbentuknya spesies glikosilasi jalur intraseluler.6
Pada jalur reduktase aldosa ini, oleh enzim reduktase aldosa, dengan adanya
coenzim NADPH, glukosa akan diubah menjadi sorbitol. Kemudian oleh sorbitol
dehidrogenase dengan memanfaatkan nikotiamid adenin dinukleotida teroksidasi
(NAD), sorbitol akan dioksidasi menjadi fluktosa. Sorbitol dan fluktosa keduanya
tidak terfosforilisasi, tetapi bersifat hidrofilik, sehingga lamban penetrasinya melalui
membran lipid bilayer. Akibatnya terjadi akumulasi poliol intraseluler, dan sel akan
berkembang , bengkak akibatnya masuk air ke dalam sel karena proses osmotik.
Sebagai lain akibat keadaan tersebut, akan terjadi pula imbalans ionik dan imbalans
metabolik yang secara keseluruhan akan megakibatkan terjadinya kerusakan sel
terkait.6
Aktifitas jalur poliol akan menyebabkan meningkatnya turn over NADPH,
diikuti dengan menurunnya rasio NADPH sitosol bebas terhadap NADP. Rasio
sitosol NADPH terhadap NADP ini sangat penting dan kritikal untuk fungsi
pembuluh darah. Menurunnya rasio NADPH sitosol terhadap NADP ini dikenal
sebagai keadaan pseudohipoksia. Hal ini yang penting pula adalah bahwa sitosol
NADPH juga sangat penting dan diperlukan untuk proses defends antioksidans.
Glutein reduktase juga memerlukan sitosol NADPH untuk menetralisasikan sebagai
oksidans intraseluler. Menurunnya rasio NADPH dengan demikian menyebabkan
terjadinya stress oksidatif yang lebih besar. Terjadinya hiperglikosolia melalui jalur
sorbitol ini juga memberikan pengaruh pada beberapa jalur metabolik lain seperti
18
terjadinya glikasi nonenzimatik intraselular dan aktivasi preotein kinase C. Jalur
Pembentukan Produk Akhir Glikasi Lanjut.6
Proses glikasi protein non-enzimatik terjadi baik intra maupun ektraselular.
Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stress oksidatif yang meningkat akibat
berbagai keadaan dan juga oleh peningkatan aldosa. Modifikasi protein oleh karena
proses glikasi ini akan menyebabkan terjadinya oerubahan pada jaringan dan
perubahan pada sifat sel melalui terjadinya Cross linking protein yang terglikosilasi
tersebut. Perubahan ini akan menyebabkan perubahan fungsi sel secara langsung,
dapat juga secara tidak langsung melalui perubahan pengenalan oleh reseptornya atau
perubahan pada tempat pengenalannya sendiri.6
Pengenalan produk glikasi lanjut yang berubah oleh reseptor AGE (RAGE-
Reseptor for Advance Glycation End Product) mungkin merupakan hal penting untuk
meudian terjadinya komplikasi kronik diabetes. Segera setelah perikatan antara
RAGE dan ligandnya, akan terjadi aktivasi mitogen activated protein kinase (MAPK)
dan transformasi inti dari factor transkipsi gen target terkait dengan mekanisme
proinflamatori dan molekul perusak jaringan.6
 Jalur Protein Kinase.
Hiperglikemia intraselular (hiperglisolia) akan menyebabkan meningkatnya
diasigliserol (DAG) intraselular, dan kemudian selanjutnya peningkatan protein
Kinase C, terutama PKC Beta. Perubahan tersebut kemudian akan berpengaruh pada
sel endotel, menyebabkan terjadinya perubahan vasoreaktivasi melalui keadaan
meningkatnya endotelin 1 dan menurunnya e-NOS. peningkatan PKC akan
menyebabkan proliferasi sel otot polos dan juga menyebabkan terbentuknya sitolin
serta berbagai factor pertumbuhan seperti TGF Beta dan VEGF. Protein Kinase C
juga akan berpengaruh menurunkan aktivasi fibronolis. Semua keadaan tersebut akan
menyebabkan perubahan-perubahan yang selanjutnya akan mengarah kepada proses
angiopati diabetik.6
 Inflamasi

19
Dari pembicaraan diatas tampak bahwa berbagai mekanisme dasar mungkin
berperan dalam terbentuknya komplikasi kronik DM yaitu antara lain aktivasi jalur
reduktase aldosa, stress oksidatif, terbentuknya jalur akhir glikasi lanjut atau
prekursornya serta aktifasi PKC, yang semua itu akan menyebabkan terjadinya
disfungsi endotel, mengganggu dan merubah sifat berbagai protein penting, dan
kemudian akan memacu terbentuknya sitokin proinflamasi serta factor pertumbuhan
seperti TGF-B dan VEGF. Berbagai macam sitokin seperti molekul adhesi
(ICAM,VICAM,E-selectin,P-selectin dsb.) dengan jelas sudah terbuktinya meningkat
jumlahnya pada penyandang DM. Prototipe petanda adanya proses inflamasi yaitu
CPR dan NF-kB, pada penyandang DM juga jelas meningkat seiring dengan
meningkatnya kadar Alc. Jelas bahwa proses inflamasi penting pada terjadinya
komplikasi kronik DM.
 Peptida Vasoaktif6
Berbagai peptida berpengaruh pada pengaturan pembuluh darah dan disangka
mungkin berperan pada terjadinya komplikasi kronik DM. Insulin merupakan peptida
pengatur yang terutama mengatur kadar glukosa darah. Insulin juga mempunyai peran
pengatur mitogenik. Pada kadar yang biasa didapatkan pada penyandang DM dan
hipertensi, insulin dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi sel seperti otot polos
pembeluh darah. Insulin juga mempunyai pengaruh lain yaitu sebagai hormon
vasaktif. Insulin secara fisiologis melalui NO dari endotel mempunyai pengaruh
terhadap terjadinya vasodilatasi pembuluh darah. Pengaruh ini bergantung pada
banyaknya insulin dalam darah (dose dependent). Pada keadaan resistensi insulin
dengan adanya hiperinsulinemia pengaruh insulin untuk terjadinya vasodilatasi akan
menurun.
Peptida vasoaktif yang lain adalah angiotensin II, yang dikenal berperan pada
patogenesis terjadinya pertumbuhan abnormal pada jaringan kardiovaskuler dan
jaringan ginjal. Pengaruh angiotensin II dapat terjadi melalui 2 macam reseptor yaitu
reseptor ATI dan reseptor 2, sebagian besar reseptor fisiologis terhadap angiotensin II

20
memakai Accinhibitor, terbukti dapat mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit
kardiovaskuler.
 Prokoagulan
Segera setelah terjadinya aktivasi PKC akan terjadi penurunan fungsi
fibrolisis dan kemudian akan menyebabkan meningkatnya keadaan prokoagulasi yang
kemudian pada gilirannya akan menyebabkan kemungkinan penyumbatan pembuluh
darah. Pada penyandang DM dengan adanya gangguan terhadap pengaturan berbagai
macam fungsi trombosit, yang kemudian juga akan menambah kemungkinan
terjadinya keadaan prokoagulasi pada penyandang DM dengan demikian jelas adanya
peran faktor prokoagulasi ada kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM.
Setelah melihat berbagai kemungkinan jalur mekanisme terjadinya komplikasi
kronik DM serta kelanjutan keterlibatan berbagai proses patobiologik lain, tampak
bahwa yang terpenting pada pembentukan dan kemudian lebih lanjut progresi
komplikasi vascular diabetes adalah hiperglikemia, resistensi insulin, sitokin dan
substrat vasoaktif. Tampak pula bahwa apapun jalur mekanisme yang terjadi dan
proses lain yang terlihat yang terpenting adalah adanya hiperglikemia kronik dan
selanjutnya peningkatan glukosa sitosolik (hiperglisolia).6
Beberapa penelitian epidemiologis dalam skala besar dan jangka lama seperti
UKPDS telah dapat membuktikan dengan sangat baik bahwa dengan memperbaiki
hiperglikemia melalui berbagai cara dapat secara bermakna menurunkan komplikasi
kronik DM, terutama komplikasi mikrovaskular, yang merupakan komplikasi
makrovaskular walaupun jelas didapatkan penurunan tetapi penurunan tersebut tidak
bermakna. Kemungkinan besar karena untuk terjadinya komplikasi makrovaskular
banyak sekali factor lain selain hiperglikemia yang juga berpengaruh, seperti factor
tekanan darah dan juga factor lipid. Pada UKPDS jelas didapatkan bahwa
menurunnya tekanan darah tinggi dapat memberikan pengaruh yang nyata bermakna
terhadap penmurunan komplikasi makrovaskular DM. berbagai factor lain terkait
komplikasi kronik DM, termasuk merokok tentu saja harus diperhatikan dalam usaha

21
menurunkan tingkat kejadian berbagai komplikasi kronik DM. pada pembicaraan
berikut akan dikemukakan hal-hal yang perlu dikerjakan untuk berbagai faktor terkait
komplikasi DM tersebut, yaitu untuk diagnosis dini dan strategi pengelolaannya.6
2.8. DIAGNOSIS
Pada saat diagnosa DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan
rutin DM. Pemantauan yang dianjurkan oleh ADA antara lain pemeriksaan terhadap
adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.
Untuk mempermudah evaluasi klirens kreatinin, dapat digunakan perhitungan LFG
dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault, yaitu6:

*) LFG dalam ml/menit/1,73 m2


Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin >30
mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3- 6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya.1

2.9. TATALAKSANA
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.
1. Evaluasi
apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau
makroalbuminuria.
2. Terapi
Pada prinsipnya pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah dengan:
1) Pengendalian gula darah (olahraga, diet, obat anti diabetes);
2) Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi);

22
3) Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE inhibitor dan
atau ARB);
4) Pengendalian faktor-faktor komorbiditas lain (pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas, dll).6
3. Rujukan
Tatalaksana nonfarmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang
sehat yang meliputi olahraga rutin, diet, menghentikan kebiasaan merokok serta
membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang dianjurkan ADA adalah
dengan berjalan 3 – 5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10 – 12 menit/km, 4
sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam dianjurkan sebanyak 4 – 5
g/hari (atau 68 – 85 meq/hari) serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat badan
ideal/hari.6
Target tekanan darah terbaru menurut JNC 8 pada pasien DM dan pasien
dengan gagal ginjal adalah < 140/90 mmHg1. Obat anti hipertensi yang dianjurkan
antara lain ACE inhibitor atau ARB, sedangkan pilihan lain adalah diuretik,
kemudian beta blocker atau calcium channel blocker.6
Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang berjalan terus, saat LFG
mencapai 10 – 12 ml/menit (setara dengan klirens kreatinin < 15 ml/menit atau
serum kreatinin > 6 mg/dl), dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau
peritoneal dialisis), walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan
sebaiknya dialisis dimulai. Pilihan pengobatan lain untuk gagal ginjal terminal
adalah transplantasi ginjal, dan di negara-negara maju sudah sering dilakukan
transplantasi ginjal dan pankreas sekaligus.6

2.1.0 PROGNOSIS
Secara keseluruhan prevalensi dari mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria pada kedua tipe diabetes melitus diperkirakan 30-35%.
Nefropati diabetik jarang berkembang sebelum sekurang-kurangnya 10 tahun
pada pasien DM tipe 1, dimana diperkirakan 3% dari pasien dengan DM tipe 2

23
yang baru didiagnosa menderita nefropati. Puncak rata-rata insidens (3%/th)
biasanya ditemukan pada orang yang menderita diabetes selama 10-20 tahun.6
End Stage Renal Disease (ESRD) adalah penyebab utama kematian, 59-
66% kematian pada pasien dengan DM tipe 1 dan nefropati. Tingkat insidens
kumulatif dari ESRD pada pasien dengan proteinuria dan DM tipe 1 adalah 50%,
10 tahun setelah onset proteinuria, dibandingkan dengan 3-11%, 10 tahun setelah
onset proteinuria pada pasien Eropa dengan DM tipe 2. Penyakit kardiovaskular
juga penyebab utama kematian (15-25%) pada pasien dengan nefropati dan DM
tipe 1, meskipun terjadi pada usia yang relatif muda.6

24
BAB III
KESIMPULAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang


berlangsung kronik dimana penderita diabetes tidak bisa memproduksi
insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh tidak mampu menggunakan
insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula di dalam darah dan
baru dirasakan setelah terjadinya keomplikasi lanjut pada organ tubuh.
Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus.
Pada sebagian penderita komplikasi ini berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal yang memerlukan pengobatan cuci darah atau transplantasi ginjal.
Nefropati diabetik merupakan kelainan degeneratif vaskuler ginjal
yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300mg/24jam atau > 200 u
g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6
bulan. Apabila tanda-tanda tersebut dapat diketahui secara dini, penderita bisa
mendapat bantuan untuk mengubah atau menyesuaikan gaya hidup agar bisa
lebih memperlambat kegagalan tersebut, atau bahkan menghentikan
kegagalan ginjal tersebut, tergantung dari penyebabnya.
Tujuan pengelolaan nefropati diabetik adalah mencegah atau menunda
progresifitas penyakit ginjal dan memperbaiki kualitas hidup pasien sebelum
menjadi gagal ginjal terminal.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2. Jakarta : Perkeni. 2014

2. Evans, T.C., Capell P. 2000. Diabetik Nephropathy. Clinical Diabetes. VOL.


18 NO.1 Winter 2000.

3. Dronavalli, S., Duka I., Bakris G.L. 2008. The pathogenesis of


diabetik nephropathy. Nature clinical practice endocrinology and metabolism.
August 2008 VOL 4 NO 8.

4. ADA. 2003 Clinical practice recommendation. Diabetes Care.

5. Roesli, R. Susalit, E. Djafaar, J. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III
: Nefropati Diabetik. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcelinus Simadibrata


K, Siti Setiati. 2006. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya,
Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
FK UI : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam hal 1184-88.

7. Ayodele, O.E., Alebiosu, C.O., Salako, B.L. 2004. Diabetik nephropathy


areview of the natural history, burden, risk factors and treatment.
Dalam:Journal National Medical Association: 1445–54.

8. Kronenberg, H. M., Sholmo Melmed, Kenneth S, Polonsky P, Reed Larsen.


2008. Williams Textbook of Endocrinology, 11th ed. Philadelphia, Saunders
Elsevier's Health Sciences.

9. Batuma, Vehici. 2011. Diabetik Nephropaty. eMedicine Medscape.

26
10. Eppens, M. C., Craig, M. E., Cusumano, J., Hing, S., Chan., A. K. F.,
Howard, N. J., Silink, M., dan Donaghue, K. C. 2006. Prevalence of Diabetes
Complications in Adolescents With Type 2 Compared With Type 1 Diabetes.
Diabetes Care, 29, 1300-6.

11. Molitch, M. E., DeFronzo, R. A., Franz, M. J., Keane, W. F., Mogensen, C.
E., Parving, H-H., Steffes, M. W. 2004. Nephropathy in Diabetes. Dalam :
Diabetes Care January, 27 (Supplemen I), 79-83.

12. Arsono, Soni. 2005. Diabetes Melitus Sebagai Faktor Risiko Kejadian
Gagal Ginjal Terminal (Studi Kasus Pada Pasien RSUD Prof.Dr. Margono
Soekarjo Purwokert. Jurnal Epidemiologi.

13. Di Landro, D., Catalano, C., Lambertini, D., Bordin, V., Fabbian, F., Naso,
A.,dan Romagnoli, G. 1998. The effect of metabolik control on
development and progression of diabetik nephropathy. Dalam : Nephrology
Dial Transplant, 13(Suppl 8),35-43.

14. Hendromartono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi


IV : Nefropati Diabetik . Jakarta, Balai Penerbit FKUI

15. Foster, D.W. 1994. Diabetes Mellitus in Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu


Penyakit Dalam. Edisi 13, EGC. Jakarta. Hal 2212-2213.

16. Gustaviani, R. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV : Diagnosis dan
Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

17. Mehler, P., Jeffers, B., Biggerstaff, S., dan Schrier, R. (1998). Smoking as a
risk factor for nephropathy in non-insulin-dependent diabetiks. Dalam :
Journal Gen Internal Medicine, 13, 842-45.

18. Ligaray, K. 2007. Diabetes Mellitus, Type 2. www.emedicine.com/med.

19. Permanasari, A., Dwiana A., Saleh A., Dharma M. 2010. Nefropati Diabetes.
http://www.scribd.com/doc/47089834/Nefropati-Diabetikum.

27
20. Soegondo, S. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta, PB. Perkeni.

21. Soman, S.S. 2009. Diabetik Nephropathy. eMedicine Specialities


http://www.nature.com/nature/journal/v414/n6865/fig_tab/414813a_F1.html

22. Suyono, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV : Diabetes
Melitus Di Indonesia. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. p: 1875.

23. Waspadji, S. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. III : Gambaran Klinis
Diabetes Melitus Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

28

Anda mungkin juga menyukai