Anda di halaman 1dari 17

1

MODEL PEMBELAJARAN BENGKEL SASTRA:


PENGUATAN KARAKTER INDIVIDU MAHASISWA DALAM
PEMBELAJARAN PEMERANAN

Adita Widara Putra


Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Galuh Ciamis

Abstrak

Ekologi pengajaran sastra di perguruan tinggi harus dirombak dengan tujuan untuk
mengikis permasalahan pengajaran sastra di sekolah. Pembicaraan pengajaran sastra di
sekolah harus pula melibatkan perguruan tinggi sebagai produsen guru sastra. Salah satu
cara perombakan itu ialah dengan penggunaan model pembelajaran bengkel sastra pada
pembelajaran apresiasi drama. Mahasiswa menunjukkan pengembangan kemampuan
memerankan tokoh. Hal ini diikuti dengan penguatan karakter individu yang
mendukung proses pengembangan kemampuan. Hasil tersebut dapat dibuktikan dengan
uji statistik Mann-Whitney dengan hasil harga U=111 yang juga merupakan jumlah
rangking terkecil dan nilai Asymp.sig (0,000) yang berada di bawah nilai alpha 0,05,
dengan demikian menolak H0. Dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran
bengkel sastra dapat menguatkan karakter dan mengembangkan keterampilan berperan
mahasiswa.

Kata Kunci: Model Pembelajaran, Bengkel Sastra, Penguatan Karakter Individu, dan
Pembelajaran Pemeranan

A. Pendahuluan
Drama sebagai seni pertunjukan tidak hadir begitu saja. Pertunjukan drama hadir
atas dasar pengejawantahan karya sastra yang tentunya berbentuk drama. Dalam hal ini
naskah drama hadir atas dasar perjalanan batin seorang pengarang yang dituangkannya
ke dalam bentuk karya. Perjalanan batin tersebut diterima pengarang melalui indera
perasa, baik melalui pendengaran, penglihatan bahkan perasaannya ketika mengalami
sebuah kejadian. Setelah diterima, perjalanan batin itu langsung diolah di dalam otak
pengarang, diproses dan disaring dengan perasaan lalu jadilah sebuah karya setelah
ditulis menjadi sebuah karya yang utuh. Berdasarkan uraian tersebut, di dalam drama
pasti terkandung nilai-nilai yang dapat dijadikan cerminan, barometer bahkan filtrasi
manusia dalam menjalani kehidupan.
Pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 merupakan usaha
sadar untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
2

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulai, serta keterampilan


yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Depdiknas, 2003: 1).
Berdasarkan pendapat tersebut, pada hakikatnya pendidikan mengarah kepada proses
pelaksanaan bimbingan bagi peserta didik untuk membantu peserta didik
mengembangkan diri secara optimal di dalam kehidupannya di masyarakat. Hal ini
sejalan dengan pendapat Abidin (2009: iii) “Pendidikan haruslah diarahkan pada upaya
menciptakan situasi agar siswa mampu belajar dan memiliki kemampuan berpikir tahap
tinggi. Guna dapat mencapai fungsi di atas, pendidikan saat ini haruslah menekankan
pada upaya pengembangan kompetensi kepada para siswa.”
Sekait dengan pengertian pendidikan di atas, proses pembelajaran, yang
merupakan inti dari proses pendidikan, harus pula dilakukan dengan menitikberatkan
pada pengembangan potensi yang dimiliki siswa sehingga siswa memperoleh bekal
guna menghadapi kehidupan di masyarakat. Proses pembelajaran bukan proses
memaksakan kehendak, tetapi merupakan suatu upaya menciptakan kondisi yang
kondusif bagi perkembangan anak, yaitu memberikan kemudahan bagi anak untuk
mengembangkan dirinya. Konsep ini berlaku pula dalam proses pembelajaran sastra
khususnya drama di perguruan tinggi.
Terhadap pembelajaran drama, Endraswara (2011: 9) menyatakan “Drama
dianggap sulit. Selain itu masih ada asumsi, drama itu merupakan objek garap yang
banyak memakan waktu dan tempat. Akibatnya, drama sering kurang mendapat
perhatian. Jangankan para subjek didik, pengajar pun ada yang mencoba menghindar
dari drama.”
Hal di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yus Rusyana pada tahun
1979 (Waluyo, 2006: 2) yang menyimpulkan “Minat siswa dalam membaca karya sastra
yang terbanyak ialah prosa, menyusul puisi, baru kemudian drama. Perbandingannya
ialah 6:3:1.” Hasil penelitian ini menandai bahwa perkembangan pembelajaran drama
dari tahun 1979 belum mengalami perkembangan yang pesat jika direlevansikan dengan
pendapat Endraswara di atas.
Hal-hal di atas bertentangan dengan Erbay, F., & Dogru, S. S. Y. (2010: 4476)
menyatakan
Drama is much more useful in learning and expressing themselves for the children
with disabilities than the normal children. Children with disabilities have a
discipline problem, because they are bored. With the drama, children with
3

disabilities obtain an opportunity to perceive, solve and explain any problem in


their own levels. In these children, use of drama will harmlessly provide
experiencing and learning anything related to life, their confidence in themselves
and their group inclusion and having the satisfaction of inclusion.

Terhadap hal di atas, melalui penelitiannya, Erbay, F., & Dogru, S. S. Y. (2010:
4479) menemukan bahwa “creative drama studies can be performed in the other groups
with disabilities and efficiency of this training can be tested.” Hal ini membuktikan
bahwa pertunjukan drama memiliki fungsi-fungsi lain jika dimanfaatkan secara
proporsional dalam pendidikan dan pembelajaran yang bersifat khusus atau luar biasa.
Fakta ini diperkuat dengan kenyataan yang diungkapkan Lehtonen, A. dkk
(2016: 558)
Teaching drama is a current issue in the new 2016 National Curriculum. In the
Finnish comprehensive school system drama teaching (classroom drama) means
the use of forms of participatory theatre for educational purposes. In Finland
classroom drama has been mainly connected with literature and interaction skills
teaching in Finnish language. In the National Curriculum drama has been put
forward as a teaching method for many other subjects.

Pendapat di atas mengungkapkan bahwa bentuk teater partisipasif merupakan


salah satu metode yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Artinya
kemampuan mengajar drama yang menggabungkan antara kemampuan bersastra dan
interaksi mengajar sangat berguna dalam pembelajaran bidang ilmu apapun. Oleh sebab
itu, drama dalam kurikulum nasional Finlandia telah diajukan sebagai metode
pembelajaran bidang ilmu lainnya.
Lebih lanjut Lehtonen, A. dkk (2016: 558 – 559) menjelaskan
The new curriculum underlines interaction, collaboration and students’ active role
in learning The Finnish National Board of Education 2015; Toivanen 2012). In
drama classes, teachers work with students using games, drama strategies (freeze-
frames, teacher in role etc.) and theatre based rehearsals to devise short pieces of
fictional situations. In drama fictional roles, time and space help the pupils to
communicate their understanding in an aesthetic way to themselves and their fellow
participants (Rasmussen 2010; Neelands & Goode 2000; Neelands 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian di atas, untuk mampu memproduksi guru
bahasa dan sastra Indonesia yang mampu mengajarkan drama di sekolah maka calon
guru tersebut harus mampu menguasai drama, atau dapat dikatakan mampu mencapai
tahap tertinggi apresiasi drama. Kemampuan apresiasi drama dalam penelitian ini
dikonsepsikan sebagai kemampuan mengapresiasi drama berdasarkan parameter
4

apresiasi drama yang terdiri dari menggemari, menikmati, mereaksi, dan menciptakan.
Aspek menciptakan sebagai tingkat tertinggi apresiasi drama diwujudkan dengan
kemampuan memerankan tokoh berdasarkan naskah drama yang dibaca mahasiswa.
Oleh sebab itu kemampuan inilah yang harus dicapai mahasiswa. Tingkat kemampuan
memerankan tokoh diukur melalui (1) ketelatenan; (2) keselarasan, dan (3) keutuhan.
Untuk mampu memerankan tokoh, pembelajar harus mengalami sendiri proses
demi proses untuk menuju suatu “pengkarakteran tokoh” yang utuh. Proses tersebut
dimulai dari pemahaman karakter melalui teks, membentuk konsep pencitraan tokoh,
observasi peran, dan berlatih untuk mematangkannya. Hakikat dari proses tersebut ialah
belajar tentang bagaimana mencapai suatu tujuan, yakni tujuan berperan yang
berkualitas.
Untuk mencapai tujuan tersebut pembelajar memerlukan “sesuatu” dalam
dirinya. Sesuatu tersebut dalam artikel ini disebut sebagai karakter individu. Karakter
individu merupakan suatu pencitraan jiwa yang tangguh untuk mencapai titik kepuasan
dalam suatu pencapaian. Dalam memerankan tokoh, kualitas pemeranan di atas
panggung merupakan hasil yang paling mungkin dinyatakan sebagai perwujudan
karakter tersebut.
Penguatan karakter individu/mahasiswa dalam penelitian ini dikonsepsikan
sebagai sebagai salah satu pengejawantahan pendidikan karakter yang selama ini
muncul di tengah-tengah masyarakat pendidikan. Penguatan karakter dalam penelitian
ini diwujudkan dalam penerapan model pembelajaran bengkel sastra yang pada
hakikatnya berpusat pada proses kritik mengkritik antarmahasiswa perihal cara
memerankan tokoh. Wujud karakter individu itu sendiri mengacu pada dua karakter
yakni karakter bersosialisasi dan karakter mengembangkan diri. Karakter bersosialisasi
mengacu pada aspek (1) kerja sama dan (2) perilaku santun. Karakter mengembangkan
diri mengacu pada aspek (1) pengembangan potensi diri dan (2) sikap optimis.
Model pembelajaran bengkel sastra merupakan salah satu model pembelajaran
yang menekankan pada kegiatan berolah peran dengan melakukan kegiatan bongkar
pasang dan proses tambal sulam melalui proses kritik mengkritik sampai hasil olah
peran yang dihasilkan benar-benar optimal. Melalui model ini penciptaan dan
penampilan hasil olah peran akan semakin mantap dan estetis. Terkait dengan definisi
tersebut, melalui model pembelajaran bengkel sastra, pembelajar diharapkan mampu
5

berolah peran dengan melandasi prosesnya pada pencarian sendiri kemudian dipertajam
kembali melalui proses pengkritikan bersama rekan pembelajar lain, atau bahkan
bersama ahli-ahli atau pakar yang disediakan pada prosesnya.
B. Metodologi Penelitian
1. Sumber Data dan Metode Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah mahasiswa tingkat II semester IV pada
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi pada kelas A
dan B yang semuanya berjumlah empat (4) kelompok pementas pada Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Pemilihan
lokasi penelitian ini disebabkan bahwa di lokasi ini telah berlangsung suatu penguatan
keterampilan berolah peran dan berdrama sebagai salah satu pengayaan keterampilan
lulusan. Pada mata kuliah apresiasi drama dilakukan ujian praktikum yang tidak hanya
melibatkan pihak kampus, melainkan pihak stakeholders dan praktisi seni baik pada
pada proses produksi maupun saat evaluasi akhir pertunjukan.
Metode penelitian yang digunakan penulis adalah metode penelitian mixed
methods. Pembagian tipe dalam penelitian mixed methods dapat dibagi menjadi empat,
yakni; tipe embedded, explanatory, exploratory, dan triangulation (Cresswell, 2007: 62
– 79). Berdasarkan pembagian tipe Penelitian Mixed Methods, penulis memilih
menggunakan desain tipe exploratory yang termasuk ke dalam model sequential
(urutan). Desain tipe ini merupakan desain penelitian mixed methods yang dilakukan
dengan cara melaksanakan penelitian kualitatif terlebih dahulu baru kemudian
dilanjutkan dengan penelitian kuantitatif. (Abidin, 2011: 40)
Terhadap urutan penggunaan metode penelitian di atas, secara lebih
komperehensif Cresswell (Sugiono, 2011: 409) menyatakan Sequential exploratory
strategy in mixed methods research involves a first phase of qualitative data collection
and analysis followed by a second phase of quantitative data collection and analysis
that builds on the results of the first qualitative phase. Berdasarkan uraian tersebut,
maka desain penelitian yang akan penulis gunakan ialah sebagai berikut.
Interpretation based on
QUAL quan QUAL → quan results

Gambar 1
Desain Tipe Exploratory, (Creswell, 2007: 76)
6

Sesuai dengan metode penelitian yang dikemukakan di atas, prosedur


pelaksanaan penelitian atau langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian ini
meliputi hal-hal sebagai berikut.

Metode kualitatif: menemukan hipotesis

Pengumpulan
Masalah dan dan analisis Temuan
Kajian Teori
Potensi data hipotesis

Metode kuantitatif: menguji hipotesis

Populasi dan Pengumpulan Analisis Data Kesimpulan


sampel Data saran

Gambar 3.1
Langkah-langkah Metode Kombinasi (Mixed Methods) Sequential Exploratory Design
(Sugiono, 2011: 474)

Mengacu pada gambar di atas, bahwa dalam penelitian Mixed Methods


Sequential Exploratory Design dimulai dengan pelaksanaan penelitian pada tataran
kualitatif yang selanjutnya diikuti penelitian pada tataran kuantitatif.Masing-masing
penelitian tersebut memiliki tujuan dan fungsinmya masing-masing.Jika penelitian
kualitatif digunakan untuk menemukan hipotesis maka penelitian kuantitatif berfungsi
untuk menguji temuan hipotesis tersebut.
2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian
a. Studi Kasus
Salah satu karakteristik dan kekuatan utama penelitian studi kasus yaitu
memanfaatkan berbagai macam sumber dalam teknik pengumpulan data. Yin (2006:
103) berpendapat ada enam (6) sumber bukti yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan data studi kasus, yaitu: dokumen, rekaman/catatan arsip, wawancara,
observasi langsung, observasi berperan serta, dan bukti fisik. Oleh sebab itu teknik
pengumpulan data dalam penelitian yang penulis laksanakan berdasarkan keenam
sumber tersebut. Berikut penjabaran teknik pengumpulan data dalam penelitian studi
kasus yang penulis laksanakan.
7

1) Pengumpulan dokumen; mengumpulkan bahan-bahan dan informasi mengenai teori


dan konsep untuk menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan dimensi
penelitian melalui dokumen tertulis. Dalam studi kasus, tinjauan pustaka atau
analisis dokumen merupakan alat untuk mencapai tujuan (Yin, 2006: 14). Bentuk-
bentuk dokumen yang dikumpulkan penulis ialah berupa teori-teori para ahli, hasil
observasi, dan hasil wawancara dari berbagai sumber.
2) Rekaman arsip; berupa rekaman pementasan drama yang dilakukan subjek
penelitian.
3) Wawancara; dilakukan pada dosen pengampu mata kuliah dan rekan sejawat untuk
mendapatkan tanggapan mengenai penelitian yang dilakukan dan kepada
mahasiswa untuk mendapatkan data mengenai tanggapan mereka sebagai
pembelajar di model bengkel sastra dan minat serta motivasi belajar mereka.
4) Observasi langsung; dilakukan pada saat proses pembelajaran dilakasanakan di
dalam kelas. Observasi langsung ini dilakukan untuk mengamati fenomena-
fenomena yang terjadi selama pembelajaran.
5) Observasi berperan serta; dilakukan dengan cara mengamati dan menyimak segala
kejadian yang terjadi selama kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Penulis
bertindak sebagai observer pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung yang
dilakukan oleh pengajar di dalam kelas.
b. Eksperimen
Teknik pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan cara studi lapangan atau
langsung pada saat kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Data-data yang diperoleh
berupa nilai-nilai kemampuan berperan mahasiswa berupa angka. Berikut penjabaran
teknik studi lapangan yang penulis laksanakan.
1) Teknik Tes
Teknik tes dipakai untuk mengukur kemampuan mahasiswa, baik kemampuan
awal, perkembangan, atau peningkatan kemampuan selama dikenai tindakan, dan
kemampuan pada akhir pelaksanaan tindakan. Dalam hal ini jenis tes yang akan
digunakan yakni tes unjuk kerja. Tes unjuk kerja digunakan untuk mengevaluasi dan
mengukur kemampuan mahasiswa memerankan tokoh.
8

2) Teknik Observasi
Teknik observasi digunakan untuk mengamati proses pembelajaran yang sedang
berlangsung meliputi kinerja mahasiswa di dalam kelas selama mengalami proses
pembelajaran memerankan tokoh.
3. Teknik Analisis Data Penelitian
a. Teknik Analisis Data Kualitatif
Teknik analisis data studi kasus yang akan penulis lakukan lebih bersumber pada
data-data hasil pengumpulan sebelum, selama, dan sesudah kegiatan pembelajaran
berlangsung. Data-data yang bersumber pada dokumen, rekaman/catatan arsip,
wawancara, observasi langsung, observasi berperan serta, dan bukti fisik akan dikaji dan
dijelaskan secara terperinci dan mendalam guna mendapatkan hasil penelitian yang
baik. Metode yang digunakan ialah metode perbandingan tetap (constant comparative
method) yaitu analisis data yang dilakukan secara tetap membandingkan satu data
dengan data lainnya kemudian secara tetap kategori dengan kategori lainnya (grounded
research).
Untuk melengkapi dan membuktikan hasil analisis data studi kasus ini penulis
akan menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi ini akan memadukan data-data
dari sumber-sumber yang terkait dengan proses penelitian. Sumber-sumber data itu
ialah; (1) mahasiswa pembelajar; (2) dosen pengampu mata kuliah; (3) dan rekan
sejawat sebagai observer penelitian. Teknik pengumpulan data untuk teknik triangulasi
ini menggunakan teknik wawancara. Data yang diharapkan diperoleh melalui teknik
wawancara ini ialah data tentang tanggapan mereka terhadap proses penerapan model
bengkel sastra.
b. Teknik Analisis Data Kuantitatif
Teknik analisis data kemampuan memerankan tokoh dan pengembangan
karakter penulis menggunakan rumus-rumus statistik. Penganalisisan kedua data di atas
bersumber pada data hasil pembelajaran di kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Sebelum menguji hasil data kualitatif terlebih dahulu penulis menguji
persyaratan analisis (uji normalitas) pada masing-masing data di kelas kontrol maupun
eksperimen. Uji normalitas tersebut berfungi untuk mengetahui apakah data-data
tersebut berdistribusi normal atau tidak. Jika tidak maka penulis menghitung atau
menguji hasil penelitian kualitatif menggunakan metode non-parametrik dengan metode
9

Mann-Whitney, jika kedua atau salah satu data tersebut berdistribusi normal, maka
penulis akan menggunakan metode Chi-Kuadrat disebabkan n data lebih dari 30. Pada
saat uji persyaratan analisis maupun pengujian hasil penelitian kualitatif, penulis
menggunakan program olah data SPSS versi 17.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Analisis Penguatan Karakter Individu dalam Proses Pembelajaran Bengkel
Sastra

Penerapan model ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk


mengembangkan kemampuan kreatif dalam berperan. Oleh sebab itu, pengajar harus
mencatat berbagai pandangan individu mahasiswa untuk mengatur dan mengikat pola
berpikir mahasiswanya dan mencoba mempengaruhi pernyataan psikologis yang
mungkin untuk menghasilkan respon kreatif mahasiswa. Sebagai tambahan, pengajar
juga harus memberikan dorongan kepada mahasiswa yang segan mengungkapkan
perasaannya berkenaan dengan hal-hal yang tidak masuk akal, fantastik, simbolik, dan
hal lain yang dibutuhkan untuk menjadi bahan pikiran yang sifatnya tiba-tiba. Pengajar
harus menyetujui semua respon mahasiswa untuk meyakinkan mahasiswa bahwa tidak
ada penilaian mutlak tentang ekspresi kreatifnya sehingga mahasiswa mampu
membangun perspektif yang segar pada masalah yang dibahasnya.
Sintaks pembelajaran bengkel sastra dalam penelitian ini terdiri dari enam fase
yang tergambarkan pada gambar sebagai berikut.
Fase I:
Perencanaan dan
penemuan
masalah

Fase VI: Berperan kembali Fase II: Berperan di


di hadapan kelompok lain dalam Kelompok
dan saling mengkritik

Fase III: Sharing


Fase V: Eksperimen pendapat di dalam
peran berdasar kritik kelompok

Fase IV: Berperan


di hadapan
kelompok lain dan
saling mengkritik

Gambar 1
(Fase Model Pembelajaran Bengkel Sastra dimodifikasi dari Putra, 2010: 68)
10

Berdasarkan sintaks di atas, hasil analisis penguatan karakter individu dalam


penelitian ini ialah sebagai berikut.
a. Penguatan kerja sama mahasiswa
Pada fase kesatu model bengkel sastra, mahasiswa menerima informasi tentang
prosedur bengkel sastra. Pada fase ini, cara yang digunakan untuk membangun kerja
sama mahasiswa ialah dengan cara mengelompokkan mahasiswa dengan cara penulis
yang mengelompokkannya. Dengan begitu, mahasiswa akan secara “terpaksa” bekerja
sama dengan mahasiswa lain yang mungkin saja belum pernah menjadi kelompoknya.
Artinya dengan demikian, kebiasaan mahasiswa untuk bekerja sama dengan tidak
melihat latar belakang individu di luar kepentingan kelompok menjadi terbangun lewat
cara ini. Selain itu, cara lain untuk membangun kerja sama mahasiswa dengan
mahasiswa lainnya di dalam kelompok ialah dengan cara meminta mereka untuk
memilih salah satu naskah yang pernah dibacanya atau didapresiasinya untuk dijadikan
sumber kreativitas berperannya nanti. Cara ini secara tidak langsung membiasakan
mahasiswa untuk selalu berkomunikasi mengenai pertimbangan-pertimbangan terhadap
naskah yang akan dipilihnya, dan dari komunikasi tersebut akan melahirkan kerja sama
yang baik.
Pada fase kedua, mahasiswa memberikan respon dan tanggapan terhadap peran
yang telah diapresiasinya. Pada fase ini, proses pemberian respon dan tanggapan
terhadap peran yang ditampilkan rekan sekelompoknya secara langsung memberikan
efek penguatan berkomunikasi dengan rekan sekelompoknya demi mencapai tujuan
bersama, yakni membentuk kesatuan pertunjukan yang utuh dan berkualitas unggul.
Tujuan membentuk kesatuan pertunjukan yang utuh dan berkualitas unggul merupakan
tujuan yang ingin dicapai setiap kelompok. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan
tersebut dibutuhkan kerja sama yang baik antar sesama anggota kelompok dalam proses
pembelajarannya.
Pada fase ketiga, mahasiswa melakukan kegiatan bertukar pikiran dan sharing
pendapat di dalam kelompok sebagai langkah merumuskan berbagai alternatif perbaikan
peran yang telah ditampilkan. Pada fase ini, esensi Penguatan kerja sama hampir sama
dengan fase kedua. Kegiatan sharing pendapat yang mementingkan aspek komunikasi
antar anggota kelompok menjadi aspek utama yang secara langsung mengikis kebiasaan
mau menonjol sendiri dan merasa paling hebat yang merupakan kebiasaan yang
11

mengganggu proses kerja sama. Dengan demikian masing-masing mahasiswa akan


selalu menerima dan melontarkan tanggapan dari dan kepada anggota kelompok lain.
Pada fase keempat, kelompok mahasiswa mengkritik peran berkenaan dengan
alternatif yang telah dirumuskan pada tahap sebelumnya. Pada fase ini, mahasiswa
dituntut santun dan selalu memberikan kritik membangun yang terbaik dari dirinya
kepada mahasiswa lain demi perbaikan peran mahasiswa yang dikritik. Hal ini secara
langsung mengikis kebiasaan menjatuhkan orang lain pada suatu forum dan
menggantinya dengan kebiasaan menyampaikan apa yang terbaik demi perbaikan orang
lain dengan menggunakan bahasa yang baik pula. Hal ini dapat membangun kerja sama
yang lebih luas, yakni dengan kelompok-kelompok lain yang ikut serta.
Pada fase kelima, mahasiswa mulai bereksperimen untuk memperbaiki karya
dengan jalan memilih berbagai argumen dan alternatif perbaikan peran seperti yang
dibahas pada tahap sebelumnya. Pada fase ini, karakter kerja sama terbangun lewat
kegiatan eksperimen peran yang dilakukan mahasiswa dalam memperbaiki perannya
dan dibantu anggota dalam kelompoknya. Proses ini terjadi secara timbal balik. Artinya
masing-masing anggota kelompok berkewajiban membantu dan berhak untuk dibantu
ketika bereksperimen memperbaiki perannya.
Pada fase keenam, mahasiswa memerankan kembali tokoh yang diperankan
sebelumnya berdasarkan masukan/pengalaman di bengkel. Penguatan kerja sama pada
fase ini terbentuk dari proses mahasiswa untuk membentuk suatu pertunjukkan yang
utuh di depan kelas atau di atas panggung. Untuk membentuk suatu pertunjukkan yang
utuh dan berkualitas unggul di atas panggung diperlukan kerja sama yang baik antar
tokoh dalam membangun peristiwa di atas panggung lewat peran mereka. Dengan
adanya keinginan tersebut, maka kebiasaan bekerja samapun akan semakin terbiasakan.
b. Penguatan sikap dan perilaku yang baik serta santun
Proses penguatan sikap dan perilaku yang baik serta santun dikembangkan
melalui proses pembelajaran yang dilalui mahasiswa selama belajar menggunakan
model bengkel sastra. Proses ini sangat tampak pada setiap fase bengkel sastra yang
menitikberatkan pada penguatan bersikap dan berperilaku yang baik serta santun.
Pada fase kesatu model bengkel sastra, mahasiswa menerima informasi tentang
prosedur bengkel sastra. Penguatan sikap dan perilaku yang baik serta santun dilakukan
dan terjadi pada saat mahasiswa bekerja sama dengan mahasiswa lainnya di dalam
12

kelompok yang telah ditentukan. Walaupun anggota kelompok tersebut tidak sesuai
dengan keinginannya, tetapi mahasiswa diwajibkan senantiasa dapat bersikap dan
berperilaku baik serta santun.
Pada fase kedua, ketiga dan keempat, penguatan bersikap dan berperilaku baik
serta santun terjadi pada saat proses pemberian respon dan tanggapan tersebut.
Adakalanya mahasiswa kurang bersikap dan berperilaku baik serta santun saat
menyampaikan tanggapannya, tetapi dalam hal ini penulis menekankan secara berkali-
kali bahwa penyampaian tanggapan terhadap peran yang disampaikan pada mahasiswa
lain harus disampaikan secara baik-baik atau santun. Hal ini agar tidak terjadi
kesalahpahaman antara mahasiswa yang menanggapi dan yang ditanggapi.
Pada fase kelima, mahasiswa mulai bereksperimen untuk memperbaiki karya
dengan jalan memilih berbagai argumen dan alternatif perbaikan peran seperti yang
dibahas pada tahap sebelumnya. Pada fase ini, karakter sikap dan perilaku yang baik
serta santun terbangun lewat kegiatan setelah mahasiswa bereksperimen peran untuk
atau sebagai langkah memperbaiki perannya yang dibantu anggota dalam kelompoknya.
Dalam proses ini sikap baik akan tercermin ketika mahasiswa secara baik menerima
tanggapan atau bahkan kritik terhadap peran yang telah diperbaikinya. Selain itu dari
mahasiswa yang memberikan tanggapan pun ditekankan untuk dapat menyampaikan
tanggapan tersebut secara santun apalagi yang ditanggapinya adalah anggota
kelompoknya sendiri.
c. Penguatan Semangat Mengembangkan Potensi Diri
Proses penguatan semangat mengembangkan potensi diri dikembangkan melalui
proses pembelajaran yang dilalui mahasiswa selama belajar berperan menggunakan
model bengkel sastra. Proses ini sangat tampak pada setiap fase bengkel sastra yang
menitikberatkan pada proses pengulangan kegiatan berperan dan perbaikan kualitas
peran berdasarkan kritik peran.
Proses atau pola Penguatan semangat mengembangkan potensi diri ini sangat
tampak pada fase kedua, ketiga, kelima, dan keenam. Sebab pada fase-fase tersebut
terdapat proses perwujudan peran baik peran yang masih murni hasil kreativitas
mahasiswa maupun peran yang sudah mendapatkan saran, masukan, atau bahkan kritik
untuk diperbaiki pada bagian-bagian tertentu dari peran. Wujud nyata adanya penguatan
ini jika ada peningkatan kualitas peran, paling tidak, sesuai dengan hal-hal masukan
13

atau kritik. Artinya peran yang dimunculkan pada tiap fase merupakan peran yang
memang telah diperbaiki berdasarkan masukan atau kritik dari mahasiswa lain.
d. Penguatan sikap optimis dalam belajar
Proses penguatan optimis dalam belajar dikembangkan melalui proses
pembelajaran yang dilalui mahasiswa selama belajar berperan menggunakan model
bengkel sastra. Proses ini sangat tampak pada setiap fase bengkel sastra yang
menitikberatkan pada proses penerimaan saran, tanggapan, atau bahkan kritik yang
dialamatkan pada tiap pemeran.
Sejalan dengan hal di atas, maka proses Penguatan optimis dalam belajar
melalui pembelajaran pemeranan dengan menggunakan model bengkel sastra sangat
tampak pada fase kedua sampai dengan kelima. Sebab pada fase-fase tersebutlah para
pemeran akan mendapatkan saran, tanggapan, masukan, atau bahkan kritik baik dari
sesama anggota dalam kelompoknya maupun dari luar kelompoknya. Esensinya sama-
sama bertujuan untuk memperbaiki kualitas peran yang dimiliki masing-masing
pemeran.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya wujud pengembangan kebiasaan
bekerja sama, bersikap dan berperilaku baik, optimisme, serta semangat
mengembangkan potensi diri pada mahasiswa ialah faktor minat dan motivasi
mahasiswa yang dipengaruhi juga oleh penggunaan model pembelajaran. Minat dan
motivasi mahasiswa yang tinggi terhadap pembelajaran menyebabkan mahasiswa
tersebut akan senantiasa mengikuti perkuliahan dengan baik. Hal ini dapat diperkuat
dengan penggunaan model pembelajaran yang membuat mahasiswa senang mengikuti
perkuliahan. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan mahasiswa pembelajar
apresiasi drama, mereka menganggap bahwa pembelajaran apresiasi drama merupakan
hal yang menarik, disebabkan mereka merasa tertantang untuk merasakan hal yang
baru, hal yang belum mereka rasakan saat duduk di bangku sekolah.
Selain hal di atas, para mahasiswa juga menganggap penggunaan model bengkel
sastra dapat memberikan mereka kesempatan untuk memperbaiki kemampuan apresiasi
drama secara berkelompok kecil dan besar. Hal ini, bagi mereka merupakan kegiatan
yang menyenangkan disebabkan di dalamnya terdapat proses saling memperbaiki
kemampuan berperan yang belum tentu ia dapatkan pada kesempatan lain. Selain itu
melalui proses bengkel sastra mereka merasakan adanya pola penguatan yang
14

“memaksa” mereka untuk lebih bersikap santun, bekerja sama, optimis dan semangat
dalam belajar. Kegiatan yang seperti itu bagi mereka merupakan kegiatan yang positif
untuk membantu mereka dalam memperbaiki kualitas kompetensi perannya sekaligus
mengembangkan karakternya agar menjadi manusia yang lebih baik lagi.
2. Dampak Penguatan Karakter pada Hasil Pembelajaran Pemeranan
Hasil penguatan karakter individu/mahasiswa di atas merupakan faktor utama
yang mendukung pengembangan keterampilan berperan mahasiswa. Penguatan karakter
sebagai dampak dari penerapan model pembelajaran bengkel sastra berujung pada
pengembangan dan peningkatan kualitas pemeranan yang dihasilkan mahasiswa. Fase
demi fase yang dilakukan mahasiswa dalam belajar berperan secara langsung maupun
tidak langsung membangun karakter dari dalam diri mahasiswa yang mendukung
pengembangan dan kualitas pemeranan.
Penulis menemukan bahwa kemampuan memerankan tokoh pada mahasiswa
mengalami perbaikan. Hal ini dilihat dari perbaikan kualitas pemeranan yang digali
berdasarkan parameter pemeranan yang penulis gunakan sebagai acuan atau pedoman
penilaian kemampuan atau kompetensi berperan. Untuk membuktikan adanya perbaikan
kompetensi pemeranan yang dialami mahasiswa melalui proses bengkel sastra dapat
dibuktikan dengan data grafik-grafik di bawah ini.

Grafik 1
Perbaikan Ketelitian Berperan Mahasiswa
40
30
20 Kemampuan Awal
10
Setelah Bengkel
0
PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM PM
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33

Grafik di atas menunjukkan adanya perbaikan ketelitian dalam berperan yang


dialami mahasiswa setelah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model
bengkel sastra. Pada garis yang berwarna biru yang menandakan ketelitian berperan
pada awal sebelum pembelajaran terendah berada pada garis angka 5 dan tertinggi
antara 15 dan 20 (sekitar 18). Kenyataan tersebut mengalami peningkatan yang dapat
15

dibuktikan pada garis berwarna merah dengan grafik terendah pada angka di bawah 20
(sekitar 19) dan tertinggi pada grafik sekitar 32.

Grafik 2
Perbaikan Keselarasan Peran Mahasiswa
60
40
20 Kemampuan Awal
0 Setelah Bengkel
PM 1

PM 15

PM 29
PM 3
PM 5
PM 7
PM 9
PM 11
PM 13

PM 17
PM 19
PM 21
PM 23
PM 25
PM 27

PM 31
PM 33
Grafik di atas menunjukkan adanya perbaikan keselarasan peran antara laras
verbal, fisikal, dan natural dalam peran yang ditunjukkan mahasiswa setelah
melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model bengkel sastra. Pada garis
yang berwarna biru yang menandakan keselarasan peran pada awal sebelum
pembelajaran terendah berada pada garis angka di atas 10 (sekitar 11) dan tertinggi di
atas 30 (sekitar 31). Kenyataan tersebut mengalami peningkatan yang dapat dibuktikan
pada garis berwarna merah dengan grafik terendah pada angka di bawah 35 (sekitar 34)
dan tertinggi pada grafik di atas 45 (sekitar 46).

Grafik 3
Perbaikan Keutuhan Peran Mahasiswa
20
15
10 Kemampuan Awal
5
Setelah Bengkel
0
PM 3

PM 13

PM 23
PM 1

PM 5
PM 7
PM 9
PM 11

PM 15
PM 17
PM 19
PM 21

PM 25
PM 27
PM 29
PM 31
PM 33

Grafik di atas menunjukkan adanya perbaikan keutuhan peran yang ditunjukkan


mahasiswa setelah melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan model bengkel
sastra. Pada garis yang berwarna biru yang menandakan keutuhan peran pada awal
sebelum pembelajaran terendah berada pada garis angka di atas 5 (sekitar 7) dan
tertinggi di antara 15 dan 20 (sekitar 17). Kenyataan tersebut mengalami peningkatan
yang dapat dibuktikan pada garis berwarna merah dengan grafik terendah pada angka di
antara 5 dan 10 (sekitar 13) dan tertinggi pada grafik di atas 20 (sekitar 19).
16

Kenyataan perbaikan kompetensi berperan mahasiswa yang tergambarkan


melalui grafik-grafik di atas menandakan adanya perubahan ke arah positif yang
merupakan efek dari penggunaan model bengkel sastra pada pembelajaran pemeranan.
Hal ini pula yang disampaikan para observer penelitian yang penulis dapatkan melalui
kegiatan wawancara. Semua observer yang diwawancarai penulis menyatakan bahwa
penggunaan model bengkel sastra dapat memperbaiki kemampuan berperan atau
memerankan tokoh pada mahasiwa yang melaksanakan pembelajaran pemeranan
menggunakan model pembelajaran tersebut. Hal ini diakibatkan dalam proses
pelaksanaannya, model bengkel sastra menitikberatkan pada proses saling mengkritik
yang bersifat membangun terhadap kekurangan mahasiswa dalam berperan. Proses
tersebut terjadi pada beberapa fase pembelajaran bengkel sastra. Pada akhirnya melalui
kegiatan yang seperti demikian, dapat memperbaiki kemampuan berperan mahasiswa.
Kenyataan di atas diperkuat dengan pembuktian statsitik melalui sebuah
penelitian eksperimen yang melibatkan data kelas kontrol sebagai pembanding hasil
penelitian. Teknik statistik menggunakan metode Mann-Whitney. Hasil statistik
membuktikan nilai U adalah 111 yang juga merupakan jumlah rangking terkecil dan
nilai Asymp.sig adalah 0,000 yang berada di bawah nilai alpha 0,05, dengan demikian
hasil penelitian menolak H0. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan dan pengaruh penggunaan model pembelajaran bengkel sastra pada
pembelajaran pemeranan.
D. Simpulan
Model pembelajaran bengkel sastra memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk mengembangkan kemampuan kreatif dalam berperan. Dalam hal ini pandangan
individu mahasiswa untuk mengatur dan mengikat pola berpikir dan mencoba
mempengaruhi pernyataan psikologis yang menghasilkan respon kreatif.
Fase demi fase dalam model pembelajaran bengkel sastra menyediakan proses
yang menitikberatkan pada penguatan karakter individu mahasiswa. Hal ini berdampak
positif pada pengembangan keterampilan berperan yang menjadi tujuan pembelajaran
atau perkuliahan. Artinya, penguatan karakter melalui suatu penerapan model
pembelajaran merupakan hal penting yang dilakukan pengajar untuk mencapai suatu
tujuan pembelajaran.
17

Penelitian ini menemukan hubungan antara dampak penerapan model


pembelajaran bengkel sastra terhadap penguatan karakter mahasiswa yang kemudian
berujung pada pengembangan keterampilan berperan. Penguatan karakter terbentuk dari
fase-fase bengkel sastra yang dilalui pembelajar yang diwujudkan melalui petunjuk-
petunjuk operasional pengajar yang sebelumnya disesuaikan dengan konsep bengkel
sastra. Di dalam petunjuk operasional tersebut juga terkandung hakikat penciptaan
proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip bengkel sastra. Pada akhirnya
pengembangan keterampilan berperan yang menjadi tujuan pembelajaran tercapai
sebagai akibat dari adanya penguatan karakter tersebut. Hal itu dibuktikan dengan
adanya perbaikan kualitas pemeranan mahasiswa di akhir pembelajaran.
E. Daftar Pustaka
Abidin, Y. (2009). Guru dan Pembelajaran Bermutu. Bandung: PT. Rizqi Press.

Abidin, Y. (2011). Penelitian Pendidikan Dalam Gamitan Pendidikan Dasar dan


PAUD. Bandung: PT. Rizqi Press.

Cresswell, J.W. dan Clark, V.L.P. (2007). Designing and Conducting Mixed Method
Research. California: Sage Publications, Inc.

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional. Jakarta.

Endraswara, S. (2011). Metode Pembelajaran Drama. Yogyakarta: CAPS.

Erbay, F., & Dogru, S. S. Y. (2010). The effectiveness of creative drama education on
the teaching of social communication skills in mainstreamed students. Procedia -
Social and Behavioral Sciences.
Lehtonen, A., Kaasinen, M., Karjalainen-Väkevä, M., & Toivanen, T. (2016).
Promoting Creativity in Teaching Drama. Procedia - Social and Behavioral
Sciences.
Putra, Adita Widara. (2012). Pembelajaran Pemeranan Pada Mata Kuliah Apresiasi
Drama Dengan Menggunakan Model Bengkel Sastra Sebagai Upaya
Mengembangkan Karakter Mahasiswa.Bandung: UPI (Tesis Tidak
Dipublikasikan).

Sugiono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.

Waluyo, Herman. (2006). Drama: Naskah, Pementasan, dan Pengajarannya. Surakarta:


UNS Press.

Yin, R.K. (2006). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai