Anda di halaman 1dari 23

01.

HIKAYAT SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari
keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki
berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana
mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan,
siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja.
Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin
menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar
Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain.
Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin
menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera.
Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya
sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak
cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si
Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi.
Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan,
bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari
dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-
ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa
Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan
hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka
mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu
oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi
isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan
raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu
Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat
tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari
dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada
Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang
membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah
Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena
mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh
Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri
di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut
adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti
dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga
Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam
Cahaya. (Sumber:Peristiwa Sastra Melayu Lama)

02. HIKAYAT AMIR


Dahulu kala di Sumatra, hiduplah seorang saudagar yang bernama Syah Alam. Syah Alam
mempunyai seorang anak bernama Amir. Amir tidak uangnya dengan baik. Setiap hari dia
membelanjakan uang yang diberi ayahnya. Karena sayangnya pada Amir, Syah Alam tidak pernah
memarahinya. Syah Alam hanya bisa mengelus dada.
Lama-kelamaan Syah Alam jatuh sakit. Semakin hari sakitnya semakin parah. Banyak uang
yang dikeluarkan untuk pengobatan, tetapi tidak kunjung sembuh. Akhirnya mereka jatuh miskin.
Penyakit Syah Alam semakin parah. Sebelum meninggal, Syah Alam berkata”Amir, Ayah
tidak bisa memberikan apa-apa lagi padamu. Engkau harus bisa membangun usaha lagi seperti Ayah
dulu. Jangan kau gunakan waktumu sia-sia. Bekerjalah yang giat, pergi dari rumah.Usahakan engkau
terlihat oleh bulan, jangan terlihat oleh matahari.”
”Ya, Ayah. Aku akan turuti nasihatmu.”
Sesaat setelah Syah Amir meninggal, ibu Amir juga sakit parah dan akhirnya meninggal.
Sejak itu Amir bertekad untuk mencari pekerjaan. Ia teringat nasihat ayahnya agar tidak terlihat
matahari, tetapi terlihat bulan. Oleh sebab itu, kemana-mana ia selalu memakai payung.
Pada suatu hari, Amir bertmu dengan Nasrudin, seorang menteri yang pandai. Nasarudin
sangat heran dengan pemuda yang selalu memakai payung itu. Nasarudin bertanya kenapa dia berbuat
demikian.
Amir bercerita alasannya berbuat demikian. Nasarudin tertawa. Nasarudin berujar, ” Begini,
ya., Amir. Bukan begitu maksud pesan ayahmu dulu. Akan tetapi, pergilah sebelum matahari terbit
dan pulanglah sebelum malam. Jadi, tidak mengapa engkau terkena sinar matahari. ”
Setelah memberi nasihat, Nasarudin pun memberi pijaman uang kepada Amir. Amir
disuruhnya berdagang sebagaimana dilakukan ayahnya dulu.
3
Amir lalu berjualan makanan dan minuman. Ia berjualan siang dan malam.Pada siang hari,
Amir menjajakan makanan, seperti nasi kapau, lemang, dan es limau. Malam harinya ia berjualan
martabak, sekoteng, dan nasi goreng. Lama-kelamaan usaha Amir semakin maju. Sejak it, Amir
menjadi saudagar kaya.

03. HIKAYAT BURUNG CENDERAWASIH


Sahibul hikayat telah diriwayatkan dalam Kitab Tajul Muluk, mengisahkan seekor burung
yang bergelar burung cenderawasih. Adapun asal usulnya bermula dari kayangan. Menurut
kebanyakan orang lama yang arif mengatakan ianya berasal dari syurga dan selalu berdamping
dengan para wali. Memiliki kepala seperti kuning keemasan. Dengan empat sayap yang tiada taranya.
Akan kelihatan sangat jelas sekiranya bersayap penuh adanya. Sesuatu yang sangat nyata
perbezaannya adalah dua antena atau ekor ‘areil‘ yang panjang di ekor belakang. Barangsiapa yang
melihatnya pastilah terpegun dan takjub akan keindahan dan kepelikan burung cenderawasih.
Amatlah jarang sekali orang memiliki burung cenderawasih. Ini kerana burung ini bukanlah
berasal dari bumi ini. Umum mengetahui bahawa burung Cenderawasih ini hanya dimiliki oleh kaum
kerabat istana saja. Hatta mengikut sejarah, kebanyakan kerabat-kerabat istana Melayu mempunyai
burung cenderawasih. Mayoritas para peniaga yang ditemui mengatakan ia membawa tuah yang
hebat.
Syahdan dinyatakan lagi dalam beberapa kitab Melayu lama, sekiranya burung cenderawasih
turun ke bumi nescaya akan berakhirlah hayatnya. Dalam kata lain burung cenderawasih akan mati
sekiranya menjejak kaki ke bumi. Namun yang pelik lagi ajaibnya, burung cenderawasih ini tidak
lenyap seperti bangkai binatang yang lain. Ini kerana ia dikatakan hanya makan embun syurga sebagai
makanannya. Malahan ia mengeluarkan bau atau wangian yang sukar untuk diperkatakan. Burung
cenderawasih mati dalam pelbagai keadaan. Ada yang mati dalam keadaan terbang, ada yang mati
dalam keadaan istirahat dan ada yang mati dalam keadaan tidur.
Walau bagaimanapun, Melayu Antique telah menjalankan kajian secara rapi untuk menerima
hakikat sebenar mengenai BURUNG CENDERAWASIH ini. Mengikut kajian ilmu pengetahuan
yang dijalankan, burung ini lebih terkenal di kalangan penduduk nusantara dengan panggilan Burung
Cenderawasih. Bagi kalangan masyarakat China pula, burung ini dipanggil sebagai Burung Phoenix
yang banyak dikaitkan dengan kalangan kerabat istana Maharaja China. Bagi kalangan penduduk
Eropah, burung ini lebih terkenal dengan panggilan ‘Bird of Paradise‘. Secara faktanya, asal usul
burung ini gagal ditemui atau didapathingga sekarang. Tiada bukti yang menunjukkan ianya berasal
dari alam nyata ini. Namun satu lagi fakta yang perlu diterima, burung cenderawasih turun ke bumi
hanya di IRIAN JAYA (Papua sekarang), Indonesia saja. Tetapi yang pelik namun satu kebenaran
burung ini hanya turun seekor saja dalam waktu tujuh tahun. Dan ia turun untuk mati. Sesiapa yang
menjumpainya adalah satu tuah. Oleh itu, kebanyakan burung cenderawasih yang anda saksikan
mungkin berumur lebih dari 10 tahun, 100 tahun atau sebagainya. Kebanyakkannya sudah beberapa
generasi yang mewarisi burung ini.
Telah dinyatakan dalam kitab Tajul Muluk bahawa burung cenderawasih mempunyai
pelbagai kelebihan. Seluruh badannya daripada dalam isi perut sehinggalah bulunya mempunyai
khasiat yang misteri. Kebanyakannya digunakan untuk perubatan. Namun ramai yang memburunya
kerana ‘tuahnya’. Burung cenderawasih digunakan sebagai ‘pelaris’. Baik untuk pelaris diri atau
perniagaan. Sekiranya seseorang memiliki bulu burung cenderawasih sahaja pun sudah cukup untuk
dijadikan sebagai pelaris. Mengikut ramai orang yang ditemui memakainya sebagai pelaris
menyatakan, bulu burung cenderawasih ini merupakan pelaris yang paling besar. Hanya orang yang
memilikinya yang tahu akan kelebihannya ini. Namun yang pasti burung cenderawasih bukannya
calang-calang burung. Penuh dengan keunikan, misteri, ajaib, tuah.
04. PENGEMBARA YANG LAPAR
Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara.
Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila
penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan
singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak
bertemu dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara
yang rendang. Bekalan makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh.
Dia mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata
Buyung pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga.
Bagi aku, kalau ada nasi sepinggan sudah cukup,” Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek
Kendi. Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar
keluhan ketiga-tiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera
mencari benda tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang
masih berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.

“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari
arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil
ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas
meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi
berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki.
Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil
memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak.
Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi
di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi
dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan
ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya
berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah.
Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya
lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu.
Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat
sambil meminta tolong.

Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan


terlolong. Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak
dapat berbuat apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan
semula perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun
tidak berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah
berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.

05. HIKAYAT ABU NAWAS: PESAN BAGI HAKIM

Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya diam di negeri Baghdad. Adapun
Abu Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak daripada orang banyak. Bapanya seorang
Kadi. Sekali peristiwa, bapanya itu sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium
telinganya. Telinga sebelah kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat
busuk . Bapanya menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah
mendengar aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah
telinga menjadi busuk. Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi, dia harus
mencari helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah dan Sultan Harun
Ar-rasyid mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka Abu Nawas pun
membuat gila dan tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu Nawas berkata kepada
seorang yang dekatnya, ”Hai, gembala kuda, pergilah engkau memberi makan rumput kuda
itu.” Maka si polan itu pergi menghadap sultan dan meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu
Nawas itu, pekerjaannya tiap hari ialah mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu
malam, seorang anak Mesir yang berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah
dengan anak perempuan kadi yang baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir
itu, ia meminta anak Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala
hartanya dirampas dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh
murid-muridnya memecahkan rumah kadi itu. Tatkala dihadapkan ke depan Sultan, Abu
Nawas berkata bahwa dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan memakai
mimpi sebagai hukum itu sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri. Dengan demikian
terbukalah perbuatan kadi yang zalim itu. Kadi itu lalu dihukum oleh Sultan. Kemudian anak
Mesir itu pun diamlah di dalam negeri itu. Telah sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama Abu Nawas menjelang kematiannya ia
memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium telinganya. Jika telinga kanan harum baunya,
itu pertanda akan baik. Akan tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa
sepeninggalnya akan terjadi hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura menjadi gila, sehingga ia tidak
diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi. Yang diangkat menggantikannya ialah
Lukman. Seorang pedagang Mesir bermimpi sebagai berikut: anak perempuan kadi baru
kawin gelap, akan tetapi tanpa emas kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon,
sehingga diusir bersama-sama suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan
dengan demikian kehormatan kadi baru itu pulih kembali.

06. HIKAYAT PATANI

Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri
Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda
baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun
matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu.
Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi
berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar
khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala
menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar
pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat
kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri
hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian
setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala
menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu
itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda
pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri
hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa
itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku,
pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok
pagi-pagi kita berburu"
Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka
segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-
pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda
pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri
itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka
berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing
itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah
dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh
anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan
karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang
gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai
ini."
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan
kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini
duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari
mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun
menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat
Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik
ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke
Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.
Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?".
Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar
sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu
baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada
tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang
mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu.
Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua
bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada
negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang
sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya
itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik
Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu
mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut
sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.

07. HIKAYAT SEORANG KAKEK DAN SEEKOR ULAR

Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima
waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim
dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang
menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa
berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-
laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar
saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik
sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya.
Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."
"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah
selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk
ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan
keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang
ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang
dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana
orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu
apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."
"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-
duanya sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada
Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian
kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya,
perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku
pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku
ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap,
"Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku."
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku
seperti yang kamu inginkan."
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke
dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah
engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah
sentiasa membantumu."
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu
telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang
mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang
tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan
dan berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang
Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia
pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang
jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami
karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan
kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku
mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar
sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya
menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya
mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya
lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan
langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan
memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan
kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-
satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan
berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana
telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya,
Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah
karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.

08. PERKARA SI BUNGKUK DAN SI PANJANG


Mashudulhakk arif bijaksana dan pandai memutuskan perkara-perkara yang sulit sebagai ternyata dari
contoh yang di bawah ini :
Hatta maka berapa lamanya Masyhudulhakk pun besarlah. Kalakian maka bertambah-tambah
cerdiknya dan akalnya itu. Maka pada suatu hari adalah dua orang laki-istri berjalan. Maka sampailah
ia kepada suatu sungai. Maka dicaharinya perahu hendak menyeberang, tiada dapat perahu itu. Maka
ditantinya 1) kalau-kalau ada orang lalu berperahu. Itu pun tiada juga ada lalu perahu orang. Maka ia
pun berhentilah di tebing sungai itu dengan istrinya. Sebermula adapun istri orang itu terlalu baik
parasnya. Syahdan maka akan suami perempuan itu sudah tua, lagi bungkuk belakangnya. Maka pada
sangka orang tua itu, air sungai itu dalam juga. Katanya, "Apa upayaku hendak menyeberang sungai
ini?"
Maka ada pula seorang Bedawi duduk di seberang sana sungai itu. Maka kata orang itu, "Hai
tuan hamba, seberangkan apalah kiranya hamba kedua ini, karena hamba tiada dapat berenang; sungai
ini tidak hamba tahu dalam dangkalnya." Setelah didengar oleh Bedawi kata orang tua bungkuk itu
dan serta dilihatnya perempuan itu baik rupanya, maka orang Bedawi itu pun sukalah, dan berkata di
dalam hatinya, "Untunglah sekali ini!"
Maka Bedawi itu pun turunlah ia ke dalam sungai itu merendahkan dirinya, hingga lehernya
juga ia berjalan menuju orang tua yang bungkuk laki-istri itu. Maka kata orang tua itu, "Tuan hamba
seberangkan apalah 2) hamba kedua ini. Maka kata Bedawi itu, "Sebagaimana 3) hamba hendak bawa
tuan hamba kedua ini? Melainkan seorang juga dahulu maka boleh, karena air ini dalam."
Maka kata orang tua itu kepada istrinya, "Pergilah diri dahulu." Setelah itu maka turunlah
perempuan itu ke dalam sungai dengan orang Bedawi itu. Arkian maka kata Bedawi itu, "Berilah
barang-barang bekal-bekal tuan hamba dahulu, hamba seberangkan." Maka diberi oleh perempuan itu
segala bekal-bekal itu. Setelah sudah maka dibawanyalah perempuan itu diseberangkan oleh Bedawi
itu. Syahdan maka pura-pura diperdalamnya air itu, supaya dikata 4) oleh si Bungkuk air itu dalam.
Maka sampailah kepada pertengahan sungai itu, maka kata Bedawi itu kepada perempuan itu, "Akan
tuan ini terlalu elok rupanya dengan mudanya. Mengapa maka tuan hamba berlakikan orang tua
bungkuk ini? Baik juga tuan hamba buangkan orang bungkuk itu, agar supaya tuan hamba, hamba
ambit, hamba jadikan istri hamba." Maka berbagai-bagailah katanya akan perempuan itu.
Maka kata perempuan itu kepadanya, "Baiklah, hamba turutlah kata tuan hamba itu."
Maka apabila sampailah ia ke seberang sungai itu, maka keduanya pun mandilah, setelah
sudah maka makanlah ia keduanya segala perbekalan itu. Maka segala kelakuan itu semuanya dilihat
oleh orang tua bungkuk itu dan segala hal perempuan itu dengan Bedawi itu.
Kalakian maka heranlah orang tua itu. Setelah sudah ia makan, maka ia pun berjalanlah
keduanya. Setelah dilihat oleh orang tua itu akan Bedawi dengan istrinya berjalan, maka ia pun
berkata-kata dalam hatinya, "Daripada hidup melihat hal yang demikian ini, baiklah aku mati."
Setelah itu maka terjunlah ia ke dalam sungai itu. Maka heranlah ia, karena dilihatnya sungai
itu aimya tiada dalam, maka mengarunglah ia ke seberang lalu diikutnya Bedawi itu. Dengan hal yang
demikian itu maka sampailah ia kepada dusun tempat Masyhudulhakk itu.
Maka orang tua itu pun datanglah mengadu kepada Masyhudulhakk. Setelah itu maka disuruh
oleh Masyhudulhakk panggil Bedawi itu. Maka Bedawi itu pun datanglah dengan perempuan itu.
Maka kata Masyhudulhakk, "Istri siapa perempuan ini?"
Maka kata Bedawi itu, "Istri hamba perempuan ini. Dari kecil lagi ibu hamba pinangkan;
sudah besar dinikahkan dengan hamba."
Maka kata orang tua itu, "Istri hamba, dari kecil nikah dengan hamba."

Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang
pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata
benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"

Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan
itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan
ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia
duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-
laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai
orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu
dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka
Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka
disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.

09. HIKAYAT HANG TUAH

Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud.
Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung
mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang
Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang
Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih
baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang
Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh
Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya
kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan
dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba
putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga
memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai
dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga
baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu
untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka.
Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri
Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata
kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka
kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan
membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak
itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang
Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu
amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-
tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu
mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata
seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu
ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan
Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi
bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun
tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan
kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang
Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun
berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu,
datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung
dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya
mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-
berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar
hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian
ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak
berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai
Tumenggung, katakan saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat
tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal
itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda
bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang
berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini
pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara
dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang
untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya
berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah,
singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu,
tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya
sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala
Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu
dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai
istri lagi.”

10. HIKAYAT JAYA LENGKARA

Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam
Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh
karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang. Hatta berapa
lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan
Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa meminta anak.
Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik
rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu
makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan
rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan nasib
Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara akan menjadi raja besar
yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat melawannya dan segala
margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan
Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan,
jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja
termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri
Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam. Dengan
bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna
Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah
diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan. Jaya
Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga itu. Jaya
Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdim.
Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya
Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah
ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya.Ratna
Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang
sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim
coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan
Puteri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan
dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta
berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar
kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.
11. HIKAYAT PANJI SEMIRANG

Satu kerajaan yang mana berita tentang Galuh Cendera Kirana yang mana putri dari Baginda Raja
Nata yang amat ta`lim dan hormat kepada orangtuanya akan bertunangan dengan Raden Inu Kini
telah terdengar beritanya oleh Galuh Ajeng . Mendengar berita ini Galuh Ajeng sangat teriris hatinya
dan menangislah ia mlihat keadaan ini. Melihat hal ini Paduka Liku yang tak lain adalah ayah dari
galuh ajeng sangat menyayangkan hal tersebut. Sangat sedih ia melihat tingkah laku putrinya
tersebut.

Tidak hentinya rasa benci, dengki, serta dendam di dalam hati Paduka Liku sehingga ia berencena
untuk membunuh Galuh Cendera Kirana serta Paduka Nata. Ia meracuni makanan yang hendak
mereka makan yang mana makanan tersebut telah dipersiapkan oleh dayang-dayang istana. Agar
jikalau Galuh Cendera Kirana mati maka pastilah putrinya Galuh Ajeng yang kelak menggantikan
posisi Galuh Cendera Kirana untuk ditunangkan dengan Raden Inu Kini begitu pula dengan Raja
Nata yang apabila mati, kelak Raja Liku yang akan menggantikan posisinya.

Dan pada saat tersebut Raja Liku meminta tolong kepada saudaranya yang juga menteri untuk
mencarikan baginya seorang yang pandai membuat guna guna untuk mengguna-gunai raja nata
serta putrinya. Setelah di dapatkan dari pencarian yang panjang oleh saudaranya tersebut,
disampaikanlah kepada Raja Nata apa-apa yang harus dilakukannya kini sesuai dengan psean dari
ahli guna-guna tersebut.

12 . “IBNU HASAN”
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan,

banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya,

bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang

paling ramai saat itu.

Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,

menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang
baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu

banyak pengikutnya.

Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat

tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.

Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,

namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya

dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena

itulah kedua orang tuanya sangat menyayanginya.

Ayahnya berfikir,”Alangkah salahnya aku, menyayangi diluar batas, tanpa pertimbangan,

bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat

mendidik anak, mengkaji ilmu yang bermanfaat.”

Dipanggilnya putranya. Anak itu segera mendatanginya, diusap-usapnya putranya

sambil dinasihati, bahwa Ia harus mengaji, katanya “Sekarang saatnya anakku,

sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”

Ibnu Hasan menjawab,”Ayah jangan ragu-ragu, jangankan jalan menuju kemuliaan,

jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak

akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”

Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua

orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus

berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.

“Kelak, apabila ananda sudah sampai, ketempat merantau, pandai-pandailah menjaga

diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh

dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu

menghina sesama. Kalau begitu perbuatanmu, hidupmu tidak akan senangkaena

dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan

diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-

hatilah menjaga diri jangan menganggap enteng segala hal.”

Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan

kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh

jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”

Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin

dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan

pakaian, sementara Mairin mengikuti dari belakang, sesekali menggantikan tugas


Mairun.

Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu

berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat

berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama,

terus berguru padanya.

Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang

bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari

mana?”

Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”

Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum

tahu?”

“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar

tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap

sesama, harus sesuai dengan aturan.”

Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera

pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari

ilmu. Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya kamu harapkan.”

Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin

mencari ilmu atau hanya alasan supaya mendapat pujian.

Ibnu Hasan menunduk, menjawab agak malu,”Hamba ingin menjelaskan mengapa

hamba besusah payah tanpa mengenal lelah, mencari ilmu.

Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,

ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.

Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah

sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.

Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan

bertambah. Distulah terlihat ternyata kalau hamba ini bodoh.

Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah

pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.

Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus

sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin,

ibaratnya anak seorang patih.”

Maka, yakinlah kyai itu akan bauk muridnya.


13. HIKAYAT BUNGA KEMUNING

asal nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri hati, jahat,

kecantikan, kejam, kerajaan, pemalas, saudara 47

Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik.

Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan

kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang

raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja

diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya

suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah

mereka. Pertengkaran sering terjadi di antara mereka.

Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri

Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu,

Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna

sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali

mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning

sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan

tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh

daripada dengan kakak-kakaknya.

Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.

“Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.

“Aku ingin perhiasan yang mahal,” kata Puteri Jambon.

“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta

hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri

Kuning. Ia berpikir sejenak, lalu memegang lengan ayahnya.

“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya

tertawa dan mencemoohkannya.

“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan

kubawakan hadiah indah buatmu,” kata sang raja. Tak lama

kemudian, raja pun pergi.

Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering

membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena

sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat

membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman
adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan

mulai membersihkan taman itu. Daun-daun kering dirontokkannya, rumput liar

dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh

melarangnya, namun Puteri Kuning tetap berkeras mengerjakannya. Kakak-kakak Puteri

Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita

punya pelayan baru,” kata seorang diantaranya.

“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan

sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja

dan menyapu sampah-sampah itu. Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang sampai

Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang

dipaksa mematuhi berbagai perintah kakak-kakaknya.

“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk

kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.

“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan

Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka

pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau,

sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu,

raja menjadi sangat sedih.

Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung

batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang

sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah

ditemukannya.

“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku

yang berwarna kuning,” kata Puteri Kuning dengan lemah lembut.

“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya

lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka

ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri

Kuning, apalagi menanyakan hadiahnya.

Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai

adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku

adalah Puteri Hijau!” katanya dengan perasaan iri.


“Ayah memberikannya padaku, bukan kepadamu,” sahut Puteri Kuning. Mendengarnya,

Puteri Hijau menjadi marah. Ia segera mencari saudara-saudaranya dan menghasut

mereka.

“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya

berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak

lama kemudian, Puteri Kuning muncul. Kakak-kakaknya menangkapnya dan memukul

kepalanya. Tak disangka, pukulan tersebut menyebabkan Puteri Kuning meninggal.

“Astaga! Kita harus menguburnya!” seru Puteri Jingga. Mereka beramai-ramai

mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut

mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari

Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam

seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri

Kuning!” teriaknya.

Tentu saja tak ada yang bisa menemukannya. Berhari-hari, berminggu-minggu,

berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah

yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan

mengasah budi pekerti!” Maka ia pun mengirimkan puteri-puterinya untuk bersekolah di

negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih

memikirkan Puteri Kuning yang hilang tak berbekas.

Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran

melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat

berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!

Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!”

kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan,

bunga-bunga kemuning bisa digunakan untuk mengharumkan rambut. Batangnya

dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang

menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.

14. HIKAYAT SANG POHON CANTIK

Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan

tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang

sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum,

semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali

para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang
berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka

membiarkan pohon tersebut tetap tumbuh.

Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh

dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar

suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik

akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja,

untuk lebih mencintai lingkungan mereka dan berhenti membuat kerosakan.

Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah

mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan

banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja

membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu.

Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu

ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka

mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.

Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para

pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan

sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut

rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari

makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air

yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.

Dipendekkan cerita,pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun

menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir

wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik

tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga

dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para

pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah

untuk selalu menghapuskan pohon itu.

Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas

muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik

yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu

petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik

bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada
bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya

berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia hadapi.

Tetapi lama-kelamaan ia sedar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya

serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan

dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya

angin dengan sempurna. Kerana keyakinannya itulah tiba-tiba ia membuat sebuah

gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam

tanah.

Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat

gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan keseimbangannya.

Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku

bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada.

Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti”

“Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun,

dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat

dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar,

harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-

apa tentang dunia ini!”

“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat

berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!”

Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh,

daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?!

Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling

memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah,

saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih

kerana pertelingkahan saudaranya sendiri.

Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak

merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah

segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa

ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan

dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk

berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah

mengambil langkah yang keliru dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan


hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan, Sang Daun yang berusaha meleraikan

perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa

lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.

Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu,

Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya.

Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia

lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan,

Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya

sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama

yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus

dengan sangat perlahan.

Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang

tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya,

dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya

menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di

bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat

terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua

saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai.

Beginilah akhirnya kisah pohon cantik,sebuah cerita yang menyedihkan.Para pencari

kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak

tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ”

“O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata

penebang pohon yang liar.

Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?

Marilah kita jauhi permusuhan yang meleraikan silaturrahim antara kita,

janganlah berdendam kerana dendam itu tidak membawa kedamaian..

saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan

dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman.

15. “HIKAYAT PANGLIMA BURUNG ( BULAN JIHAD)”

Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis

tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak

benar-benar dijadikan sandaran dalam menghadapi serangan etnis tertentu dari


seberang. Apa boleh buat, sesuatu yang telah dilupakan menjadi bangun ke alam nyata.

Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah

sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.

Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa Panglima

Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis

Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi

membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad,

seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung

muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran

Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah)

seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar

hajjah”

Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga

menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima

Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima

sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik

yakni Panglima Burung dan Panglima Api.

Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M.

Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita

berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum

Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran ini

adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan

menyandang titel seorang hajjah.

WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya

luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha

dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku

Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang

beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan

Belanda. Nama-nama pahlawan Banjar seperti Pangeran Antasari Gusti Muhammad

Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan

Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-

lain yang merupakan kesatuan kekuatan dalam perjuangan”.


Dalam rentang perjuangannya melawan kolonialisme Belanda, Panglima Burung yang

sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang

menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”.

Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan

seperjuangannya.

Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera

Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito

Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah,

Waja Sampai ka Puting”.

Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan

Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang

pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”,

imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata,

bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu

berjuang berdampingan dengan Gusti Zaleha si pejuang puteri Banjar”. Dengan

demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948)

sejalan dengan ceritera Pak Tjilik Riwut (1950).

Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905,

lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan

Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan

perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.

Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan

selanjutnya dia dibawa ke Banjarmasin bersama ibunya Nyai Salmah.

Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan

kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang

melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia

baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu

mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September

1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula

dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah

muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri

Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti

kolonialis lainnya di tanah Dayak ini.


Dari bukti sejarah yang ditunjukkan pendahulu kita menyatakan fakta bahwa kebulatan

tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang

Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti

Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur,

Temanggung Mangkusari, Panglima Wangkang dan lainnya, adalah gambaran

bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang,

Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata

Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku

Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun

juga”.

Anda mungkin juga menyukai

  • Banner
    Banner
    Dokumen9 halaman
    Banner
    Anonymous D6qcrk
    Belum ada peringkat
  • Autobiog Rafi
    Autobiog Rafi
    Dokumen5 halaman
    Autobiog Rafi
    Anonymous lhZmS3EQ
    Belum ada peringkat
  • Autobiog Rafi
    Autobiog Rafi
    Dokumen5 halaman
    Autobiog Rafi
    Anonymous lhZmS3EQ
    Belum ada peringkat
  • Bahasa
    Bahasa
    Dokumen23 halaman
    Bahasa
    Anonymous D6qcrk
    Belum ada peringkat
  • Bahasa
    Bahasa
    Dokumen23 halaman
    Bahasa
    Anonymous D6qcrk
    Belum ada peringkat
  • Bahasa
    Bahasa
    Dokumen23 halaman
    Bahasa
    Anonymous D6qcrk
    Belum ada peringkat