HIKAYAT SI MISKIN
Karena sumpah Batara Indera, seorang raja keinderaan beserta permaisurinya bibuang dari
keinderaan sehingga sengsara hidupnya. Itulah sebabnya kemudian ia dikenal sebagai si Miskin.
Si Miskin laki-bini dengan rupa kainnya seperti dimamah anjing itu berjalan mencari rezeki
berkeliling di Negeri Antah Berantah di bawah pemerintahan Maharaja Indera Dewa. Ke mana
mereka pergi selalu diburu dan diusir oleh penduduk secara beramai-ramai dengan disertai
penganiayaan sehingga bengkak-bengkak dan berdarah-darah tubuhnya. Sepanjang perjalanan
menangislah si Miskin berdua itu dengan sangat lapar dan dahaganya. Waktu malam tidur di hutan,
siangnya berjalan mencari rezeki. Demikian seterusnya.
Ketika isterinya mengandung tiga bulan, ia menginginkan makan mangga yang ada di taman raja.
Si Miskin menyatakan keberatannya untuk menuruti keinginan isterinya itu, tetapi istri itu makin
menjadi-jadi menangisnya. Maka berkatalah si Miskin, “Diamlah. Tuan jangan menangis. Biar
Kakanda pergi mencari buah mempelam itu. Jikalau dapat, Kakanda berikan kepada tuan.”
Si Miskin pergi ke pasar, pulangnya membawa mempelam dan makanan-makanan yang lain.
Setelah ditolak oleh isterinya, dengan hati yang sebal dan penuh ketakutan, pergilah si Miskin
menghadap raja memohon mempelam. Setelah diperolehnya setangkai mangga, pulanglah ia segera.
Isterinya menyambut dengan tertawa-tawa dan terus dimakannya mangga itu.
Setelah genap bulannya kandunga itu, lahirlah anaknya yang pertama laki-laki bernama
Marakarmah (=anak di dalam kesukaran) dan diasuhnya dengan penuh kasih saying.
Ketika menggali tanah untuk keperluan membuat teratak sebagai tempat tinggal, didapatnya
sebuah tajau yang penuh berisi emas yang tidak akan habis untuk berbelanja sampai kepada anak
cucunya. Dengan takdir Allah terdirilah di situ sebuah kerajaan yang komplet perlengkapannya. Si
Miskin lalu berganti nama Maharaja Indera Angkasa dan isterinya bernama Tuan Puteri Ratna Dewi.
Negerinya diberi nama Puspa Sari. Tidak lama kemudian, lahirlah anaknya yang kedua, perempuan,
bernama Nila Kesuma.
Maharaja Indera Angkasa terlalu adil dan pemurah sehingga memasyurkan kerajaan Puspa Sari
dan menjadikan iri hati bagi Maharaja Indera Dewa di negeri Antah Berantah.
Ketika Maharaja Indera Angkasa akan mengetahui pertunangan putra-putrinya, dicarinya ahli-
ahli nujum dari Negeri Antah Berantah.
Atas bujukan jahat dari raja Antah Berantah, oleh para ahli nujum itu dikatakan bahwa
Marakarmah dan Nila Kesuma itu kelak hanyalah akan mendatangkan celaka saja bagi orangtuanya.
Ramalan palsu para ahli nujum itu menyedihkan hati Maharaja Indera Angkasa. Maka, dengan
hati yang berat dan amat terharu disuruhnya pergi selama-lamanya putra-putrinya itu.
Tidak lama kemudian sepeninggal putra-putrinya itu, Negeri Puspa Sari musnah terbakar.
Sesampai di tengah hutan, Marakarmah dan Nila Kesuma berlindung di bawah pohon beringin.
Ditangkapnya seekor burung untuk dimakan. Waktu mencari api ke kampung, karena disangka
mencuri, Marakarmah dipukuli orang banyak, kemudian dilemparkan ke laut. Nila Kesuma ditemu
oleh Raja Mengindera Sari, putera mahkota dari Palinggam Cahaya, yang pada akhirnya menjadi
isteri putera mahkota itu dan bernama Mayang Mengurai.
Akan nasib Marakarmah di lautan, teruslah dia hanyut dan akhirnya terdampar di pangkalan
raksasa yang menawan Cahaya Chairani (anak raja Cina) yang setelah gemuk akan dimakan. Waktu
Cahaya Chairani berjalan –jalan di tepi pantai, dijumpainya Marakarmah dalam keadaan terikat
tubuhnya. Dilepaskan tali-tali dan diajaknya pulang. Marakarmah dan Cahaya Chairani berusaha lari
dari tempat raksasa dengan menumpang sebuah kapal. Timbul birahi nahkoda kapal itu kepada
Cahaya Chairani, maka didorongnya Marakarmah ke laut, yang seterusnya ditelan oleh ikan nun yang
membuntuti kapal itu menuju ke Palinggam Cahaya. Kemudian, ikan nun terdampar di dekat rumah
Nenek Kebayan yang kemudian terus membelah perut ikan nun itu dengan daun padi karena
mendapat petunjuk dari burung Rajawali, sampai Marakarmah dapat keluar dengan tak bercela.
Kemudian, Marakarmah menjadi anak angkat Nenek Kebayan yang kehidupannya berjual bunga.
Marakarmah selalu menolak menggubah bunga. Alasannya, gubahan bunga Marakarmah dikenal oleh
Cahaya Chairani, yang menjadi sebab dapat bertemu kembali antara suami-isteri itu.
Karena cerita Nenek Kebayan mengenai putera Raja Mangindera Sari menemukan seorang puteri
di bawah pohon beringin yang sedang menangkap burung, tahulah Marakarmah bahwa puteri tersebut
adiknya sendiri, maka ditemuinyalah. Nahkoda kapal yang jahat itu dibunuhnya.
Selanjutnya, Marakarmah mencari ayah bundanya yang telah jatuh miskin kembali. Dengan
kesaktiannya diciptakannya kembali Kerajaan Puspa Sari dengan segala perlengkapannya seperti
dahulu kala.
Negeri Antah Berantah dikalahkan oleh Marakarmah, yang kemudian dirajai oleh Raja Bujangga
Indera (saudara Cahaya Chairani).
Akhirnya, Marakarmah pergi ke negeri mertuanya yang bernama Maharaja Malai Kisna di Mercu
Indera dan menggantikan mertuanya itu menjadi Sultan Mangindera Sari menjadi raja di Palinggam
Cahaya. (Sumber:Peristiwa Sastra Melayu Lama)
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari
arah timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil
ayam yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas
meredah semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi
berlauk yang terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki.
Dia makan dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil
memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak.
Dia tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi
di dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi
dan nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan
ekor ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya
berasa loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah.
Buyung segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya
lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu.
Mereka meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat
sambil meminta tolong.
Tersebutlah perkataan Abu Nawas dengan bapanya diam di negeri Baghdad. Adapun
Abu Nawas itu sangat cerdik dan terlebih bijak daripada orang banyak. Bapanya seorang
Kadi. Sekali peristiwa, bapanya itu sakit dan hampir mati. Ia meminta Abu Nawas mencium
telinganya. Telinga sebelah kanannya sangat harum baunya, sedangkan telinga kiri sangat
busuk . Bapanya menerangkan bahwa semasa membicarakan perkara dua orang, dia pernah
mendengar aduan seorang dan tiada mendengar adua yang lain. Itulah sebabnya sebelah
telinga menjadi busuk. Ditambahnya juga kalau anaknya tiada mau menjadi kadi, dia harus
mencari helah melepaskan diri. Hatta bapa Abu Nawas pun berpulanglah dan Sultan Harun
Ar-rasyid mencari Abu Nawas untuk menggantikan bapanya. Maka Abu Nawas pun
membuat gila dan tidak tentu kelakuannya. Pada suatu hati, Abu Nawas berkata kepada
seorang yang dekatnya, ”Hai, gembala kuda, pergilah engkau memberi makan rumput kuda
itu.” Maka si polan itu pergi menghadap sultan dan meminta dijadikan kadi.
Permintaan dikabulkan dan si polan itu tetap menjadi kadi dalam negeri. Akan Abu
Nawas itu, pekerjaannya tiap hari ialah mengajar kitab pada orang negeri itu. Pada suatu
malam, seorang anak Mesir yang berdagang dalam negeri Baghdad bermimpi menikah
dengan anak perempuan kadi yang baru itu. Tatkala kadi itu mendengar mimpi anak Mesir
itu, ia meminta anak Mesir itu membayar maharnya. Ketika anak Mesir itu menolak, segala
hartanya dirampas dan ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas. Abu Nawas lalu menyuruh
murid-muridnya memecahkan rumah kadi itu. Tatkala dihadapkan ke depan Sultan, Abu
Nawas berkata bahwa dia bermimpi kadi itu menyuruhnya berbuat begitu. Dan memakai
mimpi sebagai hukum itu sebenarnya adalah hokum kadi itu sendiri. Dengan demikian
terbukalah perbuatan kadi yang zalim itu. Kadi itu lalu dihukum oleh Sultan. Kemudian anak
Mesir itu pun diamlah di dalam negeri itu. Telah sampai musim, ia pun kembali ke negerinya.
Seorang kadi mempunyai seorang anak bernama Abu Nawas menjelang kematiannya ia
memanggil anak-anaknya dan disuruh mencium telinganya. Jika telinga kanan harum baunya,
itu pertanda akan baik. Akan tetapi jika yang harum telinga kiri, berarti bahwa
sepeninggalnya akan terjadi hal-hal yang tidak baik. Ternyata yang harum yang kiri.
Sesudah ayahnya meninggal, Abu Nawas pura-pura menjadi gila, sehingga ia tidak
diangkat menggantikan ayahnya sebagai kadi. Yang diangkat menggantikannya ialah
Lukman. Seorang pedagang Mesir bermimpi sebagai berikut: anak perempuan kadi baru
kawin gelap, akan tetapi tanpa emas kawin sama sekali kecuali berupa lelucon-lelucon,
sehingga diusir bersama-sama suaminya oleh ayahnya, lalu mengembara ke Mesir, dan
dengan demikian kehormatan kadi baru itu pulih kembali.
Inilah suatu kisah yang diceritakan oleh orang tua-tua, asal raja yang berbuat negeri
Patani Darussalam itu. Adapun raja di Kota Maligai itu namanya Paya Tu Kerub Mahajana.
Maka Paya Tu Kerub Mahajana pun beranak seorang laki-laki, maka dinamai anakanda
baginda itu Paya Tu Antara. Hatta berapa lamanya maka Paya Tu Kerub Mahajana pun
matilah. Syahdan maka Paya Tu Antara pun kerajaanlah menggantikan ayahanda baginda itu.
Ia menamai dirinya Paya Tu Naqpa. Selama Paya Tu Naqpa kerajaan itu sentiasa ia pergi
berburu.
Pada suatu hari Paya Tu Naqpa pun duduk diatas takhta kerajaannya dihadap oleh segala
menteri pegawai hulubalang dan rakyat sekalian. Arkian maka titah baginda: "Aku dengar
khabarnya perburuan sebelah tepi laut itu terlalu banyak konon." Maka sembah segala
menteri: "Daulat Tuanku, sungguhlah seperti titah Duli Yang Mahamulia itu, patik dengar
pun demikian juga." Maka titah Paya Tu Naqpa: "Jikalau demikian kerahkanlah segala rakyat
kita. Esok hari kita hendak pergi berburu ke tepi laut itu." Maka sembah segala menteri
hulubalangnya: "Daulat Tuanku, mana titah Duli Yang Mahamulia patik junjung." Arkian
setelah datanglah pada keesokan harinya, maka baginda pun berangkatlah dengan segala
menteri hulubalangnya diiringkan oleh rakyat sekalian. Setelah sampai pada tempat berburu
itu, maka sekalian rakyat pun berhentilah dan kemah pun didirikan oranglah. Maka baginda
pun turunlah dari atas gajahnya semayam didalam kemah dihadap oleh segala menteri
hulubalang rakyat sekalian. Maka baginda pun menitahkan orang pergi melihat bekas rusa
itu. Hatta setelah orang itu datang menghadap baginda maka sembahnya: "Daulat Tuanku,
pada hutan sebelah tepi laut ini terlalu banyak bekasnya." Maka titah baginda: "Baiklah esok
pagi-pagi kita berburu"
Maka setelah keesokan harinya maka jaring dan jerat pun ditahan oranglah. Maka
segala rakyat pun masuklah ke dalam hutan itu mengalan-alan segala perburuan itu dari pagi-
pagi hingga datang mengelincir matahari, seekor perburuan tiada diperoleh. Maka baginda
pun amat hairanlah serta menitahkan menyuruh melepaskan anjing perburuan baginda sendiri
itu. Maka anjing itu pun dilepaskan oranglah. Hatta ada sekira-kira dua jam lamanya maka
berbunyilah suara anjing itu menyalak. Maka baginda pun segera mendapatkan suara anjing
itu. Setelah baginda datang kepada suatu serokan tasik itu, maka baginda pun bertemulah
dengan segala orang yang menurut anjing itu. Maka titah baginda: "Apa yang disalak oleh
anjing itu?" Maka sembah mereka sekalian itu: "Daulat Tuanku, patik mohonkan ampun dan
karunia. Ada seekor pelanduk putih, besarnya seperti kambing, warna tubuhnya gilang
gemilang. Itulah yang dihambat oleh anjing itu. Maka pelanduk itu pun lenyaplah pada pantai
ini."
Setelah baginda mendengar sembah orang itu, maka baginda pun berangkat berjalan
kepada tempat itu. Maka baginda pun bertemu dengan sebuah rumah orang tua laki-bini
duduk merawa dan menjerat. Maka titah baginda suruh bertanya kepada orang tua itu, dari
mana datangnya maka ia duduk kemari ini dan orang mana asalnya. Maka hamba raja itu pun
menjunjungkan titah baginda kepada orang tua itu. Maka sembah orang tua itu: "Daulat
Tuanku, adapun patik ini hamba juga pada kebawah Duli Yang Mahamulia, karena asal patik
ini duduk di Kota Maligai. Maka pada masa Paduka Nenda berangkat pergi berbuat negeri ke
Ayutia, maka patik pun dikerah orang pergi mengiringkan Duli Paduka Nenda berangkat itu.
Setelah Paduka Nenda sampai kepada tempat ini, maka patik pun kedatangan penyakit, maka
patik pun ditinggalkan oranglah pada tempat ini." Maka titah baginda: "Apa nama engkau?".
Maka sembah orang tua itu: "Nama patik Encik Tani." Setelah sudah baginda mendengar
sembah orang tua itu, maka baginda pun kembalilah pada kemahnya.Dan pada malam itu
baginda pun berbicara dengan segala menteri hulubalangnya hendak berbuat negeri pada
tempat pelanduk putih itu.
Setelah keesokan harinya maka segala menteri hulubalang pun menyuruh orang
mudik ke Kota Maligai dan ke Lancang mengerahkan segala rakyat hilir berbuat negeri itu.
Setelah sudah segala menteri hulubalang dititahkah oleh baginda masingmasing dengan
ketumbukannya, maka baginda pun berangkat kembali ke Kota Maligai. Hatta antara dua
bulan lamanya, maka negeri itu pun sudahlah. Maka baginda pun pindah hilir duduk pada
negeri yang diperbuat itu, dan negeri itu pun dinamakannya Patani Darussalam (negeri yang
sejahtera). Arkian pangkalan yang di tempat pelanduk putih lenyap itu (dan pangkalannya
itu) pada Pintu Gajah ke hulu Jambatan Kedi, (itulah. Dan) pangkalan itulah tempat Encik
Tani naik turun merawa dan menjerat itu. Syahdan kebanyakan kata orang nama negeri itu
mengikut nama orang yang merawa itulah. Bahwa sesungguhnya nama negeri itu mengikut
sembah orang mengatakan pelanduk lenyap itu. Demikianlah hikayatnya.
Pada zaman dahulu, tersebutlah ada seorang kakek yang cukup disegani. Ia dikenal takut
kepada Allah, gandrung pada kebenaran, beribadah wajib setiap waktu, menjaga salat lima
waktu dan selalu mengusahakan membaca Al-Qurâ'an pagi dan petang. Selain dikenal alim
dan taat, ia juga terkenal berotot kuat dan berotak encer. Ia punya banyak hal yang
menyebabkannya tetap mampu menjaga potensi itu.
Suatu hari, ia sedang duduk di tempat kerjanya sembari menghisap rokok dengan
nikmatnya (sesuai kebiasaan masa itu). Tangan kanannya memegang tasbih yang senantiasa
berputar setiap waktu di tangannya. Tiba-tiba seekor ular besar menghampirinya dengan
tergopoh-gopoh. Rupanya, ular itu sedang mencoba menghindar dari kejaran seorang laki-
laki yang (kemudian datang menyusulnya) membawa tongkat.
"Kek," panggil ular itu benar-benar memelas, "kakek kan terkenal suka menolong.
Tolonglah saya, selamatkanlah saya agar tidak dibunuh oleh laki-laki yang sedang mengejar
saya itu. Ia pasti membunuh saya begitu berhasil menangkap saya. Tentunya, kamu baik
sekali jika mau membuka mulut lebar-lebar supaya saya dapat bersembunyi di dalamnya.
Demi Allah dan demi ayah kakek, saya mohon, kabulkanlah permintaan saya ini."
"Ulangi sumpahmu sekali lagi," pinta si kakek. "Takutnya, setelah mulutku kubuka,
kamu masuk ke dalamnya dan selamat, budi baikku kamu balas dengan keculasan. Setelah
selamat, jangan-jangan kamu malah mencelakai saya."
Ular mengucapkan sumpah atas nama Allah bahwa ia takkan melakukan itu sekali lagi.
Usai ular mengucapkan sumpahnya, kakek pun membuka mulutnya sekira-kira dapat untuk
ular itu masuk.
Sejurus kemudian, datanglah seorang pria dengan tongkat di tangan. Ia menanyakan
keberadaan ular yang hendak dibunuhnya itu. Kakek mengaku bahwa ia tak melihat ular yang
ditanyakannya dan tak tahu di mana ular itu berada. Tak berhasil menemukan apa yang
dicarinya, pria itu pun pergi.
Setelah pria itu berada agak jauh, kakek lalu berbicara kepada ular: "Kini, kamu aman.
Keluarlah dari mulutku, agar aku dapat pergi sekarang."
Ular itu hanya menyembulkan kepalanya sedikit, lalu berujar: "Hmm, kamu mengira
sudah mengenal lingkunganmu dengan baik, bisa membedakan mana orang jahat dan mana
orang baik, mana yang berbahaya bagimu dan mana yang berguna. Padahal, kamu tak tahu
apa-apa. Kamu bahkan tak bisa membedakan antara makhluk hidup dan benda mati."
"Buktinya kamu biarkan saja musuhmu masuk ke mulutmu, padahal semua orang tahu
bahwa ia ingin membunuhmu setiap ada kesempatan. Sekarang kuberi kamu dua pilihan,
terserah kamu memilih yang mana; mau kumakan hatimu atau kumakan jantungmu? Kedua-
duanya sama-sama membuatmu sekarat." Kontan ular itu mengancam.
"La haula wa la quwwata illa billahi al`aliyyi al-`azhim [tiada daya dan kekuatan
kecuali bersama Allah yang Maha Tinggi dan Agung] (ungkapan geram), bukankah aku telah
menyelamatkanmu, tetapi sekarang aku pula yang hendak kamu bunuh? Terserah kepada
Allah Yang Esa sajalah. Dia cukup bagiku, sebagai penolong terbaik." Sejurus kemudian
kakek itu tampak terpaku, shok dengan kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya,
perbuatan baiknya berbuah penyesalan.
Kakek itu akhirnya kembali bersuara, "Sebejat apapun kamu, tentu kamu belum lupa
pada sambutanku yang bersahabat. Sebelum kamu benar-benar membunuhku, izinkan aku
pergi ke suatu tempat yang lapang. Di sana ada sebatang pohon tempatku biasa berteduh. Aku
ingin mati di sana supaya jauh dari keluargaku."
Ular mengabulkan permintaannya. Namun, di dalam hatinya, orang tua itu berharap,
"Oh, andai Tuhan mengirim orang pandai yang dapat mengeluarkan ular jahat ini dan
menyelamatkanku."
Setelah sampai dan bernaung di bawah pohon yang dituju, ia berujar pada sang ular:
"Sekarang, silakan lakukanlah keinginanmu. Laksanakanlah rencanamu. Bunuhlah aku
seperti yang kamu inginkan."
Tiba-tiba ia mendengar sebuah suara yang mengalun merdu tertuju padanya:
"Wahai Kakek yang baik budi, penyantun dan pemurah. Wahai orang yang baik rekam
jejaknya, ketulusan dan niat hatimu yang suci telah menyebabkan musuhmu dapat masuk ke
dalam tubuhmu, sedangkan kamu tak punya cara untuk mengeluarkannya kembali. Cobalah
engkau pandang pohon ini. Ambil daunnnya beberapa lembar lalu makan. Moga Allah
sentiasa membantumu."
Anjuran itu kemudian ia amalkan dengan baik sehingga ketika keluar dari mulutnya ular itu
telah menjadi bangkai. Maka bebas dan selamatlah kakek itu dari bahaya musuh yang
mengancam hidupnya. Kakek itu girang bukan main sehingga berujar, "Suara siapakah yang
tadi saya dengar sehingga saya dapat selamat?"
Suara itu menyahut bahwa dia adalah seorang penolong bagi setiap pelaku kebajikan
dan berhati mulia. Suara itu berujar, "Saya tahu kamu dizalimi, maka atas izin Zat Yang
Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri (Allah) saya datang menyelamatkanmu."
Kakek bersujud seketika, tanda syukurnya kepada Tuhan yang telah memberi pertolongan
dengan mengirimkan seorang juru penyelamat untuknya."
Di akhir ceritanya, si Saudi berpesan:
"Waspadalah terhadap setiap fitnah dan dengki karena sekecil apapun musuhmu, ia
pasti dapat mengganggumu. Orang jahat tidak akan pernah menang karena prilakunya yang
jahat."
Kemudian si Saudi memelukku dan memeluk anakku. Pada istriku dia mengucapkan selamat
tinggal. Ia berangkat meninggalkan kami. Hanya Allah yang tahu betapa sedihnya kami
karena berpisah dengannya. Kami menyadari sepenuhnya perannya dalam menyelamatkan
kami dari lumpur kemiskinan sehingga menjadi kaya-raya.
Namun, belum beberapa hari dia pergi, aku sudah mulai berubah. Satu persatu
nasehatnya kuabaikan. Hikmah-hikmah Sulaiman dan pesan-pesannya mulai kulupakan. Aku
mulai menenggelamkan diri dalam lautan maksiat, bersenang-senang dan mabuk-mabukan.
Aku menjadi suka menghambur-hamburkan uang.
Akibatnya, para tetangga menjadi cemburu. Mereka iri melihat hartaku yang begitu
banyak. Mengingat mereka tidak tahu sumber pendapatanku, mereka lalu mengadukanku
kepada kepala kampung. Kepala kampung memanggilku dan menanyakan dari mana asal
kekayaanku. Dia juga memintaku untuk membayarkan uang dalam jumlah yang cukup besar
sebagai pajak, tetapi aku menolak. Ia memaksaku untuk mematuhi perintahnya seraya
menebar ancaman.
Setelah membayar begitu banyak sehingga yang tersisa dari hartaku tak seberapa, suatu
kali bayaranku berkurang dari biasanya. Dia pun marah dan menyuruh orang untuk
mencambukku. Kemudian ia menjebloskan aku ke penjara. Sudah tiga tahun lamanya saya
mendekam di penjara ini, merasakan berbagai aneka penyiksaan. Tak sedetikpun saya
lewatkan kecuali saya meminta kepada Zat yang menghamparkan bumi ini dan menjadikan
langit begitu tinggi agar segera melepaskan saya dari penjara yang gelap ini dan
memulangkan saya pada isteri dan anak-anak saya.
Namun, tentu saja, saya takkan dapat keluar tanpa budi baik dari Baginda Rasyid,
Baginda yang agung dan menghukum dengan penuh pertimbangan.
Khalifah menjadi terkejut dan sedih mendengar ceritanya. Khalifah pun memerintahkan
agar ia dibebaskan dan dibekali sedikit uang pengganti dari kerugian yang telah ia derita dan
kehinaan yang dialaminya. Ia pun memanjatkan doa dengan khusyu kepada Allah, satu-
satunya Dzat yang disembah, agar Khalifah Amirul Mukminin senantiasa bermarwah dan
berbahagia, selama matahari masih terbit dan selama burung masih berkicau.
Para napi di penjara Baghdad semakin banyak mendoakan agar Khalifah berumur panjang
setelah Khalifah meninggalkan harta yang cukup banyak buat mereka.
Khalifah lalu kembali ke istananya yang terletak di pinggir sungai Tigris. Di istana
telah menunggu siti Zubaidah. Khalifah lalu menceritakan apa yang sudah dilakukannya,
Zubaidah pun senang mendengarnya. Ia mengucapkan terima kasih dan memuji Khalifah
karena telah berbuat baik. Zubaidah juga mendoakan agar Khalifah panjang umur.
Maka dengan demikian jadi bergaduhlah mereka itu. Syahdan maka gemparlah. Maka orang
pun berhimpun, datang melihat hal mereka itu ketiga. Maka bertanyalah Masyhudulhakk kepada
perempuan itu, "Berkata benarlah engkau, siapa suamimu antara dua orang laki-laki ini?"
Maka kata perempuan celaka itu, "Si Panjang inilah suami hamba."
Maka pikirlah 5) Masyhudulhakk, "Baik kepada seorang-seorang aku bertanya, supaya
berketahuan siapa salah dan siapa benar di dalam tiga orang mereka itu.
Maka diperjauhkannyalah laki-laki itu keduanya. Arkian maka diperiksa pula oleh
Masyhudulhakk. Maka kata perempuan itu, "Si Panjang itulah suami hamba."
Maka kata Masyhudulhakk, "Jika sungguh ia suamimu siapa mentuamu laki-laki dan siapa
mentuamu perempuan dan di mana tempat duduknya?"
Maka tiada terjawab oleh perempuan celaka itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk
perjauhkan. Setelah itu maka dibawa pula si Panjang itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Berkata
benarlah engkau ini. Sungguhkah perempuan itu istrimu?"
Maka kata Bedawi itu, "Bahwa perempuan itu telah nyatalah istri hamba; lagi pula perempuan
itu sendiri sudah berikrar, mengatakan hamba ini tentulah suaminya."
Syahdan maka Masyhudulhakk pun tertawa, seraya berkata, “Jika sungguh istrimu perempuan
ini, siapa nama mentuamu laki-laki dan mentuamu perempuan, dan di mana kampung tempat ia
duduk?"
Maka tiadalah terjawab oleh laki-laki itu. Maka disuruh oleh Masyhudulhakk jauhkan laki-
laki Bedawi itu. Setelah itu maka dipanggilnya pula orang tua itu. Maka kata Masyhudulhakk, "Hai
orang tua, sungguhlah perempuan itu istrimu sebenar-benamya?"
Maka kata orang tua itu, "Daripada mula awalnya." Kemudian maka dikatakannya, siapa
mentuanya laki-laki dan perempuan dan di mana tempat duduknya
Maka Masyhudulhakk dengan sekalian orang banyak itu pun tahulah akan salah Bedawi itu
dan kebenaran orang tua itu. Maka hendaklah disakiti oleh Masyhudulhakk akan Bedawi itu. Maka
Bedawi itu pun mengakulah salahnya. Demikian juga perempuan celaka itu. Lalu didera oleh
Masyhudulhakk akan Bedawi itu serta dengan perempuan celaka itu seratus kali. Kemudian maka
disuruhnya tobat Bedawi itu, jangan lagi ia berbuat pekerjaan demikian itu.
Maka bertambah-tambah masyhurlah arif bijaksana Masyhudulhakk itu.
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud.
Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung
mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang
Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang
Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih
baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang
Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh
Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya
kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan
dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba
putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga
memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai
dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga
baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu
untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka.
Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri
Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata
kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka
kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan
membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak
itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang
Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu
amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-
tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu
mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata
seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu
ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan
Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi
bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun
tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan
kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang
Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun
berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu,
datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung
dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya
mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-
berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar
hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian
ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak
berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai
Tumenggung, katakan saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat
tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal
itu, Ra
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda
bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang
berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini
pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara
dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang
untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya
berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah,
singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu,
tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya
sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala
Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu
dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai
istri lagi.”
Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saeful Muluk namanya, Ajam
Saukat nama kerajaanya. Adapun raja ini telah berkawin dengan Putri Sukanda Rum. Tetapi oleh
karena permaisurinya tidak beranak, ia berkawin dengan Putri Sukanda baying-bayang. Hatta berapa
lamanya, Puteri Sukanda bayang-bayangpun beranak anak kembar yang diberi nama Makdam dan
Makdim. Permaisuri takut kehilangan kasih sayang raja sama sekali, lalu berdoa meminta anak.
Doanya dikabulkan. Hatta berapa lamanya, ia pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu baik
rupanya. Anak itu ialah Jaya Lengkara. Adapun semasa Jaya Langkara jadi itu, negeri pun terlalu
makmur, makanan murah dan banyak pedagang yang datang pergi. Segala ahli nujum, hulubalang dan
rakyat sekalian juga mengucap syukur kepada Alloh.
Kemudian raja menyuruh anaknya yang lain ,Makdam dan Makdim pergi bertanyakan nasib
Jaya Langkara pada seorang kadi. Kadi itu meramalkan bahwa Jaya Langkara akan menjadi raja besar
yang terlalu banyak sakti dan segala raja-raja besar tiada yang dapat melawannya dan segala
margastua juga tunduk kepadanya dengan khidmat. Mendengar ramalan yang demikian, Makdam dan
Makdim menjadi sakit hatinya. Mereka berdusta kepada ayahanda mereka dengan mengatakan,
jikalau Jaya Langkara ada dalam negeri, negeri akan binasa, beras padi juga akan menjadi mahal. Raja
termakan fitnah ini dan membuang Jaya Langkara dengan bundayanya dari negeri.
Naga guna menyelamatkan Jaya Langkara. Bersama-sama mereka akan pergi ke negeri
Peringgi. Jaya Langkara menewaskan seorang ajar-ajar dan memaksanya masuk islam. Dengan
bantuan raja jin yang sudah masuk islam, ia membebaskan Makdam dan Makdim dari penjara. Ratna
Kasina dan Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdam.Bunga Kumkuma putih juga sudah
diperolehnya.
Mangkubumi mesir coba mengambil bunga itu dari jaya langkara dan ditewaskan. Jaya
Langkara mengampuni dia, bila mendengar sebab-sebab ia ingin mendapat kan bunga itu. Jaya
Langkara pergi ke Mesir dan memohon supaya puteri Ratna Dewi dikawinkan dengan Makdim.
Permaohonan nya diterima dengan baik oleh raja Mesir. Bersama –sama dengan Ratna Kasina, Jaya
Langkara berangkat ke negeri Ajam Saukat dan menyembuhkan penyakit raja yang tak lain adalah
ayahnya. Selang berapa lamanya, Jaya Langkara kembali ke hutan untuk mencari bundanya.Ratna
Kasina menyusul tidak lama kemudian, karena tidak tahan di ganggu oleh Makdam dan Makdim yang
sudah ke negeri Ajam Saukat. Karena berahi mereka akan putri Ratna Kasina, Makdam dan Makdim
coba membunuh Jaya Langkara. Naga guna menyelamatkan dan membawanya bersama-sama dengan
Puteri Ratna Kasina ke negeri Madinah. Raja Madinah sangat bergembira. Jaya Langkara dikawinkan
dengan puteri Ratna Kasina. Raja Madinah sendiri juga berkawin dengan bunda jaya langkara. Hatta
berapa lamanya. Jaya Langkara pun menjadi raja, negeri Madinah pun terlalu makmur dan besar
kerajaannya. Segala raja besar pun menghantar upeti ke madinah setiap tahun.
11. HIKAYAT PANJI SEMIRANG
Satu kerajaan yang mana berita tentang Galuh Cendera Kirana yang mana putri dari Baginda Raja
Nata yang amat ta`lim dan hormat kepada orangtuanya akan bertunangan dengan Raden Inu Kini
telah terdengar beritanya oleh Galuh Ajeng . Mendengar berita ini Galuh Ajeng sangat teriris hatinya
dan menangislah ia mlihat keadaan ini. Melihat hal ini Paduka Liku yang tak lain adalah ayah dari
galuh ajeng sangat menyayangkan hal tersebut. Sangat sedih ia melihat tingkah laku putrinya
tersebut.
Tidak hentinya rasa benci, dengki, serta dendam di dalam hati Paduka Liku sehingga ia berencena
untuk membunuh Galuh Cendera Kirana serta Paduka Nata. Ia meracuni makanan yang hendak
mereka makan yang mana makanan tersebut telah dipersiapkan oleh dayang-dayang istana. Agar
jikalau Galuh Cendera Kirana mati maka pastilah putrinya Galuh Ajeng yang kelak menggantikan
posisi Galuh Cendera Kirana untuk ditunangkan dengan Raden Inu Kini begitu pula dengan Raja
Nata yang apabila mati, kelak Raja Liku yang akan menggantikan posisinya.
Dan pada saat tersebut Raja Liku meminta tolong kepada saudaranya yang juga menteri untuk
mencarikan baginya seorang yang pandai membuat guna guna untuk mengguna-gunai raja nata
serta putrinya. Setelah di dapatkan dari pencarian yang panjang oleh saudaranya tersebut,
disampaikanlah kepada Raja Nata apa-apa yang harus dilakukannya kini sesuai dengan psean dari
ahli guna-guna tersebut.
12 . “IBNU HASAN”
Syahdan, zaman dahulu kala, ada seorang kaya hartawan, bernama Syekh Hasan,
banyak harta banyak uang, terkenal kesetiap negeri, merupakan orang terkaya,
bertempat tinggal du negeri Bagdad, yang terkenal kemana-mana, sebagai kota yang
Syekh Hasan sangat bijaksana, mengasihi fakir miskin, menyayangi yang kekurangan,
menasehati yang berikiran sempit, mengingatkan orang yang bodoh, diajari ilmu yang
baik, walaupun harus mengeluarkan biaya, berupa pakaian atau uang, karena itu
banyak pengikutnya.
Syekh Hasan saudagar yang kaya raya, memiliki seorang anak, laki-laki yang sangat
tampan, pendiam, dan baik budi, berusia sekitar tujuh tahun. Ibnu Hasan namanya.
Ibnu Hasan sedang lucu-lucuya, semua orang senang melihatnya, apalagi orang tuanya,
namun demikian anak itu, tidak sombong, perilakunya kalem, walaupun hidupnya
dimanjakan, tidak kekurangan sandang, namun Ibnu Hasan sama suka bersolek, karena
bagaimana kalau akhirnya, dimirkai Allah Yang Agung, aku pasti durhaka, tak dapat
sebenarnya aku kuatir, tapi, pergilah ke Mesir, carilah jalan menuju keutamaan.”
jalan kematianpun hamba jalani, semua kehendak orang tua, akan hamba turuti, tidak
akan ku tolak, siang malam hanya perintah Ayah Ibu yang hamba nantikan.”
Singkat cerita, Ibnu Hasan yang akan berangkat kepesantren, berpisah dengan kedua
orangtuanya, hatinya sangat sedih, ibunya tidak tahan menangis terisak-isak, harus
berpisah dengan putranya, yang masih sangat kecil, belum cukup usia.
diri, karena jauh dari orang tua, harus tahu ilmunya hidup, jangan keras kepala, angkuh
dan menyombongkan diri, merasa lebih dari yang lain, merasa diri orang kaya lalu
dimusuhi semua orang, tidak akan ada yang mau menolong, kalau celaka tidak akan
diperhatikan, berada dirantau orang, kalau judes akan mendapatkan kesusahan, hati-
Ibnu Hasan menjawab dengan takzim,”Apa yang Ibu katakan, akan selalu kuingat dan
kucatat dalam hati, doakanah aku agar selamat, semoga jangan sampai menempuh
jalan yang salah, pesan Ibu akan kuperhatikan, siang dan malam.”
Singkat cerita Ibnu Hasan sudah berangkat dikawal dua pengasuhnya sejak kecil, Mairin
dan Mairun,mereka berangkat berjalan kaki, Mairun memikul semua perbekalan dan
Perasaan sedih prihatin, kehujanan, kepanasan, selama perjalanan yang makan waktu
berhari-hari namun akhirnya sampai juga dipusat kota Negara Mesir, dengan selamat
berkat do’a Ayah dan Ibunda, selanjutnya, segera Ian menemui seorang alim ulama,
Pada suatu hari, saatba’da zuhur, Ibnu Hasan sedang di jalan, bertemu seseorang
bernama Saleh, yang baru pulang dari sekalah, Ibnu Hasan menyapa,”Anda pulang dari
mana?”
Saleh menjawab dengan sopan,”Saya pulang sekolah.” Ibnu Hasan bertanya lagi,”
Sekolah itu apa? Coba jelaskan padaku!” yang ditanya menjawab,”Apakah anda belum
tahu?”
“sekolah itu tempat ilmu, tepatnya tempat belajar, berhitung, menulis, mengeja, belajar
tatakrama, sopan santun terhadap yang lebih tua dan yang lebih muda, dan terhadap
Begitu Ibnu Hasan mendengar penjelasan tersebut, betapa girang hatinya, di segera
pulang, menghadap kyai dan meminta izinya, untuk belajar disekolah, guna mencari
Kyai berkata demikian, tujuan untuk menguji muridnya, apakah betul-betul ingin
Memang sangkaan orang begitu karena ayahku kaya raya, tidak kekurangan uang,
ternaknyapun banyak, hamba tidak usah bekerja, karena tidak akan kekurangan.
Namun, pendapat hamba tidak demikian, akan sangat memalukan seandainya ayah
sudah tiada, sudah menunggal dunia, semua hartanya jatuh ketangan hamba.
Tapi, ternyata tidak terurus karena saya tidak teliti akhirnya harta itu habis, bukan
Bukan bertambah mashur, asalnya anak orang kaya, harus menjadi buruh. Begitulah
pendapat saya karena modal sudah ada saya hanya tinggal melanjutkan.
Pangkat anakpun begitu pula, walaupun tidak melebihiorang tua, paling tidak harus
sama dengan orang tua, dan tidak akan melakukan, apalagi kalau lebih miskin,
asal nama, asal usul, bakti anak, bunga, cerita anak, Cerita Rakyat, iri hati, jahat,
Dahulu kala, ada seorang raja yang memiliki sepuluh orang puteri yang cantik-cantik.
Sang raja dikenal sebagai raja yang bijaksana. Tetapi ia terlalu sibuk dengan
kepemimpinannya, karena itu ia tidak mampu untuk mendidik anak-anaknya. Istri sang
raja sudah meninggal ketika melahirkan anaknya yang bungsu, sehingga anak sang raja
diasuh oleh inang pengasuh. Puteri-puteri Raja menjadi manja dan nakal. Mereka hanya
suka bermain di danau. Mereka tak mau belajar dan juga tak mau membantu ayah
Kesepuluh puteri itu dinamai dengan nama-nama warna. Puteri Sulung bernama Puteri
Jambon. Adik-adiknya dinamai Puteri Jingga, Puteri Nila, Puteri Hijau, Puteri Kelabu,
Puteri Oranye, Puteri Merah Merona dan Puteri Kuning, Baju yang mereka pun berwarna
sama dengan nama mereka. Dengan begitu, sang raja yang sudah tua dapat mengenali
mereka dari jauh. Meskipun kecantikan mereka hampir sama, si bungsu Puteri Kuning
sedikit berbeda, ia tak terlihat manja dan nakal. Sebaliknya ia selalu riang dan dan
tersenyum ramah kepada siapapun. Ia lebih suka berpergian dengan inang pengasuh
Pada suatu hari, raja hendak pergi jauh. Ia mengumpulkan semua puteri-puterinya.
“Aku hendak pergi jauh dan lama. Oleh-oleh apakah yang kalian inginkan?” tanya raja.
“Aku mau kain sutra yang berkilau-kilau,” kata Puteri Jingga. 9 anak raja meminta
hadiah yang mahal-mahal pada ayahanda mereka. Tetapi lain halnya dengan Puteri
“Ayah, aku hanya ingin ayah kembali dengan selamat,” katanya. Kakak-kakaknya
“Anakku, sungguh baik perkataanmu. Tentu saja aku akan kembali dengan selamat dan
Selama sang raja pergi, para puteri semakin nakal dan malas. Mereka sering
membentak inang pengasuh dan menyuruh pelayan agar menuruti mereka. Karena
sibuk menuruti permintaan para puteri yang rewel itu, pelayan tak sempat
membersihkan taman istana. Puteri Kuning sangat sedih melihatnya karena taman
adalah tempat kesayangan ayahnya. Tanpa ragu, Puteri Kuning mengambil sapu dan
dicabutnya, dan dahan-dahan pohon dipangkasnya hingga rapi. Semula inang pengasuh
Kuning yang melihat adiknya menyapu, tertawa keras-keras. “Lihat tampaknya kita
“Hai pelayan! Masih ada kotoran nih!” ujar seorang yang lain sambil melemparkan
sampah. Taman istana yang sudah rapi, kembali acak-acakan. Puteri Kuning diam saja
Puteri Kuning kelelahan. Dalam hati ia bisa merasakan penderitaan para pelayan yang
“Kalian ini sungguh keterlaluan. Mestinya ayah tak perlu membawakan apa-apa untuk
kalian. Bisanya hanya mengganggu saja!” Kata Puteri Kuning dengan marah.
“Sudah ah, aku bosan. Kita mandi di danau saja!” ajak Puteri Nila. Mereka meninggalkan
Puteri Kuning seorang diri. Begitulah yang terjadi setiap hari, sampai ayah mereka
pulang. Ketika sang raja tiba di istana, kesembilan puterinya masih bermain di danau,
sementara Puteri Kuning sedang merangkai bunga di teras istana. Mengetahui hal itu,
Anakku yang rajin dan baik budi! Ayahmu tak mampu memberi apa-apa selain kalung
batu hijau ini, bukannya warna kuning kesayanganmu!” kata sang raja. Raja memang
sudah mencari-cari kalung batu kuning di berbagai negeri, namun benda itu tak pernah
ditemukannya.
“Sudahlah Ayah, tak mengapa. Batu hijau pun cantik! Lihat, serasi benar dengan bajuku
“Yang penting, ayah sudah kembali. Akan kubuatkan teh hangat untuk ayah,” ucapnya
lagi. Ketika Puteri Kuning sedang membuat teh, kakak-kakaknya berdatangan. Mereka
ribut mencari hadiah dan saling memamerkannya. Tak ada yang ingat pada Puteri
Keesokan hari, Puteri Hijau melihat Puteri Kuning memakai kalung barunya. “Wahai
adikku, bagus benar kalungmu! Seharusnya kalung itu menjadi milikku, karena aku
mereka.
“Kalung itu milikku, namun ia mengambilnya dari saku ayah. Kita harus mengajarnya
berbuat baik!” kata Puteri Hijau. Mereka lalu sepakat untuk merampas kalung itu. Tak
mengusung Puteri Kuning, lalu menguburnya di taman istana. Puteri Hijau ikut
mengubur kalung batu hijau, karena ia tak menginginkannya lagi. Sewaktu raja mencari
Puteri Kuning, tak ada yang tahu kemana puteri itu pergi. Kakak-kakaknya pun diam
seribu bahasa. Raja sangat marah. “Hai para pengawal! Cari dan temukanlah Puteri
Kuning!” teriaknya.
berbulan-bulan, tak ada yang berhasil mencarinya. Raja sangat sedih. “Aku ini ayah
yang buruk,” katanya.” Biarlah anak-anakku kukirim ke tempat jauh untuk belajar dan
negeri yang jauh. Raja sendiri sering termenung-menung di taman istana, sedih
Suatu hari, tumbuhlah sebuah tanaman di atas kubur Puteri Kuning. Sang raja heran
melihatnya. “Tanaman apakah ini? Batangnya bagaikan jubah puteri, daunnya bulat
berkilau bagai kalung batu hijau, bunganya putih kekuningan dan sangat wangi!
Tanaman ini mengingatkanku pada Puteri Kuning. Baiklah, kuberi nama ia Kemuning.!”
kata raja dengan senang. Sejak itulah bunga kemuning mendapatkan namanya. Bahkan,
dipakai untuk membuat kotak-kotak yang indah, sedangkan kulit kayunya dibuat orang
menjadi bedak. Setelah mati pun, Puteri Kuning masih memberikan kebaikan.
Nun,di sebuah hutan belantara tumbuhlah sebatang pohon yang memiliki keunikan
tersendiri dibandingkan dengan jutaan pohon yang lainnya. Ia memiliki batang yang
sangat lurus dan tegak, akarnya yang kukuh, serta aroma khasnya yang harum,
semerbak, memenuhi seluruh isi hutan. Sehingga tidaklah menjadi hairan, ramai sekali
para pencari kayu bakar yang merasa tertarik kepada pohon itu. Bahkan ramai yang
berniat baik untuk turut memelihara keindahan pohon itu. Dengan senang hati mereka
Sering kali mereka menyempatkan diri untuk menyiraminya dengan air yang diperoleh
dari lubuk bening di pinggir hutan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh harap agar
suatu saat kelak, di alam yang mulai penuh dengan kerosakkan ini, Sang Pohon Cantik
akan tumbuh dengan sejuta pesona. Memberikan warna perubahan bagi siapa saja,
Sementara bagi para penebang pohon yang liar, keberadaan pohon cantik itu sangatlah
mengganggu. Mereka sedar, apabila pohon tersebut tumbuh dengan baik, maka akan
banyak perhatian yang akan tertuju kepada hutan itu. Perhatian yang tentu saja
membuat langkah mereka semakin sulit dalam membuat kerosakan di dalam hutan itu.
Para penebang pohon yang liar itu berikrar, mereka akan memindahkan pohon cantik itu
ke halaman rumah-rumah mereka. Tetapi kalau tujuan itu tidak tercapai, maka
mematikan pohon itu adalah cara terbaik yang harus mereka tempuh.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat rapi dari para
pencari kayu bakar yang baik hati. Mereka secara bergiliran mengiring berjalan dengan
sangat waspada agar pertumbuhan Sang Pohon terjaga . Selain itu, pohon tersebut
rupanya memiliki akar yang dapat menumbuh dengan cepat. Sehingga sari-sari
makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga dengan air
yang ada, dapat digunakan oleh Sang Pohon untuk menampung kehidupannya.
menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya lahir
wangian semerbak harum yang menyeliputi seluruh hutan, dan satu lagi, pohon cantik
tersebut memiliki buah yang sangat manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga
dapat mengenyangkan para penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para
pencari kayu bakar, meskipun para penebang pohon yang liar masih saja mencari helah
Namun, demikianlah kudrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas
muka bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik
yang disanjung para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu
petang, ketika langit mulai gelap, angin pun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik
bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat tenaga mengimbangi keadaan yang mana pada
bila-bila masa boleh menumbangkannya. Sang Pucuk terus bergerak, awalnya hanya
serangan angin tersebut. Ia yakin benar telah ditampung oleh akar yang kuat, dan
dahan-dahan yang kukuh, serta dedaunan yang dapat menahan laju dan kencangnya
gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar, yang sekuat tenaga mencengkam
tanah.
Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikut arah angin, namun terkadang ia membuat
Dan, Sang Akar pun mengeluarkan bantahannya; “Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku
bingung melihatmu!” “Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar situasi yang ada.
Ikut sajalah!” “Bagaimana aku hendak mengikuti tarianmu, kalau kamu susah diikuti”
“Percayalah, akar. Aku diatas mampu melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun,
dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan batu di sekeliling kita pun dapat aku lihat
dengan jelas” “Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?” “Kau salah akar,
harusnya kau ikut saja apa kataku. Kerana posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-
“Aduhai…angkuh nian kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau dapat
berdiri dan berada di atas sana!” “Sudahlah, kenapa kalian malah bertengkar, hah?!”
Sang Daun menegahi suasana yang semakin panas. “Kerana dia mulai merasa angkuh,
daun!” akar mengarahkan serabut akarnya kepada Sang Pucuk. “Apa urusanmu, akar?!
Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat” “Apakah kalian lupa, hah? Kalian itu saling
memerlukan! Tidak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar itu. Sedarlah,
saudaraku! kawanku!” Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang sedih
Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tidak
merasa harus mengalah sedikit pun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahawa ialah
segalanya, dialah ketua kerana berada di tempat yang paling atas. Ia merasa
ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan
dunia ini. Ia merasa Tuhan telah memberikan kekuasaan mutlak kepadanya untuk
berbuat sesuka hati. Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah
perdebatan itu pun tak berdaya menenangkan keduanya, meski ia tak pernah merasa
Waktu yang digariskan mungkin saja telah tiba, kerana perdebatan yang berlarutan itu,
Sang Akar bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya.
Demikian juga Sang Daun, kerana kelelahan melerai perdebatan kedua saudaranya, ia
lupa untuk mengolah makanan meskipun matahari terus bersinar sepanjang hari. Dan,
Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya
sudah mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama
yang menghiburkan hatinya. Hingga tibalah saat di mana angin justeru berhembus
Sang Pucuk terlena kerana desirnya, ia merasa ngantuk dan ia biarkan gerakannya yang
tidak beraturan, dan ia pun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disedarinya,
dan angin datang menyerang. Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tidak berdaya
menahan tubuh Sang Pucuk yang datang tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di
bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tidak lagi memiliki cengkaman yang kuat
terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tidak berkuasa menahan tubuh kedua
kayu bakar yang baik hati bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak
tawa, “Tak perlu kita robohkan, kawan. Mereka roboh sendiri kerana permusuhan…!! ”
“O, bahkan tak perlu angin yang kencang rupanya…….kasihan betul…..” demikianlah kata
Dari sini saudara-saudaraku dapatkah kita mengambil sedikit iktibar dari cerita ini?
saling hormat menghormati dan bersatu padulah kita agar syiar Islam dapat diteruskan
dan digemilangkan.. dan agar kita tetap menjadi orang yang beriman.
Hikayat Panglima Burung justru menjadi sangat mencuat tatkala terjadi kerusuhan etnis
tahun 2001 di Kalimantan Tengah. Saat itu Panglima Burung sebagai tokok gaib Dayak
Lalu siapa Panglima Burung dan bagaimana latar belakang ketokohannya? Inilah
sebagian kecil jawabannya, jawaban dari versi Suku Dayak yang mendiami DAS Barito.
Kerusukan etnis yang mulai pecah sejak 18 Pebruari 2001 di Sampit memaksa Panglima
Burung hadir dan membantu warga suku Dayak berperang dan mengusir warga etnis
Madura. Sebagai Panglima besar, tentu saja Panglima Burung tidak turun sendiri tetapi
membawa sejumlah pengawal alias Pasukan Khusus. Kata Abdul Hadi Bondo Arsyad,
seorang Temanggung Dayak dari Tumbang Senamang, Katingan Hulu, “Panglima Burung
muncul dengan membawa 87 orang pasukan khususnya”. Kata Kiyai Haji M. Juhran
Erpan Ali, Ketua Pondok Pesantren Ushuluddin, Martapura, “Panglima Burung (adalah)
seorang wanita berparas cantik namun berwatak bengis. Selain itu ia juga bergelar
hajjah”
Disamping Panglima Burung sebagai panglima tertinggi Dayak, rusuh Sampit juga
menurunkan beberapa tokoh legenda alam gaib lainnya seperti Panglima Palai, Panglima
Api, Panglima Angsa, Panglima Hujan Panas, Panglima Angin dan beberapa panglima
sakti lainnya. Yang pasti dari beberapa panglima itu terdapat dua panglima wanita cantik
Dan kembali kepada keberadaan Panglima Burung yang legendaris, kata Kiyai Haji M.
Juhran Erpan Ali (56), “Keberadaannya memang nyata, berwujud seorang wanita
berparas cantik namun berwatak bengis. Panglima Burung sudah ada jauh sebelum
Indonesia terbentuk”. Namun begitu, yang mengejutkan dari penuturan Kiyai Juhran ini
adalah karena sosok Panglima Perang Suku Dayak ini juga beragama Islam dan
WA Samat dan Adonis Samat bertutur bahwa pahlawan cantik tersebut keberaniannya
luar biasa sekali. Salah satunya adalah saat berperang mendampingi Gusti (Ratu) Zaleha
dalam Perang Barito. “Amuk Barito itu terjadi pada tahun 1900-1901, dimana suku-suku
Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Kinyah, Siang, Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang
beragama Islam atau pun Kaharingan bersatu bahu membahu menghadapi serangan
Seman dan Gusti Ratu Zaleha selalu bersanding bahu membahu dengan (para pahlawan
Dayak seperti) Temanggung Surapati, Antung, Kuing, Temanggung Mangkusari dan lain-
sangat cantik ini memiliki beberapa panggilan akrab oleh masyarakat. “Ada yang
menyebutnya “Ilum” atau “Itak” namun nama populernya adalah “Bulan Jihad”.
Kabarnya, Bulan Jihad memeluk agama Islam dengan perantaraan Gusti Zaleha kawan
seperjuangannya.
Dan kita ketahui bahwa Gusti Zaleha adalah puteri Gusti Muhammad Seman, putera
Pangeran Antasari yang memimpin Perang Banjar hingga memasuki kawasan Barito
Utara dan (Barito) Selatan dengan semboyannya (yang terkenal): “Haram Manyarah,
Tjilik Riwut membenarkan keberadaan srikandi Dayak itu tetapi menurut beliau Bulan
Jihad (bukan asli Dayak Kalteng tetapi) berasal dari Suku Dayak Kinyah (Kaltim). Yang
pasti, “nama Bulan Jihad sangat terkenal diantero Barito Hulu dan Barito Selatan”,
imbuh Tjilik Riwut. “Dia pendekar sakti mandraguna, punya ilmu kebal tahan senjata,
bisa menghilang dan (mampu) melibas lawan hanya dengan selendang saja. Dia selalu
demikian maka ceritera yang disampaikan oleh WA Samat dan Adonis Samat (1948)
Tatkala tokoh perlawanan Gusti Muhammad Seman meninggal dunia pada tahun 1905,
lalu awal tahun 1906 Gusti Zaleha berkeputusan turun gunung, lantas apa keputusan
Bulan Jihad dan sisa prajurit lainnya? Ternyata Bulan Jihad tetap bertekad meneruskan
perjuangan dan terus mengembara. Maka terjadilah perpisahan yang sangat memilukan.
Dengan berat hati keluarlah Gusti Zaleha dari hutan menuju Muara Teweh dan
Sejak perpisahan itu, tidak banyak orang yang tahu dimana keberadaan Bulan Jihad dan
kelanjutan perjuangannya. Barulah pada tanggal 11 Januari 1954, Bulan Jihad datang
melaporkan diri ke Kantor Pemerintahan setempat di Muara Joloi sehingga saat itulah dia
baru mengetahui kalau Indonesia sudah merdeka. Hatinya pun semakin luluh begitu
mengetahui sahabat karibnya Ratu Zaleha telah lama meninggal dunia (24 September
1953) di Banjarmasin. Hari itu orang kembali melihat pemunculannya dan hari itu pula
dia kembali mengembara ke hutan rimba untuk selama-lamanya. Inilah sekilas kisah
muslimah Bulan Jihad yang setia berperang mendampingi perjuangan Gusti Puteri
Zaleha (1903-1906), bahkan dia terus berjuang melewati masa juang pahlawan anti
tekad persatuan, tekad perjuangan melawan penjajahan tertuang jelas di dalam Perang
Banjar dan Perang Barito. Saat itu, Pangeran Antasari, Demang Leman, Gusti
Muhammad Seman, Temanggung Surapati, Gusti Zaleha, Bulan Jihad, Panglima Batur,
bersatunya kesatuan suku-suku Dayak Ngaju, Dayak Dusun, Kayan, Kenyah, Siang,
Bakumpai, Banjar, Hulu Sungai, baik yang beragama Islam maupun Kaharingan. Kata
Kiyai Juhran Erpan Ali, “(Sejak) masa itu telah ada kesepakatan tekad bahwa suku
Dayak dan suku Banjar tidak akan pernah berperang sesamanya sampai kapan pun
juga”.