T 2. Penent BOT
T 2. Penent BOT
Syekhfani
TUJUAN:
Mengetahui secara cepat kadar bahan organik tanah, dalam rangka evaluasi
ISI MODUL:
1
I. PENGGUNAAN DAN PENENTUAN KEBUTUHAN BAHAN ORGANIK
DI LAHAN PERTANIAN
PENDAHULUAN
Sumber bahan organik tanah terutama berasal dari biomas sisa panen,
jazad penghuni tanah mati, dan masukan berupa pupuk organik (pupuk hijau,
pupuk kandang, kompos, humus, limbah rumah tangga/industri, dan lain-lain).
Dewasa ini, sisa panen tidak dikembalikan ke lahan dengan berbagai alasan
(dibakar, dijual, atau dibawa ke luar lahan). Pupuk kandang, pupuk hijau, kompos,
dan lain-lain semakin langka karena sumbernya tidak banyak dan bernilai
ekonomis tinggi sehingga tidak terjangkau oleh petani.
2
Rotasi Tanaman
3
klasik, kotoran ayam hanya mengandung 25 kg N dan P, dan sekitar 20 kg K per
ton, sehingga untuk rumput pakan ternak masih diperlukan pemberian pupuk 25 kg
N dan 15 – 20 kg P per hektar.
Sebagai tambahan, untuk menstabilkan unsur hara, mencegah pencucian
dan mempertahankan kesuburan tanah dalam jangka panjang, disarankan
melakukan pengomposan kotoran hewan sebab hal ini akan memacu perombakan
kontaminan yang mungkin ada seperti misalnya sisa antibiotik dan pestisida, dan
ini merupakan pengurangan populasi penyakit yang dapat menyebabkan tanaman,
hewan ataupun manusia menjadi sakit. Uji laboratorium setelah pengomposan
berakhir diperlukan untuk menjamin bahwa proses pengomposan terjadi dengan
sempurna dan semua kotoran telah terdekomposisi.
Tingkat penggunaan kotoran hewan, bahan baku terdekomposisi,
merupakan dasar rekomendasi uji tanah, secara ideal dikombinasikan dengan hasil
analisis kotoran ataupun kompos. Tanpa uji tanah, rata-rata kadar unsur hara
dalam kotoran atau kompos dan estimasi kebutuhan hara bagi tanaman, tidak
melebihi 20 ton/ha kotoran sapi, 5 ton/ha kotoran unggas, atau 40 ton/ha kompos
dalam satu musim.
Penggunaan Kompos
Pengomposan kotoran ternak dan bahan organik lain adalah merupakan
cara terbaik untuk stabilisasi unsur hara yang terkandung dalamnya. Unsur yang
terkandung dalam bahan mentah bersifat tidak stabil sehingga mudah hilang
melalui pencucian atau pun aliran permukaan saat kelebihan air. Kompos berasal
dari sisa panen atau sampah, sebagai sumber hara, tidak sebaik yang berasal dari
kotoran hewan. Akan tetapi, kompos mengandung lebih banyak humus
dibandingkan kotoran hewan. Jadi, penggunaan kompos lebih ditujukan pada
perbaikan sifat fisik tanah, sedang pupuk kandang (terutama ternak unggas) pada
sifat kimia tanah. Pengomposan mengurangi volume materi bahan organik
mentah, khususnya kotoran ternak yang kandungan airnya cukup tinggi.
Pengomposan di lahan jauh lebih murah dari pada membeli kompos jadi.
4
II. EVALUASI STATUS BAHAN ORGANIK TANAH
PENDAHULUAN
(CHO)n → CO ↑ + H O + energi
2 2
Reaksi Peroksida
Status BO tanah pertanian dapat dievaluasi melalui metode uji cepat, agar
dapat dilakukan secara praktis di lapangan. Metode ini dikembangkan
menggunakan senyawa kimia tertentu yang bereaksi dengan BO, antara lain
5
hidrogen peroksida (H2O2). Sebagai patokan, digunakan BO yang telah diketahui
kadarnya pada tingkat standar pada kategori: sangat rendah, rendah, sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Nilai baku kadar BO yang dapat diacu (LPT, 1983),
adalah sebagai berikut:
Sangat rendah : < 1.00 % C
Rendah : 1.00 – 2.00 % C
Sedang : 2.01 – 3.00 % C
Rendah : 3.01 – 5.00 % C
Rendah : > 5.00 % C
Reaksi H2O2 dengan BO pada tingkat kadar tersebut yang berbeda dapat
digunakan sebagai patokan dalam uji cepat:
1. Bahan organik bereaksi membuih dengan senyawa hidrogen peroksida.
Dalam hal ini, H2O2 akan mengoksidasi BO menjadi air (H2O) dan gas
karbon dioksida (CO2). Buih hilang berarti semua BO telah teroksidasi.
Jumlah H2O2 atau lama membuih dapat dijadikan sebagai parameter jumlah
BO yang mengalami oksidasi.
2. Nilai standar tersebut dapat diuji menggunakan parameter jumlah tetes
H2O2 atau lama waktu membuih sejumlah contoh tanah tertentu, misalnya 1
gram (1 cc).
Kategori Membuih Jumlah Tetes H2O2 Waktu
Sangat rendah <T1 <W1
Rendah T1 – T2 W1 – W2
Sedang T2 – T3 W2 – W3
Tinggi T3 – T4 W3 – W4
Sangat Tinggi >T4 >W4
6
2. Selanjutnya ditakar sebanyak 1 (satu) gram tanah kering udara yang telah
dihaluskan, setara dengan takaran khusus yang dibuat untuk penentuan uji
cepat. Ditetesi dengan H2O2, misalnya: diperoleh A1 tetes. Lalu dibuat
tingkat takaran tanah sebagai berikut, dan dilakukan uji cepat:
Takaran Tanah Jumlah Tetes H2O2 Kadar C (%)
¼ takaran Ax1 x1
½ takaran Ax2 x2
21takaran
takaran AAx31 1.0
x3
4 takaran Ax4 x4
3. Jumlah tetes H2O2, selanjutnya dapat dikonversikan ke kadar C-organik dan
selanjutnya kebutuhan bahan organik per hektar di lapangan.
4. Akurasi metode uji cepat ini dapat diuji secara kalibrasi dengan metode
analisis rutin di laboratorium, misalnya menggunakan metode Walkley dan
Black.
Catatan:
Hidrogen peroksida merupakan senyawa oksidator keras (eksplosif bila suhu
tinggi, dan korosif bila mengenai benda dan tubuh manusia). Oleh karena itu
perlu berhati-hati dalam penggunaannya. Untuk keperluan lapangan perlu
dikemas dalam botol tetes dan ditempatkan dalam kotak khusus, dan hindari
kontak dengan sumber panas.
PENUTUP
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan uji cepat
bahan organik di lapangan:
1. Kadar bahan organik tanah dapat digunakan sebagai parameter tingkat
kesuburan tanah suatu wilayah.
2. Evaluasi status kadar bahan organik tanah dapat dilakukan melalui uji cepat
menggunakan senyawa peroksida.
7
3. Perlu dilakukan uji pendahuluan kadar bahan organik contoh tanah dari
lapangan untuk memperoleh nilai standar baku, dibantu dengan analisis C-
organik di laboratorium.
4. Standar baku diperlukan untuk suatu wilayah dengan jenis dan kondisi tanah
tertentu. Untuk jenis dan kondisi tanah yang berbeda perlu dibuat standar baku
tersendiri.
5. Untuk akurasi hasil, maka dapat dilakukan uji kalibrasi menggunakan analisis
rutin di laboratorium.
DAFTAR PUSTAKA
Agriculture, Food and Rural Revitalization: Organic farming (internet access).
Government of Saskatchewan, 30085 Albert Street, Saskatchewan, ©2000
Saskatchewan Agriculture and Food.
Gaskell, M., Mitchell, J., Smith, R. dan Koike, S.T. Soil fertility management for
organic crops. University of California, Division of Agriculture and
Natural Resources, Publ. 7249. 2002, internet access:
www.sfc.ucdavis.edu.
Pimentel, D. et al. 1995. Environmental and economic costs of soil erosion and
conservation benefits. Science. Vol. 267, No. 24. p. 1117-1122.