Kelompok A2
Frisillia V Sapulete 102013349
Pendahuluan
Penderita Tuberkulosis (TB) seringkali tidak patuh menghabiskan obat yang telah diberikan,
penyebabnya paling banyak adalah karena malas atau lupa. Namun ketidakpatuhan
mengonsumsi obat dapat menimbulkan kekebalan tubuh terhadap obat tersebut. Akibatnya,
obat yang sebelumnya efektif akan menjadi tidak efektif sama sekali pada tubuh penderita.
Jumlah pasien TB di Indonesia adalah sekitar 5,8 persen dari total jumlah pasien TB
dunia. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru di Indonesia dengan tingkat
kematian sekitar 91.000 orang namun bukan berarti tugas masyarakat Indonesia sudah selesai
dalam memerangi TB.
1
Kekebalan terhadap obat TB atau dikenal sebagai Multi-Drug Resistant TB (MDR-TB)
merupakan salah satu faktor penyebab masih ada sekitar 10 persen penderita TB di Indonesia
belum sembuh sempurna.
Pasien yang sudah terlanjur menderita MDR-TB tubuhnya akan jadi kebal terhadap
obat TB, misalnya Isoniazid (INH). Untuk pengobatannya diberikan obat lini kedua.
Pendeteksian terhadap MDR-TB yang memakan waktu dalam hitungan bulan membuat pasien
TB seringkali terlalu lama menunggu hasil tes, akibatnya pasien TB menjadi terlambat diberi
pengobatan.
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (aloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta bertolak
dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.
Pada pasien yang datang dengan symptom tuberculosis, diagnosis kerja harus di dukung
dengan indeks kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau dari
daerah endemisnya. Gejala lokal: Batuk, sesak napas, hemoptisis, limfadenopati, ruam
(misalnya lupus vulgaris), kelainan rontgen toraks, atau gangguan GI. Efek sistemik:Demam,
keringat malam, anoreksia, atau penurunan berat badan.
Beberapa pertanyaan penting tentang rekam medis perjalanan penyakit juga dianjurkan
untuk ditanyakan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit sudah
sejauh mana. Beberapa pertanyaan tersebut terbagi menjadi sebagai berikut :
2
o Apakah pasien mengalami imunosupresi? Seperti pemakain kortikosteroid atau
mengidap penyakit HIV juga ?
o Apakah pasien pernah menjalani pemeriksaan rontgen thorax dengan hasil abnormal
?
o Adakah riwayat vaksinasi BCG atau tes mantoux ?
o Adakah riwayat diagnosis TB?
Obat-obatan
o Pernahkah pasien menjalani terapi TB? Jika ya, obat apa yang digunakan, berapa lama
terapinya, bagaimana kepatuhan pasien mengikuti terapi, dan apakah dilakukan
pengawasan terapi?
Riwayat keluarga dan sosial
o Adakah riwayat TB di keluarga atau lingkungan sosial? Tanyakan konsumsi alkohol,
penggunaan obat intravena, dan riwayat bepergian ke luar negeri.1
Pemeriksaan Fisik
Salah satu pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah memeriksa tanda-tanda vital yang terdiri
dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi pernapasan. Suhu tubuh yang normal adalah 36-
37oC. Pada pagi hari suhu mendekati 36oC, sedangkan pada sore hari mendekati 37oC. Tekanan
darah diukur dengan menggunakan tensimeter dengan angka normalnya 120/80 mmHg.
Pemeriksaan nadi biasa dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis. Frekuensi nadi yang
normal adalah sekitar 60-80 kali permenit. Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan
adalah 16-24 kali per menit.2
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik pada toraks. Pemeriksaan ini terdiri dari inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi pada bagian anterior dan posterior.
Pada inspeksi, yang diperhatikan adalah bagaimana bentuk dada (apakah normal / barrel chest
/ pectus excavatum / pectus carinatum). Selain itu perlu inspeksi mengenai bagaimana cara dan
pola bernapasnya, apakah normal atau tidak.
Selanjutnya dilakukan palpasi untuk mengevaluasi area toraks, kesimetrisan toraks, dan vokal
fremitus. Saat melakukan palpasi, evaluasi apakah pasien merasa nyeri saat ditekan. Dalam
vokal fremitus, hal yang dirasakan adalah getaran yang terjadi pada dinding toraks.
3
Hal yang diperiksa selanjutnya adalah perkusi. Normalnya suara paru yang diperkusi adalah
sonor. Apabila terjadi pneumonia, hasil perkusi parunya adalah redup. Apabila terjadi
hipersonor, terjadi emfisema.3
Kelainan TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai adanya
infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
bronkial. Akan didapatkan juga suara napas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas
yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis
Pada tuberkulosis primer, hal-hal berikut dapat terlihat pada sinar-X dada:2,4
- Daerah konsolidasi pneumonik perifer (fokus Gohn) dengan pembesaran kelenjar hilus
mediastinum. Keadaan ini biasanya dapat sembuh dengan gambaran kalsifikasi.
- Daerah konsolidasi yang dapat berukuran kecil, lobaris, atau lebih luas hingga seluruh
lapangan paru.
Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan
pleura (pleuritis), massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam
radiolusen di pinggir paru/pleura (pneumotoraks).
4
Gambar1. Radiologi penderita TBC
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan kuman BTA, diagnosis
TB sudah dapat dipastikan. Di samping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk
mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk atau batuk non produktif. Dalam hal ini
dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air sebanyak +2
liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan tambahan obat-
obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing
dan bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga
didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka
sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman
baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga
sputum yang mengandung kuman BTA mudah ke luar. Kriteria sputum BTA positif adalah bila
sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain
diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.2
Tes Tuberkulin
5
Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen
lainnya. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman
patogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobacterium tuberculose atau BCG) tubuh
manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan dibentuknya antibodi seluler pada
permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang dalam perannya
akan menekankan antibodi seluler.
Bila pembentukan antibodi seluler cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang
sangat virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan
antibodi humoral amat berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi
penyakit sesudah penularan.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi
kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular
dengan antigen tuberkulin. Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan
antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi humoral, makin besar pengaruh antobodi
humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, hasil tes Mantoux ini dibagi dalam:
1. Indurasi 0-5 mm (diameternya), hasil tes mantoux negative (golongan no
sensitivity)
2. Indurasi 6-9 mm (diameternya), hasil tes mantoux meragukan (golongan low grade
sensitivity)
3. Indurasi 10-15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif (golongan normal
sensitivity)
4. Indurasi >15 mm (diameternya), hasil tes mantoux positif kuat (golongan
hypersensitivity)
Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif (99.8%).
Kelemahan tes ini juga dapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan
Mycobacterium lain. Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.
6
Gambar2. Tes Tuberkulin
Working Diagnosis
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis termasuk dalam pneumonia, yaitu pneumonia yang
disebabkan oleh M.tuberculosis. Berdasarkan kasus yang ada, kita dapat mengambil diagnosis
kerjanya adalah TB paru putus obat karena adanya riwayat TB paru dan pengobatan yang tidak
teratur atau berhenti di tengah jalan. TB putus obat memiliki resiko yang lebih tinggi. Infeksi
kuman M.tuberculosis akan bangun dan menjadi lebih ganas. Sering kali, pasien datang dengan
keluhan yang lebih berat bahkan sampai tidak dapat diatasi dengan obat utama karena kuman
sudah menjadi resisten.
Manifestasi Klinis
Keluhan yang di rasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau malah banyak ditemukan TB
paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatannya.
7
A. Keluhan secara umum
Demam.Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan mencapai 40-41°C. Serangan demam pertama dapat sembut sebentar,
tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam
influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat
ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia, badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot,
keringat malam hari, dan lain sebagainya. Gejala ini makin lama akan makin berat dan
dapat hilang timbul secara tidak teratur.
Berat badan turun. Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya
kita tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum pasien sakit. Pada
pasien anak-anak biasa berat badannya sulit naik terutama dalam 2-3 bulan terakhir atau
status gizinya kurang.
Rasa lelah. Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya.
B. Keluhan pada pernapasan
Batuk/batuk darah.Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi
pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar dari
saluran nafas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,
mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit TB berkembang dalam jaringan paru
yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan baru
menjadi produktif (menghasilkan dahak). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
Batuk ini sering sulit dibedakan dengan batuk karena sakit: pneumonia, asma, bronkitis,
alergi, PPOK (penyakit paru obstruksi kronik) dll.
Sesak nafas. Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tunbuh) belum dirasakan adanya
sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB paru yang sudah lanjut,
dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan nafasnya.
8
Sering terserang flu. Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi
karena daya tahan tubuh pasien yang rendah sehinga mudah terserang infeksi virus
seperti influenza.
Secara umum, resistensi terhadap obat antituberkulosis terbagi atas (1) resistensi primer,
apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB, (2) resistensi sekunder,
bilamana pasien memiliki riwayat pengobatan, dan (3) resistensi inisial, jika riwayat
pengobatan tidak diketahui dengan pasti. Kasus TB dikategorikan berdasarkan uji kepekaan
obat terhadap isolat klinis yang dikonfirmasi sebagai M. tuberculosis. Kategori yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
Monoresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap salah satu OAT lini pertama.
Poliresisten: isolat M. tuberculosis kebal terhadap dua atau lebih OAT lini pertama
selain kombinasi rifampisin dan isoniazid.
TB resisten obat ganda (multidrugresistant tuberculosis, MDR-TB): isolat M.
tuberculosis resisten minimal terhadap isoniazid dan rifampisin, dua OAT yang paling
kuat, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya.
Resisten berbagai OAT (extensively drugresistant tuberculosis, XDR-TB): TB resisten
obat ganda yang disertai resistensi terhadap salah satu fl uorokuinolon dan salah satu
dari tiga obat injeksi lini kedua (amikasin, kapreomisin, atau kanamisin).
Resisten OAT total (totally drug-resistant tuberculosis, TDR-TB): TB resisten terhadap
semua OAT lini pertama maupun kedua.
Resisten rifampisin: resisten terhadap rifampisin, yang dideteksi menggunakan metode
fenotipik dan genotipik, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain. Resistensi
rifampisin, apa pun variannya, termasuk dalam kategori ini, baik monoresisten,
poliresisten, resisten obat ganda, atau resisten berbagai OAT.
Differential Diagnosis
Multi drug resistance TB (MDR TB) disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat
anti tuberkulosis yang paling efektif, yaitu isoniazid dan rifampisin. MDR TB merupakan hasil
dari infeksi dari organisme yang sudah resisten terhadap obat atau timbul saat pasien sedang
9
terapi, namun terhenti. Fluorokuinolon merupakan golongan paling kuat di antara obat-obat
lini kedua untuk terapi MDR-TB. Pasien MDR-TB yang disertai resistensi terhadap golongan
fluorokuinolon memiliki manifestasi klinik yang lebih serius dibandingkan dengan yang tidak.
Penyakit ini lebih susah diterapi, dan lebih berisiko untuk menjadi XDR-TB, dan
memungkinkan resistensi terhadap obat-obat lini kedua yang lain.
XDR TB merupakan bentuk TB yang resisten terhadap setidaknya empat obat inti anti TBC.
XDR TB mencakup resistensi terhadap dua obat anti tuberkulosis yang paling efektif, isoniazid
dan rifampisin, sama seperti MDR TB, ditambah dengan resistensi terhadap golongan
fluorokuinolon (seperti ofloxacin atau moxifloxacin), dan terhadap satu dari tiga obat second-
line therapy (amikacin, capreomycin, atau kanamycin). MDR TB dan XDR TB membutuhkan
terapi lebih banyak dibandingkan dengan TB yang tidak resisten, dan membutuhkan kegunaan
dari obat second-line therapy yang lebih mahal dan mempunyai efek samping yang lebih
banyak dari first-line therapy.
Penyakit TB ini bisa disebut juga TB yang resisten terhadap OAT total, baik lini pertama (INH,
rifampisin, ethambutol, dan streptomycin) dan lini kedua (seperti: kanamisin, amikasin, dan
lain sebagainya). Resisten terhadap rifampisin bisa dideteksi menggunakan metode fenotipik
dan genotipik, dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain. Resistensi rifampisin, apapun
variasinya, termasuk dalam katogeri, baik monoresisten, poliresisten, resisten obat ganda, atau
resisten total OAT.
Etiologi4
10
lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis.
Epidemiologi5
Patofisiologi
Daya penularan dari seorang penderita tuberkulosis ditentukan oleh banyaknya kuman yang
terdapat dalam penderita, persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta dikeluarkan
bersama dahak berupa droplet dan berada di udara di sekitar penderita tuberculosis. Dan kuman
dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sediaan dahaknya penderita BTA positif adalah
sangat menular. Penderita tuberkulosis eksterna paru tidak menular, kecuali penderita itu
menderita tuberkulosis paru. Penderita tuberkulosis BTA positif mengeluarkan kuman-kuman
ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang
sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman
tuberkulosis dan dapat tetap bertahan di udara selama beberapa jam. Droplet yang mengandung
kuman ini dapat terhisap oleh orang lain jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari
orang yang menghirupnya, mereka mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi,
ini adalah cara bagaimana infeksi tersebut menyebar dari satu orang ke orang lain. Orang yang
11
serumah dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif adalah orang yang besar
kemungkinan terpapar dengan kuman tuberkulosis.6
A. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda
dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran
kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama
dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum).
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus).
12
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma )
atau
- Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.6
B. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah tuberkulosis
primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis postprimer mempunyai
nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis,
tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama
menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan.
Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen
apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu
sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti
akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:
- meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
- memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
- bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).6
13
Tatalaksana
Medikamentosa
Isoniazid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang. Dosis harian yang
dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu
diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB. Obat ini memiliki efek samping hepatotoksik.
Rifampicin (R)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi - dormant (persister)yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniasid dosis 10 mg/kg BB diberikan samauntuk mengobatan harian
maupun intermiten 3 kali seminggu. Efek samping anoreksia, mual, nyeri perut,
hepatotoksik, anemia hemolitik, urin berwarna merah.
Pirazinamid (Z)
Bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam seldengan suasana
asam. Dosis harian yang dianjurkan 25mg/kg BB ,sedangkanuntuk pengobatan
intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 35 mg/kgBB. Efek samping nyeri
sendi, hepatotoksik, anoreksia, nausea, gastritis.
Streptomisin (S)
Bersifat bakterisid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan untuk
pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama, penderita berumur
sampai 60 tahun dasisnya 0,75gr/hari sedangkan unuk berumur 60 tahun atau lebih
diberikan 0,50gr/hari.
Etambutol (E)
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kgBB sedangkan
untuk pengobatan intermiten 3 kali seminggu digunakan dosis30 mg/kg/BB. Efek
samping hepatotoksik, penurunan visus.
Pengelompokan OAT
14
Golongan Obat Obat
- Streptomisin (S)
- Capreomycin (Cm)
-Sikloserin - Terizidon
15
R 8-12 10 10 600 300 450 600
16
Tidak nafsu makan, mual dan Pirazinamid, Rifampisin, Berikan obat bersamaan
nyeri perut. Isoniazid dengan makanan ringan atau
sebelum tidur dan anjurkan
pasien untuk minum obat
dengan air sedikit demi
sedikit.
Pasien TB resisten obat diobati dengan OAT lini kedua atau obat cadangan. Obat lini kedua ini
tidak seefektif OAT lini pertama dan menyebabkan lebih banyak efek samping.8 Strategi
pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara
tersebut. Di bawah ini beberapa strategi pengobatan MDR-TB:
Pengobatan standar. Data survey resistensi obat dari populasi pasien yang
representative digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya
hasil ui kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan
17
yang sama. Pasien yang dicurigai mengidap MDR-TB sebaiknya dikonfirmasi dengan
uji kepekaan.
Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdasarkan riwayat
pengobatan TB sebelumnya dan data hasil uji kepekaan poupulasi representatif.
Biasanya, regimen pengobatan empiris akan disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan
individual.
Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB
sebelumnya dan hasil uji kepekaan.
Regimen standar pengobatan MDR-TB di Indonesia adalah 6 bulan fase intensif dengan
paduan obat pirazinamid, etambutol, kanamisin, levofl oksasin, etionamid, dan sikloserin,
dilanjutkan 18 bulan fase lanjutan dengan paduan obat pirazinamid, etambutol, levofloksasin,
etionamid, dan sikloserin (6 Z-(E)- Kn-Lfx-Eto-Cs/ 18 Z-(E)-Lfx-Eto-Cs). Etambutol dan
pirazinamid dapat diberikan, tetapi tidak termasuk obat regimen standar.8,9
Pengobatan TB resisten obat ganda dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif dan lanjutan.
Lama fase intensif paduan standar Indonesia adalah berdasarkan kultur konversi. Obat suntik
diteruskan selama 6 bulan, minimal 4 bulan, setelah hasil pemeriksaan BTA sputum atau kultur
pertama menjadi negatif. Namun, menurut rekomendasi WHO tahun 2011, fase intensif
pengobatan paling sedikit 8 bulan. Pendekatan individual, mencakup hasil kultur, BTA sputum,
foto toraks, dan keadaan klinis pasien, juga dapat membantu pengambilan keputusan mengenai
perlu tidaknya penghentian obat suntik. Total lama pengobatan paduan standar berdasarkan
kultur konversi adalah sekurang-kurangnya 18 bulan setelah kultur konversi. Namun, WHO
merekomendasikan total lama pengobatan paling sedikit 20 bulan.
Regimen dosis OAT ditentukan berdasarkan berat badan pasien guna memastikan tercapainya
konsentrasi optimal dalam plasma darah untuk mengeliminasi kuman TB. Berat badan pasien
dievaluasi secara berkesinambungan untuk menyesuaikan regimen dosis OAT sehingga tidak
terjadi dosis obat subterapeutik yang dapat mengakibatkan resistensi OAT lebih lanjut.
Edukasi
Minum obat secara teratur tanpa putus tengah jalan. Kontrol rutin setiap satu bulan untuk
melihat perkembangan penyakit dengan pemeriksaan foto toraks ulang setiap bulannya.
Pemantauan efek samping dari penggunaan obat-obatan anti tuberkulosis. Jauhi lingkungan TB
dan gunakan masker apabila sudah terkena. Jelaskan efek samping obat, seperti urin merah,
18
penurunan pendengaran sementara, peningkatan enzim hati dan lainnya. Kontrol dan cek
sputum SPS dalam 2 bulan post-terapi.
Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas:
Prognosis
Tanpa pengobatan yang adekuat, tuberkulosis bisa menjadi fatal. Penyakit aktif yang tidak
diobati ini biasanya menyerang paru-paru, namun dapat menyebar ke bagian tubuh lain melalui
aliran darah, seperti tulang, otak, hati atau ginjal, jantung, dan rongga abdomen, sehingga
prognosisnya bisa lebih buruk, apalagi pada pasien dengan resistensi obat.
Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui inhalasi, sehingga
sebagian besar manifestasinya adalah di paru. Diagnosis TB paru meliputi pemeriksaan
mikroskopik sputum, pemeriksaan radiologis, dan uji tuberkulin. Penatalaksanaan
farmakologis TB sangat bergantung pada status pasien, apakah pasien merupakan kasus TB
baru, pernah memiliki riwayat pengobatan, dan sebagainya. Bakteri patogen penyebab TB paru
ada yang bermutasi sehingga melahirkan strain-strain yang resisten terhadap pengobatan, yaitu
MDR, XDR, dan TDR. Penatalaksanaan TBC yang seksama dan tepat dapat meminimalkan
kemungkinan timbulnya resistensi terhadap obat. Jadi, berdasarkan kasus di atas, kita bisa
simpulkan bahwa pria tersebut mengalami TB paru putus obat.
19
Daftar Pustaka
1. Tanto Chris, Liwang Frans, Hanifati Sonia, Pradipta Eka Adip. Kapita selekta
kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-4. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius; 2014.h.830.
2. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Ed 3. Jakarta: EGC; h.545-9
3. WHO. Tb/hiv a clinical manual. Geneva: WHO; p.24.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison : prinsip-prinsip ilmu
penyakit dalam. 13th ed. Jakarta : Penerbit buku kedokteran (EGC) ; 1995.h.271-5.
5. Djojodibroto RD. Respirologi. Jakarta : Penerbit buku kedokteran (EGC) ; 2007.h.151.
6. Tambayong J. Patofisiologi. Jakarta : Penerbit buku kedokteran (EGC) ; 2000.h.127.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2011.h.2-
30.
8. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-
resistant tuberculosis: Emergency update 2011. Geneva: WHO Press; 2011.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2011.
20