PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Trauma sistem saraf pusat merupakan masalah kesehatan yang sering menyebabkan
kematian serta kecacatan. Trauma sistem sara dibagi menjadi dua, yaitu trauma kapitis atau
cedera kepala (head injury) dan trauma medulla spinalis (spinal cord injury) . Cedera kepala
adalah cedera mekanik terhadap kepala baik langsung maupun tidak langsung, yang
menyebabkan gangguan fungsi neurologis yatu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial
baik temporer maupun permanen.
Sedangkan cedera medulla spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
mapun tidak langsung yang menyebabkan jejas pada medulla spinalis, sehinga dapat
menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan otonom.
Data di indonesia menyatakan bahwa kasus cedera kepala dan cedera medulla spinalis
mencapai 7,5% dari jumlah populasi dan menurut RISKESDAS tahun 2013 sebanyak
40,6% cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan motor dan kasus tersering yang
menyebabkan trauma pada sistem saraf pusat diantaranya, 41% disebabkan oleh terjatuh,
sedangkan 20% lainnya disebabkan oleh penyerangan benda tajam.
• Media
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
- Gangguan N. VII dan N. VIII
• Posterior
- Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui telinga atau hidung pada fraktur basis kranii
dapat dideteksi dengan adanya halo/double-ring sign. Hal ini terjadi karena prinsip
kromatografi yang menunjukkan bahwa cairan serebrospinal dan darah akan terpisah sesuai
koefisien difusi saat diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua komponen inilah yang
membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin (Gambar Tanda ini dapat muncul bila
konsentrasi cairan serebrospinal sekttar 30-90%. Selain itu, untuk nienegakkan diagnosis
ftraktur basis kranii perlu dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan CT scan.
Tanda diagnostik cedera aksonal difus:
• Pasien mengalam koma dalam waktu lama pascacedera kepala.
• Disfungsi saraf otonom
• Gambaran CT scan otak di awal cedera menunjukkan kondisi normal, tidak ada
tanda perdarahan dan edema. Namun setelah 24 jam hasil CT scan akan
memberikan gambaran edema otak yang luas.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pencitraan pada fase akut
Seiring dengan perkembangan teknologi pemeriksaan rontgen tengkorak telah
digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam kasus cedera
kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat mengidentifikasi
massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tatalaksana operatif
segera. Kemampuan CT scan untuk memindai jaringan lunak dan tulang, membuat CT
scan unggul dalam mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis impresi atau linier dan
fraktur basis kranii.
TATA LAKSANA
Tatalaksana didasari pada prinsip emergensi dengan survei primer. Adapun survey primer
meliputi tindakan yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A-Airway (jalan napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan
dapat digunakan alat bantu seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. B-Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas, gerak dinding perut,
dan kesetaraan pengem-bangan dinding dada kanan dan kiri. Apabila alat tersedia,
diharapkan saturasi oksigen di atas 92%
3. C-Circulation (sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena
itu, perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat
trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti. Untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral sebesar 50 mmHg dibutuhkan tekanan darah arteri
rerata (mean arterial pressure/MAP) sekitar 70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, Perlu diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan
TIK karena harus diturunkan segera. Berdasarkan mekanisme hipoksia yang terjadi pada
cedera, maka edema yang terjadi adalah edema sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%.
Terapi ini menggunakan, prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki efek ekspansi plasma
yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat meningkatkan
aliran darah serebral dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari 1-2g/ kgBB dalam waktu 1/2-1 jam tetes cepat
Setelah 6 jam pemberian dosis pertama,, dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5g/kgBB dalam
waktu 1/2-1 jam tetes cepat. Selanjut-nya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan 0,25g/kgBB
selama 1/2-1 jam tetes cepat.