Disusun Oleh :
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkah dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas presentasi kasus yang berjudul “Kejang Demam Kompleks”. Presentasi
kasus ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik bagian anak di RSUD Budhi Asih.
Presentasi kasus ini dapat diselesaikan juga berkat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
yang terhormat Prof. H. Widagdo dr, SpA, MBA atas keluangan waktu dan
bimbingan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa penulisan karya ilmiah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, segala kritik dan saran sangat
penulis hargai demi penyempurnaan presentasi kasus ini dan juga yang akan
datang.
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi
intrakranial ataupun kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas 38 0C rektal atau di
atas 37,8 0C aksila. Pendapat para ahli terbanyak kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3
bulan sampai 5 tahun. Berkisar 2% - 5% anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang
demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak berusia dibawah 5 tahun. Terbanyak
bangkitan kejang demam terjadi pada anak berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden
bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.(1)
Di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2 – 5%. Di Asia prevalensi kejang
demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan Eropa dan di Amerika. Di Jepang kejadian kejang
demam berkisar 8,3% - 9,9%. Bahkan di Guam insiden kejang demam mencapai 14%.(1)
Kejang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Faktor-faktor yang
berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor demam, usia dan riwayat keluarga, dan riwayat
prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayiberat badan lahir
rendah).(2)
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64%-0,75%.
Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsy
sebanyak 2%-7%. Kejang demam dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan
intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. Sebesar 4% penderita kejang demam secara bermakna
mengalami gangguan tingkah laku dan penurunan tingkat intelegensi. Walaupun prognosis kejang
demam baik, bangkitan kejang demam cukup menkhawatirkan bagi orangtuanya.(2)
Tindakan pencegahan terhadap bangkitan kejang demam berupa pemberian antipiretik dan anti
konvulsan. Pemberian antipiretik tanpa disertai pemberian antikonvulsan atau diazepam dosis rendah
tidak efektif untuk mencegah timbulnya kejang demam berulang. Jenis obat yang sering digunakan
adalah fenobarbital, asam valproate, dan fenitoin. Pemberian obat
antikonvulsan jangka panjang tersebut diatas dapat mencegah timbulnya kejang demam akan tetapi tidak
akan mencegah timbulnya epilepsi maupun cacat neurologis akibat kejang demam. Tetapi pemberian
obat anti kejang mempunyai efek samping tidakbaik. Tindakan pencegahan kejang dengan pemakaian
obat fenobarbital maupun asam valproate dan fenitoin dilakukan atas indikasi yang tepat. Indikasi
pemberian pengobatan pencegehan terhadap penderita kejang demam apabila demam tersebut
mempunyai resiko terjadi bangkitan kejang demam.(2)
BAB II
LAPORAN KASUS
4
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
Nama Mahasiswa : Nita Irawan Pembimbing : Prof. H. Widagdo dr, SpA, MBA
IDENTITAS PASIEN:
a. Nama pasien : An. FZ
b. Jenis kelamin : Perempuan
c. Tempat, tanggal lahir: Jakarta, 23 September 2017
d. Umur : 2 tahun 4 bulan
e. Pendidikan : belum sekolah
f. Alamat : Kp. Jembatan
g. Orangtua/wali
Identitas Ayah/ wali Ibu
Nama Irwansyah Alfi Rahmawati
Umur 30 27
Suku/bangsa Betawi Betawi
Agama Islam Islam
Alamat Kp. Jembatan Kp. Jembatan
Pekerjaan Swasta IRT
Pendidikan SMA SMA
Penghasilan/bulan Rp. 3.000.000/bulan
5
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami demam dari rabu siang dan diberikan sanmol kemudian suhu pasien
turun. Namun saat malam hari kembali mengalami demam tingggi 39 0C dan sudah di
berikan sanmol 4x tidak mengalami perubahan. Keesokan harinya sekitar pukul 08.30
WIB pasien mengalami kejang, saat kejang seluruh badan pasien kaku, mulut biru
berbusa dan mata mendelik 2x. Saat di IGD pasien mengalami kejang kembali 1x dan
panas tidak turun-tuun. Setelah kejang pasien tidak sadar.
SC
6
Penyulit, kelainan KPD > 24 jam
Cara persalinan
Masa gestasi Cukup bulan
Panjang lahir: 50 cm
KELAHIRAN
Lingkar kepala: lupa
d. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 7 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : 8 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : 10 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : 12 bulan (Normal: 12-18 bulan)
Bicara : 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas :
Rambut Pubis : -
Payudara :-
Menarche :-
7
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: Tidak terdapat keterlambatan
perkembangan pada pasien.
e. Riwayat Makanan
Kesimpulan riwayat makanan : pasien mendapat asi sampai 6 bulan dan mulai
diberikan makan nasi saat teat usia 2 tahun.
f. Riwayat Imunisasi
BCG 2 bulan
Campak 9 bulan
g. Riwayat Keluarga
1. 5 tahun Perempuan + - - -
Meninggal
2. 0 bulan - - - - +
dalam
kandungan
Kesimpulan corak reproduksi: Pasien merupakan anak ke-3dan ibu memiliki
riwayat pernah mengalami keguguran
h. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Perkawinan ke- 1 1
8
Umur saat menikah 30 tahun 27 tahun
Kosanguinitas - -
i. Riwayat Lingkungan
Status Generalisata
Keadaan Umum
Data Antropometri
Tinggi Badan : 85 cm
9
Lingkar kepala : 47 cm
Status Gizi
Tanda Vital
Nadi : 134 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri,
regular Pernapasan : 24 x/ menit
Suhu : 37,9 o C
SpO2 : 97%
Wajah : Simetris
Mata :
Telinga
Bentuk : Normal
Liang telinga : Lapang
Cairan : -/-
10
Hidung
Bentuk : simetris
Sekret : -/-
Deviasi septum :-
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-), dinding posterior faring
hiperemis (-), arcus faring hiperemis (-), uvula terletak ditengah.
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks Jantung
Paru-paru
11
Kelenjar getah bening
Ekstremitas
12
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Jenis
Hasil (7/11/19) Satuan Nilai normal
pemeriksaan
Hematologi
Leukosit 9, 9 Ribu/µL 6-17.5
Eritrosit 4, 4 Juta/µL 3.1 – 4.7
Hemoglobin 10, 2 g/dL 9.6-12.6
Hematokrit 31 % 32-44
Trombosit 252 Ribu/µL 217 – 497
MCV 70, 3 fL 73 – 109
MCH 23, 4 Pg 21 – 33
MCHC 33, 3 g/dL 26 – 34
RDW 14 % <14
Hitung jenis:
Basofil 0 % 0-1
Eosinofil 0 % 0-4
Netrofil Batang 0 % 0-10
Netrofil Segmen 59 % 25-60
Limfosit 27 % 25-60
Monosit 14 % 3-9
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 135-155
13
IV. Resume
Pasien anak perempuan usia 2 tahun 4 bulan datang ke puskesmas dengan
keluhan kejang 1 kali di pagi hari, kejang kaku seluruh tubuh mulut biru dan
bebusa serta mata mendelik (kejang umum) lalu setelah dilakukan pemeriksaan di
dapatkan suhu 38,9 0C yang kemudian di rujuk ke IGD RSUD Budhi Asih. Saat di
IGD paien kembali mengalami kejang umum 1 kali dan tidak sadarkan diri.
Kemudian dilakukan pemeriksaan darah dan di dapatkan leukosit 16, 9 ribu/UL,
MCV 69, 6 fL, RDW 14,4 %.
Pasien lalu dirujuk ke bangsal Emeral Barat untuk perawatan lebih lanjut
dengan diagnosa Kejang Demam Kompleks. Setelah anamnesa lebih lanjut
didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya pada usia 1 tahun
namun tidak sampai dilakukan perawatan di RS.
V. DIAGNOSIS BANDING
Kejang demam sederhana
VII. TATALAKSANA
Kaen 1B 3 cc/ kg BB/ jam = 34, 5 cc / jam
Paracetamol 100 mg ( k/p)
Inj. Diazepam 3,5 mg ( jika kejang)
Inj. Ampicilin 4 x 250 mg
Diazepam 1 mg ( jika suhu >380C) = Oral
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam: bonam
Ad fungsionam: bonam
Ad Sanationam: dubia ad bonam
14
I. FOLLOW UP
17/01/2020
S Demam (+), muntah (+) berisi makan dan lendir, batuk (+), pilek (-), BAB
terakhir 2 hari lalu, BAK (+),
15
18/01/2020
S Demam (+), muntah (-), batuk kering (+), pilek bening (+), BAB(+), BAK
(+), kejang (-), nafsu makan turun
A KDK
ISPA
P Kaen 1B 3 CC/KgBB/jam
Inj Paracetamol 165 mg
Inj Diazepam 3,5 mg (bila kejang)
Inj Ampicilin 4x250 mg
Paracetamol 100 mg k/p
Diazepam 1 m ( jika suhu > 380C)
16
19/01/2020
S Demam (-), mual (-), muntah (-), batuk (+), pilek bening (+), BAB cair 1x (+),
BAK (+), kejang (-), nafsu makan turun
A KDK
ISPA
P Kaen 1B 3 CC/KgBB/jam
Inj Paracetamol 165 mg
Inj Diazepam 3,5 mg (bila kejang)
Inj Ampicilin 4x250 mg
Paracetamol 100 mg k/p
Diazepam 1 m ( jika suhu > 380C)
17
20/01/2020
S Demam (-), mual (-), muntah (-), batuk (+), pilek (+), BAB (-), BAK (+),
kejang (-), mata kanan benjolan warna merah, pusing (+)
A KDK
ISPA
Rhinobronkitis
P Kaen 1B 3 CC/KgBB/jam
Inj Paracetamol 165 mg
Inj Diazepam 3,5 mg (bila kejang)
Inj Ampicilin 4x250 mg
Paracetamol 100 mg k/p
Diazepam 1 m ( jika suhu > 380C)
Cetirizine syr 2x 5 mg
Ambroxol 5 mg
3 x 1 Pulv
Salbutamol 0,5 mg
Inhalasi 2x
18
21/01/2020
S Demam (-), mual (-), muntah (-), batuk (+), pilek (-), BAB (+), BAK (+),
kejang (-), pusing (-)
A KDK
ISPA
Rhinobronkitis
P Kaen 1B 3 CC/KgBB/jam
Inj Paracetamol 165 mg
Inj Diazepam 3,5 mg (bila kejang)
Inj Ampicilin 4x250 mg
Paracetamol 100 mg k/p
Diazepam 1 m ( jika suhu > 380C)
Cetirizine syr 2x 5 mg
Ambroxol 5 mg
3 x 1 Pulv
Salbutamol 0,5 mg
19
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien mengalami demam dari rabu siang dan diberikan sanmol kemudian suhu
pasien turun. Namun saat malam hari kembali mengalami demam tingggi 39 0C dan
sudah di berikan sanmol 4x tidak mengalami perubahan. Keesokan harinya sekitar pukul
08.30 WIB pasien mengalami kejang, saat kejang seluruh badan pasien kaku, mulut biru
berbusa dan mata mendelik 2x kemudian di bawa ke puskesmas namun suhu pasien
masih 38,90C dan di rujuk ke IGD. Saat di IGD pasien mengalami kejang kembali 1x dan
panas tidak turun-turun. Setelah kejang pasien tidak sadar.
Dari pemeriksaan fisik di dapatkan suhu badan pasien masih naik turun dan pasien
beberapa kali hampir mengalami kejang. Tidak ditemukan kelainan refleks fisiologis
maupun patologis. Selain kejang pasien juga mengalami batuk dan berdasarkan
pemeriksaan darah didapatkan HB 10, 2g/dL, Ht 31%, MCV 70,3 fL, RDW 14.
Pasien ini dapat disimpulkan mengalami kejang demam kompleks dilihat dari
banyaknya kejang yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari 24 jam dan disertai
dengan demam. Pasien juga memiliki riwayat kejang pada usia 1 tahun
Diagnosis tambahan pasien ini adalah pasien mengalami infeksi saluran napas
dilihat dari tampaknya kemerahan pada mukosa mulut pasien dan terdapatnya sputum
serta pasien mengalami batu-batuk.
20
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Faktor Risiko
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam,
demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon
alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan caira
dan elektrolit (Dewanto dkk,2009).
15
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama.
Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia,
gastroenteritis akut, bronkitis, dan infeksi saluran kemih (Soetomenggolo,2000).
Klasifikasi
Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam
sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang (Baumann, 2001).
16
Klasifikasi
Patofisiologi
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan
yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang
kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan inilah
17
dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan
pada tingkat suhu berapa penderita kejang. Kejang demam yang berlangsung singkat
pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya
terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron
otak selama berlangsungnyakejang lama.
Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat,berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti
hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai
hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap.
Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang
pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisien (Soetomenggolo,
2000). Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanyaberkembang
bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh,
18
tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat
pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan
penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan
menyeluruh (Nelson, 2000).
Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam
antara lain:
19
3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium
Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun
laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi
berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal
berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas
delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang
mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih
sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan
untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari
(Soetomenggolo, 2000).
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan labora-torium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer,
elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%.Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau meny-ingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.
c. Elektroensefalografi
20
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan (level
II-2, rekomendasi E).Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan
kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks
d. Pencitraan
Foto X-raykepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging(MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak
rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Diagnosa Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan
serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti
hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop
juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak
dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis
sehingga menyerupai kejang demam (Soetomenggolo, 2000).
Penatalaksanaan
Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
21
pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara
intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.Bila kejang
tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20
mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah
dosis awal.Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di
ruang rawat intensif.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.
22
kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai
meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering
mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada
bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari
18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab
(Soetomenggolo, 2000).
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5C (level I,
rekomendasi A).Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan
sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.Fenobarbital, karbamazepin, dan
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II
reko-mendasi E)
3. Pengobatan Profilaksis
23
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan
pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam
berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat).
24
Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam
valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat
kejang sebagian besar orang tua berang-gapan bahwa anaknya telah meninggal.
Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:
Profilaksis intermitten
Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua
pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang
diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent
memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan
diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien
menunjukkan suhu 38,5°C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral
25
dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek
samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).
Vaksinasi
1. Sejauh ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap anak
yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat
jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak
yang divak-sinasi sedangkan setelah vaksinasi MMR 25-34 per 100.000.
2. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak demam,
terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak
merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.
Prognosis
26
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain
secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan
kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik
umum atau fokal.Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Kemungkinan berulangnya kejang demam. Kejang demam akan berulang kembali pada
sebagian kasus.
27
DAFTAR PUSTAKA
28