DEMAM TIFOID
Pembimbing :
dr. Virginia Dwiyandari, Sp.A
Disusun Oleh :
Aisyah Rahmadani Ibnu – 030.13.010
“Demam Tifoid”
030.13.010
Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga presentasi kasus ini yang berjudul
“Demam Tifoid” dapat diselesaikan. Presentasi kasus ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian anak di RSUD Budhi Asih.
Presentasi kasus ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat dr. Virginia Dwiyandari Sp.A atas keluangan waktu dan
bimbingan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima
berbagai kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini.
Demikian presentasi kasus ini disusun semoga dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan pembaca pada umumnya.
2
DAFTAR ISI
LEMBAR
PENGESAHAN......................................................................................................1
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................4
BAB II. LAPORAN KASUS..................................................................................5
BAB III. PEMBAHASAN KASUS......................................................................20
BAB IV. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................21
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................32
3
BAB I
PENDAHULUAN
minggu.7 Makalah presentasi kasus ini terutama akan membahas infeksi S. typhi
dan penyakit demam tifoid.
4
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 33 bulan
Agama : Islam
Pendidikan :-
5
ORANG TUA
I. ANAMNESIS
6
Sebelumnya pada tanggal 20 dan 22 Agustus pasien sempat dibawa ke
Rumah Sakit Budhi Asih, pada tanggal 22 Agustus pasien dianjurkan untuk
dirawat namun ayah pasien menolak dan hanya ingin mendapat pengobatan.
Hiperreaktif
Parotitis (-) Operasi (-) (-)
bronkus
7
Penyulit : Bekas SC
Panjang lahir : 48 cm
C. Riwayat Perkembangan
- Psikomotor :
- Perkembangan pubertas :
8
Rambut Pubis :-
Payudara :-
Menarche :-
D. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–1 ASI - - -
1–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI - - -
8 – 10 ASI - - -
10-12 ASI - - -
12-24 ASI + PASI + + +
9
Kesimpulan Riwayat Makanan : Pasien mendapatkan asi eksklusif dan
rutin mengkonsumsi makanan dengan kualitas dan kuantitas cukup
E. Riwayat Imunisasi
F. Riwayat Keluarga
G. Riwayat Pernikahan
Ayah Ibu
Nama Tn.A Ny.H
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 34 tahun 32 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Suku Betawi Betawi
10
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Riwayat Penyakit - TB tuntas pengobatan
2009
Kesimpulan Riwayat Keluarga : Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit TB
H. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua di rumah kontrakan
yang hanya mempunyai 1 lantai. Dinding rumah terbuat dari tembok.
Terdapat 1 kamar mandi dan 1 kamar tidur. Ventilasi dan pencahayaan baik.
Sumber air minum dari air keran yang direbus. Rumah pasien terletak di
kawasan penduduk yang padat, rumah berdempet-dempetan. Sampah
keluarga setiap harinya ditumpuk di depan rumah.
Kesimpulan Riwayat lingkungan pasien: Rumah pasien berada di
kawasan padat penduduk dan air minum dari air keran yang direbus.
A. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi baik
DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan sekarang : 15 kg
Berat Badan sebelum sakit : 16 kg
Tinggi Badan : 83 cm
STATUS GIZI
- BB / U = Terletak di antara -2SD sampai +2SD = Berat Badan Cukup
- TB/U = Terletak di antara -2SD sampai -3SD = Pendek
- BB/TB = Terletak di >+3SD = Obesitas
11
Kesimpulan status gizi : Dari ketiga parameter yang digunakan diatas
didapatkan kesan gizi Obesitas
TANDA VITAL
· Nadi : 105 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri,
regular
· Pernapasan : 25 x/ menit
· Suhu : 36,5o C
Kepala : Normosefali
Rambut : Rambut hitam, lurus, lebat, distribusi merata, dan tidak mudah
dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka, ataupun jaringan
parut
Mata :
Sklera ikterik : -/- Nistagmus : -/-
Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophtalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Lagoftalmus : -/-
Oedem : -/- Ptosis : -/-
Pupil : 3 mm/3mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : Normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
12
Mukosa hiperemis : -/-
Bibir : Mukosa berwarna merah muda, sianosis (-), pucat (-)
Mulut : Trismus (-), oral hygiene baik, halitosis (-), mukosa gigi
berwarna merah muda, mukosa pipi berwarna merah muda,
arcus palatum simetris dengan mukosa palatum berwarna merah
muda
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-),
atrofi papil (-), tremor (-), coated tongue (-)
Tenggorokan :Tonsil T1-T1, hiperemis (-), detritus (-),dinding posterior faring
hiperemis (-), arcus faring tidak hiperemis, uvula terletak ditengah.
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak teraba
pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening.
Thoraks
Jantung
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris , gerak dinding dada simetris kanan dan
kiri, retraksi intercostal (-) retraksi subcostal (-) retraksi
suprasternal (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak tampak distensi , ruam (-), kulit
keriput (-), umbilikus normal, gerak dinding perut saat pernapasan simetris,
gerakan peristaltik (-), rose spot (-)
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 1x/menit
Perkusi : Hipertimpani seluruh lapang perut
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor kulit kembali cepat, hepar dan lien
tidak teraba membesar
13
Kelenjar getah bening :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
Ekstremitas :
Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi
tangan dan kaki, serta sikap badan, sianosis (-), edema (-).
Palpasi : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-), edema (-),
capillary refill time <3 detik.
Kulit : Warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis, tidak
lembab, tidak terdapat efloresensi yang bermakna.
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Rutin
Hematokrit 30 35-43%
14
RDW 13.2 <14%
Metabolisme Karbohidrat
Elektrolit
Hematologi
IV. RESUME
15
Pasien datang ke IGD RSUD Budi Asih dibawa orangtuanya dengan
keluhan demam sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan semakin meningkat
setiap harinya sampai saat pasien dibawa ke IGD. Demam dirasakan lebih tinggi
pada saat sore hari. Demam pasien hanya turun jika minum obat Paracetamol.
Orang tua pasien mengatakan juga terdapat kembung dan nyeri pada perut pasien,
pasien juga tampak lemas. Pasien juga tidak buang air besar selama 3 hari. Nafsu
makan pasien berkurang, pasien juga hanya minum susu sedikit saja.
Pasien sebelumnya sudah pernah berobat pada tanggal 20 dan 22 Agustus
ke Rumah Sakit Budhi Asih, pada tanggal 22 Agustus pasien dianjurkan untuk
dirawat namun ayah pasien menolak dan hanya ingin mendapat pengobatan. Pasien
diberikan obat Paracetamol.
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit apapun sebelumnya. Pasien
tingga di lingkungan padat penduduk. Ventilasi udara dan pencayahaan sinar
matahari dalam rumah baik. Riwayat imunisasi pasien lengkap dan sesuai usia.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang, compos mentis, status
gizi obesitas menurut WHO BB/TB: >+3 SD. Nadi: 105 x/ menit, kuat, isi cukup,
ekual kanan dan kiri, regular. Pernapasan: 25 x/ menit. Suhu: 36,5o C.
25 Agustus 2018
Hemoglobin : 9.7 (N: 10.8-12.8 g/ dL)
Hematokrit : 30 (N: 35-43%)
Leukosit : 7.2 (N: 5.5-15.5 ribu/ μL)
Trombosit : 189 (N: 229-553 ribu/ μL)
Tubex TF : 4 (4-5: Positif infeksi demam tifoid aktif)
28 Agustus 2018
16
Besi (Fe/Iron): 9 (N: 50-120 μg/dL)
TIBC – Besi daya ikat total : 101 (N: 240-400 μg/dL)
V. DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
Anemia Defisiensi Besi
Obesitas
VII. TATALAKSANA
Non- Medikamentosa
- Rawat inap
- Konsul Spesialis Gizi
- Diet rendah serat
Medikamentosa
- IVFD Asering 13cc/KgBB/J
- Tab Paracetamol 150 mg
- Inj. Ceftriaxone 2 x 600 mg/IV
- Inj. Ranitidine 2 x 25 mg/IV
- Probiokid 1 x 1
- Besi elemental 1 x 45 mg
- Vitamin C 2 x 50 mg
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
IX. FOLLOW UP
17
Tanggal S O A P
PEMBAHASAN KASUS
20
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1. DEFINISI
4.2. EPIDEMIOLOGI
Tifoid terdapat di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang di daerah tropis. Penyakit ini telah ada sejak
beberapa abad yang lalu. 5
Beberapa negara sudah menjalankan
imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO)
sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di dunia.
Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara
berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga
prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data
surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000, estimasi
penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada
216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data
tersebut diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang
tepat, apalagi karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak
akurat.6
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan
yang nyata insidens tifoid pada pria dan wanita. Insidens tertinggi
didapatkan pada remaja dan dewasa muda. Di negara maju, tifoid masih
ada, bersifat sporadis terutama sehubungan dengan kegiatan wisata ke
negara-negara yang sedang berkembang. Secara umum insidens tifoid
dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada anak-
21
anak biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak diatas 5 tahun dengan
manifestasi klinis lebih ringan.5
4.3. ETIOLOGI
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk
spora, fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan
envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.13
22
yang meradang. Sitokin ini merupakan mediator-mediator untuk
timbulnya demam dan gejala toksemia (proinflammatory). Oleh karena
basil salmonella bersifat intraseluler maka hampir semua bagian tubuh
dapat terserang dan kadang-kadang pada jaringan yang terinvasi dapat
timbul fokal-fokal infeksi.5
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama di
ileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Pada minggu
pertama, pada plak peyer terjadi hyperplasia berlanjut menjadi nekrosis
pada minggu ke-2 dan ulserasi pada minggu ke-3, akhirnya terbentuk
ulkus. Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi. Hati
membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear lainnya
serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan
retikuloendotelial lain seperti limpa dan kelenjar mesenterika. Kelainan-
kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh
lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung dan selaput otak. Pada
pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang dan abses-abses
pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronchitis, atritis septik,
pielonefritis, meningitis dll. Kandung empedu merupakan tempat yang
disenangi basil Salmonella. Bila penyembuhan tidak sempurna, basil
tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga
menjadi karier intestinal.5
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama
sehingga juga menjadi karier (urinary carrier). Adapun tempat-tempa
yang menyimpan basil ini, kemungkinan penderita mengalami
kekambuhan (relaps).5
23
disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik
pejamu serta lama sakit dirumahnya.13
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal
penyakit. Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai
istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan
demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap setiap harinya
dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu
demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun
perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Demam
biasanya lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan
pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau
delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma.13
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang
tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat, pada saat
demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga
dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik
sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala
gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien dapat
mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah
sedangkan tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala
meteorismus. Di Indonesia lebih banyak ditemukan hepatomegali
dibandingkan dengan splenomegali.13
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1-5 mm, seringkali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah
dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari
ke-7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.13
24
4.6. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam,
gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau
gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang klinisi dapat
membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan
melalui isolasi S. typhi dari darah. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
ditemukankuman pada biakan darah. Saat ini sudah tersedia beberapa
rapid diagnostic test untuk S. typhi yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi.13
4.8.1 Kultur
Sampai saat ini baku emas diagnosis demam tifoid adalah
pemeriksaan kultur.Pemilihan specimen untuk kultur sebagai
penunjang diagnosis pada demam minggu pertama dan awal minggu
kedua adalah darah, karena masih terjadi bakteremia. Hasil kultur
darah positif sekitar 40-60%. Sedangkan pada minggu kedua dan
ketiga specimen sebaiknya diambil dari kultur tinja (sensitivitas
<50%) dan urin (sensitivitas sekitar 20-30%). Sampel biakan
sumsum tulang lebih sensitive, sensitivitas pada minggu pertama
90% namun invasive dan sulit dilakukan dalam praktek.8-11
25
4.8.2 Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. Typhi
hanya membutuhkan waktu kurang dari 8 jam, dan memiliki
sensitivitas yang tinggi sehingga lebih unggul dibanding
pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5–7
hari.14 In-flagelin PCR terhadap S. Typhi memiliki sensitivitas
93,58% dan spesifisitas 87,9%.15 Pemeriksaan nestedpolymerase
chain reaction (PCR) menggunakan primer H1-d dapat
digunakanuntuk mengamplifikasi gen spesifik S. typhi dari darah
pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan.Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC)
dari S. typhi dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti
dari spesimen darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68,1%). 16 Sampai
saat ini, pemeriksaan PCR di Indonesia masih terbatas dilakukan
dalam penelitian
26
disebabkan depresi sumsum tulang dan perdarahan intra intestinal.
Pada hitung jenis dapat ditemukan aneosinofilia dan limfositosis
relatif. Pada demam tifoid dapat terjadi hepatitis tifosa ditandai
peningkatan fungsi hati tanpa adanya penyebab hepatitis yang
lain.17,18
4.9. PENATALAKSANAAN5
4.9.1 Tirah Baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring untuk mencegah
komplikasi terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat,
penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran posisi
tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah
pneumonia hipostatik dan dekubitus.
4.9.2 Nutrisi
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas: diet cair, bubur lunak,
tim dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai
dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan
klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang
selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat
kesembuhan penderita.
4.9.3 Terapi Simtomatik
Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk
perbaikan keadaan umum penderita: antipiretik, antiemetik, vitamin.
4.9.4 Antibiotik
Kloramfenikol (50 mg/KgBB/hari q.i.d per os atau 75
mg/KgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/KgBB/hari
dibagi dalam 4-6 kali perhari), amoksilin (100 mg/KgBB/hari dibagi 3x
per hari p.o) dan trimetoprim-sulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg
SMZ/KgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil klinis yang baik.19
27
4.10. PENCEGAHAN1,2
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan
terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang
baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.Strategi pencegahan ini
menjadi penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk
para pendatang dari negara maju ke daerah yang endemik demam tifoid.
Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
• Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan
dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif
selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun.
Vaksin ini memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.
• Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang
diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang
masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan
sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan
efikasi perlindungan 67-82%.
• Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah
vaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi
perlindungan sebesar 89%.
4.11. KOMPLIKASI
Komplikasi terjadi pada 10%-15% kasus yang menderita penyakit
lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering terjadi adalah perforasi
saluran cerna (10%) dan ensefalopati tifoid (10-40%). Oleh karena itu,
pemeriksaan diagnostik baru memegang peran penting untuk
mengetahui insidens kasus demam tifoid di suatu negara dan program
28
jadwal imunisasi disesuaikan dengan prevalens penyakit di negara
masing-masing. Perkembangan alat uji diagnostik untuk demam tifoid
yang murah dapat dipercaya dapat memberi manfaat jangka panjang
dalam mengendalikan dan mengobati penyakit tersebut.7
4.12. PROGNOSIS
Prognosis pasien demam tifoid bergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotic yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.13
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.
ser. Typhi ≥3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.
Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai
usia.13
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
11. Farooqui BJ, Khurshid M, Ashfaq MK, Khan MA. Comparative yield of
Salmonella typhi from blood and bone marrow cultures in patients with
fever of unknown origin. J Clin Pathol. 1991; 44(3):258-9.
31
12. Wain J, Hosoglu Salih. The laboratory diagnosis of enteric fever. J Infec
Dev Countr 2008;2(6):421-5.
13. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2008. Hal.
339-45.
14. Zhou L, Pollard AJ. A fast and highly sensitive blood culture PCR method
for clinical detection of salmonella enterica serovar typhi. Annals of Clin
Microb and Antimicrob. 2010; 9:14-20.
15. Chaudhry R, Chandel DS, Verma N, Singh N, Singh P, Dey AB. Rapid
diagnosis of typhoid fever by an in-house flagellin PCR. JMM
Correspondence 2010; 1391-3.
16. Kumar G, Pratap CB, Mishra OP, Kumar K, Nath G. Use of urine with
nested PCR targeting the flagellin gene (fliC) for diagnosis of typhoid fever.
J Clin Microbiol 2012; 50:1964-7.
17. Christie, A.B. Typhoid fever. in: A.B. Christie (Ed.) Infectious
diseases:epidemiology and clinical practice. vol 1.. 4th edition.
ChurchillLivingstone, New York; 1987:100–164.
18. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. NEJM.
2002;347:1770-82.World Health Organization. Background document: The
diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. WHO/V&B/03.07.
World Health Organization, Geneva; 2003.
32
PERTANYAAN
1. Heike : Penegakkan diagnosis demam tifoid tanpa laboratorium?
2. Venda : Alasan tidak menggunakan fluroquinolon pada anak?
3. Ghiyata : Alasan pola demam tifoid step ladder temperature chart?
4. Dini : Talaksana anemia lebih baik vitamin C saja atau suplemen
besi atau keduanya?
5. Sandi : Alasan pada demam tifoid bisa terjadi diare dan atau
obstipasi?
6. Maya : Perforasi saluran cerna terjadi saat kapan? Pencegahannya
seperti apa?
7. Mega : Umur berapa vaksin tifoid sebaiknya diberikan? Mana
vaksin yang paling baik?
8. Ucok : Alasan DD Bronkopneumonia?
9. Robert : Mekanisme terbentuknya coated tongue?
33