Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN LONG CASE STUDY

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN MASYARAKAT DAN


KOMUNITAS PUSKESMAS 1 SUMBANG

Demam tifoid

Disusun Oleh :

 Setyawan aditya( 1713020023)

 Wahyu Syafiati (1713020020)

 Nuan Syafrina (1713020031)

 Restu Tri Gusti (1713020045)

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER

i
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

PERIODE 14 JANUARI 2019-23 MARET 2019

ii
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Komunitas


Long Case

Demam Tipoid

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat untuk mengikuti ujian


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Komunitas
Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Oleh:

 Setyawan aditya( 1713020023)

 Wahyu Syafiati (1713020020)

 Nuan Syafrina (1713020031)

 Restu Tri Gusti (1713020045)

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Hari : Jumat

iii
Tanggal :15 Maret 2019

Preseptor Lapangan

dr. Christina Iskandar


NIP. 19821209 200903 2 008

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. 1i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. 1ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 11
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA ..................................... 1
A.Familygenogram ........................................................................................... 2
II. STATUS PENDERITA.................................................................................. 4
A.Pendahuluan ................................................................................................. 4
B. Identitas Pasien ............................................................................................. 4
C. Anamnesis .................................................................................................... 4
D.Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 9
E. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 12
F. Diagnostik Holistik..................................................................................... 12
G.Penatalaksanaan .......................................................................................... 14
H. Prognosis .................................................................................................... 16
III. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 17
A.Definisi ....................................................................................................... 17
B. Epidemiologi .............................................................................................. 17
C. Patogenesis ................................................................................................. 18
D.Gejala Klinis ............................................................................................... 20
E. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................. 22
F. Diagnosis .................................................................................................... 31
G.Diagnosis Banding ..................................................................................... 32
H.Tatalaksana ................................................................................................. 32
I. Komplikasi ................................................................................................. 36
J. Pencegahani ................................................................................................ 38
K.Prognosis .................................................................................................... 40
IV. PRIORITAS MASALAH .............................................................................. 42
A.Masalah ...................................................................................................... 42
B. Prioritas Masalah ........................................................................................ 43
C. Alternatif Pemecahan masalah ................................................................... 44
D.Penentuan Alternatif masalah ..................................................................... 45
V. PENUTUP ..................................................................................................... 47

1
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 48

BAB I
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Ny. S

Alamat lengkap : Desa Kedung Malang RT 2 RW 2

Kecamatan Sumbang Kabupaten Banyumas

Bentuk Keluarga : Nuclear family

Tabel 1.1 Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah

No Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan

1. Tn.T Suami L 40th SMP Petani


pasien

2. Ny. S Pasien P 35 th SD IRT

3. Nn.A Anak P 15 tahun SMP Pelajar


pasien

FAMILYGENOGRAM

2
Gambar I.1 Genogram Keluarga Ny.S

Keterangan:

: Laki-laki
: Meninggal dunia

: Meninggal dunia : Perempuan

: Pasien

3
4
BAB II
STATUS PENDERITA

A. PENDAHULUAN

Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang ibu
rumah tangga berusia 35tahun yang berkunjung ke rumah sakit

B. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S

Usia : 35 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Suku bangsa : Jawa

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

PendidikanTerakhir : SD

Alamat : Desa kedung malang Kec.Sumbang

Tanggal pemeriksaan : jumat 15 maret 2019

C. ANAMNESIS (diperoleh melalui autoanamnesis)

1. Keluhan Utama
Badan Demam

2. Riwayat Penyakit Sekarang


1. , Riwayat Penyakit Sekarang

5
Pasien mengalami demam tinggi sudah 7 hari, demam naik turun,
naik terutama saat malam hari, turun setelah diberi obat penurun panas,
tidak ada kejang, tidak menggigil. Sehari-hari pasien mengeluh lemas
dan tampak kurang aktif. Saat sedang tidur pasien sering mengigau.
Pasien juga mengalami nyeri perut pada bagian atas dan juga mual tetapi
tidak muntah, nafsu makan menurun, namun nafsu minum baik. Buang
air besar masih dalam batas normal, masih terdapat ampas sedikit,
konsistensi lembek, sehari 1 kali dan berwarna coklat. Keluhan lain
seperti batuk, pilek, mimisan, gusi berdarah, bintik-bintik pada badan dan

Kemudian pasien dibawa ke Puskesmas Jatibaran pada hari


keempat demam, dan diberikan obat serta dilakukan pemeriksaan
laboratorium di puskesmas tersebut, menurut dokter di puskesmas, dari
hasil laboratorium pasien didiagnosis gejala demam tifoid. Pada hari ke 8
demam, orang tua pasien membawa pasien ke Rumah Sakit Umum
Daerah Dokter Soeselo Slawi karena demam dirasakan makin tinggi dan
tidak kunjung membaik

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (bayi) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: (+)

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan sama : disangkal

b. Riwayat penyakit jantung : disangkal

c. Riwayat darah tinggi : disangkal

d. Riwayat kencing manis : disangkal

6
e. Riwayat alergi : ada, ibu alergi udara dingin, bersin-
bersin

5. Riwayat Sosial dan Exposure


a. Community

Pasien dalam kesehariannya tinggal di rumah bersama suami


dan anaknya. Pasien tinggal di perkampungan yang padat
penduduk

b. Home : Rumah Ny. S memilikiventilasi kurang dan


pencahayaan darisinar matahari yangkurang pada
masing-masing ruangan untuk menerangi rumah.
Dinding rumah dari tembok. Lantai rumah
berkeramik. Dalam rumah terdapat 3 kamar tidur
berukuran 2x3 meter,ruang tamu dan ruang
keluarga jadi 1, 1 ruang makan, 1kamar mandi dan
1 dapur. Dalam kamar mandi sudah memiliki
jamban, sehingga untuk BAB pasien tidak perlu ke
luar rumah.Pasien memiliki tempat pengumpulan
sampah rumah tangga yang diletakkan di dapur,
dengan wadahdan terbuka yang dapat menjadi
sumber penularan penyakit. jendela rumah sering
dibuka sehingga memungkinkan pertukaran udara
rumah, namun masih mungkin mengakibatkan
kelembapan di dalam rumah tinggi.Sumber air
bersih yang digunakan pasien untuk kebutuhan
sehari-hari berasal dari pompa air dan sumur. Jarak
septic tank dari sumber air berjarak sekitar 4 meter.
Septic tank digunakan bersama oleh beberapa
rumah. Syarat minimal sumber air bersih dengan
septic tank yaitu 10 meter. Keluarga pasien
memasak dengan menggunakan kompor gas 1
tempat api. Tempat sampah keluarga diletakkan

7
dibelakang rumah, dan ditumpuk saja di
perkebunan pelataran belakang rumah. Lingkungan
tempat tinggal Ny.S Smerupakan lingkungan
pemukiman, jarak antar rumah saling berdekatan
sekitar 2-3 meter dipisahkan oleh pekarangan yang
ditanami pohon pisang.Di pekarangan juga terdapat
bekas kandang ayam yang sudah tidak terpakai
ditutupi bekas spanduk. Ia baru menikmati rumah
permanen dengan jamban dan sumur 1 tahun ini.
Sebelumnya, rrumahnya berdinding anyaman
bamboo dan berlubang-lubang.

c. Hobby : Pasien mengisi waktu luangnya dengan mengurus


rumah,

d. Occupational: Pasien adalah seorang ibu rumah tangga


yang setiap hari hanya beraktivitas di rumah.

e. PersonalHabit : Pasien seringkali melakukan mandi


cuci kakus (MCK) di sungai sekitar 5 m di
belakang rumahnya sejak dulu. Kebiasaan ini baru
dihentikannya 1 tahun yang lalu.

f. Diet : Pasien makan dua sampai tiga kali dalam sehari.


Lauk pauk yang biasa dikonsumsi adalah sayur,
tempe, ikan tawar, telur, dan sesekali
mengkonsumsi daging yang seringkali dikirim dari
menantunya.

g. Drug : Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

6. Riwayat Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.Ia
menerima kiriman bulanan dari anaknya yang kedua.

8
7. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya dapat dikatakan
kurang harmonis.Hal tersebut dapat terlihat dari hubunganantara pasien
dan suaminya.Namun dengan keluarga lainnya harmonis.

8. Riwayat Sosial
Saat sakit ini, pasien terbatasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari
seperti mencuci, menyapu atau membersihkan lantai.Namun ia tetap rajin
dan berusaha dengan kemampuannya membersihkan rumah. Hubungan
pasien dengan tetangga sekitarnya cukup baik. Pasien mengaku tidak
pernah bertemu dengan orang dengan keluhan dan penyakit kulit yang
sama dengan pasien.

9. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : di tangan dan kaki

b. Kulit : tidak ada keluhan

c. Kepala : tidak ada keluhan

d. Mata : tidak ada keluhan

e. Hidung : tidak ada keluhan

f. Telinga : tidak ada keluhan

g. Mulut : tidak ada keluhan

h. Tenggorokan : tidak ada keluhan

i. Pernafasan : tidak ada keluhan

j. Sistem Kardiovaskuler : tidak ada keluhan

k. Sistem Gastrointestinal : tidak ada keluhan

l. Sistem Saraf : mati rasa, nyeri seperti ditusuk jarum


menjalar di kedua kaki dan tangan

m. Sistem Muskuloskeletal : pemendekan jari, pengecilan otot

9
n. Sistem Genitourinaria : tidak ada keluhan

o. Ekstremitas : kulit menghitam, jari memendek, sedikit


demi sedikit hilang

10
D. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak lemah, kurang aktif

Kesadaran : Compos mentis, GCS : E4 M5 V6

Kesan Gizi : Baik

Keadaan lain : Pucat (-), sianosis (-), sesak (-), tanda dehidrasi (-)

2. Tanda Vital
Tekanan Darah : tidak diukur

Nadi : 100 x/menit, regular

Suhu : 38,7°C

Respirasi : 20 x/menit

Kesimpulan: pasien mengalami demam

3. Kulit
Warna : sawo matang

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

4. Kepala
Bentuk : Mesosefali, deformitas (-)

5. Rambut
Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tipis

Distribusi : Merata

11
Alopesia : Tidak ada, tidak mudah dicabut

6. Mata
Palpebra : edema (-), tidak cekung

Alis dan bulu mata : Tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Produksi air mata : Cukup

Pupil

Diameter : 3 mm / 3mm

Simetris : Isokor

Reflek cahaya : +/+

Kornea : Jernih

7. Telinga
Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

8. Hidung
Bentuk : Simetris

Napas Cuping Hidung : -

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

9. Mulut
Bentuk : Simetris

Bibir : Mukosa bibir kering, warna merah muda

12
Gusi : Tidak mudah berdarah

Gigi : Normal

10. Lidah
Bentuk : simetris

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tremor

Kotor/tidak : Kotor

Warna : Tengah keabuan, tepi kemerahan

11. Faring
Hiperemi : Tidak ada

Edem : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

12. Tonsil
Warna : Kemerahan

Pembesaran : T1-T1

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : Tidak ada

13. Leher
– Vena Jugularis :

Pulsasi : Tidak terlihat

Tekanan : Tidak meningkat

– Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

– Kaku kuduk : Tidak ada

– Massa : Tidak ada

14. Thoraks

13
Dinding dada/paru :

Inspeksi:

Bentuk : Simetris

Retraksi : – Lokasi : –

Dispnea :–

Pernafasan : Thorakal

Palpasi:

Fremitus vokal : Simetris

Perkusi : Sonor kanan-kiri

Auskultasi:

Suara Napas Dasar : vesikuler

Suara Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), stridor (-)

Jantung :

Inspeksi:

Iktus : Tidak terlihat

Palpasi:

Apeks : Tidak teraba, Lokasi : –

Thrill : Tidak ada

Perkusi:

Batas kanan : ICS II-IV

Batas kiri : ICS II- V

Batas atas : ICS II

Auskultasi :

14
Frekuensi : 100 x/menit, Irama : Reguler

Suara Dasar : S1 dan S2 Tunggal

Bising : Tidak ada, Derajat :–

Lokasi :–

Punctum max :–

Penyebaran :–

15. Abdomen
Inspeksi:

Bentuk : datar

Palpasi:

Nyeri tekan : Regio epigastric

Hati : Tidak teraba

Ginjal : Tidak teraba

Massa : Tidak ada

Perkusi :

Timpani/pekak : Timpani

Asites :–

Auskultasi :

Bising Usus (+) Normal

Lain-lain: –

16. Ekstremitas
- Ekstremitas atas : Akral hangat, edema (-/-) dan tidak ada parese,
capillary refill time < 2 detik
- Ekstremitas bawah : Akral hangat, edema (-/-) dan tidak ada parese,

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

15
 Kultur bakteri

 IGm Salmonela

F. DIAGNOSIS HOLISTIK

1. Aspek Personal

Keluhan Utama: Badan terasa demam

16
Keluhan Tambahan:

Perut mual setiap kali kemasukan makanan

Concern

Pasien merasa demam yang naik turun.

Expectation

Pasien berharap dapat sembuh, namun ia menyadari tidak mungkin


mengembalikan kondisi seperti semula.

Anxiety

Pasien merasa putus asa dan malu dengan kondisinya.

2. Aspek Klinis

Diagnosis : Demam Tipoid

Diagnosa banding : psoriasis, vitiligo, ptiriasis versikolor.

3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu

a. Faktor Resiko yang tidak dapat diubah(Unmodiffied)

1) Karakteristik Pasien

Pasien merupakan seorang perempuan dengan usia produktif

2) Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak mempunyai keluhan atau penyakit yang sama


sebelumnya.

3) Riwayat penyakit keluarga

Pasien diketahui dari keluarga pasien tidak mempunyai


risiko terjadinya penyakit-penyakit yang diturunkan seperti
hipertensi, diabetes melitus, riwayat sakit jantung, ataupun riwayat
kolesterol tinggi kecuali alergi.

b. Faktor Resiko yang dapat diubah

17
1) Perilaku

Pasien memiliki kebiasaan MCK di sungai. Kebiasaan


tersebut memudahkan pasien untuk tertular penyakit kulit.

18
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu

a. Kondisi ekonomi pasien termasuk ke dalam golongan menengah ke


bawah.

b. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai faktor risiko


penularan kusta.

c. Latar belakang pendidikan pasien rendah. Pengetahuan pasien dan


keluarga tentang penyakit yang diderita masih kurang.

5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial

Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 2, karena pasien mulai


terganggu dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-harinamun tidak
dapat pergi ke sawah untuk membantu suaminya bertani.

G. PENATALAKSANAAN

1. Personal care

a. Medikamentosa

1) Sudah dinyatakan selesai mengonsumsi multi drugs theraphy


(MDT)

2) Sebelumnya mengonsumsi:

a) Pengobatan bulanan: hari pertama

 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

 3 kapsul lampren @ 100 mg (300 mg)

 1 tablet dapson 100 mg

b) Pengobatan harian: hari ke 2-28

 1 tablet lampren 50 mg

 1 tablet dapson 100 mg

c) Satu blister untuk 1 bulan. 12 blister selama 12-18 bulan.

19
b. Non Medikamentosa

1) Istirahat yang cukup

2) Diet nutrisi lengkap (tinggi protein, karbohidrat, sayur, dan


buah-buahan)

20
c. KIE (konseling, informasi dan edukasi)

1) Memperbanyak minum air putih 6-8 gelas sehari. makan yang


bergizi dan meningkatkan konsumsi sayur, buah, daging.

2) MCK tetap di rumah.

3) Edukasi penyebab, faktor risiko, tanda dan gejala serta


pengobatan kusta.

4) Memberi edukasi kepada pasien untuk memperbanyak istirahat


dan mengurangi kegiatan pasien.

5) Kontrol ke Puskesmas atau ikut Posyandu lansia jika setiap


bulan untuk memeriksakan kesehatannya.

1. FamilyCare

a. Dukungan psikologis dari adik dan anak-cucu pasien.

b. Memberi informasi kepada keluarga terkait penyakit kusta mulai dari


faktor risiko, tanda gejala, pencegahan, komplikasi dan pengobatan.

c. Edukasi kepada keluarga terdekat agar pasien menghindari melakukan


aktivitas berat.

d. Edukasi keluarga untuk mencegah terjadinya penyakit di antara


anggota keluarga yang lain.

e. Memberikan edukasi bahwa keluarga harus menjaga kebersihan diri


dan lingkungan rumah untuk menjaga anggota keluarga yang tidak
sakit agar tetap sehat.

2. Community Care

Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat di tempat tinggal


pasien tentang aspek pencegahan kusta melalui:

a. Edukasi pengetahuan terkait penyebab, faktor risiko, cara penularan,


tanda dan gejala serta pengobatan kusta kepada masyarakat

21
b. Edukasi komunitas untuk mencegah terjadinya penyakit.

c. Memotivasi lingkungan untuk menjaga lingkungan yang sehat untuk


meminimalisasi penyebaran penyakit.

d. Mengadakan kerja bakti baik di rumah maupun di lingkungan sekitar

e. Peningkatan hygiene perorangan: Selalu mencuci tangan dengan


sabun sebelum dan sesudah beraktivitas.

f. Anjuran kepada individu dengan gejala yang sama untuk berobat ke


Puskemas

g. Edukasi mengenai syarat rumah sehat seperti pemanfaatan ventilasi


secara maksimal, memindahkan kandang ternak dari dapur, menutup
tempat sampah, dan merapihkan barang-barang di dalam rumah.

H. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : ad malam

Ad sanationam : Dubia ad bonam

22
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam

tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan

(usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada

saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

B. EPIDEMIOLOGI
 Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis
yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh
dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah
sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan
1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia
dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.3

 Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai


natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam
jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar
tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw
sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63°C).1

23
 Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja
(melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
 Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula
transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses
kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.1
 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang


mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada
Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal
sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4)
produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

C. PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke


dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di
lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui,
jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan
obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di


jejnum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang
baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan

24
selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry
dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar
getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar
sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik
yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu,


berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
“intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama
feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit
kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental
dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,4

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi


hiperplasi jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar

25
peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat
akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke


lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan
gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal


tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella
typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan
kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi
sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologis.1,4

D. Gejala Klinis

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih


bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti
pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa


inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,4,5

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

1. Demam satu minggu atau lebih.

26
2. Gangguan saluran pencernaan

3. Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi


akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat


dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih
kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel
sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4
mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini
merupakan emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella,
dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong,
ataupun bagian fleksor lengan atas.

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu


pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih
lunak. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan

27
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan


Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12
tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam
darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah
sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan
keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%),
anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare
(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%),
somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%),
hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan
penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%),
sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual
(42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah
disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan
pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.6

E. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran
darah.

Sering kali hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula
leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,

28
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung
pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Gambaran sumsum tulang
menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem normal, jumlah
megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis


demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan
ke dalam tabung tanpa antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai


nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas
pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis
antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak
antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).6

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi


antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji
Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi

29
yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam
serum.

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam


serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1) Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2) Aglutinin H (flagel kuman)

3) Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang


digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer


antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap
lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang.
Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai
setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9
bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi,
antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai
untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan


memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi
atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi
pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan

30
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah
positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang


berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.

1) Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

a) Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

b) Gangguan pembentukan antibodi.

c) Saat pengambilan darah.

d) Daerah endemik atau non endemik.

e) Riwayat vaksinasi.

f) Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada


infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu
atau vaksinasi.

2) Faktor teknik, yaitu

a) Akibat aglutinin silang.

b) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

c) Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

1. Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian


paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak
sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

2. Positif Palsu

31
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi
A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi
silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif
palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S.
typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi


kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-
benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes
ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes


TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat
menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6

Ada 4 interpretasi hasil :

1) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi


demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.

2) Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

3) Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

32
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

1) Mendeteksi infeksi akut Salmonella

2) Muncul pada hari ke 3 demam

3) Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

4) Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

5) Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi


spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus


demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi
uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79%
dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis


non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila
dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi

33
oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji
Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan
uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas


dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena
menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak
menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum
tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen
pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila
hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai


untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40%
pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi
pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas
65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel
urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini
masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup
menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah

34
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga
pada kasus dengan Brucellosis.6

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di


Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang
mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM
anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat
yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai
fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini


sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan
86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain
oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas
sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji
ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan
kultur secara luas.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri


S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan
duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit,
maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum

35
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung
pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan
meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah
dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak


kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang
lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk
S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall
ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S.
paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat


pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat

36
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat
dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan
memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas
karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.5,6

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan


media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri
yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak
mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai


sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah


mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah
dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara
polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang
spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR


sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.
Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar
63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal
(35.6%).

37
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-
bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu
dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif
rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6

F. Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang


ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun
gejala yang timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2)
gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala
klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional
seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen,
pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat
merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua
timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi,
sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan
suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm,
dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita
dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4
minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan
gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi

38
kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis.
Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang
pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah
tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5

G. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang


secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,
gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi
jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu
dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1

H. Tatalaksana

1. Non Medika Mentosa

a. Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat
membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak
bekerja sampai pemulihan.5
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah

39
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita
sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit
makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan
rumatannya.
d. Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui
sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di
hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran
pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata
dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior
sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan
pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori
yang dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat
pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh
meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7

2. Medika Mentosa
a. Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling
aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali

40
minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan
saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat
keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak mampu intake peroral
dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b. Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
1) Chloramphenicol

Merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid


fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14
hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak
dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus
malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan
diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini
adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

2) Cotrimoxazole

Merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim


dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika
golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi
seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia.
Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.

41
3) Ampicillin dan Amoxicillin

Memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan


dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif.
Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

4) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),

Merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau


bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih
sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan
prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2
dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat
diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis.
Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan Cefixime 10-
15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Tabel 2.1. Kelebihan dari tiap antibiotik

42
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-


kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

43
I. Komplikasi 3

Komplikasi yang dapat timbul antara lain :

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4


1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b. Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c. Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b. Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c. Typhoid ensefalopati

44
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d. Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat.
Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella
oranemburg.
e. Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen
ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f. Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

J. Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

1. Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk


mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan
anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum

45
makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

2. Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah


endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.
Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum
kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.

3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih


banyak daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air
yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih
segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya
tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

4. Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada


suhu ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas.
Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata dapat
membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan
makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

1. Sering cuci tangan.

46
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk
menghindari penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan
selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

2. Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.

Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya


sekali sehari.

3. Hindari memegang makanan.

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter


berkata bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri
makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja
sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri
Salmonella.

4. Gunakan barang pribadi yang terpisah.

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri


dan cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat
dengan mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum
yang aman, perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin
sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa
vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid.1,2

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

1. Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)

47
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a.
Diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari.
Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita hamil, menyusui, penderita
imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak
kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2
tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

2. Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan


yang mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya.
Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5
tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara
pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada
tempat suntikan. Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam,
hamil, dan riwayat demam pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah
tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang ditimbulkan dan lama
perlindungan yang pendek.

3. Vaksin polisakarida

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.


Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5
mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik.
Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan
(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

K. Prognosis

48
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di
negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.


Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko
menjadi karier pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier
kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

49
BAB IV
PRIORITAS MASALAH

A. Masalah
Kurangnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
1) Sarana air bersih
Air sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana sebagian besar
tubuh manusia adalah air. Air yang kotor juga dapat menjadi sumber
infeksius untuk berbagai penyakit. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah
a) Mengambil air dari sumber air yang bersih;
b) Mengambil dan menyimpan air dalam tempat yang bersih dan
tertutup serta menggunakan gayung khusus untuk mengambil
air;
c) Memelihara atau menjaga sumber air dari pencemaran oleh
binatang, anak-anak, dan sumber pengotoran. Jarak antara
sumber air minum dengan sumber pengotoran seperti
septictank, tempat pembuangan sampah dan air limbah harus
lebih dari 10 meter. Syarat air bersih diantaranya :
1)Syarat Fisik
Air tidak berwarna, tidak berbau, jernih dengan suhu di
bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman
2)Syarat Kimia
Air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat kimia,
terutama yang berbahaya bagi kesehatan.
3)Syarat Bakteriologis
Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme.
d) Mengunakan air yang direbus;

50
e) Mencuci semua peralatan masak dan makan dengan air yang
bersih dan cukup

Dalam kasus ini, Pasien mengaku jika menggunakan air yang


diambil dari sumur atau sungai.

2) Pembuangan kotoran
Rumah pasien belum memiliki jamban, karena kebiasaan, pasien
masih membuang kotoran pada kolam terdekat.

3) Pembuangan air limbah


Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang
berasal dari limbah rumah tangga. Pada umumnya mengandung
bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan
manusia serta mencemari lingkungan hidup. Cara pengelolahan
limbah diantara dengan melakukan pengenceran, atau kolam
oksidasi yaitu menggunakan cahaya langsung dari matahari,
ganggang, bakteri dan oksigen atau membuat saluran irigasi. Namun
pasien membuang limbah pada sungai.

4) Sarana tempat pembuangan sampah


Sampah adalah suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak
terpakai lagi oleh manusia atau benda padat yang sudah tidak
digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang.
Pengelolaan sampah yang baik adalah dengan cara dikumpulkan dan
kemudian dilakukan pengangkutan. Pengumpulan sampah menjadi
tanggung jawab masing-masing rumah tangga. Kebiasaan pasien
masih suka membuang sampah sembarangan.

B. Prioritas Masalah

Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks:

51
Tabel V.1. Matrikulasi Masalah

I T R Jumlah
No. Daftar Masalah
P S SB Mn Mo Ma IxTxR
1. Kurangnya Sarana Air
5 4 5 3 4 4 5 546
Bersih
2. Pembuangan Kotoran 5 4 5 2 5 3 3 308
3. Pembuangan Air Limbah
4 4 5 3 3 3 3 351
ke sungai
4. Pembuangan Sampah
4 4 4 4 3 4 3 528
Sembarangan
Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)

Kriteria penilaian:

1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting

Bedasarkan hasil mertikulasi masalah urutan prioritas masalah pada pasien


adalah sebagai berikut :

52
1. Kurangnya sarana air bersih
2. Membuang sampah sembarangan
3. Pembuangan Air Limbah ke sungai
4. Pembuangan Kotoran
C. Alternatif Pemecahan Masalah
Prioritas masalah pada pasien adalah kurangnya penerapan perilaku
hidup sehat dibagian sarana air bersih. Diperlukan alternative pemecahan
masalah seperti :

1. Sosialisasi PHBS

Peningkatan frekuensi sosialisasi PHBS pada desa – desa di


Sumbang dalam bentuk penyuluhan, pembagian leaflet, poster
agar warga lebih peduli terhadap kesehatan lingkungan.

2. Pemberian Jamban Sehat

Memberikan Jamban Sehat dimaksudkan untuk membiasakan


warga agar lebih mengenal kebersihan terhdap lingkungan.

3. Kerjasama lintas sektoral

Melakukan kerjasama seperti dengan kepala desa, camat


maupun pemuka desa guna membantu terlaksananya program
PHBS.

D. Penentuan Alternatif Masalah

Penentuan alternatif terpilih berdasarkan Metode Rinke yang


menggunakan dua kriteria yaitu efektifitas dan efisiensi jalan keluar.
Kriteria efektifitas terdiri dari pertimbangan mengenai besarnya masalah
yang dapat diatasi, kelanggengan selesainya masalah, dan kecepatan
penyelesaian masalah. Efisiensi dikaitkan dengan jumlah biaya yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah. Skoring efisiensi jalan keluar
adalah dari sangat murah (1), hingga sangat mahal (5).

53
Tabel V.2 Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar

C
M
I V
(jumlah biaya
(besarnya
(kelanggengan (kecepatan yang diperlukan
Skor masalah
selesainya penyelesaian untuk
yang dapat
masalah) masalah) menyelesaikan
diatasi)
masalah)

1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat lambat Sangat murah


langgeng

2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah

3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah

4 Besar Langgeng Cepat Mahal

5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal

Prioritas alternatif terpilih dengan menggunakan metode Rinke adalah


sebagai berikut:

Tabel V.3 Alternatif Terpilih

Efektivitas Efisiensi Urutan


Daftar Alternatif Jalan MxIxV
No. Prioritas
Keluar M I V C C
Masalah

1. Sosialiasai PHBS 4 3 2 2 12 1

2. Pemberian Jamban Sehat 3 4 3 5 7,2 3

54
3. Kerjasama Lintas Sektor 3 3 2 2 9 2

Alteratif pemecahan masalah yang terpilih menurut metode Rinke adalah


sosialisasi PHBS. Sosialisasi PHBS diharapkan dapat dilakukan di desa – desa,
dengan sasaran seluruh warga desa. PHBS dapat dilakukan saat kegiatan
posyandu, kegiatan sekolah maupun kegiatan pertemuan RT atau RW. Pemberian
Leaflet, poster dapat membantu warga untuk mengingat tentang materi PHBS.

55
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke
saluran cerna masuk ke saluran limfoid dibagian plak peyer kemudian
melakukan fase bakteremia primer masuk kedalam sistem RES dan
malakukan fase bakteremia sekunder

Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi
lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi
hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada
cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi
hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat mulai
dari ringan berupa apatis ,somnolen dapat terjadi penurunan kesadaran seperti
delirium, supor sampai koma.

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang


dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji
Widal, atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.

Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan


tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.

B. SARAN

56
1. Untuk pasien

Menanamkan perilaku PHBS di kehidupan sehari-hari

2. Untuk Puskesmas

- Meninhgkatkan sosialisasi PHBS

- Meningkatkan Pengetahuan masyarakat mengenai Demam Thypoid

- Meningkatkan upaya pencegahan penyakit demam thypoid

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_P
erlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:
EGC ; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :
2003. h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada
anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei
Saboe Kota Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSV
ol05No01_08_2012.pdf.

58

Anda mungkin juga menyukai