BAB I ...................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
BAB II .................................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................ 14
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien yang
akan dilakukan tindakan operasi, kita dapat memilih berbagai macam
pilihan cara anestesi. Dari berbagai macam pilihan tersebut, sebagian besar
operasi (70%-75%) dilakukan dengan cara anestesi umum. Hal ini
dikarenakan Anestesi umum yang ideal dapat menyediakan induksi yang
cepat dan tenang, kehilangan kesadaran yang dapat diprediksi, kondisi
intraoperatif yang stabil, efek samping yang minimal, pemulihan refleks
proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan lancar.Sedangkan sisanya
dilakukan dengan cara regional atau anestesi lokal. Operasi yang
dilakukan di daerah kepala, leher, intra toraks, intra abdomen akan lebih
baik jika dilakukan dengan cara anestesi umum dengan pemasangan pipa
endotrakea. Hal ini akan menjadikan jalan nafas lebih mudah dikontrol,
selain jalan nafas menjadi lebih bebas .Pilihan cara anestesia harus selalu
terlebih dahulu mementingkan segisegi keamanan dan kenyamanan pasien.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan cara anestesia antara lain
adalah umur, status fisik pasien, posisi pembedahan, ketrampilan dan
kebutuhan dari dokter pembedah, serta ketrampilan dan pengalaman
dokter anestesi. Salah satu pilihan cara anestesi umum yang cukup sering
digunakan adalah teknik total intravenous anesthesia (TIVA). TIVA
merupakan salah satu tekhnik anastesi dimana obat-obat anastesinya
diberikan melalui jalur intravena. Dari pembuluh darah, obat akan
didistribusikan menuju organ target dan disekresikan sesuai organnya
masing-masing.
Obat anestetik intra vena yang ideal adalah yang mampu
menyediakan hipnosis, amnesia, analgesia dan relaksasi otot tanpa
pengaruh depresi pada fungsi sirkulasi dan respirasi. Dikarenakan tidak
tersedianya obat tunggal yang ideal, maka di dalam praktek digunakan
kombinasi obat-obatan tersebut yang bertujuan untuk mendapatkan efek
yang diinginkan.
2
1.2 Tujuan
1) Mahasiswa mampu memahami tentang definisi Total Intra Venous
Anesthesia (TIVA)
2) Mahasiswa mampu memahami kegunaan kegunaan Total Intra
Venous Anesthesia (TIVA)
3) Mahasiswa mampu memahami Sifat Fisik dan Farmakologi TIVA
yang ideal
4) Mahasiswa mampu memahami Keuntungan Total Intra Venous
Anesthesia (TIVA)
5) Mahasiswa mampu memahami Variasi Total Intra Venous
Anesthesia (TIVA)
6) Mahasiswa mampu memahami prinsip farmakologi Total Intra
Venous Anesthesia (TIVA)
7) Mahasiswa mampu memahami Induksi Anestesi Total Intra
Venous Anesthesia (TIVA)
8) Mahasiswa mampu memahami pemeliharaan Anestesi dengan
Total Intra Venous Anesthesia (TIVA)
9) Mahasiswa mampu mengetahui obat-obatan Anestesi Intra Vena
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1 Definisi Total Intra Venous Anesthesia (TIVA)
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi
umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan
hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan
lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O
(Aun, T. et al, 2013).
2.3 Sifat fisik dan farmakologis anestetika intra vena yang ideal adalah
Sifat fisik dan farmakologis anestetika intra vena yang ideal meliputi:
1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan
2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak merusak
jaringan saat digunakan ekstravaskuler maupun intra arteri.
3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi hipersensitifi tas
4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan aktifi tas
eksitasi
5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat
6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk meningkatkan
kefektifan titrasinya dan meminimalisir akumulasi obat di jaringan
7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal
4
8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial
9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut
10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting (PONV),
amnesia, reaksi psikomimetik, pusing, nyeri kepala maupun waktu
sedasi yang memanjang (hangover eff ects) (Aun, T. et al, 2013).
5
1. Pasien yang rentan terhadap obat-obat simpatomimetik,
misalnya: penderita diabetes melitus, hipertensi, tirotoksikosis
dan paeokromo sitoma
2. Pasien yang menderita hipertensi intrakranial
3. Pasien penderita glaukoma
4. Operasi intra okuler.
b) Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat
hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen
trias anestesia yang dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot.
Indikasi : Operasi-operasi yang memerlukan relaksasi lapangan
operasi optimal
Kontraindikasi : Tidak ada kontra indikasi absolut. Pemilihan obat
disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien.
c) Anestesia-analgesia neuroleptik
Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat
secara intravena. Komponen trias anastesia yang dipenuhinya
adalah sedasi atau hipnotik ringan dan analgesia ringan. Kombinasi
lazim adalah dehidrobenzperidol dengan fentanil. Jika tidak
terdapat fentanil dapat digantikan dengan petidin atau morfin.
Indikasi:
1. Tindakan diagnostik endoskopi seperti laringoskopi,
bronkoskopi, esofaguskopi, rektos-kopi
2. Sebagai suplemen tindakan anestesi lokal
Kontraindikasi :
1. Penderita parkinson, karena pada pemberian
dehidrobenzperidol akan menyebabkan peningkatan gejala
parkinson
2. Penderita penyakit paru obstruktif
3. Bayi dan anak-anak sebagai kontraindikasi relatif.
2.6 Prinsip farmakologi Total Intra Venous Anesthesia (TIVA)
6
Rancangan skema teknik infus pada TIVA didasarkan pada dua
persamaan penting yang ditentukan oleh loading dose dan laju infus dosis
pemeliharaan.
Loading dose = Vd × Cp
Maintenance infusion rate = Cp × Cl
Vd : volume distribusi awal
Cl : klirens sistemik obat
Cp : konsentrasi plasma yang diinginkan
7
anestesi yang cepat dan durasi kehilangan kesadaran yang lebih lama
tetapi juga disertai efek samping yang lebih nyata karena penggunaan
dosis induksi yang lebih besar (Aun, T. et al, 2013).
Variasi pada dosis induksi ini juga dapat disebabkan perbedaan
farmakokinetik dan farmakodinamik masing-masing individu yang
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, cardiac output, perokok, obat-
obatan yang dikonsumsi dan penyakit yang sudah diderita sebelumnya
(Aun, T. et al, 2013).
Dikarenakan tidak adanya obat IV yang dapat memberikan efek
hipnotik, amnesia dan analgesi sekaligus (kecuali ketamin) maka
diperlukan kombinasi dari beberapa obat anestetik intra vena. Karena
opioid tunggal bukan merupakan obat anestetik yang lengkap, dalam
praktek klinis diperlukan obat anestetik kedua, seperti agen hipnotik IV
untuk menginduksi dan menimbulkan efek amnesia pada pasien (White,
FP. Eng,MR, 2009).
8
opioid bertujuan untuk mencapai konsentrasi obat analgesik di effect-site,
sedangkan titrasi infus agen hipnotik harus disesuaikan dengan kebutuhan
individual pasien dan intensitas stimulasi pembedahan. Pada akhir
pembedahan, di saat penutupan kulit, ahli anestesi harus mengurangi laju
infus obat hipnotik dan analgesik untuk mengembalikan pernafasan
spontan yang adekuat (Bajwa, et al. 2010).
9
b) Benzodiazepin
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan barbiturat di
sistem saraf pusat, tetapi berikatan dilokasi yang berbeda. Berikatan
dengan reseptor GABAA, sehingga terjadi terjadi peningkatan frekuensi
pembukaan kanal ion Cl (Reves, JG, et al. 2010).
Midazolam mempunyai keunggulan dibandingkan diazepam dan
lorazepam untuk induksi anestesi, karena ia mempunyai onset yang lebih
cepat. Kecepatan onset midazolam dan barbiturat lainnya ketika digunakan
untuk induksi anestesi ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat
premedikasi sebelumnya, umur, status fisik ASA dan kombinasi obat
anestetik lain yang digunakan. Pada pasien yang sehat yang telah diberi
premedikasi sebelumnya, midazolam 0,2 mg/kg dengan kecepatan injeksi
5-15 detik akan menginduksi pasien dalam waktu 28 detik. Pasien dengan
usia lebih dari 55 tahun dan dengan status fisik ASA III memerlukan
pengurangan dosis midazolam sebesar 20% atau lebih untuk induksi
anestesi (Reves, JG, et al. 2010).
Tabel 2. Dosis obat benzodiazepin yang biasa digunakan
c) Ketamin
Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk campuran
racemic. Di antara agen anestetik lainnya ketamin mempunyai keunggulan
dengan menimbulkan efek hipnotik dan analgesi sekaligus berkaitan
dengan dosis yang diberikan (Reves, JG, et al. 2010).
Ketamin memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat,
menghambat reflex polisinaptik di medulla spinalis dan neurotransmitter
eksitasi di area tertentu otak. Ketamin memutus hubungan thalamus
(penghubung impuls sensoris dari sistem aktivasi retikuler ke korteks
10
serebri) dengan korteks limbus (berperan pada sensasi waspada), secara
klinis disebut juga anestesi disosiasi, di mana pasien tampak sadar (mata
terbuka, reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi tidak mampu mengolah
dan merespon input sensorisnya (Reves, JG, et al. 2010).
d) Etomidat
Etomidat mendepresi sistem aktivasi retikuler dan meniru efek
inhibisi GABA. Secara spesifik mengikat sub unit reseptor GABAA yang
akan meningkatkan afinitas reseptor terhadap GABA. Etomidat memiliki
efek disinhibisi pada mekanisme sistem saraf yang mengontrol aktivitas
motorik ekstrapyramidal, sehingga menyebabkan timbulnya efek gerakan
myoklonik pada sekitar 30- 60% pasien yang diinduksi dengan etomidate
(Reves, JG, et al. 2010).
Dosis induksi 0,2-0,4 mg/kg menghasilkan durasi efek hipnosis
sekitar 5-15 menit, dengan sedikit perubahan pada status kardiovaskuler
pada pasien yang sehat maupun dengan penyakit katup atau penyakit
jantung iskemik. Etomidat dapat menimbulkan nyeri saat penyuntikkan
dan angka kejadian PONV yang tinggi (Reves, JG, et al. 2010).
e) Propofol
Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga meningkatkan
afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA, yang akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi propofol IV akan menimbulkan
nyeri yang dapat dikurangi dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya
atau dengan mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum
penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan
pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik yang steril
dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan ampul (Reves, JG, et al.
2010).
Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan lembut
dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping eksitasi. Dosis 1-2,5
mg/kg (tergantung pada usia dan status fisik pasien serta penggunaan
premedikasi) menghasilkan induksi anestesi dalam waktu 30 detik. Pada
11
pasien dengan penyakit kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang
lebih rendah (Reves, JG, et al. 2010).
f) Opioid
Ketika digunakan di dalam tehnik TIVA, opioid bekerja secara
sinergis dengan kebanyakan agen hipnotik. Selama melakukan TIVA,
kemampuan untuk mencegah respon otonom terhadap stimuli pembedahan
sangat bergantung dengan penggunaan opioid (Reves, JG, et al. 2010).
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik.
Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri. Kelompok
obat ini dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi kecemasan dan
menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang dihasilkan dari pemakaian
obat golongan opioid adalah analgesia, sedasi, dan depresi respirasi. Efek
ini juga berhubungan erat dengan besarnya dosis, yang berarti semakin
banyak konsentrasi obat yang diberikan, semakin besar pula efek yang
didapatkan. Namun dosis harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk
tetap menjaga pasien tidak mengalami efek yang berlebihan (Hurford et
al., 2002).
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam anestesi
adalah obat golongan opioid tidak secara langsung memberikan efek
depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat golongan opioid
sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan kelainan jantung (Ting,
2007).
Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual dan muntah,
kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas gastrointestinal.
Pada pasien dengan hipovolemia, narkotik dapat memberikan manfaat
dengan menimbulkan efek vasodilatasi (pada penggunaan morfin).
Narkotik juga dapat menyebabkan bradikardi melalui stimulasi vagal
secara langsung. Pada pasien yang normal, bradikardi ini tidak berefek
menurunkan tekanan darah karena terjadi peningkatan stroke volume dari
jantung (Ting, 2007).
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor
opioid dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor
12
yang berbeda sudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek
analgesia, depresi respirasi, euphoria dan ketergantungan fisik. Reseptor
Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis, sedasi dan
miosis. Reseptor yang lain bertanggung jawab untuk efek minor dan efek
negatif dari opioid (Ting, 2007).
Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine
(demerol), fentanyl (efk 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil,
alfentanil dan remifentanil. Kesemuanya ini berbeda dalam potensi, durasi
kerja.
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
4 suatu tindakan anestesi terhadap pasien harus selalu terlebih dahulu
mementingkan segisegi keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilihan cara anestesia antara lain adalah umur, status fisik
pasien, posisi pembedahan, ketrampilan dan kebutuhan dari dokter pembedah,
serta ketrampilan dan pengalaman dokter anestesi. Sebelum dilakukan
tindakan operasi, kita dapat memilih berbagai macam pilihan cara anestesi.
Dari berbagai macam pilihan tersebut, salah satunya adalah anastesi umum.
Salah satu pilihan cara anestesi umum yang cukup sering digunakan adalah
teknik total intravenous anesthesia (TIVA). TIVA merupakan salah satu
tekhnik anastesi dimana obat-obat anastesinya diberikan melalui jalur
intravena. Dari pembuluh darah, obat akan didistribusikan menuju organ
target dan disekresikan sesuai organnya masing-masing.
5 TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi umum di mana
induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan
kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa
penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA dalam anestesi umum
digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yaitu
ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. Dikarenakan tidak ada
satupun obat tunggal yang dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga
diperlukan pemberian kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai efek
yang diinginkan tersebut. Metode pemberian TIVA dapat dilakukan dengan
cara bolus intermiten, infus kontinyu menggunakan syringe infusion pumps
atau sejenisnya dan dengan target controlled infusion system (TCI). Interaksi
dari kombinasi obat dalam tehnik TIVA mempunyai arti penting dalam
menentukan dosis obat yang digunakan. TIVA memiliki beberapa keuntungan
yaitu, Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan ,
Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika menggunakan obat
dengan waktu kesetimbangan darah-otak yang singkat, Hampir semua agen
TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan efek hangover
14
yang minimal, Angka kejadian PONV yang rendah , Sebagian besar
menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga ideal untuk bedah saraf dan Tingkat
toksisitas organ yang rendah.
5.1 Saran
Mahasiswa sebaiknya mempelajari dan memahami tentang total
intravenous anesthesia (TIVA)
15
DAFTAR PUSTAKA
Aun, T. et al. 2013. Total intravenous anaesthesia using target controlled infusion. A
pocket reference. College of anesthesiologists. Academy of Medicine of
Malaysia.
Bajwa, et al. 2010. Comparison of two drug combinations in TIVA: propofol-ketamine
and propofol-fentanyl. Saudi Journal of Anaesthesia
F.S. Ratna, Chandra S. 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi
dan Intensive Care. Jakarta: FKUI RSCM
Hurford, William E, et all. 2002. Clinical Anesthesia Procedures of the
Massachusetts General Hospital 6th edition. Massachusetts General
Hospital Dept. Of Anesthesia and Critical Care. Lippincott williams &
Wilkins Publishers.
Reves, JG, et al. 2010. Intravenous Anesthetics. In: Miller, RD. (eds) miller’s Anesthesia,
7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
Ting, H. Paul. Intravenous Anesthetic. Available at :
http://anesthesiologyinfo.com/articles/01072002.php. Accesed : 06 June 2013
White, FP. Eng,MR. 2009. Intravenous Anesthetics. In: Barash, et al (ed). Clinical
Anesthesia, 6th edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins
16