Anda di halaman 1dari 108

BAB I

STATUS PENDERITA

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. N
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Slarang Kidul
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal periksa : 27 Juni 2019
No. RM : 400285
B. Anamnesis
Keluhan utama : Badan Lemas sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 minggu
SMRS. Badan terasa lemas seperti tidak ada tenaga dan semangat untuk
beraktivitas. Pasien mengatakan badan terasa lemas walaupun pasien sudah
makan secara teratur. Badan lemas berkurang saat pasien beristirahat. Pasien
juga mengeluh terdapat luka di kaki kanan, bewarna kehitaman, bengkak,
nyeri di pergelangan kaki dan sering kebas di ujung kaki. Pasien mengatakan
awalnya kaki kanan menghitam, lalu lama – lama membengkak kejadian ini
terjadi + 3 bulan. Kaki dirasa nyeri saat aktivitas dan membaik saat istirahat.
Pasien juga mengeluh pusing (+) dan mual (+) sejak 1 hari SMRS. BAK (+)
3x sehari kuning jernih, tidak ada batu, tidak ada darah. BAB (+) 1x sehari
konsistensi lunak. Nafsu makan pasien baik, berat badan pasien dirasa stabil.
Keluhan demam, sesak nafas, nyeri dada, keringat di malam hari tanpa
aktivitas, serta penglihatan kabur disangkal. Pasien sudah mengetahui bahwa
dirinya menderita sakit Diabetes Mellitus. Pasien sudah rutin berobat ke

1
dokter dan diberikan insulin 20 unit (pagi, siang, sore, malam). Konsumsi
alkohol dan obat-obat anti nyeri (NSAID), kortikosteroid jangka lama serta
jamu disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat keluhan yang sama : Pasien pernah di rawat th 2017 di
RSUD DR Soeselo dengan keluhan lemas yang sama dan kadar gula
tinggi.
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : (+) sejak th 2014
4. Riwayat Paru : Disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
6. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
7. Kolesterol : Belum pernah diperiksa
8. Riwayat Stroke : Disangkal
9. Riwayat luka di kaki lama : Disangkal
10. Riwayat Alergi : Disangkal

Riwayat penyakit keluarga


1. Riwayat hipertensi : Disangkal
2. Riwayat DM : Disangkal
3. Riwayat penyakit paru : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal

2
Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan pasien BPJS kelas III non PBI. Pola makan dan
minum teratur, tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang manis-
manis, jeroan, maupun asin-asin. Pasien tinggal bersama suami dan anaknya,
di rumah tidak ada yang merokok.

C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Dahlia
1. Keadaan umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Composmentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 90 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Respiration Rate : 20 x/menit, regular, kusmaul (-), bau keton (-)
Suhu : 37 oC
4. Berat badan : 50 kg
5. Tinggi badan : 154 cm
6. IMT : 21,09 (berat badan ideal)

7. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
injeksi siliar (-/-), kornea keruh (-/-), pandangan kabur (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-), sekret (-)

3
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), bibir kering (-), perdarahan gusi (-), bercak hitam
(+)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar
getah bening (-)
Palpasi : JVP : 5+2 cmH2O, nyeri tekan (-), pembesaran tiroid (-)
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris saat statis maupun
dinamis, tidak tampak ketertinggalan gerak antara
hemithoraks kanan dan kiri, kelainan bentuk dada
(-)
Palpasi : Vokal fremitus dextra=sinistra, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), RBH
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC IV Linea Mid
Clavicula Sinistra
Perkusi : Batas atas kanan: SIC II Linea Parasternal Dextra
Batas atas kiri: SIC II Linea Parasternal Sinistra
Batas bawah kanan: SIC IV Linea Parasternal
Dextra
Batas bawah kiri: SIC IV Linea Mid Clavicula
Sinistra
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

4
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar, sikatrik (-), striae (-), venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) (10 x/menit)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - + -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Nyeri tekan - - - -
Reflek Fisiologis ++ ++ ++ ++
Pemeriksaan Sensoris + + Distal (-) +
Turgor kulit < 2dtk < 2dtk < 2dtk < 2dtk
Capilarry refil < 2dtk <2dtk <2dtk
Pulsasi a. tibialis + + - +
anterior a. dorsalis
pedis, a. lateral tarsal,
a. arcuata
Callus / Kapalan - - - -

5
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Darah Lengkap - 20 Juni 2019
PARAMETER HASIL Interpretasi
Hematology Automatic
Leukosit 12,7 e3/ul Meningkat
Eritrosit 3,1 e6/ul Menurun
Hemoglobin 6,9 gr/dl Menurun
Hematokrit 22% Menurun
MCV 72 fL Menurun
MCH 22 pg Menurun
MCHC 31 gr/dl Menurun
Trombosit 618 e3/ul Meningkat
Differential Telling Mikroskopis
Eosinofi 0,90% Menurun
Basofil 0,20% Normal
Netrofil 73,90% Meningkat
Limfosit 19,20% Menurun
Monosit 5,80% Normal
MPV 8,7fL Normal
RDW-SD 40,6fL Normal
RDW-CV 15,7% Meningkat
Kimia Klinik
Ureum 68.0 mg/dL Meningkat
Creatinin 1.18 mg/dL Meningkat
SGOT 5 U/L Menurun
SGPT 5 U/L Menurun
Elektrolit
Kalium 5,27 Meningkat
Natrium 126.3 Menurun
Chlorida 107.6 Meningkat
Calcium 1,05 Menurun

6
Pemeriksaan Rontgen Thorak PA 27 Juni 2019
Hasil:
Cor : bentuk dan letak jantung normal
Pulmo:
 Corakan bronkovaskular tampak
meningkat
 Tak tampak bercak pada kedua
paru
 Tak tampak penebalan hilus kanan
kiri
 Sinus costophrenicus kanan kiri
tampak lancip
 Tak tampak kelainan pada tulang
maupun soft tissue
Kesan:
Cor tak membesar
Gambaran Bronchitis

Pemeriksaan Rontgen Pedis Dextra AP/Obliks


Hasil:
 Struktur Tulang porotik
 Struktur Metatarsal 2,3,4 phalang
proksimal digiti 2,3,4 tampak kecil
 Tak tampak lesi litik maupun sklerotik
pada tulang
 Tampak dislokasi proksimal
interphalang joint digiti 2,3,4
 Tak tampak lesi lusen maupun opak
pada soft tissue
Kesan:
 Atrophy metatarsal 2,3,4 phalang
proksimal digiti 2,3,4
 Dislokasi proksimal interphalang joint
digiti 2,3,4

7
E. Problem List
1. Anamnesis:
a. Lemas 1 minggu
b. Kaki kanan bengkak, menghitam, nyeri di pergelangan dan kebas di
ujung kaki
c. RPD Sakit DM sejak th 2014, gula darah sewaktu 283 mg/dl
2. Pemeriksaan Fisik
a. Mata: Konjungtiva Anemis (+/+)
b. Ekstremitas Inferior Dextra: Oedema (+), Bewarna kehitaman (+),
Malposisi os. Interphalang digiti 2,3,4
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
PARAMETER HASIL Interpretasi
Leukosit 12,7 e3/ul Meningkat
Eritrosit 3,1 e6/ul Menurun
Hemoglobin 6,9 gr/dl Menurun
Hematokrit 22% Menurun
MCV 72 fL Menurun
MCH 22 pg Menurun
MCHC 31 gr/dl Menurun
Trombosit 618 e3/ul Meningkat
Ureum 68.0 mg/dL Meningkat
Creatinin 1.18 mg/dL Meningkat
SGOT 5 U/L Menurun
SGPT 5 U/L Menurun
Kalium 5,27 Meningkat
Natrium 126.3 Menurun
Chlorida 107.6 Meningkat
Calcium 1,05 Menurun

8
b. Radiologi
 Rontgen Thorax
Gambaran Bronchitis
 Rontgen Pedis Dextra AP/Obliks
Atrophy metatarsal 2,3,4 phalang proksimal digiti 2,3,4
Dislokasi proksimal interphalang joint digiti 2,3,4

G. Rencana Pemecahan Masalah


Assesment :
1. Diabetes Mellitus
a. Komplikasi Mikrovaskular: Neuropati Diabetikum Charcot
Foot
2. Anemia Mikrositik Hipokromik
a. Defisiensi Besi
b. Anemia on chronic disease
c. Sideroblastik
d. Thalasemia
3. Azotemia
a. AKI
4. Hiponatremia
5. Hiperkalsemia
Initial Plan:
1. Diabetes Melitus
a. Planning Diagnostik:
 HbA1c
 Profil Lipid
 Urinalisis
 EKG
 Funduskopi
 ABI (Ancle Brachial Index)
b. Planning Terapi

9
1) Pola makan di Rumah Sakit :
 Makan sesuai makanan dari Rumah Sakit
2) Anjuran Pola makan di Rumah
 Dianjurkan makan 3 kali sehari dan diberikan makanan selingan
seperti buah dan sayur.
 Konsumsi makanan berlemak seperti daging berlemak, jeroan dan
susu fullcream dibatasi.
 Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe
 Sumber gula darah dan karbohidrat dapat apa saja dengan segala
olahnnya, namun pemberiannya di batasi dan di atur jumlahnya.
3) Kebutuhan Kalori:
BB : 50 kg; IMT : 21,09  kebutuhan kalori : 12115,5 kalori / hari
Jumlah kalori pada diabetes:
 Kebutuhan kalori, 25-30 kal/kg BB ideal. BBI (Broca): 90%
x (TB – 100) x 1 kg.
 Karbohidrat 45-65% total asupan energi. Pembatasan
karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
 Lemak 20 – 25 kebutuhan kalori, tidak dipetkenankan
melebihi 30% dari total asupan energi
 Protein 10 – 20 % dari total asupan energi.

4) Terapi Farmakologi:
 DM tidak terkontrol dan terdapat penyulit PAD dan
Neuropati  Terapi intensif : kombinasi insulin basal (kerja
panjang: Levemir 20 U sc/ ac jam 21.00 WIB) dengan insulin
prandial (Insulin kerja cepat : Novorapid 12-12-12 U sc/ a.c)
 Komplikasi Makrovaskular. PAD, melakukan penanganan
iskemia dengan pemberian antiplatetlet (aspilet 1x80mg).

10
 Komplikasi Mikrovaskular. Neuropati, Kaki Diabetik
Charcot Foot, kendali metabolik (kontrol
glukosa,lipid,albumin), kendali tekan (foot cast dan boots)
5) Edukasi
 Kontrol gula darah dan tekanan darah tiap bulan
 Minum obat / pemberian insulin teratur
 Menjaga pola makan
 Merawat diri dengan baik (menjaga agar tidak timbul luka atau
infeki pada kedua kaki)
2. Anemia
a. Planning Diagnostik
 Fe Serum
 TIBC
 Feritin
b. Planning Terapi
 Transfusi
c. Monitoring : TTV, Darah Lengkap
3. Azotemia (AKI)
a. Planning Diagnostik
 Urinalisis (proteinuria, epitel, mikroalbumin)
 USG
b. Planning Terapi
 Terapi Suportif
Hiperkalemia diberikan Kalitake 3x1
Hiponatremia diberikan Infus NaCl 3% 20 tpm
Hipokalsemia diberikan Kalsium Glukonat 10% 10cc

11
H. Catatan Kemajuan
1. Tanggal 21 Juni 2019
Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien PF: Diabetes Mellitus Inf RL 20 tpm
mengatakan , KU  CM Anemia Usaha PRC 4 kolf, 1
badan lemas, TTV  Azotemia DD kolf/12 jam
pusing, mual, TD: 100/60 AKI Inj. Ceftriaxone 2x1
kaki kanan mmHg gram
kesemutan, Suhu: 37,20 C Inj Omeprazole 2x40
bengkak, HR: 80x/menit mg
nyeri pada RR: 20 x/menit Inj. Ondansentron
pergelangan Mata CA +/+ 3x4 mg
dan punggung Ekstremitas Novorapid 10-10-10
kaki Inferior U a.c
Dextra: odema Levemir 0-0-10 U
(+), hitam (+) ac(jam 21.00 WIB)
Pulsasi a.pedis Usul Terapi:
(+) Aspilet 1x80mg
PP: Usulan pemeriksaan:
GDS : 350 Urin rutin, GDS
Eri: 3,1, Hb 6,9, berkala, Elektrolit, X-
Ht Foto Thorax.
22,Trombosit EKG, Fe Serum,
618, Ureum 68, USGAbdomen, ABI
Cr 1.18

2. Tanggal 22 Juni 2019


Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI, Hiperkalemia

12
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-
mengatakan TTV  Anemia 12 U
lemas, kaki TD: 90/60 Azotemia DD  Inj Levemir 0-0-14 ac
kesemutan, mmHg AKI j 21.00
kaki kanan Suhu: 36,60 C Hiperkalemia Usul Terapi
bengkak, HR: 88 x/mnt Resin Polistiren
nyeri di RR: 20 x/mnt (Kalitake 3x1)
pergelangan Usul Pemeriksaan
dan GDS : 281 Cek GDS
punggung mg/dl
kaki Elektrolit:
Kalium 5.27,
Natrium 126.3,
Chlorida
107.6, Calcium
1.05

3. Tanggal 23 Juni 2019


Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI, Hiperkalemia
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-12
mengatakan TTV  Anemia U
lemas, kaki TD: 120/70 Azotemia  Inj Levemir 0-0-14 ac j
kesemutan, mmHg DD AKI 21.00
kaki kanan Suhu: 37,2oC Hiperkalemia  Transfusi masuk 2 kolf
bengkak HR: 90x/mnt Usul Terapi
RR: 20 x/mnt Resin Polistiren
(Kalitake 3x1)
GDS : 393 Usul Pemeriksaan

13
mg/dl Cek GDS, Cek Darah
Rutin post transfusi

4. Tanggal 24 Juni 2019


Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI, Hiperkalemia
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-12
mengatakan TTV  Anemia U
pusing, TD: 120/70 Azoemia DD  Inj Levemir 0-0-16 ac j
lemas, kaki mmHg AKI 21.00
kesemutan, Suhu: 37,2oC Hiperkalemia  Cek Ulang Darah Rutin
kaki kanan HR: 90x/mnt post transfusi 2 kolf
RR: 20 x/mnt
GDS : 349
mg/dl

5. Tanggal 25 Juni 2019


Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI, Hiperkalemia
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-
mengatakan TTV  Anemia 12 U
lemas, kaki TD: 120/70 Azotemia DD  Inj Levemir 0-0-16 ac j
kesemutan mmHg AKI 21.00
Suhu: 37,2oC Hiperkalemia  Kalitake 3x1
HR: 90x/mnt Susp  X Foto Pedis Dextra
RR: 20 x/mnt Osteomyelitis AP +Lateral
 Cek Darah Lengkap
GDS : 393 post Transfusi masuk 4
mg/dl kolf
Darah Ruin:

14
Leukosit 12.2,
Eritrosit 3.1,
Hb 7.4, Ht 23,
Trombosit 490

6. Tanggal 26 Juni 2019


Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI, Hiperkalemia
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-
mengatakan TTV  Anemia 12 U
lemas, kaki TD: 120/70 Azotemia DD  Inj Levemir 0-0-16 ac j
kesemutan, mmHg AKI 21.00
o
kaki kanan Suhu: 37,2 C Hiperkalemia  Inj Ca Glukonas 1 amp
bengkak, HR: 90x/mnt Susp  Cek Elektrolit
nyeri di RR: 20 x/mnt Osteomyelitis  Konsul Bedah (Infeksi
pergelangan Kaki DM)
dan GDS : 293
punggung mg/dl
kaki Leu 10.4, Eri
4.6, Hb 11.5,
Ht 36,
Trombosit 568

15
7. Tanggal 27 Maret 2019
Problem : Diabetes Mellitus, Anemia, Azotemia DD AKI
Subjektif Objektif Assessment Planning
Pasien KU  CM DM  Inj Novorapid 12-12-
mengatakan TTV  Anemia 12 U
lemas, kaki TD: 120/70 Azotemia DD  Inj Levemir 0-0-16 ac j
kesemutan, mmHg AKI 21.00
kaki kanan Suhu: 37,2oC Susp  Infus NaCl 3% 10 tpm
HR: 90x/mnt Osteomyelitis
RR: 20 x/mnt

GDS : 308
mg/dl
Elektrolit
Kalium 4.96,
Natrium 125.4,
Chlorida 104.1,
Calcium 1.08

16
ALUR PIKIR

Insulin Basal dan


DM Penyulit DM Prandial

Hiperglikemia

>> Jalur Polyol


dan >>
Glikosilasi

>> Stress
Oksidatif

Kerusakan
Endotel

Mikrovaskular Makrovaskular

Nefropati Neuropati Aterosklerosis

Lesi Glomerulus Otonom Sensoris Motorik Oklusi

Produksi
Eritropoietin Kulit Kering Kesemutan Kelemahan PAD
tidak maksimal

Resiko Anemia Atrofi Otot

Kekauan Gerak
Intake <<< Sendi

Deformitas
Sendi

Charcot Foot

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DIABETES MELITUS
A. Definisi Diabetes Melitus
Diabetes Mellitus adalah merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Menurut WHO, Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu
penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang
ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat dari insufisiensi
fungsi insulin. Insufisiensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin.
American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa
diabetes melitus adalah Kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
penurunan sekresi insulin yang progresif3. Diabetes melitus adalah
penyakit gangguan metabolik menahun akibat insulin yang dihasilkan oleh
pankreas kurang atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin secara
efektif sehingga menyebabkan peningkatan kadar gula darah.

B. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi
global diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada
2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah
penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Sedangkan
International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan

18
jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.

C. Etiologi
Faktor risiko terjadinya DM terdiri dari faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi
yaitu obesitas, hipertensi, dislipidemi, pola makan, dan merokok. Faktor
yang tidak dapat dimodifikasi yaitu genetik, usia, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga dengan DM. Beberapa faktor risiko tersebut diantaranya:
1. Usia
Kelompok usia < 45 tahun memiliki resiko lebih rendah mengalami
diabetes mellitus dibandingkan dengan kelompok umur > 45 tahun.
Penderita diabetes mellitus yang berusia 45-54 tahun di Indonesia
sebanyak 9,70 % dan meningkat menjadi 11,20 % pada usia >55 tahun.
Peningkatan resiko diabetes melitus pada umur >40 tahun disebabkan
karena pada usia 40 tahun mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa
sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan sel beta pankreas
untuk memproduksi hormon insulin.
2. Riwayat Keluarga DM
Resiko diabetes mellitus akan diturunkan 15% pada anak yang memiliki
riwayat salah satu orang tua menderita diabetes mellitus dan akan
meningkat menjadi 75 % pada anak yang memiliki riwayat kedua orang
tua menderita diabetes mellitus. Resiko menderita diabetes mellitus dari
ibu 10-30% dibanding dengan ayah yang menderita diabetes mellitus
karena penurunan gen dalam kandungan lebih besar. Apabila saudara
kandung menderita diabetes mellitus maka akan beresiko 10%
mengalami diabetes mellitus sedangkan jika saudara kembar identik
menderita diabetes mellitus maka akan beresiko 90% menderita
diabetes mellitus.

19
3. Pola Makan
Pola makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang
dibutuhkan oleh tubuh dapat memacu timbulnya DM. Hal ini
disebabkan jumlah atau kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai
kapasitas maksimum untuk disekresikan.
4. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan lebih besar untuk terserang DM dibandingkan dengan
orang yang tidak gemuk.
5. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimiawi tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan
radang pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan
pankreas tidak berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon
yang diperlukan untuk metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon
insulin.
6. Penyakit dan infeksi pada pancreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas
sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β
pada pankreas tidak bekerja secara optimal dalam mensekresi insulin.
7. Merokok
Asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah sedangkan nikotin
dapat merangsang kelenjar adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid
yang dapat meningkatkan kadar gula darah serta merokok juga dapat
menurunkan kerja insulin sehingga menyebabkan resistensin insulin.
Merokok dapat mempengaruhi kadar HbA1c pada penderita dabetes
melitus, dimana HbA1c pada penderita DM yang merokok lebih tinggi
dibanding dengan kadar HbA1c pada penderita DM yang tidak
merokok.

20
D. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus yaitu:

KLASIFIKASI DIABETES MELITUS

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
2. idiopatik 2. resistensi insulin hipertiroidisme
lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella
sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

E. Patofisiologi
1. Diabetes mellitus tipe 1
DM Tipe 1 merupakan DM yang tergantung insulin. Pada DM
Tipe 1 kelainan terletak pada sel beta yang bisa idiopatik atau
imunologik. Pankreas tidak mampu mensintesis dan mensekresi insulin
dalam kuantitas dan atau kualitas yang cukup, bahkan kadang-kadang
tidak ada sekresi insulin sama sekali. Jadi pada kasus ini terdapat
kekurangan insulin secara absolut. Pada DM Tipe 1 biasanya reseptor
insulin di jaringan perifer kuantitas dan kualitasnya cukup atau normal
(jumlah reseptor insulin DMT 1 antara 30.000-35.000) jumlah reseptor
insulin pada orang normal ± 35.000. sedang pada DM dengan obesitas
± 20.000 reseptor insulin.
DM Tipe 1, biasanya terdiagnosa sejak usia kanak-kanak. Pada
DMT 1 tubuh penderita hanya sedikit menghasilkan insulin atau bahkan

21
sama sekali tidak menghasilkan insulin, oleh karena itu untuk bertahan
hidup penderita harus mendapat suntikan insulin setiap harinya. DMT1
tanpa pengaturan harian, pada kondisi darurat dapat terjadi.

Gambar : Patofisiologi DM tipe I

2. Diabetes Melitus Tipe 2


DM Tipe 2 adalah DM tidak tergantung insulin. Pada tipe ini,
pada awalnya kelainan terletak pada jaringan perifer (resistensi insulin)
dan kemudian disusul dengan disfungsi sel beta pankreas (defek sekresi
insulin), yaitu sebagai berikut:
a. Sekresi insulin oleh pankreas mungkin cukup atau kurang, sehingga
glukosa yang sudah diabsorbsi masuk ke dalam darah tetapi jumlah
insulin yang efektif belum memadai.
b. Jumlah reseptor di jaringan perifer kurang (antara 20.000-30.000)
pada obesitas jumlah reseptor bahkan hanya 20.000.
c. Kadang-kadang jumlah reseptor cukup, tetapi kualitas reseptor jelek,
sehingga kerja insulin tidak efektif (insulin binding atau afinitas atau
sensitifitas insulin terganggu).
d. Terdapat kelainan di pasca reseptor sehingga proses glikolisis
intraselluler terganggu.
e. Adanya kelainan campuran diantara nomor a, b, c dan d.

22
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta
pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM
tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini
dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot,
liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak
(resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting
dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang1:
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan
patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja
obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi
pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
Patogenesis penderita DM tipe-2 yang berperan tidak hanya
otot, liver dan sel beta pankreas saja tetapi terdapat organ lain yang
berperan yang disebutnya sebagai the ominous octet.

Gambar : Organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemi DM tipe 2

23
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan
hal (omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat
berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver:
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan
basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat
yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot:
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang
multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur
ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak:
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan
merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi
insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin.
Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity.
Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus:
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding
kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek
incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide

24
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM
tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.
Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim
DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang
bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor.
Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan
karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah
polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus
dan berakibat meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang
bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-glukosidase adalah
akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas:
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan
basal meningkat secara signifikan disbanding individu yang normal.
Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor
glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP- 4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal:
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis
DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari.
Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali
melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co- Transporter) pada bagian
convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi
melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga
akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi
peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang

25
bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah
satu contoh obatnya.
8. Otak:
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang
obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

F. Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan
glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat
ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM.
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti1:
• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Kriteria Diagnosis DM1:

26
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi
standard NGSP, sehingga harus hati-hati dalam membuat interpretasi
terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi
kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit dan gangguan fungsi ginjal
maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau
kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi:
toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)1.
• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100 mg/dl
• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Bagan : Langkah –Langkah Diagnoostik DM

27
Cara pelaksanaan TTGO berdasarkan WHO13:
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan
jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sediikt 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) ,
dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk
pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat
 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa
terganggu) atau GDPT (glukosa darah puasa terganggu) dari hasil yang
diperoleh
 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah pembebanan antara 140-199
mg/dl
 GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl
bA1c

28
Tabel : Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebgai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)

Tabel : Korelasi HbA1c dengan Perkiraan Rata-rata Glukosa Plasma

A1c (%) Eag (mg/dl) eAG (mmol/L)


6 126 7.0
7 154 8.6
8 183 10.1
9 212 11.8
10 240 13.4
11 269 1.9
12 298

G. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan
kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

29
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui
pengelolaan pasien secara komprehensif.
Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus dimulai dari:
1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu
dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian
yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi
edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi
tingkat lanjutan.
a. Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Primer yang meliputi:
 Materi tentang perjalanan penyakit DM.
 Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara
berkelanjutan.
 Penyulit DM dan risikonya.
 Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target
pengobatan.
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat
antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa
darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah
mandiri tidak tersedia).
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
 Pentingnya perawatan kaki.
 Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
b. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan
Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:

30
 Mengenal dan mencegah penyulit akut DM.
 Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM.
 Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain.
 Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).
 Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari
sakit).
 Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi
mutakhir tentang DM.
 Pemeliharaan/perawatan kaki.

2. Terapi gizi medis


Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non
farmakologik yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes.
Terapi ini pada prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang
didasarkan pada status gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan
mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a. Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b. Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c. Kadar HbA1c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a. Kolesterol LDL <100 mg/dl
b. Kolesterol HDL >40 mg/dl
c. Trigliserida <150 mg/dl

31
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 – 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan
perubahan pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat
badan, status gizi, status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia.
Selain itu ada beberapa faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa
pertumbuhan, gangguan pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada
keadaan infeksi berat dimana terjadi proses katabolisme yang tinggi
perlu dipertimbangkan pemberian nutrisi khusus. Masalah lain yang
tidak kalah pentingnya adalah masalah status ekonomi, lingkungan
kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang bersangkutan serta
kemampuan petugas kesehatan yang ada.
Komposisi makanan yang dianjurkan:
Komposisi nutrien berdasarkan konsensus nasional adalah Karbohidrat
60-70%, Lemak 20-25% dan Protein 10-15%.
Karbohidrat (1 gram=40 kkal)
 Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat
lebih ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan jenis karbohidrat itu
sendiri.
 Total kebutuhan kalori perhari, 60-70 % diantaranya berasal dari
sumber karbohidrat
 Jika ditambah MUFA sebagai sumber energi maka jumlah
karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan perhari
 Jumlah serat 25-50 gram/hari.
 Penggunaan alkohol dibatasi dan tidak boleh lebih dari 10 ml/hari.
 Pemanis yang tidak meningkatkan jumlah kalori sebagai
penggantinya adalah pemanis buatan seperti sakarin, aspartam,
acesulfam dan sukralosa. Penggunaannya pun dibatasi karena dapat
meningkatkan resiko kejadian kanker.
 Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hari
 Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

32
Protein
 Kebuthan protein 15-20% dari total kebutuhan energi perhari.
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein
tidak akan mempengaruhi konsentrasi glukosa darah .
 Pada keadaan kadar glukosa darah yang tidak terkontrol, pemberian
protein sekitar 0,8-1,0 mg/kg BB/hari .
 Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan
sampa 0,85 gr/kg BB/hari dan tidak kurang dari 40 gr.
 Jika terdapat komplikasi kardiovaskular maka sumber protein nabati
lebih dianjurkan dibandingkan protein hewani.
Lemak
 Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah
maksimal 10% dari total kebutuhan kalori perhari.
 Jika kadar kolesterol LDL ≥ 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh
diturunkan sampai maksimal 7% dari total kalori perhari.
 Konsumsi kolesterol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolesterol
LDL ≥100 mg/dl, maka maksimal kolesterol yag dapat dikonsumsi
200 mg perhari.
Kebutuhan Kalori:
Menetukan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/ kg BB
ideal ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa factor yaitu
jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.
Penentuan kebutuhan kalori
Kebutuhan basal :
 Laki-laki = berat badan ideal (kg) x 30 kalori
 Wanita = berat badan ideal (kg) x 25 kalori
Koreksi :
a. Umur
• 40-59 th : -5%
• 60-69 : -10%
• >70% : -20

33
b. Aktivitas
• Istirahat : +10%
• Aktivitas ringan : +20%
• Aktivitas sedang : +30%
• Aktivitas berat : +50%
c. Berat badan
• Kegemukan : - 20-30%
• Kurus : +20-30%
• Stress metabolik : + 10-30%
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi 20%,
makan siang 30% dan makan malam 25%, serta 2-3 porsi ringan 10-
15% diantara porsi besar.
IMT :dihitung berdasarkan berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan
kuadrat (m2).
Kualifikasi status gizi :
BB kurang : IMT < 18,5
BB normal : IMT 18,5 – 22,9
BB lebih : IMT 23 – 24,9

3. Latihan Jasmani
Kegiatan fisik bagi penderita diabetes sangat dianjurkan karena
mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dimana pada diabetes telah
terjadi mikroangiopati dan peningkatan lipid darah akibat pemecahan
berlebihan yang membuat vaskular menjadi lebih rentan akan
penimbunan LDL teroksidasi subendotel yang memperburuk kualitas
hidup penderita. Dengan latihan jasmani kebutuhan otot akan glukosa
meningkat dan ini akan menurunkan kadar gula darah. Dengan makin
banyaknya lemak dipecah, makin banyak pula benda keton yang
terkumpul dan ini menjadi perhatian karena dapat mengarah ke keadaan
asidosis.

34
Latihan berat hanya ditujukan pada penderita DM ringan atau
terkontrol saja, sedangkan DM yang agak berat, GDS mencapai > 350
mg/dl sebaiknya olahraga yang ringan dahulu. Semua latihan harus
memenuhi program CRIPE : Continous, Rhythmical, Interval,
Progressive, Endurance. Continous maksudnya berkesinambungan dan
dilakukan terus-menerus tanpa berhenti. Rhytmical artinya latihan yang
berirama, yaitu otot berkontraksi dan relaksi secara teratur. Interval,
dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Progresive
dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan
sampai sedang hingga 30-60 menit. Endurance, latihan daya tahan
untuk meningkatkan kemampuan kardiopulmoner seperti jalan santai,
jogging dll.
4. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan1:
a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan
Glinid
1) Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi insulin
oleh sel beta pankreas.
2) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin
fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan
Tiazolidindion (TZD)
1) Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa
perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2.

35
2) Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor
inti termasuk di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan jumlah
protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC III- IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal
hati, dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.
Obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.
c. Penghambat Absorpsi Glukosa:
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak
digunakan bila GFR ≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang
berat, irritable bowel syndrome.
d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja
enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap
dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1
untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat
antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di
tubuli distal ginjal dengan cara menghambat transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain:
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.

36
Hal-hal yang harus diperhatikan :
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan decara
bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai
dosis maksimal.sulfonilurea generasi I dan II 15-30 menit sebelum
makan. Glimepirid sebelum/sesaat sebelum makan. Repaglinid,
Nateglinid sesaat/sebelum makan. Metformin sesaat/pada saat/sebelum
makan. Penghambat glukosidase α bersama makan suapan pertama.
Thiazolidindion tidak bergantung jadwal makan.

Tabel : Profil obat antihiperglikemi oral yang tersedia di Indonesia

37
Tabel : Obat Antihiperglikemi Oral

38
5. Insulin
 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan sekresi
insulin prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru pada
sekresi insulin yang fisiologis.
 Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
 Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja
cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting) atau insuli campuran tetap (premixed insulin).

Insulin diperlukan pada keadaan1:


 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut,
stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

39
Tabel: Obat Hiperglikemi Suntik

Awitan Puncak Lama


Jenis Insulin (onset) Kemasan
Efek Kerja
Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)
Insulin Lispro
(Humalog®)
Pen/cartridge
Insulin Aspart
5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam Pen, vial
(Novorapid®)
Pen
Insulin Glulisin
(Apidra®)
Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )

Humulin® R
Vial,
Actrapid® 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam
pen/cartridge
Sansulin®
Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)

Humulin N®
Vial,
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
pen/cartridge
Insuman Basal®

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)

Insulin Glargine
Hampir
(Lantus®) 1–3 jam tanpa 12-24
jam Pen
Insulin Detemir Puncak
(Levemir®)
Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin
Analog)

Hampir Sampai
tanpa 48
Degludec (Tresiba®)* 30-60 menit
Puncak Jam

40
Campuran (Premixed) (Insulin
Manusia)
70/30 Humulin® (70%
NPH, 30% reguler) 30-60 menit 3–12 jam
70/30 Mixtard® (70%
NPH, 30% reguler)

Campuran (Premixed, Insulin Analog)


75/25 Humalogmix®
(75% protamin lispro, 12-30 menit 1-4 jam
25% lispro)
70/30 Novomix® (70%

Dasar pemikiran terapi insulin:

 Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial.
Terapi insulin diupayakan mampu menyerupai pola sekresi insulin yang
fisiologis
 Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin
prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan
timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa, sedangkan defisiensi
insulin prandial akan menimbulkan hiperglikemia setelah makan.
 Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
 Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa
darah basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan
terapi oral maupun insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja sedang
atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan
dapat dilakukan dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran
terapi belum tercapai.
 Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan
HbA1c belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk

41
mencapai sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat
(rapid acting) yang disuntikan 5-10 menit sebelum makan atau insulin
kerja pendek (short acting) yang disuntikkan 30 menit sebelum makan.
 Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan obat antihiperglikemia
oral untuk menurunkan glukosa darah prandial seperti golongan obat
peningkat sekresi insulin kerja pendek (golongan glinid), atau
penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen usus (acarbose), atau
metformin (golongan biguanid)
 Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah harian.

6. Terapi Kombinasi
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik
secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet
tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja
yang berbeda. Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa
darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan kombinasi tiga
obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang disertai
dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk
dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat
menjadi pilihan.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut
pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian
dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah

42
puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin
basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial,
serta pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan.

Bagan : Algoritma pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi


kadar HbA1c
<7% 7-8 % 8-9 % >9% 9-10 % > 10 %

gaya GHS +
hidup GHS +
Monote kombin GHS +
sehat GHS +
rapi asi 2 kombin kombina
obat asi 3 si 2 obat
obat + insulin GHS +
basal insulin
intensif

Tabel : Sasaran Pengendalian DM

Pencegahan DM:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi

43
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.
Materi penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat,
latihan jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan
kebijakan kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-
ekonomi penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai
dalam upaya pencegahan primer.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini
dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan
tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM.
Penyulihan ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak
pertemuan pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan
berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada penyandang Diabetes.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang
diabetes yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah
terjadinya kecacatan lebih menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap
dilakukan penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan
materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai
kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan
sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian
aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi dampak
mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular,
radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.

44
H. Komplikasi
1. Komplikasi Akut
a. Diabetik Ketoasidosis
Definisi
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator
(glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan).
Keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat
dan penggunaan glukosa oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir
hiperglikemia. Berkurangnya insulin mengakibatkan aktivitas kreb
cycle menurun, asetil Ko-A dan Ko-A bebas akan meningkat dan
asetoasetil asid yang tidak dapat diteruskan dalam kreb cycle
tersebut juga meningkat. Bahan-bahan energi dari lemak yang
kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber energi akibat sinyaling
sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan end produk
berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu
glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai
ketogenic effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD
adalah GDS > 250 mg/dl, pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap tinggi
dan keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia,
nausea, muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas
adalah pernapasan kussmaul dan berbau aseton.
Patofisiologi
Insulin memiliki berbagai fungsi yaitu membantu transpor
glukosa masuk ke dalam sel, menghambat adanya lipolisis dalam
jaringan lemak sehingga mencegah pembentukan asam lemak bebas,
dan menghambat glukoneogenenesis di hati. Apabila terjadi
defisiensi insulin maka seluruh proses yang melibatkan insulin akan
terganggu. Ketika terjadi defisiensi insulin, maka kadar glukosa
dalam darah akan tinggi (hiperglikemia) karena tidak adanya insulin
yang membantu transpor glukosa ke dalam sel serta tubuh tetap

45
memproduksi glukosa melalui proses glukoneogenesis di hati.
Kondisi hiperglikemia ini menyebabkan kelebihan glukosa dibuang
melalui urin (glukosuria). Adanya kelebihan glukosa ini
menyebabkan peningkatan osmolaritas, sehingga tubuh kehilangan
cairan dan elektrolit serta terjadi dehidrasi. Penderita ketoasidosis
diabetik menjadi cepat haus sehingga banyak minum (polidipsia).
Terjadinya defisiensi insulin menyebabkan liposisis tidak
dapat dihambat, sehingga lipolisis yang secara terus menerus
menyebabkan meningkatnya pembentukkan asam lemak bebas.
Berasal dari asam lemak bebas tersebut, hati membentuk benda
keton (asam asetoasetat, asam β- hidroxibutirat, dan aseton) melalui
proses yang dinamakan ketosis. Benda keton yang terbentuk akibat
ketosis akan dikeluarkan melalui urin (ketonuria) dan melalui nafas,
sehingga nafas penderita diabetes yang menderita ketoasidosis
diabetik berbau seperti buah. Pada kondisi ketosis terjadi akumulasi
benda keton yang akan mengakibatkan pH turun dibawah 7,3 dan
terjadi asidosis metabolik yang menstimulasi penderita bernapas
dalam dan cepat (Kushmaul breething) karena individu berusaha
mengurangi asidosis dengan mengeluarkan kaerbon dioksida (asam
volatil)
Gejala dan Tanda Klinis
Tanda klinis yang muncul yaitu hiperglikemia (kadar glukosa
>250 mg/dl), ketonuria, menurunnya pH plasma (<7,3). Gejala-
gejala yang dialami penderita ketoasidosis metabolik yaitu berupa
timbulnya rasa haus sehingga penderita sering minum (polidipsia),
poliuria (banyak buang air kecil), dehidrasi terkadang hingga terjadi
syok hipovolemia, lidah dan bibir kering, nyeri pada perut, muntah,
takipnea karena asidosis sehingga menyebabkan pernapasan cepat
dan dalam (pernapasan Kushmaull), dan penurunan kesadaran.

46
b. Hiperosmolar Hiperglikemik
Definisi
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih
besar dari 600 mg% tanpa ketosis yang berartidan osmolaritas
plasma melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-
anak, usia muda atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada
keadaan ini pasien akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada
DM tipe 2 dimana kadar insulin darah nya masih cukup untuk
mencegah lipolisis tetapi tidak dapat mencegah keadaan
hiperglikemia sehingga tidak timbul hiperketonemia.
Hiperglikemik hiperosmolar nonketonik merupakan suatu
keadaan gangguan metabolik yang disebabkan karena meningkatnya
resistensi insulin dan kelebihan asupan glukosa, ditandai dengan
adanya hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan dehidrasi tanpa
ketoasidosis. Kejadian ketoasidosis diabetik dapat ditemukan pada
penderita diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Namun, prevalensi
kejadian lebih sering terjadi pada penderita diabetes mellitus tipe 2
dibandingkan dengan tipe 1.

Patofisiologi
Meningkatnya kadar glukosa dalam darah yang ekstrim dapat
menyebabkan hiperglikemia berat. Kadar glukosa darah penderita
yang menderita hiperglikemik hiperosmolar nonketonik dapat
mencapai lebih dari 600 mg/dL. Kondisi hiperglikemia ini
menyebabkan meningkatnya osmolaritas plasma yang dalam
keadaan normal 275-295 mOsm/L, meningkat melebihi melebihi 310
mOsm/L, sehingga mengakibatkan cairan dari dalam sel tertarik dan
meningkatnya volume urin (poliuria). Meningkatnya volume urin
mengakibatkan dehidrasi berat dan juga hilangnya kalium. Dehidrasi
yang terjadi pada penderita hiperglikemik hiperosmolar nonketonik
lebih berat dibandingkan pada penderira ketoasidosis diabetik.

47
Gejala dan Tanda Klinis
Tanda klinis yang muncul yaitu hiperglikemia (kadar glukosa
>600 mg/dL) dan hiperosmolaritas plasma (>300 mOsmol/L). Gejala
yang dialami penderita hiperglikemik hiperosmolar nonketonik yaitu
berupa dehidrasi berat, kulit kering, poliuria, gangguan neurologi,
hingga koma.

c. Hipoglikemia
Definisi
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg%
tanpa gejala klinis atau GDS < 80 mg% dengan gejala klinis.
Dimulai dari stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
Stadium gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan
kognitif sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik
yaitukeringat dingin pada muka, bibir dan gemetar dada berdebar-
debar. Stadium gangguan otak berat, gejala neuroglikopenik :
pusing, gelisah, penurunan kesadaran dengan atau tanpa
kejang1Ketoasidosis diabetik adalah suatu keadaan gangguan
metabolik yang disebabkan karena kekurangan insulin dan ditandai
dengan terjadinya hiperglikemia, asidosis, dan meningkatnya benda
keton. Kejadian ketoasidosis diabetik sering ditemukan pada
penderita diabetes mellitus tipe 1 dan jarang ditemukan pada
pendeita diabetes mellitus tipe 2. Terdapat berbagai faktor yang
menjadi pencetus terjadinya komplikasi ketoasidosis diabetik, yaitu
penderita berhenti menggunakan terapi insulin secara rutin, infark
miokard, diabetes mellitus tipe 1 yang tidak terdekteksi dan infeksi
yang merupakan faktor pencetus paling umum
Hipoglikemia adalah suatu keadaan di mana kadar glukosa
dalam darah berada di bawah kadar normal (3,0 mmol/L atau 60
mg/dL). Kondisi hipoglikemia sering terjadi pada penderita diabetes
yang mendapat terapi insulin dan kadang juga terjadi pada penderita

48
diabetes yang mendapat terapi obat hipoglikemik oral golongan
sulfonilurea (glibenklamid, glimepirid, gliklazid) dan glinid
(repaglinid, nateglinid) yang bekerja dengan cara meningkatkan
sintesis insulin.
Faktor Pencetus
Terdapat beberapa faktor pencetus yang dapat menyebabkan
hipoglikemia antara lain:
1) Kesalahan dalam penggunaan insulin
2) Mengurangi jumlah asupan makanan
3) Aktivitas yang berlebihan
4) Penggunaan alkohol
Kondisi yang menyebabkan hipoglikemia pada penderita
diabetes adalah penderita mengurangi jumlah asupan makanan atau
tidak makan dalam jangka waktu yang lama setelah penyuntikan
insulin atau konsumsi obat hipoglikemik oral, sehingga kadar
glukosa dalam darah turun karena asupan karbohidrat tidak
sebanding dengan jumlah insulin yang tinggi setelah penyuntikan.
Kondisi lain yang dapat menyebabkan hipoglikemia adalah aktivitas
berlebihan, yang akan menurunkan glukosa darah karena glukosa
banyak diubah menjadi energi untuk beraktivitas, sedangkan kadar
insulin dalam tubuh tinggi. Kadar insulin yang tinggi dapat
mengakibatkan penurunan glukosa yang cepat dan menstimulasi
tubuh untuk meningkatkan glukosa dalam darah dengan cara
mengubah glikogen menjadi glukosa. Selain itu, memicu rangsang
lapar oleh otak dan aktivasi sistem saraf simpatik yang berupa
peningkatan denyut jantung, tekanan darah, stimulasi kelenjar
keringat untuk mengeluarkan keringat dingin, stimulasi sistem saraf
untuk meningkatkan kecemasan dan bergetar. Hipoglikemia dapat
menyebabkan asupan glukosa sebagai energi di otak berkurang,
sehingga mengakibatkan penderita pingsan dan kejang. Kejadian

49
hipoglikemia ini biasanya terjadi di antara waktu makan dan pada
waktu tengah malam.

Gejala
Gejala hipoglikemia terdiri dari berbagai tingkatan. Pasien
biasanya mengalami gejala awal peringatan munculnya
hipoglikemia, namun bila tidak segera diatasi dapat sampai pada
tahap yang lebih serius yaitu neuroglikopenia. Neuroglikopenia
adalah suatu keadaan di mana otak kekurangan energi utama
(glukosa) sehingga mengganggu fungsi otak. Gejala awal
hipoglikemia yaitu gemetar, berkeringat, pusing, lapar, palpitasi,
wajah pucat, dan mudah lelah. Tingkatan gejala hipoglikemia yang
mengarah pada neuroglikopenia antara lain:
1) Gejala ringan, yaitu penglihatan kabur dan susah berkonsentrasi
2) Gejala sedang, yaitu pusing dan terjadi penurunan kesadaran
3) Gejala berat, yaitu pingsan dan kejang
Gejala tersebut merupakan gejala yang umum terjadi, namun gejala
dapat bervariasi pada masing-masing orang, sehingga pasien
diabetes diharapkan untuk mengenali gejala hipoglikemia yang
muncul pada dirinya.

2. Komplikasi Kronis
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentran
terjadi komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi
peningkatan jalur polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non
enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang
menyebabkan peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya
menyebabkan komplikasi baik vaskulopati, retinopati, neuropati
ataupun nefropati diabetika.

50
Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu:
•Komplikasi mikrovaskular
•Komplikasi makrovaskular

Komplikasi Mikrovaskular
Nefropati, Retinopati, Neuropati. Timbul akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi mi spesifik untuk
diabetes melitus.
a. Retinopati diabetika
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala
berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata
yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan
Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal
dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh
darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina.
Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula
darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir
tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan
akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula
darah yang terlalu singkat.
b. Nefropati diabetika Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab
nefropati paling banyak, sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal
terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan
perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar
seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria).
Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri
persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retino pati dan hipertensi.

51
Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol
metabolisme dan kontrol tekanan darah.
c. Komplikasi Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering
terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM.
MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan
otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana
terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri
atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf
tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan
disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur
polyol, penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K
ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf,
demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

Komplikasi Makrovaskular
Penyakit kardiovaskuler/ Stroke/ Dislipidemia, Penyakit pembuluh
darah perifer, Hipertensi. Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-
pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma.
Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul
lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Hiperinsulinemia kini
dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam
timbulnya komplikasi makrovaskular.
a. Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu
faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-
70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul
insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal
serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu,
lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras
atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat

52
nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark
miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak
mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat
tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang
lebih teliti.
b. Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua
tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita
stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan
dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes.
Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri
vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: -
Pusing, sinkop - Hemiplegia: parsial atau total - Afasia sensorik
dan motorik - Keadaan pseudo-dementia
c. Penyakit pembuluh darah
Definisi
PAOD (Perifer Arterial Occlusive Disease) atau bisa juga
disebut PAD ( Perifer Arterial Disease) adalah penyumbatan pada
arteri perifer yang dihasilkan dari proses atherosklerosis atau
proses inflamasi yang menyebabkan lumen menyempit (stenosis),
atau dari pembentukan trombus (biasanya terkait dengan faktor
resiko yang menjadi dasar timbulnya atherosklerosis). Ketika
kondisi ini muncul maka akan terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan
perfusi ke area distal dan laju darah. Studi menunjukkan bahwa
kondisi atherosklerosis kronik pada tungkai bawah yang
menghasilkan lesi stenosis. Mekanisme dan proses hemodinamik
yng terjadi pada PAOD sangat mirip dengan yang terjadi pada
penyakit arteri koroner.
Tempat tersering terjadinya PAOD adalah daerah tungkai
bawah. Sirkulasi pada tungkai bawah berasal dari arteri femoralis

53
yang merupakan lanjutan dari arteri eksternal iliaka. Pecabangan
utama dari arteri femoralis adalah arteri femoralis distal (yang
biasanya dimaksudkan sebagai sreri femoralis superfisial) yang
berlanjut k bagian bawah tungkai dan menjadi arteri popliteal tepat
diatas lutut. Dua arteri utama pada akhir popliteal arteri adalah
arteri posterior dan anterior tibial yang menyuplai darah kebagian
bawah tungkai dan kaki. Berikut adalah gambar vaskularisasi
tungkai

Etiologi
Penyebab dari oklusi arteri perifer adalah danya stenosis
(penyempitan) pada arteri yang dapat disebabkan oleh reaksi
atherosklerosis atau reaksi inflamasi pembuluh darah yang
menyebabkan lumen menyempit. Faktor resiko dari penyakit
oklusi arteri perifer adalah
1. Merokok
2. Diet tinggi lemak atau kolesterol
3. Stress
4. Riwayat penyakit jantung, serangan jantung, atau stroke
5. Obesitas
6. Diabetes
7. Rheumatoid arthritis

Tanda Gejala
Tanda gejala utama adalah nyeri pada area yang
mnegalami penyempitan pembuluh darah. Tanda gejala awal
adalah nyeri (klaudikasi) dan sensasi lelah pada otot yang
terpengaruh. Karena pada umumnya penyakit ini terjadi pada kaki
maka sensasi terasa saat berjalan. Gejala mungkin menghilang saat
beristirahat. Saat penyakit bertambah buruk gejala mungkin terjadi
saat aktivitas fisik ringan bahkan setiap saat meskipun beristirahat.

54
Pada tahap yang parah kaki dan tungkai akan menjadi
dingin dan kebas. Kulit akan menjadi kering dan bersisik bahkan
saat terkena luka kecil dapat terjadi ulcer karena tanpa suplai darah
yang baik maka proses penyembuhan luka tidak akan berjalan
dengan baik.
Pada fase yang paling parah saat pembuluh darah
tersumbat akan dapat terbentuk gangren pada area yang
kekurangan suplai darah. Pada beberapa kasus penyakit vaskular
perifer terjadi secara mendadak hal ini terjadi saat ada emboli yang
menyumbat pembuluh darah. Pasien akan mengalami nyeri yang
tajam diikuti hilangnya sensari di area yang kekurangan suplai
darah. Tungkai akan menjadi dingin dan kebas serta terjadi
perubahan warna menjadi kebiruan

Klasifikasi

55
Patofisiologi
Patofisiologi Penyakit Arteri Perifer Pada Diabetes
Diabetes dan Inflamasi Vaskuler Inflamasi telah menjadi
petanda resiko bahkan faktor resiko penyakit aterotrombosis
termasuk PAD. Diabetes mellitus meningkatkan proses
pembentukan ateroma. Terdapat peningkatan kadar histamin pada
plasma dan sel pada pasien diabetes dengan PAD sehingga dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel. Akibatnya,
migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi dan aktivasi
sitokin meningkat. Monosit/makrofag menelan molekullow-density
lipoprotein (LDL) yang teroksidasi yang kemudian berubah
menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan membentuk
fatty streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma
akan menjadi tidak stabil oleh karena sel endotel pada pasien
diabetes ini mengeluarkan sitokin yang menghambat produksi
kolagen oleh sel otot polos pembuluh darah. Selain itu
metalloproteinase juga dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi ini
dimana zat ini dapat menghancurkan kolagenfibrous cap plak
ateroma sehingga meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya
ruptur plak dan pembentukan trombus
Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah
serta adanya kecenderungan terjadinya trombosis memberikan
dampak terhadap kejadian aterosklerosis dan komplikasinya. Oleh
karena posisi anatomis yang strategis antara dinding pembuluh
darah dengan aliran darah, sel endotel dapat mengatur fungsi dan
struktur pembuluh darah. Pada keadaan normal, banyak zat aktif
disintesis dan dilepaskan oleh sel endotel untuk mempertahankan
homeostasis pembuluh darah sehingga dapat mempertahankan
aliran darah serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah terjadinya
trombosis dan diapedesis leukosit

56
Pemeriksaan diagnostik
a. Ankle Brachial Indeks
Pemeriksaan ABI adalah uji noninvasif yang cukup akurat
untuk mendeteksi adanya PAD dan untuk menentukan derajat
penyakit ini. ABI merupakan pengukuran non-invasif ABI
didefinisikan sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada
kaki dengan tekanan darah sitolik padalengan. Kriteria
diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai
berikut:

b. Toe-Brachial Index (TBI)


TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang
dilakukan pada pasien diabetes dengan PAD khususnya pada
pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh darah
ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat
tertekan dengan menggunakan teknik tradisional (ABI, indeks
ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya sebagai

57
indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75
dikatakan normal atau tidak terdapat stenosis arteri.
c. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)
Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut
plethysmography merupakan suatu tes yang mengukur aliran
darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi yang
mewakili aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor
dalam bentuk gelombang. PVR juga dapat digunakan pada
pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada arteri bagian
medial (ABI > 1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia
tua, pasien yang menderita diabetes cukup lama atau pasien
yang menderita penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan
PAD berat, PVR juga dapat memprediksi apakah kaki yang
terkena PAD ini memiliki cukup aliran darah atau tidak untuk
bertahan atau jika akan dilakukan amputasi pada kaki tersebut.
Interpretasi dari tes ini dapat menyediakan informasi mengenai
derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri yang masih
sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi dengan puncak
yang tajam yang menunjukkan aliran darah mengalir dengan
lancar. Namun jika arteri tersebut mengalami penyempitan atau
obstruksi maka akan terlihat gelombang yang pendek dan
memiliki puncak yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan
pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD berkisar
antara 90-95%.
d. Ultrasonografi dupleks
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam
menilai sistem arteri perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini
tidak memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik sehingga
alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan
penggunaan angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008).
Modalitas diagnostik ini juga dapat digunakan sebagai alat

58
pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada sekitar
90% pasien dengan PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas
untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis pada PAD
berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007) Dupleks
ultrasonografi juga dapat menggambarkan karakteristik dinding
arteri sehingga dapat menentukan apakah pembuluh darah
tersebut dapat diterapi dengan distal bypass atau tidak. Selain
itu, alat ini juga dapat digunakan untuk menentukan apakah
suatu plak pada arteri tersebut merupakan suatu resiko tinggi
terjadinya embolisasi pada bagian distal pembuluh darah pada
saat dilakukan intervensi endovascular.
e. Computed Tomographic Angiography (CTA)
Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer
telah berkembang seiring perkembangan multidetector scanner
(16- atau 64-slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk
mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 95-
99%. Seperti halnya ultrasonografi dupleks, CTA juga
menyediakan gambaran dinding arteri dan jaringan sekitarnya
termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer,
karakteristik plak, kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang
lunak, hiperplasia tunika intima, in-stent restenosis dan fraktur
stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal
penggunaannya pada pasien dengan insufisiensi renal sedang-
berat yang belum menjalani dialysis.
f. Magnetic Resonance Angiography (MRA)
MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko
rendah terhadap kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang
memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I Level of
Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah
yang hampir sama dengan gambaran pembuluh darah pada
pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006). Modalitas

59
pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras
yang digunakan (gadolinium-based contrast) tidak terlalu
nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang digunakan pada
CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas
alat ini untuk mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan
angiografi kontras adalah sekitar 80-90%.
g. Contrast Angiography
Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang
cukup aman dan merupakan teknologi yang cukup menjanjikan
namun pemeriksaan yang masih merupakan standar baku emas
untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi
kontras.Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai
anatomi arteri dan direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I,
Level of Evidence A) untuk pasien PAD khususnya yang akan
menjalani tindakan revaskularisasi. Seperti halnya pemeriksaan
yang menggunakan media kontras, prosedur angiografi kontras
juga memerlukan perhatian khusus mengenai resiko terjadinya
nefropati kontras.
Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya mendapatkan
hidrasi yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-
acetylcysteinesebelum dan setelah tindakan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl) dapat
dilakukan sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi
ginjal. Selain itu pasien diabetes yang menggunakan obat
metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah
angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum
tindakan dan 2 hari setelah tindakan untuk menurunkan resiko
asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral sebaiknya
dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan.
Evaluasi klinis termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran
fungsi ginjal direkomendasikan untuk dilakukan dua minggu

60
setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek
samping lanjut seperti perburukan fungsi ginjal atau adanya
cedera pada daerah akses kateter pembuluh darah
h. Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar
oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot.
i. Diperiksa foto toraks untuk melihat kardiomegali,
j. Hematokrit untuk melihat polisitemia
k. Analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat
mioglobin di urine.
l. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis.
m. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta
abdominal.
n. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan
dan penyempitan.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti
klaudikasio, meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya
komplikasi, serangan penyakit jantung , stroke dan amputasi .
pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan,
faktor resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang. 3
pendekatan utama pengobatan PAD adalah dengan mengubah gaya
hidup, terapi farmakologis dan jika dibutuhkan, dilakukan terapi
intervensi dengan operasi.

a. Terapi Non-farmakologi

61
1. Perubahan pola hidup
- Berhenti merokok

- Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)


- Menurunkan tekanan darah
- Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
- Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes
- Olahraga teratur

2. Terapi suportif
- Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan
memberikan krim pelembab.
- Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pasa dari bahan sintetis
yang berventilasi
- Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke
kulit
- Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40
menit

b. Terapi farmakologis
Terapi Farmakologi Dapat diberikan untuk menurunkan faktor resikoyang
ada seperti menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk
mengobati diabetes. Selain itu, terapi farmakologis juga diberikan untuk
mencegah terjadinya thrombus pada arteri yang dapat menyebabkan
serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien
ketika berjalan.
1. Anti cholesterol
Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala
klaudikasio intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama.
HMG-Co A reductase inhibitor (Simvastatin) secara signifikan
mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular iskemik sebesar 23%.
Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa statin juga meningkatkan
jarak berjalan bebas rasa sakit dan aktivitas rawat jalan

62
2. Anti hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta
blocker, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin
receptor blocker (ARB), dan calcium channel blockers semua efektif.
Penggunaan beta blockers aman dan efektif; mengurangi kejadian
koroner baru sebesar 53% pada mereka dengan MI sebelumnya dan
gejala PAD yang bersamaan.
3. Anti platelet
Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI,
stroke dan kematian vascular pada pasien PAD. ACC/AHA guidelines
telah merekomendasikan penggunaan antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to
325 mg daily, or clopidogrel, 75 mg daily) pada pasien PAD dengan
aterosklerosis pada ekstrimitas bawah. Cilostazol (Pletal), adalah
reversible phosphodiesterase inhibitor yang menghambat agregasi
platelet, pembentukan thrombin dan proliferasi otot polos pembuluh
darah, memicu vasodilatasi dan meningkatkan HDL dan menurunkan
kadar TG. Pedoman ACC / AHA telah memberikan cilostazol sebagai
rekomendasi grade IA kelas untuk pasien dengan klaudikasio intermiten
dengan dosis 100 mg dua kali sehari (diminum pada saat perut kosong
setidaknya ½ jam sebelum atau 2 jam setelah sarapan dan makan
malam). Efek samping yang umum dari cilostazol termasuk sakit kepala
(30% pasien), diare dan gangguan lambung (15%), dan palpitasi (9%).
Efek samping hanya berjangka pendek dan jarang dilakukan
penghentian obat. Kontraindikasi obat ini adalah pasien dengan gagal
jantung.

c. Operasi
Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau
membuka sumbatan dengan cara mendorong plak ke dinding arteri.
Operasi By-pass

63
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi
dengan angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini
biasanya bebas dari gejala dan tidak mengalami komplikasi apapun
sesudahnya

I. Prognosis
Prognosis diabetes mellitus bergantung pada tipe dari diabetes tipe
1 atau 2 dan bergantung pada terdapatnya komplikasi serta tingkat
keparahan dari komplikasi tersebut. Komplikasi biasanya terjadi setelah
10-20 tahun menderita diabetes. Walaupun pada beberapa individu, dapat
terjadi komplikasi yang terjadi 4-7 tahun sebelum didiagnosis. Diabetes
dengan pengobatan terkontrol (HbA1c <7%) dapat menurunkan resiko

64
retinopati diabetikum sebesar 76% dan nefropati diabetikum sebesar 65%
serta neuropati diabetikum sebesar 55% setelah 8 tahun18.

65
II. Anemia
A. Definisi
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya
untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.
Krteria Anemia: Parameter yang paling umum dipakai untuk
menunjukkan penurunan masa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul
oleh hematokrit dan hitung eritrosit. WHO menetapkan cutt of point
anemia yaitu:
Kelompok Kriteria anemia
(Hb)
Laki laki dewasa < 13 gr/dl
Wanita dewasa (tdk hamil) < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl

B. Etiologi dan Klasifikasi


Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh
bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:
gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, perdarahan, proses
penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisa).
Klasifikasi derajat anemia berdasarkan WHO adalah:
1) anemia sangat ringan : Hb 10 gr% - 13 gr%
2) anemia ringan : Hb 8 gr% - 9.9 gr%
3) anemia sedang : Hb 6 gr% - 7.9 gr%
4) anemia berat : Hb < 6 gr%
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Etiopatogenesisnya:
a. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
1. kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
 anemia defisiensi besi
 anemia defisiensi asam folat
 anemia defisiensi vitamin B12

66
2. gangguan penggunaan (utilisasi) besi
 anemia akibat penyakit kronik
 anemia sideroblastik
3. kerusakan sumsum tulang
 anemia aplastik
 anemia mieloptisik
 anemia pada keganasan hematologi
 anemia pada sinrom mielodisplastik
 anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal
kronik
b. Anemia akibat hemoragi
1. anemia pasca perdarahan akut
2. anemia akibat perdarahan kronik
c. Anemia hemolitik
1. anemia hemolitik intrakorpuskular
 gangguan membran eritrosit
 gangguan enzim eritrosit : anemia akibat defisiensi G6PD
 gangguan hemoglobin
 thalasemia
 hemoglobinopati struktural
2. anemia hemolitik ekstrakorpuskuler
 anemia hemolitik autoimun
 anemia hemolitik mikroangiopatik
 lain lain
d. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi25
a. anemia hipokromik mikrositer
1. anemia defisiensi besi
2. thlasemia mayor

67
3. anemia akibat penyakit kronik
4. anemia sideroblastik
b. anemia normokromik normositer
1. anemia pasca perdarahan akut
2. anemia aplastik
3. anemia hemolitik didapat
4. anemia akibat penyakit kronik
5. anemia pada gagal ginjal kronik
6. anemia pada sindrom mielodisplastik
7. anemia pada keganasan hematologik
c. anemia makrositer
1. bentuk megaloblastik
 anemia defisiensi asam folat
 anemia defisiensi B12, termasuk anemia persinosa
2. anemia non megaloblastik
 anemia pada penyakit hati kronik
 anemia pada hipotiroidisme
 anema pada sinrdrom mielodisokstik

C. Diagnosis
Manifestasi klinis anemia adalah hasil dari kurangnya perfusi
oksigen ke jaringan walau apa pun etiologi yang mendasari suatu anemia
itu. Angka kejadian, tingkat penurunan sel darah merah,volume plasma,
dan pernafasan mempengaruhi tanda - tanda dan gejala anemia mencakup :
 Palpitasi
 Pusing
 Sinkop
 Pucat (pallor) pada kulit,konjungtiva, mukosa oral atau nail bed
 Dispnoe
 Takikardi

68
Anemia karena penyakit kronis (Anemia of Chronic Disease, ACD)
sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan dan disebut sebagai anemia pada
penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis ditandai oleh
kadar Hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai TIBC (Total
Iron Binding Capacity) yang rendah, cadangan Fe yang tinggi di jaringan
serta produksi sel darah merah berkurang. Selain itu, indeks dan morfologi
eritrosit yang normositik normokromik atau hipokrom ringan (MCV
jarang <75 fL).
Hiperglikemia yang berlangsung lama ditambah dengan adanya
AGEs akan menyebabkan terjadinya penebalan difus membran basal
glomerulus dan terjadi bersamaan dengan adanya lesi berupa peningkatan
difus matriks mesangium, yang pada tahap selanjutnya berkembang
menjadi glomerulosklerosis nodular. Glomerulosklerosis terjadi setelah 5
sampai 10 tahun pasien menderita DM. Glomerulosklerosis ini ditandai
dengan adanya lesi glomerulus yang berakibat terjadinya fibrosis
interstisium. Fibrosis interstisium menyebabkan fibroblas tidak bisa
bekerja maksimal untuk memproduksi eritropoietin sehingga terjadi
defisiensi eritropoietin. Terjadinya defisiensi eritropoietin ini akan
semakin meningkatkan risiko terjadinya anemia pada pasien DM.

Tabel : Diagnosis Diferensial Anemia Penyakit Kronis25

Anemia Anemia Thalasemia Anemia


Penyakit Kronik Defisiensi Besi Sideroblastik

Derajat Ringan Ringan sampai Ringan Ringan sampai


anemia berat berat

MCV Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

MCH Menurun/N Menurun Menurun Menurun/N

69
Besi serum Menurun <0 Menurun <30 Normal/ Normal/

TIBC Menurun <300 Meningkat >360 Normal/ Normal/

Saturasi Menurun/N 10- Menurun <15% Meningkat >20% Meningkat >20%


transferin 20%

Besi sumsum Positif Negatif Positif kuat Positif dengan


tulang ring sideroblast

Protoporfirin Meningkat Meningkat Normal Normal


eritrosit

Feritin serum Normal 20-200 Menurun <20 Meningkat >50 Meningkat >50
µg/l µg/l µg/l µg/l

Elektrofoesis N N HbA2 meningkat N


Hb

D. Penatalaksanaan
Pengobatan anemia dapat berupa :
 terapi untuk keadaan darurat seperti misalnya pada perdarahan akut
akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien atau pada
anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan
hemodinamik
 terapi suportif
 terapi yang khas untuk masing-masing anemia
 terapi kausal untuk menggobati penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.
 transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan
gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik, transfusi hanya
diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman
payah jantung.
 Preparat besi

70
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih
dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi
dengan alasan besi adapat mencegah pembentukan TNF-a. Alasan
lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat
terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro
dan kontra, sampai saat ini pemberian preparat besi belum
direkomendsikan untuk diberikan pada pasien anemia penyakit
kronik.

III. Kaki Diabetik Charcot Foot


Definisi dan Klasifikasi
Charcot neuroarthropati adalah penyakit artropati degeneratif yang
progresif yang jarang menjadi komplikasi diabetes melitus. Penyakit ini
sering mengenai kaki yang terjadi karena adanya neuropati, osteopaenia dan
adanya sitokin proinflamasi pada pembuluh darah perifer yang kalsifikasi
tetapi masih vasodilatasi walaupun banyak pembuluh darah yang sudah
ateroskeloris disekitarnya dan trauma sering menjadi faktor pencetus dari
Charcot Foot ini
Klasifikasi
Sistem Brodsky membedakan Charcot Foot menjadi 4 tipe berdasarkan letak
anatominya, yaitu:
 Tipe 1: destruksi pada sendi tarsometatarsal / Lisfranc’s

 Tipe 2: mengenai hindfoot.

 Tipe 3a: mengenai sendi ankle.

 Tipe 3b: mengenai kalkulus bagian posterior.

 Tipe 4: mengenai beberapa regio kaki.

 Tipe 5:mengenai fore foot.

71
Stadium Karakteristik

0 (at risk stage) Neuropati perifer, sprain atau fraktur pada ankle

1 (fase akut/development phase) Tanda inflamasi akut, radilogis tampak efusi

sendi, fragmentasi tulang dan subluksasi sendi.

2 (fase subakut/coalesent) Edema, kemerahan, dan hangat mulai berkurang.

Pada gambaran radilogis tampak tulang sklerotik

di sekitar sendi, resopsi debris intraartikuler dan

fusi fragmen tulang

3 (fase rekonstruksi) Resolusi inflamasi, pada gambaran radilogis

tampak remodeling tulang dan reformasi

arsitektur sendi.

Tabel 1. Stadium Charcot Foot berdasarkan gambaran klinis dan

radiologis

Epidemiologi
Diabetes adalah penyakit yang semakin banyak terjadi diseluruh dunia
dikarenakan perubahan gaya hidup dan perubahan pola makan. Prevalensi
diabetes di seluruh dunia sekarang diperkirakan sebanyak 5.1 % dan
diprediksikan akan mencapai 7.7 % pada tahun 2030.
Penyaktit Charcot Foot yang berat dan deformitas yang irreversibel bisa
akhirnya akan membutuhkan amputasi. Tetapi, diagnosis yang cepat dan
intervensi yang dini pada fase akut dari Charcot neuro-osteoartropathy bisa
membatasi destruksi kaki dan bisa mencegah deformasi lanjut pada kaki.
Charcot neuro-osteoarthropati akan susah didiagnosa apabila telah muncul
gejala dan tampilan inflamasi. Untuk membedakan Charcot neuro-
osteoarthropati dari osteomielitis akan susah, khususnya apabila telah ada
ulkus. Terutama apabila Charcot neuro-osteoarthropati dan osteomielitis
terjadi sekaligus. Walaupun telah banyak modalitas untuk mendiagosa
penyakit ini, membedakan Charcot neuro-osteoarthropati dengan infeksi
lainnya tetap sulit.

72
Patofisiologi
Patogenesi dari Charcot foot masih belum terlalu jelas, tetapi neuropati
dan inflamasi adalah penyebabnya. Pada penelitian pada 101 kasus Charcot
foot didapatkan neuropati terdapat pada seluruh pasien. Tetapi trauma adaah
faktor pencetus dari inflamsi yang terjadi. Trauma akan meneyabkan
mikrofraktur, subluksasi atau dislokasi. Sendi yang tidak normal ini akan
semakin parah dengan adanya neuropati karena neuropati menyebabkan
penderita kurang merasakan sakit dan tetap menopang beban yang berat yang
akan menyebabkan perburukan kondisi sendi. Neuropati dan diabetes sering
berasosiasi dengan osteopenia, yang memiliki resiko akan terjadinya
mikrofraktur.
Pada suatu peneltian dikatakan bawha densitas tulang yang kurang pada
kaki akan menyebabkan perkembangan Charcot Foot dibandingkan dengan
orang yang densitas tulangnya tinggi. Telah terbukti bahwa dengan adanya
neuropati proses sembuh pada faktur yang terjadi akibat trauma akan
terganggu. Dengan adanya perubahan integiritas ligamen, yang terjadi pada
fase akut neuropati bisa menjadi faktor predileksi keterlibatan sendi pada
penyakit ini. Keterbatasan gerak pada sendi metatarsophalangeal jari pertama
dan disfungsi plantar fascia telah menyebabkan Charcot neuroarthropathy
pada kaki.
Walaupun belum jelas apakan faktor ini penyebab atau akibat kerusakan
sendi pada Charcot Foot, tetapi pasien dengan Charcot neuroarthropathy akut
banyak yang memiiliki tekanan yang tinggi pada sendi metatarsophalangeal
dibandingkan dengan pasien ulserasi neuropati.
Secara histoligi ditemukan bahwa osteoklas melebihi osteoblas pada
tulang dari Charcot Foot, osteoklas ini menunjukan aktifitas imunoreaktifitas
dari interleukin 1, interleukin6,, dan tumor nekrosis alfa. Sedangkan cascade
inflamasi nya dicetuskan oleh sitokin proinflamasi, TNF alfa dan interleukin
1 beta yang juga akan mencetuskan nuclear transcription factor-kappa B
(NF-κB) dan semua faktor ini juga akan menyebabkan aktifitas osteoklas
meningkat. Kalsifikasi pembuluh darah juga terjadi pada Charcot

73
neuroarthropathy, tetapi walaupun adanya kalsifikasi, pembuluh darahnya
tetap dilatasi yang nanti akan menybabkan inflamasi.

Gejala Klinis
Pada fase akut kaki tampak bengkak dengan eritema unilateral dan udema.
Temperatur kaki yang sakit lebih 2°C lebih tinggi dari kaki kontralateral.
Sendi kaki dan kaki adalah bagian yang paling sering terlibat pada
neuropathic arthropathy. Biasanya gejala klinis muncul pada kaki bagian
tengah (mid foot) tetapi bisa juga pada telapang kaki bagian depan (hind
foot) ataupun belakang (forefoot). Nyeri bisa muncul atau tidak tergantung
dari kerusakan sarafnya. Kulit pada kaki yang sakit akan terasa kering,
terdapat juga neuropati sensorik, dan hilangnya sensasi getar dan
proprioseptif. Kaki menjadi tidak stabil karena kolapsnya longitudinal foot
arch. Pada fase akut ini kerusakan tulang dan sendi. Pada fase ini diagnosis
dini dan tatalaksana yang cepat diperlukan agar mencegah kerusakan lanjut
tulang dan sendi dan immobilitas dengan total contact casting bisa mejadi
intervensi yang dini pada penyakit ini.
Pada fase kronik gejala klinis kulit yang hangat dan merah tidak ada lagi
tetapi udema masih tetap ada. Krepitasi dan osteofit yang besar adalah akibat
dari kerusakan lanjut dari tulang dan kartilagonya. Deformitas sendi dan
subluksasi atau bahkan dislokasi dari metatarsal bisa menyebabkan terjadinya
rocker-bottom-type deformity yaitu tulang cuboid menjadi tulang tempat
menunpu bert badan. Akibat deformitas, perubahan tempat penunpu berat
badan, hilangnya plantar arch, berkurangnya sensasi dan fungsi kaki
menyebabkan kaki rentan terhadap peningkatan tekanan dan trauma yang bisa
mengarah ke terbentuknya kalus, blister bahkan ulkus. Ulkus bisa
menyebabkan infeksi seperti selulitis dan osteomielitis yang bisa mengarah
ke amputasi kaki.

74
Gambar Deformitas pada Charcot neuroarthropathy

Diagnosis
Diagnosis Charcot joint dibuat berdasarkan gambaran klinis, termasuk adanya
defisit sensoris, ditambah dengan bukti penunjang berupa gambaran
radiologis yang mendukung.
Ada 2 bentuk klinis charcot joint yaitu:
1. Arthropati neuropati akut yaitu bentuk charcot joint resorptif atau atropi.

Perjalanan penyakit berlangsung cepat (beberapa minggu), sendi yang

terkena terasa nyeri, tampak bengkak, hangat, dan eritematous. Bentuk ini

umumnya mengenai sendi non weight-bearing, dan sering didiagnosis

sebagai infeksi atau tumor. Untuk membedakan antara proses charcot

joint dengan infeksi digunakan tes dari Brodsky. Pasien diposisikan

supine, tungkai yang terkena dielevasikan 5-10 menit. Jika udem dan

rubor/kemerahan menetap maka dicurigai sebagai infeksi, dan jika

berkurang dicurigai sebagai charcot joint. Pada gambaran radiologis akut

75
tampak udema jaringan lunak di sekitar sendi, resorpsi tulang yang

berbatas tegas dengan daerah yang intak, dan debris tulang di sekitar area

yang diresorbsi.

2. Pada gambaran kronik didapatkan formasi masif tulang periartikuler,

osteofit-osteofit besar, dislokasi dan fragmentasi tulang, subliksaisi sendi,

fraktur patologis, dan kombinasi antara resorpsi dan eburnasi tulang.2

Gambar Algoritma diagnosa charcot foot

Pemeriksaan Radiologi Konvensional


Pemeriksaan radiologi konvensonal sangat diperlukan pada diagnosa
Charcot Foot untuk melihat bentuk anatominya, pada tahap awal anatominya
bisa normal atau memperlihatkan sedikit saja perubahan tetapi pada tahap
lanjut akan terlihat destruksi tulang, destruksi sendi, fragmentasi dan
remodeling. Tetapi apabila terdapat kerusakan sendi dan tulang yang sangat

76
parah penyakit ini sulit dibedakan dengan osteomielitis9. Untuk
menyingikirkan kemungkinan osteomielitis dibutuhkan pemeriksaan
penunjang yang lain seperti MRI, computerized tomography, In-111 dan Tc-
99. Jika setelah pemeriksaan ini masih diragukan diagnosanya bisa dilakukan
biopsi tulang pada pasien.
Pada foto polos bisa tampak demineralisasi pada forefoot, destruksi tulang
dan reaksi periosteal, bisa juga perubahan lain seperti deformitas pencil and
cup sendi tulang metatarsophalangeal atau adanya fragmentasi dari kepala
metatarsal. Pada midfoot bisa terdapat dislokasi atau fraktur yang terjadi
setelah pembengkakan sendi dan kelemahan dari ligamen.

Menunjukan deformitas
tulang dan sendi ankle
pada Charcot
neuroarthropathy

deformitas Charcot Foot,


menunjukan dislokasi sendi
tarsometatarsal dengan
putusnya garis talo-first
metatarsal (garis pututs-
putus) dan kurangnya
sudut inklinasi calcaneal
(garis sambung).

77
Progresifitas Charcot
neuro-osteoartropathy
yang menunjukan proses
dari dislokasi sendi
Lisfranc

Tatalaksana
Tatalaksana secara umum charcot foot adalah sebagai berikut:
1. Regulasi gula darah.

Kondisi-kondisi yang menyebabkan neuropati perifer harus dikoreksi

untuk mencegah progresifitas penyakit.

2. Imobilisasi

Waktu imobilisasi pada pernyakit ini tergantung lokasi mana yang terkena.

Apabila midfoot , imobilisasi selama 10-12 minggu dan 4-10 minggu

dengan sepatu atau gips dengan sistem protected weight-bearing. Jika

hindfoot, immobilisasi dan tidak menanggung beban apapun pada kaki

yang sakit selama 10-12 minggu dan 6-12 bulan dengan sepatu atau gips

dengan sistem protected weight-bearing. Setelah stabilisasi dicapai, pasien

harus diberikan sepatu yang melindungi kaki. Stabilisasi ini ditandai

dengan turunnya temperatur kaki yang sakit dan hilang nya udem.

3. Orthosis

Diberikan untuk mengurangi beban pada kaki dan mengurangi tekanan

pada plantar kaki. Ortosis yang sering digunakan adalah patellar tendon

78
brace. Sepatu custom mold juga perlu diberikan. Pemeriksaan kondisi kulit

harus selalu dilakukan untuk mencegah ulkus.

Tatalaksana charcot foot sesuai stage yang sedang berlangsung:

 Pada fase aktif, sendi harus segera dilindungi dari weight beraing yang

berlebihan.

 Pada kasus yang berat, dimana terjadi charcot joint bilateral, pasien

harus di bedrest kan. Pada kasus yang ringan dan hanya terjadi

unilateral diberikan alat bantu kruk pada sisi kontralateral.

 Fraktur non displaced pada forefoot biasanya cukup diberikan sepatu

atau sandal dengan rocker sole dean weight bearing parsial. Lesi pada

hindfoot memerlukan full non weigth bearing selama fase resorpsi

untuk mencegah deformitas yang luas. Protected weigth bearing

diberikan sampai didapatkan tanda-tanda radiologis penyembuhan

tulang dan stabilitas, waktunya bervariasi mulai dari 6 minggu sampai

2 tahun. Pasien dengan deformitas kaki yang berlebihan memerlukan

custom made shoes.

 Semua pasien Charcot foot harus menggunakan ortosis minimal 1

tahun sampai didapatkan gambaran radiologis resolusi osteopenia dan

rekonstruksi densitas tulang yang normal. Tindakan bedah

diindikasikan apabila ada ulkus konik yang berulang. Tindakan yang

paling sering dilakukan adalah arthrodesis (fusi sendi), selain itu juga

bisa dilakukan total joint replacement, exostectomi penonjolan tulang,

osteotomi, tarsektomi parsial, dan lengthening tendon Achillles.

79
IV. Acute Kidney Injury
DEFINISI
Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar
kreatinin serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1,5
x kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam.
Kriteria untuk diagnosis dan klasifikasi AKI sesuai rekomendasi Acute
Dialysis Quantitative Initiative (ADQI) yang pada tahun 2002
memperkenalkan istilah 'acute kidney injury' serta memperhitungkan
berbagai faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit AKI, dan untuk
pertama kalinya dipresentasikan pada International Conference on
Continuous Renal Replacement Therapies di San Diego pada tahun 2003

Tabel Kriteria RIFLE Menurut ADQ


Kriteria LFG Kriteria Urine Output
(UO)
Risk Kenaikan SCr 1,5 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 25% (selama 6 jam)
Injury Kenaikan SCr 2 × UO < 0,5 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 50% (selama 12 jam)
Failure
Kenaikan SCr 3 × UO < 0,3 ml/kg/jam
atau penurunan LFG > 75% (selama 24 jam)
atau SCr ≥ 4 mg/dL atau anuria dalam 12 jam

Loss Gagal ginjal akut menetap (Loss = hilangnya fungsi ginjal >4
minggu)
ESRD End Stage Renal Disease (Gagal Ginjal Terminal) >3 bulan

*Keterangan
SCr : kadar kreatinin serum
UO : urine output
LFG : laju filtrasi glomerulus

80
Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN) menggunakan istilah
AKI untuk menggambarkan spektrum kerusakan ginjal secara akut, yaitu
proses yang menyebabkan kerusakan ginjal dalam waktu 48 jam dan
didefinisikan sebagai peningkatan kreatinin serum (≥ 0,3 mg/dl atau
peningkatan 50%) atau penurunan produksi urin (keadaan oliguria < 0,5
ml/kg/jam lebih dari 6 jam). Kriteria AKI menurut AKIN dibagi atas
beberapa tahapan seperti pada Tabel 2 dibawah ini.
Tabel Kriteria AKI Menurut AKIN

Tahap Kriteria Klinis Kriteria Jumlah Urine


1 (RIFLE – R) Peningkatan kreatinin serum > 0,3 mg/dL atau < 0,5 ml/kg/jam selama
peningkatan kreatinin serum 1,5 sampai 2 kali 6 jam
dari keadaan normal

2 (RIFLE – I) Peningkatan kreatinin serum 2 sampai 3 kali < 0,5 ml/kg/jam


dari keadaan normal selama 12 jam

3 (RIFLE – F) Peningkatan kreatinin serum > 3 kali dari < 0,3 mL/kg/jam selama
normal atau 24 jam atau
kreatinin serum > 4 mg/dL dengan peningkatan anuria selama 12 jam
akut > 0,5 mg/dL

Kriteria AKI menurut AKIN sebenarnya tidak berbeda dengan kriteria


RIFLE. Kriteria RIFLE R, I, dan F sama dengan kriteria AKIN pada tahap l,
2 dan 3. Pada kriteria menurut AKIN, kriteria L dan E dihilangkan karena
dianggap sebagai prognosis, bukan tahapan penyakit. Selain itu, perubahan
pada kriteria laju filtrasi glomerulus (LFG) dilakukan berdasarkan penelitian
terbaru bahwa kenaikan serum kreatinin sebesar 0,3 mg/dl sudah
meningkatkan angka kematian 4 kali lebih banyak, serta sulitnya penggunaan
LFG sebagai parameter penurunan fungsi ginjal, terutama jika pasien berada
dalam keadaan kritis atau dirawat di ruang intensif.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat kita menggunakan
kriteria tersebut, yaitu :
❖ Tidak ada perbedaan dalam umur dan jenis kelamin

81
❖ Dilakukan pemeriksaan kadar kreatinin serum paling sedikit 2 kali
dalam 48 jam
❖ Dalam menentukan urine output, hidrasi pasien harus dalam keadaan
normal dan tidak ada obstruksi pada saluran kemih
❖ Diagnosis AKI harus dilengkapi dengan tahapan penyakit sesuai
kriteria RIFLE atau kriteria AKIN.
❖ Perlu dibedakan antara diagnosis AKI, penyakit ginjal kronis, atau
perburukan fungsi ginjal pada chronic kidney disease (acute on CKD).

EPIDEMIOLOGI
Data epidemiologi mengenai AKI sulit ditemukan, antara lain dikarenakan
tidak adanya keseragaman mengenai definisi dan variasi gejala klinik yang
luas sehingga sulit untuk membuat review kepusatakaan atau meta analisis.
Dengan digunakannya kriteria RIFLE sebagai dasar diagnosis, ternyata
ditemukan angka kejadiannya jauh meningkat. Angka kejadian AKI dapat
dikelompokkan menjadi yang terjadi di populasi umum (community based)
dan yang terjadi di rumah sakit (hospital based).
Tergantung kepada definisi yang digunakan, AKI merupakan komplikasi
yang terjadi pada 5-7% pasien yang masuk ke rumah sakit serta 30% pasien
yang dirawat di ICU. Dari seluruh kasus AKI, AKI pre renal mencakup
sekitar 55%, AKI intrinsik sekitar 40%, sedangkan AKI post renal mencakup
5% kasus.
Pada sebuah penelitian di Inggris, dengan kriteria RIFLE dilaporkan angka
kejadian AKI di populasi umum yang cukup tinggi, yaitu 1.811 kasus/juta
penduduk dan acute on CKD sebesar 336 kasus/juta penduduk.i Angka
kejadian AKI yang terjadi di rumah sakit juga dilaporkan mencapai 180 kasus
dari 1000 pasien yang dirawat.

82
ETIOLOGI
Etiologi AKI dibagi berdasarkan lokasi terjadinya kelainan dan gambaran
AKI yang ditimbulkan, yaitu prerenal, intra renal, dan post renal. Angka
kejadian etiologi prerenal mencapai 70% dari seluruh AKI yang terjadi di luar
rumah sakit dan 40% yang terjadi di dalam rumah sakit. Etiologi AKI
prerenal yang terjadi di luar rumah sakit biasanya disebabkan oleh diare,
muntah-muntah, demam, dan kekurangan cairan (cth: perdarahan). Pada AKI
prerenal yang terjadi di dalam rumah sakit paling sering disebabkan oleh
sepsis dan gagal jantung.
Etiologi intra renal dapat disebabkan oleh semua gangguan yang terjadi
intra renal, yaitu di tubulus, parenkim, glomerulus, dan di pembuluh darah
renal. Etiologi intra renal dapat terjadi pada penderita di dalam rumah sakit
atau merupakan kelanjutan proses AKI prerenal yang terjadi di luar rumah
sakit dikarenakan keterlambatan mendapatkan terapi sehingga berlanjut
menjadi tubular nekrosis akut (ATN). Penyebab tersering ATN adalah sepsis
(50%), nefrotoksik (35%) dan keadaan iskemia (15%).
Etiologi post renal dapat terjadi akibat adanya sumbatan pada saluran
kemih yang terjadi di ureter, pelvis renal, uretra, dan vesika urinaria. Pada
keadaan obstruksi terjadi peningkatan tekanan dalam kapsula bowman dan
penurunan tekanan hidrostatik sehingga terjadi penurunan LFG. Kejadian
AKI post renal lebih sering terjadi pada laki-laki dengan usia lanjut, dengan
adanya pembesaran prostat, atau dengan riwayat batu saluran kemih. Pada
wanita, obstruksi sering terjadi karena adanya keganasan yang menimbulkan
obstruksi pada saluran kemih.

83
Tabel Klasifikasi dan Penyebab Utama AKI
AKI Pre Renal :

1. Hipovolemia
a. Hemoragik, luka bakar, dehidrasi
b. Kehilangan cairan lewat Gl; muntah, diare, drainase
c. Kehilangan cairan lewat ginjal: diuretik, diuresis osmotik (misal DM), hipoadrenalisme.
d. Pankreatitis, peritonitis, trauma, luka bakar, dan hipoalbuminemia berat
2. Penurunan cadiac output:
a. Penyakit otot jantung, katup dan perikardium; aritmia, tamponade
b. Lain-lain: hipertensi pulmonal, emboli pulmonal masif, ventilasi mekanik
3. Perubahan rasio resistensi sistem vaskular renal:
a. Vasodilatasi sistemik: sepsis, antihipertensi, anestesi, anafilaksis
b. Vasokonstriksi renal: hiperkalemia, norepinefrin, epinefrin, siklosporin, tacrolimus,
amfoterisin
c. Sirosis dengan asites (sindrom hepatorenal)
4. Hipoperfusi renal dengan kegagalan respon autoregulasi renal: siklooksigenase inhibitor,
ACE inhibitor
5. Sindrom hiperviskositas: multipel mieloma, makoglobunemia, polisitemia

AKI Intrinsik :

1. Obstruksi vaskular renal (bilateral atau unilateral)


a. Obstruksi arteri renal: plak arteriosklerotik, trombosis, emboli, aneurisma, vaskulitis
b. Obstruksi vena renal: trombosis, kompresi
2. Penyakit glomerulus atau mikrovaskular renal
a. Glomerulonefritis dan vaskulitis
b. Sindrom hemolitik uremik, TTP, DlC, kehamilan toksik, hipertensi, nefritis radiasi, SLE
dan skleroderma
3. Nekrosis tubular akut
a. lskemik akibat AKI pre renal (hipovolemik, penurunan cardiac output, vasokonstriksi
renal, vasodilatasi sistemik), komplikasi obstetri (ruptur plasenta, perdarahan post
partum)
b. Toksin
❖ Eksogen: kontras, siklosporin, antibiotik (misalnya aminoglikosida), kemoterapi
(misalnya cisplatin), bahan organik (misalnya etilen glikol), asetaminofen.
❖ Endogen: rhabdomiolisis, hemolisis, asam urat, oksalat, diskrasia sel plasma
(misalnya mieloma)
4. Nefritis interstitial
1. Alergi antibiotik (misalnya β laktam, sulfonamida, trimetoprim, rifampisin), anti
inflamasi non steroid, diuretik, kaptopril
2. lnfeksi bakteri (misalnya pielonefritis akut, leptospirosis), cytomegalovirus, jamur
kandida
3. lnfiltrasi: limfoma, leukemia, sarkoidosis
4. ldiopatik
5. Obstruksi tubulus: protein mieloma, asam urat, oksalat, asiklovir, metotreksat, sulfonamid
6. Renal allograft rejection

84
AKI Post Renal :

1. Ureter : Kalkuli, bekuan darah, sumbatan pada papilla, keganasan, kompresi ekstemal
(misalnya fibrosis retroperitoneal)
2. Bladder neck : neurogenic bladder, hipertropi prostat, kalkuli, keganasan, bekuan darah
3. Uretra : striktur, katup kongenital, fimosis

PATOFISIOLOGI
Gangguan ginjal akut adalah suatu proses multifaktor yang meliputi
gangguan pada sistem hemodinamik renal, obstruksi tubulus renalis,
gangguan sel, dan metabolik. Patofisiologi terjadinya AKI terdiri dari
kumpulan kejadian yang sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada
etiologi penyebab AKI. Patofisiologi AKI memiliki gambaran yang berbeda
pada setiap klasifikasi penyebab AKI, yaitu prerenal, intra renal, dan post
renal.
Patofisiologi AKI Prerenal
Pada AKI prerenal, respon yang terjadi merupakan reaksi dari fungsi
ginjal terhadap keadaan hipoperfusi ginjal tanpa melibatkan gangguan
pada struktur ginjal. Pada keadaan ini, integritas jaringan ginjal masih
terpelihara dengan adanya mekanisme autoregulasi ginjal. Berkurangnya
perfusi ginjal akan menyebabkan perangsangan aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron (RAAS) yang mengakibatkan peningkatan kadar
angiotensin II. Peningkatan kadar angiotensin II menimbulkan
vasokonstriksi arteriol efferen glomerulus ginjal. Angiotensin II juga
berperan pada arteriol afferen glomerulus, tetapi efeknya akan
meningkatkan hormon-hormon vasodilator prostaglandin sebagai upaya
kontraregulasi. Vasokonstiksi pada arteriol efferen dilakukan untuk
mempertahankan tekanan kapiler intra glomerulus serta LFG agar tetap
normal.
Mekanisme autoregulasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

85
Gambar Mekanisme Autoregulasi Intra renal pada Keadaan
Penurunan Tekanan Perfusi dan Penurunan LFG

Gangguan hemodinamik juga merangsang sistem saraf simpatis


sehingga terjadi perangsangan sekresi dari hormon-hormon aldosteron dan
vasopressin yang berakibat pada peningkatan reabsorbsi natrium, urea, dan
air pada segmen distal nefron sehingga terjadi retensi urine dan natrium.
Mekanisme autoregulasi ini dapat terganggu atau tidak dapat
dipertahankan apabila gangguan hipoperfusi ginjal menjadi lebih berat
atau berlangsung lama.

Patofisiologi AKI Intra Renal


Penyebab utama AKI intra renal adalah terjadinya ATN akibat proses
iskemia atau toksik. Nekrosis tubular akut sering diakibatkan oleh etiologi
multifaktorial dan biasa terjadi pada penyakit akut yang disertai sepsis,
hipotensi, atau penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik. Sepsis
86
merupakan penyebab utama ATN pada pasien-pasien yang dirawat di ICU
(35-50%) dan setelah tindakan operasi (20-25%). Berbeda dengan AKI
prerenal, pada AKI intra renal telah terjadi gangguan pada struktural ginjal
Proses kerusakan diawali dengan keadaan oliguria yang biasanya terjadi
dalam 24 jam pertama setelah terjadi gangguan (injury). Fase oliguria
dapat berlangsung selama l-2 minggu diikuti oleh fase diuresis yang
menandakan terjadinya perbaikan fungsi.
Proses penyebab AKI intra renal dapat merupakan kelanjutan AKI
prerenal (azotemia prerenal) akibat hipoperfusi yang bertambah berat atau
berlanjut sehingga terjadi gangguan pada sel-sel tubulus ginjal disertai
gangguan pada fungsi ginjal.

Gambar Beberapa Tahapan Terjadinya AKI

Pada Gambar di atas, tahapan AKI prerenal akan berlanjut pada tahap
inisiasi yang ditandai dengan kerusakan pada sel-sel epitel dan endotel.
Proses kerusakan pada sel-sel epitel diawali dengan terjadinya
perenggangan dan hilangnya brush border tubulus proksimal disertai
penurunan polaritas sel. Perbaikan gangguan ginjal pada tahap ini akan

87
menyebabkan penyembuhan secara sempurna. Tetapi bila berlanjut pada
tahap ekstensi, akan terjadi apoptosis dan nekrosis sel-sel epitel, proses
deskuamasi yang akan menyebabkan sumbatan pada lumen tubulus, dan
terjadinya proses inflamasi.

Gambar Gangguan yang Terjadi pada Struktur Sel Tubuli Setelah Terjadinya
Iskemia

Apoptosis merupakan mekanisme utama penyebab kematian sel-sel


tubulus setelah iskemia yang berhubungan dengan berkurangnya ukuran
sel secara progresif dan keutuhan fungsi maupun struktur plasma
membran. Berkurangnya ukuran sel ini menyebabkan hilangnya volume
sitosol dan berkurangnya ukuran nukleus sel. Gambaran spesifik pada
apoptosis adalah terjadinya kondensasi kromatin inti dan fragmentasi
DNA intranukleus. Pada nekrosis terjadi pembengkakan dan pembesaran
sel sehingga terjadi gangguan pada mitokondria. Integritas plasma sel akan

88
menghilang diikuti dengan hilangnya komponen sitosol termasuk lisosom
protease yang menyebabkan kerusakan dan inflamasi pada jaringan
sekitar. Kematian sel terjadi sebagai akibat proses apoptosis dan nekrosis
sel-sel epitel.
Kerusakan sel endotel vaskular ginjal terjadi akibat peningkatan stress
oksidatif yang juga meningkatkan angiotensin II, endothelin-l, dan
penurunan prostaglandin dan NO dari endothelial NO synthetase (eNOS).
Kerusakan vaskular secara langsung dapat menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi intra renal. Vasokonstriksi ini diduga merupakan faktor
utama penyebab gangguan hemodinamik renal pada AKI. Kelainan pada
vaskular dapat juga terjadi akibat peningkatan ekspresi molekul adhesi
seperti ICAM-I dan p-selectin dari sel endotel sehingga terjadi
perlengketan sel-sel radang terutama neutrofil yang menyebabkan
peningkatan radikal bebas oksigen.
Kerusakan tubulus merupakan proses yang terjadi akibat kerusakan
sitoskeleton karena peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A2, dan
kerusakan actin karena peningkatan Ca2+ intraseluler. Kerusakan ini
menyebabkan gangguan pada basolateral Na+K+ATP-ase sehingga terjadi
penurunan reabsorbsi natrium di tubulus proksimal. Obstruksi tubulus
akibat sumbatan mikrovili yang terlepas bersama sel-sel debris juga akan
diikuti pembentukan silinder cast dari matriks ekstraseluler. Kerusakan
pada sel tubulus berakibat terjadinya kebocoran kembali (backleak) cairan
intra tubular ke dalam sirkulasi peritubular. Keseluruhan mekanisme di
atas secara keseluruhan akan menyebabkan penurunan LFG dan terjadinya
oliguria. Keseluruhan proses tersebut dapat terlihat pada Gambar 4
berikut.

89
Gambar Patofisiologi AKI Akibat Proses Iskemia

Patofisiologi AKI post renal


Penyebab terjadinya AKI post renal dapat terjadi akibat sumbatan dari
sistem traktus urogenital seperti ureter, pelvis renal, vesika urinaria, dan
uretra. Penyebab sumbatan dapat bermacam-macam seperti adanya
striktur, pembesaran prostat, dan keganasan. Gagal ginjal post-renal, GGA post-
renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA. GGA post-renal disebabkan oleh
obstruksi intra-renal dan ekstrarenal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal
(urat, oksalat, sulfonamide) dan protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi
ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis
papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada
kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura).
GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana salah satu ginjal tidak berfungsi.

90
Manifestasi Klinis
Presentasi klinis bervariasi tergantung etiologi dan tingkat keparahan AKI,
dan penyakit yang terkait. Kebanyakan pasien dengan AKI ringan sampai
sedang tidak menunjukkan gejala dan biasanya teridentifikasi dengan
pemeriksaan laboratorium. Pasien dengan severe AKImungkin dapat
menunjukan gejala, berupa lesu, rasa bingung, fatique, anoreksia, mual,
muntah, penambahan berat badan, atau edema. Selain itu oliguria (urine
output kurang dari 400 ml per hari), anuria (urin output kurang dari 100 ml
per hari), atau dengan urin output normal (non-oligouric AKI) juga dapat
ditemukan pada pasien severe AKI.
Tabel Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik GGA berdasarkan Etiologi

Tipe AKI Hasil Anamnesis Hasil Pemeriksaan Fisik


Pre-Renal Riwayat kehilangan cairan (cth: Penurunan BB, hipotensi
riwayat muntah, diare, penggunaan ortostatik, dan takikardi
diuretik berlebih, perdarahan, luka
bakar)
Rasa haus dan penurunan intake cairan Turgor kulit buruk
Kelainan Jantung S3 jantung, edema perifer, dll
Kelainan Hepar Asites, caput medusae, spider
nevi
Renalis

Glomerurlar Lupus, sistemik sklerosis, ruam, Edema peri-orbital, sacral,


artritis, uveitis, penurunan BB, fatigue, dan ekstremita bawah; ruam;
HIV, hematuria, batuk, sinusitis ulkus di daerah oral/nasal

Interstisial Riwayat penggunaan obat-obatan (cth: Demam, ruam akibat


antibiotik, PPI), ruam, arthralgia, penggunaan obat-obatan
demam, penyakit infeksi

Vascular Sindroma Nefrotik, riwayat trauma, Pemeriksaan funduskopi


flank pain, riwayat oprasi vaskular (ditemukan hipertensi
maligna), abdominal bruits

Post- Renal Urgency atau Hesistancy, gross Distensi vesica urinaria,


Hematuria, poliuri, batu, riwayat obat- pembesaran prostat
obatan, kanker

91
Diagnosis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-
renal, GGA renal, dan GGA post-renal. Dalam menegakkan diagnosis
gangguan ginjal akut perlu dilakukan pemeriksaan:
1. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik yang baik, untuk mencari penyebab
GGA seperti misalnya operasi KV, angiografi, riwayat infeksi (infeksi
kulit, infeksi tenggorokan, ISK), riwayat bengkak, riwayat kencing batu
2. Membedakan GGA dan GGK, misalnya: anemia dan ukuran ginjal yang
kecil menunjukkan GGK
3. Pemeriksaan berulang fungsi ginjal untuk mendiagnosis GGA, yaitu kadar
ureum, kreatinin, dan laju filtasi glomerulus. Pada pasien yang dirawat
selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan (balance cairan), berat badan
untuk memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh.
Pada GGA yang berat dengan berkurangnya fungsi ginjal, ekskresi air dan
garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sampai
terjadi kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang
berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan kompensasi
pernapasan kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih di dominasi oleh
faktor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya.
4. Penilaian pasien GGA:
a. Kadar kreatinin Serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan
memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin
tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari
produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan eksresi oleh ginjal.
b. Kadar cystatin C serum. Walaupun belum diakui secara umum nilai
serum cystatin C dapat menjadi indikator GGA tahap awal yang cukup
dapat dipercaya
c. Volume Urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indikator
yang spesifik untuk GGA, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-
nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA bisa
bermacam-macam. GGA pre-renal biasanya hampir selalu disertai
92
oliguria (<400 ml/hari), walaupun kadang-kadang tidak dijumpai
oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh
anuria maupun poliuria.
o Perubahan pada urine ouput secara garis besar sedikit berkaitan
dengan perubahan pada laju filtrasi glomerulus (LFG)/ Kurang
lebih 50-60% dari seluruh etiologi AKI adalah non-oligourik.
Namun, mengidentifikasi anuria, oliguria, ataupun non-oliguria
mungkin dapat berguna untuk mengetahui diferensial diagnosis
dari AKI, seperti:
 Anuria : Infeksi saluran kemih, Obstruksi arteri renalis, rapidly
progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical
necrosis
 Oliguria : AKI akibat pre-renal, sindroma hepatorenal
 Non-oliguria : Acute interstisial nefritis, Glomerulonefritis
akut, Partial Obstructive Nephropathy, radiocontrast- induced
AKI.
d. Kelainan analisis urin.
o Pasien dengan oliguria, pengukuran FENa dapat membantu untuk
membedakan pre-renal dengan GGA renal yang menyebabkan
GGA. FENa dapat dijelaskan dengan hasil sebagai berikut: Nilai
kurang dari 1 persen menunjukkan GGA akibat pre-renal, dimana
FNEa > 2% menunjukkan GGA akibat gangguan renal. Pada
pasien yang menjalani terapi diuretik, FNEa> 1% dapat disebabkan
oleh proses natriuresis yang disebabkan oleh diuretik, sehingga
kurang dapat diandalakn sebagai GGA akibat pre-renal. Di
beberapa kasus, fractional excretion of urea (FE urea) dapat
membantu, dengan hasil kurang dari 35% yang menunjukkan GGA
akibat pre-renal. FENa kurang dari 1 persen tidak spesifik untuk
GGA pre-renal karena hasil tersebut dapat disebabkan oleh kondisi
lainnya, seperti contrast nephropathy, rhabdomyolisis, acute
glomerulonephritis, dan infeksi saluran kemih.
93
e. Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah
mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksanya. Biomarkers diperlukan untuk
secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN
maka perlu dicari pertanda utnuk membuat diagnosis seawal mungin.
Beberapa biomarkers mungkin bisa dikembangkan. Biomarkers ini
merupakan zat-zat yang dikeluarkan oleh tubuls ginjal yang rusak,
seperti IL-18, enzim tubular, dll.

Tatalaksana dan Komplikasi


Terapi Konservatif (Suportif)
Terapi konservatif (suportif) adalah penggunaan obat-obatan atau cairan
dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi progresivitas, morbiditas,
dan mortalitas penyakit akibat komplikasi AKI. Bilamana terapi konservatif
tidak dapat memperbaiki kondisi klinik pasien, maka harus diputuskan untuk
melakukan Terapi Pengganti Ginjal (TPG).
Tujuan terapi konservatif adalah :ii
❖ Mencegah progresifitas penurunan fungsi ginjal.
❖ Meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia
❖ Mempertahankan dan memperbaiki metabolisme secara optimal
❖ Memelihara keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa.

Beberapa prinsip terapi konservatif adalah sebagai berikut


❖ Hati-hati pemberian obat yang bersifat nefrotoksik.
❖ Hindari keadaan yang menyebabkan deplesi volume cairan
ekstraseluler dan hipotensi
❖ Hindari gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis metabolic
❖ Hindari instrumentasi (kateterisasi dan sistoskopi) tanpa indikasi
medis yang kuat
❖ Hindari pemeriksaan radiologi dengan media kontras tanpa indikasi
medis yang kuat
94
❖ Kendalikan hipertensi sistemik dan tekanan intraglomerular.
❖ Kendalikan keadaan hiperglikemia dan infeki saluran kemih (lSK).
❖ Diet protein yang proporsional.
❖ Pengobatan yang sesuai terhadap etiologi AKI

Pada dasarnya terapi konservatif (suportif) adalah untuk menjaga


homeostasis tubuh dengan rnengurangi efek buruk akibat komplikasi AKI.
Beberapa terapi suportif beserta dosis obat yang dianjurkan dapat terlihat
pada tabel di bawah.
Komplikasi Terapi

Kelebihan cairan Batasi garam (l-2 gram/hari) dan air (<1 liter/hari)

Intravaskuler Diuretik (biasanya furosemide/thiazide)

Batasi cairan (<1 liter/hari)


Hiponatremia Hindari pemberian cairan hipotonis (termasuk
dekstrosa 5%)

Batasi asupan kalium (<40 mmol/hari)


Hindari suplemen kalium dan diuretik hemat
kalium
Beri resin potassium-binding ion exchange
Hiperkalemia (kayexalate)
Beri glukosa 50% sebanyak 50 cc + insulin 10 unit
Beri natrium bikarbonat (50-100 mmol)
Beri salbutamol 10-20 mg inhaler atau 0,5-l mg lV
Kalsium glukonat 10% (10 cc dalam 2-5 menit)

Batasi asupan protein (0,8-1,0 g/kgBB/hari)


Beri natrium bikarbonat (usahakan kadar serum
Asidosis metabolik
bikarbonat plasma > 15 mmol/l dan pH arteri >
7,2)

Batasi asupan fosfat (800 mg/hari)


Hiperfosfatemia Beri pengikat fosfat (kalsium asetat-karbonat,
alumunium HCl, sevalamer)

Beri kalsium karbonat atau kalsium glukonat 10%


Hipokalsemia
(10-20 cc)

Hiperurisemia Tidak perlu terapi jika kadar asam urat < 15 mg/dl

95
Komplikasi AKI yang esensial dapat menyebabkan kematian dengan
segera. Mengingat bahwa AKI dapat disebabkan oleh etiologi yang
berbeda, maka sukar mencari patofisiologi yang seragam terhadap
komplikasi yang terjadi. Sebagian kasus AKI terjadi akibat hipoperfusi,
sebagian lain terjadi akibat iskemia, dan tidak jarang keduanya terjadi
secara bersamaan. Pada pasien AKI dengan penyakit kritis harus pula
diperhatikan kegagalan multi-organ akibat penyakit etiologinya. Dapat
dimengerti bahwa tidak dapat dibuat suatu panduan yang seragam
mengenai pengelolaan komplikasi AKI, bahkan sering terjadi kontroversi
mengenai cara pengelolaannya.
Berikut dibahas mengenai beberapa kornplikasi AKI yang dapat
menyebabkan kematian dengan segera dan memerlukan pengelolaan
dengan cepat dan tepat, antara lain:
1. Kelebihan cairan intravaskuler (volume overload)
Pada pasien AKI terutama yang disertai oliguri atau anuria sering
sekali terjadi kelebihan cairan intravaskuler (volume overload), sehingga
tindakan yang harus dilakukan adalah :
❖ Membatasi intake garam menjadi 1-2 gram/hari
❖ Membatasi intake cairan dengan menyesuaikan dengan jumlah urine
dan IWL (insensible water loss). Contoh rumus yang dapat digunakan
adalah :
Jumlah intake/jam = jumlah urine jam sebelumnya + 25 cc.

Bila terjadi anuria atau oligouria, sebaiknya jumlah intake dibatasi


menjadi < 1000 cc/hari, kecuali jika ada pengeluaran cairan lain seperti
muntah atau diare.

2. Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan salah satu komplikasi esensial AKI yang
dapat menimbulkan kematian dengan segera. Pengelolaan hiperkalemia

96
pada AKI secara bertahap dibagi atas hiperkalemia sedang dan
hiperkalemia dengan kelainan EKG.
Hiperkalemia sedang (5,5 – 6,5 mmol/liter) tanpa kelainan gambaran
EKG dapat dikelola secara konservatif dengan cara :
❖ Mengurangi intake kalium dalam diet
❖ Menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar kalium
(antagonis aldosteron, ACE inhibitor, heparin, β blocker non
selektif)
❖ Pemberian resin ion-exchange, misalnya Kayexalate dengan dosis
15-30 gram (3-4 kali per hari) atau digabung dengan pemberian
sorbitol 20% per oral.
❖ Untuk mempercepat ekskresi kalium melalui ginjal, dapat diberikan
furosemide oral/IV jika pasien masih responsif terhadap diuretik.
Hiperkalemia dengan kelainan EKG membutuhkan penanganan
emergensi yang perlu dilakukan segera untuk menghindari
terjadinya gangguan irama jantung atau henti jantung (cardiac
arrest) Pengelolaan yang dapat dilakukan adalah :
- Kalsium glukonat 10% 5-10 cc secara IV perlahan (> 5 menit),
dapat diulang setelah 15 menit jika gambaran EKG belum
membaik. Obat ini onset kerjanya cepat (3-5 menit), tetapi
hanya bertahan sekitar 30-60 menit. Fungsinya menstabilkan sel
jantung (miosit membran jantung), tetapi tidak menurunkan
kadar kalium darah.

❖ Berikan obat-obat yang dapat menyebabkan translokasi K+ dari


ekstraseluler ke intraseluler, seperti insulin, bikarbonat, dan β
agonis.
- Insulin
Pemberian insulin akan meningkatkan Na+/K+-ATPase,
sehingga translokasi K+ dari ekstraseluler ke intraseluler
meningkat, tetapi tidak menyebabkan ekskresi kalium keluar

97
tubuh. Onset obat ini 15-30 menit dan berlangsung selama 4-6
jam. Untuk menghindari hipoglikemia, insulin biasanya
diberikan dalam infus glukosa dengan dosis 10-20 unit insulin
reaksi cepat (Actrapid atau Humulin) diberikan dalam 50 cc
glukosa 50% selama 10-20 menit. Bila pasien menderita
hiperglikemia (GDS > 360 mg), insulin dapat diberikan tanpa
dekstrosa, tetapi dengan monitoring gula darah.
- Bikarbonat
Bikarbonat dapat diberikan secara bolus 1 ampul (50% mEq
natrium bikarbonat) atau diberikan secara infus. Pengaruh
bikarbonat dalam penurunan kadar kalium darah baru
bermakna jika pasien juga mengalami asidosis metabolik
- β-agonis
Salbutamol dapat diberikan secara infus (0,5 mg) atau
nebulisasi (10-20 mg dalam 4 cc NaCl 0,9%). Onset obat ini 1-
2 menit dan berlangsung selama 4-6 jam. Efek samping obat ini
adalah takikardia, rasa cemas, dan flushing. Harus diberikan
secara hati-hati jika pasien menderita komplikasi jantung.
Lebih sering digunakan pada anak-anak.
❖ Memberikan obat-obatan yang dapat mengekskresi K+ ke luar
tubuh
Ekskresi kalium dapat melalui urine, dan bila pasien masih
responsif terhadap diuretik, dapat diberikan furosemide oral atau
intravena yang akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urine.
Ekskresi kalium melalui feses dapat dilakukan dengan pemberian
resin penukar kation (Kayaxalate) yang akan mengikat kalium
dalam saluran cerna dan menukarnya dengan natrium (sodium
polystyrene) atau kalsium (calcium polystyrene) kemudian
diekskresi lewat feses. Dosis yang diberikan 15-30 gram per oral,
untuk meningkatkan ekskresi lewat feses dapat diberikan

98
bersamaan dengan sorbitol 20% (50-100 cc). Onset obat ini lambat
(> 2 jam) dan berlangsung selama 4-6 jam
Bila semua usaha di atas tidak berhasil, atau keadaan
hiperkalemia mengancam nyawa maka kadar kalium harus
diturunkan dengan melakukan terapi pengganti ginjal.

3. Asidosis metabolik
Penurunan kadar bikarbonat serum < 24 mEq/liter (normal = 24-28
mEq/liter) dengan diikuti penurunan pH darah (normal = 7,35-7,45)
merupakan salah satu komplikasi esensial AKI. Seringkali komplikasi
ini disertai dengan hiperkalemía. Keadaan asidosis metabolik berat (pH
< 7,2 dan kadar bikarbonat < 13 mEq/liter) merupakan kondisi gawat
darurat karena dapat menimbulkan komplikasi pada sistem saraf,
sistem gastrointestinal, gagal napas, dan gagal jantung.
Pada asidosis metabolik ringan, pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan penyebab terjadinya komplikasi ini dan pemberian
cairan isotonis (NaCl 0,9%) untuk rehidrasi. Pada asidosis metabolik
berat atau mengancam nyawa dapat diberikan natrium bikarbonat
(NaHCO3), dengan cara sebagai berikut :
❖ Bila pH darah < 7,1 diberikan dengan cepat (l -3 jam) sampai
dicapai pH > 7,2 dengan dosis 1 - 2 mEq/kg BB (100-200 mEq)
dengan infus lambat.
❖ Selanjutnya diberikan dengan lebih lambat dengan dosis :
o Kebutuhan bikarbonat (mEq/L) = (kadar bikarbonat
diharapkan − kadar bikarbonat terukur) × 40% BB (kg)
o atau berdasarkan SBE (standard base excess) : Kebutuhan
bikarbonat (mEq/L) = 0,3 × BB(kg) × SBE.
Efek samping pengobatan natrium bikarbonat adalah alkalosis
metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, gangguan gastrointestinal,
volume overload, atau edema paru. Beberapa komplikasi AKI lain

99
berikut perlu diperhatikan, dan walaupun tidak segera menimbulkan
kematian, tetapi dapat memengaruhi prognosis pasien.
1. Hiperfosfatemia dan hipokalsemia

Hiperfosfatemia sering terjadi pada AKI, terutama pada pasien


dengan hiperkatabolik. Untuk mengatasi hal ini, intake fosfat harus
dibatasi dan diberikan obat pengikat fosfat (fosfobinder), misalnya
kalsium karbonat 3 × 500 mg/oral. Bila dengan diet dan terapi
konservatif tidak berhasil, dapat dipikirkan untuk melakukan dialisis.
Hipokalsemia, hipermagnesemia, dan hiperurisemia sering terjadi pada
AKI, tetapi biasanya tidak memerlukan pengobatan kecuali jika ada
gejala-gejala klinik seperti kejang-kejang (pada hipokalsemia),
hiporefleksia, dan depresi pernapasan (pada hipermagnesemia).

2. Komplikasi hematologi

Pada AKI biasanya terjadi anemia ringan akibat proses inflamasi.


Transfusi hanya diperlukan jika terjadi perdarahan aktif atau anemia
menimbulkan gangguan hemodinamik. Pada kasus AKI pemberian
eritropoieitin tidak bermanfaat. Pada AKI yang berat terutama yang
disertai dengan sepsis dapat terjadi gangguan perdarahan. Pada kasus
semacam ini dapat diberikan desmopresin, terapi estrogen, atau segera
dilakukan dialisis.

3. Komplikasi gastro-intestinal

Akibat azotemia dapat terjadi perdarahan gastrointestinal karena


ulkus uremik atau ulkus stress. Untuk pengobatan atau pencegahan
dapat diberikan H2 antagonis atau inhibitor pompa proton. Jangan
diberikan antasida yang berbasis magnesium atau alumunium karena
dapat berakumulasi dan menjadi toksik.

100
4. lnfeksi

Akibat berbagai sebab sering terjadi infeksi pada AKI. Harus


dimonitor kemungkinan terjadinya infeksi, termasuk perawatan aseptik
yang baik terhadap saluran infus kateter, saluran CVP, saluran
nasogastrik, dll. Bila dicurigai adanya infeksi segera diatasi dengan
pemberian antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur.

Terapi Pengganti Ginjal pada AKI


Terapi Pengganti Ginjal (TPG) atau Renal Replacement Therapy (RRT)
adalah usaha untuk menggambil alih fungsi ginjal yang telah menurun dengan
menggunakan ginjal buatan (dializer) dengan teknik dialisis atau hemofiltrasi.
Pada TPG seperti dialisis atau hemofiltrasi, yang dapat digantikan hanya
fungsi ekskresi, yaitu fungsi pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi
sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi
pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal, maupun
integritas tulang tidak dapat digantikan oleh terapi jenis ini.
Pasien AKI dalam kondisi kritis (critically ill) yang dirawat di ruang
rawat intensif (lCU) sangat bervariasi. Mereka merupakan kelompok pasien
yang heterogen, baík dalam diagnosis penyakit etiologi, umur, penyakit lain
yang menyertai (komorbid), atau derajat gangguan fisiologis pada saat
masuk. Kondisi klinik pasien dapat berubah-ubah setiap saat. Tahapan
penyakit dapat berganti dengan cepat, yang tidak hanya disebabkan oleh satu
mekanisme patofisiologis tubuh yang tunggal, melainkan berbagai faktor
yang saling memperburuk dan terkait. Seringkali pasien AKI disertai dengan
berbagai gangguan organ (multiple organ failure) di mana keadaan
hemodinamiknya sangat tidak stabil. Oleh karena itu, strategi TPG pada
pasien AKI dalam kondisi kritis diharapkan dapat mencapai tujuan berikut :
❖ Mencegah perburukan fungsi ginjal lebih lanjut.
❖ Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan
fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.

101
❖ Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak
memerlukan cairan, misalnya resusitasi cairan, pemberian nutrisi, dan
obat-obatan.

Tujuan TPG pada pasien AKI dalam kondisi kritis adalah untuk memberi
bantuan kepada ginjal (renal support) dan kepada berbagai organ tubuh lainnya
supaya kembali berfungsi. Pasien AKI dalam kondisi kritis membutuhkan cairan,
obat-obatan, maupun nutrisi dalarn jumlah besar. Dengan melakukan TPG, dapat
dilakukan ultrafiltrasi sehingga dapat diberikan cairan sesuai dengan kebutuhan
pasien. Jadi, diciptakan lingkungan yang memberi kesempatan kepada tubuh
untuk pulih dari penyakit yang menjadi penyebab kondisi kritisnya. Tujuan
tersebut sangat berbeda jika dibandingkan dengan TPG pada pasien gagal ginjal
terminal (chronic kidney disease) di mana tujuan utamanya adalah mengambil alih
fungsi ginjal (renal replacement) secara rutin seumur hidup untuk memperbaiki
keadaan azotemia sehingga yang menjadi patokan keberhasilan adalah survival
dan kualitas hidup.
Pada pasien AKI, indikasi TPG sangat luas, tergantung dari kondisi klinik
yang dihadapi. Saat ini kriteria yang biasa dipakai menjadi dasar untuk inisiasi
dialisis pada AKI adalah gejala klinik kelebihan (overload) cairan dan penanda
biokimia tentang terjadinya ketidak-seimbangan elektrolit, misal hiperkalemia,
azotemia, atau asidosis metabolik. Berikut adalah kriteria praktis yang sangat
bermanfaat sebagai indikasi inisiasi TPG, sehingga memungkinkan bagi pasien
untuk mendapatkan TPG yang lebih tepat waktu, lebih aman, dan lebih fisiologis.
Berikut adalah indikasi dan kriteria untuk inisiasi dialisis pada AKI di ICU
1. Oliguria (output urine < 200 cc/12 jam)
2. Anuria/oliguria berat (output urine < 50 cc/ l2 jam)
3. Hiperkalemia (K+> 6,5 mmol/L)
4. Asidosis berat (pH < 7,1)
5. Azotemia (urea > 30 mmol/liter)
6. Gejala klinik berat (terutama edema paru)
7. Ensefalopati uremik
102
8. Perikarditis uremik
9. Neuropati/miopati uremik
10. Disnatremia berat (Na > 160 atau < 115 mmol/L)
11. Hipertermia/hipotermia
12. Overdosis obat -obatan yang terdialisis jika kadar asam urat <15 mg/dl

Bila didapatkan satu gejala di atas sudah dapat merupakan indikasi untuk
inisiasi dialisis, dua gejala di atas merupakan indikasi untuk segera inisiasi
dialisis, dan lebih dari dua merupakan indikasi untuk segera inisiasi dialisis
walaupun kadarnya belum mencapai yang tertulis.

Prognosis
Pasien dengan AKI memiliki resiko yang cukup besar untuk selanjutnya
berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. Pasien dengan AKi juga memiliki
resiko tinggi menjadi end-stage renal disease dan kematian prematur. Sehingga,
pasien AKI harus terus di monitor terutama terhadap perkembangan penyakitnya
atau perburukan menjadi gangguan ginjal kronis.

103
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada kasus ini, seorang perempuan daang dengan keluhan lemas
sudah 1 minggu. Lemas dirasakan terus menerus, dan semakin memerat.
Pasien juga mengeluh kaki bengkak, menghitam, nyeri pergelangan kaki
dan kebas diujung jari kaki. Riwayat Penyakit pasien, pasien menderita
Diabetes Mellitus dan sudah menggunakan insulin 20 unit pagi, siang,
malam. Pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva palpebra anemis, pada
ekstremitas inferior dextra didapatkan edema, kulit menghitam, dan
deformitas pada ujung jari. Laboratorium menunjukkan peningkatan kadar
leukosit, trmobosit, netrofil, serta ureum dan creatinin namun terjadi
penurunan kadar Hb, eritrosit dan hematokrit. Dari hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaa penunjang menunjukkan penderita
mengalami DM tipe 2 dengan komplikasi Kaki Diabetik, Anemia,
Azotemia DD AKI.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu kumpulan gejala yang
timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan
kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang progresif.
Etiologi diabetes mellitus yaitu pola makan, obesitas, faktor genetik,
bahan-bahan kimia dan obat-obatan, kebiasaan merokok serta penyakit
dan infeksi pankreas. Klasifikasi diabetes mellitus yaitu DM tipe 1, DM
tipe 2, DM tipe lain dan DM gestasional. Penegakkan diagnosis
berdasarkan keluhan yang ada yaitu keluhan klasik dan keluhan lain serta
pemeriksaan kadar gula darah (sewaktu, puasa dan TTGO) dan HbA1c.
Komplikasi diabetes mellitus dibagi menjadi akut dan kronis. Akut berupa
ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemik.
Komplikasi kronis dibagi menjadi makroangiopati dan mikroangiopati.
Makroangiopati termasuk pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi
dan pembuluh darah otak. Mikroangiopati termasuk retinopati diabetikum,

104
nefropati diabetikum dan neuropati diabetikum. Pada kasus ini, pasien
dicurigai menderita komplikasi mikrovaskular dari Diabetes Mellitus
berupa Charcot Foot karena dijumpai deformitas pada os interphalang
digiti 2,3,4 dextra. Charcot neuroarthropati adalah penyakit artropati
degeneratif yang progresif yang jarang menjadi komplikasi diabetes
melitus. Penyakit ini sering mengenai kaki yang terjadi karena adanya
neuropati, osteopaenia dan adanya sitokin proinflamasi pada pembuluh
darah perifer yang kalsifikasi tetapi masih vasodilatasi walaupun banyak
pembuluh darah yang sudah ateroskeloris disekitarnya.
Pasien juga mengalami peningkatan kadar ureum dan creatinin
yang dicurigai karena proses kelainan ginjal akut yang dikarenakan intake
cairan yang sedikit atau kerusakan ginjal karena komplikasi mikrovaskular
dari diabetes. Gagal ginjal akut sendiri adalah terjadinya penurunan
mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin
serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1,5 x
kenaikan dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
tercatat ≤ 0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam.
Pada kasus ini, pasien juga mengalami anemia dengan ditandai
adanya penurunan Hb, Ht, MCV, MCH dan MCHC. Anemia pada
dasarnya disebabkan karena gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum
tulang yang bisa disebabkan karena kurangnya nutrisi, penyakit kronis,
anemia aplastik, gagal ginjal kronis, hipotiroidisme, thalasemia, dan DM.
Gejala anemia meliputi lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging, mata
berkunang-kunang, sesak nafas, akral teraba dingin, serta pucat diseluruh
tubuh yang paling tampak pada konjungtiva, mukosa bibir, telapak tangan,
dan kuku dibawah jari. Pada kasus ini, anemia dapat terjadi karena
komplikasi dari diabetes mellitus ke ginjal sehingga mengganggu proses
pembentukan SDM atau dapat terjadi karena kurangnya intake makanan
dan minuman dari pasien. Penatalaksanaan anemia akibat penyakit kronis
adalah dengan mengobati penyakit dasarnya dan dapat diberikan terapi
suportif.
105
Kesimpulan pada kasus ini adalah pasien menderita DM dengan
komplikasi mikrovaskular berupa Charcot Foot, Azotemia DD AKI yang
dicrugia karena ke

106
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus Pengelolaan Dan


Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. PB. PERKENI. 2015.
2. World Health Organization (WHO). Global Report On Diabetes. WHO Library
Cataloguing-In-Publication Data. 2016.
3. American Diabetes Association (ADA). Classification And Diagnosis Of
Diabetes. Diabetes Care; Vol 38: S8-16.2016.
4. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 2013.
5. International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,
International Diabetes Federation (IDF). 2013.
6. Arikunto, S. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi).
Jakarta : Rineka Cipta. 2010.
7. Trisnawati, S.K dan Setyorogo.S. Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus Tipe
II Di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, 5(1): pp. 6-11. 2013.
8. Arisman. Diabetes Mellitus : Dalam Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas dan Diabetes
Mellitus dan Dislipidemia. Jakarta: EGC. 2011
9. Gustaviani R. Diagnosis Dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo Aw, Setiyohadi B, Alwi I Dkk, Editor. Jilid Iii.
Edisi Iv. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006.
10. Tjokroprawiro, Askandar. Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University
Press. 2007.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. 2013.
12. Defronzo, Ralph A. From The Triumvirate To The Ominious Octet: A New
Paradigm For The Treatment Of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes 58: 773-795.
2009.
13. Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, Marcellus.,
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
14. IPD’s Compendium of Indonesian Medicine 1st Edition-Penatalaksanaan Terkini.
2009.
15. Eliana, Fatimah. Penatalaksanaan Dm Sesuai Konsensus PERKENI 2015.
Jakarta: Bagian Penyakit Dalam FK Yarsi. 2015.
16. Mansjoer, Arif., Triyanti, Kuspuji., Savitri, Rakhmi., Wardhani, Wahyu Ika.,
Setiowulan, Wiwiek. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
17. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI).Konsensus
Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. PB. PAPDI.
2009.
18. Flaws, Bob., Kuchinski, Lynn., Casanas, Robert. The Treatment Of Diabetes
Mellitus With Chinese Medicine. Western Ave: Blue Poppy Press. 2002.
107
19. Prakash UBS, King TEJr. Endocrine and metabolic disorders. In: Crapo JD,
Glassroth J, Karlinsky JB, editors. Baum's textbook of pulmonary diseases. 7th
eds. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilson; 2004.
20. Ljubiae S, Balachandran A, Pavliæ-Renar I, Barada A. Pulmonary infections in
diabetes mellitus. Diabetologia Croatica. 2004; 33(4): 115-24.
21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Tahun 2016.
22. Ellorriaga G, Pineda DR. Type 2 diabetes mellitus as a risk factor for
tuberculosis. J Mycobac Dis. 2014;4 :2
23. Reid MJA, McFadden N, Tsima BM. Clinical challenges in the comanagement of
diabetes mellitus and tuberculosis in southern Africa. Jemdsa. 2013:18(3);135-
140
24. Alisjahbana B, Sahiratmadja E, Nelwan EJ, Purwa AM, Ahmad Y, Ottenhoff
THM, et al. The effect of type 2 diabetes mellitus on the presentation and
treatment response of pulmonary tuberculosis.J Clin Infect Dis. 2007;45:428-35
25. Setiati, S. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
26. Andrews, N.C. Iron Deficiency and Related Disorder. In:Greer, J.P. 2003.
27. Hoffbrand, A.V. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2013.

5. Tariq A, Kahn I, Simpsoon W, et al. Incidence and Outcomes in Acute


Kidney Injury: A Comprehensive Population-based Study. J Am Soc
Nephrol 2007;18:1292-1298
ii
Kieran N, Brady HR: Clinical Evaluation, Management, and Outcome of Acute
Renal Failure In: Johnson RJ, Feehally J. Eds. Comprehensive Clinical
Nephrology. 2nd ed. Mosby 2000;183-207

108

Anda mungkin juga menyukai

  • JJJG
    JJJG
    Dokumen5 halaman
    JJJG
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    Dokumen67 halaman
    Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Checklist Neuro
    Checklist Neuro
    Dokumen4 halaman
    Checklist Neuro
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • JJJG
    JJJG
    Dokumen5 halaman
    JJJG
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • TTF
    TTF
    Dokumen11 halaman
    TTF
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Checklist Neuro
    Checklist Neuro
    Dokumen4 halaman
    Checklist Neuro
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    Dokumen67 halaman
    Wawancara Psikiatri, Anamnesis, Dan Pemeriksaan Status Mental
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • GCHBJ
    GCHBJ
    Dokumen45 halaman
    GCHBJ
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Dfhjtryt
    Dfhjtryt
    Dokumen13 halaman
    Dfhjtryt
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Tiva
    Tiva
    Dokumen12 halaman
    Tiva
    dwi
    Belum ada peringkat
  • Fsvertui
    Fsvertui
    Dokumen8 halaman
    Fsvertui
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • XXGHJ
    XXGHJ
    Dokumen16 halaman
    XXGHJ
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • GFHGJHBKJNK
    GFHGJHBKJNK
    Dokumen76 halaman
    GFHGJHBKJNK
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • DFDGVBN
    DFDGVBN
    Dokumen9 halaman
    DFDGVBN
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • GVHBKJN
    GVHBKJN
    Dokumen8 halaman
    GVHBKJN
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • GDHJK
    GDHJK
    Dokumen31 halaman
    GDHJK
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • XFXGCHVJBK
    XFXGCHVJBK
    Dokumen10 halaman
    XFXGCHVJBK
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Ygwevfa SF V
    Ygwevfa SF V
    Dokumen7 halaman
    Ygwevfa SF V
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • CGVJHBK
    CGVJHBK
    Dokumen4 halaman
    CGVJHBK
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Bab II S Coccus
    Bab II S Coccus
    Dokumen26 halaman
    Bab II S Coccus
    bahrudin
    Belum ada peringkat
  • Ygwevfa SF V
    Ygwevfa SF V
    Dokumen7 halaman
    Ygwevfa SF V
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • VFGH
    VFGH
    Dokumen10 halaman
    VFGH
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • FGHBJ
    FGHBJ
    Dokumen15 halaman
    FGHBJ
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Tipoid-OSLER-stase-IKM FIX
    Tipoid-OSLER-stase-IKM FIX
    Dokumen62 halaman
    Tipoid-OSLER-stase-IKM FIX
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Svdvs
    Svdvs
    Dokumen35 halaman
    Svdvs
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • HVGCG
    HVGCG
    Dokumen27 halaman
    HVGCG
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • CGVJHBK
    CGVJHBK
    Dokumen4 halaman
    CGVJHBK
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • STBM Puskesmas
    STBM Puskesmas
    Dokumen39 halaman
    STBM Puskesmas
    wahyua
    Belum ada peringkat
  • Implant Afi
    Implant Afi
    Dokumen13 halaman
    Implant Afi
    wahyua
    Belum ada peringkat