Anda di halaman 1dari 14

PEMBAHASAN

DEFINISI
Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban secara spontan yang tidak
diikuti dengan tanda-tanda inpartu atau selaput ketuban pecah 1 jam kemudian tidak diikuti
tanda-tanda awal persalinan tanpa melihat umur kehamilan. Jika pecahnya ketuban sebelum usia
kehamilan 37 minggu (preterm) disebut sebagai KPD preterm (preterm premature rupture of
membrane) / PPROM (Bankowskim et al, 2002). Pada pasien ini, ibu mengatakan keluarnya air
yang merupakan air ketuban yang menunjukkan pecahnya selaput ketuban yang tanpa diikuti
tanda-tanda persalinan dengan tidak adanya his dan pengeluaran lendir darah yang merupakan
tanda-tanda awal persalinan.

ANGKA KEJADIAN
Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10% , dimana sekitar
20% kasus terjadi sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar 8 hingga 10% pasien
ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine akibat interval antara ketuban
pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah dini berhubungan dengan 30 hingga 40%
persalinan preterm dimana sekitar 75% pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini
dari jadwal (Anonim, 2006).

ETIOLOGI
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui
dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui.
Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah :
 Infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban (korioamnionitis) maupun
asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya
KPD seperti infeksi klamidia. Gejala klinik pada korioamnionitis antara lain ibu
menderita panas, uterus yang tegang, cairan vagina yang berbau, peningkatan denyut
jantung janin, leukositosis. (Anonim, 2007; Bruce, 2002).
 Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada
servik uteri (akibat persalinan, curetage). Pada seviks inkompetensia dengan servik tipis atau
kurang dari 39 mm memiliki resiko sekitar 25% terjadinya KPD. (Anonim, 2006; Anonim, 2007).
 Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus)
misalnya trauma, hidramnion, gemelli (50%), kembar tiga (90%). Trauma oleh beberapa ahli
disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya
hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD
karena biasanya disertai infeksi (Anonim, 2007; Mardjono, 1992).
 Kelainan letak misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas
panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah (Anonim,
2007).
 Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2-4x
 Kadar CRH ( corticotropoin releasing hormone ) maternal tinggi misalnya pada stress
psikologis,dsb. Dapat menjadi stimulasi persalinan preterm (Marjono, 1992; Anonim,
2004; Medina & Hill, 2006).

Pada kasus diatas tidak diitemukan factor predisposisi yang jelas sebab terjadinya KPD, tapi
prevalensi terjadinya KPD pada wanita tanpa adanya penyulit dalam kehamilan dan
persalinan adalah terjadinya asendering infection dari jalan lahir seperti infeksi klamidia,
streptococcus yang menyebabkan korioamnionitis. Infeksi ini merangsang pengeluaran
prostaglandin, mediator kimia sitokin, IL -1, TNF alpha dan meningkatkan MMP-1 sehingga
menyebabkan menipisnya selaput ketuban sehingga mudah pecah.

PATOFISIOLOGI
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan
trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi
interleukin-1 (IL-1) dan prostaglandin. Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan
aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan, sehingga terjadi
depolimerisasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah
dan mudah pecah spontan (Mardjono, 1992).

MANIFESTASI KLINIK
Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan memulai
persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode
latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia gestasional, misalnya
pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada
kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi berkisar hanya 4 hari.
Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi. Peningkatan
lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi premature memiliki
pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan
tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu pertama kehidupan. Beberapa
komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus
terhadap trauma radikal oksigen (Anonim, 2006).

DIAGNOSIS
Diagnosis harus didasarkan pada :
 Anamnesis dengan riwayat kapan keluar air, warna, bau
 Inspeksi dengan melihat keluarnya cairan pervaginam
 Inspekulo
Bila fundus ditekan atau bagian terendah digoyangkan keluar cairan dari OUE dan
terkumpul di forniks posterior.
 Pemeriksaan dalam ditemukan adanya cairan dalam vagina dan selaput ketuban tidak ada.
 Pemeriksaan laboratorium dengan kertas lakmus menunjukkan reaksi basa (lakmus
merah berubah menjadi biru) (Kumboyo dkk, 2001).
 Tes pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan kristal cairan amnion dan gambaran daun pakis
(Prawihardjo dkk, 2002).
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG) pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah
cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang
sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita oligohidromnion.
Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada
umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana (Anonim,
2007).
Pada pasien ini untuk mendukung diagnosis KPD dilakukan anamnesis didapatkan ibu
mengeluh keluar air dari kemaluan warna jernih dan tidak berbau serta tidak ditemukan adanya
tanda-tanda awal persalinan. Penentuan umur kehamilan pada pasien ini dilakukan dengan
pemeriksaan obstetric, yaitu TFU 28 cm yang menunjukkan kehamilan sudah aterm. Hal ini
dikarenakan pasien lupa dengan hari pertama haid terkhirnya.
Pada pemeriksaan dalam ditemukan pembukaan serviks masih 1 cm dengan penipisan
10% dan perabaan selaput ketuban ditemukan negative. Pada pasien ini setelah 1 jam dari waktu
pecahnya ketuban tidak didapatkan tanda-tanda inpartu berarti diagnosis KPD dapat ditegakkan.

KOMPLIKASI
 Infeksi intrauterine (korioamnionitis) ascendens dari vagina ke intrauterin. Pada ibu
kerentanan terhadap infeksi sangat tinggi dilhat dari gejala klinik panas, uterus tegang,
leukositosis.
 Prolaps tali pusat, bisa sampai gawat janin dan kematian janin akibat hipoksia (sering
terjadi pada presentasi bokong atau letak lintang).
 Prematuritas, persalinan preterm, jika terjadi pada usia kehamilan preterm.
 Distosia (partus kering) sering karena oligohidramnion atau air ketuban habis.
Pada pasien ini tidak ditemukan adanya komplikasi pada ibu dan/ atau janin.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan dengan komplikasi ketuban pecah dini perlu mempertimbangkan
morbiditas dan mortalitas immaturitas neonatal yang berhubungan dengan persalinan dan risiko
infeksi terhadap ibu dan janin.
1. Medikasi
 Kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca ketuban
pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan risiko terjadinya sindrom distress
pernafasan (20 – 35,4%), hemoraghi intraventrikular (7,5 – 15,9%), enterokolitis
nekrotikans (0,8 – 4,6%). Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason
(celestone ) intramuscular 12 mg setiap 24 jam selama 2 hari. National Institute of Health
merekomendasikan pemberian kortikosteroid sebelum masa gestasi 30-33 minggu, dengan
asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra amniotik. Pemberian kortikosteroid setelah
masa gestasi 34 minggu masih controversial dan tidak direkomendasikan kecuali ada bukti
immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis.

 Antibiotik
Pemberian antibiotic pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan
memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 1
gram dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian
amoksisilin 250 mg dan eritromisin 300 mg setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang
mendapat kombinasi ini dimungkinkan dapat mempertahankna kandungan selama 3 minggu
setelah penghentian pemberian antibiotik setelah 7 hari.

 Agen Tokolitik
Pemberian agent tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun tidak
memperbaiki luaran neonatal. Tidak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian agen
tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka panjang tidak
diperkenankan dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih jauh.

2. Penatalaksanaan berdasarkan masa gestasi


 Masa gestasi dibawah 24 minggu.
Sebagian besar pasien akan mengalami persalinan dalam 1 minggu bila terjadi ketuban
pecah dini dengan periode latensi sekitar 6 hari , dan sebagian besar yang lahir biasanya
mengalami banyak masalah seperti penyakit paru kronik, gangguan neurology dan
perkembangan, hidrosefalus dan cerebral palsy. Sekitar 50% janin dengan ketuban pecah
dini pada minggu ke 19 akan mengalami sindrom Potter, 25% pada mereka yang lahir di
minggu ke 22 dan 10% pada mereka yang lahir setelah masa gestasi 26 mingu. Pasien harus
mendapat konseling mengenai manfaat dan risiko penatalaksanaan akan kemungkinan bayi
tidak dapat bertahan secara normal.

 Masa gestasi 24 – 31 minggu


Persalinan sebelum masa gestasi 32 memicu morbiditas dan mortalitas neonatal berat. Bila
tidak dijumpai infeksi intraamniotik maka kehamilan diupayakan dipertahankan hingga 34
minggu. Bila ada infeksi intraamniotik maka pasien akan melahirkan dalam waktu 1
minggu. Klinisi harus memberikan kortikosteroid dan antibiotik serta melakukan penilaian
menyeluruh mengenai keadaan janin melalui monitoring fetal dan ultrasonografi.

 Masa gestasi 32 – 33 minggu


Biasanya Mengalami masalah dengan maturitas paru-paru, induksi persalinan dan
penanganan bayi premature harus segera direncanakan. Upaya mempertahankan kehamilan
lebih lama setelah maturitas paru akan meningkatkan risiko amnionitis maternal, kompresi
umbilical cord, rawat inap yang makin lama dan infeksi neonatal.

 Masa gestasi 34 – 36 minggu


Biasanya klinisi menghindari upaya memperlama kehamilan. Sebuah studi menunjukan
bahwa penatalaksanaan konservatif antara masa gestasi 34 hingga 36 minggu akan
meningkatkan risiko korioamnititis. Walaupun kortikosteroid tidak diindikasikan untuk
kehamilan lewat 34 minggu, pemberian antibiotik tetap dilakukan sebagai profilaksis
infeksi streptococcus group B dan fasilitasi penanganan neonatus perematur harus
disiapkan segera. Ketuban pecah dini preterm atau perterm PROM bukan merupakan
kontraindikasi persalinan pervaginam (Medina & Hill, 2006).

 Kehamilan Aterm
 Diberikan antibiotika ampicilin injeksi 1 gram
 Observasi suhu rectal tiap 3 jam, bila meningkat > 37,60C segera terminasi
 Bila suhu rectal tidak meningkat ditunggu 12 jam, bila belum ada tanda-tanda
inpartu dilakukan terminasi.
 KPD dengan kehamilan preterm berdasarkan perkiraan berat janin
Perkiraan berat badan janin > 1500 gr
 Diberikan antibiotika ampicilin 1 gr IV selama 2 jam selanjutnya amoksisilin
3x500 mg selama 3 hari
 Diberikan kortikosteroid untuk merangsang maturasi paru yaitu dexametason
2x19 mg IV selama 24 jam atau betametason 12 mg
 Observasi 2x24 jam, bila belum inpartu segera terminasi.
 Observasi suhu rectal tiap 3 jam bila kecenderungan meningkat 37,6 0C, segera
terminasi.
Perkiraan berat badan janin < 1500 gr
 Diberikan antibiotika ampicilin 1 gr IV selama 2 jam selanjutnya amoksisilin
3x500 mg selama 3 hari
 Observasi 2x24 jam, bila belum inpartu segera terminasi.
 Observasi suhu rectal tiap 3 jam bila kecenderungan meningkat 37,6 0C, segera
terminasi.
 Bila 2x24 jam air ketuban tidak keluar dilakukan USG
 Bila jumlah air ketuban cukup kehamilan dilanjutkan (konservatif)
 Bila jumlah air ketuban sedikit, segera terminasi
 Bila 2x24 jam air ketuban masih tetap keluar segera terminasi.
 Bila konservatif sebelum penderita pulang diberi nasehat
 Segera kembali ke RS bila ada tanda-tanda demam atau keluar air ketuban lagi
 Tidak boleh koitus
 Tidak boleh manipulasi vagina.

Yang dimaksud terminasi adalah :


 Induksi persalinan dengan oksitosin drip 5 unit dalam 500 cc Dextrose 5% dimulai 8 tetes
permenit, dinaikkan 4 tetes tiap 30 menit sampai his adekuat maksimal 40 tetes/menit.
 Seksio sesarea bila syarat oksitosin drip tidak terpenuhi atau drip oksitosin gagal.
 Induksi persalinan dianggap gagal bila dengan 2 botol drip oksitosin belum ada tanda-tanda
awal persalinan atau bila 12 jam belum keluar dari fase laten dengan tetesan maksimal.

Penatalaksanaan pada pasien ini sesuai dengan kehamilan aterm yaitu pasien datang dengan
keluhan keluar air dan dilakukan pemerikasaan didapatkan diagnosis KPD > 12 jam , diberikan
injeksi antibiotic ampicilin 1 gram/ 6 jam. Pada pasien ini dilakukan terminasi dengan rencana
persalinan pervaginam, untuk mempercepat terminasi kehamilan dilakukan induksi oksitosin drip
5 Unit dalam 500 cc D5% dimulai dengan 8 tetes/menit dinaikkan 4 tetes/30 menit sampai his
adekuat. Pertimbangan dilakukan induksi oksitosin drip karena dari hasil pemeriksaan pelvic
score didapatkan nilai pelvic score 6, dimana syarat mnelakukan induksi aoksitosin adalah bila
pelvic score sama dengan/ diatas nilai 5. Tetesan dipertahankan pada tetes oxy ke 24 karena his
sudah adekuat. 2 jam setelah HIS adequat dilakukan pemeriksaan dalam dan didapatkan
pembukaan serviks telah mencapai 5 cm ketuban negative penurunan kepala hodge II+, dengan
denominator ubun-ubun kecil. 1 jam kemudian sudah tampak doran teknus perjol vulka yang
menandakan waktunya dilakukan pimpinan persalinan. sepuluh menit kemudian bayi lahir
dengan kondisi baik, lahir plasenta lengkap dan kontraksi uterus baik tidak ada perdarahan aktif.
Kondisi 2 jam postpartum kondisi ibu dan bayi baik hingga ibu keluar rumah sakit tanggal 18
Januari 2008.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Ketuban Pecah Dini. The Largest Indonesian Gamers Community.

Anonim, 2007. Ketuban Pecah Dini. MedLinux Article.

Anonym, 2004. High Risk Pregnancy-Premature Rupture of Membrane (PROM)/Preterm


Premature Rupture of Membrane (PPROM). Univercity of Virginia. USA.

Bankowski, Brandon J et al, 2002. The John Hopkins Manual of Gynecology angd Obstetrics 2 nd
Ed. Lippincott Williams & Wilkins. Philadephia USA.

Kumboyo, Doddy A, dkk. 2001. Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan Ginekologi. RSU
Mataram. Mataram.

Marjono, Anthonius. 1992. Ketuban Pecah Dini dan Infeksi Intrapartum. FKUI. Jakarta.

Medina, Tanya M and Hill D. Ashley. 2006. Preterm Premature Rupture of Membrane: Diagnosis
and Management. American Familiy Physician. Orlando Florida.

Prawihardjo, S, dkk. 2001. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan maternal dan Neonatal.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo. Jakarta.
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 23 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : IRT
Status Pernikahan : Nikah
Alamat : Umpu Baru
MRS : 2-9-2018

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien mengatakan keluar air dari jalan lahir
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengatakan keluar air dari jalan lahir secara tiba-tiba sejak
1 hari ini. Warna jernih dan merembes. Ibu mengaku perut terasa mules yang menjalar ke
pinggang . Lendir bercampur darah (-). Gerakan janin masih dirasakan aktif oleh ibu. Riwayat
trauma disangkal oleh pasien hpht: ?-12-17 tp: ?-9-18

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
TD : 110/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 92 x/menit
Frekuensi nafas : 20 x/menit
Temperature : 36,20C
Status Generalis
Mata : An -/-, Ikterus -/-, THT dalam batas normal, pembesaran KGB (-)
Jantung : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : luka bekas operasi (-), striae gravidarum (+)
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat +/+

Status Obstetri
Leopold I : Teraba bagian lunak agak bulat tidak melenting (bokong)
Leopold II : Bagian janin teraba rata sebagai punggung kanan
Leopold III : Teraba bagian bulat keras dan melenting sebagai kepala
Leopold IV : Kepala sudah masuk PAP penurunan kepala 4/5
Tinggi Fundus Uteri : 28 cm Letak Kepala 4/5
Taksiran Berat Janin : 2635 gram
Kontraksi :-
Denyut Jantung Janin : 140 kali/menit
Pemeriksaan Dalam
VT : φ 1 cm efficement 10% ketuban (-) teraba kepala, denom belum jelas ↓ H I tidak teraba
bagian kecil janin atau tali pusat.
Pelvic score : Pembukaan serviks : 2 cm (1)
Panjang Serviks : 2 cm (1)
Station : -3 (0)
Konsistensi : lunak (2)
Position : anterior (2)
Nilai : 6

DIAGNOSIS
G4P3A0H2 A/T/H/IU dengan KPD
PENATALAKSANAAN
 Observasi Kesejahteraan Ibu dan Janin
 Cek lab : DL, HbsAg
Hasil Lab : Hb 11,2 gr %
Lekosit 16.600/mm3
Trombosit 220.000/mm3
HCT 36,7 %
HbsAg (-)
 antibiotik ampicilin 1 gram IV
 pro drip oxytocin bila CTG reactive

Anda mungkin juga menyukai