Anda di halaman 1dari 42

BAGAIMANA MUNGKIN?

(Eni Kurniati Haningtias)

Bagaimana mungkin aku melubangi sebuah kepercayaan yang sangat berarti. Sementara, hanya
tangis yang aku dapat saat ini. Bagaimana mungkin aku menghilangkan ingatan tentang mereka
yang sangat berkesan. Sementara, hanya duka yang menemani hari hariku kini. Bagaimana
mungkin aku memvonis mereka sebagai seorang yang jahat. Sementara, aku baru menyadari
bahwa akulah pemeran antagonisnya. Bagaimana mungkin?

Bagaimana mungkin aku bisa terbebas dari jeratan benang rumit yang aku lingkarkan sendiri
kepada hidup nestapaku. Membiarkan benang benang iti tumbuh bak ular yang melilit tubuhku.
Apakah aku sakit? Iya, aku sakit. Bagaimana mungkin aku melakukan hal yang sungguh
menyakiti hati dan pikiranku? Sementara, mereka sudah melarang aku untuk mengambil
benang benang kematian ini. Iya, rasanya hatiku sudah mati. Bahkan, ragaku. Hati, raga, jiwa,
dan pikiranku seperti sedang berbaring di ruang serba putih dilengkapi dengan jendela yang
tertutup. Gelap. Disamping ranjangnya, ada alat alat medis yang kapanpun akan siap
menyentuh tubuh lemahku. Aku merasa terpenjara sebabku sendiri.

Bagaimana mungkin aku merobek lembaran lembaran indah yang selama ini aku idam idamkan.
Sementara, kini tak ada lagi yang menemaniku menulis lembaran baru. Kesalahan ada pada
diriku. Aku mengakui kesalahanku. Aku mengakui kejahatan yang pernah aku lakukan.

Bagaimana mungkin aku menumpahkan kemarahan, kebencian kepada orang orang yang
sangat aku cintai. Sementara, mereka kini telah menghilangkan aku dari hidupnya. Bagaimana
mungkin aku melakukannya? Bagaimana mungkin?

Lantas, bagaimana mungkin aku masih memiliki nyali bertemu dengan orang orang itu. Orang
yang telah aku caci, orang yang telah aku maki. Bagaimana mungkin aku bisa melihat wajah
wajah teduh itu lagi? Bagaimana mungkin aku bisa menjabat jemari ini dengan jemari lembut
mereka? Bagaimana mungkin kata maaf dengan mudahnya aku katakan, jika keyakinanku
adalah percikan kebencian sudah mulai ada dihati mereka untukku? Bagaimana mungkin aku
bisa berdiri dihadapan mereka dengan beribu keping luka atas penyesalan? Bagaimana
mungkin seorang aku bisa memeluk erat tubuh mereka seperti malam itu? Bagaimana mungkin
aku menjalani kehidupan duka ku ini? Sungguh aku membutuhkan kembali sosok sosok seperti
kalian. Sungguh.

Bagaimana mungkin??

Malang, 8 Mei 2018

17.41 WIB

DUA PIKIRAN, SATU JIWA


(Eni Kurniati Haningtias)

Dear my best friend..

Aku menulis surat ini bukan sebagai bentuk perpisahan kita. Aku menulis surat ini karena aku
ingin melihat orang yang aku rindukan bisa bahagia atas apa yang aku lakukan. Aku pun tak tau,
bagaimana perasaanmu saat membaca surat ini. Tapi ketahuilah, ketika kamu membaca surat
ini aku sudah pergi. Pergi ke tempat yang aku impikan sejak kecil. Bukankah kita yang sama
sama merancang masa depan ini?

Ella.. Kamu masih ingat saat pertama kali kita berjumpa? Kalau kau masih mengingatnya, tolong
ingatkan aku. Aku sungguh melupakan moment itu. Seharusnya aku tak boleh melupakannya.
Aku bodoh karena telah melupakan itu.

Ella... Sewaktu kita bersama, masing masing dari kita sudah mengorbankan banyak hal. Tenaga
dan bahkan pikiran. Aku tau, kamu menyanyangiku, begitupun juga aku. Tak akan ada yang bisa
memisahkan persahabatan kita saat itu kecuali pengkhianatan yang mungkin saja terjadi. Dan
benar saja, itu semua terjadi. Maafkan jika aku mengungkit ini lagi. Tapi sampai detik aku
menulis surat ini pun, hatiku masih tidak rela dengan apa yang sudah kamu lakukan untukku.
Dalam pikiranku ada dua bagian, La. Bagian pertama, aku merasa terbohongi dengan ini. Apa
yang disebut sahabat tak akan membohongi, itu pikirku. Aku merasa menjadi manusia yang
nomor ribuan dihidupmu. Seolah aku bukan siapa siapa lagi. Seolah, ada atau tidak ada aku,
bagimu sama saja. Atau dengan tidak adanya aku, kamu malah lebih nyaman, La. Itulah
alasannya kenapa sejak itu aku sering diam dan berbicara seadanya saja. Karena saat itu aku
sedang marah. Dan, apa yang bisa aku perbuat dalam kemarahanku kepadamu selain diam? Itu
pula alasanku, kenapa aku sering mengunci pintu kamarku untukmu. Karena aku sedang tidak
ingin berbicara dengan orang yang telah mengkhianatiku. Kamu tau bagaimana perasaanku saat
itu? Rasanya, aku adalah makhluk paling kecil. Lebih kecil dari plankton, dan siapa yang peduli
dengan makhluk serendah plankton? Berjam-jam aku hanya bisa menangis. Merapati nasib
persahabatanku. Aku bahkan berpikir bahwa kamulah orang paling jahat yang pernah aku temui.
Bagian lainnya, aku sangat merasa bahwa akulah makhluk paling jahat di dunia ini. Apakah aku
tak memiliki celah maaf untuk seorang sahabat yang telah banyak berjasa bagi hidupku? Aku
merasa akulah yang salah, bukan kamu. Bagaimana beribu kebaikanmu terbuang sia sia dengan
satu kejahatan yang aku yakini semua orang bisa menerima kejahatan ini.

Aku manusia bodoh, La. Dengan mudahnya aku membuang semua kenangan persahabatan kita.
Hingga akhirnya kita berpisah. Hingga waktu tak jua memberi kesempatan untuk kita bertemu
dalam ruang yang kita rancang bersama, yang kita sebut masa depan. Kita menjalaninya masing
masing, tanpa tau bahwa kita adalah pernah bersahabat.

Ella... Maafkan aku atas segala egois. Maafkan aku jika sampai detik masa depan kita, belum
juga aku temui titik apakah aku sudah memaafkanmu atau belum. Sangat sulit bagiku. Aku
belum bisa menyatukan dua pikiranku untuk menjadi satu pikiran yang adil untuk kita berdua.
Maaf, aku belum bisa. Mungkin, karena hatimu sungguh baik, memaafkanku sudah menjadi apa
yang kamu lakukan jauh jauh hari. Tapi, aku bukan kamu yang dengan mudah memaafkan
seseorang begitu saja, walaupun itu adalah orang yang pernah aku panggil sahabat.

Ella... Untuk saat ini, kamu tidak lagi bisa menjadi sahabatku. Hatiku sulit menerimanya. Kamu
adalah temanku. Aku berharap, kita dapat bertemu dalam suatu waktu. Aku ingin mendengar
apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena sungguh dari sudut hatiku masih menginginkan nama
Ella sebagai seorang sahabat.

Peluk cium dari orang terjahat dihidupmu.. "

8 Mei 2018

SENYUM SENJA DI HERINGSDORFER STRAND

(Eni Kurniati Haningtias)


Senja, 10 Mei 2018.

Senja kali ini berbeda. Semburat warna jingganya mampu menusuk jantung kehidupanku.
Cahaya sore nya menelusup sampai ke relung hati. Angin senja ini membawa kabar yang
menyejukkan. Lebih menyejukkan dari harapan harapan yang selama ini aku buat, tanpa tau
kapan akan menjadi nyata.

Senja inilah yang telah aku tunggu sejak lama. Setelah masa kuliahku berakhir, mungkin sejak
itu aku mengidam idamkan senja ini. Tapi, bukan. Bukan karena aku menyukai senja di tempat
ini. Aku sering menikmati senja di pantai ini. Tapi, hari ini begitu spesial. Senjaku adalah
menunggu di Heringsdorfer Strand. Pantai di Pulau Usedom Negara Jerman ini selalu menjadi
tempat yang ku kunjungi sebulan sekali semenjak perjalanan Berlin ku dimulai.

Kutengok jam yang dengan santai bersandar di pergelangan tanganku. Lima menit lagi dia akan
datang, batinku.

"Guten Abend.. " Ada sentuhan hangat ketika suara itu aku dengar. Rasanya gairah hidupku
membuncah kembali. Aku tak langsung membalikkan badan ke sumber suara, karena
sapaannya mungkin bukan untukku. Kurang lebih orang yang belum aku liat wajahnya itu
mengucapkan selamat sore dengan bahasa jerman. Itulah mengapa aku bahkan tak menoleh
atasnya.

"Sampai kapan aku harus disini? " Suara itu kembali menyentakku. Bagaimana mungkin? Aku
membalikkan badan begitu cepat. Mataku kembali lagi melihat wajahnya. Orang yang dua
tahun ini sudah berpisah jarak dan waktu denganku. Hatiku sangat merindukan perempuan
berjilbab pitch yang saat ini berjarak beberapa centi saja dari tempatku berdiri. Tangannya
menyalami punggung tanganku dan langsung memeluk erat tubuhku. Tak bisa aku mengatakan
apapun, bahkan setelah aku merancang kata kata yang akan diucapkan saat bertemu
dengannya.

"Eni... Kau sungguh hebat sekarang. " Aku tau dari nada bicaranya bahwa dia sangat bangga
atas pencapaianku sekarang.
"Harusnya kau datang lima menit lagi. "

"Apa salahnya mencuri waktu lima menit saja dari orang yang sangat aku rindukan. "

Aku dan dia tertawa. Menikmati senja. Menikmati waktu.

"Eni... Ceritakan apa yang tidak aku ketahui darimu selama dua tahun ini ! Aku rasa Eni sekarang
sangat berbeda dengan Eni yang terakhir aku temui saat wisuda S1." Dia bertanya seolah dalam
kehidupan singkat ini tidak ada masalah antara aku dan dirinya. Tapi...

"Eitss... Sebelum menjawab. Aku mau mengucapkan 'Congratulion'. Aku sudah membaca
bukumu. Itu keren, En. Bayangkan, seorang Ella yang anti baca novel bisa menyukai novelmu
dalam waktu singkat. "

Iya, orang yang ada dihadapanku ini adalah Ella. Orang yang pernah menjadi sahabatku dulu.
Orang yang selalu menjadi perhatianku meskipun kemarahan untuknya masih tetap melekat di
hati.

"Jangan jangan kamu menyukainya karena penulisnya adalah aku. " Aku mencibirnya. Berusaha
menjatuhkan tembok yang sejak tadi menghalangi segala sikap yang akan aku perbuat.

"Yeeee... Enak saja. Seriously, novelmu itu keren. Kapan mau nulis yang kedua? "

"Masih dalam tahap pengerjaan, La. Doakan saja segera selesai dan bisa aku kirim ke penerbit
di Jakarta secepatnya. "

"Aamiin. By the way, aku kaget ketika kamu mengirimiku tiket pesawat ke Jerman. Sekarang,
aku mau tanya. Sebegitu kangennya kah seorang Eni dengan Ella? "

"Apa sih, La. Aku ngasih kamu tiket karena aku ingin kamu datang di acara wisudaku tiga hari
lagi. "

"What??? En?? Wisuda S-2?" Tanyanya dengan gaya alay yang langsung kujawab dengan
anggukan kepala.
"Aku juga mau mengajak temanku ini jalan jalan di Jerman. " Aku kembali tersenyum untuk
kesekian kalinya.

"En, banyak hal yang belum aku ketahui darimu. Sejak wisuda S-1 kita dua tahun lalu, hanya
satu surat yang aku dapat darimu. Dan kamu pun hanya mendapat satu surat dariku. Banyak
yang ingin aku tanyakan tentang hidupmu, En. Tentang kuliah di Jerman dan juga pekerjaan
menulis yang memang telah kamu impikan sejak awal. Semuanya, apa yang kamu cita citakan
akhirnya terwujud. Aku bahagia atas itu. Kuliah luar negeri sampai menjadi penulis ini adalah
cita citamu kan?

En, hidupmu berubah dua tahun ini. Begitupun dengan hidupku. Aku tak tau jika saja kamu
tidak mengirimiku tiket pesawat, apakah aku masih bisa melihat kamu. Rindu itu selalu datang.
Kamu tau reuni angkatan kita setahun lalu? Itu cukup membuatku menangis tanpa kehadiran
dirimu. Aku datang di acara itu hanya karena aku ingin menjumpai orang yang selalu menjadi
sandaraku. Aku... "

"Sstttt..." Dengan sengaja aku memotong pembicaraannya karena aku tidak ingin mengubah
senja indah ini menjadi senja tangis. "Aku juga merindukanmu. Itulah salah satu alasanku
kenapa aku memanggilmu untuk menenuiku disini, La. "

Kami saling berpelukan. Kami menutup hari ini dengan berbagai kebahagiaan. Kebahagiaan
yang aku rancang sejak dua tahun lalu.

"En? "

"Iya? "

"Kamu hutang cerita kepadaku. "

Dan senjapun tersenyum melihat kami.

GEMURUH HATI

(Eni Kurniati Haningtias)


"Dear My Lovely..

Kemarin aku mengirim pesan rindu untukmu lewat senja. Apa senja sudah tiba di Berlin, En?
Aku harap senja sudah menyampaikannya. Jika senja sudah meluapkan rinduku untukmu,
sebenarnya itu hanya seperempat bagiannya saja. Karena disini, dihatiku, rindu itu masih
meluapkan gejolak gejolak ingin berjumpa dengan sosok yang dirindukan.

Aku selalu mengikuti apapun yang kamu lakukan dari sosial mediamu. Tentang perjalanan
Berlin. Itu sungguh luar biasa hebat. Aku tak menyangka bahwa sahabatku kini sudah
menempati posisi mimpinya.

Aku tak pandai berkata kata seperti suratmu sebelumnya, atau novel yang kamu terbitkan
beberapa bulan lalu. Tapi percayalah, aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Tak peduli
kamu menganggap aku apa. Yang jelas, do'aku akan menjadi pendamping paling setiamu di
Berlin.

Rindu.. "

Itu adalah surat balasan Ella 6 bulan lalu yang memang dengan sengaja tidak aku balas. Surat
singkat itu sudah banyak menggambarkan perasaan Ella untukku. Bahwa dia juga merasakan
hal Yang sama. Rindu. Hari ini aku membacanya kembali. Karena rindu itu masih bersemanyam
di lekukan hati yang sulit dijangkau.

Kalian yang membaca ini, apakah ada pertanyaan untuk hatiku? Bagaimana tentang hatiku saat
ini? Bicara tentang hati yang saat ini bekerja pada tubuhku, aku sangat bahagia. Kedatangan
Ella untuk menemuiku adalah salah satu cita cita yang hanya diketahui oleh Allah. Wajar, jika
bahagia berotasi dalam hidupku detik ini. Dia tidak banyak berubah, hanya saja dia sekarang
lebih cerewet. Entah apa yang telah ia makan dua tahun ini sampai ia begitu cerewet.

Bicara tentang hati lagi, Ella selalu memberi tamparan keras untukku. Bagaimana dengan
pertemuan pertamaku setelah wisuda ini dapat meluluhkan hatiku untuk menganggapnya
sebagai sahabatku lagi.
Setelah melewati senja di Heringsdorfer Strand kemarin, tak banyak yang kami lakukan. Namun
dari tak banyak itulah aku mendapat kesimpulan bahwa hatiku sedang mengalami masa masa
kritisnya. Gemuruhnya masih aku rasakan sampai detik ini meski bahagia itu muncul di
permukaannya.

"Eni? Ayo makan. Nasi gorengnya sudah siap. "

"Ayo. Aku mau merasakan nasi goreng yang mau menandingi enaknya nasi goreng buatanku. "

"Ya jelas yang paling enak punya chef Ella dong. "

"Ah, dalam hal memasak bukannya chef Ella hanya bisa membuat nasi goreng sederhana? "

Nasi goreng yang dia buat memang tidak begitu enak, tapi aku menikmatinya. Karwna
kehadirannya mampu membuatku merasakan nasi goreng paling enak di dunia.

SAKSI SUNGAI REIHN, BRAUBACH JERMAN

(Eni Kurniati Haningtias)

"Berlin sungguh diluar dugaan ku. Setiap angin yang berhembus disini, selalu ada makna yang
dibawa. Setiap cahaya matahari menelusuk jantung tubuh ini, disitulah oksigen muncul sebagai
penyegarku. Jika ada yang bertanya kepadaku kenapa harus Jerman? Dan kenapa harus Berlin?
Jawabku adalah karena disini adalah bagian dari duniaku. Jerman adalah duniaku sejak dua
tahun lalu. Kenyamanan yang aku rasakan disini, sama hal nya ketika belaian hangat seorang
ibu dirasakan oleh anaknya. Kutemukan banyak hal disini, termasuk masa depan mimpiku.

Mungkin sudah menjadi rahasia umum jika seorang seperti aku, yang egois, moody, banyak
bicara, bercita cita menjadi seorang penulis hebat seperti Tere Liye, Ahmad Fuadi, atau Asma
Nadia yang dengan mudahnya berdakwah lewat tulisannya. Sudah banyak tinta yang aku
torehkan untuk menggapai cita itu. Apa yang telah aku perjuangkan untuk sebuah cita cita ini
adalah proses menuju sukses ku. Bahwa aku bisa disini sekarang adalah karena tinta itu. Tiga
bulan sebelum wisuda, aku memberanikan diri untuk mengirim tulisanku ke penerbit.
Harapanku saat itu adalah agar orang lain bisa membaca tulisanku. Meskipun aku bukanlah
seorang yang belajar hal tulis menulis, setidaknya aku percaya bahwa Tuhan-lah yang memberi
inspirasi menulis pada setiap orang, termasuk aku. Satu bulan berlalu, aku sempat putus asa.
Telfon dari penerbit yang aku tunggu tunggu belum juga berdering. Aku putus asa. Aku bahkan
berpikir bahwa tulisanku sangat jelek sehingga tak pantas untuk dibaca masyarakat. Sejak itu,
selama 2 bulan aku berhenti menulis. Aku akui bahwa selama dua bulan itu inspirasi selalu
datang. Tapi aku takut kecewa. Aku bahkan tak mau memegang pena untuk aku gesekkan di
lembaran. Namun Tuhan berkata lain, ternyata dalam kekecewaan ku ada sahabat yang
mengurus semua penerbitan buku pertamaku. Dia memang sahabat yang sangat baik bagiku.
Alhamdulillah, setelah satu minggu wisuda, launching buku perdanaku dimulai. Perasaanku saat
itu, jangan ditanya lagi. Aku pasti bahagia. Hari itu tak henti hentinya aku tersenyum. Hari
launching buku itu adalah hari kesombongan ku. Entahlah, aku sangat bangga dengan diriku
sendiri. Aku merasa sedang menikmati angin segar dari tempat tertinggi di muka bumi ini. Tapi,
maafkan aku. Aku tidak mengundang mu dengan sengaja. Kemarahan itu masih ada. Maafkan
aku."

"Ketiadaan ku malah membuat hidup yang kamu jalani semakin enak. "

"Bicara apa kamu, La? Justru karena ketidakhadiran mu di launching bukuku, aku merasa kamu
berusaha menghindar dariku. Kamu hanya diam tanpa mengejar ku lagi. "
"Maafkan aku. "

"Ketiadaanmu justru membuatku lebih yakin, bahwa Jerman adalah tempatku selanjutnya.
Berlin adalah tempat yang tepat untuk melupakanmu sebagai sahabat. Itulah alasan ku
menyetujui S2 disini. Tapi tahukah kamu? Perjalanan Berlin yang sering aku sebut sebagai
perjalanan paling menyenangkan itu hanya fiktif. Nyatanya aku tak sebahagia itu disini. "

"En... Mungkin perjalanan Berlin yang sering kamu sebut itu memang bukan perjalanan yang
menyenangkan. Itu karena ketiadaan ku. Tapi lihatlah sekarang! Ada aku disini, aku janji akan
mengubah perjalanan Berlin menjadi perjalanan yang penuh sejarah di hidupmu. Percayalah,
En! Aku akan berusaha untuk sahabatku.

Bolehkah aku berbicara pada sungai Reihn ini?"

Aku tak mengerti dengan apa yang akan dilakukan Ella pada sungai Reihn. Tapi aku hanya
menganggukkan kepala tanda setuju dengan apa yang akan ia lakukan.

"Sungai Reihn.. maukah kamu menjadi saksi betapa harus persahabatan aku dan Eni kembali
lagi? " Ia menoleh sebentar ke arahku, dan melanjutkan perbincangannya dengan alam. "Aku
datang kesini untuk kamu menjadi saksiku. Perhasabatan ini harus kembali utuh, sungai Reihn.
Aku ingin kembali mendapatkan kasih sayang seorang sahabat dari orang yang ada disamping
ku ini"

"Aku pernah datang ke sungai Reihn seorang diri. Aku pikir aku bisa melihat bayangan awan
putih di permukaan sungai. Tapi nyatanya, yang kulihat adalah wajah kita berdua. Bahkan
sebelum kamu memintanya, Sungai Reihn telah menjadi saksi jauh persahabatan kita di
Surabaya. Ella, kamu adalah sahabatku lagi sekarang. Itu bukan dari mulut ku, tapi inilah inti
pembicaraanku dengan Sungai Reihn 1 tahun yang lalu. "

Sungai Reihn di Kota Braubach ini benar benar telah menjadi saksi ku sekarang.
TANGIS BRANDENBURG GATE

(Eni Kurniati Haningtias)

"Sungai Reihn di Jerman siang tadi telah menjadi saksi perjalanan hidupku di Jerman. Tanpa
sadar, aku mencintai sungai reihn. Keindahannya, kenyamanannya, dan segala hal yang mampu
membuatku bergumam Subhanallah. Tuhan Maha Baik masih memberiku waktu untuk
merasakan dinginnya sungai reihn. Aku tak akan pernah melupakan pagi tadi. Begitupun
dengan malam ini, aku tak akan pernah melupakannya. Brandenburg Gate bukan hanya sebagai
simbol penyatuan Berlin barat dan Berlin timur, tapi juga sebagai pintu gerbang kebahagiaan
hidup kita selanjutnya. Aku berharap dari sini akan muncul bahagia bahagia yang tak
merencanakan. Akan muncul tawa yang akan mengiringi segala bentuk perjalanan kita. Akan
ada kenyataan dari mimpi mimpi yang selama ini bersembunyi di tempat ternyaman, hati.

En. . Ini adalah kali pertama aku mengunjungi Jerman. Semuanya yang aku dapatkan
disini,dimulai dari senja di Heringsdorfer Strand, dinginnya air sungai Reihn, sampai betapa
menawan nya Brandenburg Gate. Itu semua adalah berkat dirimu. Aku sangat berterima kasih
atas ini. Aku menyadari bahwa sebuah mimpi itu tidak pernah sia sia. Apa yang aku alami ini,
adalah bukan mimpi, tapi aku bahagia atas ini. Aku bukan orang yang fanatik terhadap Jerman
seperti dirimu, tapi karena ini aku mencintai Jerman. Aku ingin menjadi bagian dari Jerman, jika
disinilah tempatmu berada.

Bicara tentang persahabatan kita tak akan pernah ada habisnya. Sejak pertengkaran itu terjadi,
aku akui kesepian selalu melanda hati. Ketidakhadiran mu di sisi ku sungguh sangat menyiksa.
Saat itulah aku benar benar paham bahwa aku sangat mencintai orang paling egois di dunia ini.
Saat itulah aku sadar bahwa aku merindukan orang paling munafik di dunia. Itu adalah kamu.
Aku menyadari betapa pentingnya kehadiranmu dalam hidupku. Kamu benar En, yang kamu
tulis di buku mu itu, tentang makna seutuhnya sahabat. Tanpa sahabat kita tidak akan memiliki
pundak tempat bersandar. Aku tak punya sandaran hidup setelah pertengkaran kita waktu itu.
Sungguh, ketiadaanmu sangat membuatku mengerti betapa penting ketidaktiadaanmu
dihidupku. Cintaku kepadamu sebagai sahabat aku rasakan putih dan utuh. Belum ada yang bisa
mengotori cinta ini meski itu adalah pertengkaran yang membuat waktu membangun sebuah
tembok sebagai penghalang komunikasi kita. Aku sangat menyesalkan waktu dua tahun ini,
tanpa kehadiran dirimu. "

"Ella... Tuhan tidak akan pernah tidur, itu adalah hal mutlak. Tidak perlu diperbedatkan lagi hal
itu. Namun ada satu hal lagi yang tak boleh diperdebatkan, itu adalah mengenai perasaan
mencintai sahabat egois dan munafik seperti itu. Bahkan sekalipun terhalang oleh tembok yang
setinggi langit. Aku tidak pernah meragukan kecintaanmu terhadapku, dulu aku meragukan
kesetianmu, itu saja.

Jerman dan Berlin adalah tempatku sekarang. Dan keduanya telah memberi banyak pemaknaan
selama dua tahun terakhir. Aku hanya ingin merasakan detik detik terakhir ku di Jerman
bersama dengan sahabat yang tak lekang oleh waktu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku
hanya berdua dengan sahabatku. Bahkan, aku tak mengajak pasangan ku untuk hadir di tengah
tengah kita karena aku tidak ingin membuang waktuku lagi dengan sahabat seperti mu, La.
Biarkan aku mengatakan beribu ribu tanda cinta untukmu. Kau sahabat terbaik yang pernah
miliki, meskipun kamu bukanlah satu satu nya orang yang terbaik bagiku. "

Malam di Brandenburg Gate ini membuatku meneteskan air mata. Entah kenapa jantungku
terpompa lebih cepat dari biasanya. Darah mengalir ke sekujur tubuhku sudah tak ku rasakan
lagi. Inilah yang dinamakan sebagai akhir penantian, bahwa semua yang terjadi pasti akan
happy ending meski tak dipungkiri air mata akan selalu hadir.

Aku melihat sosok di samping ku, ia juga menitipkan cairan kesedihan. Entah apa yang kita
berdua tangis kan malam ini. Yang jelas, Brandenburg Gate turut berduka atas ini.

TANDA TANYA

(Eni Kurniati Haningtias)

....Malam di Brandenburg Gate ini membuatku meneteskan air mata. Entah kenapa jantungku
terpompa lebih cepat dari biasanya. Darah mengalir ke sekujur tubuhku sudah tak ku rasakan
lagi. Inilah yang dinamakan sebagai akhir penantian, bahwa semua yang terjadi pasti akan
happy ending meski tak dipungkiri air mata akan selalu hadir.
Aku tak merasakan segarnya oksigen Jerman lagi. Semuanya yang ada didepanku hanyalah
cahaya yang akupun tak tau sumbernya darimana. Semuanya begitu terang tapi tak seorang
pun bisa aku lihat. Seolah aku sudah tak berdaya lagi. Padahal, dengan jelas aku mendengar
keramaian disekitar sini. Tapi, tak seorang pun disini, termasuk sahabatku, Ella.

Aku kecewa terhadap sahabatku. Dalam kesendirian, dia dengan tega meninggalkanku di
tempat ini. Tempat ini terlalu terang jika hanya dihuni olehku. Aku dilanda kesepian yang
mendalam. Apa yang sudah dia tinggalkan, tentang ke seorang dirianku, menangis adalah hal
yang bisa aku lakukan. Apalagi yang bisa lakukan selain ini? Air mataku turun dengan deras. Tak
ada niatan sedikitpun bagiku untuk menghapusnya. Biarkan Tuhan tahu bahwa aku sudah
dikecewakan untuk yang kedua kalinya. Ella bukan sahabat yang sebenarnya. Dia jahat telah
meninggalkanku di Jerman. Bukankah dia baru saja berterima kasih atas ku karena telah
membuatnya menginjakkan kaki di tanah kelahiran Hitler ini? Bukankah dia baru tadi siang
mengatakan jika ia mulai mencintai tempat Pak Habibie menempuh kuliah ini? Semuanya hanya
omong kosong.

Dalam kesendirianku, mencaci Ella adalah hal yang bisa kulakukan selain menangis. Namun ada
yang aneh, ketika aku merasakan sentuhan lembut menghapus jejak air mataku. Mataku tak
bisa melihat orang itu. Tempat aku disini sangat terang hingga aku tak bisa melihat wajah orang
yang berbaik hati mengusap air mata yang keluar untuk kesekian kalinya karena Ella. Siapa dia?
Sentuhan nya begitu familiar aku rasakan.

"En.. Tuhan yang kita miliki sangat baik bukan? Allah telah memberi kesempatan untuk kita
saling intropeksi diri. Sangat lama, 2 tahun. Aku melewati dua tahun begitu lambat, berbeda
denganmu. Perubahan yang ada pada dirimu dua tahun ini, sudah berkali kali aku mengatakan
bahwa aku bangga menjadi sahabatmu. Kamu adalah orang hebat. Kau sanggup melewati dua
tahun yang lalu. Menutupi segala duka yang kamu rasakan karena jarak yang memisahkan
hubungan persahabatan kita. Kamu mampu berdiri di depan banyak orang, mengumumkan
bahwa dirimu adalah seorang penulis handal. Kamu bisa berujar bahwa kamu adalah mahasiswi
beasiswa Jerman yang hebat, yang patut dicontoh. Dan kali ini, aku mohon. Kamu juga harus
bisa berdiri. Kamu harus bisa mengatakan bahwa kamu benar benar kuat. "
Suara itu.. Suara yang mendamaikan. Bukankah itu suara Ella? Kenapa dia seperti memaksa ku
untuk berdiri dan mengatakan jika aku kuat. Kenapa Ella seperti menangis ketika mengatakan
itu? Kenapa?

SATU HARI SEBELUM WISUDA

(Eni Kurniati Haningtias)

Aku sangat yakin dengan apa yang aku dengar. Itu adalah suara Ella. Mungkinkah dia juga ada disini
mendampingi ku? Aku juga mendengar suara orang yang telah melahirkanku, ibu. Aku tidak salah lagi.
Iya, aku harus menemukan mereka dalam terangnya cahaya ini. Aku mencoba menggerakkan kedua kaki
dan kedua tanganku, tapi kenapa aku bahkan tak bisa menggerakan nya. Apa yang sebenarnya terjadi.
Lama sekali aku berusaha. Hingga cahaya yang kulihat lama kelamaan redup dan gelap seketika. Dalam
kegelapan ini aku mencoba membuka kedua mata. Berharap sebuah cahaya terang akan kembali lagi
hadir. Pelan dan pelan aku membuka kelopak mataku. Dan disinilah, aku menemukan keduanya. Ibu dan
juga Ella. Mereka ada di hadapan ku sekarang.

"Alhamdulillah. Akhirnya kamu sadar, nak. " Ucap ibu sambil memeluk dan tak henti hentinya untuk
menangis. "Ibu sudah tidak tau lagi jika kamu benar benar meninggalkan ibu untuk selama lamanya. "

"Eni.. Alhamdulillah.. " Ella berucap sambil mengusap air mata yang baru saja menetes dari pelupuk
matanya.

Aku sebenarnya ingin menanyakan apa yang sedang terjadi. Tapi apa dayaku. Berucap pun aku tak
sanggup. Keinginanku untuk bertanya jauh lebih besar daripada kesakitan ku sekarang. Setelah ibu
pamit untuk pergi sholat dhuhur, aku segera bertanya kepada Ella.

"Ella... A.. pa yang sebe.. narnya terja.. di? " Ucapku sambil menahan sakit.

"Malam di Brandenburg Gate kemarin, setelah kamu menceritakan apa yang kamu rasakan. Tiba tiba
kamu menangis dan tak sadarkan diri. Aku segera meminta pertolongan dan kamu dibawa ke rumah
sakit. Eni.. Dengarkan aku. Ibumu sudah datang, itu artinya wisuda mu akan segera dilakukan. Kamu
harus sehat agar besok wisadamu berjalan lancar."

Besok adalah hari penting bagiku. Yang aku sesali, kenapa penyakitku kambuh ketika hari penting itu
tiba. Aku memang sering pingsan,atau mungkin bisa dibilang koma dalam waktu beberapa hari. Dan saat
itu aku hidup di ruang yang amat terang penuh dengan cahaya. Itulah yang kaku rasakan beberapa
waktu lalu. Tak sadarkan diri.

"Eni.. Bukan aku ingin menambah beban yang ada di hidupmu. Aku menceritakan ini agar kamu bisa
semangat lagi. Tadi pagi ketika ibumu datang, hal pertama yang ia lakukan adalah menciummu. Mungkin
ia merindukan putrinya. Ketika aku bertanya kapan terakhir kamu pulang, ibumu mengatakan satu
tahun lalu. Itu artinya sudah satu tahun kamu tidak melihat wajah keriput nya. Ibumu pasti
merindukanmu. Sangat merindukanmu. Dari tadi pagi, ibumu terus berada disini dan tak mau keluar
kemana pun. Bahkan satu tetes air pun belum diteguknya. Ibu sangat khawatir terhadap kondisi mu.
Kenapa kamu tidak menceritakan ini sebelumnya. Tentang sakit mu. Ini juga kali pertama ibumu datang
ke Jerman. Sama seperti ku, ibumu juga pasti senang. Datang ke Jerman dan hadir di wisuda anaknya,
pasti ibumu sangat bangga. Tapi kenapa dengan kebahagian yang belum saja digapai, kamu menghapus
bayang bayang kebahagiaan itu? Kenapa? Kasian ibumu. Kamu harus kuat, kalaupun bukan untukku.
Setidaknya untuk ibumu sendiri. "
Apa yang dikatakan Ella benar. Aku mengundang ibu dan Ella ke Jerman untuk mendatangi wisudaku,
bukan untuk menjenguk ku. Aku merasa ada kekuatan baru dalam hidupku. Dengan pasti suara ku tak
lagi terbata bata, hanya saja kondisiku memang masih lemah.

"Aku rindu ibu, La. Kamu benar, aku harus kuat. Aku besok wisuda, hari bahagia ku akan segera tiba. La,
Jerman ini... "

"Ssstttt... Jangan banyak bicara jika kamu ingin hadir dalam wisudamu besok. "

DANKE

(Eni Kurniati Haningtias)

Fajar pagi ini aku sengaja menangis. Meratapi nasibku yang sungguh malang. Harusnya detik ini
aku harus bersiap menuju acara wisuda. Bola bola kepedihan yang jatuh dari kedua mataku
adalah bukti kekecewaan ku. Bagaimana mungkin aku mengecewakan Ibu dan Ella yang sudah
datang jauh jauh dari Indonesia demi untuk saksi gelar yang secara resmi disematkan
dibelakang namaku.
"Ya Allah.. Kenapa? " Ucapku merintih.

Pertama, aku melihat tubuh tak berdaya ku. Tubuh yang sudah aku topang lebih dari dua puluh
tahun ini. Tubuh yang selalu aku yakinkan untuk tetap kuat meski dalam kelemahan batin. Ini
tubuh yang lemah sekarang. Aku tak memiliki kekuatan apapun. Aku pun tak bisa bertengkar
dengan ibu seperti kemarin malam, hanya karena aku ingin datang di acara wisuda. Ella
mengatakan hal yang benar. Kemarin malam, ibu benar benar meluapkan rindunya kepadaku.
Tubuhku yang sedang berbaring ini dipeluk dan diciuminya. Ibu pun sempat mengatakan jika
bapak,kakak, dan juga kedua adik sedang merindukan ku di Malang.

Kedua, aku melihat tubuh ibu yang sedang tertidur lelap di sofa ruang rawat inap nomor 124 ini.
Satu tahun sudah, kenapa harus begini pertemuanku dengan ibu? Pertemuan yang jauh dari
bayangan ku. Wajahnya mulai keriput. Rambut yang bersembunyi di balik kerudungnyanpum
sudah memutih. Aku kian menjadi. Menangis sesenggukan.

Terakhir, aku melihat Ella. Ia juga terlelap di samping ibu. Kedua matanya sembab, mungkin dia
habis menangis tadi malam. Wajahnya pun kini memucat, tak seperti kemarin malam.
Mungkinlah dia sakit? Apa dia terlalu lelah menunggui kesakitan ku? Ella orang yang sangat
sensitif. Itulah sebabnya dia terbangun dari tidurnya.

"Eni... Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu sakit? " Tanyanya dengan wajah penuh kecemasan.
Mengapa pula dia harus menanyakan hal ini saat kondisiku belum benar benar pulih.

"Kenapa bola mataku tertuju pada wajah pucat mu? Kamu sakit, La? Hah? " Tanyaku yang
dengan mudah tertular kecemasan.

"Aku tak apa, En. Aku tidak sedang terbalik lemah di ranjang rumah sakit seperti kondisi mu
saat ini. "

"Aku ingin datang ke wisudaku." Dengan cepat aku mencoba untuk bangun. Setidaknya aku bisa
duduk dengan menahan sakit yang amat sangat. " Katakan pada dokter rumah sakit ini bahwa
aku ingin keluar dari kamar pagi ini juga. Acaraku jam 10. Masih ada waktu untuk mengikutinya.
"
"Kenapa kamu sakit? " Kali ini aku tak bisa melawan dan menghindar dari Ella. Dengan terpaksa
waktu setengah jam aku habiskan untuk menceritakan segala hal yang sesungguhnya terjadi.

"Sekarang, izinkan aku hadir dalam acara penting ku. "

*******

Aku akhirnya datang acara wisuda pertamaku di Jerman. Aku merasakan sensasi yang berbeda.
Atmosfer penuh kebahagiaan telah aku rasakan. Ibu dan Ella mendampingi di samping kanan
dan kiriku. Mereka berdua tampak cantik memakai kebaya yang sengaja aku pesan beberapa
waktu lalu khusus untuk acara ini.

Aku mendengar pidato singkat dari Cheryl, teman dekatku di Jerman.

"Guten Tag. Mein Name ist Cheryl. Viele Schüler können mich nicht auf dem Campus kennen.
Das ist, warum ich nicht vor Freunden durchführen möchten. Zu diesem Zweck möchte ich auf
eine Person mein Freund nennen. Er, der ein oder zwei Wörter in dieser Sprache geben wird.
Ich fordere, Eni." (Selamat siang. Nama saya cheryl. Mungkin tak banyak mahasiswa yang
mengenal saya di kampus ini. Itulah sebabnya saya tidak mau untuk tampil di depan teman
teman. Untuk itu, izinkan saya memanggil satu orang sahabat saya. Dia yang akan memberi satu
dua kata dalam pidato ini. Aku panggil, Eni. )

Aku kaget saat namaku dipanggil. Ada apa ini? Sorak tepuk tangan bergemuruh menyambutku,
berharap aku segera maju ke podium. Dengan hati hati, aku menguatkan tenaga untuk maju ke
panggung menghadap teman teman semuanya.

"Guten Tag. Früher Dank Cheryl, die mir Zeit gab. Vielleicht gibt es nicht viel, was ich sagen kann.
Eine klare Abschlussrede wird heute weiterhin für uns alle gesprochen werden. Zwei Jahren
Studium in Deutschland ist die Gnade der schönsten, die ich je hatte hatte. Das sind meine
Träume. Deutschland wird immer in meinem Herzen sein.."

Danke.. Danke.. Untuk hari ini hanya ucapan itu yang bisa aku ucapkan. Perjalanan Berlin ku
akan berakhir sebentar lagi.
AKHIR PERJALANAN BERLIN

(Eni Kurniati Haningtias)

Setiap kali mata menatap udara di kota ini, hati selalu rindu dengan apa yang aku sebut cinta.
Setiap kali telinga mendengar hembusan angin yang bergerak ke arah barat, perasaan tak bisa
berbohong dengan apa yang aku sebut kasih sayang. Musim semi sore ini, ada yang tidak baik
baik saja dengan diriku. Bukan karena aku baru saja keluar dari ranjang kesakitan. Bukan pula
karena tentang sakit yang menyerang tubuhku. Tapi, hati ku. Hatiku sedang berkecamuk. Hati
ku sedang tidak dapat melihat mana barat, timur, utara, dan selatan.
Sandau Citadel. Hari ini aku berada disini. Benteng ini begitu kokoh, namun berbanding terbalik
dengan keadaan hatiku.

"Merantau ke Surabaya saat kuliah S-1 dulu bukanlah hal yang mudah. Aku yakin, kamu pasti
tau betapa aku susah payah menyambung keping demi keping hidupku di Surabaya. Apalagi
merantauku ke Jerman. Bukan lagi masalah seberapa panas Surabaya seberapa dinginnya
Malang. Bukan lagi masalah keramaian surabaya dan ketenangan Malang. Ini Jerman. Ini bukan
lagi negara ku. Semuanya akan berbeda disini. Tentang bahasa, hukum, politik, ekonomi, agama,
adat istiadat, bahkan sistem pendidikannya. Aku lebih terseok seok lagi menyambung kepingan
hidupku disini. Hari pertamaku di Jerman, aku benar benar ingin pulang. Di hari pertamaku, aku
sudah rindu masakan ibu. Aku sudah merindukan kehangatan keluarga di hari pertama
menginjakkan kaki di Jerman. Namun, aku yakin sukses itu bukanlah suatu hal mudah. Jika dulu
saja merantau di Surabaya sanggup aku jalani meski dengan merangkak-rangkak, harusnya
merantau di Jerman juga harus sanggup dijalani oleh hidupku.

Aku mengenal Cheryl di hari pertamaku. Saat itu aku bersumpah pada diriku sendiri, bahwa aku
tak akan pernah melepaskan hubunganku dengan Cheryl sampai kapanpun. Itulah sebabnya,
aku sering mengalah untuk Cheryl dalam hal apapun. Dan ini pula alasan ku masih tetap berada
disamping Cheryl sampai wisuda kemarin. Aku menyanyangi Cheryl lebih dari apapun di Jerman
ini. Aku akan mengorbankan apapun untuk Cheryl. Dia sahabatku. Aku tak punya siapa siapa
disini selain Cheryl. Bahkan ketika hari itu, hari dimana aku ingin malaikat mencabut nyawaku
saja. Hari itu, Cheryl mengalami koma. Sampai sekarang, dokter belum bisa mengetahui sakit
apa Cheryl. Yang jelas, sakitnya berhubungan dengan darah. Ia harus menerima donor darah
setiap sebulan sekali. Aku, sebagai sahabatnya, tak tega dengan kondisinya. Hari itu juga aku
mengabdikan hidupku untuk Cheryl. Jika aku memiliki hak atas darah yang mengalir di tubuhku,
maka Cheryl pun juga memilikinya. Setahun menjadi pendonor Cheryl, aku baik baik saja.
Hingga 14 bulan setelah donor pertama, aku didiagnosa dokter memiliki penyakit yang parah.
Aku bahkan tak mau tau apa sakit ku. Aku melarang dokter untuk mengatakannya kepadaku.
Bagiku, usia yang aku miliki hanya diatur oleh Tuhan. Termasuk sakit ku. Jika suatu hari nanti
aku meninggal karena sakit ini, aku rela. Aku ikhlas, asal Cheryl bisa benar benar sembuh.
Lepas dari masalah kesehatan ku dan Cheryl. Persahabatan kami cukup dekat. Dimana ada
Cheryl, disitulah aku. Cheryl memang tak begitu terkenal di kalangan mahasiswa kampus,
karena sifatnya yang menutup diri. Setiap kali aku mengajaknya untuk mengikuti kegiatan di
luar kampus seperti organisasi atau komunitas traveling yang ada di kampus, dia selalu menolak.
Bicara tentang kuliah, di Jerman adalah pemilik sistem pendidikan terbaik menurutku. Dalam
sekali kelas, aku sudah mampu memahami banyak hal. Dan tugas tugas bisa dengan mudah aku
kerjakan, meski kadang aku masih bertanya tanya kepada dosen. Disini jauh berbeda dengan di
Surabaya.

Persahabatanku dan Cheryl bukan persahabatan seperti apa yang telah kita jalani, La. Dia
kristiani yang taat. Aku mengakui itu. Dia orang yang sama sekali tidak pernah absen datang ke
gereja setiap minggu, walaupun pada saat itu dia harus menjalani check up penyakitnya di
rumah sakit. Bukan hanya itu, Cheryl memiliki toleran yang sangat tinggi. Disetiap hari yang dia
lalui, tak henti dia membangunkan tahajudku. Bayangkan, aku seorang muslim dibangunkan
oleh saudaraku kristiani. Masyaaallah.. Kadang sebagai bentuk terima kasihku kepadanya,
mengantarkan ke gereja adalah kewajibanku. Aku harus memastikan dia sampai di gereja
dengan selamat.

Dari Berlin pula,aku dapat melihat dunia luas.. Aku pernah mengunjungi Turki, Swiss, bahkan
Paris, impian nomor tiga ku setelah Mekkah dan Jerman. Sayang sekali aku belum bisa
mengunjungi kota impian pertamaku.

Perjalanan Berlin. Aku telah mengunjungi banyak tempat disini. Dan aku menyukai segala hal
yang berhubungan dengan Jerman. Termasuk October Fest pertamaku di Jerman. Itu sungguh
luar biasa bagiku. Hal yang selama ini hanya bisa aku lihat lewat video video di internet, saat itu
ada didepan mataku sendiri.

Banyak cerita dua tahun disini. Berat, rasanya berat sekali meninggalkan kenangan disini.
Meninggalkan Cheryl, meninggalkan Aachen, meninggalkan sungai Rhein, meninggalkan
pegunungan alpen. Bahkan aku pasti arindu dengan salju yang tiap pagi hinggap di jendela
kamarku.
Hhhh, perjalanan Berlin ku rasanya terlalu lama di awal namun terlalu cepat di akhir. Aku hanya
bisa berharap, suatu saat nanti aku akan mengunjungi Berlin kembali. Berlin adalah bagian
duniaku."

"Eni, hari terakhir di Jerman adalah hari ini. Aku yakin, ini bukan hari terakhir mu di Jerman.
Masih akan ada hari hari yang akan kamu lewati bersama salju di Jerman. Bersama musim semi,
atau musim gugur di Jerman. Hari terakhir ini ,sebelum akhirnya kita harus mengucapkan
selamat tinggal berlin. Kamu mengajakku ketempat ini, Sanda Citadel. Benteng yang amat
sangat kokoh. Percayalah benteng ini juga akan menguatkan hatimu mengatakan selamat
tinggal ke Jerman. Ingat, kamu memiliki dua rumah, Indonesia dan Jerman. Kapanpun kamu
bisa ke rumah mana yang ingin kamu tuju. "

PULANG

(Eni Kurniati Haningtias)

Sudah lama aku tak mencium aroma ini. Sudah terlalu lama indra penciumanku tak merasakan
udara ini. Bahkan sudah sangat lama hembusan ini tak kurasakan. Ini adalah aroma yang khas.
Yang tak dapat kutemukan dimana mana selain disini. Ini adalah udara yang unik. Yang tak
dapat kurasakan dimana mana selain disini. Ini adalah hembusan syahdu. Yang dapat
menentramkan jiwa. Ini adalah aroma khas Indonesia ku.

Satu tahun kaki tak melangkah di tanah kelahiran. Satu tahun pula rindu akan Indonesia hanya
dapat aku simpan rapat rapat di hati. Gelombang rinduku kepada negeri ini telah mencapai
puncaknya. Aku bangga menjadi bagian dari ibu pertiwi.
"Nak.. Ayoo. " Ucap ibu mengajakku untuk segera beranjak dari bandara soekarno hatta. Aku
tak banyak berkata kata. Hanya anggukan kepala tanda setuju. Aku melangkah beriringan
bersama ibu dan Ella menuju masjid.

Adzan dhuhur mulai berkumandang. MasyaAllah, tanpa sadar aku menangis haru. Sudah lama
aku tak mendengar adzan yang saling bersahut sahutan. Di Jerman, keberadaan masjid masih
sangat jarang. Maklum jika aku benar benar terharu dengan suasana di Indonesia.

Indonesia tak banyak berubah. Aku tetap bisa mengenali segala masakan indonesia pastinya.
Ibu mengajakku makan siang di restoran Padang. Ini adalah masakan kesukaanku. Nasi padang
selalu membuatku langsung menelan tanpa mengunyah makanan nya. Sekitar 8 bulan yang lalu,
aku sempat menikmati lezatnya masakan padang. Itu pun karena tetangga ku di Jerman baru
saja tiba dari Indonesia. Rasanya, aku ingin melahap semua makanan yang tersaji.

Usai makan, kami kembali lagi ke bandara untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Sengaja
Surabaya yang kukumjungi pertama. Kota ini bukan hanya bersejarah bagi Indonesia, tapi juga
bagi kehidupanku.

Selama berada di atas awan, aku takjub dengan alam Indonesia ku. Disinilah timbul rasa
penyesalan karena telah melewatkan begitu banyak waktu diluar Indonesia. Indonesia telah
memberiku banyak pemaknaan.

"En.. Satu tahun meninggalkan Indonesia, bagaimana perasaanmu sekarang? " Tanya Ella.

"1 kata, 9 huruf, bermakna dalam, itu Indonesia. Jujur, kembali lagi hatiku merasakan dilema.
Antara menyesal telah meninggalkan indonesia, atau bangga telah meninggalkan Indonesia.
Pertama, tentang penyesalan ku. Dua tahun bepergian, itu adalah waktu yang sangat lama.
Bagaimana Indonesia ketika aku ada di Jerman. Bagaimana euforia pemilu presiden tahun
kemarin tidak aku rasakan di Jerman. Bagaimana konflik konflik yang ada, tentang ekonomi,
politik Indonesia yang tidak lagi menjadi topik pembicaraan ku. Secara keseluruhan, Indonesia
memang tidak berubah. Tapi sebenarnya ia berubah. Perubahan itulah yang aku selalu.
Indonesia berubah tanpa adanya aku sebagai partisipan. Aku telah melewatkan banyak waktu
sehingga terkadang aku lupa bahwa aku adalah seorang Indonesia. Hatiku sudah tertanam
disini, di Indonesia. Aku mencintai tempat ini, La. "

"Tentang kebanggaan mu? "

"Siapa yang tak bangga ketika sedang berada di negeri orang, sementara banyak orang disana
memandang Indonesia adalah negara yang keren. Indonesia memiliki banyak tempat wisata
yang patut dikunjungi. Indonesia memiliki makanan lezat yang sangat digemari mereka, nasi
goreng. Indonesia memiliki Pak Habibie yang telah merumuskan teori teori penerbangan.
Bahkan, mahasiswa Aachen mana yang tak mengenal Pak Habibie. Walaupun aku tak pernah
bertemu dengan beliau, namun semangatnya selalu aku rasakan. "

"Dan aku pun bangga terhadapmu, En. Beribu ribu kali akan aku ucapkan untukmu. Aku bangga
memiliki seorang Eni Kurniati Haningtias. Seorang penulis, seorang alumni Aachen, seorang
yang kini di sampingku. Aku bahagia pernah memiliki hari hari bersamamu. Aku berharap, kita
akan selalu bersama seperti ini. Bagiku, jerman atau indonesia akan sama saja. Asalkan kita
bersama. "

STERNE (BINTANG)

(Eni Kurniati Haningtias)

Surabaya memang kota terpanas yang pernah aku injak. Panas teriknya kadang membuatku
menghabiskan berbotol botol air minum. Aku ingat, saat kuliah dulu. Setiap pulang kuliah, es
adalah jajanan wajib yang harus ku beli. Hari itu, aku masih mengingatnya. Saat es coklat yang
dia beli tumpah tepat di depanku. Aku tak apa apa, bahkan tak ada percikan air es nya yang
mengenai bajuku. Namun penyesalannya, maafnya, bagiku terlalu berlebihan. Hari itu, bukan
hari pertamaku bertemu dengannya. Aku sangat mengenal baik segala hal tentangnya. Dia
adalah orang yang selalu membuatku terkagum kagum. Ucapan nya selalu saja di batas luar
pemikiran ku. Itulah kenapa sampai sekarang perasaan ini masih ada.

"Rasanya sudah bertahun bertahun aku tak ke Surabaya. Tapi nyatanya, Surabaya tetep panas
ya? " Ucapku ketika keluar dari bandara juanda-Surabaya.
"Iya, En. Surabaya tidak akan pernah berubah, begitu pun dengan kenangannya. "

Aku dibawa Ella ke suatu tempat yang sebelumnya tak pernah ada dalam penglihatan ku. Ini
adalah rumah kecil yang mungkin hanya cukup dihuni 3-4 orang saja. Halamannya kotor tak
terawat. Tepat disamping rumah ada sepasang pohon mangga yang sudah mulai memunculkan
buah segarnya. Teras rumah nya dipenuhi dedaunan kering yang jatuh dan ada 1 pot yang
masih sangat terawat. Kenapa? Kenapa hanya1 pot yang masih indah?

"Mawar itu selalu disirami setiap sore. Jadi ia masih tetap segar, berbeda dengan yang lain. "
Ucap Ella yang tau ketika mata ku tertuju pada bunga mawar merah. "Mari bu masuk, Ibu harus
beristirahat. " Ucapnya kemudian untuk ibu.

******

"Rumah ini adalah rumah almarhum nenekku, En. Tidak pernah terurus. Bahkan keluargaku pun
tak ada yang mau untuk menempati rumah ini. Ibuku bilang, sebenarnya tidak boleh ada yang
tinggal menetap di rumah ini, kecuali hanya untuk 2-3 hari saja. Aku tak tau apa alasannya, yang
jelas aku hanya bisa mematuhi aturan dari ibu. Sedangkan mawar ini, ada seorang perempuan
yang merawatnya setiap hari. Dia bilang, sangat menyukai mawar. Ketika aku menyuruhnya
untuk membawa pulang, ia menolak. Katanya takut terkena duri tajamnya. "

"Bintang pertama yang kulihat di Indonesia, la. Indah. " Teras depan rumah malam ini kini
menjadi tempat favoritku. Entah karena aku dapat melihat bintang disini, atau karena mawar
yang setia menemani di samping ku? "Malam ini aku hanya ingin menikmati bintang Indonesia.
"

"Apa bedanya dengan bintang di Jerman? Bukankah sama saja? "

"Secara fisik, mereka sama. Namun pemakamannya yang berbeda. Bintang Jerman memang tak
kalah indah dengan bintang Indonesia, hanya saja aku memaknai bintang Indonesia sebagai
kesatuan dalam hidupku. Bintang... Ia bersinar. Dengan pasti, aku ingin menjadi bintang. Yang
mampu menjadi penerang dalam kegelapan. Yang jumlahnya banyak menandakan bahwa
bintang tak pernah kesepian. Yang selalu ada dalam tiap tiap hari cerah. Bahkan bintang akan
dikhlas ketika dirinya tertutupi oleh awan yang dapat menghalangi sinarnya. Dia tidak marah. "

"Aku tak mengerti apa yang kamu katakan, En. Maafkan tapi aku bukan ahli puisi seperti mu. "

"Aku rindu dengan bintang bintang yang lain. "

"Maksudmu? "

"Aku merindukan teman teman ku, La. "

"Siapa? Teman teknik kimia kita pas kuliah? "

Secepat kilat aku menggelengkan kepala. "Bukan. Aku memang merindukan mereka, tapi aku
masih sanggup menahan rindu itu. Yang tak bisa kutahan adalah kerinduan ku dengan bintang
bintang surgaku. Aku merindukan sahabat sahabat surga ku. Apa kabar mereka? Terakhir, satu
tahun lalu. Komunikasi kita pun juga putus. "

"Kamu tau, En? Dulu, kamu itu satu-satunya orang yang tak pernah menceritakan apapun
kepada jika aku tak bertanya terlebih dahulu. Sahabat surgamu itu, bahkan aku tak
mengetahuinya. Kamu adalah sosok misterius dalam hidupku, En. "

"Mereka adalah sahabat di lembaga dakwah kampus dulu. Aku rindu mereka. "

"Kamu rindu mereka, atau rindu dia?? "

"Dia? Siapa? "

"Mas. Rei.. "

"Sssttttt... Apa sih La? Aku sama Mas Reihan sudah tak ada apa apa lagi. Bahkan selama di
Jerman, aku tak pernah mengabari dia sama sekali."

"Perasaan itu? "

"Perasaan itu, hanya sahabat sahabat surgaku yang mengetahuinya. "


"Sebegitu spesialnya kah mereka En di hidupmu? "

"Setelah kejadian es yang dibelinya tumpah didepanku. Saat itu aku menyadari bahwa sahabat
surgaku sangat spesial. Mereka telah membuatku mengenal sosok Mas Reihan yang penuh
tanya.

"bahkan dirimu pun juga penuh tanda tanya. Wajar lah jika kalian nanti bersatu, sama sama
misterius. Hehe"

"Mas Reihan dimana ya, La? "

"Bahkan semenjak kita bertengkar tempo hari, aku juga tak pernah berbicara atau berkomukasi
dengannya lagi. "

"Jika aku adalah bintang, izinkan aku untuk menjadikan Mas Reihan awan nya. Karena aku ingin
dipeluk nya dalam suatu waktu yang tak kuduga. Der Stern ist meine Sehnsucht nach ihr
geworden."

"Semua yang terjadi di hidupmu selain senja, adalah bintang. Berbahagialah atas dua hal
terindah yang telah Tuhan ciptakan untuk mu itu. "
TEH

(Eni Kurniati Haningtias)

1 Juni 2018

Aroma teh harum tercium oleh indra penciumanku. Perlahan, aku membuka mata. Kantuk
masih menyergap diriku. Namun, bau teh mampu mengalahkan kantukku. Aku penggila teh.
Setiap pagi, harus ada teh di meja makan. Kalau tidak, mood ku seharian pasti akan kacau.
Sebelumnya, teh hanya sebagai minuman favorit yang tidak wajib ada di setiap pagi ku. Semua
bermula ketika tiga tahun lalu. Tepat satu hari sebelum Mas Reihan wisuda. Ia mengajakku ke
sebuah cafe kecil di daerah Kenjeran. Hari itu, untuk pertama kalinya aku mengenalkan Ella
kepada Mas Reihan secara resmi. Sebelum pertemuan ini, mereka sudah sering berbalas chat.
Aku tau karena secara tidak sengaja aku membaca nama Ella di deretan message yang diterima
Mas Reihan. Aku tak mempermasalahkan hal itu. Bagiku, pembicaraan mereka di pesan singkat
itu hanya sekedar basa basi membahas tentang ku. Itupun aku tau, karena secara sembunyi
sembunyi aku membaca pesan mereka.

Malam itu, banyak hal yang aku perbincangkan dengan Mas Reihan dengan Ella sebagai
saksinya. Pembicaraan itu berawal dari secangkir teh yang kemudian merubah hari hariku
selanjutnya.

"Kalau sedang disini, aku selalu memesan teh. Hmmm, sebenarnya bukan hanya teh, tapi coklat
panas nya juga enak."

"Trus Mas Reihan lebih sering minum apa? "

"Teh. Kamu mau tau alasannya? "

"Kenapa? "

"Karena kalau beli coklat, aku takut tumpah lagi. " Jawabnya dengan wajah yang datar. Sontak
aku langsung tertawa terbahak bahak. Bukan hanya karena wajahnya yang datar, tapi juga
karena insiden jatuhnya es coklat di depanku.

"Sebenarnya kenapa dengan malam ini? Kenapa mengajak aku keluar malam ini? " Tanyaku hati
hati takut pertanyaanku ini akam membuat ia kecewa.

"Banyak alasan kenapa harus malam ini. Pertama, karena setelah ini aku akan kembali ke
tempatku. Tanah kelahiran ku. Kedua, karena malam ini aku ingin bertemu dengan Ella. Orang
yang selama ini hanya berbalas pesan singkat denganku. Aku ucapkan banyak terima kasih
kepadamu, La. Kehadiranmu sedikit banyak telah membantuku. Terima kasih banyak aku ucap
kan. Ketiga, karena aku ingin menikmati malam indah bersama dengan orang indah di cafe ini.
Aku ingin mengutarakan segalanya kepada kalian berdua. "

"Kenapa harus dengan ku juga? " Tanya Ella terheran heran.


"Selama tiga tahun ini, aku mendekati Eni. Astagfirullah, mungkin aku banyak dosa selama ini.
Selama tiga tahun pula aku memendam perasaan yang tak biasa. Selama tiga tahun ini, ketika
aku ingin bertemu Eni, aku mengajak teman temanku. Itu karena aku ingin tidak ada fitnah
diantara pertemuan kita, En. Aku rasa kamu telah memahami itu. Malam ini, kenapa harus
dengan Ella. Karena aku ingin, kamu menjadi saksi antara hubunganku dengan Eni, La.

En, aku menyukaimu entah sejak kapan. Awalnya aku berusaha membuang rasa yang salah ini.
Tapi, tak bisa. Aku malah bersalah ketika aku sampai di depan tong sampah untuk membuang
rasa ini. Percayalah. Maukah kamu menjadi teman spesial ku? "

Saat itu, aku tak tau harus menjawab dengan jawaban seperti apa. Karena aku pun juga
merasakan hal yang sama. Aku menatap wajah Ella yang menunduk tanda ia juga tak memiliki
jawaban atas kebingungan yang aku derita.

"Aku tidak memintamu menjawabnya detik ini juga, En. Aku yakin masih banyak waktu untuk
memikirkan hal ini. Aku hanya ingin kamu memahami alasan kenapa aku baru bisa
mengucapkan nya hari ini. "

"Mas Reihan, aku sangat paham kenapa kalimat itu baru muncul malam ini. Karena Mas Reihan
akan pergi meninggalkanku, makanya Mas Reihan baru menyadari betapa berharganya aku di
hidup Mas Reihan. Aku sangat memahaminya. Karena aku pun merasakan hal yang sama
dengan apa yang ada di hati Mas Reihan. Aku memiliki perasaan yang tak seharusnya aku
rasakan. Aku pun bukan lah seorang Khodijah yang menemui Rasulullah untuk menyatakan
perasaannya. Aku hanya seperti Fatimah yang mencintai dalam diam. Tapi, untuk pertanyaan
yang baru saja Mas Reihan sampaikan, aku tidak ingin menjadi teman spesial bagi kehidupan
Mas Reihan. Bagiku, kita hanya butuh saling mengerti bahwa cinta itu ada diantara kita.
Selebihnya, biar Allah yang mengatur. Sama halnya dengan secangkir teh yang Mas Reihan
sukai. Ia tak harus hadir dalam setiap hari meskipun Mas Reihan sangat menginginkannya. "

"Maafkan aku jika aku telah mengajakmu kepada maksiat malam ini. Aku beruntung
melabuhkan hatiku di hatimu yang masih suci ini, En. Mengenai teh, kamu benar,ia tak harus
hadir dalam hidupku. Namun, bisakah secangkir teh selalu menemani pagi mu? Biarkan teh itu
menjadi perlambang bahwa sampai kapanpun aku akan meletakkan nama mu dalam setiap
tahajudku. "

"Tak masalah bagiku. " Kataku sambil tersenyum. Rasanya lega telah mengatakan perasaan
yang selama ini aku sembunyikan rapat rapat. "Oh iya, kamu kenapa diam aja dari tadi, La? "

"Pengen ngomong, tapi berasa jadi penganggu kalian. "

"Apa sih, La"

"Terima kasih ya Ella. " Ucap Mas Reihan berulang kali kepada Ella.

"Iya, sama sama mas. "

*****

"En, kenapa melamun? Teh nya keburu dingin nanti. "

"La, kabar Mas Reihan bagaimana ya? Apa aku mencoba menghubunginya lagi? "

"Kamu pernah berusaha menghubunginya? "

"Waktu di Jerman, aku pernah menelepon nya, tapi tidak diangkat. Mungkin dia sedang sibuk.
Atau, ada perempuan lain sekarang? "

"Mas Reihan bukan tipe orang yang seperti itu. Aku memang baru bertemu dengannya satu kali
saat kalian berkomitmen malam itu. Dari situ aku yakin bahwa dia akan menjadi pendamping
yang baik untuk hidupmu kelak. Sebelum aku ganti hp, terakhir dia mengatakan kepadaku
untuk menjaga dirimu, En. "

"Kapan itu, La? "

"Sekitar 3-4 bulan setelah wisuda nya. "


KETIDAKSENGAJAAN

Eni Kurniati Haningtias

Teruntuk Tuhan, Muthoyibah, Faza Choirunnisa, dan Novia Rahmawati

Aku menemukan kalian, sahabatku, dalam ketidaksengajaanku. Iya, aku tidak sengaja
menemukan kalian di tempat baik, InsyaAllah. Ternyata dengan ketidaksengajaan itu, terdapat
hal besar yang aku peroleh. Aku tidak memungkiri, terkadang aku rindu. Dan dalam setiap detik,
aku tau bahwa merindukan kalian adalah hal yang wajib aku jalani. Bagaimana aku tak rindu
kalian, jika kalian adalah alarm ku yang mengingatkanku untuk lebih dekat dengan Allah.
Bagaimana aku tak rindu kalian, jika kalian adalah kompas ku menuju shirathal mustaqiim.
Bagaimana aku tak rindu kalian, jika kalian adalah komedi yang selalu membuatku lupa akan
berbagai macam kesedihan yang menimpaku. Bagaimana aku tak rindu, jika kalian adalah
alunan nada yang mendamaikan hati dan pikiranku. Bagaimana aku tak rindu, jika kalian adalah
sahabat sahabatku yang akan menuntunku menuju surganya Allah kelak, insyaAllah.

Aku bersyukur kepada Allah atas tiga waktu terbaik dalam proses kehidupanku. Tiga waktu itu
adalah saat aku bertemu masing masing dari kalian. MasyaAllah, peran kalian luar biasa
dihidupku. Jarang aku menemukan sosok seperti kalian, sahabatku. Aku selalu berucap
"Alhamdulillah" atas ketidaksengajaanku menemukan kalian. Tuhan menyimpan cerita
terbaiknya dalam tiga ketidaksengajaan.

Ketidaksengajaan pertama. Aku menemukan seorang gadis polos (waktu itu 😂). Perempuan
berjilbab yang duduk di sebelahku saat antri foto KTM, kala maba dulu. Perkenalan kita saat itu
dibaluti dengan kelembutan. Perempuan ini, bertutur sangat sopan kepadaku hingga aku
bingung mau menjawab dengan bahasa yang seperti apa. Perempuan itu adalah kamu, Mut.
Muthoyibah. Iya, perempuan dengan tutur kata lembut itu adalah dirimu. Aku tak bohong
dalam tulisanku ini. Untuk kali ini, percaya padaku bahwa begitulah penilaian awalku tentang
dirimu. Kalau kau masih ingat, kau adalah teman pertamaku membelah malam Surabaya. Iya,
kamu yang pertama. Malam itu, dengan sabar, bersama mbak-ku dan mas-mu, kita bersama
menunggu angkot di depan gerbang kampus. Aku ingat, malam itu sudah tidak ada angkot yang
lewat depan kampus. Akhirnya, kita, berencana untuk naik taxi ke terminal bungurasih. Namun,
sebelum kita melangkah menuju mobil taxi di depan kampus, Alhamdulillah ada satu angkot
lewat untuk menemani perjalanan pertamaku membelah malam Surabaya bersamamu. Tujuan
kita memang berbeda, aku ke Malang, dan kau ke Tuban. Namun bersama kita menggapai satu
hal bersama malam itu, taukah kau apa itu? Itu adalah hidup. Surabaya malam itu telah
memberi kisah hidup.

Tak hanya dengan malam dingin yang mempersilahkan kita untuk bersama. Aku
menemukanmu kembali dalam DIKLAT UKKI 2015. Aku ingin menceritakan suatu hal terlebih
dahulu, yaitu bagaimana aku mengikuti UKM UKKI. Jujur saja, aku yang hanyalah seorang maba
tahun 2015 itu sangat bingung dengan UKM apa yang akan aku ikuti. Apakah UKM itu wajib bagi
setiap mahasiswa? Atau bagaimana? Sama sekali aku tak memiliki pandangan tentang UKM apa
yang harus aku ikuti. Akhirnya, "ngikut temen" adalah pilihan terakhirku. Teman teman di
kelasku banyak yang mengikuti UKM UKKI. Karena waktu itu pendaftarannya gratis, dapat stiker
pula 😂 Aku pun tak ingat lagi bagian selanjutnya, sampai ketika aku mengikuti DIKLAT UKKI 2015.
Aku tau kamu, Mut. Namun, saat itu mungkin Tuhan belum memberikan waktu kepada kita
untuk bersapa kembali. Dari sinilah sebenarnya aku menemukan kalian, Za, Nov.

Sejak mengikuti UKM UKKI, kita semakin dekat, dan yahhh.... Aku ingat bahwa kedekatan kita
semakin erat sejak panitia sie acara seminar nasional dan dilanjut dengan panitia sie acara
mubes bersama dengan Faza dan Novia. Hingga terbitlah kata "alay" 😂. Kita selalu
menyempatkan waktu untuk berkumpul walau itu hanya bercanda di sekret UKKI. Kamu adalah
orang yang selalu mengajakku untuk bersholawat setiap hari kamis malam, hingga agenda ini
jarang aku tinggalkan walaupun sedang ada tugas menumpuk. Karena aku tau, ajakanmu,
ajakan kalian, adalah ajakan menuju akhirat yang membahagiakan.

Untuk saat ini, ada tiga hal yang paling berkesan dihatiku untukmu, Mut. Pertama, tentang
malam pertemuan kita yang sangat aku syukuri. Kedua, tentang kedatanganmu di SEMINAR
PROPOSAL ku bulan April lalu yang sebenarnya memang aku nantikan 😂. Dan yang ketiga adalah
saat aku datang di sidang KKP mu, memberi kejutan, yang katamu berhasil. Untuk tiga hal ini,
dan juga hal hal lain yang tak bisa kusebut, terima kasih Mut. Entah apa yang bisa kusebut lagi
selain ucapan terima kasihku untukmu, sahabat yang kutemukan dalam ketidaksengajaan.

Ketidaksengajaan kedua. Setelah DIKLAT UKKI, aku mengikuti panitia di UKM UKKI. Itu adalah
panitia pertamaku di kampus. Panitia MAKRAB UKKI menjadi sie konsumsi. Aku menemukanmu
didalamnya, Za. Itu pertemuan pertamaku denganmu, meskipun aku yakin saat DIKLAT pun
sebenarnya kita bertemu. Aku lupa, apakah kita pernah berkenalan atau tidak, tapi yang jelas
aku tau kamu, dan kamu tau aku. Setelah panitia itu, kita kembali dipertemukan dengan
ketidaksengajaan mengikuti departemen yang sama, KADERISASI. Bersama dengan anggota
yang lain, aku mulai nyaman dengan KADERISASI. Mungkin inilah cikal bakal kebersamaan kita
selanjutnya. Eh iya, aku ingat. Sebelum kenyamanan di KADERISASI itu muncul, kita
dipertemukan kembali dalam sie konsumsi panitia bedah buku HUJAN TERE LIYE. Tapi, entahlah
aku melupakan moment moment pertemuan kita kala itu. Sama dengan muthoyibah,
kedekatan kita semakin dekat karena panitia acara seminar nasional dan mubes.

Za, kamu pernah ke rumahku dulu ya? Bahkan adikku selalu mengingat namamu sampai sampai
adekku minta ngirim voice note buatmu. Aduhh seperti nya kamu spesial za di mata adikku.
Wkwk. Dari CFD Kota Malang, Alun Alun Tugu Malang, hingga kampung wisata jodipan telah
menjadi saksi perjalanan kita di Malang bersama Ana.

Za, sampai detik ini ada 4 hal yang berkesan diantara persahabatan kita. Pertama, waktu yang
tidak sengaja mempertemukan kita. Kedua, perjalanan singkatmu mengenal keluargaku di
Malang. Ketiga, kedatanganmu yang mengejutkan di SEMINAR PROPOSAL ku. Dan yang terakhir
adalah, kedatanganku di SIDANG KKP mu. Dari sekian banyak hal, tetap menjadi Faza yang
menjadi tempat curhat kegalauanku 😂

Ketidaksengajaan ketiga. Masih di KADERISASI nya papa 😂. Aku sebenarnya lupa kapan tepatnya
kita berkenalan, tapi yang kuingat adalah kau yang memboncengku dalam perjalanan ke kebun
bibit bersama KADERISASI waktu itu. Ternyata kita satu asrama dan setiap kali ada rapat, setiap
kali ada kegiatan di masjid, kamu adalah teman perjalananku ke masjid Nov. Bersama Ayu, Adila,
dan Ria bahkan kita menyebut diri sebagai "ANGSA KADER". Aku sering tidur di kamarmu, dan
entah kenapa temen temen selalu bilang "Dimana ada Mbak Eni, pasti ada Mbak Novia".
Sampai sampai kita dikira sejurusan Nov 😂 Aku bahagia ketika aku menyadari bahwa aku
memiliki teman yang akan kembali menemaniku lagi setelah lulus dari asrama 😂 Banyak waktu
yang tak sia sia kulalui bersama kamu, Nov. Dan aku, aku tak akan pernah melupakannya. Kamu
adalah salah satu yang terbaik dari yang terbaik di hidupku. Terima kasih untuk semua hal yang
sudah tercipta dari persahabatan kita.

Sama seperti Faza, adikku juga masih hafal dengan kamu Nov. Kapan kapan main lagi ya ke
rumah, atau aku yang main ke Tuban 😂 Banyak kesan yang tak mudah untuk kulupakan begitu
saja. Pertama, tentang pertemuan pertama kita yang aku lupakan itu. Kedua, tentang
kunjunganmu ke rumahku. Ketiga, tentang kedatanganmu di SEMINAR PROPOSAL ku. Dan Yang
terakhir, waktu yang telah merajut harap di asrama dan pesmi.
Mut, Za, Nov.. Kalian bertiga adalah yang terspesial di hidupku. Mungkin terlalh berlebihan, tapi
inilah caraku memperlakukan kalian yang sangat spesial itu. Persahabatan kita akan sampai
surga insyaAllah. Banyak waktu yang kita gores bersama. Tentang mangrove, berempat kita
berjalan di tengah teriknya matahari. Itu perjalanan liburan pertama kita berempat ke
mangrove. Tentang geprek bu choy, selalu ada waktu untuk makan disana bersama kalian.
Menikmati pedasnya cabai ditemani dengan cerita cerita yang selalu membuatku merasa
senang. Tentang SEMINAR PROPOSAL ku, yang kedatangan kalian telat banget, yang aku pikir
tidak datang, tapi ternyata malah memberikan kejutan yang luar biasa. Waktu itu aku tidak bisa
menuliskan seberapa bahagianya aku disisi kalian. Yang jelas, hari itu lengkap sudah
kebahagiaanku karena telah menyelesaikan seminar dengan lancar dan berada di tengah
tengah kalian, sahabat sahabatku. Tentang SIDANG KKP kalian, Mut, Za. Jadi aku hanya tau
kalau hari itu Muthoy yang maju sidang, oleh karena itu bucket yang disiapkan hanya untuk
Muthoy. Tapi nyatanya kamu juga ikut sidang, Za. Sumpah, waktu itu sempat membuatku dan
Novia kebingungan. Sampai sampai Muthoy mengirim pesan ke Novia "kasian kalau Faza gak
dikasih bucket" 😂 (seolah olah Muthoy sudah percaya diri bahwa dia dikasih bucket 😂).
Sebenarnya hari itu aku sakit, dan perjalanan dari Malang ke Surabaya membuatku muntah
muntah saat di sampai di terminal bungurasih. Bayangkan, untuk hanya datang di sidang kalian
Mut, Za. Tapi, kesakitanku adalah terlupakan di depan wajah bahagia kalian ketika keluar dari
ruang sidang. Dan maafkan atas kebohonganku juga yang mengatakan bahwa aku tak bisa
datang ke Surabaya karena sakit ke Muthoy. Dan maafkan atas kebohonganku juga Za yang
mengatakan bahwa mungkin aku baru sampai di Surabaya sore hari, padahal aku sudah sampai
di kampus sebelum waktu dzuhur 😂 Surprise ku yang katanya berhasil itu, semoga
membahagiakan kalian. Hanya itu yang dapat aku lakukan untuk membalas semua tentang
kalian.

Mut, Za, Nov... Waktu berjalan sangat cepat ya? Setahun lagi mudah mudahan gelar S1 sudah
kita genggam. Itu artinya, perpisahan kita sudah didepan mata. Aku sangat tidak akan bisa
membalas kebaikan kebaikan kalian yang luar biasa itu, kalian pun jangan pernah membalas
apa yang telah aku lakukan untuk kalian, karena sungguh aku melakukannya atas keikhlasan.
Aku tak membutuhkan apa apa dari kalian, cukup ingatkan aku tetap berada di jalan-Nya.
Ingatkan aku selalu tentang persahabatan alay kita ini. Ingatkan aku untuk tetap menebar
kebaikan di setiap waktu yang aku miliki. Selalu ingatkan aku.

Tuhan, terima kasih atas tiga ketidaksengajaan yang telah terjadi. Karena lewat
ketidaksengajaan itu, aku menemukan mereka. Menemukan jalan untuk lebih dekat dengan-
Mu.

Dari sahabat yang kalian bilang alay


Masih bergelut dengan panasnya Surabaya yang lebih panas dari musim panas di Berlin.
Beberapa hari ini aku sengaja tidak keluar rumah padahal sejujurnya aku sangat merindukan
Kenjeran, Tugu Pahlawan, dan berkunjung untuk ziarah di makam sunan ampel.Dua tahun
sudah, harusnya aku pergi ketempat tempat itu. Setidaknya untuk menghilangkan rasa rindu
yang cukup menyiksaku. Daripada terus berdiam diri di rumah.

Sejujurnya, rindu ini bukan hanya milik Surabaya ataupun Malang yang telah menjadi tempatku
tumbuh di Indonesia. Tanpa diketahui siapapun, aku merindukan Berlin. Aku merindukan salju
yang pagi hari sudah menempel erat di kaca jendela kamarku. Aku juga merindukan Cheryl.
Bagaimana kabarnya sekarang? Ah, aku kirim pesan saja, pikirku. Aku sungguh merindukan
sahabatku itu. Aku membuka hp, dan Alhamdillah dia sedang online.

Eni_haningtias : Haloo Cheryl 😂 Wie geht's? Aku rindu kamu Cheryl.

Cherylia : gut. Eni, I miss you very much 😂

Eni_haningtias : Ya, aku juga merindukan sarapan pagi bersama di bawah pohon depan rumah.

Cherylia : Kamu kapan kembali ke Jerman?

Eni_haningtias : Entahlah. Tapi Yang jelas aku akan kembali menginjakkan kakiku di tanah Hitler.
Sejujurnya, aku sudah merindukan jerman. Meskipun, rasa rinduku kepada Indonesia belum
terselesaikan.

Cherylia : aku akan selalu menunggu kedatanganmu. Miss you

Eni_haningtias : harus sering berkabar ya, aku akan merindukanmu. Selalu.

Cheryl, aku merindukannya. Sangat. Dia adalah sahabat terbaikku di jerman. Dia adalah satu
satunya orang yang memahamiku jika aku harus menangis karena merindukan Ibu dan Bapak.
Aku sangat merindukannya.

"En, sedang apa? " Ella tiba tiba saja sudah duduk disampingku.

"Ah, aku hanya bermain hp saja. " Jawabku sekenanya.


"Kamu itu paling tidak bisa bohong, En. Kalaupun bohong, aku pasti tau. So, ada apa ini? "

"Aku rindu Jerman, La. Kamu tau, aku paling tidak suka dengan bercocok tanam. Tapi Jerman telah
merubahnya. Setiap hari aku merawat Geranien di halaman samping rumah. Tiba tiba saja aku menyukai
merawat bunga."

"En, Geranien itu adalah saksi persahabatan kalian. Suka atau tidak suka, kamu akan mengatakan bahwa
seorang Eni mencintai tanaman sejak tinggal di Jerman. Karena dibalik itu, ada sebuah nama yang
melekat di hatimu selalu. Nama yang tidak akan pernah kamu biarkan dia terluka meskipun itu hanya
terkena duri mawar. "

"Ella? "

"Cheryl menceritakan semuanya. Setelah acara wisudamu, dia tiba tiba saja menarik tanganku. Dia
sudah bercerita banyak hal, termasuk tentang Geranien. Jujur saja, aku tak mengerti apa yang dia
ceritakan karena saat itu dia berbicara dengan bahasa Jerman. You know lah, aku 0 dalam bahasa
jerman. Tapi aku berusaha memahami apa yang dia sampaikan. Tentang Geranien itu, yang aku pahami
adalah kalian berdua selalu merawat bunga itu bersama. Bunga yang tetap mekar kala musim dingin
pertamamu di Jerman, tapi mati saat musim dingin terakhirmu. Yaa mungkin bunga khas Jerman itu
adalah saksi bisu kehidupan kalian berdua di Jerman. "

"Jika aku menanamnya disini, apa Geranien akan tumbuh? "

"Well, aku tak tau. Bentuknya saja aku tak tau. Bunga di halaman rumahmu itu banyak sekali. Aku tak
bisa mengenalinya satu persatu. Mana yang Geranien dan mana yang bukan. Tapi aku pikir bunga itu tak
akan tumbuh disini. Kalaupun bisa, mungkin butuh tenaga ekstra untuk merawatnya. "

Aku hanya bisa menganggukkan kepala, mengiyakan semua perkataan Ella. Karena itulah kebenarannya.
Bunga Geranien tak mungkin bisa tumbuh di tanah kelahiranku ini.

"Ella? "

"Hmmm... "

"Hari ini, hari terakhirku di Surabaya sebelum besok aku harus ke Malang. Kita jalan jalan aja yuk. "

"Tadi diajak jalan jalan aja gak mau, sekarang malah ngajak. "
"Ayo dong, La. "

"Okay, just for today. "

"Yeah"

*****

Tempat pertama yang kukunjungi bersama Ella adalah Makam Sunan Ampel. Keramaian di sekitar
makam membuatku merasakan pusing. Aku mengajak Ella duduk di teras masjid sambil membeli es
dawet khas ampel. Titik fokus

Jadi 23 Agustus ini terlalu banyak kisah yang harus dikenang. Tentang apa yang aku sebut keikhlasan
misalnya. Juga tentang rindu yang belum juga menemui titik temunya. Tentang keikhlasan, kehadiranku
disuatu tempat yang sangat rindukan bukan karena aku ingin menemui seseorang, tapi demi Allah
karena

Anda mungkin juga menyukai