Anda di halaman 1dari 4

ARSITEK B

RIAN PRIO BRAMANTIO


1522029

Topik permasalahan berdasarkan pandangan Arsitek B :


Arsitek B memosisikan diri sebagai Arsitek yang telah mengikuti semua prosedur
perencanaan dan perancangan yang berlaku seperti halnya Arsitek A, namun bersedia
diajak berdamai bersama Pelaksana maupun Pengawas dengan melakukan negosiasi
kepada aparat, kebalikan dari Arsitek A yang sangat idealis. Di posisi ini Arsitek B
membantu menyelesaikan solusi pada permasalahan yang diangkat dalam diskusi.

Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan resume diskusi kelompok 3, dimana
kelompok kami merupakan yang pertama maju memulai diskusi pada hari Senin, tanggal 19
Maret 2018 dengan suasana cukup kondusif dan terkendali. Baik audience maupun peserta
disuksi dapat terlihat cukup jelas pandangannya.

Kegiatan diskusi dibuka oleh moderator. Diskusi dimulai oleh pendapat masing-masing
peserta diskusi. Peserta diskusi diantaranya berposisi sebagai Aparat, Pelaksana, dan
Pengawas telah menyampaikan pendapatnya.

Begitupula dengan Arsitek A, saya yang berposisi sebagai Arsitek B juga


mengungkapkan hal yang sama, yakni ”mengklaim seluruh produk dokumen perencanaan
dan perancangan sudah sesuai dengan prosedur. Baik dari ukuran spek, RKS, hingga
perhitungan RAB sudah sesuai kesepakatan dengan owner. Saya telah melakukan koordinasi
internal dengan Arsitek A dan semua baik-baik saja. Tidak ada penyimpangan yang
terjadi/dibuat secara sengaja”.

Kesimpulan dan penyebab material fasad bergantung pada hasil penyelidikan aparat.
Pada akhirnya diketahui bahwa terjadi penyimpangan atau penurunan spesifikasi material
fasad bangunan yang ditengarai oleh inflasi sehingga terjadi perubahan nilai material
bangunan fasad tersebut yang berakibat Pelaksana merugi. Selanjutnya Pelaksana maupun
owner bersepakat bahwa material fasad diganti dengan spesifikasi dibawahnya namun tidak
terlalu jauh dengan spesifikasi yang tercantum dalam RKS.

Permasalahan semakin terbuka bahwa Arsitek A maupun Arsitek B tidak mengetahui


adanya persetujuan tersebut. Arsitek A dan Arsitek B sebenarnya ingin menuntut dalam
diskusi kali ini, namun belum mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan tuntutan ini.

Pada diskusi ini, Arsitek A maupun Arsitek B ditanya oleh dosen pengampu, apakah
para Arsitek turut turun mengawasi dan mengecek pada saat proyek sedang berjalan
mendampingi Pelaksana maupun Pengawas di lapangan. Arsitek A maupun Arsitek B
mengungkap bahwa para Arsitek tidak melakukan turun lapangan mengecek dan mengawasi
jalannya proyek.
Selanjutnya, pada diskusi kali ini seharusnya Pengawas dan Pelaksana melakukan
upaya damai dengan melakukan negosiasi kepada Aparat agar permasalahan kasus runtuhnya
fasad bangunan cepat selesai. Arsitek B juga turut diajak dalam upaya damai tersebut, apakah
turut menyanggupi penawaran tersebut atau tidak.

Pada akhirnya Arsitek B menyanggupi untuk turut berdamai dengan Pelaksana dan
Pengawas. Adapun alasan Arsitek B bersedia untuk turut berdamai kepada aparat bahwa,
“apabila cara ini dianggap dapat menyelesaikan kasus ini, saya bersedia,”.

“Saya merasa bila ikut bernegosiasi dengan Aparat pada kasus ini, saya yakin masalah
akan cepat selesai. Dan dengan bersedia ikut dalam upaya damai ini, saya berpeluang untuk
tidak menjadi sasaran Aparat dalam mencari siapa yang harus bertanggungjawab dan
bersalah dalam kasus ini. Karena saya tahu bahwa, hukum itu tajam di bawah namun tumpul
di atas,” tambah pernyataan Arsitek B.

Kemudian, seharusnya dalam diskusi Arsitek B turut mengajak rekannya yakni Arsitek
A untuk turut melakukan upaya damai dengan aparat. “Kita semua paham, bahwa kasus
runtuhnya material fasad bangunan ini sudah ditangani oleh pihak aparat. Dan hingga kini
belum diketahui siapa pihak yang bertanggungjawab. Disimi saya ingin mengajak saudara
Arsitek A untuk ikut bersama kami melakukan pendekatan damai dengan Aparat, gitu lho. Ini
demi selesainya kasus ini,” ajak Arsitek B kepada Arsitek A.

Pada diskusi, semestinya Arsitek A menolak mengikuti tawaran saya Arsitek B sebagai
rekannya untuk ikut berdamai. Adapun karena Arsitek A sangat idealis dan sangat berpegang
teguh dan patuh serta menaati peraturan hukum undang-undang dan kode etik keprorfesian
arsitek. Disini dalam diskusi ini, Arsitek A dan saya Arsitek B berdebat mengenai masalah
Undang-Undang tentang keprofesian arsitek maupun kode etik keprofesian arsitek.

Adapun yang dimaksud undang-undang dan kode etik keprofesian tersebut adalah :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Arsitek

dan

Kode Etik Arsitek dan Kaidah Tata Laku Profesi Arsitek dari IAI edisi tahun 2007.

Arsitek A dan Arsitek B berdebat mengklaim bahwa UU dan Kode Etik Arsitek harus
dan wajib untuk ditaati. Apabila dilanggar berpotensi mendapat sanksi dari Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI) maupun sanksi hukum, menurut Arsitek A. Sementara itu saya sebagai Arsitek
B mengklaim telah mengetahui hal tersebut dan sangat paham mengenai materi dan isi
daripada Undang-Undang maupun Kode Etik Arsitek bahkan sampai hafal isi setiap butir-butir
dan pasal-pasal didalamnya. Dan Arsitek B menambahkan pula bahwa, “apabila tidak turut
ikut pendekatan damai, kita berpotensi untuk menjadi sasaran Aparat dan berpotensi
ditetapkan sebagai Tersangka, karena Aparat pasti mencari pihak yang bisa disalahkan bila
tidak ikut bekerja sama,”.
Adapun Arsitek A dan saya sebagai Arsitek B saling berdebat dan berargumentasi
mengenai materi UU No. 6 Tentang Arsitek maupun Kode Etik Arsitek dengan keadaan yang
terjadi di lapangan. Debat antara Arsitek A dan Arsitek B disela oleh Moderator agar kondusif
dan diskusi berjalan dengan baik.

Poin-poin yang dibahas saat beradu argumen antara Arsitek A dan Arsitek B yaitu :

1. Kaidah-kaidah Dasar dalam Kode Etik Arsitek :


a) Kewajiban Umum,
b) Kewajiban terhadap masyarakat,
c) Kewajiban kepada pengguna jasa,
d) Kewajiban Kepada Profesi, dan
e) Kewajiban Terhadap Sejawat
2. Kaidah Tata Laku Nomor 3.105 yang berbunyi, “arsitek tidak dibenarkan untuk
mengubah atau mengganti lingkup ataupun target/program kerja suatu penugasan
tanpa persetujuan pengguna jasa.”
3. Uraian Kaidah Tata Laku Nomor 3.201 dalam Standar Etika 3.2 tentang Kerahasiaan
yang pada intinya berbunyi “...jika sifat kerahasiaan ini menjadi bertentangan dengan
hukum ... memungkinkan arsitek membuka informasi yang dianggap bersifat sensitif.
4. Standar Etika 4.1 tentang Kejujuran dan Keadilan yang berbunyi, “arsitek wajib
melaksanakan profesinya dengan menjunjung tinggi nilai kejujuran dan keadilan.”,
serta Kaidah Tata Laku 4.101 yang pada intinya apabila, “...adanya kelalaian ataupun
pelanggaran kode etik ... oleh rekan arsitek lain ... wajib menyampaikan/
melaporkannya kepada Dewan Kehormatan IAI.”, dan akan dilindungi dari tuduhan
fitnah atau pencemaran nama baik kepada pengadu.
5. Kaidah Tata Laku 4.103 yang berbunyi, “arsitek...tidak boleh secara sadar membuat
pernyataan yang keliru atas fakta materiil.” Dan Kaidah Tata Laku 4.202 yang berbunyi,
“Arsitek wajib berusaha sewajarnya untuk menekankan agar pihak-pihak di bawah
pengawasannya memahami serta menaati kaidah dan kode etik yang dianutnya.”
6. Kaidah Dasar Lima tentang Kewajiban Terhadap Sejawat.
7. Good Governance bagi profesi Arsitek IAI dengan 6 (enam) poin Prinsip Kaidah Spesifik.
8. Dan lain-lainnya.

Kemudian beberapa Poin dalam UU No.6 Tahun 2017 Tentang Arsitek yaitu :

1. Pasal 21 dan 22 BAB VI tentang Hak dan Kewajiban Arsitek.


2. Pasal 29(e) BAB VII tentang Organisasi Profesi arsitek.
3. Pasal 35-Pasal 37 BAB VII tentang Pembinaan Arsitek, dan
4. BAB IX tentang Sanksi Administratif.

Dan juga sabagai sumber bahasan debat yakni UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi sebagai pengganti daripada UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.

Debat setelah disela oleh Moderator, maka diskusi dilanjutkan kembali kepada pihak
Perencana, Pengawas, maupun Aparat serta para Arsitek.
Pada akhirnya saat debat menemui jalan buntu, dan Moderator sudah tidak dapat
mengendalikan diskusi, maka dosen pengampu mata kuliah menyela diskusi dan menjelaskan
apa yang ingin disampaikan oleh beliau.

Disaat dosen telah menyampaikan penyampaiannya, saya sebagai Arsitek B


melakukan interupsi, dan ingin menyampaikan beberapa poin mengenai sikap dan posisi kami
sebagai Arsitek.

Sikap dan posisi kami sebagai Arsitek di diskusi kali ini, disampaikan sekaligus diwakili
oleh saya sebagai Arsitek B, antara lain sebagai berikut.

1. Saatnya mencari solusi win-win solution dalam debat ini.


2. Apa penyebab jatuhnya material fasad, apakah faktor alam, kelalaian tukang,
kesalahan campuran material, perbedaan spek/ukuran, atau faktor sabotase di
lapangan? Diserahkan hasilnya kepada aparat.
3. Seberapa banyak material fasad yang jatuh.
4. Apakah ada kesepakatan tertentu diluar kontrak antara Owner dengan Pengawas dan
Pelaksana diluar sepengetahuan Arsitek.
5. Perlu dicek pula dalam dokumen kontrak, apakah bangunan masih dalam masa
pemeliharaan atau tidak?
6. Bila memang sedang dalam masa pemeliharaan tidak masalah,
7. Tetapi pihak Pelaksana harus bertanggungjawab memperbaiki material fasad yang
jatuh, Pengawas juga bertanggungjawab mengawasi proyek perbaikan bangunan.
8. Arsitek juga akan bertanggungjawab dalam merencanakan dan menghitung biaya
perbaikan bangunan.
9. Semua pihak juga bersedia melaksanakan tanggungjawabnya tanpa perlu
mendapatkan tarif/imbalan jasa dan biaya perbaikan dari Owner alias ditanggung
sendiri-sendiri.
10. Bila memang terjadi kegagalan konstruksi, baik human error maupun kesengajaan
lainnya, maka perlu dilakukan pembahasan lanjutan dengan Owner agar dicapai
kesepakatan apa langkah yang perlu dilanjutkan.
11. Diluar itu semua, tidak ada korban jiwa. Sehingga perlu dipertimbangkan kepada
Aparat bahwa sekiranya kasus bisa dihentikan penyelidikannya. Aparat dilobi
(negosiasi) agar kasus bisa dihentikan atas pertimbangan tersebut. Dengan kata lain
kasus tersebut tidak layak untuk dilanjutkan.
12. Pada intinya, kesepakatan harus win-win solusion. Semua pihak diuntungkan. Dan
sesuai dengan keinginan awal, Demi selesainya kasus hukum.

Demikian yang dapat disampaikan dari Resume saya dalam diskusi sebagai Arsitek B.

RIAN PRIO BRAMANTIO


1522029

Anda mungkin juga menyukai