Anda di halaman 1dari 7

4.

Kehebatan Wahyu 24

IV. KEHEBATAN WAHYU

Dalam pelaksanaan da’wah Islamiyah, semua ummat Islam harus-


lah berfungsi sebagai subyek atau sebagai pelaksana da’wah.
Sedangkan yang menjadi sasaran da’wah atau onyek da’wah adalah
semua ummat manusia. Metoda da’wah akan dikuasai jika materi yang
dihidangkan sudah dihayati. Karena itu haruslah materi / bahan
da’wah mendapat prioritas utama.

Materi da’wah tidak lain dari Qur’an. Setelah Qur’an didala-


mi, ternyata tidak ada bahasa di dunia ini yang dapat melukiskan
secara lengkap dan utuh semua wahyu yang terkandung dalam Qur’an.
Apalagi bahasa Indonesia yang begini miskin.

Kalau suatu bahasa sudah dialih bahasakan, dia akan banyak


kehilangan makna. Apalagi Qur’an, yang mengandung makna tak
terhingga jumlahnya.

Dan seandainya pohon-pohon yang dibumi menjadi pena dan laut


menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah
(kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksa-
na.
(qur’an 31:27)
4. Kehebatan Wahyu 25

Jangankan untuk memindahkan wahyu ke dalam bahasa lain.


Untuk memindahkan pengetahuan kita saja kepada orang lain, sudah
demikian sukarnya, apalah lagi untuk memindahkan makna Qur’an itu
ke dalam pengertian kita. Disamping kesukaran itu, setanpun akan
turut bekerja walaupun telah kita tampik.

Baik pembicara selaku subyek, maupun pendengar selaku obyek,


harus membebaskan diri dari pengaruh syetan. Karena walaupun
subyek da’wah (pembicara) telah berhasil membebaskan diri dari
pengaruh itu, tetapi obyek da’wah berada dalam pengaruh syetan,
besar kemungkinan materi yang disuguhkan tidak dapat ditangkap
oleh obyek. Dalam hal ini niat pendengar (obyek) sangat menentu-
kan, walaupun Nabi, bahkan malaikat sekalipun tidak bisa menje-
laskan Qur’an kepada obyek yang digoda syetan. Bahkan orang yang
terbebas dari godaan syetan sekalipun – menurut Syekh Muhammad
Abduh – tidak bisa menangkap seluruh makna yang terkandung dalam
Qur’an.

Seorang Jepang yang ditanya oleh Gafar Ismail kenapa tidak


menerbitkan tafsir Qur’an dalam Bahasa Jepang mejawab, karena
dia merasa takut, jangan-jangan tafsirnya itu tidak sesuai dengan
maksud Allah.

Subyek da’wah diharuskan berkeinginan besar untuk memberi


pengertian, tetapi harus disadari bahwa dapat tindaknya seseorang
menangkap dan mengerti makna Qur’an tergantung dari Tuhan. Jan-
gankan kita, Nabi Muhammad sendiri ditegur Allah karena terlalu
serius untuk member pengertian pada orang yang sudah ditutup
hatinya oleh Allah.

Qur’an ini bukan ilmu tapi wahyu. Tidak bisa diterima


sekaligus. Harus berdikit-dikit, sehingga mengakar dalam jiwa.

Berkata orang-orang kafir: “Mengapa Qur’an tidak diturunkan


sekaligus saja?”. Demikianlah (sedikit-sedikit), supaya kami
perkuat hatimu dengannya.
(qur’an 25:32)

Dengan turunya sedikit-sedikit itu, Qur’an dapat tertanam dalam


jiwa, mengurat-mengakar, LINUTSABBITA BIHI. Yang menjadi ukuran
bagi kita bukanlah terletak pada kepandaian dalam ilmu Qur’an.
Tetapi pada pengaruh Qur’an terhadap jiwa kita. Orang-orang
kafir, orientalis, sangat tahu tentang Qur’an, namun tetap saja
mereka dalam kekafiran. Musuh-musuh Islam seperti Abu Jahal, dan
lain-lain, pernah mendengar bacaan Qur’an malahan hafal kalimah-
kalimah Qur’an, tapi mereka bertambah ‘karatan’ dalam kekafiran.
Disinilah letak permasalahannya.

Jangan terima Qur’an sebagai ilmu, karena kalau demikian,


akan samalah kedudukan Qur’an dengan ilmu seperti Aljabar, ilmu
ukur, ilmu Bumi, lagu-lagu India, kesenian, dan lain-lain. Tetapi
haruslah Qur’an itu menghujam ke dalam jiwa dan membentuk perwa-
4. Kehebatan Wahyu 26

Takan,menjadi nafas kehidupan, melahirkan cara berfikir,


melahirkan pola memandang, melahirkan dinamika, sebagai akibat
dari mengghujamnya, mengurat-mengakarnya Qur’an dalam jiwa.

Wahyu akan melahirkan gerak. Akan tumbuh dalam jiwa kita


kalimah: LAA ILAAHA ILLALLAAH. Hanya Allah yang kuasa, hanya
Allah yang berhak menentukan segala sesuatu yang terjadi pada
ciptaanNya, termasuk manusia. Marilah kita latih terus, agar
kalimah itu tumbuh, mengurat dan mengakar dalam jiwa kita. Untuk
itulah kita harus banyak meminta kepada Allah SWT agar kita
banyak diberi petunjuk.tanpa petunjuk itu, tidak mungkin makna
Qur’an dapat kita tangkap. Sebelumnya, hendaklah kita memohon
perlindungan dari Allah.

Apabila engkau membaca Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah


dari godaan syetan yang terkutuk.
(Qur’an 16:98)

Sewaktu menghadapi Qur’an, tumbuhkanlah kesan bahwa apa yang


dihadapi itu dari Tuhan. Wahyu ini adalah perwujudan elemen-
elemen, suatu subtansi dari Allah SWT. Sehingga kita serius
menghadapinya, malah badan tegetar karenanya. Tanpa kesan se-
perti itu maka kita akan menghadapi Qur’an ini tidak lebih dari
menghadapi sebuah buku yang dicetak di Bandung atau Jepang.
Tumbuhkanlah kesan bahwa Qur’an ini sesuatu yang maha hebat. Dan
memang demikian, karena Allah sendiri ber-firman :

Kalau sekiranya kami turunkan Qur’an, ini kepada sebuah gunung,


pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut
kepada Allah. Demikianlah, perumpamaan-perumpamaan itu kami buat
untuk manusia supaya mereka berfikir.
(Qur’an 59:21)

Qur’an adalah percikan dari Allah, wahyu otentik, kalimah


otentik dari Allah SWT. Bukan seperti apa yang diucapkan Nurcholis
Madjid, bahwa Qur’aan itu interpretasi Muhammad.

Qur’an itu bukan interpretasi Muhammad. Apabila wahyu turun,


Nabi Muhammad berkeringat, badanya kaku dan kejang, seakan-akan
nyawanya akan tercabut. Beliau sampai pingsan, keringat dingin.
Kalau Qur’an ini karangan Muhammad, kenapa peristiwa seperti itu
harus terjadi pada diri Muhammad di kala wahyu akan turun? Mana-
kala para sahabat melihat keadaan seperti itu, mereka berjaga-
jaga. Suatu peristiwa penting akan terjadi. Wahyu akan turun
segera setelah wahyu turun, mereka menulisnya pada kulit bina-
tang, pada tulang-tulang atau pada benda apa saja yang dapat
ditulisi. Yang tidak mempunyai alat tulis, menghunus pedangnya
dan . . . . menulis wahyu itu di kulitnya sendiri. Sampai begitu
perlakuan mereka terhadap Qur’an. Wajarlah kalau wahyu mengakar
dalam jiwa mereka, yang melahirkan sikap mental dan pola hidup
4. Kehebatan Wahyu 27

Qur’ani.

Sewaktu membaca Qur’an ini, bayangkanlah bagaimana Nabi


menyampaikan wahyu itu kepada sahabat-sahabat beliau ketika wahyu
itu baru turun. Bayangkanlah keseriusan para sahabat menerima
wahyu itu, sehingga ada yang menulisnya di kulitnya sendiri
dengan pedang. Bayangkan ketika Nabi Muhammad SAW. Sampai pingsan
ketika menerima wahyu. Bayangkanlah bagaimana sikap Jibril
ketika dia dipanggil Allah untuk menyampaikan wahyu itu kepada
Muhammad. Bagaimana kehati-hatian Jibril melaksanakan perintah
Allah ini, jangan sampai dia salah rekam, bayangkan bagaimana
takutnya ketika itu.

Begitulah hendaknya sikap kita. Harus ada perasaan takut,


jangan sampai wahyu itu tidak kita mengerti, berakibat tidak ada
yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapihidup ini. Ini mendorong
kita untuk bermunajah, berdo’a kepada Allah memohon petunjuk. Dari
relung kalbu kita yang jujurdan tulus, luncurlah doa melalui
bibir:
ALLAHUMMA AARINAL HAQQAN WARZUQNAT TIBAA’AH
WA AARINAL BAATHILA, BAATHILA; WARZUQNAJTINAABAH

Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan beri


kemampuan untuk mengikuti kebenaran itu; Dan tunjukkanlah keba-
thilan itu sebagai kebathilan, dan beri kami kemampuan untuk
menghindari kebathilan itu.

Kita melakukan ini untuk mengundang pertolongan Allah, semoga ia


berkenan member pengertian pada kita tentang Qur’an. Apabila
kita telah mampu bersikap seperti sahabat-sahabat itu, dalam arti
bersikap serius menghadapi Qur’an, maka:

“sampaikanlah apa yang berasal dari padaku (Nabi) walau hanya


satu ayat”. (Hadist)

Kendati kita hanya mengetahui satu ayat, itu akan membekas


dalam jiwa kita dan dapat membentuk karakter kita. Akan tetapi
kalau Qur’an ini hanya dipandang sebagai ilmu belaka, maka itu
tidak akan memberi bekas apa-apa dalam jiwa dan karakter kita.
Akan sama saja kedudukan Qur’an dengan ilmu-ilmu seperti yang
disebutkan di atas. Qur’an akan menjadi QUR’ANOLOGI, Islam akan
menjadi ISLAMOLOGI, Iman akan menjadi IMANOLOGI. Bukan sebagai
wahyu lagi.

Dalam usaha menerima Qur’an ini sebagai wahyu, peranan


manusia sangat kecil. Yang lebih banyak adalah peranan Allah.
Sering terjadi pada waktu orang belajar mengaji Qur’an, ada yang
mengantuk karena terlalu serius menghadapi pelajaran, tetapi dia
bisa menjadi pandai dan dapat memahami pelajaran yang dihadapinya
ketika mengantuk itu. Allah melihat dan menilai kesungguhan orang
itu. Mengantuknya bukan karena malas atau karena tidak ada perha-
tian, tetapi karena terlalu serius (keseriusannya melampaui
limitasi kemampuannya). Yang dinilai Allah adalah kesungguhan
itu. Bisa terjadi penangkapan dan pengertian terhadap maksud dari
suatu ayat bagi yang mendengar melebihi dari apa yang disampai-
4. Kehebatan Wahyu 28

kan. Satu yang disampaikan sepuluh yang dimengerti. Tergantung


dari kehendak Allah member kepada kita.

Telah dikemukakan diatas, bahwa untuk bisa menangkap makna


Qur’an itu. Peranan doa sangat besar. Ada tiga syarat yang harus
dipenuhi dalam berdoa.
Pertama, kita harus menghayati dan menjiwai benar bahwa Allah itu
Maha Kuasa.
Kedua, kita menyadari bahwa diri kita lemah tak berdaya.
Ketiga, kita sadar bahwa tanpa bantuan Allah kita tidak dapat
menjangkau apa yang kita inginkan.
Tanpa tiga syarat itu, barangkali yang kita ucapkan bukan berni-
lai doa, tetapi tidak lebih dari “ngoceh”, “ngolok”, atau sekedar
“yel-yel” saja.

Dengan tiga syarat itulah kita melangkah, melanjutkan kursus


ini. Sebagai manusia, saya tidak mempunyai daya apa-apa, sehingga
para peserta kursus jangan menuntut dan berharap terlalu banyak,
tetapi hendaknya kita bekerja sama mengundang datangnya pertolon-
gan Allah.

Dalam rangka itu, menurut tuntunan HALAQA TA’LIM, kita semua


harus mendekat pada guru. Tatap mata guru, tidak berkedip,jarak
antara satu dengan yang lain rapat, tidak berantara. Supaya Allah
melihat bahwa kita betul-betul serius. Supaya Allah datang mem-
beri bantuan pada kita. Tetapi kalau kita mendengar ceramah
sambil malas-malasan, merokok sambil bersandar di tiang. Jangan-
kan mengharap pertolongan Allah, pembicara sendiri bisa terganggu
konsentrasinya.

Doa yang maqbul dapat diarahkan ke segala penjuru. Apakah


untuk peningkatan nilai-nilai ruhaniah, maupun untuk nilai-nilai
materiel seperti kekayaan. Barangkali akan timbul pertanyaan,
kenapa Nabi tidak kaya? Kenapa beliau mengikat perutnya, kalau
kelaparan? Inilah bentuk pertanyaan yang sekaligus menjadi tanda
bahwa keyakinannya kepada Allah sangat rendah. Nabi bukannya
tidak bisa kaya, tetapi karena tidak mau. Beliau memilih hidup
bersahaja, sangat sederhana. Beliau tidak tergiur lagi oleh soal-
soal kebendaan. Begitupun sahabat-sahabatnya. Tercatat dalam
sejarah, suatu ketika Umar bin Khattab melolong-lolong menangis,
sewaktu ia menghadapi makanan enak. Ia melolong, karena orang
yang lebih baik ari dirinya seperti Nabi Muhammad dan Abu Bakar
tidak pernah menemui makanan seperti ini.

Tetapi bagi kepentingan perjuangan dan missi da’wah, jangan


segan-segan meminta pada Allah SWT. Asal yang diminta itu benar-
benar diperlukan, dan dilandasi hati yang bersih, niscaya Allah
kabulkan.

Orang yang menekuni dan menggali nilai-nilai Qur’an akan


menyebabkan hubungannya dengan Allah intim, jaraknya dengan Allah
dekat. Dalam keadaan begini, jangankan doa formalnya, doanya yang
informalpun maqbul. Misalnya suatu ketika dia menyapu di dalam
rumahnya tiba-tiba terbayang dalam ingatannya: “Alangkah indahnya
jika lantai ini dialas dengan karpet”. Tiada berapa lama, orang
4. Kehebatan Wahyu 29

Akan memberikannya karpet. Ini sekedar contoh. Tetapi hal yang


begini telah terbukti. Jadi bukan sekedar khayalan atau karangan
belaka.
Kta semua bisa tiba pada tingkat demikian. Syaratnya, jangan
suka bohong. Hati harus bersih,sehingga detakan hati akan ber-
makna doa bagi Allah. Detakan hati akan dibaca oleh Allah dan
dikabulkannya.

Niat yang bersih itu sebenarnya menjadi modal besar bagi


kita, terutama yang berhubungan dengan tugas-tugas kita sebagai
muballigh. Seorang muballig h tak usah ragu-ragu untuk tampil
dalam forum manapun juga kendati tanpa persiapan, asal memenuhi
beberapa syarat sebagai berikut:

(1) Niat yang baik


(2) Memiliki persyaratan Qur’ani (dalam dirinya tumbuh nilai-
nilai yang diperoleh dari lima proses wahyu – seperti yang
dikemukakan di atas – berupa tanggung jawab ingin memper-
baiki keadaan)
(3) Berdoa dan bermunajah.
(4) Tawadhhu (tidak taghaa)
(5) Memohon petunjuk Allah.

Dengan modal itu, naiklah ke podium. Allah akan memberikan bahan


tentang apa yang akan dibicarakan. Sehingga sering terjadi apa-
apa yang kita ucapkan merupakan hal yang baru bagi kita karena
kita sendiri tidak tahu sebelumnya.

Apabila makna Qur’an itu dapat ditangkap, maka sesuatu yang


maha dasyat dan luar biasa akan terjadi. Jangankan menangkap
makna Qur’an, sedangkan orang-orang tua zaman dahulu hanya seke-
dar menaruh keyakinan tertentu pada baris AL-Qur’an, mereka telah
menemukan hasil yang menakjubkan. Misalnya, ada yang yakin bahwa
dengan membaca ayat-ayat tertentu yang mempunyai baris di atas,
akan memperoleh kejayaan. Tidak pernah kalah, akan diatas terus
dalam segala bidang. Hanya sekedar itu yang diyakini, namun toh
dia berhasil mendapatkan apa yang diyakininya itu. Ada juga yang
mempunyai keyakinan pada suatu ayat yang tidak terpotong, bahwa
dengan membaca ayat itu dia tidak akan menemui kegagalan. Diapun
mendapatkan hasilnya. Padahal itu baru keyakinan yang belum
menyangkut makna sebenarnya dari Qur’an.

Jika Qur’an tidak dapat memberikan sesuatu yang hebat dan


luar biasa kepada manusia, tentulah walisongo tidak akan mampu
menumbangkan Majapahit yang demikian kuatdan jayanya, bila
dibandingkan dengan keadaan walisongo. Demikian pula halnya para
sahabat Nabi yang mampu menaklukan Romawi dan Persia, di saat
kedua kerajaan ini berada pada puncak kekuasaan dunia pada zaman
itu (kira-kira sama dengan USA dan Uni Soviet pada abad ke-20).

Telah disebutkan tadi, bahwa turunnya ayat Qur’an tidak


sekaligus jiuag tidak langsung tersusun dalam bentuk surah-surah
seperti yang kita kenal sekarang.

Wahyu yang pertama turun adalah Surat Al-Alaq, sebanyak 5


4. Kehebatan Wahyu 30

Ayat. Wahyu berikutnya bukanlah lanjutan dari Surat Al-Alaq


melainkan Surat lain. Yakni Surat Al-Qalam, sebanyak 7 ayat
wahyu ketiga Surat Al-Muzzammil sebanyak 10 ayat; wahyu keempat
Surat Al-Muddatstsir sebanyak 7 ayat; dan wahyu kelima adalah
Surat Al-Fatihah sebanyak 7 ayat.
Jadi ayat-ayat yang turun pada wahyu pertama dan seterusnya,
belum lengkap berisi satu surat. Lanjutannyapun bukan kelengkapan
ayat dari surat-surat itu, melainkan beberapa ayat dari surat-
surat lain. Kecuali wahyu kelima, yakni Al-Fatihah, turun sekali-
gus lengkap satu surat (7 ayat). Timbullah pertanyaan, kenapa
dan apa maksud Allah dalam hal ini? Nah, marilah berusaha bermu-
najah dan berdoa sekuat-kuatnya untuk menemukan jawaban mengapa
Allah memotong-motong ayat itu.

Dalam sistem penulisan sekarang, kita kenal satu bab yang


disebut pendahuluan, dibuat untuk mengantar pembacanya agar mudah
memasuki uraian-uraian selanjutnya. Dapat ditamsilkan bahwa wahyu
pertama sampai keempat berfungsi sebagai pendahuluan untuk
memasuki Qur’an (dalam hal ini AL-Fatihah) wahyu pertama sampai
keempat itu dapat memberi pengenalan kepada kita tentang maksud
dan tujuan Allah menurunkan Qur’an ini. Dapat pula dilihat bahwa
Al-Fatihah menempati kedudukan khas, dibandingkan dengan empat
surat lainnya. Sehingga Al-Fatihah dipandang sebagai UMMUL QUR-
‘AN yakni sebagai kesimpulan dari isi Qur’an
Berdasarkan kronologis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa :

Diperlukan wahyu pertama sampai wahyu keempat untuk menghantar


kita mampu menerima Al-Fatihah (sebagai mewakili seluruh isi
Al-Qur’an)

Kalau nilai-nilai yang tumbuh dari proses wahyu pertama hingga


keempat telah dimiliki, kemudian kita dihantar memasuki dan
memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’an akan dimiliki
keseluruhan.

Bacalah sejarah Rasul dan sahabat-sahabat beliau sebagai


studi kasus. Kenapa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Diberi
hidayah – sementara itu Abu Thalib, pamanda beliau sendiri, yang
membelanya dari ancaman musuh, yang member kasih sayang kepada
Muhammad sebagai keponakan, justru tidak mendapat hidayah? Tentu-
lah para sahabat memiliki sesuatu yang dapat mengundang pertolon-
gan Allah SWT dan tentulah Abu Thalib memiliki sesuatu yang
menghalang datangnya pertolongan itu.
Oleh karena itu haruslah kita menghindari apa yang dimiliki oleh
Abu Thalib itu.

------------o0o------------

Anda mungkin juga menyukai