Dalam pelaksanaan da’wah Islamiyah, semua ummat Islam harus-
lah berfungsi sebagai subyek atau sebagai pelaksana da’wah. Sedangkan yang menjadi sasaran da’wah atau onyek da’wah adalah semua ummat manusia. Metoda da’wah akan dikuasai jika materi yang dihidangkan sudah dihayati. Karena itu haruslah materi / bahan da’wah mendapat prioritas utama.
Materi da’wah tidak lain dari Qur’an. Setelah Qur’an didala-
mi, ternyata tidak ada bahasa di dunia ini yang dapat melukiskan secara lengkap dan utuh semua wahyu yang terkandung dalam Qur’an. Apalagi bahasa Indonesia yang begini miskin.
Kalau suatu bahasa sudah dialih bahasakan, dia akan banyak
kehilangan makna. Apalagi Qur’an, yang mengandung makna tak terhingga jumlahnya.
Dan seandainya pohon-pohon yang dibumi menjadi pena dan laut
menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksa- na. (qur’an 31:27) 4. Kehebatan Wahyu 25
Jangankan untuk memindahkan wahyu ke dalam bahasa lain.
Untuk memindahkan pengetahuan kita saja kepada orang lain, sudah demikian sukarnya, apalah lagi untuk memindahkan makna Qur’an itu ke dalam pengertian kita. Disamping kesukaran itu, setanpun akan turut bekerja walaupun telah kita tampik.
Baik pembicara selaku subyek, maupun pendengar selaku obyek,
harus membebaskan diri dari pengaruh syetan. Karena walaupun subyek da’wah (pembicara) telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh itu, tetapi obyek da’wah berada dalam pengaruh syetan, besar kemungkinan materi yang disuguhkan tidak dapat ditangkap oleh obyek. Dalam hal ini niat pendengar (obyek) sangat menentu- kan, walaupun Nabi, bahkan malaikat sekalipun tidak bisa menje- laskan Qur’an kepada obyek yang digoda syetan. Bahkan orang yang terbebas dari godaan syetan sekalipun – menurut Syekh Muhammad Abduh – tidak bisa menangkap seluruh makna yang terkandung dalam Qur’an.
Seorang Jepang yang ditanya oleh Gafar Ismail kenapa tidak
menerbitkan tafsir Qur’an dalam Bahasa Jepang mejawab, karena dia merasa takut, jangan-jangan tafsirnya itu tidak sesuai dengan maksud Allah.
Subyek da’wah diharuskan berkeinginan besar untuk memberi
pengertian, tetapi harus disadari bahwa dapat tindaknya seseorang menangkap dan mengerti makna Qur’an tergantung dari Tuhan. Jan- gankan kita, Nabi Muhammad sendiri ditegur Allah karena terlalu serius untuk member pengertian pada orang yang sudah ditutup hatinya oleh Allah.
Qur’an ini bukan ilmu tapi wahyu. Tidak bisa diterima
sekaligus. Harus berdikit-dikit, sehingga mengakar dalam jiwa.
Berkata orang-orang kafir: “Mengapa Qur’an tidak diturunkan
sekaligus saja?”. Demikianlah (sedikit-sedikit), supaya kami perkuat hatimu dengannya. (qur’an 25:32)
Dengan turunya sedikit-sedikit itu, Qur’an dapat tertanam dalam
jiwa, mengurat-mengakar, LINUTSABBITA BIHI. Yang menjadi ukuran bagi kita bukanlah terletak pada kepandaian dalam ilmu Qur’an. Tetapi pada pengaruh Qur’an terhadap jiwa kita. Orang-orang kafir, orientalis, sangat tahu tentang Qur’an, namun tetap saja mereka dalam kekafiran. Musuh-musuh Islam seperti Abu Jahal, dan lain-lain, pernah mendengar bacaan Qur’an malahan hafal kalimah- kalimah Qur’an, tapi mereka bertambah ‘karatan’ dalam kekafiran. Disinilah letak permasalahannya.
Jangan terima Qur’an sebagai ilmu, karena kalau demikian,
akan samalah kedudukan Qur’an dengan ilmu seperti Aljabar, ilmu ukur, ilmu Bumi, lagu-lagu India, kesenian, dan lain-lain. Tetapi haruslah Qur’an itu menghujam ke dalam jiwa dan membentuk perwa- 4. Kehebatan Wahyu 26
Takan,menjadi nafas kehidupan, melahirkan cara berfikir,
melahirkan pola memandang, melahirkan dinamika, sebagai akibat dari mengghujamnya, mengurat-mengakarnya Qur’an dalam jiwa.
Wahyu akan melahirkan gerak. Akan tumbuh dalam jiwa kita
kalimah: LAA ILAAHA ILLALLAAH. Hanya Allah yang kuasa, hanya Allah yang berhak menentukan segala sesuatu yang terjadi pada ciptaanNya, termasuk manusia. Marilah kita latih terus, agar kalimah itu tumbuh, mengurat dan mengakar dalam jiwa kita. Untuk itulah kita harus banyak meminta kepada Allah SWT agar kita banyak diberi petunjuk.tanpa petunjuk itu, tidak mungkin makna Qur’an dapat kita tangkap. Sebelumnya, hendaklah kita memohon perlindungan dari Allah.
Apabila engkau membaca Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah
dari godaan syetan yang terkutuk. (Qur’an 16:98)
Sewaktu menghadapi Qur’an, tumbuhkanlah kesan bahwa apa yang
dihadapi itu dari Tuhan. Wahyu ini adalah perwujudan elemen- elemen, suatu subtansi dari Allah SWT. Sehingga kita serius menghadapinya, malah badan tegetar karenanya. Tanpa kesan se- perti itu maka kita akan menghadapi Qur’an ini tidak lebih dari menghadapi sebuah buku yang dicetak di Bandung atau Jepang. Tumbuhkanlah kesan bahwa Qur’an ini sesuatu yang maha hebat. Dan memang demikian, karena Allah sendiri ber-firman :
Kalau sekiranya kami turunkan Qur’an, ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Demikianlah, perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir. (Qur’an 59:21)
Qur’an adalah percikan dari Allah, wahyu otentik, kalimah
otentik dari Allah SWT. Bukan seperti apa yang diucapkan Nurcholis Madjid, bahwa Qur’aan itu interpretasi Muhammad.
Qur’an itu bukan interpretasi Muhammad. Apabila wahyu turun,
Nabi Muhammad berkeringat, badanya kaku dan kejang, seakan-akan nyawanya akan tercabut. Beliau sampai pingsan, keringat dingin. Kalau Qur’an ini karangan Muhammad, kenapa peristiwa seperti itu harus terjadi pada diri Muhammad di kala wahyu akan turun? Mana- kala para sahabat melihat keadaan seperti itu, mereka berjaga- jaga. Suatu peristiwa penting akan terjadi. Wahyu akan turun segera setelah wahyu turun, mereka menulisnya pada kulit bina- tang, pada tulang-tulang atau pada benda apa saja yang dapat ditulisi. Yang tidak mempunyai alat tulis, menghunus pedangnya dan . . . . menulis wahyu itu di kulitnya sendiri. Sampai begitu perlakuan mereka terhadap Qur’an. Wajarlah kalau wahyu mengakar dalam jiwa mereka, yang melahirkan sikap mental dan pola hidup 4. Kehebatan Wahyu 27
Qur’ani.
Sewaktu membaca Qur’an ini, bayangkanlah bagaimana Nabi
menyampaikan wahyu itu kepada sahabat-sahabat beliau ketika wahyu itu baru turun. Bayangkanlah keseriusan para sahabat menerima wahyu itu, sehingga ada yang menulisnya di kulitnya sendiri dengan pedang. Bayangkan ketika Nabi Muhammad SAW. Sampai pingsan ketika menerima wahyu. Bayangkanlah bagaimana sikap Jibril ketika dia dipanggil Allah untuk menyampaikan wahyu itu kepada Muhammad. Bagaimana kehati-hatian Jibril melaksanakan perintah Allah ini, jangan sampai dia salah rekam, bayangkan bagaimana takutnya ketika itu.
Begitulah hendaknya sikap kita. Harus ada perasaan takut,
jangan sampai wahyu itu tidak kita mengerti, berakibat tidak ada yang dapat dimanfaatkan dalam menghadapihidup ini. Ini mendorong kita untuk bermunajah, berdo’a kepada Allah memohon petunjuk. Dari relung kalbu kita yang jujurdan tulus, luncurlah doa melalui bibir: ALLAHUMMA AARINAL HAQQAN WARZUQNAT TIBAA’AH WA AARINAL BAATHILA, BAATHILA; WARZUQNAJTINAABAH
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran itu sebagai kebenaran dan beri
kemampuan untuk mengikuti kebenaran itu; Dan tunjukkanlah keba- thilan itu sebagai kebathilan, dan beri kami kemampuan untuk menghindari kebathilan itu.
Kita melakukan ini untuk mengundang pertolongan Allah, semoga ia
berkenan member pengertian pada kita tentang Qur’an. Apabila kita telah mampu bersikap seperti sahabat-sahabat itu, dalam arti bersikap serius menghadapi Qur’an, maka:
“sampaikanlah apa yang berasal dari padaku (Nabi) walau hanya
satu ayat”. (Hadist)
Kendati kita hanya mengetahui satu ayat, itu akan membekas
dalam jiwa kita dan dapat membentuk karakter kita. Akan tetapi kalau Qur’an ini hanya dipandang sebagai ilmu belaka, maka itu tidak akan memberi bekas apa-apa dalam jiwa dan karakter kita. Akan sama saja kedudukan Qur’an dengan ilmu-ilmu seperti yang disebutkan di atas. Qur’an akan menjadi QUR’ANOLOGI, Islam akan menjadi ISLAMOLOGI, Iman akan menjadi IMANOLOGI. Bukan sebagai wahyu lagi.
Dalam usaha menerima Qur’an ini sebagai wahyu, peranan
manusia sangat kecil. Yang lebih banyak adalah peranan Allah. Sering terjadi pada waktu orang belajar mengaji Qur’an, ada yang mengantuk karena terlalu serius menghadapi pelajaran, tetapi dia bisa menjadi pandai dan dapat memahami pelajaran yang dihadapinya ketika mengantuk itu. Allah melihat dan menilai kesungguhan orang itu. Mengantuknya bukan karena malas atau karena tidak ada perha- tian, tetapi karena terlalu serius (keseriusannya melampaui limitasi kemampuannya). Yang dinilai Allah adalah kesungguhan itu. Bisa terjadi penangkapan dan pengertian terhadap maksud dari suatu ayat bagi yang mendengar melebihi dari apa yang disampai- 4. Kehebatan Wahyu 28
kan. Satu yang disampaikan sepuluh yang dimengerti. Tergantung
dari kehendak Allah member kepada kita.
Telah dikemukakan diatas, bahwa untuk bisa menangkap makna
Qur’an itu. Peranan doa sangat besar. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam berdoa. Pertama, kita harus menghayati dan menjiwai benar bahwa Allah itu Maha Kuasa. Kedua, kita menyadari bahwa diri kita lemah tak berdaya. Ketiga, kita sadar bahwa tanpa bantuan Allah kita tidak dapat menjangkau apa yang kita inginkan. Tanpa tiga syarat itu, barangkali yang kita ucapkan bukan berni- lai doa, tetapi tidak lebih dari “ngoceh”, “ngolok”, atau sekedar “yel-yel” saja.
Dengan tiga syarat itulah kita melangkah, melanjutkan kursus
ini. Sebagai manusia, saya tidak mempunyai daya apa-apa, sehingga para peserta kursus jangan menuntut dan berharap terlalu banyak, tetapi hendaknya kita bekerja sama mengundang datangnya pertolon- gan Allah.
Dalam rangka itu, menurut tuntunan HALAQA TA’LIM, kita semua
harus mendekat pada guru. Tatap mata guru, tidak berkedip,jarak antara satu dengan yang lain rapat, tidak berantara. Supaya Allah melihat bahwa kita betul-betul serius. Supaya Allah datang mem- beri bantuan pada kita. Tetapi kalau kita mendengar ceramah sambil malas-malasan, merokok sambil bersandar di tiang. Jangan- kan mengharap pertolongan Allah, pembicara sendiri bisa terganggu konsentrasinya.
Doa yang maqbul dapat diarahkan ke segala penjuru. Apakah
untuk peningkatan nilai-nilai ruhaniah, maupun untuk nilai-nilai materiel seperti kekayaan. Barangkali akan timbul pertanyaan, kenapa Nabi tidak kaya? Kenapa beliau mengikat perutnya, kalau kelaparan? Inilah bentuk pertanyaan yang sekaligus menjadi tanda bahwa keyakinannya kepada Allah sangat rendah. Nabi bukannya tidak bisa kaya, tetapi karena tidak mau. Beliau memilih hidup bersahaja, sangat sederhana. Beliau tidak tergiur lagi oleh soal- soal kebendaan. Begitupun sahabat-sahabatnya. Tercatat dalam sejarah, suatu ketika Umar bin Khattab melolong-lolong menangis, sewaktu ia menghadapi makanan enak. Ia melolong, karena orang yang lebih baik ari dirinya seperti Nabi Muhammad dan Abu Bakar tidak pernah menemui makanan seperti ini.
Tetapi bagi kepentingan perjuangan dan missi da’wah, jangan
segan-segan meminta pada Allah SWT. Asal yang diminta itu benar- benar diperlukan, dan dilandasi hati yang bersih, niscaya Allah kabulkan.
Orang yang menekuni dan menggali nilai-nilai Qur’an akan
menyebabkan hubungannya dengan Allah intim, jaraknya dengan Allah dekat. Dalam keadaan begini, jangankan doa formalnya, doanya yang informalpun maqbul. Misalnya suatu ketika dia menyapu di dalam rumahnya tiba-tiba terbayang dalam ingatannya: “Alangkah indahnya jika lantai ini dialas dengan karpet”. Tiada berapa lama, orang 4. Kehebatan Wahyu 29
Akan memberikannya karpet. Ini sekedar contoh. Tetapi hal yang
begini telah terbukti. Jadi bukan sekedar khayalan atau karangan belaka. Kta semua bisa tiba pada tingkat demikian. Syaratnya, jangan suka bohong. Hati harus bersih,sehingga detakan hati akan ber- makna doa bagi Allah. Detakan hati akan dibaca oleh Allah dan dikabulkannya.
Niat yang bersih itu sebenarnya menjadi modal besar bagi
kita, terutama yang berhubungan dengan tugas-tugas kita sebagai muballigh. Seorang muballig h tak usah ragu-ragu untuk tampil dalam forum manapun juga kendati tanpa persiapan, asal memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
(1) Niat yang baik
(2) Memiliki persyaratan Qur’ani (dalam dirinya tumbuh nilai- nilai yang diperoleh dari lima proses wahyu – seperti yang dikemukakan di atas – berupa tanggung jawab ingin memper- baiki keadaan) (3) Berdoa dan bermunajah. (4) Tawadhhu (tidak taghaa) (5) Memohon petunjuk Allah.
Dengan modal itu, naiklah ke podium. Allah akan memberikan bahan
tentang apa yang akan dibicarakan. Sehingga sering terjadi apa- apa yang kita ucapkan merupakan hal yang baru bagi kita karena kita sendiri tidak tahu sebelumnya.
Apabila makna Qur’an itu dapat ditangkap, maka sesuatu yang
maha dasyat dan luar biasa akan terjadi. Jangankan menangkap makna Qur’an, sedangkan orang-orang tua zaman dahulu hanya seke- dar menaruh keyakinan tertentu pada baris AL-Qur’an, mereka telah menemukan hasil yang menakjubkan. Misalnya, ada yang yakin bahwa dengan membaca ayat-ayat tertentu yang mempunyai baris di atas, akan memperoleh kejayaan. Tidak pernah kalah, akan diatas terus dalam segala bidang. Hanya sekedar itu yang diyakini, namun toh dia berhasil mendapatkan apa yang diyakininya itu. Ada juga yang mempunyai keyakinan pada suatu ayat yang tidak terpotong, bahwa dengan membaca ayat itu dia tidak akan menemui kegagalan. Diapun mendapatkan hasilnya. Padahal itu baru keyakinan yang belum menyangkut makna sebenarnya dari Qur’an.
Jika Qur’an tidak dapat memberikan sesuatu yang hebat dan
luar biasa kepada manusia, tentulah walisongo tidak akan mampu menumbangkan Majapahit yang demikian kuatdan jayanya, bila dibandingkan dengan keadaan walisongo. Demikian pula halnya para sahabat Nabi yang mampu menaklukan Romawi dan Persia, di saat kedua kerajaan ini berada pada puncak kekuasaan dunia pada zaman itu (kira-kira sama dengan USA dan Uni Soviet pada abad ke-20).
Telah disebutkan tadi, bahwa turunnya ayat Qur’an tidak
sekaligus jiuag tidak langsung tersusun dalam bentuk surah-surah seperti yang kita kenal sekarang.
Wahyu yang pertama turun adalah Surat Al-Alaq, sebanyak 5
4. Kehebatan Wahyu 30
Ayat. Wahyu berikutnya bukanlah lanjutan dari Surat Al-Alaq
melainkan Surat lain. Yakni Surat Al-Qalam, sebanyak 7 ayat wahyu ketiga Surat Al-Muzzammil sebanyak 10 ayat; wahyu keempat Surat Al-Muddatstsir sebanyak 7 ayat; dan wahyu kelima adalah Surat Al-Fatihah sebanyak 7 ayat. Jadi ayat-ayat yang turun pada wahyu pertama dan seterusnya, belum lengkap berisi satu surat. Lanjutannyapun bukan kelengkapan ayat dari surat-surat itu, melainkan beberapa ayat dari surat- surat lain. Kecuali wahyu kelima, yakni Al-Fatihah, turun sekali- gus lengkap satu surat (7 ayat). Timbullah pertanyaan, kenapa dan apa maksud Allah dalam hal ini? Nah, marilah berusaha bermu- najah dan berdoa sekuat-kuatnya untuk menemukan jawaban mengapa Allah memotong-motong ayat itu.
Dalam sistem penulisan sekarang, kita kenal satu bab yang
disebut pendahuluan, dibuat untuk mengantar pembacanya agar mudah memasuki uraian-uraian selanjutnya. Dapat ditamsilkan bahwa wahyu pertama sampai keempat berfungsi sebagai pendahuluan untuk memasuki Qur’an (dalam hal ini AL-Fatihah) wahyu pertama sampai keempat itu dapat memberi pengenalan kepada kita tentang maksud dan tujuan Allah menurunkan Qur’an ini. Dapat pula dilihat bahwa Al-Fatihah menempati kedudukan khas, dibandingkan dengan empat surat lainnya. Sehingga Al-Fatihah dipandang sebagai UMMUL QUR- ‘AN yakni sebagai kesimpulan dari isi Qur’an Berdasarkan kronologis ini, dapat diambil kesimpulan bahwa :
Diperlukan wahyu pertama sampai wahyu keempat untuk menghantar
kita mampu menerima Al-Fatihah (sebagai mewakili seluruh isi Al-Qur’an)
Kalau nilai-nilai yang tumbuh dari proses wahyu pertama hingga
keempat telah dimiliki, kemudian kita dihantar memasuki dan memiliki nilai-nilai yang terkandung dalam Qur’an akan dimiliki keseluruhan.
Bacalah sejarah Rasul dan sahabat-sahabat beliau sebagai
studi kasus. Kenapa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Diberi hidayah – sementara itu Abu Thalib, pamanda beliau sendiri, yang membelanya dari ancaman musuh, yang member kasih sayang kepada Muhammad sebagai keponakan, justru tidak mendapat hidayah? Tentu- lah para sahabat memiliki sesuatu yang dapat mengundang pertolon- gan Allah SWT dan tentulah Abu Thalib memiliki sesuatu yang menghalang datangnya pertolongan itu. Oleh karena itu haruslah kita menghindari apa yang dimiliki oleh Abu Thalib itu.