Anda di halaman 1dari 40

Case Report Session

EFUSI PLEURA DENGAN TUBERKULOSIS PARU KASUS RELAPS

disusun oleh:
DESSY DASWAR

G1A217059

Pembimbing:

dr. Monalisa, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN PENYAKIT DALAM RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
RSUD RADEN MATTAHER JAMBI
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Pleura merupakan sutau membran tipis yang terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura
viseralis dan pleura parietalis dengan cavum pleura diantaranya, dimana keduanya
akan bersatu didaerah hillus dan mengadakan penetrasi dengan cabang utama
bronkus, arteri dan vena bronkialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Kedua
lapisan pleura terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan
pembuluh getah bening. Berbagai proses patogenesis dapat terjadi pada rongga
pleura seperti terjadinya penumpukan cairan ataupun udara. Proses patogenesis
yang sering terjadi adalah efusi cairan, dimana terjadinya akumulasi cairan di
cavum pleura melebihi batas normal (10-20 ml). Penumpukan cairan tersebut
salah satunya dapat disebabkan karena adanya reaksi peradangan yang dapat
menimbulkan efusi eksudat, paling sering penyebabnya adalah karena infeksi
mikobakterium tuberkulosis.1,2.3

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi


myycobacteruim tuberculosis. Berdasarkan letak anatomisnya, dapat
dikategorikan menjadi TB paru dan TB ekstraparu (mengenai pleura, otak, saluran
ekskresi, saluran pencernaan dan sebagainya). Berdasarkan usia kejadiannya, TB
juga dibagi menjadi 2, yaitu TB dewasa dan TB anak. TB dewasa ditegakkan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, terutama
pemeriksaan bakteriologis atau gram dan pemeriksaan radiologik. Pada TB anak,
diagnosis ditegakkan berdasarkan skoring.1

Tuberkulosis adalah masalah global yang penting. Tahun 2012 diperkirakan


8,6 juta orang terkena TB dan 1,3 juta meningal karenanya. Dari yang meninggal
tersebut terdaat diantaranya 0,32 juta yang didiagnosis HIV positif. Pasien TB
akan mengalami batuk selama 2 minggu atau lebih, berdahak kadang bercampur
darah, batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menuuurn, berat
badan menurun, terdapat keringat malam tanpa beraktivitas fisik, dan demam
meriang lebih dari 1 bulan.2,1

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif, sekitar 15-50 tahun
diperkirakan penderita TB dewasa kehilangan waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal ini
juga akan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar, terutama untuk
kelurga. Diperkirakan akan mengalami penurunan pendapatan eluarga sekitar 20-
30%. Selaiin memberikan dampak buruk secara ekonomis, TB juga akan
memberikan dampak buruk secara sosial, seperti pandangan negatif masyarakat
kepada penderita.1.3

Pleuritis tuberkulosis merupakan salah satu manifestasi tersering TB


ekstraparu yang muncul dengan manifestasi efusi pleura, dapat ditemukan
terisolasi di ruang pleura atau berkaitan dengan TB paru. Tuberkulosis merupakan
penyebab ketiga efusi pleura masif (12%) setelah keganasan (55%) dan
pneumonia (22%). Angka katerlibatan pleura pada pasien TB bervariasi antara 3-
5% di Eropa timur dan Amerika, dan 30% di negara berkembang dengan
prevalensi HIV tinggi. Oleh karena itu, pada kasus pasien HIV dengan efusi
pleura perlu dicurigai infeksi TB pleura, dimana pada pasien HIV lebih sering
dijumpai adanya tuberkulosis ekstraparu dibandingkan dengan pasien tanpa HIV,
dan adanya pleuritis TB menjadi salah satu manifestasi TB ekstraparu pada pasien
HIV yang menandakan bahwa penyakitnya sudah lanjut.2
BAB II
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. A
Umur : 87 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa trimulya kecamatan rantau rasau
Ruangan inap : Iso P
Tanggal masuk: 16 Agustus 2017

1.2 Anamnesis
1. Keluhan utama
Sesak napas yang semakin memberat sejak ± 2 hari SMRS.
2. Riwayat perjalanan penyakit sekarang
Os datang dengan keluhan sesak napas sejak ± 2 hari SMRS yang dirasakan
semakin hari semakin memberat. Sesak napas pertama kali dirasakan sejak ± 2
minggu SMRS. Os kemudian berobat ke puskesmas, setelah itu sesak napas
awalnya dirasakan berkurang tetapi kemudian timbul kembali. Os tidak
mengetahui persis obat yang diberikan. Os sering terbangun dimalam hari karena
sesak napas hingga sulit untuk tidur. Sesak napas berkurang jika os tidur
menggunakan 2-3 bantal yang ditumpuk dan napas lebih terasa ringan jika dalam
posisi duduk. Sesak napas yang dirasakan tidak dipengaruhi oleh cuaca dingin,
debu ataupun emosi.
Os juga mengeluh batuk sejak ± 1 bulan SMRS. Batuk awalnya berupa batuk
kering selama beberapa hari kemudan mulai berdahak hingga os masuk rumah
sakit. Warna dahak kekuningan, kental dan tidak disertai bercak darah. Os
mengaku batuk hanya sesekali dalam sehari namun dalam 2 minggu terakhir batuk
dirasakan semakin sering dan memperberat sesak napas yang dialami.
Os juga mengeluhkan demam sejak ± 1 bulan SMRS. Demam dirasakan
timbul sepanjang hari, baik siang hari maupun malam hari. Demam timbul secara
mendadak dan dirasakan demam tidak terlalu tinggi serta tdak disertai menggigil.
Demam turun jika os minum obat parasetamol yang dibeli di warung dan jika
meminum obat yang diberikan di puskesmas, namun setelah itu os merasa demam
kembali muncul. Demam terkadang disertai keringat pada malam hari, tetapi os
mengaku jika keringat pada malam hari tersebut hanya muncul sesekali saja.
Os mengeluh nyeri disekitar pinggang sebelah kiri yang pertama kali
dirasakan sejak ± 1.5 tahun yang lalu. Nyeri terkadang juga dirasakan hilang
timbul pada punggung, dada dan bahu, namun nyeri dirasakan lebih berat pada
daerah pangkal paha kiri. Jika os berjalan maka nyeri di pangkal paha kiri akan
semakin dirasakan memberat hingga ke pinggang kiri, sehingga akhirnya os tidak
sanggup untuk berjalan. Oleh karena itu, sehari-hari os lebih banyak berbaring
ditempat tidur dan mengandalkan anggota keluarga untuk berpindah tempat.
Os mengeluh BAB tidak lancar. BAB terakhir ± 2 minggu yang lalu dengan
konsistensi lembek, berwarna kuning kecoklatan, tidak berbau amis, tidak disertai
nyeri dan darah. Sebelumnya os memang sering jarang BAB seperti ini. BAK
normal, tidak ada nyeri saat BAK, warna kekuningan dan tidak berpasir. Os
mengeluh badan terasa lemas dan sering pusing diikuti pandangan berkunang-
kunang yang semakin berat jika os beraktivitas sehingga os sehari-hari hanya
berisitrahat di rumah. Os merasa nafsu makan semakin berkurang dan badan
semakin kurus. Dalam sehari, os hanya meminum segelas susu dan terkadang nasi
lembek 2 kali sehari sekitar 3-5 sendok tiap makannya.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat minum OAT selama 6 bulan sekitar 1 tahun yang lalu. OAT diminum
tuntas dan teratur hingga os dinyatakan sembuh.
b. Riwayat hipertensi (+)
c. Riwayat penyakit jantung membesar (+)
d. Riwayat DM (-)
e. Riwayat penyakit hati (-)

4. Riwayat penyakit dalam keluarga


a. Riwayat sakit yang sama dalam keluarga tidak ada
b. Riwayat hipertensi dalam keluarga disangkal
c. Riwayat DM disangkal
d. Riwayat penyakit jantung disangkal
e. Riwayat penyakit paru-paru disangkal
5. Riawayat kebiasaan, sosial dan ekonomi
Os sehari-hari hanya dirumah, tidak bekerja dan lebih banyak berisitrahat
dirumah. Os terkadang mengkonsumsi jamu untuk menghilangkan rasa nyeri di
pinggang.

1.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis, GCS 15 (E4, M5, V6)
 Tekanan Darah : 160/100 mmHg
 Nadi : 100 x/menit
 Pernapasan : 30 x/menit SpO2 : 98%
 Suhu : 37,4 °C
 Tinggi/BB : TB : 150 cm, BB : 35 kg
35
BB 2 54
 Status gizi : (1,50)
: : :
TB ( m ) 2 (1,54 m) 2
IMT  15,55 kg/m2  underweight
 Sianosis (-), dehidrasi (-), edema umum (-),
 Cara berbaring : lebih nyaman badan jika kepala dan badan
ditinggikan.
 Kulit :
Warna sawo matang, hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), pertumbuhan
rambut merata, beruban dan tidak mudah dicabut, keringat/ kelembapan
normal, turgor baik, ikterus (-)

 Kelenjar :
Pembesaran kelenjar submandibula (-), submental (-), jugularis superior(-),
jugularis interna (-)
 Kepala :
Normochepal, ekspresi muka normal, simetris, nyeri tekan syaraf (-),
deformitas (-)
 Mata :
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
kanan & kiri isokor, sekret (-), pandangan kabur (+), lapangan pandang
(dbn)
 Telinga :
Tidak ada serumen, fungsi pendengaran berkurang, tidak ada sekret, nyeri
tekan tragus (-)
 Hidung :
Deviasi septum (-), perdarahan (-), rinore (-), pembesaran konka (-),
sumbatan (-)
 Mulut dan faring :
Sariawan (-), tonsil T1-T1, gusi berdarah (-), lidah kotor (-), atrofi papil(-),
bau pernapasan khas (-), disfagia (-), odinofagia (-)
 Leher :
Pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-),kaku kuduk (-),
deviasi trakea ke arah dekstra, JVP 5+4 cmH2O,
 Paru-paru
- Inspeksi: simetris pada keadaan statis dan dinamis, tidak ada gerakan
paru yang tertinggal, spider nevi (-), pelebaran sela iga (-), hipertrofi
otot pernafasan (-)

- Palpasi: nyeri tekan (-), fremitus taktil dekstra meningkat dibagian basal

- Perkusi: ditemukan perkusi redup dibagian thoraks dekstra mulai dari


ICS IV hingaga basal. Thoraks sinistra sonor disemua lapangan paru.

- Auskultasi: suara napas vesikuler melemah dibagian thoraks dekstra,


mulai dari ICS IV hingga basal, thoraks sinistra vesikuler
 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

- Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari ICS VII linea axillaris anterior
sinistra, kuat angkat (+), thrill (-).

- Perkusi :
Batas atas : ICS II linea parasternalis dextra
Batas kiri : ICSVII linea axillaris anterior sinistra
Batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas pinggang jantung : ICS III linea parasternalis Sinistra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (+), murmur (-)
 Abdomen
- Inspeksi : datar, simetris, sikatrik (-), striae (-)

- Palpasi : kontur lunak, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hati limpa
ginjal : tidak teraba.

- Perkusi : Timpani

- Auskultasi : bising usus (+), normal

 Ekstremitas
- Superior : deformitas (-), sianosis (-), edem (-), palmar eritem (-),
ujung jari pucat (-), CRT < 2 detik, kekuatan (5/5), reflex fisiologis
normal, reflex patologis tidak ada.
- Inferior : deformitas (-), sianosis (-), pucat (-), nyeri di pangkal
paha sinistra, pitting edema pada pedis (+/+), kekuatan (5/2), reflex
fisiologis normal, reflex patologis tidak ada.

2.1 Pemeriksaan Penunjang


Hasil pemeriksaan penunjang di IGD Rumah Sakit Raden Mattaher (16 Agustus
2017).

1. Foto Toraks
Rontgen foto thoraks AP dengan hasil: thoraks kesan kardiomegali, efusi pleura
dekstra, lesi atau cavitas paru (+).

2. Darah rutin
WBC : 6,41 109/L (4-10)
RBC : 4,42 1012/L (3,5 - 5,55)
HGB : 12,8 g/dL % (11-16)
HCT : 41,9 % (35-50)
MCV : 94,9 fL (80-100)
MCH : 29 pg (27-34)
MCHC : 30,5 g/dL (32-36)
PLT: 218 109/L (100-300)
GDS : 98 mg/dL
3. Elektrolit
Na : 149,95 mmol/L (135-148)
K : 3,93 mmol/L (3,5-5,3)
Cl : 93,64 mmol/L (98-110)
Ca : 1,29 mmol/L (1,19-1,23)

4. Faal renal
Ureum : 30 mg/dl (15-39)
Kreatinin : 0,6 mg/dl (P 0,6-1,1)

2.1 Diagnosis Kerja


- Efusi pleura dekstra dengan TB paru kasus relaps

- Penyakit jantung hipertensi

- Low back pain

- Sindrom geriatri

2.2 Diagnosis Banding


Efusi pleura dekstra et causa dd:
- Pleuritis tuberkulosa
- Kor pulmonal
2.3 Tatalaksana
Non-farmakologi

 Bed rest dengan kasur antidecubitus


 Thoracocentesis (terapeutic dan diagnsotic)
 O2 3-4 liter/menit nasal kanul
 Diet nasi lunak dengan porsi sedikit tapi sering
 Edukasi untuk memakai masker wajah agar tidak menularkan ke orang
lain.
Farmakologi

 IVFD RL 20 tpm
 Inj. Ranitidin 2x 25 mg/ml
 Sucralfat syr 3 x 1 C
 Amlodipin 1 x 10 mg
 Natrim diclofenac 2 x 50 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg p.o
2.8 Anjuran Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan BTA

- Foto rontgen hip joint sinistra

- Faal hati

2.9 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.10 Follow Up
Tanggal Perkembangan Terapi/Planing
Rabu, S: sesak napas (+), nyeri pinggang (+), demam  IVFD RL 20 tpm
16 Agustus (+), lemas (+), batuk (+), tidak nafsu makan  Inj. Ranitidin
2017 O: 2x25mg/ml
- Keadaan umum = sakit sedang  Sucralfat syr 3 x 1 C
- Kesadaran = komposmentis  Amlodipin 1 x 10 mg
- Vital sign:  Na diclofenac 2x50 mg
TD = 160/100 mmHG
 Paracetamol 3x 500 mg
N = 100 x/mnt
RR = 30 x/mnt
Anjuran:
T = 37,4°C
- Cek sputum BTA
- Elektrolit:
K : 3,93 mmol/L - Foto rontgen hip joint
Na: 149,95 mmol/L sinistra
Cl : 93,64 mmol/L - Faal hati
Ca: 1,29 mmol/L
- Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher:
Konjungtiva anemis (-), JVP 5+4 cmH2O
Paru:
• Inspeksi: Simetris,
• Palpasi: fremitus taktil dekstra meningkat
dibagian basal
• Perkusi: redup dibagian thoraks dekstra
mulai dari ICS IV hingaga basal
• Auskultasi: vesikuler melemah dibagian
thoraks dekstra, mulai dari ICS IV hingga
basal
Abdomen:
Nyeri tekan (-), hepar lien ginjal tidak teraba

A: efusi pleura dextra dengan TB Paru


kasus relaps, HHD, Sindrom geriatri, LBP
Kamis, S: sesak napas (+), nyeri pinggang berkurang,  IVFD RL 20 tpm
17 Agustus demam (+), lemas (+), batuk (+), tidak nafsu  Inj. Ranitidin
2017 makan 2x25mg/ml
O : Keadaan umum = sakit sedang  Sucralfat syr 3 x 1 C
- Kesadaran = komposmentis  Amlodipin 1 x 10 mg
- Vital sign:  Na diclofenac 2x50 mg
TD = 150/80 mmHG
 Paracetamol 3x 500 mg
N = 88 x/mnt
Anjuran:
RR = 26 x/mnt
Cek SGOT/SGPT
T = 36,5°C
- Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher:
Konjungtiva anemis (-), JVP 5+4 cmH2O
Paru:
• Inspeksi: Simetris,
• Palpasi: fremitus taktil dekstra meningkat
dibagian basal
• Perkusi: redup dibagian thoraks dekstra
mulai dari ICS IV hingaga basal
• Auskultasi: vesikuler melemah dibagian
thoraks dekstra, mulai dari ICS IV hingga
basal
Abdomen:
Nyeri tekan (-), hepar lien ginjal tidak teraba
A: efusi pleura dextra dengan TB Paru
kasus relaps, HHD, Sindrom geriatri, LBP

Jumat, S: sesak napas berkurang, nyeri pinggang


18 agustus berkurang, demam (-), lemas (+), batuk (+), Terapi diteruskan
2017 tidak nafsu makan Paracetamol p.o 500 mg
O : Keadaan umum = sakit sedang jika demam
- Kesadaran = komposmentis
- Vital sign:
TD = 150/70 mmHG
N = 93 x/mnt
RR = 22 x/mnt
T = 36,3°C
- Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher:
Konjungtiva anemis (-), JVP 5+4 cmH2O
Paru:
• Inspeksi: Simetris,
• Palpasi: fremitus taktil dekstra meningkat
dibagian basal
• Perkusi: redup dibagian thoraks dekstra
mulai dari ICS IV hingaga basal
• Auskultasi: vesikuler melemah dibagian
thoraks dekstra, mulai dari ICS IV hingga
basal
A: efusi pleura dextra dengan TB Paru
kasus relaps, HHD, Sindrom geriatri, LBP

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tuberkulosis Paru


3.1.1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik menular yang disebabkan
oleh infeksi Mycbacterium tuberculosis pada parenkim paru, tidak termasuk
pleura dan kelenjar pada hilus. Pada tuberkulosis paru, transmisi penyakit
biasanya melalui saluran napas yaitu melalui droplet yang dihasilkan oleh pasien
yang terinfeksi TB paru. Sebagian besar infeksi Mycbacterium tuberculosis
menyerang paru, dan dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti pleura,
kelenjar limfe, tulang, dan organ lainnya. Keadaan ini disebut tuberkulosis ekstra
paru.1
3.1.2 Epidemiologi
Hingga saat ini, tuberkulosis (TB) masih tetap menjadi salah satu masalah
kesehatan dunia yang utama. Berdasarkan data World Health Organization
(WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi
Mycbacterium tuberculosis. Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia
terinfeksi Mycbacterium tuberculosis dimana jumlah kasus TB paru terbanyak
berada pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%) dan wilayah
Mediterania Timur (17%). 4
3.1.3 Etiologi
Mikroorganisme penyebab penyakit tuberkulosis berasal dari kelompok
Mycobacterium. Spesies Mycobacterium yang paling banak menyebabkan
manifestasi klinis TB paru adalah M. tuberculosis. Terdapat beberapa spesies
Mycobacterium yang dapat ditemukan di lingkungan, diantaranya M. africanum,
M. bovis, M. leprae, dan sebagainya. Kelompok Mycobacterium juga dikenal dengan
sebutan kuman basil tahan asam (BTA), karena sifatnya tahan asam saat
pemeriksaan bakteriologi dengan menggunakan metode Ziehl Neelsen.6

3.1.4 Klasifikasi
Berdasarkan keputusan Kemenkes tahun 2009 tentang pedoman
penanggulangan tuberkulosis, maka penentuan klasifikasi penyakit didasarkan
atas empat hal yaitu:6
a. Berdasarkan organ tubuh yang terinfeksi
2. Tuberkulosis paru, yaitu infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis pada
parenkim paru
3. Tuberkulosis ekstra paru, yaitu infeksi TB yang mengenai organ lain
selain paru seperti:
 Pleura  dengan manifestasi adanya efusi pleura, yaitu akumulasi
caian yang berlebihan pada cavum pleura.
Penyebab: komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleura yang
robek atau melalui aliran getah bening, maupun karena robeknya
perkijuan ke aliran saluran getah bening yang menuju rongga pelura.
Hal ini selanjutnya akan menimbulkan peradangan yang menyebabkan
permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura yang pada akhirya akan menimbulkan
efusi eksudat.2,5
Gejala: Efusi biasanya unilateral, batuk (70%) biasanya nonproduktif,
nyeri dada pleuritik yang dirasakan mendahului batuk (70%), dan hanya
15% pasien yang tidak disertai demam. Pada perkusi ditemukan redup
dan pada auskultasi dapat ditemukan suara napas yang melemah sampai
tidak terdengar pada sisi yang terdat cairan. 2
 Kelenjar getah bening
 Abdomen
 Traktus genitourinarius
 Kulit
 Sendi dan tulang
 Meningen.

b. Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum mikroskopis7


1. Tuberkulosis paru bakteri tahan asam (BTA) positif, apabila satu dari
pemeriksaan sputum SPS menunjukan BTA positif, foto thoraks ada
gambaran TB, biakan kuman TB positif atau tidak ada perbaikan
dengan antibiotik lain.
2. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila kasus tidak memenuhi kriteria
TB paru BTA positif dan meliputi 3 spesimen sputum SPS BTA
negatif.
c. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit7
1. TB paru BTA negatif foto thoraks positif, dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
jika gambaran foto thoraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas dan atau keadaan umum pasien yang buruk.
2. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
2.1 TB ektra paru ringan, meliputi TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang ( kecuali tulang belakang), sendi, dan
kelenjar adrenal.
2.2 TB ekstra paru berat, meliputi meningitis, perikarditis, peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB
saluran kemih dan alat kelamin.
d. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya7
1. Kasus baru
TB kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan AT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2. Kasus kambuh (relaps)
TB kasus kambuh (relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (dari
apusan atau kultur).

3. Pengobatan setelah putus berobat (default)


TB kasus putus obat adalah pasien yang telah berobat dan tidak
melanjutkan pengobatan selama 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4. Kasus gagal (failure)
TB kasus gagal pengobatan adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positiff pada bulan kelima
atau lebih selama pengobatan.
5. Kasus pindahan (transfer in)
TB kasus pindahan adalah pasien yang dipindahkan dari sarana
pelayanan kesehatan yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatannya.
6. Lain-lain: apabila semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas,
termasuk dalam kelompok ini adalah TB kasus kronik, dimana pasien
dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulangan.
3.1.5 Perjalanan penyakit tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB ini menyerang paru,
tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.6
a. Cara penularan6,7
1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 droplet nuclei.
3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, semetara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman
TB. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan sputun, semakin tinggi pula potensi penularan oleh pasien
tersebut.
5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
b. Risiko penularan6,7
1. Risiko tertular tergantung dari tiingkar pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
2. Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI), yaitu proporsi penduduk yang berisiko
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 orang
diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia
bervariasi antara 1-3%.
3. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkuliin negatif
menjadi positif.

3.1.6 Patogenesis6

Gambar 3.1. Bagan Patogenesis Tuberkulosis6


3.1.7 Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang sering muncul pada pasien TB dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.6
a. Gejala respiratorik, meliputi:
1. Batuk selama 2 minggu atau lebih
2. Adanya batuk darah
3. Adanya sesak napas
4. Adanya nyeri dada
b. Gejala sistemik, meliputi:
1. Demam
2. Malaise
3. Keringat malam
4. Anoreksia
5. Berat badan menurun
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru yang dialami pasien tergantung dari organ yang
terlibat.
3.1.8 Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
Dari anamnesis, pasien dapat mengeluhkan gejala-gejala:6,7
1. Demam, biasanya berupa demam subfebril yang menyerupai demam
influenza.
2. Batuk, dapat dijumpai batuk kering kemudian berkembang menjadi batuk
yang produktif, dan dalam keadaan lanjut pasien dapat mengeluhkan
adanya batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
3. Sesak napas dirasakan jika infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru-paru.
4. Nyeri dada agak jarang ditemukan.
5. Malaise, anoreksia, berat badan semakin berkurang, sakit kepala, meriang,
nyeri otot, keringat malam dan sebagainya, dimana gejala ini akan
semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
b. Pemeriksaan fisik6,7
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung pada organ
yang terlibat. Padaa tuberkulosis paru kelainan yang didapat:
 Kelainan pada paru umumnya terletak didaerah lobus superior terutama
di daerah apeks dan segmen psoterior, serta daerah apeks lobus inferior.
 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemaah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum..
c. Pemeriksaan mikroskopis6,7
Spesimen sputum yang digunakan adaah spesimen sewaktu-pagi-swaktu
(SPS), yaitu:
1. Sewaktu (S), yaitu dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
2. Pagi (P), yaitu dahak yang dikumpulkan di rumah pada pagi hari ke dua,
segera setelah bangun tidur. Pot sputum yang telah teisi tersebut
selanjutnya dibawa kembli ke UPK.
3. Sewaktu (S), yaitu sputum yang dikumpulkan di UPK pada hari ke dua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopis dari 3 kali pemerikaan adalah
sebagai berikut:
1. Dua kali positif dan satu kali negatif, maka ditetapkan hasilnya positif.
2. Satu kali positif dan 2 kali negatif, maka diulang pemeriksaan BTA
sebanyak 3 kali, bila satu kali positif dan 2 kali negatif maka hasilnya
positif.
3. Bila tiga kali negatif, maka hasilnya negatif.

d. Pemeriksaan radiologis6,7
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto thoraks.
Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto thoraks pelru dilakukan sesuai
dengan indikasi sebagai berikut:
1. Hanya 1 dari 3 spesimen sputum SPS hasilnya BTA positif.
2. Ketiga spesimen sputum hasilnya tetap negatif steelah 3 spesimen sputum
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang
memerlukan penanganan khusus seperti penumotoras, pleuritis eksudativa,
efusi perikarditis, atau efusi pleura, dan pasien yang mengalami
hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah sebagai
berikut:6
1. Banyangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
2. Kavitas, terutama jika lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
3. Bayangan bercak milier
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
3.1.9 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengbatan TB adalah sebagai berikut:6,7
1. Mengobati penyakit TB itu sendiri
2. Mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat
5. Mengurangi penularan TB terhadap orang lain
Prinsip pengobatan TB terdiri dari 2 tahap yaitu:6
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal pasien mendapatkan obat setiap hari .Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya sebagian besar
pasien BTA positif akan menjadi negatif dalam 2 bulan.
b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapatkan jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
Berikut adalah panduan OAT pada dewasa menurut program nasional
penanggulangan TB di Indonesia:7

a. Kategori 1: 2(RHZE)/4(RH)3
Tabel 3.1 Panduan OAT KDT kategori 1

Tabel 3.2 Panduan OAT Kombipak kategori 1


Diberikan pada pasien dengan tuberkulosis paru dengan sputum BTA positif dan
kasus baru, tuberkulosis paru lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis
tuberkulosa, perikarditis, peritonitis, pleurits masif atau bilateral, sputum BTA
negatif tetapi kelainan di paru luas, tuberkulosis usus dan saluran kemih.7

b. Kategori 2: 2 (RHZE)S/RHZE/5(RH)3E3
Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif.7
Tabel 3.3 Panduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 3.4 Panduan OAT Kombipak kategori 2

3.2 Kor Pulmonal


3.2.1 Definisi
Kor pulmonal adalah suatu keadaan dimana terdapat hipertrofi dan atau
dilatasi dari ventrikel kanan sebagai akibat dari hipertensi (arteri) pulmonal yang
disebabkan penyakit aprenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri.8
3.2.2 Etiologi
Etiologi kor pulmonal dapat digolongkan dalam 4 kelompok yaitu sebagai
berikut:8
1. Penyakit pembuluh darah paru, seperti adanya emboli paru berulang atau
emboli paru masif, hipertensi pulmonal primer.
2. Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuromuskular dan dinding dada seperti miastenia gravis.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru
3.2.3 Patofisiologi
Pada penyakit paru yang kronis dapat terjadi berkurangnya vascular bed yang
dapat diesebabkan karena semakin terdesaknya pembuluh darah oleh paru yang
mengembang atau yang mengalami kerusakan, terjadinya hipoksia alavolar yang
akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru. Terjadinya asidosis, hiperkapnia,
dan hipoksemia akan bekerja secara sinergis menimbulkan vasokonstriksi.
Viskositas darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah
jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dna hiperkapnia, juga ikut
meningkatkan tekanan arteri paru. Kelainan-kelainan ini akan menimbulkan suatu
keadaan hipertenis pulmonal yang akan menyebabkan tekanan pada ventrikel
kanan jantung sehingga vetrikel kanan akan melakukan mekanisme kompensasi
berupa hipertrofi dan dilatasi, keadaan ini disebut kor pulmonal. Jika kompensasi
ini gagal maka akan terjadi gagal jantung kanan.8,9

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru dan Asidosis dan Hipoksia Polisitemia dan


semakin terdesaknya hiperkapnia alveolar hiperviskositas
pembuluh darah darah
Bekurangnya vascular Vasokonstriksi
bed paru

Hipertensi pulmonal

Hipertrofi dan dilatasi ventrikel


kanan

Kor pulmonal

Gambar 3.2 Patogenesis kor pulmonal8,9


3.2.4 Manifestasi Klinis
Secara klinis, kor pulmonal mempunyai gejala-gejala yang tidak spesifik.
Gejala yang timbul merupakan gejala dari hiepertensi pulmonal yang terjadi
seperti dispnea saat beraktifitas, rasa lelah, letargi, nyeri dada dan dapat berupa
syncope saat eksersais. Keadaan ini dapat terjadi dikarenakan ketidakmampuan
untuk menaikkan cardiac output dalam kondisi-kondisi yang membutuhkan suplai
darah yang lebih tinggi. gejala yang lebih jarang ditemukan adalah seperti batuk,
hemoptisis, dan suara serak. Pada elektrokardiografi dapat ditemukan adanya
deviasi aksis ke kanan dan hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada foto thoraks
dapat ditemukan adanya pelebaran daerah cabang paru di hilus, kelainan pada
parenkim paru, pleura maupun dinding thoraks, tergantung pada penyakit yang
mendasari.8,10
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya kelainan yang berkaitan
dengan hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan yang terjadi. Selain itu
dapat juga ditemukan tanda yang sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.
Pada gagal jantung kanan biasnaya timbul gejala peningkatan vena jugularis,
hepatomegali, asites maupun edema tungkai.8
3.2.4 Diagnosis dan Penatalaksanaan
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya
hipertensi pulmonal (mean pulmonary pressure saat istirahat >25 mmHg) akibat
dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Pada anamnesis keluhan yang sering
timbul sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti batuk kronis yang
produktif, sesak napas waktu beraktifitas, mudah lelah, dan gejala yang paling
umum terjadi adalah dispnea. Nyeri dada atau angina terkadang dapat juga terjadi,
hal iini dikarenakan adnaya iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya arteri
pulmonalis. Hemoptisis dapat terjadi karena rupturnya arteri ulmonalis yang
sudah mengalami arterosklerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya murmur pada daerah pulmonal dan bila
sudah terjadi fase dekompensasi maka gallop mulai terdengar. Dilatasi vena
jugularis, hepatomegali, splenomegali, astes dan efusi pleura merupakan tanda-
tanda terjadinya overload pada ventrikel kanan. Sementara itu, pada pemeriksaan
radiologi ditemukan sesuai dengan penyakit yang mendsari, dan gambaran
hipertensi pulmonal yang terjdi adaah dengan adanya dlatasi arteri pulmonalis
utama dan cabang-cabangnya. Hipertrofi ventrikel kanan akan terlihat pada
rontgen thoraks PA sebagai pembesaran batas kanan jantung.8,9
Penatalaksanaan kor pulmonal bertujuan untuk menurunkan hipertensi
pulmonal, mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas, meningkatkan kelangsungan
hidup dan pengobatan terhadap penyakit yang mendasari.8
1. Terapi oksigen untuk mengurangi vasokonstriksi dan menurunkan
resistensi vaskular paru yang kemudian meningkatkan isi sekuncup
ventrikel kanan serta meningkatkan kadar oksigen ke jantung, otak dan
organ vital lainnya.
2. Diuretik diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan,
tetapi pemberian yang berlebihan akan semakin memicu kekurangan
cairan yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung
menurun.
3. Vasodilator seperti nitrat, hidralaziin, antagonis kalsium, agonis alfa
adrenergik, ACE inhibitor dan prodtgalandin belum direkomendasikan
untuk dipakai rutin. Vasodilator digunakan jika didapatkan respon
hemodinamik seperti resistensi vaskular paru diturunkan minimal 20%,
curah jantung meningkat atau tidak berubah, tekanan arteri pulmonal
menurun atau tidak berubah, dan tekanan darah sistemik tidak berubah
secara signifikan.
4. Digitalis digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai dengan gagal
jantung kiri.
5. Antikoagulan diberikan pada pasien korpulmonal didasarkan atas
kemungkinan terjadinya tromboemboli akibat pemesaran dan disfungsi
ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.

3.3 Penyakit Jantung Hipertensi


3.3.1 Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berdampak sekunder
pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Penyakit
jantung hipertensi merupakan istilah yang diterapkan untuk menyebutkan
penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy
(LVH), aritmia jantung, peyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis,
yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah.8
3.3.2 Patogenesis
Berikut adalah patogenesis pada penyakit jantung hipertensi:8,11
Hipertensi berkepanjangan  kompensasi jantung  hipertrofi ventrikel kiri 
tahap lanjut  gagal mengkompensasi  dilatasi ventrikel kiri untuk pertahankan
cardiac output  fungsi ventrikel kiri menurun  aktifasi neurohormonal dan
RAA system  retensi air dan garam  vasokonstriksi perifer  memperburuk
keadaan  kegagalan memompa darah secara adekuat
3.3.3 Keluhan dan Gejala
Pada tahap awa kebanyakan pasien tidak mengeluhkan gejala. Bila simtomatik,
maka dapat berupa:8,11
1. Rasa berdebar-debar, melayang dan impoten berhubung dengan peninggian
tekanan darah itu sendiri.
2. Cepat merasa capek, sesak napas, sakit dada, edem dikedua tungkai atau
asites.
3. Gejala dari penyakit dasar pada hipertensi sekunder seperti polidipsi, poliuri,
sakit kepala, palpitasi, dan sebagainya sesuai penyakit yang mendasari.
3.3.4 Diagnosis
1. Anamnesis8,11
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang
dapat dikaitkan dengan hipertensi. Perlu dicari adanya riwayat-riwayat yang
relevan dengan hipertensi seperti adanya penyakit yang mendsaari seperti
penyakit ginjal, diabetes, adanya faktor risiko kardiovaskular seperti dislipidemia
atau gaya hidup, adanya pengobatan yang telah dijalankan pasien, ataupun adanya
bukti-bukti kerusakan organ target seperti riwayat stroke dan infark miokard.
2. Pemeriksaan fisik11,12
a. Penilaian keadaan umum dan pengukuran tekanan darah.
b. Pemeriksaan jantung  pembesaran jantung ditujukan untuk menilai
hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung.
c. Bunyi jantung S2 dapat meningkat  akibat kerasnya penutupn katup
aorta.
d. Bunyi S3 (gallop ventrikel)  tekanan akhir diastolik ventrikel kiri
meniingkat akibat dilatasi ventrikel kiri
e. Bunyi S4 (gallop atrial)  peninggian tekanan atrium kiri

3. Pemeriksaan penunjang11
Pemeriksaan penunjang laboratorium awal meliputi urinalisis, darah rutin,
faal ginjal, gula darah puasa, pemeriksaan elektrolit, profil lipid, dan EKG.
Indikasi ekokardiografi pada pasien hipertensi yaitu:
a. Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
b. Hipertensi dengan kelainan katup
c. Hipertensi pada anak atau remaja
d. Hipertensi saat aktifitas, tetapi normal saat istirahat
e. Hipertensi yang disertai sesak napas yang belum jelas penyebabnya
3.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu pada tuntunan umum yaitu JNC
VIII. Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip
pengobatannya sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik,
ACE atau ARB bloker, penghambat beta dan penghambat aldosteron. Berikut
adalah algoritme penatalaksanaan hipertensi JNC VIII.12
Berikut adalah obat antihipertensi yang direkomendasikan dalam JNC 8:12
3.4 Low Back Pain
Nyeri punggung bawah (low back pain) adalah nyeri yang dirasakan didaerah
punggung bawah yang disebabkan oleh berbagai kemungkinan seperti gangguan
pada saraf, otot, ataupun tulang. Nyeri pada LBP dirasakan setinggi antara costae
ke 12 dan lipatan gluteal, dengan atau tanpa nyeri tungkai.13
Nyeri pada LBP sangat beragam tergantung pada penyebab yang mendasari,
dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang terjadi pada tulang belakang, otot,
discus intervertebralis, sendi maupun struktur lain yang menyokong tulang
belakang. Diantara penyebabnya antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:14
1. Viscerogenik LBP, yaitu berkaitan dengan adanya gangguan penyakit
dalam seperti ginjal atau tumor di daerah retroperitoneal.
2. Neurogenik LBP, yaitu bekaitan dengan adanya gangguan saraf seperti
pada hernia nucleus pulposus
3. Vascular LBP, yaitu berkaitan dengan adnaya gangguan pembuluh darah
seperti aneurisma
4. Psychogenic LBP, yaitu nyeri yang berkaitan dengan faktor pikiran dan
emosi
5. Spondylogenic LBP yaitu nyeri berkaitan dengan struktur tulang belakang
dan struktur penyokongnya seperti pada osteoporosis atau kelainan postur
tubuh.
Penatalaksaan pada LBP didasarkan pada penyakit yang mendasari timbulnya
nyeri tersebut. Sementara pencarian terhadap penyakit yang mendasari, tujuan
utama pengelolaan pada LBP adalah kontrol terhadap nyeri, mempertahankan
fungsi, dan mencega eksaserbasi. Pengelolaan nyeri pada LBP dapat
menggunakan NSAID seperti derivat asam propionic (ibuprofen, ketoprofen,
naproxen), derivat asam enolic (piroxicam, meloxicam) atau dari golongan
lainnya. Tindakan operasi diperlukan sesuai dengan kondisi yang mendasari
seperti hernia nucleus pulposus dan penyempitan canalis spinalis.13

3.4 Sindrom Geriatri


Sindrom geriatri adalah suatu kumpulan gejala yang sering dikeluhkan oleh
para usia lanjut dan atau keluarganya. Pada seseorang yang sudah lannjut usia
dapat mengalami banyak masalah kesehatan yang termasuk dalam sindrom
geriatri diantaranya meliputi gangguan kognitid, depresi, inkontinensia,
ketergantungan fungsional, dan jatuh. Kumpulan gejala atau tanda klinis tersebut
sering di jumpai dan dikenal sebagai “14 I”, yaitu sebagai berikut:15,16

1. Immobility
Imobilitas didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak atau tirah baring
selama 3 hari atau lebih, dnegan gerak anatomi tubuh menghilang akibat
perubahan fungsi fisiologis. Pada usia lanjut, penyebab utama imobilisasi adalah
rasa nyeri, lemah, kekauan otot, ketidak seimbangan, dan masalah psikologis.
2. Instability
Pada usia lanjut, berbagai faktor dapat berperan untuk terjadinya instabilitas
dan jatuh, baik itu faktor instrinsik (faktor pada pasien itu sendiri seperti riwayat
penyakit yang diderita) maupun faktor ekstrinsik (faktor yang ada pada
lingkungan sekitar seperti pencahayaan atau lantai yang licin).
3. Incontinance (urinary dan alvi)
Inkontinensia urin yaitu keluarnya urin yang tidak dikehendaki dalam jumla
dan frekuensi tertentu dan merupakan salah satu sindroom geriatri yang banyak
dijumpai. Sementara itu, inkontinensia alvi merupakan spontanitas atau
ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus.
4. Intelectual impairement
Pada usia lanjut, sering terjadi gangguan intelektual seperti delirium, dimana
terjadi penurunan taraf kesadaran, gangguan kognitif, gangguan persepsi,
termasuk halusinasi dan ilusi, dan juga pada lansia dapat terjadi demensia adalah
gangguan fungsi inetelektual dan memori didapat, yang tidak berhubungan
dengan gangguan tingkat kesadaran.
5. Infection
Pada usia lanjut, keadaan infeksi sering menjadi penyebab kesakitan dan
kematian. Sulitya untuk mendeteksi secara dini infeksi yang terjadi pada usia
lanjut, dikarenakan gejala sering tidak khas, seperti tidak dijumpai adanya
peningkatan suhu tubuh, ditambah dengan kondisi yang delirium, adanya
penurunan nafsu makan yang tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya
perubahan tingkah laku sering terjadi pada keadaan infeksi usia lanjut.
6. Impairment of hearing, vision and smell
Gangguan pendengaran sangat umum terjadi pada usia lanjut sehingga
terkadang sulit unruk berkomunikasi. Selain itu penurunan fungsi penglihatan dan
penciuman sering terjadi pada usia lanjut.
7. Impaction
Masalah konstipasi pada usia lanjut meliputi dua mekanisme penting yaitu
dismotilitas dan disfungsi dasar pelvis. Usia tua yang menderita penyakit kronis
dan mengalami konstipasi memiliki pemanjangan waktu transit saluran cerna total
4-9 hari (normal <3 hari), dimana evakuasi tertunda saat melewati bagian
terbawah usus besar dan rektum. Pada usia lanjut juga mengalami penurunan
tekanan sfingter anal internal dan kekuatan oto pelvis, begitu juga perubahan
sensitivitas rektum dan fungsi anal. Pada wanita, lebih cendrung mengalami
penurunan tekanan pemerasan feses terutama setelah menopause dan akibat
cedera persalinan per vaginam. Perubahan-perubahan ini meningkatkan risiko
ataupun potensi terjadinya konstipasi.
8. Isolation
Isolasi (depresi) pada usia lanjut sering terjadi dengan penyebab utama adalah
kehilangan seseorang yang disayangi, pasangan hidup, anak, bahkan binatang
peliharaan. Kecendrungan untuk menarik diri dari lingkungan memperberat
keadaan depresi, demikian juga kurangnya dukungan keluarga dan beberapa orang
dapat mencapai tahap akhir masa depresi yaitu dengan usaha bunuh diri.
9. Inanition
Pada usia lanjut sering terjadi malnutrisi yang mengakibatkan kehilangan
berat badan yang tidak diinginkan. Kekurangan nutrisi ini dapat terjadi karena
anoreksia yang merupakan penurunan fisiologis nafsu makan, atau karena
gangguan menelan ataupun kemiskinan.
10. Impecunity
Kemiskinan (impecunity) sering terjadi pada lanjut usia karena proses menua
menyebabkan seseorang menjadi kurang produktif akibat penurunan kemampuan
fisik untuk beraktivitas.
11. Iatrogenesis
Iatrogenesis merupakan suatu keadaan dimana pasien geriatri berada dalam
kondisi multipatologik sehingga menyebabkan pasien tersebut perlu
mengkonsumsi obat dalam jumlah banya (polifarmasi). Hal ini tentu akan
semakin menambah penurunan faal hati maupun ginjal serta sering timbul efek
samping obat.
12. Insomnia
Insomnia yang terjadi pada lanjut usia sering karena masalah-masalah dalam
hidup yang menjadi penyebab depresi, atau dapat juga terjadi karena beberapa
penyakit seperti diabetes melitus atau hiperaktivitas kelenjar tiroid.
13. Immuno-defficiency
Banyak hal yang mempengaruhhi sistem kekebalan pada usia lanjut seperti
kulit danmukosa yang menipis, refleks batuk dan bersin yang melemah, respon
imun terhadap antigen yang menurun dengan jumlah antibodi yang menurun,
sehingga usia lanjut menjadi rentan terhada agen-agen infeksi.
14. Impotence
Impotensi merupakan hal yang sering terjadi pad ausia lanjut dimana adanya
ketidakmampuan melakukan aktivitas seksual, antara lain dapat disebabkan oleh
gangguan organik seperti gangguan hormon, sistem saraf, dan pembuluh darah.
BAB IV
ANALISIS KASUS

Telah diajukan sebuah kasus seorang wanita berumur 87 tahun, dengan


diagnosis efusi pleura dekstra dengan TB paru kasus relaps. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis adanya demam hilang timbul, batuk berdahak yang lebih
dari 2 minggu, sesak napas, berat badan turun, riwayat minum obat anti-
tuberkulosis. Dimana berdasarkan buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
TB di indonesia gejala klinis penyakit TB terdiri dari:
a. Gejala respiratorik antara lain: batuk ≥ 2 minggu, batuk produktif, sesak
napas dan nyeri dada.
b. Gejala sistemik antara lain: demam, malaise, keringat malam, anoreksia,
dan penurunan berat badan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan perkusi redup pada thoraks dekstra dimulai
dari ICS IV hingga ke basal paru. Kemudian didapatkan suara napas vesikuler
menurun pada thoraks dekstra mulai dari ICS IV hingga ke basal paru. Dari hasil
rontgen thoraks AP terlihat adanya efusi pleura dekstra dan infiltrat pada apeks
pulmo dekstra dan sinistra. Efusi pleura dekstra didioagnosis banding dengan
penyebab pleuritis tuberkulosa dan kor pulmonal.
Dari anamnesis didapatkan adanya gejala paroxysmal nocturnal dyspnea,
distensi vena leher, sesak napas pada aktifitas biasa dan riwayat adanya hipertensi.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya JVP meningkat yaitu 5+4 cmH 2O,
adanya pelebaran batas-batas jantung dan adanya edema pada pedis dekstra dan
sinistra dimulai dari pergelangan kaki. Dari rontgen thoraks AP terlihat adanya
efusi pleura dekstra dan kardiomegali. Berdasarkan kriteria Framingham untuk
diagnosis gagal jantung terdiri dari adanya bersamaan dari salah satu 2 kriteria
mayor atau 1 mayor dan 2 kriteria minor. Termasuk kriteria mayor adalah
paroxysmal nocturnal dyspnea, distensi vena leher dan adanya kardiomegali pada
rontgen. Termasuk kriteria minor adalah sesak napas pada aktifitas biasa, efusi
pleura dan edem pergelangan kaki bilateral. Oleh karenanya pasien juga
didiagnosis penyakit jantung hipertensi (HHD).
Pasien didiagnosis low back pain berdasarkan anamnesis adanya nyeri pada
sekitar pinggang sebelah kiri dan nyeri dirasakan lebih berat pada daerah pangkal
paha kiri. Dari pemeriksaan fisik didaptkan kekuatan ekstremitas inferior sinistra
bernilai 2 yaitu hanya mampu menggerakan persendian tetapi kekuatannya tidak
dapat melawan pengaruh gravitasi. Dari pemeriksaan penunjang diajukan untuk
foto rontgen hip joint sinistra.
Pada pasien juga ditemukan adanya sindrom geriatri berupa imobilisasi
dimana pasien tidak dapat berjalan dan berpindah tempat dengan bantuan
keluarga. Pada pasien juga didapatkan adanya intelectual impairment, infection,
impairment of hearing and vision, impaction, inanition, insomnia dan immuno-
defficiency.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,8 g/dL hal ini
menunnjukkan pasien tidak anemia, natrium 149,95 mmol/L memperlihatkan
pasien hipernatremia, kalium 3,93 mmol/L memperlihatkan kadar kalium yang
normal, chlor 93,64 mmol/L memperlihatkan pasien hipokloremia, dan kalsium
1,29 mmol/L memperlihatkan pasien hiperkalsemia. Dari pemeriksaan faal ginjal
didapatkan ureum 30 mg/dl dalam batas normal, dan kreatinin 0,6 mg/dl dalam
batas normal.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien yaitu bed rest menggunakan kasur
antidecubitus dikarenakan pasien dalam keadaan imobilisasi, dilakukan
thoracocenstesis dan pemeriksaan BTA cairan pleura untuk menyingkirkan
diagnosis pleuritis tuberkulosis, diet nasi lunak dengan porsi sedikit dan sering,
terapi cairan IVFD RL 20 tetes/menit, oksigen nassal (3-4L), injeksi ranitidin 2 x
25 mg/ml, sucralfat syr 3 x 1C, amlodipin 1 x 10 mg, Natrium diclofenak 2 x 50
mg dan paracetamol 500 mg bila demam.
Untuk pemberian OAT dimulai ketika hasil cek BTA pada sputum dinyatakan
positif. Pasien ini termasuk TB paru kasus relaps maka OAT yang digunakan
adalah OAT kategori 2. Berikut adalah pengobatan pasien dengan OAT kategori 2
dengan sediaan KDT.
BAB V
KESIMPULAN

Secara primer TB menyerang paru namun dapat terjadi penyebaran melalui


limfohematogen yang menyebabkan terjadinya TB ekstraparu. Efusi pleura yang
terjadi pada pasien ini dapat dihubungkan dengan terjadinya pleuritis tuberkulosa
akibat infeksi paru yang menyebar ke pleura, atau dapat dipikirkan sebagai
manifestasi kor pulmonal, dimana pasien diketahui memiliki riwayat hipertensi.
Pada pasien geriatri, terdapat berbagai permasalahan yang dapat dikeluhkan
pasien dan keluarga, yang berpengaruh terhadap kesehatan pasein yaitu adanya
immobility, instability, incontinance (urinary dan alvi), intelectual impairement,
infection, impairment of hearing, vision and smell, impaction, isolation, inanition,
impecunity, iatrogenesis. insomnia , immuno-defficiency dan impotence. Pasien
juga mengalami low back pain yang semakin memperburuk keadaan.
Tuberkulosis paru yang diderita pasien merupakan tuberkulosis paru kasus
relpas dimana manifestasi klinis bervariasi dan tidak spesifik seperti demam,
anoreksia, penurunan berat badan, berkeringat, kelemahan, dan batuk. Gejala
respirasi dapat berupa batuk kering yang menjadi produktif dan sesak napas.gejala
sistemik dapat berupa demam, malaise dan penurunan berat badan. Regimen yang
diberikan untuk TB paru kaus relaps adalah OAT kategori 2 dan dipilih regimen
KDT agar memudahkan pasien dalam meminum obat karena jumlah tablet yang
ditelan lebih sedikit dibanding kemasan kombipak, juga dapat mencegah
penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan risiko terjadinya resistensi obat
ganda.

Anda mungkin juga menyukai