Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KASUS

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing:
dr. Faisal Syarifuddin, Sp.PD

Disusun oleh:
Argha Yudiansya 2013730126

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
RUMAH SAKIT ISLAM CEMPAKA PUTIH JAKARTA
2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT karena berkat rahmat, nikmat, karunia serta hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “GAGAL GINJAL KRONIK” sebagai salah
satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Faisal Syarifuddin, Sp.PD selaku
pembimbing Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSIJ Cempaka Putih yang telah
memberikan masukan yang berguna dalam proses penyusunan laporan kasus ini. Tidak
lupa penulis menucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut serta membntu dalam
upaya penyelesaian laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran yang bersifat membangun
dan bermanfaat. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan berguna bagi setiap
pembacanya khususnya tentang masalah CKD.

Jakarta, September 2018

Argha Yudiansya
BAB I
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Ny. A
 Umur : 63 Tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Alamat : Utan Kayu Utara, Matraman, Jakarta timur
 Tanggal masuk : 17 September 2018
 Ruangan : Zam-zam
 No. RM : 00 85 34 75

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Lemas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSIJ Cempaka Putih dengan keluhan lemas yang
memberat sejak 3 hari SMRS. Lemas dirasakan di seluruh badan pasien. Pasien
hanya berbaring di tempat tidur seharian.
Kurang lebih 3 bulan yang lalu pasien merasa semakin mudah lelah dan
lemas sehingga pasien sering merasa sesak, sesak lebih dirasakan ketika pasien
tidur denngan posisi terlentang. Pasien sering mengeluh sulit tidur, tidur dengan
bantal yang ditinggikan, pasien mengaku menggunakan 2 hingga 3 bantal saat tidur.
Saat itu juga pasien mulai merasa wajahnya lebih pucat. Makan pun pasien duduk
di tempat tidurnya, karena lemas untuk berjalan. Pasien pun mengeluhkan nafsu
makan menurun. Pasien juga merasa sakit kepala, tidak berputar, tidak dipengaruhi
posisi. Mual dan muntah tidak ada pada pasien. Demam tidak ada. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Keluhan bengkak pada anggota gerak, kelopak mata dan perut
tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi (+) sejak 8 tahun lalu, rutin konsumsi amlodipine dan
captopril
- Riwayat gagal ginjal sejak 3 bulan lalu, rutin hemodialisa sejak 2 bulan lalu
sebanyak 2 kali seminggu (senin dan kamis).
Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat Penyakit jantung (-), DM (-), asma (-), HT (-).
Riwayat Pengobatan
- Pasien rutin mengonsumsi obat anti hipertensi yaitu amlodipine dan
captopril
Riwayat alergi
- Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, makanan, debu, cuaca, dll.
Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi
- Pasien merupakan IRT, sehari-hari hanya di rumah melakukan kegiatan
rumah tangga.
- Pasien sering mengonsumsi makan makanan yang asin seperti ikan asin.
- Pasien jarang berolahraga.
- Riwayat konsumsi alkohol (-).
- Riwayat merokok (-)

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 72 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36,7 °C
BB : 40 kg
TB : 150 cm
IMT : 17,8 (Underweight)
KEPALA & LEHER

Kepala : Normosefali, rambut hitam lurus.


Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Normosepta, deviasi septum (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), serumen (-/-).
Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-)
Leher : Tidak terdapat peningkatan JVP, pembesaran KGB (-).
TORAKS
Paru :
Inspeksi : Normochest, Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri,
tidak terdapat bagian dada yang tertinggal, retraksi (-/-).
Palpasi : Vokal Fremitus teraba simetris kanan dan kiri, nyeri tekan (-/-).
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus kordis tidak teraba.
Perkusi : Batas jantung atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri : ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar, sikatrik (-), distensi (-).
Auskultasi : Bising usus (+) 8 kali/menit
Perkusi : Timpani di seluruh regio abdomen
Palpasi : Perut supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepatomegali (-)
Ekstremitas :
Akral hangat
CRT < 2 detik
Edema (-/-)
Sianosis (-)
Deformitas (-)
Kekuatan motoric
Kanan Kiri
Atas : 5555 5555
Bawah : 5555 5555

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. DARAH
Tes Hasil Nilai Rujukan

17-09-2018

Hb 6,7 mg/dL 11.7 – 15.5

19-09-2018

Masa Perdarahan 1.30 menit 1.00-3.00

Masa Pembekuan 4.00 menit 4.00-6.00

RESUME
Pasien Ny. A, 63 tahun, datang ke RSIJ CempakaPutih dengan keluhan
lemas yang memberat sejak 3 hari SMRS. Lemas dirasakan di seluruh badan pasien,
hanya dapat berbaring di tempat tidur seharian. Lemas sudah dirasakan sejak 3
bulan SMRS. Mudah Lelah (+), Sering merasa sesak jika tidur dengan posisi
terlentang dan lebih nyaman tidur dengan 2 sampai 3 bantal, Sulit tidur (+), pasien
merasa wajah lebih pucat, nafsu makan menurun (+), sakit kepala (+) tidak berputar
maupun dipengaruhi dengan perubahan posisi. Mual-muntah (-), demam (-), BAB
dan BAK tidak ada keluhan, Bengkak anggota gerak, kelopak mata, dan perut (-).
Pasien memiliki riwayat Hipertensi selama 8 tahun dan rutin mengkonsumsi
obat anti hipertensi amlodipine dan captopril. Pasien telah di diagnosis CKD dan
rutin hemodialisa 2x seminggu sejak 2 bulan SMRS.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD 160/100 mmHg, nadi 72x/menit,
napas 22x/menit, Suhu 36,7°C, IMT underweight, Konjungtiva anemis +/+.
Pemeriksaan laboratorium yang bermakna : Hb 6,7 mg/dl

DAFTAR MASALAH
1. Malaise
S : Lemas yang memberat sejak 3 hari SMRS, mudah cepat lelah, lebih
banyak berbaring di tempat tidur
O : TD 160/100 mmHg, Nadi : 72x/menit, Napas 22x/menit, Suhu
36,7°C, IMT Underweight, CA +/+, Hb : 6.7 g/dL
A : Malaise ec anemia penyakit kronis
P :
 Planning Diagnostik : MDT, Glukosa darah, Ureum, Kreatinin
 Planning Farmakologi : tranfusi PRC 250 cc
 Planning Non-Farmakologi : Tirah baring, Posisikan pasien Semi
Fowler

2. Hipertensi
S : Memiliki riwayat darah tingg sejak 8 tahun yang lalu
O : TD 160/100 mmHg, Nadi : 72x/menit, Napas 22x/menit, Suhu
36,7°C, IMT Underweightweight, CA +/+
A : Hipertensi grade II (JNC 7)
P :
 Planning Diagnostik : Cek Tekanan darah berkala, Profil Lipid.
 Planning Farmakologi : Amlodipine 1 x 10 mg, Captopril 3 x 25mg,
Clonidine 3 x 0,15 mg
 Planning Non-Farmakologi : Diet rendah garam, Tidak merokok dan
konsumsi alcohol
3. CKD on HD
S : Memiliki riwayat gagal ginjal dan sudah menjalani cuci darah sejak
2 blan yang lalu 2 kali dalam seminggu
O : TD 160/100 mmHg, Nadi : 72x/menit, Napas 22x/menit, Suhu
36,7°C, IMT Underweight, CA +/+
A : CKD on HD
P :
 Planning Diagnostik : Elektrolit, Ureum, Kreatinin.
 Planning Farmakologi : Hemodialisa
 Planning Non-Farmakologi : Batasi cairan, diet rendah protein, diet
rendah garam

FOLLOW UP
Tanggal S O A P

17/09/2018 Lemas (+), Komposmentis CKD - Amlodipine 1x10 mg


Pusing (+), on HD - Clonidine 3x0,15 mg
T: 160/100 mmHg
Nafsu makan - Captopril 3x25 mg
menurun (+), N: 72x/menit - Ranitidine 2x1 IV
- Ondancetron 2x1 IV
S: 36,7 C

P: 22 x/menit

18/09/2018 Lemas (+), Komposmentis CKD - Amlodipine 1x10 mg


Pusing (+), on HD - Clonidine 3x0,15 mg
T: 150/100 mmHg
- Captopril 3x25 mg
Nafsu makan N: 80x/menit - Ranitidine 2x1 IV
membaik - Ondancetron 2x1 IV
S: 36,6 C

P: 20 x/menit

19/09/2018 Lemas (+) Komposmentis CKD - Amlodipine 1x10 mg


membaik, on HD - Clonidine 3x0,15 mg
T: 130/90 mmHg
Pusing (-) - Captopril 3x25 mg
N: 84x/menit - Ranitidine 2x1 IV
- Ondancetron 2x1 IV
S: 36,7 C
- Tranfusi PRC 250 cc
P: 20x/menit - Renc. Pemasangan AV
Shunt
Hasil lab

BT: 1.30 mnt

CT: 4.00 mnt

20/09/18 Lemas (+) Komposmentis CKD - Amlodipine 1x10 mg


membaik on HD - Clonidine 3x0,15 mg
T: 130/90 mmHg
- Captopril 3x25 mg
N: 90x/menit - Ranitidine 2x1 IV
- Ondancetron 2x1 IV
S: 36,8 C
- Paracetamol 2x1
P: 20x/menit - Rencana pulang
BAB II
ANALISIS KASUS
Keluhan pasien datang ke RS akibat adanya lemas yang memberat sejak 3
hari SMRS. Kemungkinan lemas yang dirasakan terjadi akibat anemia. Anemia
terjadi akibat penyakit kronik yang diderita pasien karena CKD. Anemia yang
terjadi pada CKD akibat gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal
menyebabkan penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses
pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah
eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit
darah. Adanya toksik uremik pada gagal ginjal kronik akan mempengaruhi masa
paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi
70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis
Lalu pada pasien juga dikeluhkan terkadang adanya sesak. Kemungkinan
sesak karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air
volume ekstrasel meningkat (hipervolemia)  volume cairan berlebihan 
ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer  LVH  peningkatan tekanan
atrium kiri  peningkatan tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di
kapiler paru  edema paru  sesak nafas
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 8 tahun yang lalu dan terus terjadi
kemungkinan diperberat oleh adanya gangguan pada ginjalnya ini sendiri.
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah
meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG
kurang 30 % pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:


a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia,
hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria

Perencanaan tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai derajatnya :

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi


komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler
2 60-90 Menghambat perburukan fungsi
ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti


ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Obat anti hipertensi yang biasa digunakan adalah ACE-i dan ARB yang
dapat menghambat angiotensin-induced vasokonstriksi pada arteriol aferen dari
mikrosirkulasi glomerular sehingga dapat menurunkan tekanan filtrasi
intraglomerular dan proteinuria. Beberapa studi menunjukkan bahwa obat-obatan
ini efektif pada pasien gangguan ginjal dengan DM maupun non DM. Efektivitas
obat dalam menghambat progresi perburukan PGK adalah bergantung dari efeknya
terhadap menurunkan proteinuria. Jika pada penggunaan satu jenis obat tidak
ditemukan respons anti proteinuria, maka bisa digunakan kombinasi obat ACE-I
dan ARB.

Pada anemia pasien dibutuhkan koreksi Hb dengan PRC dengan jumlah


koreksi berdasarkan:
(Hb target – Hb saat ini) x BB x 3 = ….. cc PRC untuk mencapai Hb target
3,3 x 40 x 3 = 396 cc PRC untuk mencapai Hb target
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik


2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungi ginjal yang ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis
atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik.

Kriteria Penyakit Ginjal Kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa
kelainan structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi
darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama
3bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik.

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi ginjal kronik didasarkan atas dua hal,yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada wanita dikalikan 0,85


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90


2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal Ginjal <15

Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor ( contoh )

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2


diabetes

Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi


diabetic sistemik,obat, neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar,


hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis


kronik,batu,obstruksi, keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Rejeksi kronik


transplantasi
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy
2.1.3 Epidemiologi
Diperkirakan paling sedikit 6% dari populasi dewasa U.S. mempunyai
kerusakan ginjal kronis dengan LFG >60 (stage 1 dan 2), dan diambang resiko
penurunan progresif yang lebih jauh pada LFG. Tambahan mendekati 4,5% dari
populasi U.S. ada di stage 3 dan 4. Diabetes dan hipertensi adalah etiologi dasar
dari CRD dan ESRD.

2.1.4 Etiologi
Dua penyebab utama dari PGK ini adalah diabetes dan tekanan darah tinggi,
yang terjadi pada dua dari tiga kasus. Diabetes terjadi ketika gula darah terlalu
tinggi, menyebabkan kerusakan banyak organ dalam tubuh, termasuk ginjal dan
jantung, serta pembuluh darah, saraf dan mata. Tekanan darah tinggi atau
hipertensi, terjadi ketika tekanan darah terhadap dinding pebuluh darah meningkat.
Jika tidak terkendali, atau tidak terkontrol, tekanan darah tinggi dapat menjadi
penyebab utama serangan jantung, stroke dan PGK. PGK juga menyebabkan
tekanan darah tinggi.

Beberapa kondisi yang juga dapat menyebabkan PGK dengan prevalensi


yang lebih kecil, antara lain:

a) Glomerulonefritis (radang ginjal)


b) Pielonefritis (infeksi pada ginjal)
c) Penyakit ginjal polikistik
d) Kegagalan pembentukan ginjal normal pada bayi yang belum lahir ketika
berkembang di rahim
e) Lupus eritematosus sistemik (kondisi dari sistem kekebalan tubuh di mana
tubuh menyerang ginjal yang dianggap sebagai benda asing)
f) Jangka panjang penggunaan rutin obat-obatan seperti : obat litium dan
NSAID, termasuk aspirin dan ibuprofen.
g) Penyumbatan, misalnya karena batu ginjal atau penyakit prostat.
Menurut data PERNERI (Perkumpulan Nefrologi Indonesia) tahun 2011,
penyebab PGK pada pasien hemodialysis didapatkan sebagai berikut,
glomerulopati primer 14%, nefropati diabetika 27%, nefropati lupus 1%, penyakit
ginjal hipertensi 34%, ginjal polikistik 1%, nefropati asam urat 2%, nefropati
obstruksi 8%, pielonefritis kronik 6%, lain-lain 6%, tidak diketahui 1%.
2.1.5 Faktor Risiko
PGK memiliki beberapa faktor risiko, dimana faktor risiko tersebut
didefinisikan sebagai suatu pemicu yang dapat memperbesar dan mempercepat
proses dari suatu penyakit. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI)
telah mengkategorikan faktor risiko PGK antara lain sebagai berikut,

Definisi Contoh

Faktor Meningkatkan kerentanan Usia yang lebih tua, riwayat


Kerentanan terhadap penyakit ginjal keluarga

Faktor Inisiasi Secara langsung Diabetes, tekanan darah tinggi,


menginisiasi penyakit ginjal penyakit autoimun, infeksi
sistemik, infeksi saluran kemih,
batu ginjal, obstruki saluran
kemih bagian bawah, toksisitas
obat

Faktor Progresi Menyebabkan Kadar proteinuria tinggi, tekanan


memburuknya penyakit darah yang lebih tinggi, kontrol
ginjal dan penurunan fungsi glikemik yang buruk pada pasien
ginjal secara cepat setelah diabetes, merokok
inisiasi penyakit ginjal

2.1.6 Patofisiologi
Mayoritas penyebab terjadinya penyakit ginjal progresif biasanya terjadi
karena kerusakan parenkim ginjal yang bersifat irreversibel. Elemen kunci jalur
tersebut adalah hilangnya masa nefron, hipertensi kapiler glomerular dan
proteinuria. Beberapa peneliti meyakini bahwa kerusakan ginjal ini berhubungan
dengan peningkatan tekanan atau peregangan sisa glomerulus. Hal ini terjadi akibat
vasodilatasi fungsional atau peningkatan tekanan darah dan regangan kronis pada
arteriol dan glomeruli diduga akhirnya menyebabkan sklerosis pada pembuluh.
Lesi-lesi sklerosis ini akhirnya dapat mengakibatkan penurunan ginjal lebih lanjut
yang berakhir pada ESRD.
2.1.7 Manifestasi Klinik
 Gejala dan tanda PGK stadium awal
1) Lemah
2) Nafsu makan berkurang
3) Nokturia, poliuria
4) Terdapat darah pada urin, atau urin berwarna lebih gelap
5) Urin berbuih
6) Sakit pinggang
7) Edema
8) Peningkatan tekanan darah
9) Kulit pucat
 Gejala dan tanda PGK stadium lanjut
1) Umum (lesu, lelah, peningkatan tekanan darah, tanda-tanda kelebihan
volume, penurunan mental, cegukan)
2) Kulit ( penampilan pucat, uremic frost, pruritic exexcoriations)
3) Pulmonari (dyspnea, efusi pleura, edema pulmonari, uremic lung)
4) Gastrointestinal (anoreksia, mual, muntah, kehilangan berat badan,
stomatitis, rasa tidak menyenangkan di mulut)
5) Neuromuskuler (otot berkedut, sensorik perifer dan motorik neuropati,
kram otot, gangguan tidur, hiperrefleksia, kejang, ensefalopati, koma)
6) Metabolik endokrin (penurunan libido, amenore, impotensi)
7) Hematologi (anemia, pendarahan abnormal)

2.1.8 Diagnosa
Setiap sistem organ utama akan dipengaruhi oleh penyakit gagal ginjal
kronik, hal itu terutama terjadi jika perkembangannya telah mencapai end-stage
renal disease (ESRD). Tanda dan gejala dihubungkan dengan uremia dan
komplikasi sekunder PGK. Secara subyektif dan obyektif, tanda dan gejala yang
nampak bergantung dengan stadium PGK yang diderita.
Pendekatan diagnosis PGK mempunyai sasaran berikut :

a) Memastikan adanya penurunan faal ginjal


b) Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
c) Mengidentifikasi semua faktor yang dapat memperburuk fungsi ginjal
(reversible factors)
d) Menentukan strategi terapi rasional
e) Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan
pemeriksaan terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik
diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus

2.1.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik meliputi :

 Terapi spesifik terhadap penyakit dasar


 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komorbid
 Memperlambat perburukkan fungsi ginjal
 Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
 Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
Perencanaan tatalaksana penyakit gagal ginjal kronik sesuai derajatnya :

Derajat LFG (ml/mnt/1,73m2) Rencana Tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi


komorbid, evaluasi perburukan
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskuler

2 60-90 Menghambat perburukan fungsi


ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi


4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti
ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

2.2 Anemia
2.2.1 Definisi
Anemia menurut KDOQI didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana kadar
hemoglobin kurang dari 13,5 g/dL pada pria dewasa, dan kurang dari 12 g/dL pada
wanita dewasa. Menurut WHO, anemia adalah suatu kondisi dimana jumlah sel
darah merah atau kapasitas membawa oksigen tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis yang bervariasi menurut umur, jenis kelamin, ketinggian,
merokok dan status kehamilan.

2.2.2 Klasifikasi
Secara morfologi anemia dibagi menjadi:

a) Anemia makrositik atau yang sering disebut anemia megaloblastik


(defisiensi vitamin B12, defisiensi asam folat)
b) Anemia mikrositik hipokromik antara lain yaitu anemia defisiensi besi,
kelainan genetik (anemia sickle cell, thalassemia, kelainan hemoglobin)
c) Anemia normositik yaitu pendarahan berat, hemolysis, kegagalan pada
sumsum tulang, anemia pada penyakit kronis.
d) Anemia pada penurunan fungsi gagal ginjal
e) Anemia pada kelainan endokrin
f) Anemia myelodisplastik
2.2.3 Etiologi
Secara umum etiologi anemia dibagi menjadi 3, yang pertama adalah
defisiensi yang meliputi defisiensi Fe, vitamin B12, asam folat dan piridoksin. Yang
kedua adalah gangguan fungsi sumsum tulang yang meliputi anemia pada penyakit
kronis, anemia pada geriatrik, dan kelainan sumsum tulang malignan. Dan yang
ketiga adalah gangguan pada sistim perifer yaitu pendarahan dan hemolysis.

Faktor-faktor yang ikut berperan dalam timbulnya anemia pada PGK,


yaitu :
a) Gangguan eritropoesis yang meliputi defisiensi eritropoietin, Fe, asam folat,
inhibitor uremik, hiperparatiroid, intoksikasi aluminium.
b) Pemendekan umur eritrosit antara lain hemolysis, transfusi berulang.
c) Kehilangan darah yang disebabkan oleh pendarahan karena trombopati
ataupun prosedur hemodialisis.
2.2.4 Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang timbul antara lain lemah, pusing, napas yang pendek,
takikardi, pucat. Indikasi data laboratorium dalam pemeriksaan adalah hemoglobin
(Hb), red blood cell (RBC), hematokrit rendah. Mean corpuscular volume (MCV),
transferrin saturation (TSAT), ferritin rendah untuk anemia defisiensi Fe. MCV
tinggi untuk anemia defisiensi asam folat dan Vitamin B12.

2.2.5 Diagnosa
Diagnosis dan evaluasi anemia pada pasien PGK menurut Kidney Disease:
Improving Global Outcomes :

a) Pada pasien PGK tanpa anemia, dilakukan pemantauan kadar Hemoglobin


(Hb) jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).
b) Pada pasien PGK dengan anemia tanpa terapi ESA, dilakukan pemantauan
kadar Hb jika terindikasi atau secara berkala (tergantung stadium).
c) Diagnosis anemia pada pasien dewasa atau anak usia > 15 tahun jika kadar
Gb < 13 g/dL pada pria atau < 12 g/dL pada wanita.
d) Diagnosis anemia pada pasien anak jika kadar Hb < 11 g/dL (usia 0,5-5
yahun), < 11,5 g/dL (usia 5-12 tahun), dan < 12 g/dL (usia 12-15 tahun).
e) Pada pasien PGK dengan anemia, dilakukan pemeriksan darah perifer
lengkap, hitung retikulosit absolut, kadar ferritin serum, saturasi transferin
serum (TSAT), serta kadar vitamin B12 dan folat serum.
2.2.6 Tatalaksana
Adapun beberapa macam tatalaksana terapi anemia pada pasien PGK yang
direkomendasikan oleh KDIGO adalah sebagai berikut:

a) Pemberian Fe untuk terapi anemia pada pasien PGK:


1) Saat memberikan terapi Fe, dipertimbangkan rasio risiko-manfaat
(meminimalkan transfusi darah, pemberian ESA, gejala dan komplikasi
anemia, serta risiko efek samping terapi Fe).
2) Pada pasien PGK dewasa dengan anemia tanpa terapi ESA atau Fe,
dianjurkan pemberian Fe secara intravena (i.v) sebagai uji coba (trial)
jika diinginkan peningkatan kadar Hb tanpa pemberian ESA atau kadar
TSAT ≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
3) Pada pasien PGK dewasa yang tidak mendapat terapi Fe namun
mendapat terapi ESA, dianjurkan pemberian Fe i.v sebagai uji coba
(trial) jika diinginkan peningkatan kadar Hb atau penurunan dosis ESA
dan TSAT ≤ 30% dan kadar feritin ≤ 500 ng/mL.
4) Pada pasien PGK non-dialisis yang membutuhkan suplementasi Fe,
pemilihan rute pemberian Fe berdasarkan derajat defisiensi Fe,
ketersediaan akses intravena, respons terhadap pemberian Fe oral
sebelumnya, efek samping pemberian Fe oral/i.v sebelumnya, tingkat
kepatuhan pasien, dan biaya terapi.
5) Pemberian Fe berikutnya disesuaikan berdasarkan respons Hb, status
Fe, respons terhadap terapi ESA, dan status klinis pasien.
6) Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang tidak mendapat
terapi Fe atau ESA, direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe i.v
jika menjalani hemodialisis) saat TSAT ≤ 20% dan kadar feritin serum
≤ 100 ng/mL. Untuk semua pasien PGK anak dengan anemia yang
mendapat terapi ESA namun tidak mendapat terapi Fe,
direkomendasikan pemberian Fe oral (atau Fe i.v jika menjalani
hemodialisis) untuk mempertahankan TSAT > 20% dan feritin serum >
100 ng/mL.
7) Pemantauan status Fe (TSAT dan feritin serum) dilakukan minimal
setiap 3 bulan selama mendapat terapi ESA. Pemantauan dianjurkan
lebih sering saat mulai atau peningkatan dosis terapi ESA, saat terjadi
kehilangan darah, pemantauan respons setelah 1 siklus terapi Fe i.v,
atau kondisi lain dimana terjadi kehilangan Fe.
8) Pasien yang mendapat Fe i.v dianjurkan untuk dipantau selama 60
menit pasca infus terhadap terjadinya reaksi alergi.
9) Hindari pemberian Fe i.v pada pasien dengan infeksi sistemik.
b) Pemberian ESA (Erythropoietin Stimulating Agent) dan terapi lain untuk
terapi anemia pasien PGK
1) Inisial ESA:
 Sebelum memulai terapi ESA, disingkirkan kemungkinan
penyebab terjadinya anemia (termasuk defisiensi besi dan
kondisi inflamasi).
 Pertimbangkan rasio risiko-manfaat sebelum memulai terapi
ESA
 Hati-hati pemberian ESA pada pasien PGK dengan penyakit
kanker.
 Jika kadar Hb > 10g/dL tidak direkomendasikan pemberian
terapi ESA.
 Pada pasien PGK dewasa, terapi ESA dianjurkan untuk dimulai
saat kadar Hb 9,0-10,0 g/dL untuk mencegah penurunan kadar
< 9g/dL.
 Pada beberapa pasien dimana peningkatan kualitas hidup pasien
terpantau pada kadar Hb yang lebih tinggi, terapi ESA dimulai
pada kadar Hb > 10 g/dL.
 Pada pasien dewasa dengan konsentrasi Hb < 10,0g/dL
direkomendasikan supaya inisiasi terapi ESA secara individual
berdasarkan konsentrasi Hb, respon sebelum terapi besi, risiko
membutuhkan transfusi, risiko yang terkait dengan terapi ESA
dan adanya gejala anemia yang timbul.
 Terapi ESA secara umum tidak ditujukan untuk
mempertahankan kadar Hb > 11,5 g/dL pada pasien PGK
dewasa. Namun, pada pasien tertentu kadar Hb > 11,5 g/dL
mungkin diperlukan.
 Dosis ESA awal ditentukan menurut kadar Hb pasien, berat
badan, dan pertimbangan klinis.
 Penyesuaian dosis ESA menurut kadar Hb pasien, perubahan
kadar Hb, dosis ESA saat ini, serta pertimbangan klinis.
 Dosis awal ESA (Epoietin alfa dan beta) yaitu 20-50 IU/kgBB
3 kali seminggu.
 Dosis epoietin alfa dapat ditingkatkan setiap 4minggu dengan
peningkatan dosis mingguan 3 kali 20 IU/kg jika diperlukan
 Jika kadar Hb mendekati 11,5 g/dL, dosis ESA diturunkan 25%.
Jika kadar Hb terus meningkat, terapi perlu dihentikan sehingga
kadar Hb turun kembali.
 Jika kadar Hb meningkat > 1g/dL dalam periode 2 minggu,
dosis ESA harus dikurangi 25% dari dosis sebelumnya.
 Pada pasien GGK yang menjalani haemodialisis, ESA dapat
diberikan secara subkutan atau intravena. Sedangkan pada
pasien yang tidak menjalani dialisis atau dialisis peritoneal
direkomendasikan pemberian ESA secara subkutan.
 Frekuensi pemberian ESA ditentukan berdasarkan stadium
PGK, treatment setting, efikasi, toleransi dan pilihan pasien,
serta jenis ESA.
 Pemilihan ESA berdasarkan pertimbangan farmakodinamik,
aspek keamanan, efikasi, biaya, dan ketersediaan. Serta ESA
yang diberikan harus yang sudah mendapat approval dari badan
regulasi setempat.
 Selama pasien mulai mendapat ESA, pemantauan Hb sekurang-
kurangnya sebulan sekali.
 Pada pasien yang tidak menjalani dialisis, selama mendapat
terapi pemeliharaan dengan ESA, pemeriksaan kadar Hb
sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. Sedangkan pada pasien
dengan dialisis sekurang-kurangnya sebulan sekali.
2) Terapi pemeliharaan ESA:
 Secara umum penggunaan ESA tidak digunakan untuk
mempertahankan kadar Hb diatas 11,5 g/dL pada orang dewasa
pasien dengan CKD (2C).
 Individualisasi terapi diperlukan karena beberapa pasien
mungkin memiliki peningkatan kualitas hidup pada Hb > 11,5
g/dL.
 Pada seluruh pasien PGK dewasa, direkomendasikan pemberian
ESA tidak untuk meningkatkan kadar Hb > 13g/dL.
 Dianjurkan untuk mengurangi dosis ESA dibandingkan
penghentian ESA saat diperlukan pengurangan dosis ESA.
 Pasien dianggap hiporesponsif terhadap ESA jika tidak terdapat
peningkatan kadar Hb setelah 1 bulan terapi ESA dengan dosis
sesuai. Pada pasien tersebut tidak disarankan pemberian ESA
dengan dosis 2 kali lipat.
 Tidak direkomendasikan pemberian androgen maupun terapi
lainnya (misal, vitamin C, D , E, asam folat, l-carnitine, dan
pentoxifyllin) sebagai terapi adjuvant ESA.
 Pemantauan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya Pure
Red Cell Aplasia (PRCA) pada pasien yang mendapat terapi
ESA lebih dari 8 minggu dan mengalami penurunan Hb cepat
(0,5-1,0 g/dL/minggu) atau membutuhkan transfusi 1-2 kali
seminggu, kadar trombosit dan sel darah putih normal, dan
jumlah retikulosit absolut < 10.000/mikroliter.
 Jika pasien terdiagnosa mengalami PRCA, terapi ESA harus
dihentikan. Direkomendasikan pemberian peginesatide sebagai
terapi PRCA.
 Evaluasi ulang dosis ESA jika pasien mengalami efek samping
ESA atau pasien mengalami penyakit akut/progresif yang dapat
menyebabkan hiporesponsif ESA.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Sibuea, W. Herdin. Dr. Panggabean, Marulam M.. Dr. Gultom S.P.. Ilmu Penyakit
Dalam. FK-UKI dengan Rumah Sakit DGI Tjikini : Jakarta : 2005, hal 123-132 ,hal
66-67
2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem . Jakarta : EGC, 2001 hal
462-502
3. Suwitra, Ketut. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. Jakarta: FK-UI,2006, hal 570-573
4. Skorecki, Karl, Green J., Brenner B.M.. Harrison’s : Principles of Internal Medicine :
USA : Mc Graw-Hill,2005 page 1653-1663
5. Silbernagl, Stefan et Lang, Florian. Teks&Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC, 2007 hal 110
6. Eaton, Douglas C. et Pooler, John P..Vander’s : Renal Physiology. USA : Mc Graw-
Hill, 2009 page 1 – 23
7. Price, Sylvia A. et Wilson Lorraine M..Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC, 2006 page 256 – 258
8. Kidney disease informing global outcomes (KDIGO). KDIGO Clinical Practice
Guideline For Anemia In Chronic Kidney Disesae. Kidney international supplements.
2012. 2 (4):283-323.
9. Arici, M. Management of Chronic Kidney Disease. Berlin Heidelberg : Sringer-
Verlag. 2014.
10. PERNEFRI. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta :
Perhimpunan Nefrologi (PERNEFRI). 2011. Hal 3-48.

25

Anda mungkin juga menyukai