Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN KADAR HEMOG LOBIN, HEMATOKRIT DAN

ERITROSIT DENGAN DERAJAT KLINI S PADA PENDERITA STROK


ISKEMIK AKUT

ASSOCIATION HAEMOGLOBIN, HEMATOC RYTE AND


ERYTROCYTE LEVEL WITH CLINICAL SEVERITY IN ACUTE
ISCHEMIC STROKE PATIENT

Tutwuri Handayani1, Hasmawaty Basir1, Cahyono Kaelan1 , Amiruddin Aliah1,


Mansyur Arif 2 , Burhanuddin Bahar 3
1
Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar,
2
Bagian Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar,
3
Staf Pengajar Bagian Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin,
Makassar

Alamat Korespondensi :
Tutwuri Handayani
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP: 085399799164
Email: ruri.handayani02@gmail.com
Abstrak

Hemoglobin, hematokrit dan eritrosit dianggap berperan penting terhadap derajat klinis strok karena terkait dengan
oksigenasi di jaringan otak yang mengalami infark. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar
hemoglobin, hematokrit dan eritrosit dengan derajat klinis pada penderita strok iskemik akut. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional study). Data diperoleh dari penderita strok yang
dirawat di Rumah sakit Wahidin Sudirohusodo dan jejaringnya di Makassar dari 1 April sampai 31Juni 2014 yang
memenuhi kriteria inklusi. Derajat klinis strok dinilai berdasar modified Rankin Scale dan kadar hemoglobin,
hematokrit dan eritrosit diperoleh dari pemeriksaan hematologi rutin Cell Blood Counter Hematology Analyzer. Pada
penelitian ini diperoleh 66 sampel. Sebagian besar sampel mempunyai derajat klinis berat (skala 5) yang berarti
pasien lebih banyak di tempat tidur. Parameter hematologi yang memberikan perbedaan rerata bermakna pada derajat
klinis pasien strok iskemik akut adalah kadar hemoglobin (p=0,.001) sedangkan hematokrit dan eritrosit tidak
memberikan perbedaan rerata yang bermakna terhadap derajat klinis strok iskemik akut. Nilai koefisien korelasi
hemoglobin dengan derajat klinis strok iskemik akut ( r= -0.360) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang lemah
dan negatif yang berarti semakin rendah kadar Hb, semakin besar skor derajat klinis yang mewakili semakin buruk
kondisi klinis penderita strok iskemik akut. Kesimpulan penelitian ini bahwa terdapat hubungan antara kadar Hb
dengan derajat klinis pada pasien strok iskemik akut. Semakin berat derajat klinis strok semakin rendah kadar
hemoglobin.

Kata kunci: hemoglobin, hematokrit dan eritrosit, strok iskemik akut, derajat klinis

Abstract

Hemoglobin , Hematocrite and Erythrocyte are assumed to have significant effects in clinical severity of acute
ischemic stroke because they affect the infarct area in brain. The aim of the study is to determine the association
hemoglobin, hematocrite and erythrocyte level with clinical severity in acute ischemic stroke patient. The method of
the study was cross sectional. Data were obtained from acute stroke patients in Wahidin Sudirohusodo Hospital and
its network in Makassar from April 2014 to June 2014 who met the inclusion criteria. The clinical severity of acute
stroke was assessed with modified Rankin Scale and the level of hemoglobin, hematocryte and erythrocyte was
examined with routine hematologic test Cell Blood Counter Hematology Analyzer. The result of the study indicated
that 66 acute ischemic strokes were found with the scale of modified Rankin Scale is 5. It was severe and most of the
patient spent their time in bed. The level of hemoglobin is statistically different (p<0.005) compared to all clinical
severity while hematocrite and erythrocyte did not indicate the same results. There is a negative correlation
between hemoglobin and clinical severity (r-0.360). This indicated that the lower the hemoglobin level, the higher
the clinical severity. There is a correlation between Hb level,clinical severity and acute ischemic stroke.
Key word: haemoglobin, hematocryte and erythrocyte, acute ischemic stroke, clinical severity

1
PENDAHULUAN
Strok merupakan salah satu penyebab utama kematian, kecacatan maupun beban
ekonomi di masyarakat. Di seluruh dunia pada tahun 2003 terdapat sekitar 15 juta orang
menderita strok, hampir sepertiganya meninggal dan sepertiganya mengalami kecacatan
permanen. Di Indonesia, Misbach (2001), melaporkan bahwa prevalensi strok diperkirakan
sekitar 8 % (Mackay et al., 2004; Roger et al., 2011 ).
Dari data SMF Ilmu Penyakit Saraf RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 1990-
1991 ditemukan penderita strok sekitar 39,4 % dengan angka kematian 43 % dan sekitar 75 %
strok terjadi pada usia lanjut yaitu 65 tahun atau lebih (Aliah, 2005). Pada tahun 2000, kejadian
strok sudah meningkat menjadi 70 tahun untuk wanita dan 65 tahun untuk pria (Aliah dkk.,
2002). Telah diketahui bahwa 6 bulan setelah terkena strok sekitar 20-30% penderita meninggal,
20-30% mengalami keterbatasan fungsi dan cacat dari sedang hingga berat, 20-25% ringan
hingga sedang serta sisanya tanpa defisit neurologis. Dari angka kejadian strok diatas, strok
iskemik adalah jenis strok yang paling banyak ditemukan. Hampir 85 % dari seluruh kejadian
strok adalah strok iskemik.
Walaupun terapi yang paling efektif terhadap strok iskemik belum diketahui akan tetapi
telah disepakati bahwa pengobatan strok seharusnya diberikan sedini mungkin. Hal ini
membutuhkan pemilihan terapi yang tepat berdasarkan prediksi awal dari derajat klinis
fungsional (Saragih, 2004; Baird et al., 2001 ). Dalam beberapa dekade terakhir para dokter telah
mencari metode yang bisa digunakan secara cepat dan tepat untuk penentuan prognosis strok
iskemik. Telah diketahui bahwa ukuran infark yang terdeteksi pada pemeriksaan neuroimaging
merupakan prediktor yang kuat terhadap derajat klinis penderita. Akan tetapi CT-scan atau MRI
yang menunjukkan infark otak, biasanya terlambat setelah muncul temuan klinis sehingga
beratnya defisit neurologis sangat tergantung pada temuan klinis (Baird et al., 2001 ).
Kehilangan suplai oksigen secara mendadak ke jaringan otak selain glukosa merupakan
langkah pertama dan utama dalam patogenesis stroke iskemik. Fokus infark di otak dapat
diselamatkan dengan kemampuan darah membawa oksigen yang cukup sehingga peluang untuk
menyelamatkan daerah penumbra dan daerah sekitarnya bisa dilakukan. Salah satu hal yang

2
diduga terlibat dalam proses oksigenasi otak selain adanya sumbatan pada pembuluh darah otak
adalah ada tidaknya kondisi kadar Hb yang rendah pada penderita strok ( Thijs et al., 2006 ).
Beberapa studi di Eropa dan Amerika menunjukkan adanya hubungan antara kadar Hb,
dan Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik. Ditemukan bahwa kadar Hb mempunyai
korelasi dengan buruknya derajat klinis dari gambaran neuroimaging. Sejauh ini batas Hb
optimum pada strok iskemik belum ada, juga pedoman untuk itu belum tersedia.Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima pasien strok iskemik disertai anemia
dilaporkan mempunyai hubungan yang erat dengan derajat klinis yang buruk. Namun hal ini
masih membingungkan karena pada beberapa studi lain tidak ditemukan hal yang serupa (Tanne,
2010).
Derajat klinis dari penderita strok iskemik sangat bervariasi tergantung dari berat
ringannya iskemik yang diderita dan cepat tidaknya seorang pasien mendapatkan pertolongan.
Penelitian untuk melihat hubungan antara kadar Hb dan Hct dengan derajat klinis penderita strok
iskemik telah dilakukan di beberapa tempat. Sebagian besar penelitian tersebut menunjukkan
hubungan yang kuat antara kadar Hb yang rendah dengan strok pada fase akut. Penelitian untuk
melihat pengaruh Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis strok iskemik akut belum banyak
dilakukan di Indonesia, khususnya di Makassar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara derajat klinis dengan kadar RBC, Hb dan Hct pada penderita strok iskemik
akut.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RS Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit jejaring lainnya
dan berlansung sejak 1 April 2014 sampai dengan 31 Juni 2014. Desain penelitian ini adalah
potong lintang (Cross Sectional Study).
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah semua penderita strok iskemik akut yang di rawat di RS Dr.
Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring lainnya yang memenuhi kriteria inklusi dan didapatkan
sebanyak 66 sampel pasien dengan strok iskemik akut. Sampel yang diambil adalah sampel yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu: Semua penderita yang didiagnosa klinis strok iskemik akut dan
di buktikan dengan pemeriksaan klinis dan CT Scan kepala tanpa kontras menunjukkan

3
gambaran hipodens atau isodens, onset serangan 0 – 72 jam, pertama kali mengalami strok dan
tidak pernah mengalami Transient Ischemic Attacks sebelumnya, bersedia disertakan dalam
penelitian dengan menandatangani surat pernyataan persetujuan oleh penderita / wali penderita.
Metode pengumpulan data
Sampel Penelitian adalah seluruh populasi penelitian yang terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan ekslusi. Cara pengambilan sampel adalah consecutive sampling yaitu
penelitian yang di peroleh berdasarkan urutan masuknya ke Rumah Sakit. Setiap sampel dicatat
nama, umur, jenis kelamin, alamat, tanggal masuk Rumah Sakit, nomor registrasi. Derajat klinis
strok iskemik akut diukur saat pasien masuk rumah sakit dengan menggunakan skor mRS,
dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, eritrosit dan hematokrit menggunakan tes Cell Blood
Counter Hematology Analyzer. Data dikumpulkan, dianalisis dengan menggunakan program
Microsoft Excel dan analisis statitik dengan program SPSS.
Analisis data
Data yang diperoleh di kelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data kemudian
dianalisis dengan metode statistik yang sesuai. Data deskriptif disajikan dalam bentuk tabel dan
grafik. Untuk melihat perbedaan antara kadar Hb, RBC dan Hct dengan derajat klinis penderita
strok iskemik akut digunakan uji Kruskall Wallis. Untuk melihat hubungan kadar Hb, RBC dan
Hct dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut digunakan uji korelasi Spearman.
Kekuatan hubungan variable bebas dengan terikat dinilai dengan melihat besaran koefisien
korelasi (r).

HASIL
Karakteristik sampel
Dari tabel 1 nampak bahwa berdasarkan jenis kelamin ditemukan laki-laki lebih banyak
(64%) menderita strok iskemik akut dibandingkan perempuan (36%). Berdasarkan kelompok
umur ditemukan bahwa kejadian strok iskemik akut lebih banyak ditemukan pada usia paruh
baya dan insidennya paling banyak ditemukan pada kelompok umur 56-65 tahun (33,3%).
Lokasi strok yang paling banyak ditemukan pada daerah kortikal (53,0%) dibandingka dengan
daerah sub kortikal (47,0%). Dari data peneilitian ini juga ditemukan sebagian besar subjek
pasien strok iskemik akut yang tidak menderita anemia (60,6%).Berdasarkan onset masuk rumah
sakit pada penderita strok iskemik akut yang dijadikan subjek, ditemukan bahwa onset strok

4
iskemik akut paling tinggi adalah 24 jam dan selanjutnya diikuti onset 48 dan 72 jam, masing-
masing 53%, 28,8% dan 18,2%. Derajat klinis subjek dengan modified Rankin Scale paling
banyak ditemukan skor 5 yang berarti 30,30% penderita yang diteliti berada dalam derajat klinis
disabilitas berat sehingga mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur.
Pada gambar 1 ditemukan bahwa sebagian besar subjek tidak mengalami anemia dengan
menggunakan kategori WHO dari pemeriksaan Hb. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa parameter
yang memberikan perbedaan rerata bermakna dengan derajat klinis pada penderita strok iskemik
akut adalah hemoglobin sedangkan kadar RBC dan Hct tidak. Pada tabel 3 terdapat hubungan
yang bermakna antara kadar Hb dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut. Dari uji
korelasi ditemukan bahwa terdapat korelasi negatif dimana semakin rendah kadar Hb maka
derajat klinis strok pun semakin berat.
Analisa statistik
Dari hasil analisis statistik ditemukan bahwa derajat klinis penderita strok iskemik akut
dengan ringan sebagian besar subjek tidak menderita anemia. Anemia dengan paling banyak
ditemukan pada mereka yang mempunyai derajat klinis berat. Hal yang menarik bahwa trend
kejadian anemia semakin meningkat dengan meningkatnya derajat klinis penderita strok iskemik
dalam hal ini derajat klinis berat
Dari data diatas ditunjukkan bahwa parameter hematologi yang memberikan perbedaan
rerata bermakna terhadap derajat klinis pasien strok iskemik akut adalah kadar Hb (p=0,001)
sedangkan kadar Hct dan RBC tidak memberikan perbedaan rerata yang bermakna. Dari uji
korelasi antara kadar Hb dengan derajat klinis pasien strok (r=0.360) ditemukan adanya korelasi
yang bersifat negative. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah kadar Hb, semakin besar
skor derajat klinis yang mewakili semakin buruknya kondisi klinis penderita strok iskemik akut.

PEMBAHASAN
Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar
hemoglobin dengan derajat klinis penderita strok iskemik akut yang diukur dengan modified
Rankin Scale. Sedangkan kadar eritrosit dan hematokrit tidak menunjukkan korelasi dengan
derajat klinis pada penelitian ini. Dari uji korelasi ditemukan bahwa teradapat korelasi negatif
dimana semakin tinggi kadar Hb maka derajat klinis strok pun semakin berat. Hb adalah

5
komponen yang mengikat oksigen dan membawanya ke jaringan termasuk otak saat terjadi
serangan strok ( Kellert et al., 2012; Wen et al., 2006).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar subjek tidak mengalami anemia
dengan menggunakan kategori WHO dari pemeriksaan Hb sedangkan untuk derajat klinis strok
paling banyak ditemukan adalah pada derajat klinis 5. Dari pasien strok iskemik akut ditemukan
bahwa kadar Hb yang rendah bersesuaian dengan luas infark dan juga peningkatan derajat
pertumbuhan infark. Kadar Hb ini merupakan faktor yang memberikan kontribusi independen
terhadap ukuran infark bersama dengan beberapa faktor lain seperti umur, jenis kelamin, kadar
glukosa saat masuk rumah sakit dan subtipe strok. Semakin luas daerah infark maka akan
berhubungan dengan semakin buruknya derajat klinis (Kimberly et al., 2011). Kekurangan
oksigen akan menyebabkan asidosis dan selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi enzim-
enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang
ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi.
Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari
tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Selain itu dikatakan bahwa juga
terdapat perubahan metabolism otak ( Saragih, 2004 ).
Hct dan RBC bisa juga dijadikan sebagai kriteria anemia walaupun Hb yang dianggap
paling akurat karena memberikan gambaran langsung kemampuan sel darah merah mengikat
oksigen. Selain itu kadar Hct sangat dinamis karena dipengaruhi oleh kondisi hemodinamik,
misalnya saat seseorang dalam keadaan dehidrasi maka Hctnya cenderung meningkat dan setelah
direhidrasi maka kadar Hct bisa langsung menurun. Pada perbandingan dengan derajat klinis,
ditemukan bahwa anemia berkaitan erat dengan derajat klinis dimana pada mereka yang anemia
derajat klinis yang diukur dengan modified Rankin Scale cenderung lebih berat dibandingkan
dengan mereka yang tidak menderita anemia. Hal ini berkaitan dengan kemampuan reperfusi
yang dimiliki oleh otak. Pada mereka yang tidak menderita anemia maka oksigenasi otak akan
lebih baik dibandingkan dengan mereka yang menderita anemia ( Kimberly et al., 2011 ).WHO
sendiri telah menganggap anemia dengan menggunakan parameter Hb sebagai faktor prediktor
yang kuat untuk kematian diatas 1 tahun. Anemia dianggap sebagai faktor prognostik negative
(Sico et al., 2013). Pada beberapa penelitian yang lain, kadar Hb yang tinggi juga dihubungkan
dengan resiko atherosclerosis carotid dan bisa dijadikan sebagai salah satu faktor resiko strok

6
iskemik meskipun hubungannya belum bisa dijelaskan karena masih sangat minimnya data yang
ditemukan terkait keadaan ini.
Saat ini belum bisa dijelaskan apakah kadar Hb yang rendah dan tinggi mempunyai
mekanisme yang sama dalam mempengaruhi tingkat kematian atau berbeda. Anemia dapat
menginduksi hipoksia pada daerah dimana kadar Hb sangat rendah sementara kadar Hb yang
tinggi dapat meningkatkan viskositas darah, mempengaruhi aliran darah serebral dan
berhubungan dengan penyakit paru. Selain itu kadar Hb yang terlalu tinggi akan memicu
terjadinya proses pengapuran (atherogenesis) serebral (Kimberly et al., 2011 ).
Pada penelitian ini ditemukan bahwa pasien strok iskemik umumnya terjadi pada laki-
laki. Laki-laki lebih beresiko terkena strok karena terdapat faktor resiko lain seperti kebiasaan
merokok. Berdasarkan umur, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
menunjukkan bahwa prevalensi strok iskemik lebih banyak ditemukan pada usia sekitar 55 tahun
lebih. Onset masuk penelitian ini adalah kurang dari 24 jam. Penelitian yang dilakukan oleh
Misbach (2001), juga melaporkan bahwa onset masuk dari sebagian pasien yang mereka teliti
adalah 6 jam. Hal ini bisa berarti bahwa terdapat keterlambatan dalam memeriksa penderita strok
padahal menurut Lansberg setelah 6-8 jam lesi pada strok iskemik akut sudah dapat terlihat
dengan CT Scan ( Baird et al., 2001 ).
Keadaan diatas bisa menyebabkan diagnosis dan penanganan pasien strok mengalami
keterlambatan sehingga derajat klinisnya pun bisa tinggi. Manfaat terapeutik untuk pasien strok
dianggap maksimal jika diberikan pada menit pertama mereka terkena strok dan akan berkurang
apabila pasien mendapatkan terapi setelah 4,5 jam terkena serangan strok. Pada strok iskemik
yang cukup luas, keterlambatan satu menit untuk melakukan reperfusi akan memberikan hasil
berupa kerusakan sekitar 2 juta sel saraf. Secara umum waktu terbaik bagi seorang pasien strok
untuk mendapatkan pengobatan adalah dalam waktu 1 jam sejak serangan ( Duncan, 2003; Thijs
et al., 2006).
Jika dihubungkan dengan derajat klinis maka pada penelitian ini tidak nampak perbedaan
yang bermakna antara onset dengan derajat klinis pada pasien strok iskemik yang diamati. Hal
ini bisa disebabkan karena onset yang terlalu luas padahal golden period untuk pasien strok
adalah sekitar 1 jam. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa daerah yang paling banyak
mengalami iskemik adalah pada kortikal. Pada daerah kortikal pembuluh darah yang menyuplai
darah tidak mempunyai banyak kolateral sehingga bila mengalami sumbatan maka lokasi ini

7
akan mengalami infark yang luas. Sedangkan pada daerah subkortikal, kepadatan serabut-serabut
sarafnya lebih padat dibandingkan di daerah kortikal. Hal ini bisa menjelaskan mengapa
sebagian besar derajat klinis pada penelitian ini cukup buruk (Ilyas, 2007).
Pada penelitian dengan pasien strok iskemik dengan menggunakan multimodal imaging,
ditemukan bahwa kadar Hct yang tinggi bersesuaian dengan penurunan reperfusi dan juga
besarnya ukuran infark. Hal ini dianggap faktor yang secara potensial berperan dalam penurunan
penyelamatan daerah penumbra (Irace et al., 2003)
Temuan lain menunjukkan bahwa pasien dengan strok biasanya menunjukkan kadar Hct
yang normal. Untuk mengangkut Hb agar berkontak erat dengan jaringan dan agar pertukaran
gas berhasil, RBC yang berdiameter 8 mikro harus dapat secara berulang melalui mikrosirkulasi
yang diameter minimumnya 3,5 mikro, untuk mempertahankan Hb dalam keadaan tereduksi
(ferro) dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotic walaupun konsentrasi protein (Hb)
tinggi di dalam sel (Weed et al., 2010) .

KESIMPULAN DAN SARAN


Kami menyimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara kadar Hb dengan derajat
klinis strok iskemik akut, semakin rendah kadar Hb semakin buruk derajat klinis strok iskemik
akut. Sedangkan pada kadar Hct dan RBC tidak ditemukan adanya hubungan dengan derajat
klinis strok iskemik akut. Untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan menilai derajat
klinis dengan volume infark dan juga ukuran sel darah merah.

DAFTAR PUSTAKA

Aliah A. (2005). Analisa Dinamika Kadar Interleukin-10 dan Tumor Necrosis Faktor-Alpha
Serum dan likuor Serebrospinal terhadap derajat Klinis pada Penderita Strok Iskemik Akut.
Disertasi tidak diterbitkan. Makassar : Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Aliah A & Muis A. (2002). Faktor Resiko Stroke pada Beberapa Rumah Sakit di Makassar.
Makalah disajikan dalam simposium Penanganan Strok Iskemik Akut, PERDOSSI Cabang
Sulawesi Selatan, Makassar.
Baird A. E.; Dambrosia J.; Warach S. (2001). A Three-Item Scale for The Early Prediction of
Stroke Recovery. The Lancet. 357 : 2095 – 2099.
Duncan P. (2003). Evaluating the Outcome Of Stroke, (Online), (http://www.strokaha.org ,
diakses 2 Agustus 2009).
Ilyas M. (2007). Peranan Penilaian CT Scan Kepala Dalam Memprediksi Luaran Penderita
Strok Iskemik Akut Dengan Menggunakan Pengukuran Volume dan Lokasi Infark.

8
Irace C.; Ciamei M.; Crivaro A.; Fiaschi E.; Madia A.; Cortese C et al. (2003). Hematocrit is
associated with carotid atherosclerosis in men but not in women.Coron Artery Dis,14:279-84.
Kellert L.; Herweh C.; Syikora M.; Gussman P.; Martin E.; Ringleb PA et al. (2012). Loss of
Penumbra by Impaired Oxygen Supply? Decreasing Hb Levels Predict Infarct Growth after
Acute Ischemic Stroke. Cerebrovasc Dis Extra;2:99–107
Kimberly T.; Wu O.; Arsava M.; Garg P.; Ji R.; Vangel M et al. (2011). Lower hemoglobin
correlates with larger stroke volume in Acute ischemic strok. Cerebral Disc Extra. 1:44-53.
Mackay J.; Mensah G. (2004). The Atlas of Heart Disease and Stroke. Geneva, Switzerland,
World Health Organization.The Atlas of heart disease and stroke.
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf
Misbach, J. (2001). The Progress of Primary and Secondary stroke Prevention. Jakarta. Makalah
disajikan dalam Symposium Up Date on Strok Management, PERDOSSI, Jakarta.
Roger et al. (2011). AHA Heart Disease and Stroke Statistics. update: a report from the
American Heart Association. Circulation ;123:e18-e209.
Saragih R. (2004). Korelasi Beberapa faktor Hemoreologi dengan Strok Infark Aterotrombotik.
Tesis tidak diterbitkan. Bandung; Bagian Ilmu Penyakit Syaraf Kedokteran UNPAD.
Sico JJ.; Concato J.; Wells CK.; Lo AC.; Nadeau SE.; Williams LS et al. (2013). Anemia is
associated with poor outcomes in patients with less severe ischemic stroke. J Stroke
Cerebrovasc Dis. 22(3):271-8 McGraw-Hill Companies: USA.
Tanne D.; Molshatzki N.; Merzeliak O.; Tsabari R.; Toashi M.; Schwammenthal M. (2010).
Anemia status, Hb concentration and outcome after acute stroke: a cohort study. BMC
Neurology 10:22
Thijs V.N.; Lansberg M.; Beaulieu C.; Marks M.P.; Moseley M.E.; Albers G.W. (2006). Is Early
Iskemic Lesion Volume on Diffusion – Weighted Imaging an Independent predictor of Stroke
Outcome? A multivariabel Analysis. Stroke. 210: 2597-2602.
Weed.; Robert I.; Reed.; Claude F.; George. (2010). Is Hemoglobin an essential structural
component of human erythrocyte membranes?. J Clin Invest. 42 (4): 581–8.
Wen YD.; Zhang HL.; Qin ZH. (2006) . Inflammatory Mechanism in Iskemic Neuronal Injury.
Neuroscince. 22 : 171-182.

9
Tabel 1. Karakteristik Subjek Dengan Strok Iskemik Akut

Karakteristik N Persentase (%)


1. Jenis Kelamin
Laki-laki 41 62
Perempuan 25 38

2. Umur
30 -45 Tahun 4 6,1
36-55 Tahun 17 25,8
56-65 Tahun 22 33,3
66-75 Tahun 19 28,8
6,1
76-85 Tahun 4

3. Onset
< 24 jam 35 53
24 - 48 jam 19 28,8
48-72 jam 22 18,2

4. Lokasi Infark
Kortikal 35 53
Sub Kortikal 31 47

5. Status Anemia
Anemia 40 60,6
Tidak Anemia 26 39,4

Derajat Klinis strok


Skor 1 11 16,67
Skor 2 14 21,21
Skor 3 3 4,55
Skor 4 13 19,7
Skor 5 20 30,30
Skor 6 5 7,58

10
Tabel 2 Perbedaan Kadar Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis Strok Iskemik Akut

Parameter Darah Kemaknaan (P*)

Hb (Hb) 0,014

Hct (Hct) 0,056

Erirosit (RBC) 0,103


*Uji Kruskall Wallis dengan kemaknaan p<0,05

Tabel 3 Hubungan rerata kadar Hb, Hct dan RBC dengan derajat klinis pasien strok
iskemik akut

Parameter Kemaknaan (p*) Koefisien Korelasi (r)


Kadar Hb (Hb) 0,001 -0,360
Kadar Hct (Hct) 0,051 - 0,203
Kadar RBC (RBC) 0,077 -0,177
*Uji Korelasi Spearman kemaknaan, p<0,01

90,00%
80,00%
70,00%
60,00%
50,00%
Anemia
40,00%
Tidak Anemia
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
Ringan Sedang Berat

Gambar 1. Perbandingan Status Anemia Dengan Derajat Klinis Strok Iskemik


Akut

11

Anda mungkin juga menyukai