Anda di halaman 1dari 11

Makalah Mata Kuliah :

LANDASAN DAN PROBLEMATIKA KEPENDIDIKAN

Oleh :

Fadli

A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus membedakan manusia
dengan makhluk hidup lainnya. Hewan juga “belajar” tetapi lebih ditentukan oleh instinknya,
sedangkan manusia belajar berarti merupakan rangkaian kegiatan menuju pendewasaan guna
menuju kehidupan yang lebih berarti. Anak-anak menerima pendidikan dari orang tuanya dan
manakala anak-anak ini sudah dewasa dan berkeluarga mereka akan mendidik anak-anaknya,
begitu juga di sekolah dan perguruan tinggi, para siswa dan mahasiswa diajar oleh guru dan
dosen.

Pandangan klasik tentang pendidikan, pada umumnya dikatakan sebagai pranata yang dapat
menjalankan tiga fungi sekaligus. Pertama, mempersiapkan generasi muda untuk untuk
memegang peranan-peranan tertentu pada masa mendatang. Kedua, mentransfer
pengetahuan, sesuai dengan peranan yang diharapkan. Ketiga, mentransfer nilai-nilai dalam
rangka memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat sebagai prasyarat bagi kelangsungan
hidup masyarakat dan peradaban. Butir kedua dan ketiga tersebut memberikan pengerian
bahwa pandidikan bukan hanya transfer of knowledge tetapi juga transfer of value. Dengan
demikian pendidikan dapat menjadi helper bagi umat manusia.

Landasan Pendidikan marupakan salah satu kajian yang dikembangkan dalam berkaitannya
dengan dunia pendidikan. Adapun cakupan landasan pendidkan adalah : landasan hukum,
landasan filsafat, landasan sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan
ekonomi. Dalam makalah ini hanya akan dibahas mengenai landasan filsafat.

Filsafat ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai ke
akar-akarnya. Sesuatu dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. filsafat
membahas segala sesuatu yang ada di alam ini yang sering dikatakan filsafat umum.
sementara itu filsafat yang terbatas ialah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni,
filsafat agama, dan sebagainya.

Jadi berfikir filsafat dalam pendidikan adalah berfikir mengakar/menuju akar atau intisari
pendidikan. Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada
pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu
atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan dan/atau ilmu?
Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu?
Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan.
Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata
mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih
untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju
ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar
ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan
atau ilmu perilaku.
B. Landasan Filsafat

Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan makna atau hakikat
pendidikan, yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti: Apakah pendidikan itu
? Mengapa pendidikan itu diperlukan ? Apa yang seharusnya menjadi tujuanya, dan
sebagainya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat atau filsafat
(falsafah, falsafah). Kata filsafat (philosophy) bersumber dari bahasa Yunani, philien berarti
mencintai, dan sophos atau sophis berarti hikmah, arif, atau bijaksana. Filsafat menelaah
sesuatu secara radikal, menyeluruh, dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi
mengenai kehidupan dan dunia.

Konsepsi-konsepsi filosofis tentang kehidupan manusia dan dunianya pada umumnya


bersumber dari dua faktor, yaitu :

1. Religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan


2. Ilmu pengetahuan yang mengandalakan penelaran . Filsafat berada diantara keduanya
: Kawasannya seluas dengan relegi, namun lebih dekat dengan ilmu pengetahuan
karena filsafat timbul dari keragua-raguan dank arena mengandalkan akal manusia.

Tinjauan filosofis tentang sesuatu, termasuk pendidikan, berarti berpikir bebas serta
merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu hal. Penggunaan istilah filsafat
dapat diartikan dalam dua pendekatan, yakni :

1. Filsafat sebagai kelanjutan dari berpikir ilmiah, yang dapat dilakukan oleh setiap
orang serta sangat bermanfaat dalam member makna kepada ilmu penegatahuan
2. Filsafat sebagai kajian khusus yang formal, yang mencakup logika, epistimologi
(tantang benar atau salah), etika (tentang baik dan buruk), estetika (tentang indah dan
jelek), Metafisika (tentang hakikat yang ada, termasuk akal itu sendii), serta sosial dan
politik (filsafat pemerintah)

C. Pengertian Tentang Landasan Filsafat

Terdapat kaitan yang erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan
citra tentang manusia dan mayarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu.
Rumusan tentang harkat dan martabat manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan
tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan, dan dari sisi lain pendidikan merupakan
proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan merupakan jawaban secara kritis dan
mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan, seperti apa mengapa, kemana, dan
bagaimana, dan sebagainya dari pendidikan itu. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk
menjadi landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Hal itu
sangat penting karena hasil pendidikan itu akan segera tampak, sehingga setiap keputusan
dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan kete[patanya meskipun hasilnya belum
dapat dipastikan.

Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran
filsafat adalah kebenaran ilmu yang sifatnya relative. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau
dari segi yang biasa diamati hanya sebagian kecil saja. Diibaratkan mengamati gunung es,
kita hanya mampu melihat yang diatas permukaaan laut saja. Sementara itu filsafat mencoba
menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui
pikiran dan renungan yang kritis.
Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu metafisika, epistimologi, logika, dan
etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :

1. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat
di alam ini. Dalam kaitanya dengan manusia, ada dua pandangan yaitu :
2. Manusia pada hakekatnyanya adalah spiritual. Yang ada adalah jiwa atau roh,yang
lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu.
Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. Pandangan ini dianut oleh kaum
Idealis,Scholastik,dan bebrapa Realis.
3. Manusia adalah organism materi. Pandangan ini dianut kaum Naturalis,
Materialis,Eksperimentalis,Pragmatis,dan bebrap realism. Pendidikan adalah untuk
hidup Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi
menyenangkan.
1. Epistemologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan
kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut :
2. Ada lima sumber pengetahuan yaitu :

 Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi


 Common sense,yang ada pada adat dan tradisi.
 Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
 Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
 Pengalaman yan terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.

1. Ada empat teori kebenaran

 Koheren,sesuatu akan benar bila konsisten dengan kebenaran umum


 Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
 Pragmatisme,,sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya ber manfaat bagi
kehidupan.
 Skeptivisme,kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.

1. Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar.
Dengan memahami filsafat logika di harapkan manusia bis aberpikir den
mengemukakan pendapatnya secra tepat dan benar.
2. Etika ialah filasaft yang menguraikan tentang perilaku manusia nilai dan norma
masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat
etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk
mengembangkan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta didik.

Kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat diatas, akan besar pengaruhnya terhadap
pendidikan, karena prinsip-prinsip dan kebenaran– kebenaran hasil kajian tersebut pada
umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam pendidikan tersebut
berkaiatan dengan hasil kajian antara lain tentang :

1. Keberadaan dan kedudukan manusia sebagai makluk didunia ini, seperti yang
disimpulkan sebagai zoo politicon,homo sapiens,animal educandum dan sebagainya.
2. Masyarakat dan kebudayaanya.
3. Keterbatasan manusia sebagai makluk hidup yang banyak menghadapi tantangan dan
4. Perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat
pendidikan
D. Aliran dalam Filsafat

Agar uraian tentang filsafat pendidikan itu menjadi lebih lengkap, berikut ini kan diuraikan
bebrapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :

1. Idealisme
2. Realisme
3. Perenialisme
4. Esensialisme
5. Pragmatisme dan progresivisme
6. Eksitensialisme

Filsafat Idealisme menegaskan bahwa hakekat kenyataan adalah ide sebagai gagasan
kejiwaan. Apa yang dianggap kebenaran realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide
sebagai kebenaran berfilsafat spiritual atau mental.Ide sebagai gagasan kejiwaan itulah
sebagai kebenararan atau nilai sejati yang obsolut dan abadi.Terdapat variasi pendapat beserta
namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme, neokantianisme,
dan sebagainya. Variasi itu antara lain menekankan pada akal dan rasio pada rasionalisme
atau sebaliknya pada ilham untuk irasionalisme, dan lain-alain. Meskipun terjadi variasi
pendapat tersebut, namun pada umunya aliran itu menekankan bahwa pendidikan merupakan
kegiatan intelektual untuk membanglkitkan ide-ide yang masih laten, anatara lain melalui
intropeksi dan Tanya jawab. Oleh karena itu sebagai lembaga pendidikan, sekolah berfungsi
membantu siswa mencari dan menemukan kebenaran, keindahan dan kehidupan yang luhur.

Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-
abad lamanya. Kebenarana seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran
secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul
pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang
dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu
membentuk manusia –manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini
merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld.

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus
dinilai dari segi kegunaan prgtis;dengan kata lain paham ini menyatakan yang berpaedah itu
harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada
manusia .

Filsafat paranialisme dan esensialisme, yakni keduanya membela kurikulum tradisonal yang
berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok (subject centered). Perbedaanya ialah
perenialisme menekankan keabadian teori kehikmatan yaitu :

 Pengetahuan yang benar (truth)


 Keindahan (beauty)
 Kecintaan kepada kebaikan (goodness)

Oleh karena itu, dinamakan perenialisme karena kurikulumnya berisi materi yang konstan
atau perennial. Prinsip pendidikan antara lain:

1. Konsep pendidikan itu bersifat abadai,karena hakekat manusia tak pernah berubah
2. Inti pendidikan haruslah mengembangkan kekhususkan makluk manusia yang uni,
yaitu kemampuan berpikir.
3. Tujuan belajar adalah mengenal kebenaran abadi dan universal
4. Pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya.
5. Kebenaran abadi itu ajarkan melalui pelajaran-pelajaran dasar (basic subject).

Filasafat Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresif
dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalaman
kemasyarakatan masa kini disekolah. Tetapi haruslah memelopori masyarakat kearah
masyarakat baru yang diinginkan. Dengan demikian tidak setiap individu dan kelompok akan
memecahkan kemasyarakatan secara sendirisendiri sebagai progresivisme.

Oleh karena itu, sekolah perlu mengembangakan suatu ideology kemasyarakatan yang
demokratis. Keunikan konstruksionisme ini ialah teorinya. Mengenai peranan guru, yakni
sebagai pemimpin dalam metode proyek yang memberi peranan kapada murid cukup besar
dalam proses pendidikan.Namun sebagai pemimpin penelitian, guru dituntu supaya
menguasai sejumlah pengetahuan dan ilmu esensial demi keterarahan pertumbuhan
muridnya.

E. Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan Nasional

Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai
falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam
berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa
pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian
selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang
menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah
pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “
Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya
dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh
rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia,dan dasar
Negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud
bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang
menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan
kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan.

P4 Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam


kehidupan sehari-hari,termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa
pengamalan Pancasila ituharuslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam
pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,Persatuan Indonesia,Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia.

Belum ada upaya mengopersionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan –
kegiatan di masyarakat,termasuk penerapanya dalam dunia pendidikan Kalaupun ada bidang
studi menyangkut moral Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-
bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya,peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian.
Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri
yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara –
cara mencapai tujuan pendidikan.Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari
luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia.

Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi
banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau
membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada
usaha menyususn sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku
ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-
penataran pendidikan jugaBersumber dari buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan
membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar
negeri.hasilnya tentu tidak précis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu
sendiri belum ada di Indonesia.

F. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya


filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu
perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari
kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri,seperti telah
diungkapkan diatas.

Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal diatas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawan-
kawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan
para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal
sebagai berikut

1. Lebih dari separoh responden menginginkan penegasan kembali pengertian


pendidikan dan pengajaran
2. Hampir separoh responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan
kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan
pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru
3. Para mahasiswa dan dosen berpendapat ipendidikan adalah ilmu mandiri, sementara
itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan, dan
4. Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan.Karena
keragaman pandangan diatas membuat responden terpecah menjadi sebagian
mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi
menolak

Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu
pendidikan,yaitu :

1. Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran


2. Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan
3. Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru.
4. Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan.
5. Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal.
6. Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja.
Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan
sebagai ilmu belum ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu
terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru
masih belum jelas. Kondiosi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu
belum digali dan dikembangkan.

Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih
dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas
pendidikan yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan
teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat
pendidikan yang bercorak Indonesia pula.

Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usah merumuskan filsafat


pendidikan Indonesiaini, yang kin baru falam tahap perhatian yang bersifat sporadic ?
Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini
sesuatu akan terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan
disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat
jalan dalam perkembanganya. Manakala pemrakarsa dapat mengugah hati pemerintah untuk
menyetujuinya.

Upaya mendorong pemerintah untuk member isyarat akan pentingnya merumuskan filsafat
pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang
sidang umum MPR (kompasa,27 Nopembert 1992), sebagai satu sumbangaan untukk bahan
siding umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk siding itu,tidak mencantumkan
perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu.itu menunjukan kemauan politik
pemerintah kearah itu belum ada. Mudah-mudahan di waktu-waktu yang akan datang
kemauan itu akan muncul.

Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu
belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori
pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di
lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi
penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang
membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarnag tidak
setiap ahli diperkenankan menjabanrkan sila-sila Pancasila. Ynag diperbolehkan menjabarkan
sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin unutk menghindari kesimpang-
siuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri

Tetapi bila para ahli pendidikan yang berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak
diperkenankan menjabarkan atua menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu akan membatasi
kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu. Bola hal itu tidak bias ditawar-tawar,
mungkin dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya
beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah
satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia bias diatasi.

Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu
kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus
dipikirkan. Hal-hal yang dimaksud adalah:
1. Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan
budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama
lain ?
2. Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang
sudah ada yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis,
Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar
cocok dengan kondisi Indonesia.
3. Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafdat-filsafat umum yang berlaku
secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli
pendidikan di Australia ,menyatakan filasfat yang mendasari pendidikan mereka
adalah Liberal, Demokrasi, dam multicultural ( Made Pidarta, 1995 ). Seakan-akan
mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan.

ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli ilmu Pendidikan adalah (1)
mengungkapkan pikiran yang sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila
dalam filsafat pendidikan nasional yang akan dibentuk, dan (2) dalam mengungkapkan
sumber-sumber dari luar termasuk teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan
agar sesuai dengan filsafat negara kita.

G. Dampak Konsep Pendidikan

Pembahasan tentang landasan kependidikan dalam segi filsafat, yang mencakup filsafat pada
umumnya, filsafat-filsafat pendidikan internasioanal, filsafat pancasila, dan kemungkinan
terbentuknya filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia, member dampak konsep tertentu.

Karena filsafat pendidikan yang cocok dengan alam dan budaya Indonesia belum terbentuk,
yang ada baru filsafat Negara yaitu pancasila, maka tidak banyak konsep pendidikan yang
bias diturunkan dari sini. Memang benar ada sejumlah filsafat pendidikan internasional yang
sudah tentu berdampak terhadap pendidikan,namun filsafat itu tidak mesti cocok bila
diterapkan di Indonesia. Oleh sebab itu dampak konsep pendidikan yang akan dituangkan
dibawah adalah terbatas pada penjabaran sila-sila pancasila.

1. Filsafat pendidkan Indonesia perlu segera diwujudkan agar ilmu pendidikan bercorak
Indonesia lebih mudah dibentuk. Kunci terielisasinya suatu kegiatan pada dewasa ini
adalah pemerintah. sebab itu dibutuhkan kemauan pemerintah untuk menggerakan
kegiatan ini
2. Peranan dan pengemabangn sila-sila Pancasila pada diri peserta didik pada
hakekatnya adalah pengembangan afeksi.karena itu pendidikan afeksi tidak boleh
dinomorduakan apalagi ditinggalakan. Pendidikan afeksi,kognisi,dan psikomotor
haruslah diperlakukan sama.
3. Pendidikan Pancaila dan pendidikan agama tidak bertentangan melainkan saling
melengkapi satu dengan lain. Oleh sebab itu sebaiknya para pendidik sila-sila
pancasila dan para pendidik ajaran aga,ma bekerja sama dalam kegiatannya membina
para peserta didik. Suatu kerjasama dalam tingkat operasioanal oendidikan moral dan
mental anak-anak, agar saling mendukung dan saling memajukan satu dengan yang
lain.
4. Materi pendidikan afeksi selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral
Pancasila dan ajaran-ajaran agama, sebaiknya dilengkapi dengan nilai-nilai dan adat
istiadat yang masih hidup dimasyarakat Indonesia serta budi pekerti luhur yang tetap
dijunjung dibumi Indonesia ini.
5. Metode mengembangkan afeksi bias dibagi dua yaiu :
6. Evaluais pendidikan afeksi haruslah dilakukan secara nyata, diberi skor, dan
dimasukkan ke dalam rapor sepereti halnya dengan bidang study yang lain. Setaip
ujian atau tes haruslah mengikutsertakan aspek afeksi. Untuk ujian-ujian intern di
sekolah, hal ini cukup mudah dilakukan. Tetapi untuk ujian tingakat nasional cukup
sulit sebab membutuhkan biaya dan tenaga banyak. Namun, dengan berkembangnya
waktu dan perubahan system pendidikan, kesulitan itu bisa diatasi.
7. Dalam menggunakan materi pendidikan afeksi, sangat mungkin sumber materi itu
berasal dari luar negeri. Bila hal itu terjadi, maka perlu dilakukan penyaringan terlebih
dahulu agar bias diterima oleh kondisi dan budaya Indonesia, sebelum dimasukkan
sebagai materi pendidikan.
8. Dalam rangka pengembangan afeksi peserta didik, ada baikanya kondisi ke arah itu
sengaja diciptakan, antara lain dengan menghadirkan jauh lebih banyak budaya
bangsa sendiri untuk menetralkan pengaruh budaya asing yang memang sulit
dibendung dalam abad informasi dan global ini

1. Untuk pendidikan afeksi yang berbentuk bidang studi,tekanan proses belajarnya


adalah pada aplikasi konsep-konsep yang dipelajari artinya sila-sila Pancasila dan
ajaran-ajaran agama diberi dan dibahas secukupnya, kemudian diterpkan dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik inilah yang menjadi pusat perhatian para pendidik
afeksi.
2. Untuk pendidikan afeksi yang diselipkan pada bidang studi lain, pendidikan cukup
menyinggung afeksi tertentu yang kebetulan tepat dimunculkan saat itu untuk
dipahami oleh peserta didik, dihayati,dan dilaksanakan jadi setiap pendidik ketika
mengajar atau tidak mengajar mendapat kesempatan yang baik untuk menyingguing
afeksi, haruslah hal itu didiikan kepada anak-anak.

H. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. 1. Implikasi Bagi Guru

Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat
pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional,
tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga
harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara
tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu
menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada
gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena
itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka
penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat
dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang
dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian
tujuan-tujuan instruksional khusus.

Perlu digaris bawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala
ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan
mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini
hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara
subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan
antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu
saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot
yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian
bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan.
Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.

1. 2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori
tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita
masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya
yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan
bangunan dasarnya.

Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada
diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud
memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi
bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang
panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek
terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang
menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan
perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-
jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan,
sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau
seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan
yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang
memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan
tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan
civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang
diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian
ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu
yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti
telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi
filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi
program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud
merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun
didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun
dari serangan-serangan konseptual.

REFERENSI
Bahri, Syamsul. 2007. Landasan Pendidikan. (http://www.wordpress.com/ syamsulbolg.html,
diakses tanggal 22 Maret 2007).

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Yakarta : Rineka Cipta.

Prawiradilaga, Dewi Salma dan Eveline Siregar. 2007. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta
: Universitas Negeri Jakarta.

PTS Online. 2007. Pentingnya Landasan Filsafat Ilmu Pendidikan.


(http://www.pts.co.id/filsafat.asp, diakses tanggal 22 Maret 2007).

Seels, Barbara B dan Richey, Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran Definis dan
Kawasannya. Jakarta : Universitas Negeri Jakarta.

Setiawan, Muhammad. 2007. Filsafat Pendidikan dan Implikasinya. RBI-Online. (www.rbi-


online.com/filsafat-pendidikan-dan-implikasinya.html, diakses tanggal 22 Maret 2008).

Tirtarahardja, Umar dan Sulo, S.L.La. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai