Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan


peningkatan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka
harapan hidup. Dengan semakin tingginya angka harapan hidup manusia maka PPOK
menjadi salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin sering dijumpai di
masa mendatang baik di negara maju maupun di negara berkembang. PPOK
diperkirakan akan menempati peringkat kelima urutan penyakit terbanyak di dunia
pada tahun 2020, penyebab kematian peringkat empat di Amerika Serikat, dan akan
menempati peringkat ketiga dari urutan penyebab kematian di dunia. (Murray CJ et
al., 1997)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di
5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%),
kanker paru (30%) dan lainnya (2%). Untuk Indonesia, penelitian COPD Working
Group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK
Indonesia sebesar 5,6%. (Depkes RI, 2008)
Pada tahun 2000 terdapat 35 juta geriatri di Amerika Serikat. Jumlah ini
diproyeksikan mencapai 53,7 juta pada tahun 2020 dan 70,33 juta pada tahun 2030.
Prevalensi PPOK pada lansia ≥65 tahun diperkirakan 14,2% (11-18%) dibandingkan
dengan 9,9% (8,2-11,8%) pada usia ≥40 tahun. Prevalensi PPOK naik dua kali lipat
setiap kenaikan usia 10 tahun (Hanania et al., 2010).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan gangguan paru yang
memberikan kelainan ventilasi berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat
progresif dan tidak sepenuhnya reversibel. Obstruksi ini berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya. Pada
PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut GOLD 2015, bronkitis
kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik
merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan
mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema
merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran
alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar. (GOLD, 2015)

2.2 Patogenesis PPOK


Pada PPOK terjadi penebalan pada saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi
folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan
restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat
penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
sakit. (Roche et al., 2011)
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotaktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotriene B4, tumor necrosis factor
(TNF), monocyte chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS) .
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. (Anderson, 2006)
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi
batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan
fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan
struktur berupa destruksi alveoli yang menuju ke arah emfisema karena produksi
radikal bebas yang berlebihan oleh polusi dan asap rokok. (de Boer et al., 2007)
Stress oksidatif meningkatkan patogenesis PPOK. Stres oksidatif merupakan
ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Paru secara kontinyu terpapar
oksidan baik endogen seperti respirasi mitokondria maupun eksogen misalnya asap
rokok. Asap rokok terdiri dari 5000 komponen dan 1017 radikal bebas tiap isapan dan
dapat menginduksi pembentukan reactive oxygen species (ROS) (de Boer et al.,
2007). ROS merupakan penyebab remodeling matriks ekstraseluler dan pembuluh
darah, meningkatkan sekresi mukus, inaktivasi antiprotease, memacu apoptosis, dan
proliferasi sel (de Boer et al., 2007; Roche et al., 2011).
Stres oksidatif terjadi pada paru, darah, dan otot. Stres oksidatif merupakan
kondisi dimana kadar ROS lebih tinggi dari antioksidan pada tubuh. Hipoksia
meningkatkan kadar ROS karena gangguan kerja mitokondria sel. Penderita PPOK
mengalami hipoksia kronik sehingga meningkatkan stres oksidatif. Stres oksidatif
akibat hipoksia disebabkan karena inflamasi efek dari pelepasan sitokin dan netrofil.
Hipoksia menjadi lebih buruk karena aktivasi nuclear factor kappa-β, faktor sentral
sebagai pemicu kaskade inflamasi. Stres oksidatif semakin berat ketika penderita
beraktivitas fisik. Stres oksidatif dapat mempengaruhi kemampuan kontraksi dan
fungsi otot (Koechlin et al., 2005).

2.3 Patofisiologi PPOK


Paru-paru dan dinding dada adalah struktur yang elastis. Dalam keadaan normal
terdapat lapisan cairan tipis antara paru-paru dan dinding dada sehingga paru-paru
dengan mudah bergeser pada dinding dada. Udara bergerak masuk dan keluar paru-
paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat
kerja mekanik otot-otot. (Guyton dan Hall, 2012)
PPOK merupakan suatu penyakit progresif yang mengakibatkan kemunduran
fungsi paru dan pertukaran gas secara bertahap. Manifestasi dini dari gejala PPOK
adalah sesak napas saat beraktivitas dan pengurangan aktivitas. PPOK merupakan
penyakit yang progresif dengan kerusakan dan remodelling jaringan paru, kurangnya
elastic recoil, perubahan ventilasi dan perfusi. Hambatan aliran udara merupakan
perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakibatkan oleh obstruksi saluran nafas
kecil dan emfisema. (GOLD, 2015)
Kelainan saluran napas dan parenkim paru yang terjadi berpengaruh pada
kerja otot-otot respirasi. Usaha inspirasi penderita PPOK meningkat lebih dari empat
kali dibandingkan orang normal. Kehilangan elastic recoil menyebabkan volume paru
saat relaksasi meningkat dan terjadi penutupan saluran napas kecil pada awal
ekspirasi (hiperinflasi statis). Ventilasi semenit saat istirahat meningkat 50% sebagai
kompensasi terhadap gangguan pertukaran gas. Meningkatnya frekuensi napas
menurunkan compliance paru dibawah nilai normal. Keterbatasan aliran udara
ekspirasi yang terjadi pada 60% penderita PPOK menghambat proses pengosongan
paru sehingga inspirasi dimulai pada saat paru belum mencapai volume relaksasinya
(hiperinflasi dinamik). (Ferguson, 2006)

2.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pada Lansia


Fungsi maksimum sistem pernafasan tercapai pada usia 20-25 tahun, setelah itu
penuaan berhubungan dengan penurunan progresif pada kemampuan paru. Meskipun
demikian, jika tidak terkena penyakit, sistem pernafasan tetap mampu untuk
mempertahankan pertukaran gas yang cukup sepanjang hidup. Perubahan fisiologis
terkait dengan penuaan mempunyai konsekuensi penting terhadap reservasi
fungsional pada lansia, dan kemampuannya untuk bertahan terhadap penurunan
kemampuan mengembang (compliance) paru dan peningkatan tahanan di jalan nafas
terkait dengan infeksi saluran pernafasan bawah. Perubahan fisiologis pada lansia
yang paling penting adalah: penurunan elastisitas paru, compliance dinding dada, dan
penurunan kekuatan otot-otot pernafasan. Perubahan pada parenkim paru
(pembesaran alveloli, atau ‘senile-emphysema’, penurunan diameter saluran nafas
kecil) dan penurunan terkait elastisitas paru, menyebabkan kenaikan pada functional
residual capacity (FRC): sehingga pasien lansia bernafas pada volume paru yang
lebih tinggi dan meningkatkan beban otot- otot pernafasan (Janssens & Krause,
2004). Klasifikasi dan perubahan struktural lain di tulang rusuk menjadikan kekakuan
dinding dada (compliance menurun), semakin meningkatkan kerja nafas. Perubahan
bentuk thoraks juga terjadi. Hal ini sebagai akibat dari osteoporosis dan fraktur
vertebra, sehingga terjadi kifosis dorsal dan peningkatkan diameter anteroposterior
(“barrel chest”), yang menurunkan lengkungan diafragma dan mempunyai efek
negatif pada kemampuannya. Kinerja otot pernafasan menjadi terganggu karena
kenaikan FRC terkait usia, penurunan compliance dinding dada dan perubahan
geometrik di tulang rusuk. Kekuatan otot pernafasan juga dipengaruhi oleh
ketersediaan energi (aliran darah, kandungan oksigen), status gizi (yang sering
menurun pada lansia), dan sarkopenia. Disfungsi otot pernafasan pada situasi dimana
terdapat beban tambahan pada otot pernafasan, seperti PPOK, dapat mengakibatkan
hipoventilasi dan gagal nafas hiperkapnik (Janssens & Krause, 2004). Pada lansia
sehat pun, laju klirens mukosilier lebih lambat jika dibandingkan dengan dewasa
muda. Lansia perokok mapun non-perokok mempunyai velositas mukus trachea yang
lebih rendah daripada usia muda. Lebih rendahnya sensitivitas pusat pernafasan
terhadap hipoksia atau hiperkapnia pada pasien lansia mengakibatkan hilangnya
respons ventilatori pada kasus-kasus seperti gagal jantung, infeksi, atau obstruksi
jalan nafas, sehingga gejala klinis penting seperti sesak nafas dan nafas cepat, tidak
langsung terlihat (Janssens & Krause, 2004).

2.5 Perubahan imunopatologis dan PPOK pada lansia


Pada lansia, kemampuan antigen-presenting cells (makrofag, sel dendritik) untuk
memproses dan mempresentasikan antigen ke sel-T masih baik. Kemampuan
kemotaksis, perlekatan, dan fagositosis dari monosit, makrofag, dan netrofil juga
tidak terpengaruh. Sebaliknya, penurunan kualitas pada imunitas humoral, yang
ditandai oleh hilangnya antibodi high affinity blocking dan naiknya antibodi self-
reactive telah dilaporkan pada lansia. Pada lansia, penurunan limfosit T tidak terjadi
atau hanya sedikit, namun, kemampuan untuk membentuk suatu respon imun cell-
mediated (limfosit T) menghilang (Janssens & Krause, 2004). Patologi PPOK cukup
kompleks dan meliputi inflamasi jalan nafas dan paru, penyempitan dan remodeling
jalan nafas, dan kerusakan parenkim paru. Selain itu, tidak cukup bukti untuk
mengatakan bahwa penyakit ini berhubungan dengan inflamasi sistemik, yang dapat
menjelaskan komorbiditas kardiak, kakeksia, dan kelemahan otot yang sering nampak
pada pasien. Kenaikan prevalensi PPOK terkait-usia menunjukkan bahwa perubahan
terkait proses penuaan dapat berperan terhadap patogenesis PPOK (Hanania et al.,
2010). Perubahan fisiologi pada PPOK bertanggungjawab untuk kelainan progresif
pada pasien lansia. Namun, banyak perubahan anatomi dan fisiologi pada PPOK juga
nampak pada paru pasien lansia yang tidak merokok. Hal ini menunjukkan bahwa
proses penuaan merupakan faktor yang berperan. “Senile emphysema” ditandai oleh
pelebaran ruang udara akibat hilangnya supporting tissue tanpa disertai kerusakan
dinding alveolar dan telah digambarkan pada lansia tanpa PPOK. Lebih jauh, penuaan
diperkirakan suatu kondisi proinflamasi yang berhubungan dengan disregulasi sistem
imun. Karena inflamasi jaringan dan sistemik yang berlebihan itu penting pada
patogenesis PPOK, maka perubahan imunologik pada PPOK dapat overlap dengan
bertambahnya usia. Hal ini menimbulkan penyebutan PPOK sebagai suatu “fenotipe
dipercepat penuaan” atau accelerated aging phenotype yang dipicu oleh rangsangan
berbahaya seperti merokok (Hanania et al., 2010). Disregulasi dari sistem imun
bawaan dan didapat telah dideskripsikan dalam patogenesis PPOK. Menua dan PPOK
ditandai dengan kenaikan sitokin proinflamatori, seperti interleukin (IL)-6 dan tumor
necrosis factor (TNF)-a yang berhubungan dengan penyakit inflamatori terkait-usia
dan berhubungan dengan derajat obstruksi pada PPOK. Penurunan tergantung-usia
pada sel T dengan ekspansi oligoklonal sel T CD8+ CD28null dari stimulasi antigen
kronik telah dideskripsikan. Kenaikan sel T regulatori CD8+ CD28null menghambat
respons sel T CD4+ spesifik- antigen, mengakibatkan penurunan respon imun adaptif.
Suatu regulasi paradoksal menaikan sistem imun bawaan untuk mengompensasi
penurunan fungsi imun adaptif, dapat terjadi dan mengakibatkan suatu status
proinflamatori. Disregulasi sistem imun adaptif dengan respons sistem imun bawaan
teraktivasi yang nampak pada lansia memicu penarikan dan retensi netrofil,
makrofag, dan sel T CD4+ dan CD8+ dalam paru perokok dengan PPOK. Paparan
terhadap inhalan berbahaya seperti asap rokok, yang memicu respons inflamatori dan
menarik sel inflamatori, mengawali suatu respon inflamatori. Ketika inflamasi
terpicu, suatu kaskade inflamasi dan kerusakan parenkim paru terjadi dan menetap.
Disregulasi respons imun dan inflamatori memediasi semua tahap dalam PPOK, dari
kerusakan paru awal hingga permanen, menyiratkan bahwa PPOK suatu penyakit
autoimun. PPOK pada non-perokok mungkin berhubungan dengan autoimun
spesifik-organ (Hanania et al., 2010).

2.6 Diagnosis PPOK


Gejala klinis yang biasa ditemukan pada penderita PPOK adalah batuk kronik,
berdahak kronik, sesak nafas. Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama 3
bulan dalam 2 tahun terakhir yang tidak hilang dengan pengobatan yang diberikan.
Batuk dapat terjadi sepanjang hari atau intermiten. Batuk kadang terjadi pada malam
hari. Berdahak kronik disebabkan karena peningkatan produksi sputum. Kadang
kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk.
Karakterisktik batuk dan dahak kronik ini terjadi pada pagi hari ketika bangun tidur.
Sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga
sesak ini tidak dikeluhkan. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti. (GOLD, 2015)
Selain gejala klinis, dalam anamnesis pasien juga perlu ditanyakan riwayat
pasien dan keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat.
Merokok merupakan faktor resiko utama untuk PPOK. Lebih dari 80% kematian
pada penyakit ini berkaitan dengan merokok dan orang yang merokok memiliki
resiko yang lebih tinggi (12-13 kali) dari yang tidak merokok. Resiko untuk perokok
aktif sekitar 45%. Faktor resiko lain juga berperan dalam peningkatan kasus PPOK
seperti paparan asap rokok pada perokok pasif, paparan kronis polutan lingkungan
atau pekerjaan, penyakit pernapasan ketika masa kanak-kanak, riwayat PPOK pada
keluarga dan defisiensi α1-antitripsin. (GOLD, 2015)
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan
berdahak dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang
yang berusia pertengahan atau yang lebih tua. (GOLD, 2015)

Tabel 1. Indikator variabel untuk mempertimbangkan diagnosis PPOK


Pertimbangkan PPOK, dan lakukan spirometri, jika ada dari beberapa indikator ini
muncul pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun. Indikator ini bukan
merupakan diagnosis, namun keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan
probabilitas diagnosis PPOK. Spirometri dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
PPOK
Sesak napas Progresif (memburuk sejalan dengan
waktu)
Biasanya memburuk dengan exercise
Persisten (terjadi tiap hari)
Batuk kronis Bisa intermiten atau tidak produktif
Produksi sputum kronis Segala jenis produksi sputum kronis dapat
mengindikasikan PPOK
Riwayat paparan faktor resiko, Asap rokok
terutama: Debu kerja atau kimia
Asap dapur dan kendaraan bermotor
Riwayat keluarga dengan PPOK
Sumber: GOLD, 2015
Tanda fisik pada PPOK jarang ditemukan hingga terjadi hambatan fungsi
paru yang signifikan. Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan
yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat
hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK derajat sedang dan PPOK derajat berat
seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada inspeksi dapat ditemukan bentuk dada barrel chest (dada seperti
tong), terdapat pursed-lips breathing (seperti orang meniup) dan terlihat penggunaan
dan hipertrofi otot bantu nafas. Pada palpasi dapat ditemukan sela iga melebar, pada
perkusi ditemukan suara hipersonor dan pada auskultasi dapat ditemukan fremitus
melemah, suara nafas vesikuler melemah atau normal dan ekspirasi memanjang,
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa.
(Celli et al., 2004)
Penegakan diagnosis dan derajat keparahan dapat dilakukan dengan
mengukur FVC dan FEV1 dengan spirometri. Pengukuran ini berfungsi mengukur
kecepatan fungsi paru dalam mengekspirasikan udara. Rasio FEV 1/FVC dapat
digunakan unuk menentukan derajat obstruksi saluran nafas. Penderita PPOK
mempunyai rasio FEV1/FVC < 0,7 (GOLD, 2015). Derajat keparahan PPOK
kemudian ditentukan berdasarkan FEV1 dan FEV1 prediksi seperti pada tabel 3
(GOLD, 2015).
Tabel 2. Klasifikasi derajat keparahan hambatan aliran udara pada PPOK
(berdasarkan FEV1 setelah pemberian bronkodilator)
Kategori GOLD Pada pasien dengan FEV1/FVC < 0,70
Tingkat Keparahan Pengukuran FEV1
GOLD 1 Ringan FEV1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ FEV1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ FEV1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat FEV1 < 30% prediksi
Sumber: GOLD, 2015

2.7 Penatalaksanaan PPOK


Penatalaksanaan PPOK bertujuan mempertahankan faal paru, meningkatkan kualitas
hidup dan mencegah eksaserbasi. Penatalaksanaan PPOK dapat mempertahankan
PPOK yang stabil dan mencegah eksaserbasi.
a. Menghindari rokok
Nikotin merupakan kandungan terbesar dalam rokok yang dapat menginduksi aktivasi
neutrofil dan makrofag menimbulkan radikal bebas yaitu reactive oxygen species
(ROS) yang pada dapat mengganggu struktur protein, lipid, asam deoksiribonukleat
saluran napas dan merangsang terjadinya apoptosis (Moretti & Marchioni, 2007).
Berhenti merokok dapat memperlambat progresivitas dari PPOK. Konseling berhenti
merokok dapat membantu pasien yang mau berhenti merokok. Farmakoterapi
dilakukan jika konseling tidak efektif. Varenicline dapat membantu penghentian
merokok dengan mengurangi gejala nicotine withdrawal dan menurunkan efek
samping nikotin yang aman dengan efikasi cukup tinggi (Ebbert, 2015).
b. Mengurangi paparan polutan.
Menurunkan polusi di dalam dan luar ruangan memerlukan sinergi antara kebijakan
politik, sumber daya nasional dan lokal, perubahan budaya, dan langkah protektif dari
individu. Sistem ventilasi yang efektif, bahan bakar memasak yang tidak
menghasilkan polusi dan intervensi sejenisnya harus lakukan (GOLD, 2015).
c. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan terapi utama pada PPOK untuk memperbaiki gejala klinis
dengan menurunkan hiperinflasi dan sesak nafas dengan peningkatan sekitar 10%
FEV1. Pemakaian β2 agonis jangka panjang menurunkan kejadian eksaserbasi karena
menurunkan adhesi bakteri seperti Haemophylus influenza pada sel epitel saluran
nafas (Dowling et al., 1998). Antikolinergik lebih efektif untuk PPOK dibanding β 2
agonis. Antikolinergik tiotropium bromide mempunyai durasi yang lebih lama dan
diberikan sekali sehari (Rennard et al., 1996). Pasien PPOK menggunakan β 2 agonis
dan antikolinergik kerja panjang. Bronkodilator inhalasi lebih dianjurkan daripada
bronkodilator oral terkait efikasi dan efek samping. Terapi teofilin direkomendasikan
bila bronkodilator kerja panjang tidak tersedia. (GOLD, 2015).
Apabila diberikan secara inhalasi, antikolinergik seperti ipratropium dan atropine
menyebabkan efek bronkodilatasi, yaitu melalui penghambatan secara kompetitif
terhadap reseptor kolinergik yang ada di otot polos bronkus. Aktivitas tersebut akan
menghambat asetilkolin, yang selanjutnya berefek pada pengurangan cyclic
Guanosine Mono Phosphate (cGMP), dimana cGMP ini secara normal berperan pada
konstriksi otot polos bronkus (Bourdet & Williams, 2005). Ipratropium bromida dan
tiotropium bromida merupakan golongan antikolinergik yang dapat memberikan
manfaat paling besar serta efek samping yang paling kecil. Ipratropium tersedia
dalam bentuk Metered Dose Inhaler (MDI) dan larutan inhalasi yang menunjukkan
puncak efek pada 1,5-2 jam dan durasi kerja 4-6 jam (Bourdet & Williams, 2005).
Ipratropium bromida diberikan dengan dosis 2 inhalasi 4x sehari dan dapat
ditingkatkan sampai 12 inhalasi per hari jika perlu. Efek sampingnya jarang terjadi
dan biasanya berupa mulut kering, rasa pahit, batuk, dan mual (Goldsmith & Weber,
2000).
d. Oksigen
Penggunaan terapi oksigen di rumah banyak dilakukan di Amerika Serikat, yaitu
sekitar lebih dari 30%. Tujuan utamanya pemberian oksigen adalah meningkatkan
baseline PaO2 minimal 8,0 kPa (60 mmHg) saat istirahat, dan/atau saturasi O 2
minimal 90% untuk menjamin suplai oksigen pada fungsi organ vital. Penggunaan
terapi oksigen jangka panjang menurunkan mortalitas dan memperbaiki kualitas
hidup pasien PPOK derajat berat dengan tekanan parsial oksigen arteri <55 mmHg
(Corrado et al., 2010). Pemberian oksigen pada PPOK derajat berat ada tiga cara,
yaitu kontinyu jangka panjang (>15 jam per hari), pada exercise, dan mengurangi
sesak napas akut (Carpagnano et al., 2004).
e. Kortikosteroid
Penelitian terkini menunjukkan terapi kortikosteroid inhalasi jangka lama tidak
mengurangi progresivitas PPOK. Kortikosteroid inhalasi tidak menekan proses
inflamasi. Kortikosteroid hanya berpangaruh pada fungsi netrofil. Sekitar 10% pasien
PPOK mengalami perbaikan klinis dengan kortikosteroid oral. Kortikosteroid inhalasi
bermanfaat pada kondisi eksaserbasi (Paggiaro et al., 1998). Terapi kortikosteroid
inhalasi jangka panjang direkomendasikan pada pasien PPOK berat dan sangat berat
yang sering mengalami eksaserbasi, yang tidak terkontrol secara adekuat dengan
bronkodilator aksi panjang (GOLD, 2015).
Beberapa produk kortikosteroid inhalasi tersedia di pasaran, namun flutikason dan
budesonid memberikan potensi dan bentuk sediaan yang lebih nyaman bagi pasien
karena membutuhkan inhalasi yang lebih sedikit dibanding yang lain. Dosis tinggi
budesonid berada pada kisaran 600-1000 µg/hari (3-5 inhalasi), sedangkan dosis
pemeliharaan yang rendah antara 200-400 µg/hari (1-
inhalasi). Flutikason memiliki potensi 220 µg/puff, dengan dosis pemeliharaannya
berada pada kisaran 220-440 µg/hari (Goldsmith & Weber, 2000). Terapi untuk
pasien eksaserbasi akut dimulai dengan metilprednisolon 0,5- mg/kg setiap 6 jam.
Bila gejala pasien telah membaik dapat diganti dengan prednison 40-60 mg sehari.
Steroid sebaiknya dihentikan secara tapering untuk meminimalisasi penekanan
hypothalamic pituitary adrenal (HPA). Bila diperlukan terapi lebih lama, digunakan
dosis rendah yaitu 7,5 mg/hari, diberikan pada pagi hari atau selang hari.
Tabel 3. Tatalaksana Farmakologis pasien PPOK
Grup Pilihan I Pilihan II Pilihan
Pasien Alternatif
A SABA prn LABA Teofilin
atau atau
SAMA prn LAMA
atau
SABA + SAMA
B LABA LAMA + LABA SABA
atau dan/atau
LAMA SAMA
Teofilin
C ICS + LABA LAMA + LABA PDE-4 inhibitor
atau SABA
LAMA dan/atau
SAMA
Teofilin
D ICS + LABA ICS + LAMA Karbosistein
atau atau
LAMA ICS + LABA + LAMA SABA dan/atau
atau
SAMA
ICS + LABA + PDE-4
inhibitor
Teofilin
atau
LAMA + LABA
atau
LAMA + PDE-4 inhibitor
(Sumber: GOLD, 2015)
ICS, inhaled corticosteroid; LABA, long-acting β2-adrenergic agonist; LAMA, long-
acting muscarinic antagonist; PDE-4, phosphodiesterase-4; prn, jika perlu; SABA,
short-acting β2-adrenergic agonist; SAMA, short-acting muscarinic antagonist

Algoritme penatalaksanaan PPOK stabil menurut Global Initiative for Chronic


Obstructive Lung Disease (GOLD)
f. Vaksinasi
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima vaksin pneumococcal. Christenson
(2001) telah melaporkan bahwa insiden penumonia pada kelompok yang mendapat
vaksinasi turun 29% dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan
vaksinasi, sedangkan insiden invasive pneumococcal disease turun sampai dengan
52%. Di bidang imunisasi pneumonia, tidak semua penelitian menunjukkan manfaat
yang meyakinkan. Joint Committee on Vaccination and Immunization (JVCI) pada
Januari 2009 mengusulkan bahwa vaksin pneumoccocal konjungate (serotipe 711)
mungkin memberikan hasil yang lebih menjanjikan daripada vaksin pneumoccocal
polisakarida yang sekarang dipakai untuk program immunisasi usila di seluruh dunia.
Sementara menunggu studi akan hal vaksin konjungate ini, JVCI menganjurkan
bahwa vaksinasi pneumoccocal polisakarida masih dapat dilakukan namun persiapan
untuk perubahan akan penggunaan jenis vaksin konjungate sudah mulai dipikirkan.
Walaupun masih terdapat perdebatan tentang manfaat imunisasi pneumonia dengan
vaksin 23valen ini, WHO mengeluarkan ketetapan bahwa vaksinasi pneumonia pada
usila dinyatakan cukup efektif, terutama untuk melindungi usila sehat terhadap
invasive disease (pneumonia yang berpenyulit meningitis, septikemia dan
pneumococcal pneumonia). Vaksinasi pneumokokkus direkomendasikan pada semua
pasien imunokompeten di atas 65 tahun bersamaan pada lokasi yang berbeda tanpa
peningkatan efek samping. Jenis vaksin yang tersedia adalah Pneumo23® (Sanofi
Pasteur). Dosis untuk lansia sama seperti dewasa yaitu 0,5 ml disuntikan subkutan
atau intramuscular.
BAB III
KESIMPULAN

Populasi usia lanjut di seluruh dunia terus meningkat, seiring dengan peningkatan
pelayanan kesehatan yang memberikan dampak meningkatnya angka harapan hidup.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.
Perubahan fisiologis terkait dengan penuaan mempunyai konsekuensi penting
terhadap reservasi fungsional pada lansia, dan kemampuannya untuk bertahan
terhadap penurunan kemampuan mengembang (compliance) paru dan peningkatan
tahanan di jalan nafas terkait dengan infeksi saluran pernafasan bawah.
Pasien penderita PPOK sebaiknya menerima vaksin pneumococcal untuk
mencegah terjadinya pneumonia sebagai penyebab PPOK mengalami eksaserbasi.
Christenson (2001) telah melaporkan bahwa insiden penumonia pada kelompok yang
mendapat vaksinasi turun 29% dibandingkan dengan kelompok yang tidak
mendapatkan vaksinasi, sedangkan insiden invasive pneumococcal disease turun
sampai dengan 52%.
DAFTAR PUSTAKA

Agusti, A., 2007. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc
Am Thorac Soc; 4: 522-25.
Anderson, G. 2006. COPD, Asthma, and C-Reactive Protein. Eur Respir J; 27: 874-
876.
Bianchi, R., Gigliotti, F., Romagnoli, I., Lanini, B., Castellani, C., Binazzi, B., et al.,
2007. Patterns of chest wall kinematics during volitional pursed-lip breathing
in COPD at rest. Respiratory Medicine (2007) 101, 1412–18
Carpagnano, G.E., Kharitonov, S.A., Foschino-Barbaro, M.P., Resta, O., Gramiccioni,
E., Barnes, P.J., 2004. Supplementary oxygen in healthy subjects and those
with COPD increases oxidative stress and airway inflammation. Thorax
59:1016–1019.
Cavailles, A., Brinchault-Rabin, G., DDixmier, A., Goupil, F., Gut-Gobert, C.,
Marchand-Adam, S., et al. 2013. Comorbidities of COPD. Eur Respir J 2013;
22: 130.
Collins, P.F., Stratton, R.J., Elia, M., 2012. Nutritional support in chronic obstructive
pulmonary disease: a systematic review and meta-analysis. Am J Clin Nutr
2012;95:1385–95.
Corrado, A., Renda, T., Bertini, S., 2010. Long-Term Oxygen Therapy in COPD:
evidences and open questions of current indications. Monaldi Arch Chest Dis.
73:1, 34-43
De Boer, W., Yao, H., Rahman, I. 2007. Future Therapeutic Treatment of COPD :
struggle between oxidants and cytokines. International Journal of COPD;
293: 205-228.
Division Of Mental Health And Prevention Of Substance Abuse World Health
Organization, 1997. WHOQOL Measuring quality of life. WHO, 1997.
Dowling, R.B., Johnson, M., Cole, P.J., Wilson, R. 1998. Effect of Salmeterol on
Haemophilus Influenzae Infection of Respiratory Mucosa in vitro. Eur Respir
J; 11:86-90.
Ebbert, J.O., Hughes, J.R., West, R.J., Rennard, S.I, Russ, C., McRae, T.D., et al.,
2015. Effect of Varenicline on Smoking Cessation Through Smoking
Reduction: A Randomized Clinical Trial. JAMA. 313(7):687-694.
Fadda, G., Jiron, R., 1999. Quality of life and gender: a methodology for urban
research. Environment & Urbanization vol.11, 1999.
Fregonezi, G.A., Resqueti, V.R., Güell-Rous, R., 2004. Pursed-lips Breathing. Arch
Bronconeumol 40(6): 279-82.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2015. Pocket Guide
to Chronic Obstructive Pulmonary Disease Diagnosis, Management, and
Prevention. Summary of patient care information for primary health care
professionals [Updated 2015]. Available from; URL: www.gold-copd.org.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2012. Textbook of medical physiology 12th edition. Unit VII,
Respiration, 465-69. Jackson, Mississippi.
Harris, R.S., 2005. Pressure-volume curves of the respiratory system. Respir Care
2005;50(1):78–98.
Heaney, L., Masih, I. 2012. Inflammation in COPD and New Drug Strategies.
Available from; URL: www.cdn.intechopen.com.
Ikalius, Yunus, F., Suradi, Rachma, N., 2007. The Changes of Quality of Life and
Functional Capacity of COPD Patients after Pulmonary Rehabilitation
Program. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 12

Maltais, F., Simard, A.A., Simard, C., Jobin, J., Desgagnes, P., LeBlanc, P., Janvier,
R. 1996. Oxidative Capacity and Lactic Acid Kinetics During Exercise in
Normal Subjects. Am J Respir Crit Care Med; 153: 288-293.
Tim Depkes RI, 2008. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1022/Menkes/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan-Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular.
World Health Organization (WHO). Tobacco Free Initiative Chronic Obstructive
Lung Disease. WHO, 2015.

Anda mungkin juga menyukai