Jbptitbpp GDL Ersamricha 22712 4 2011ta 3 PDF
Jbptitbpp GDL Ersamricha 22712 4 2011ta 3 PDF
3.1. Geomorfologi
Peta Elevasi
Daerah Sadeng-Leuwiliang,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat
U
0 2 km
Keterangan
Elevasi (meter)
325 >
300 - 325
275 - 300
250 - 275
225 - 250
200 - 225
175 - 200
150 – 13.5
135 - 50
Gambar 3.1. Peta Elevasi Daerah Sadeng-Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Peta ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah penelitian berupa
dataran rendah. Perbukitan cenderung terletak di sebelah utara daerah
penelitian.
Secara umum, daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif renggang-sangat rapat
dan terletak pada ketinggian topografi antara 85 mdpl – 396 mdpl (Gambar 3.1). Bentuk
morfologi di daerah penelitian sangat dikontrol oleh jenis litologi dan struktur geologi
14
dengan kemiringan lereng sangat landai hingga sangat terjal. Morfologi di daerah
penelitian umumnya berupa rangkaian perbukitan, punggungan, gawir, dataran, dan
lembah yang sebagian besar tertutupi oleh vegetasi hutan tropis, persawahan, perkebunan,
dan pemukiman.
Pola aliran sungai merupakan ekspresi dari karakter litologi serta control struktur
geologi yang berkembang di suatu daerah tertentu. Pola aliran sungai yang berkembang di
daerah penelitian berdasarkan pengamatan pada peta topografi Bakosutranal skala
1:25.000 dan pengamatan lapangan adalah pola aliran subparalel (Gambar 3.2) (Howard,
1967 dalam van Zuidam, 1985).
Pola aliran ini menempati seluruh daerah. Pola aliran subparalel yang terbentuk
ditafsirkan berkaitan erat dengan topografi yang memiliki kemiringan yang seragam dan
dicirikan oleh posisi hulu sungai yang hampir sama. Pada Pola aliran sungai Subparalel
ini, sungai – sungai kecil yang ada mengalir mengikuti kemiringan lereng perbukitan ke
15
arah lembah yang terdapat memanjang barat – timur di tengah daerah penelitan yang
selanjutnya bermuara pada sungai Cikaniki yang merupakan sungai besar dan utama di
daerah penelitian yang mengalir ke arah timur. Bentuk topografi seperti ini
diinterpretasikan merupakan sayap dari sebuah lipatan dengan jenis litologi dan tingkat
resistensi terhadap erosi permukaan yang seragam atau hampir seragam sehingga
menghasilkan pola aliran subparalel. Adapun kontrol utama yang membentuk pola aliran
Subparalel ini adalah pengaruh dari kemiringan lereng bukit dan keseragaman litologinya.
Tipe genetik sungai yang terdapat pada pola aliran Subparalel ini adalah tipe Konsekuen
di sebelah selatan daerah penelitian dan tipe Obsekuen pada bagian utaranya.
Berdasarkan hal tersebut diatas dan mengacu kepada klasifikasi van Zuidam
(1985) yang mendiskripsikan suatu bentuk bentang alam berdasarkan morfografi,
morfometri, dan material penyusun, maka geomorfologi di daerah penelitian dapat
dikelompokan menjadi dua satuan geomorfologi yaitu :
16
Morfologi dicirikan oleh daerah yang terjal membentuk perbukitan. Ekspresi
morfologi menunjukkan satuan ini memiliki relief yang rapat dan menunjukkan bahwa
satuan ini memiliki tingkat resistensi yang tinggi terhadap erosi dan denudasi. Kondisi
lapangan yang nampak pada satuan morfologi ini berupa perbukitan memanjang barat-
timur dengan besar sudut lereng mengah (20o – 45o) yang melandai ke arah selatan (Foto
1). Litologi satuan morfologi ini terdiri dari batupasir tufaan, lempung tufaan, dan
perselingan antara kedua serta konglomerat tufaan.
Satuan lembah antiklin meliputi ± 60 % dari luas daerah penelitian dan ditandai
dengan warna kuning pada peta geomorfologi (Lampiran D). Satuan ini terletak pada
bagian tengah peta memanjang barat- timur, dikelilingi oleh perbukitan yang berada di
bagian utara. Satuan ini berada pada ketinggian 91-278 meter diatas permukaan laut dan
meliputi daerah Desa Kalong 2, Sadeng, dan Leuwiliang.
17
Morfologi yang terdapat pada satuan ini dicirikan oleh daerah yang landai hingga
sedang membentuk lembah (Foto 2). Ekspresi morfologi yang halus dan datar
menunjukkan bahwa satuan ini memiliki tingkat resistensi yang rendah terhadap erosi dan
denudasi. Litologi penyusun satuan ini adalah batulempung sisipan batupasir dengan
kemiringan lapisan berkisar antara 25-48o dan pola umum berarah utara dan selatan
membentuk suatu antiklin. Pola aliran sungai yang terdapat pada satuan ini adalah pola
aliran Subparalel.
3.2. Stratigrafi
Secara regional, pada Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi, 1998) daerah penelitian
terdiri dari empat satuan yaitu, Formasi Bojongmanik (Tmb), Anggota Batugamping
Formasi Bojongmanik (Tmbl), Tuf dan Breksi (Tmtb), dan Aluvial.
Berdasarkan jenis batuan, keseragaman, dan ciri-ciri fisik batuan yang dapat diamati
di lapangan. Satuan batuan di daerah penelitian dibagi menjadi empat satuan batuan tidak
resmi. Stratigrafi daerah penelitian diurutkan dari tua ke muda adalah sebagai berikut
(Tabel 3.1) dan kolom kesebandingan stratigrafi daerah penelitian (Tabel 3.2).
18
Tabel 3.1. Kolom stratigrafi kesebandingan daerah penelitian dengan Lajur Bogor.
19
Tabel 3.2. Kolom stratigrafi daerah penelitian
20
3.2.1. Satuan Batulempung
Satuan ini meliputi 40% dari luas daerah penelitian dan tersingkap di bagian
tengah daerah penelitian dengan penyebaran dari barat ke arah timur. Kondisi singkapan
yang dijumpai umumnya tidak begitu baik karena sebagian besar telah lapuk atau tertutup
vegetasi, longsoran ataupun air sungai, hanya beberapa tempat saja keadaan singkapan
dapat diamati dengan baik dan jelas. Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di
hilir Sungai Cinanggung dan Sungai Cisalak.
Oleh karena tidak ditemukannya batas bawah dari satuan ini, penulis tidak dapat
menentukan dengan pasti ketebalan formasi ini, tetapi dari pengukuran penampang terukur
yang dilakukan bahwa ketebalan sebenarnya dari Satuan Batulempung ini adalah lebih
dari 500,25 meter.
21
Batugamping ini merupakan lensa-lensa di dalam satuan batulempung. Pada perselingan
batulempung-batugamping terisi kalsit pada retakan-retakannya, berstruktur sedimen
laminasi sejajar dan pecah-pecah.
22
Foto 4. Singkapan batupasir yang kaya akan koral dan sisa pecahan cangkang moluska di
lokasi Sungai Cisalak (ER-509).
Foto 5. Singkapan batugamping terumbu (ER-606 (a), ER-508 (b), dan ER- 608 (c))
23
3.2.1.3. Mekanisme dan Lingkungan Pengendapan
d. Membandingkan suatu profil yang terdapat pada daerah penelitian dengan suatu
model lingkungan pengendapan yang sudah ada.
Dari segi litologi dan struktur sedimen, bagian bawah Satuan Batulempung di
daerah penelitian, pada umumnya dijumpai singkapan lempung, serta banyak terdapatnya
struktur sedimen yang berupa acakan binatang (bioturbasi) pada bagian tengah dengan
urutan litologi yang umumnya memperlihatkan pengasaran ke atas. Keadaan tersebut
menunjukkan lingkungan pengendapan dekat pantai hingga neritik.
Mineral khas yang dijumpai pada umumnya adalah glaukonit sedangkan pirit
dalam jumlah yang lebih sedikit. Adanya mineral glaukonit ini dianggap sebagai indikasi
langsung akan dekatnya pantai dalam lingkungan marin. Sedangkan mineral pirit secara
teoritis terbentuk pada lingkungan dengan pH basa.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Satuan Batulempung yang tersingkap
di daerah penelitian merupakan Formasi Cibulakan bagian atas yang diendapan pada
24
lingkungan laut dangkal dengan mekanisme pengendapan berupa arus traksi. Selain itu
dengan ditandai oleh mulai banyak bermunculannya batugamping boundstone dapat
diperkirakan bahwa Satuan Batulempung yang terdapat di daerah penelitian ini
diendapkan dalam keadaan laut yang tenang dan kondisi tektonik yang relatif stabil.
Gambar 3.3. Zonasi Marginal Reef. Menunjukkan korelasi antara fasies batugamping
dengan lingkungan pengendapannya.
Hubungan stratigrafi satuan ini dengan satuan di bawahnya yang lebih tua tidak
diketahui karena tidak tersingkap di daerah penelitian, sedangkan hubungannya dengan
Satuan Batupasir adalah ditutupi secara tidak selaras. Perubahan dari lingkungan darat
fluviatil menjadi lingkungan neritik tepi (kedalaman 0 – 30 meter). Hubungan ini
diinterpretasi berdasarkan arah jurus yang sama dari kedua satuan batuan tersebut yang
mencerminkan umur yang sama dan berdasarkan pengamatan petrografi yang
menunjukkan bahwa litologi dari kedua satuan batuan tersebut bersifat tufaan dan
25
diinterpretasikan berasal dari sumber yang sama yaitu dari daerah selatan penelitian
(Martodjojo, 1984).
Satuan ini meliputi 40% dari luas penelitian, tersebar di bagian utara dan selatan
daerah penelitian dengan penyebaran yang memanjang dari bagian barat ke timur.
Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di Sungai Cisalak, Sungai Cinanggung,
Sungai Cisaru, Sungai Cikowol, dan Sungai Cikamaung. Satuan ini memiliki jurus lapisan
batuan secara umum berarah barat – timur dengan kemiringan lapisan batuan berkisar
antara 30o – 55o ke arah utara dan selatan.
Pada Satuan Batupasir, batas bawah dan atasnya tersingkap di lapangan, sehingga
ketebalannya dapat diukur. Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, maka ketebalan
satuan ini diperkirakan sekitar 282, 66 meter.
Satuan ini terdiri dari litologi berupa batupasir, konglomerat, tuff dan
batulempung. Batupasir dengan ciri litologi warna abu-abu terang, kehijauan –
kekuningan, halus – sedang, kemas terbuka, pemilahan sedang – buruk, fragmen litik dan
kuarsa, ukuran pasir kasar – kerikil, menyudut tanggung – membulat tanggung, porositas
sedang – baik, non karbonatan, kompak, dan setempat mengandung sisa kayu yang
terkesikkan yang merupakan ciri penting dari Formasi Bojongmanik (Foto 6). Struktur
sedimen yang teramati adalah struktur perlapisan sejajar dengan lapisan yang tebal,
laminasi sejajar, dan laminasi silang siur. Pengamatan petrografi pada litologi ini
menunjukkan bahwa litologi ini adalah batupasir tufaan (Lampiran A, ER-306), tekstur
klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, beberapa menunjukkan point contact dan long
contact, butiran (40%) terdiri dari butiran kuarsa (12%), plagioklas (5%), mineral opak
(3%), dan fragmen batuan (20%), berukuran 0.1 mm – 1 mm, berbentuk menyudut
tanggung – membulat tanggung, tertanam dalam matriks (45%) yang terdiri dari tuf (40%)
dan gelas vulkanik (5%) berwarna coklat kekuningan keruh yang hadir mengikat butiran.
Porositas (15%) berupa porositas intergranular.
26
Konglomerat umumnya hadir sebagai sisipan pada batupasir, setempat hadir dalam
bentuk masif dan dalam bentuk perlapisan dengan batupasir, dengan ciri litologi : warna
abu-abu, kemas terbuka, pemilahan buruk, fragmen polimik berupa litik dan kuarsa,
ukuran kerikil – kerakal, bentuk membulat – membulat tanggung, kompak, dan keras
(Foto 7).
Batulempung hadir dalam bentuk struktur masif dengan ciri litologi warna abu-abu
terang – kehijauan, kompak – getas, dan non karbonatan (Foto 8). Setempat terlihat bahwa
batulempung telah mengalami oksidasi dicirikan dengan berwarna kemerahan.
Secara megaskopis, Tuff (Foto 9) berwarna putih, ukuran butir pasir halus hingga
kasar, bentuk butir membulat tanggung, terpilah baik, kemas tertutup, mineral terdiri dari
mineral gelas dan opak.
Foto 6. Singkapan batupasir dengan sisipan konglomerat di lokasi Sungai Cisaru (ER-306)
Foto 7. (a) Singkapan batupasir yang memperlihatkan struktur sedimen perlapisan sejajar
dengan lapisan yang tebal di lokasi Sungai Cisaru (ER-307), (b) Singkapan batupasir yang
mengandung sisa arang kayu di lokasi Sungai Cinanggung (ER-401).
27
Foto 8. Singkapan batulempung di lokasi Sungai Cisalak (ER-208)
28
3.2.2.3. Mekanisme dan Lingkungan Pengendapan
Berdasarkan pada pengamatan data lapangan terhadap Satuan Batupasir ini yang
berupa :
a. Adanya perulangan jenis litologi yang terdiri dari batupasir tufaan, konglomeratan,
lempung tufaan, dan tufa.
e. Bentuk dan jenis struktur sedimen yang menunjukkan adanya aktifitas arus traksi.
Maka secara umum dapat dikatakan bahwa Satuan Batupasir ini terbentuk pada
“lingkungan darat” (fluvial). Selain itu, dari pengamatan singkapan dapat dilihat bahwa
pada bagian bawah Satuan Batupasir ini, perubahan jenis litologi terjadi secara berangsur
makin menghalus ke atas, dari batupasir kasar berstruktur sedimen silang-siur, sampai
pada lempung yang berlaminasi tipis.
Pada awalnya dalam menentukan umur formasi ini, penulis memakai metoda
analisa mikropaleontologi, tetapi karena pada semua contoh batuan formasi ini tidak
dijumpai adanya fosil foraminifera maupun moluska selain sisa kayu yang terkersikkan,
sehingga secara paleontologi umurnya sulit ditentukkan.
29
3.2.3. Satuan Breksi Piroklastik
Satuan ini meliputi 15% dari luas daerah penelitian, terletak di bagian utara daerah
penelitian dengan penyebaran memanjang dari barat ke timur dan di utara daerah
penelitian. Penyebaran satuan ini dapat diamati dengan baik di Sungai Citampuan, Sungai
Gunungpeteuy, Sungai Cisalak, Sungai Cinanggung, Sungai Cisaru, Sungai Cikowol, dan
Sungai Cikamaung.
Foto 10. Satuan Breksi Piroklastik menutupi secara tidak selaras Satuan Batupasir (ER-503)
Kondisi singkapan batuan ini, umumnya dijumpai dalam keadaan lapuk, terutama
disebelah utara. Pada daerah dengan kondisi pelapukannya yang intensif, satuan batuan ini
hanya akan terlihat sebagai bongkah-bongkah batuan beku atau sedimen besar yang
sebenarnya merupakan fragmen yang dikelilingi oleh masa dasar yang telah lapuk. Sifat
lain yang ditemukan pada Satuan Endapan Vulkanik ini ialah sifat mudah mengurai yang
30
menunjukkan bahwa satuan tersebut belum terkompaksikan secara kuat akibat belum
cukupnya waktu dalam mengalami tekanan yang dihasilkan oleh gejala-gejala geologi.
Satuan ini menutupi Satuan Batupasir secara tidak selaras (Foto 10). Selain itu
pada satuan ini, tidak ditemukan adanya fosil yang berarti bagi penentuan umurnya,
sehingga dalam menentukan umur satuan batuan ini, penulis berpedoman pada literatur
yang telah ditulis oleh peneliti terdahulu, dan kedudukan stratigrafi satuan batuan tersebut.
Satuan ini terdiri dari litologi berupa breksi piroklastik dan lava andesit. Breksi
piroklastik dengan ciri litologi warna abu-abu putih – kekuningan, pemilahan buruk,
kemas terbuka, fragmen monomik berupa batuan beku andesit, kerikil – bongkah,
menyudut – menyudut tanggung, mengambang dalam masadasar berukuran debu halus –
debu sedang berupa tuf krital-gelas (Foto 11).
31
3.2.3.3. Umur dan Hubungan Stratigrafi
Berdasarkan ciri-ciri litologi yang teramati, maka satuan ini dapat disebandingkan
dengan Satuan Tuf dan Breksi (Tmtb) yang berumur Miosen Akhir (Effendi, dkk., 1998).
Hubungan stratigrafi satuan ini dengan Satuan Batupasir di bawahnya adalah tidak selaras
(Effendi, dkk., 1998). Hal ini juga diperkuat dengan pengamatan lapangan, dimana
penyebaran Satuan Breksi Piroklastik memotong penyebaran dari Satuan Batupasir di
bawahnya.
Foto 12. Fragmen Batuan Andesit dari Satuan Breksi. Fragmen ini memiliki ukuran
bongkah (ER-502)
32
3.2.4. Satuan Endapan Aluvial
Satuan Endapan Aluvial ini meliputi sekitar 5% dari keseluruhan luas daerah
penelitian. Penyebaran satuan endapan aluvial ini terutama menempati pada tepi kanan
dan kiri aliran sungai besar yang ada, terutama Sungai Cikaniki. Di lapangan satuan
endapan aluvial ini dijumpai pada aliran Sungai Cikaniki di sekitar daerah Sadeng Kidul
dan pada pertemuan Sungai Cikaniki dan Sungai Cikowol, di sekitar daerah Desa Sadeng.
Secara litologi, satuan ini dicirikan oleh fragmen-fragmen batuan beku maupun
sedimen, pasir, dan lempung yang belum terkompaksikan secara sempurna dan belum
terdeformasi, sehingga sifatnya mudah terurai (Foto 13). Ketebalan Satuan Endapan
Aluvial ini berkisar antara beberapa sentimeter hingga 5 meter. Dilihat dari kedudukan
stratigrafinya, satuan endapan aluvial ini menutupi secara tidak selaras satuan batuan yang
ada di bawahnya.
33
3.3. Struktur Geologi
Struktur homoklin yang terdapat pada Satuan Batupasir dan Satuan Batulempung.
Struktur antiklin yang terdapat pada Satuan batupasir dan Satuan Batulempung.
Struktur ini terdapat pada satuan Batupasir dan satuan Batulempung yang
terbentuk setelah pengendapan dari kedua satuan batuan tersebut. Berdasarkan pengukuran
jurus dan kemiringan lapisan batuan serta rekonstruksi penampang geologi, secara umum
jurus lapisan batuan berarah barat – timur dengan kemiringan lapisan batuan berkisar
antara 30o - 55o ke arah utara. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah
penelitian memiliki struktur homoklin berupa sayap lipatan antiklin dengan sumbu lipatan
terletak di daerah penelitian.
Adanya lipatan pada daerah penelitian dapat disimpulkan dari perubahan arah
kemiringan pada lapisan batuan. Jenis lipatan pada daerah penelitian didasarkan pada
klasifikasi Rickard (1971) dalam Harsolumakso (1997) dan klasifikasi sudut antar sayap.
Struktur lipatan di daerah penelitian memiliki arah sumbu lipatan Timur-Barat. Seperti
telah disebutkan sebelumnya, arah lipatan ini telah dapat dilihat dari arah umum kelurusan
yang terdapat di daerah penelitian. Struktur lipatan tersebut didapatkan dari hasil
rekonstruksi penampang geologi dari kedudukan lapisan yang diamati di daerah
penelitian. Berdasarkan arah sumbu lipatan, dapat diambil kesimpulan awal bahwa arah
tegasan utama yang bekerja di daerah penelitian memiliki arah Utara-Selatan yang erat
kaitannya dengan peristiwa tektonik berupa berpindahnya busur magmatik dari selatan
Pulau Jawa ke tengah Pulau Jawa.
34
3.3.2.1. Lipatan Antiklin
Pada daerah penelitian, lipatan antiklin ditandai dengan adanya perubahan jurus
dan kemiringan yang ditemukan pada daerah Sadeng-Jambu. Kedudukan lapisan
batulempung pada meander Sungai Cikaniki adalah N250°E/60°NE, sedangkan pada
Sungai Citeras memiliki kedudukan lapisan N124°E/50°SW. Arah sumbu lipatan memiliki
arah timurlaut-baratdaya. Perlipatan diperkirakan terjadi pada kala Miosen Akhir setelah
diendapkan Formasi Cibulakan dan Bojongmanik (Martodjojo, 1984).
Berdasarkan analisis kinematika dari data struktur yang terdapat pada daerah
penelitian struktur geologi yang terbentuk berupa lipatan antiklin. Analisis tegasan
berdasarkan model pure shear (Gambar 4), arah tegasan yang menyebabkan terbentuknya
lipatan yang berarah barat – timur (Antiklin Leuwisadeng). Pola struktur berupa lipatan
melibatkan satuan batuan yang tertua pada daerah penelitian yaitu Satuan Batulempung
dan Satuan Batupasir yang berumur Miosen Tengah. Hal ini ditunjukkan oleh adanya
pembalikan kemiringan lapisan yang terekam pada satuan batuan tersebut, sehingga dapat
diperkirakan bahwa tegasan yang relatif berarah utara-selatan tersebut berumur pasca
Miosen Tengah.
Gambar 3.4. Model Pure Shear (Thomas dkk., 1973 op. cit. Twiss & Moores, 1992).
35