JURUSAN FARMASI
PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA
2018
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
memproduksi sel-sel yang sehat. Kadar kolesterol tinggi dalam darah bisa
meningkatkan risiko penyakit jantung seseorang, karena timbunan lemak pada
pembuluh darah. Timbunan lemak ini akan menghambat aliran darah dalam arteri,
sehingga jantung bisa tidak mendapatkan pasokan darah kaya oksigen yang
dibutuhkan.
Penyakit hiperkolesterolemia membutuhkan terapi jangka panjang dan
cenderung memerlukan pengobatan seumur hidup. Kondisi ini sering
menyebabkan penderita bosan dengan pengobatan konvensional dan memilih
pengobatan alternatif termasuk obat tradisional/jamu (Balasankar dkk, 2013).
Pada proses metabolisme, obat akan diproses melalui hati sehingga enzim
hati akan melakukan perubahan (biotransformasi) kemudian obat menjadi dapat
lebih larut dalam tubuh dan dikeluarkan melalui urin atau empedu. Angka
kejadian kerusakan hati sangat tinggi, dimulai dari kerusakan yang tidak tetap
namun dapat berlangsung lama (Setiabudy, 1979). Salah satu penyebab kerusakan
hati adalah obat-obatan.
Sehubungan dengan hal diatas, telah dilakukan penelitian ekperimental
dengan judul jurnal uji klinik efek formula jamu penurun kolesterol darah
terhadap fungsi hati sebagai dasar pemanfaatan di masyarakat dan pelayanan
kesehatan formal.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian uji ekperimental klinis
2. Mengetahui komponen-komponen uji klinik
3. Mengetahui metode apa yang digunakan dalam jurnal
4. Mengetahui hasil yang didapatkan setelah melakukan uji ekperimental
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
lain yang secara objektif dapat mempengaruhi pelaksanaan suatu uji klinik.
Idealnya, suatu uji klinik hendaknya mencakup beberapa komponen berikut :
1. Seleksi atau pemilihan subjek
Dalam uji klinik, harus ditentukan secara jelas kriteria-kriteria
pemilihan pasien, yaitu:
a. Kriteria inklusi, yakni syarat-syarat yang secara mutlak harus
dipenuhi subjek untuk dapat berpartisipasi dalam penelitian.
Kriterianya antara lain kriteria diagnosis baik klinik maupun
laboratoris, tingkat keparahan penyakit, asal pasien (rumah sakit
atau populasi), umur, dan jenis kelamin.
b. Kriteria eksklusi (pengecualian), yaitu kriteria yang membatasi
partisipasi subjek dalam penelitian. Sebagai contoh hampir
sebagian besar uji klinik obat tidak memasukkan wanita hamil
sebagai subjek mengingat pertimbangan risiko yang mungkin lebih
besar dibanding manfaat yang didapat. Subjek yang mempunyai
risiko tinggi terhadap pengobatan/perlakuan uji juga secara ketat
tidak dilibatkan dalam penelitian.
2. Rancangan uji klinik
Untuk memperoleh hasil yang optimal perlu disusun rancangan
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan etis,
dengan tetap mengutamakan segi keselamatan dan kepentingan pasien.
Dua rancangan yang sering digunakan, yaitu Randomized Clinical Trial
(RCT) parallel design dan RCT cross-over design.
3. Jenis intervensi dan pembandingnya
Dalam uji klinik, jenis intervensi dan pembandingnya harus
didefinisikan secara jelas. Informasi yang perlu dicantumkan meliputi
jenis obat dan formulasinya, dosis dan frekuensi pengobatan, waktu dan
cara pemberian serta lamanya pengobatan dilakukan. Untuk menjamin
kelancaran pelaksanaan uji klinik dan keberhasilan pengobatan, hendaknya
dipertimbangkan segi-segi teknis yang berkaitan dengan ketaatan pasien
serta ketentuan lain yang diberlakukan selama uji klinik.
5
4. Pengacakan atau randomisasi intervensi
Randomisasi atau pengacakan intervensi mutlak diperlukan dalam
uji klinik terkendali (RCT), dengan tujuan utama menghindari bias.
5. Besar sampel
Beberapa faktor yang mempengaruhi penetapan besar sampel adalah:
a. Derajat kepekaan uji klinik: jika diketahui bahwa perbedaan
kemaknaan klinis antara 2 obat yang diuji tidak begitu besar,
berarti diperlukan jumlah sampel yang besar.
b. Keragaman hasil: makin kecil keragaman hasil uji antar individu
dalam kelompok yang sama, semakin sedikit jumlah subyek yang
diperlukan.
c. Derajat kebermaknaan statistik: semakin besar kebermaknaan
statistik yang diharapkan dari uji klinik, semakin besar pula jumlah
subyek yang diperlukan.
6. Pembutaan (blinding)
Yang dimaksud dengan pembutaan adalah merahasiakan bentuk
terapi yang diberikan. Dengan pembutaan, maka pasien dan/atau
pemeriksa tidak mengetahui yang mana obat yang diuji dan yang mana
pembandingnya. Biasanya bentuk obat yang diuji dan pembandingnya
dibuat sama. Tujuan utama pembutaan ini adalah untuk menghindari bias
pada penilaian respons terhadap obat yang diujikan.
7. Penilaian respons
Penilaian respons pasien terhadap proses terapetik yang diberikan harus
bersifat objektif, akurat, dan konsisten.
8. Analisis dan interpretasi data
Analisis dan interpretasi hasil bergantung pada metode statistik
yang dipakai. Sebagai contoh, untuk menguji perbedaan rerata antara 2
kelompok uji, maka digunakan uji t (student-t test). Pertimbangan lain
adalah konsep kemaknaan statistik dan kemaknaan klinis.
9. Protokol uji klinik
6
Protokol uji klinik memuat petunjuk pelaksanaan uji klinik dan
rancangan ilmiah yang digunakan. Kerangka protokol uji klinik idealnya
mencakup hal berikut ini: latar belakang dan tujuan umum, tujuan khusus,
kriteria pemilihan pasien, prosedur dan tata laksana intervensi, kriteria
penilaian respons, rancangan uji, pencatatan dan randomisasi subjek,
persetujuan tertulis dari pasien, besar sampel, pemantauan, pencatatan dan
manajemen data, penyimpangan protokol, rencana analisis statistik, dan
administrasi.
10. Etika
Etika uji klinik mencakup:
a. Protokol uji klinik yang telah mendapat persetujuan dari komisi
etik (ethical clearance)
b. Menjamin kebebasan pasien untuk ikut serta secara sukarela atau
menolak atau berhenti sewaktu-waktu dari penelitian
c. Menjamin kesehatan dan keselamatan pasien sejak awal, selama
dan sesudah penelitian
d. Keikutsertaan pasien harus dinyatakan dalam written informed-
consent.
e. Menjamin kerahasiaan identitas dan segala informasi yang
diperoleh dari pasien.
7
mg/dl, usia 25-55 tahun, laki-laki atau perempuan, bersedia mengikuti
penelitian/jadwal follow up dengan menandatangani informed consent. Kriteria
eksklusi adalah: perempuan hamil atau menyusui (berdasarkan pengakuan),
subyek dengan komplikasi penyakit berat (misal kanker stadium lanjut/ terminal).
Bahan baku yang digunakan sebagai simplisia diambil dari daerah
Karanganyar, determinasi dan pengelolaan simplisia dilakukan di Balai Besar
Litbang Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO2T) Tawangmangu. Bahan
baku simplisia terlebih dahulu melalui proses pemilihan bahan secara fisik,
kemudian diuji kromatografi lapis tipis dan kontrol kualitas. Pembuatan bahan
dan kontrol kualitas dilakukan oleh tim Quality Control B2P2TO2T.
Bahan dicuci dengan air yang mengalir untuk menghilangkan kotoran
yang menempel, kemudian diangin-anginkan dilanjutkan pengeringan di dalam
oven suhu 50 °C selama 7 jam. Simplisia kering dilakukan pengemasan dengan
satu kemasan terdiri: daun jati belanda, daun jati cina, daun tempuyung, daun teh
hijau, rimpang temu lawak, rimpang kunyit, dan herba meniran.
Subyek penelitian yang telah menandatangani informed consent, pada H0
dilakukan anamnesis identitas subyek, riwayat penyakit, gejala klinis,
pemeriksaan fisik diagnostik, dan pemeriksaan laboratorium fungsi hati (SGOT
dan SGPT). Subyek penelitian diberi formula jamu dalam jumlah untuk
penggunaan selama satu minggu, kemudian kontrol seminggu sekali sampai enam
minggu, setiap kontrol diberikan bahan uji formula jamu untuk penggunaan
selama satu minggu. Sejak hari pertama subyek penelitian merebus dan minum
jamu (satu kemasan direbus dengan 4 gelas (800 cc) air sampai mendidih
sehingga air tinggal 2 gelas diminum pagi dan sore), satu kemasan untuk satu hari,
hari berikutnya merebus kemasan yang baru. Subyek penelitian kontrol setiap
seminggu sekali untuk dilakukan anamnesis kemungkinan efek samping dan
dilakukan pemeriksaan fisik diagnostik. Dilakukan pemeriksaan laboratorium
fungsi hati (SGOT dan SGPT) per tiga minggu sekali.Penelitian ini telah
mendapatkan ethical clearance dari Komisi Etik Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI di Jakarta.
8
2.4 Hasil Yang Didapatkan Setelah Melakukan Uji Ekperimental
Tabel 2. Analisis Perbedaan Kadar SGOT dan SGPT sebelum perlakuan (H0) dan
sesudah perlakuan (H21)
9
Tabel 3. Analisis Perbedaan Kadar SGOT dan SGPT sebelum perlakuan (H0) dan
sesudah perlakuan (H42)
10
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
12