Anda di halaman 1dari 40

PRESENTASI KASUS I

KEJANG DEMAM KOMPLEKS DENGAN DADRS DAN DELAYED


DEVELOPMENT

Disusun Oleh :
Sherley Meiske Pakasi
030.09.233

Pembimbing :
Dr. Rosida Sihombing, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 29 JUNI – 5 SEPTEMBER 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2015

0
BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.1,2

Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu


kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur antara umur 3 bulan dan 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab
tertentu. Penyebab kejang demam belum diketahui secara pasti tetapi demam sering
disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi, kadang-kadang
demam yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.2

Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka
kejadian kejang demam adalah 9-10%.3

Beberapa faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,
riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah,
usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor pascanatal (kejang akibat toksik, trauma
kepala).1

Kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar
penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi
sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara bermakna mengalami
gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan pencapaian tingkat akademik. 1

1
BAB II
PRESENTASI KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Sherley Meiske P. Pembimbing : Dr. Rosida Sihombing, SpA
NIM : 030.09.233 Tanda tangan:

IDENTITAS PASIEN
Nama : Anak LZ Suku bangsa : Jawa
Jenis kelamin : Perempuan Pendidikan : -
Umur : 1 tahun 3 bulan Agama : Islam
Alamat : Jl. Cipinang Muara RT/RW 06/15, Jatinegara
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 4 April 2014

Orang Tua/Wali
Ayah Ibu
Nama : Tn. K Nama : Ny. D
Umur : 33 tahun Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMK Pendidikan : SMK
Suku bangsa : Jawa Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Alamat :
- Jl. Cipinang Muara RT/RW 06/15, - Jl. Cipinang Muara RT/RW 06/15,
Jatinegara Jatinegara

2
I. ANAMNESIS
Lokasi : Lantai 6, Bangsal Timur, kamar 610
Tanggal / waktu : 1 Juli 2015/ 09.00 WIB
Tanggal masuk : 1 Juli 2015
Keluhan utama : Kejang sejak 15 menit sebelum masuk Rumah Sakit
Keluhan tambahan : diare, peningkatan suhu, berat badan berkurang

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Budhi Asih dengan keluhan kejang
semenjak 15 menit sebelum masuk Rumah Sakit. Ibu pasien mengatakan pasien
mengalami 2 kali kejang. Kejang pertama terjadi di rumah dan kejang kedua terjadi
dalam perjalanan menuju ke Rumah Sakit. Kedua kejang berlangsung selama kurang
dari 5 menit, dengan kejang pertama berdurasi 3-4 menit dan kejang kedua kurang
lebih selama 5 menit. Pada saat kejang mata pasien mendelik ke atas pada posisi
pasien digendong, ibu pasien mengatakan badan pasien kaku, melipat kedua tangan
dan tidak kelojotan. Setelah kejang kedua, pasien menangis keras kemudian tertidur
sampai pasien tiba di Rumah Sakit. Ibu mengatakan bahwa sehari sebelum pasien
kejang, pasien mulai demam. Namun, pemeriksaan dilakukan dengan perabaan tangan
saja. Pada saat demam, ibu pasien memberikan obat Tempra dan demam sempat
turun. Namun, di malam hari pasien kembali demam. Demam tidak disertai dengan
menggigil dan tidak ada keringat dingin.
Sebelumnya, pasien buang air besar yang cair selama 1 minggu berwarna
kuning kecoklatan, kadang terdapat lendir, namun tidak terdapat darah atau berwarna
hitam. Dalam sehari pasien diakui buang-buang air paling banyak 10 kali dalam satu
hari. Pada pasien tidak ada mual, muntah, batuk, pilek, dan lainnya.
Pada pasien terdapat penurunan berat badan sebanyak 200 gram (10 kg (dua
minggu sebelum sakit) - 9,8 kg (saat masuk ke Rumah Sakit) =0,2 kg). Keluarga
mengatakan semenjak sakit pasien menjadi lebih lemas dan rewel.
Setelah sampai di IGD, pasien diperiksa dan didapatkan suhu pasien 380C.
Pasien diberikan tatalaksana oleh dokter dan perawat. Sesudah sampai di IGD, pasien
tidak mengalami episode kejang kembali sampai pada saat pemeriksaan dilakukan.

3
b. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Penyakit
Alergi (-) Difteria (-) (-)
jantung
Penyakit
Cacingan (-) Diare (-) (-)
ginjal
Radang
DBD (-) Kejang (-) (-)
paru
Otitis (-) Morbili 9 bulan TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah menderita
morbili pada usia 9 bulan, selain itu ibu mengatakan pasien hanya pernah batuk pilek.

c. Riwayat Kehamilan/ Persalinan


Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal Rutin kontrol ke dokter kandungan1 bulan
KEHAMILAN
sekali dan sudah mendapat imunisasi
vaksin TT 2 kali saat hamil
Tempat persalinan Rumah sakit
Penolong persalinan Dokter
Sectio Caesaria
Cara persalinan Penyulit : ketuban hijau, ketuban pecah
dini
Masa gestasi Cukup bulan
KELAHIRAN Berat lahir : 3100 gram
Panjang lahir : 49
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Keadaan bayi Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Nilai APGAR : (tidak tahu)
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ persalinan : Kontrol kehamilan baik, persalinan


spontan, langsung menangis. Neonatus cukup bulan. Berat badan lahir cukup.
4
d. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : Umur 6 bulan (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Tengkurap : Umur 5 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 8 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum bisa (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Belum bisa (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Perkembangan pubertas
Belum pubertas.
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Terdapat keterlambatan
dalam perkembangan. Pasien belum pubertas.

e. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 PASI + - -
6–8 PASI + + -
8 – 10 PASI + + -
10 -12 PASI + + +

Kesimpulan riwayat makanan: Tidak ada kesulitan makan pada pasien, jenis
makanan cukup bervariasi dengan jumlah yang cukup. Pasien masih mendapatkan
ASI sampai saat ini.

f. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6bulan -

5
Polio 0bulan 2bulan 4bulan 6 bulan
Campak - - - -
Hepatitis B 0 bulan 1bulan 6bulan -
Pnemokokus - - - -
Hib - - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapat imunisasi dasar PPI sesuai
jadwal, hanya belum mendapat imunisasi campak.

g. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi

Tanggal Jenis Lahir Mati Keterangan


No Hidup Abortus
lahir kelamin mati (sebab) kesehatan
Sehat
1. 04-04-2014 Perempuan + - - -
(pasien)

b. Riwayat Pernikahan

Ayah / Wali Ibu / Wali


Nama Tn. RT Ny. DI
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 30 tahun 22 tahun
Pendidikan terakhir SLTA SLTA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Penyakit, bila ada - -

Kesimpulan Riwayat Keluarga : Tidak ada yang mengalami hal seperti


pasien. Tidak ada yang pernah alami kejang demam.

c. Riwayat Keluarga orangtua pasien : Tidak ada yang pernah alami hal yang
sama dengan pasien.

6
h. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal di rumah yang berlantai 1, terdapat 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, serta
1 dapur. Ventilasi hanya pintu dan jendela di bagian depan rumah. Pencahayaan
cukup baik. Sumber air berasal dari air PAM. Sampah rumah tangga diangkut secara
teratur setiap hari. Pasien tinggal diperumahan yang padat penduduk.
Kesimpulan keadaan lingkungan : Keadaan lingkungan cukup baik dan bersih.

i. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan sekitar Rp.2.500.000,-
/bulan. Ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien, penghasilan dari
suaminya cukup untuk memnuhi kebutuhan keluarga.
Kesimpulan ekonomi dan sosial : Cukup baik.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 01/07/2015 di lantai 6 timur
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang dan lemas.
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Baik
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 9,8 kg Lingkar Kepala : 42 cm
Berat Badan sebelum sakit : 10 kg Lingkar Lengan Atas : 16/18 cm
Tinggi Badan : 74 cm
Status Gizi
BB/ U : 9,8/ 10,1 x100% = 97,03 % (Gizi normal menurut kurva NCHS)
TB/ U : 74/ 76 x100% = 97,3 % (Tinggi normal menurut kurva NCHS)
BB/ TB : 9,8/ 10,6 x100% = 92,5 % (Gizi normal menurut kurva NCHS)
LK : 46 cm (Normosefali, -2> x <2 SD Kurva Neillhaus)
LILA :16 cm (persentil 25 - 50 tabel Frisancho A.R)
Tanda Vital
Nadi : 120 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Pernapasan : 30 x/ menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 3

7
Suhu : 37,30º C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA : Normosefali , deformitas (-), hematoma (-)


RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup
tebal
WAJAH : Wajah simetris, edema palpebra (-/-), luka atau jaringan parut (-/-)
MATA :
Visus : tidak dapat dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjuntiva pucat : -/- Cekung : +/+
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : +/+ Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR:
- Simetris, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT:
- Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-), halitosis
(-). Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN:
- Pemeriksaan sulit dilakukan
LEHER:
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB.

8
- Tiroid tidak teraba membesar
THORAKS :
 JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea midklavikularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
 PARU
Inspeksi
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya
retraksi, tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada.
Palpasi
- Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vokal fremitus
sama kuat kanan dan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi :Suara napas vesikuler, reguler, ronkhi -/-, wheezing -/-
ABDOMEN :
Inspeksi
- Perut cembung, tidak dijumpai adanya efloresensi bermakna, benjolan (-), turgor kulit
berkurang.
Palpasi
- Cembung, supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesar.
- Ballotement -/-, Nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang perut, shifting dullness (-)
Auskultasi :Bising usus (+) meningkat, frekuensi > 3 x / menit
ANOGENITALIA:
- Jenis kelamin perempuan, labia minor tertutup sempurna oleh labia mayor, tidak
tampak kelainan.
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar

9
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat ++/++
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain edema (-) edema (-)

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Pemeriksaan
Refleks fisiologis (+) (+)
 Refleks babinsky +/+
 Refleks biceps -/-
Refleks patologis (-) (-)
Rooting reflex (-)
Refleks Moro (-)
Grasp reflex (-/-)
Tonic Neck Reflex (-/-)
Lain-lain edema (-) edema (-)
KULIT:
- Warna kuning langsat merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
baik, lembab, pengisian kapiler <2 detik
TULANG BELAKANG:
- Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk (-)

10
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
Laseq (-) (-)
Kerniq (-) (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium dari IGD (1 Juli 2015)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 13,8 ribu/ µ Normal
Eritrosit 3,4 juta/ uL Menurun
Hemoglobin 9,2 g/ dL Menurun
Hematokrit 27% Menurun
Trombosit 379 ribu/ uL Normal
MCV 80,0 fL Normal
MCH 27,3 pg Normal
MCHC 34,3 g/ dL Meningkat
RDW 14,3% Meningkat
Metabolisme Karbohidrat
Gula Darah Sewaktu 103 mg/ dL Normal
Elektrolit
Natrium 125 mmol/ L Menurun
Kalium 2,7 mmol/ L Menurun
Clorida 95 mmol/ L Menurun

Pemeriksaan laboratorium tanggal 02/07/2015


Hematologi Hasil Nilai Normal
Leukosit 7,8 ribu/ µ Normal
Eritrosit 3,4 juta/ uL Menurun
Hemoglobin 9,2 g/ dL Menurun
Hematokrit 26% Menurun
Trombosit 372 ribu/ uL Normal
LED 65 mm/jam Meningkat
MCV 76,5 fL Normal

11
MCH 27,4 pg Normal
MCHC 35,9 g/ dL Meningkat
RDW 15,0% Meningkat
Hitung Jenis
Basofil 1% Normal
Eosinofil 0% Menurun
Netrofil Batang 1% Normal
Netrofil Segmen 47 % Normal
Limfosit 47 % Normal
Monosit 4%
Kalsium Ion
Kalsium Ion 1,27 mmol/ L Normal
Elektrolit
Natrium 137 mmol/ L Menurun
Kalium 3,1 mmol/ L Menurun
Clorida 111 mmol/ L Meningkat

IV. RESUME
Pasien berusia 14 bulan datang ke IGD Rumah Sakit Budhi Asih dengan kejang
semenjak 15 menit sebelum masuk Rumah Sakit. Dalam 24 jam, demam berulang
sebanyak 2 kali dengan masing-masing durasi kurang dari sama dengan 5 menit. Kejang
tidak kelojotan, pasien kaku, mata mendelik ke atas. Setelah kejang, pasien menangis
kemudian tertidur. Sebelumnya pasien diare selama 1 minggu sebelum masuk Rumah
Sakit dengan konsistensi cair disertai ampas berwarna kuning kecoklatan. Demam baru
diraba rasakan semenjak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Menurun dengan tempra,
namun kemudian naik kembali. Terdapat penurunan berat badan. Ini adalah kali
pertama pasien mengalami kejang. Melalui anamnesis, ditemukan bahwa pasien
memiliki keterlambatan perkembangan karena pada usianya pasien masih belum dapat
berjalan sendiri.
Melalui pemeriksaan fisik awal ditemukan pasien tampak sakit sedang dan lemas
dengan keadaan gizi yang masih baik. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan adanya
peningkatan suhu dan peningkatan pernapasan . Pada pasien juga ditemukan mata yang

12
cekung, turgor kulit menurun dan meningkatnya bising usus. Tidak ditemukan adanya
defisit neurologis.
Melalui pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya anemia, hipokalemia,
hemodilusi, hiponatremi dan hipokalemi.

V. DIAGNOSIS BANDING
Epilepsi
Meningitis
Encefalitis
Kejang Demam

VI. DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam kompleks dengan Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang dan
delayed development

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- Feces lengkap
- Total binding iron capacity

VIII. TATALAKSANA
Non Medikamentosa
- Informasi dan edukasi mengenai keadaan dan penyakit pasien
- Observasi tanda vital dan kejang berulang
- Tirah baring
- Konsul ke bagian tumbuh kembang

Medikamentosa (Penatalaksanaan Awal)

- IVFD KaEn 1B 400 cc dan NaCl 3% + KCl 15 mEq/24 jam


- O2 1 liter/ menit
- Puasa 12 jam
- Cefotaxime 3x 325 mg
- Probiokid 1x1 scf
- Zinkid 1x10 mg
- Fenitoin 2x25 mg – diencerkan menjadi 10 cc, diberi dalam 20 menit

13
- Paracetamol 3 x 100 mg

IX. PROGNOSIS
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Sanationam : dubia ad malam
- Ad Fungsionam : dubia ad malam

X. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
01-07-2015 Kejang (-) KU/Kes: tss/ CM - KDK - Nasal kanul
Demam (-) N: 120 x/ menit, S: - Hipokalemi O2 2 l/menit
Diare (+) 37,30oC, P: 44 x/ dan - IVFD
menit hiponatremi KaEN1B
Kepala: normocephali - DADRS 400 cc +
Mata: CA -/-, SI -/-, - Delayed NaCl 3%
mata cekung +/+ development 100 cc +
Hidung : nch -, sekret KCl 15
-/-, bening, encer mEq/24 jam
Mulut: bibir kering - Asering
(-), sianosis(-) 3cc/kgBB/
Thorax: Jam
BJI-II reg, m (-), g (-). - Injeksi
SN ves rh -/-, wh -/- Cefotaxime
Abdomen: 3x25 mg
Supel. BU (+) - Probiokid
meningkat, NT (-), 1x1
turgor kulit berkurang - Zinkid 1x10
Ext: akral hangat pada mg
keempat ekstermitas - Fenitoin
2x25 mg –
diencerkan
menjadi 10
cc, diberi
dalam 20

14
menit
- Paracetamol
3x100 mg
02-07-2015 Kejang (-) KU/Kes: tss/ CM - KDK - Nasal kanul
Demam (-) N: 112 x/ menit, - Hipokalemi O2 2 l/menit
Batuk (+) S: 39,30oC, P: 32 x/ dan - Asering
berdahak menit hiponatremi 3cc/kgBB/
warna putih Kepala: normocephali - DADRS Jam
Diare (-) Mata: CA -/-, SI -/- - Delayed - Injeksi
Hidung : nch -, sekret development Cefotaxime
+/+, bening, encer 3x25 mg
Mulut: bibir kering - Fenitoin
(-), sianosis(-) 2x25 mg –
Thorax: diencerkan
BJI-II reg, m (-), g (- menjadi 10
). SN ves rh -/-, wh -/- cc, diberi
Abdomen: dalam 20
Supel. BU (+), NT (- menit
), turgor kulit baik - Probiokid
Ext: akral hangat pada 1x1
keempat ekstermitas - Zinkid 1x10
mg
- Paracetamol
3x100 mg
03-07-2015 Kejang (-) KU/Kes: tss/ CM - KDK - Injeksi
Demam (-) N: 112 x/ menit, - Hipokalemi Cefotaxime
Batuk (+) S: 39,30oC, P: 32 x/ dan 3x25 mg
Pilek (+) menit hiponatremi - Probiokid
Kepala: normocephali - DADRS 1x1
Mata: CA -/-, SI -/-, - Delayed - Zinkid 1x10
mata cekung (-/-) development mg
Hidung : nch -, sekret - Paracetamol
+/+, bening, encer 3x100 mg

15
Mulut: bibir kering
(-), sianosis(-)
Thorax:
BJI-II reg, m (-), g (-
). SN ves rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Supel. BU (+), NT (-
), turgor kulit normal.
Ext: akral hangat pada
keempat ekstermitas

16
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

3.1.1 Kejang

Sebelum memahami definisi mengenai kejang, perlu kita ketahui tentang seizure dan
konvulsi. Yang dimaksud dengan seizure adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang
terjadi secara mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak
dapat dikendalikan akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure bisa
bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau
klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang
dari seizure yang terjadi dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut
sebagai epilepsi (ayan). Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-
otot yang tidak bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih
sering dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi dari
seizure.1

3.1.2 Kejang Demam

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal > 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Menurut Consensus
Statment on Febrile Seizures, kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi dan anak
biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi
tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu.1,2 Definisi kejang
demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE) adalah kejang yang
terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan disebabkan oleh
infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa neonatus dan

17
tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya misalnya karena keseimbangan
elektrolit akut.3,4
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Bila anak
berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului dengan
demam pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi susunan saraf pusat atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam. 2,5
Anak yang pernah kejang tanpa demam kemudian mengalami kejang demam
kembali dan bayi yang berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam definisi
kejang demam. Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang
demam ialah 38 oC atau lebih, tetapi suhu sebenarnya saat kejang berlangsung sering
tidak diketahui.2,5
Kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15 menit, fokal
atau multipel (lebih daripada 1 kali kejang per episode demam) sedangkan kejang
demam sederhana ialah kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit
dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik
tanpa gerakan fokal, kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejadian kejang demam
sederhana yaitu 80% di antara seluruh kejang demam. 2,5
Jika kejang yang disertai demam terjadi selama lebih dari 30 menit baik satu kali
atau multipel tanpa kesadaran penuh diantara kejang maka diklasifikasikan sebagai status
epileptikus yang diprovokasi demam. Kejadian ini berkisar 5 % dari keseluruhan kejang
yang disertai demam.4
Faktor yang penting pada kejang demam ialah demam, umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang paling tinggi, terkadang kejang terjadi pada demam yang tidak begitu tinggi.
Bila hal ini terjadi maka anak tersebut memiliki resiko tinggi untuk berulangnya kejang. 2

3.2 EPIDEMIOLOGI
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun
yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang
demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya
setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam lagi namun, beberapa pasien masih
dapat mengalami kejang demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Dua sampai lima
persen anak dibawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan kejang demam, insiden

18
bangkitan kejang tertinggi pada usia 18 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.2 Gen
yang dicurigai berperan dengan terjadinya kejang demam antara lain: FEB1 (8q), FEB2
(19q), FEB3 (5q),SCAN1A (2q), dan SCAN1B (19q)
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur
kurang dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan
sekitar 80-90% dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang
angka kejadian kejang demam adalah 9-10%.3,6
Prognosis kejang demam mempunyai angka kematian hanya 0,64% - 0,75%.
Sebagian besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang
menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Empat persen penderita kejang demam secara
bermakna mengalami gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik.1
.
3.3 MANIFESTASI KLINIS

Bangkitan kejang pada bayi dan anak-anak sering terjadi bersamaan dengan kenaikan
suhu badan yang tinggi dan cepat, biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39°C
atau lebih, disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat (ISPA, OMA, dan lainya).
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam. Kejang dapat bersifat
tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik.

Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau
tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti, anak
tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam kompleks dapat
diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam
sampai beberapa hari.2,7

3.4 KLASIFIKASI KEJANG


Kejang diklasifiaksikan sebagai parsial atau generalisata berdasarkan apakah kesadaran
utuh atau lenyap. Kejang dengan kesadaran utuh disebut sebagai kejang parsial. Kejang
parsial dibagi lagi menjadi parsial sederhana (kesadaran utuh) dan parsial kompleks
(kesadaran berubah tetapi tidak hilang).
1. Kejang parsial

19
Kejang parsial dimulai di suatu daerah di otak, biasanya korteks serebrum. Gejala
kejang ini bergatung pada lokasi fokus di otak. Sebagai contoh, apabila fokus
terletak di korteks motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot;
sementara, apabila fokus terletak di korteks sensorik, maka pasien mengalami
gejala – gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap, atau
seperti tertusuk-tusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan
klonik, karena di korteks sensorik terdapat beberapa reprsentasi motorik. Gejala
autonom adalah kepucatan, kemerahan, berkeringat, dan muntah. Gangguan daya
ingat, disfagia, dan de ja vu adalah contoh gejala psikis pada kejang parsial.
Sebagian pasien mungkin mengalami perluasan ke hemisfer kontralateral disertai
hilangnya kesadaran.
Lepas muatan kejang pada kejang parsial kompleks (dahulu dikenal sebagai
kejang psikomotor atau lobus temporalis) sering berasal dari lobus temporalis
medial atau frontalis inferior dan melibatkan gangguan pada fungsi serebrum
yang lebih tinggi serta proses-proses pikiran, serta perilaku motorik yang
kompleks. Kejang ini dapat dipicu oleh musik, cahaya berkedip-kedip, atau
rangsangan lain dan sering disertai oleh aktivitas motorik repetitif involunta yang
terkoordinasi yang dikenal sebagai perilaku otomatis (automatic behavior).
Contoh dari perilaku ini adalah menarik-narik baju, meraba-raba benda, bertepuk
tangan, mengecap-ngecap bibir, atau mengunyah berulang-ulang. Pasien tetap
sadar selama serangan tetapi umumnya tidak dapat mengingat apa yang terjadi.
kejang parsial kompleks dapat meluas dan menjadi kejang generalisata.
2. Kejang Generalisata
Kejang generalisata melibatkan seluruh korteks serebrum dan diensefalon serta
ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi di
kedua hemisfer tanpa tanda-tanda bahwa kejang berawal sebagai kejang fokal.
Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekeliling saat mengalami
kejang. Kejang ini muncul tanpa aura atau peringatan terlebih dahulu. Terdapat
beberapa tipe kejang generalisata antara lain kejang absence, kejang tonik-klonik,
kejang mioklonik, kejang atonik, kejang tonik dan kejang klonik.
a. Kejang absence (petit mal)
Ditandai dengan hilangnya kesadaran secara singkat, jarang berlangsung lebih
dari beberapa detik. Sebagai contoh, mungkin pasien tiba-tiba menghentikan
pembicaraan, menatap kosong, atau berkedip-kedip dengan cepat. Pasien

20
mungkin mengalami satu atau dua kali kejang sebulan atau beberapa kali
sehari. Kejang absence hampir selalu terjadi pada anak; awitan jarang
dijumpai setelah usia 20 tahun. Serangan-serangan ini mungkin menghilang
setelah pubertas atau diganti oleh kejang tipe lain, terutama kejang tonik-
klonik.

b. Kejang tonik-klonik (grand mal)


Kejang tonik-klonik adalah kejang epilepsi yang klasik. Kejang tonik-klonik
diawali oleh hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara
menangis, akibat ekspirasi paksa yang disebabkan oleh spasme toraks atau
abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya, mengalami gerakan tonik
kemudian klonik, dan inkontenesia urin atau alvi (atau keduanya), disertai
disfungsi autonom. Pada fase tonik, otot-otot berkontraksi dan posisi tubuh
mungkin berubah. Fase ini berlangsung beberapa detik. Fase klonik
memperlihatkan kelompok-kelompok otot yang berlawanan bergantian
berkontraksi dan melemas sehingga terjadi gerakan-gerakan menyentak.
Jumlah kontraksi secara bertahap berkurang tetapi kekuatannya tidak berubah.
Lidah mungkin tergigit; hal ini terjadi pada sekitar separuh pasien (spasme
rahang dan lidah). Keseluruhan kejang berlangsung 3 sampai 5 menit dan
diikuti oleh periode tidak sadar yang mungkin berlangsung beberapa menit
sampai selama 30 menit. Setelah sadar pasien mungkin tampak kebingungan,
agak stupor, atau bengong. Tahap ini disebut sebagai periode pascaiktus.
Umumnya pasien tidak dapat mengingat kejadian kejangnya.
Kejang tonik-klonik demam, yang sering disebut sebagai kejang
demam, paling sering terjadi pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Teori
menyatakan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipernatremia yang muncul
secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini
umumnya berlangsung singkat, dan mungkin terdapat predisposisi familial.
Pada beberapa kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak
mungkin mengalami kejag non demam pada kehidupan selanjutnya.
c. Kejang mioklonik
Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas dibeberapa otot atau tungkai,
cenderung singkat.
d. Kejang atonik

21
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lemahnya postur tubuh.
e. Kejang klonik
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tungal atau multipel di
lengan, dan tungkai
f. Kejang tonik
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontaksi) wajah dan tubuh
bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin
berputar ke satu sisi, dapat menyebabkan henti nafas.

Kejang demam dibagi atas kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks.

1. Kejang Demam Sederhana

Adalah kejang yang terjadi pada umur antara 6 bulan sampai 5 tahun, berlangsung
singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang
bersifat umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang
dalam waktu 24 jam. Frekwensi kejang kurang dari 4x/tahun, dan biasanya kejang
timbul dalam 16 jam sesudah kenaikan suhu. Kejang demam sederhana
merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.4

2. Kejang Demam Kompleks


Adalah kejang demam yang berlangsung lebih dari 15 menit, atau berulang dalam
24 jam. Kejang bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial.4
Perbedaan kejang demam sederhana (KDS) dan kompleks (KDK) dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan kejang demam sederhana dan kompleks1

Selain klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi lain, yaitu klasifikasi Livingston.
Klasifikasi ini dibuat karena jika anak kejang maka akan timbul pertanyaan, dapatkah

22
diramalkan dari sifat dan gejala mana yang memiliki kemungkinan lebih besar untuk
menderita epilepsi. Livingston (1954) membagi kejang demam atas 2 golongan : 5
1. Kejang demam sederhana (simple febrile convulsion)
2. Epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsy triggered off by fever)
Modifikasi Livingston diatas dibuat untuk diagnosis kejang demam sederhana adalah:
1. Umur anak ketika kejang adalah 6 bulan dan 4 tahun
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan
7. Frekuensi bangkitan kejang di dalam 1 tahun tidak melebihi 4 kali.

Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang
kelompok kedua ini memiliki kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang,
sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.

1.5 FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM

Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam,
usia, riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada
ibu, hamil primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi
berat lahir rendah, usia kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal
(kejang akibat toksik, trauma kepala).1,6

1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,80 oC aksila atau di atas 38,30
o
C rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada
anak disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak.
Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang. 1
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat

23
celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga
meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen. 1,8
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak.
Pada keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi
normal pompa Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat,
sehingga menurunkan nilai ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan
kejang. Demam juga dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi
terganggu. 1,8
Bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar
38,90°C-39,90°C (40 -56%). Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-
38,90°C sebanyak 11% dan sebanyak 20% kejang demam terjadi pada suhu tubuh di
atas 40oC. 1
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu 1:
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun
pertama paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi
sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila
mengalami bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi.1
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam
glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA
sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih dominan
dibanding inhibisi. 1,8
Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid eksitator,
berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu
oleh demam. 1,8

24
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak
fase organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila
anak mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan
kejang. 1,8
Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada
anak antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada
anak usia 18 sampai dengan 24 bulan.1
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%.
Apabila salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya
beresiko sebesar 20-22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah
menderita kejang demam maka resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya
apabila kedua orangtuanya tidak mempunyai riwayat kejang demam maka risiko
terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak oleh ibu
dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7%.1
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi
dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan.
Hipertensi pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang
sehingga berakibat keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR.
Komplikasi persalinan diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia.
Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan
atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada
rangsangan yang memadai seperti demam. 1
5. Faktor Pascanatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus
berat seringkali mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab
yang paling umum adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus

25
temporalis.Selain infeksi, ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian
kejang demam pada anak sebesar 20,6%.1

3.6 PATOGENESIS KEJANG DEMAM


Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa glukosa
yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel-sel otak dikelilingi oleh membran yang
dalam keadaan normal membran sel neuron
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
natrium (Na+) dan elektrolit lain kecuali
clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+
di dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
ion Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi
di luar sel neuron. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel Gambar 1. Potensial Membran SelNeuron1

tersebut maka terjadi beda potensial yang disebut ‘Potensial Membran Sel Neuron’.

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan


enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran sel dipengaruhi oleh:
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak baik rangsangan mekanis, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologi dari membran karena penyakit atau faktor keturunan.
Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial
membran sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi,
channel ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari
ion Na+, sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga
terbentuklah suatu potensial aksi. Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron
repolarisasi, channel ion K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar

26
Gambar 2. Depolarisasi dan Repolarisasi 4
dapat terjadi efluks ion K+ sehingga mengembalikan potensial membran lebih
negative atau ke potensial membrane istirahat.
Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel
neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron pre-
sinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps
ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.
Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :
1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membrane lebih positif
dan mengeksitasi neuron post sinaps
2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negative
sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA
(Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk
pengobatan epilepsy dan hipertensi.
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel
dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membran ini
akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.

Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori yaitu 1 :


- Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
- Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
- Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.

Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui, pada keadaan demam,
kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan
peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada kenaikan suhu tertentu dapat
terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam waktu yang singkat terjadi

27
difusi ion kalium dan natrium melalui membran sel, dengan akibat lepasnya muatan
listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang.
Saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak, jantung, otot,
dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan kejang
bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder
akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi
neuron karena kegagalan metabolisme di otak. 1
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut 1:
- Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang belum
matang/immatur.
- Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan
gangguan permiabilitas membran sel.
- Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
- Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta meningkatkan
kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan gangguan aliran ion-ion
keluar masuk sel.

Kejang demam
Gambar 3. Mekanisme terjadinya kejang 1
demam4
28
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C
sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang
baru terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi
pada anak dengan ambang kejang rendah. 1
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis
laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh
disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Tabel 1. Efek Fisiologis Kejang 1

Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)


Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai
denyut jantung darah berkurangnya aliran darah
Meningkatnya tekanan Menurunnya gula darah serebrum sehingga terjadi
darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah otak
glukosa yang menyebabkan edema
Meningkatnya suhu pusat Edema paru nonjantung serebrum
tubuh
Meningkatnya sel darah
putih

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron otak
pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas
vaskular dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi
yang bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada
serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi.

29
3.7 DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam ditegakkan setelah penyebab kejang yang lain dapat
disingkirkan yaitu meliputi meningitis, ensefalitis, trauma kepala, ketidakseimbangan
elektrolit, dan penyebab kejang akut lainnya. Dari beberapa diagnosis banding tersebut,
meningitis merupakan penyebab kejang yang lebih mendapat perhatian. Angka kejadian
meningitis pada kejang yang disertai demam yaitu 2-5%. 4
Kejadian demam pada kejang demam biasanya dikarenakan adanya infeksi pada
sistem respirasi atas, otitis media, infeksi virus herpes termasuk roseola. Lebih dari 50%
kejadian kejang demam pada anak kurang dari 3 tahun berhubungan dengan infeksi virus
herpes (Human Herpes Virus 6 dan 7).4
Hal – hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis yaitu 9 :
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi saluran napas
akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media akut/ OMA, dan lainnya)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibatkan
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang yang
dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain 9:


- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran
- Suhu tubuh: apakah terdapat demam
- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Lasuque dan
pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB) memnonjol, papil
edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran pernapasan, faringitis,
otitis media, infeksi saluran kemih dan lain sebagainya yang merupakan penyebab
demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis9

30
Pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin tidak begitu bermanfaat untuk dilakukan
pada pasien dengan kejang demam sederhana kecuali jika terdapat komplikasi atau
penyakit lain yang mendasari seperti gangguan keseimbangan elektrolit yang berkaitan
dengan dehidrasi akibat infeksi saluran gastrointestinal. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dilakukan untuk mencari penyebab demam diantaranya pemeriksaan kultur
urin untuk melihat ada tidaknya infeksi saluran kemih jika ternyata tidak ditemukan
fokus infeksi dari pemeriksaan fisik. Pemeriksaaan kadar elektrolit seperti kalsium,
fosfor, magnesium dan glukosa yang biasa dilakukan pada pasien kejang tanpa demam
juga kurang memberikan arti yang bermakna jika dilakukan pada pasien kejang demam
sederhana.10
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah EEG
(elektroensefalogram). EEG dapat memperlihatkan gelombang lambat di daerah
belakang yang bilateral, sering asimetris kadang-kadang unilateral. Perlambatan
ditemukan pada 88% pasien bila EEG dikerjakan pada hari kejang dan ditemukan pada
33% pasien bila EEG dilakukan 3 sampai 7 hari setelah serangan kejang. Namun,
perlambatan EEG ini kurang mempunyai nilai prognostik dan kejadian kejang berulang
dikemudian hari atau perkembangan ke arah epilepsi. Saat ini sudah tidak dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan EEG pada pasien kejang demam sederhana karena hasil
pemeriksaan yang kurang bermakna.2
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi kecil seringkali
sulit untuk menegakkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas,
oleh karena itu pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur < 6-12
bulan, sangat dianjurkan pada bayi berumur 12-18 bulan dan tidak rutin dilakukan pada
bayi berumur >18 tahun jika tidak disertai riwayat dan gejala klinis yang mengarah ke
meningitis.2,4,5,8
Pemeriksaan radiologi tidak begitu memberikan manfaat dalam evaluasi kejang
demam sederhana dan masih kontroversial untuk dilakukan pada kejang demam
kompleks sekalipun. Pemeriksaan radiologi misalnya Magnetic resonance imaging
(MRI) dapat dilakukan untuk mengevaluasi ada tidaknya kerusakan di otak misalnya di
daerah hipokampus jika penyebab kejang masih belum diketahui.
Secara umum, perlu tidaknya pemeriksaan penunjang dilakukan dapat dilihat pada
tabel di bawah ini7:

31
Tabel 2. Pemeriksaan penunjang pada kejang yang disertai demam7

Pada kejang demam sederhana tidak diperlukan pemeriksaan penunjang baik berupa
pungsi lumbal, EEG, radiologi maupun biokimia darah karena kejang demam sederhana
didiagnosis berdasarkan gambaran klinis. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding kejang yang disertai dengan demam seperi meningitis
7
Diagnosis kejang demam sederhana menurut konsensus ikatan dokter anak Indonesia
yaitu jika memenuhi kriteria sebagai berikut 5:
- Terjadi pada anak usia 6 bulan - 5 tahun
- Kejang berlangsung singkat, tidak melebihi 15 menit
- Kejang umumnya berhenti sendiri
- Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik tanpa gerakan fokal
- Kejang tidak berulang dalam 24 jam

3.8 TATA LAKSANA

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu 2:
1. Pengobatan fase akut
2. Mencari dan mengobati penyebab
3. Pengobatan profilaksis terhadap berulangnya kejang demam

Pada waktu pasien datang dalam keadaan kejang maka hal yang harus dilakukan ialah
membuka pakaian yang ketat dan posisi pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir
dilakukan secara teratur, diberikan terapi oksigen dan jika perlu dilakukan intubasi. 2
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan dan fungsi
jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian

32
antipiretik. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko
terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan ketika anak demam (> 38,5oC). Dosis parasetamol yang digunakan ialah
10-15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen
5-10 mg/kgBB/kali diberikan 3-4 kali sehari.5
Obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
secara intravena atau intrarektal. Kadar diazepam tertinggi dalam darah akan tercapai
dalam waktu 1-3 menit apabila diazepam diberikan secara intravena dan dalam waktu 5
menit apabila diberikan secara intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB,
diberikan perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit
dengan dosis maksimal 20 mg. Untuk memudahkan orangtua di rumah dapat diberikan
diazepam rektal dengan dosis 2,5:
- 5 mg pada anak dengan berat badan < 10 kg
- 10 mg untuk berat badan anak > 10 kg
Buccal midazolam (0.5 mg/kg; dosis maximal 10 mg) dikatakan lebih efektif daripada
diazepam per rektal pada anak.11
Tabel 3. Dosis obat anti konvulsi untuk kejang demam11

33
Tatalaksana kejang demam dan kejang secara umum yaitu tampak pada bagan berikut
ini 12:

Bagan 1. Tatalaksana kejang demam12

Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena sering berulang dan
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Ada 2 cara profilaksis yaitu proflaksis
intermiten pada waktu demam dan profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap
hari. 2
Untuk profilaksis intermiten, antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien
demam. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke jaringan otak.
Diazepam intermiten memberikan hasil lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.
Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam pada kenaikan suhu mencapai 38,5oC
atau lebih yaitu dengan dosis 2:
- 5 mg untuk pasien dengan berat badan < 10 kg

34
- 10 mg untuk pasien dengan berat badan > 10 kg

Diazepam dapat pula diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam ialah ataksia,
mengantuk dan hipotonia.2
Untuk profilaksis terus-menerus dilakukan dengan pemberian fenobarbital 4-
5mg/kgBB/hari dengan kadar obat dalam darah sebesar 16µg/ml menunjukkan hasil
yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping fenobarbital
berupa kelainan watak yaitu iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada 30-
50% pasien. Efek samping dapat dikurangi dengan menurunkan dosis fenobarbital.
Obat lain yang dapat digunakan yaitu asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgBB/hari. Fenitoin dan carbamazepin tidak efektif untuk pencegahan kejang
demam. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. 2
Adapun indikasi profilaksis terus-menerus yaitu sebagai berikut 2:
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan
- Ada riwayat kejang tanpa demam pada orangtua atau saudara kandung
- Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti kelainan neurologis
sementara dan menetap
- Kejang demam terjadi pada bayi berumur < 12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :13
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat efek
samping obat
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:13
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

35
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan
atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, sebaiknya
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

3.9 PROGNOSIS

Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.


Kematian akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil
kasus dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang
berulang baik fokal atau kejang umum. 3,5
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
berulangnya kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang
pertama < 12 bulan, temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang
yang cepat setelah demam. Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko
berulangnya kejang demam 80 % sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya
10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling besar pada tahun pertama.2,5Faktor
risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor risiko menjadi epilepsi
adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4% -
6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi
10% - 49% . 5

36
BAB IV

ANALISA KASUS

Definisi kejang demam menurut International League Against Epilepsy (ILAE)


adalah kejang yang terjadi setelah usia 1 bulan yang berkaitan dengan demam yang bukan
disebabkan oleh infeksi susunan saraf pusat, tanpa riwayat kejang sebelumnya pada masa
neonatus dan tidak memenuhi kriteria tipe kejang akut lainnya. Pada pasien ini, berusia 1
tahun 3 bulan datang dengan kejang yang berlangsung selama kurang 15 menit sebelum
masuk rumah sakit. Satu hari sebelum kejang timbul, pasien demam naik turun. Pada kejang
demam sering terjadi akibat infeksi ekstrakranium, pada pasien ini bangkitan kejang
terjadinya karena demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pencernaan atau karena
adanya penurunan kadar elektrolit. Satu minggu sebelum pasien masuk Rumah Sakit, pasien
mengalami diare. Ini adalah kejang pertama yang pernah dialami oleh pasien.

Karena kejang yang terjadi pada pasien berulang selama 2 kali dalam 24 jam, maka
kejang pada pasien diklasifikasikan menjadi kejang demam kompleks. Menurut pengakuan
ibunya, pasien tangan pasien melipat dan kaku pada saat kejang, mendelik ke atas dan tidak
sadar pada saat kejang.

Kejang pada pasien dapat terjadi karena demam yang didasari oleh adanya dugaan
infeksi pada saluran pencernaan karena adanya diare, demam, dan peningkatan LED. Oleh
karena itu, dianjurkan pemeriksaan faeces lengkap pada pasien untuk mengetahui apakah ada
organisme yang dapat menyebabkan infeksi saluran pencernaan pada pasien. Penurunan
kadar elektrolit pada pasien sendiri dapat disebabkan oleh karena adanya diare yang
berlangsung selama seminggu sebelum pasien dirawat. Penyebab infeksi ataupun massa
intrakranial maupun selaput otak disingkirkan karena pemeriksa tidak menemukan adanya
penurunan kesadaran maupun defisit neurologis pada pemeriksaan fisik pada pasien.

Pada pasien juga ditemukan gejala-gejala yang menunjukkan adanya tanda-tanda


dehidrasi ringan sedang, dengan adanya keadaan umum yang tampak sakit sedang, mata
cekung, peningkatan pernapasan, mata cekung dan turgor kulit yang berkurang. Peningkatan
pernapasan terjadi sebagai bentuk kompensasi akibat adanya penurunan volume cairan dalam
tubuh.

37
Adanya anemia pada pasien, masih harus ditelusuri lebih lanjut karena pemeriksa
tidak menemukan adanya perdarahan spontan pada pasien. Maka dianjurkan ditambahkan
pemeriksaan berupa Total Iron Binding Capacity.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Fuadi F, (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak, (Tesis), Universitas
Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
2. Soetomenggolo T.S, (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi, IDAI, Jakarta.
3. Jones T, Jacobsen S.J, (2007), Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications,
Int. J. Med. Sci. 4(2):110-114.
4. Wolf P, Shinnar S, (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology,
Third Edition.BC Decker Inc.
5. Pusponegoro H.D, Widodo D.P, Ismael S, (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
6. Kusuma D, Yuana I, (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan
Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
7. Scheffer I.E, Sadleir L.G, (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.
8. Bahtera T, (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa
Tengah.
9. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2010). Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak
Indonesia Jilid 1.
10. Srinivasan J, Wallace K.A., Scheffer I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family
Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
11. Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British
Columbia Medical Assosiation.
12. Mangunatmadja, I, Widodo D.P, (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini
Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang
Kalimantan Barat.
13. Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J Pediatri
2002;7:143-151

39

Anda mungkin juga menyukai