Anda di halaman 1dari 23

Referat

OSTEOPOROSIS

Oleh
Ian Ervan Simanungkalit, S.Ked

Pembimbing
Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD, KR

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Osteoporosis

Oleh:
Ian Ervan Simanungkalit, S.Ked
04054821820085

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Palembang, Juli 2018

Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD, KR

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan berkat-Nya telaah ilmiah yang berjudul “Osteoporosis” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat untuk memenuhi salah satu
syarat ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. dr. Radiyati Umi
Partan, SpPD, KR atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan telaah Ilmiah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................1


HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................2
KATA PENGANTAR ............................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................7
BAB III KESIMPULAN......................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Artritis gout atau artritis pirai adalah suatu peradangan sendi sebagai
manifestasi dari akumulasi endapan kristal monosodium urat, yang terkumpul di
dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah
(hiperurisemia).1
Jumlah kejadian artritis gout di Indonesia masih belum jelas karena data
yang masih sedikit. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki berbagai
macam jenis etnis dan kebudayaan, jadi sangat memungkinkan jika Indonesia
memiliki lebih banyak variasi jumlah kejadian artritis gout. 4 Pada tahun 2009 di
Maluku Tengah ditemukan 132 kasus, dan terbanyak ada di Kota Masohi
berjumlah 54 kasus.4 Prevalensi artritis gout di Desa Sembiran, Bali sekitar
18,9%, sedangkan di Kota Denpasar sekitar 18,2%. Tingginya prevalensi artritis
gout di masyarakat Bali berkaitan dengan kebiasaan makan makanan tinggi purin
seperti lawar babi yang diolah dari daging babi, betutu ayam/itik, pepes
ayam/babi, sate babi, dan babi guling.5
Artritis gout merupakan suatu penyakit metabolik yang terkait dengan
peradangan sendi akibat peningkatan kadar asam urat dalam darah/hiperurisemia.
Hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana kadar asam urat serum diatas normal
yaitu lebih dari 7 mg/dL pada laki-laki dan lebih dari 6 mg/dL pada wanita.
Keadaan hiperurisemia terjadi akibat penurunan pengeluaran (underexcretion)
asam urat melalui ginjal atau sintesis asam urat meningkat (overproduction).
Keadaan sintesis asam urat meningkat dapat diakibatkan oleh faktor genetik
adanya gangguan metabolisme purin bawaan, pengaruh asupan makanan yang
tinggi akan purin tinggi (seperti: daging, jeroan, seafood, keju, kacang tanah,
bayam, buncis) , dan asupan alkohol. Mereka yang memiliki keluarga penderita
asam urat merupakan salah satu faktor risiko serangan asam urat. Sekitar 18
persen penderita asam urat memiliki riwayat penyakit yang sama pada salah satu
anggota keluarganya, entah dari orang tua maupun kakek-neneknya.22,23

5
Walaupun asam urat tidak mengancam jiwa, namun apabila penyakit ini
sudah mulai menyerang, penderitanya akan mengalami siksaan nyeri yang sangat
menyakitkan, terjadi pembengkakan, hingga cacat pada persendian tangan dan
kaki. Rasa sakit pada pembengkakan tersebut oleh endapan kristal monosodium
urat yang menimbulkan rasa nyeri pada daerah tersebut. 23 Oleh karena itu,
mengetahui secara pasti penyakit artritis gout penting agar morbiditas menurun.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan telaah ilmiah ini adalah untuk menjelaskan secara
singkat diagnosis dan tatalaksana artritis gout.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ARTRITIS GOUT


2.1.1 Definisi
Artritis gout atau artritis pirai adalah suatu peradangan sendi
sebagai manifestasi dari akumulasi endapan kristal monosodium urat, yang
terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di
dalam darah (hiperurisemia). Tidak semua orang dengan hiperurisemia
adalah penderita atritis gout atau sedang menderita artritis gout, namun
risiko terjadi artritis gout lebih besar dengan meningkatnya konsentrasi
asam urat darah.1
2.1.2 Epidemiologi
Artritis gout menyebar secara merata di seluruh dunia. Prevalensi
bervariasi antar negara yang kemungkinan disebabkan oleh adanya
perbedaan lingkungan, diet, dan genetic.2 Di Inggris dari tahun 2000
sampai 2007 kejadian artritis gout 2,68 per 1000 penduduk, dengan
perbandingan 4,42 penderita pria dan 1,32 penderita wanita dan meningkat
seiring bertambahnya usia.3 Di Italia kejadian artritis gout meningkat dari
6,7 per 1000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 9,1 per 1000 penduduk
pada tahun 2009.2
Di Indonesia sendiri diperkirakan 1,6-13,6/100.000 orang,
prevalensi ini meningkat seiring dengan meningkatnya umur. Perlu
diketahui pula di Indonesia gout diderita pada usia lebih awal
dibandingkan dengan negara barat. 32% serangan gout terjadi pada usia
dibawah 34 tahun. Sementara diluar negeri rata-rata diderita oleh kaum
pria diatas usia tersebut.
Dari data Dinas Kesehatan Ponorogo khususnya di wilayah
Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo pada tahun 2015 lansia yang
mengalami gout arthritis yaitu laki – laki sejumlah 1.645 jiwa sedangkan

7
perempuan sejumlah 3.234 jiwa, sehingga banyak lansia yang mengalami
penyakit gout arthritis.

2.1.3 Etiologi
Penyakit ini dikaitkan dengan adanya abnormalitas kadar asam urat
dalam serum darah dengan akumulasi endapan kristal monosodium urat,
yang terkumpul di dalam sendi. Keterkaitan antara gout dengan
hiperurisemia yaitu adanya produksi asam urat yang berlebih, menurunnya
eksreksi asam urat melalui ginjal, atau mungkin keduanya.1
2.1.4 Faktor Risiko
Faktor risiko dari artritis gout meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
medikasi, obesitas, konsumsi purin dan alkohol. Pria memiliki tingkat
serum asam urat lebih tinggi daripada wanita, yang meningkatkan resiko
mereka terserang artritis gout. Perkembangan artritis gout sebelum usia 30
tahun lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan wanita. Namun angka
kejadian artritis gout menjadi sama antara kedua jenis kelamin setelah usia
60 tahun. Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan
bertambahnya usia dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun.6
Wanita mengalami peningkatan resiko artritis gout setelah
menopause, kemudian resiko mulai meningkat pada usia 45 tahun dengan
penurunan level estrogen karena estrogen memiliki efek urikosurik, hal ini
menyebabkan artritis gout jarang pada wanita muda. 7 Pertambahan usia
merupakan faktor resiko penting pada pria dan wanita. Hal ini
kemungkinan disebabkan banyak faktor, seperti peningkatan kadar asam
urat serum (penyebab yang paling sering adalah karena adanya penurunan
fungsi ginjal), peningkatan pemakaian obat diuretik, dan obat lain yang
dapat meningkatkan kadar asam urat serum.8
Penggunaan obat diuretik merupakan faktor resiko yang signifikan
untuk perkembangan artritis gout. Obat diuretik dapat menyebabkan
peningkatan reabsorpsi asam urat dalam ginjal, sehingga menyebabkan
hiperurisemia. Dosis rendah aspirin, umumnya diresepkan untuk

8
kardioprotektif, juga meningkatkan kadar asam urat sedikit pada pasien
usia lanjut. Hiperurisemia juga terdeteksi pada pasien yang memakai
pirazinamid, etambutol, dan niasin.6
Obesitas dan indeks massa tubuh berkontribusi secara signifikan
dengan resiko artritis gout. Resiko artritis gout sangat rendah untuk pria
dengan indeks massa tubuh antara 21 dan 22 tetapi meningkat tiga kali
lipat untuk pria yang indeks massa tubuh 35 atau lebih besar. 6 Obesitas
berkaitan dengan terjadinya resistensi insulin. Insulin diduga
meningkatkan reabsorpsi asam urat pada ginjal melalui urate anion
exchanger transporter-1 (URAT1) atau melalui sodium dependent anion
cotransporter pada brush border yang terletak pada membran ginjal
bagian tubulus proksimal.
Dengan adanya resistensi insulin akan mengakibatkan gangguan
pada proses fosforilasi oksidatif sehingga kadar adenosin tubuh
meningkat. Peningkatan konsentrasi adenosin mengakibatkan terjadinya
retensi sodium, asam urat dan air oleh ginjal.9
Konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut
(terutama kerang dan beberapa ikan laut lain) meningkatkan resiko artritis
gout. Sayuran yang banyak mengandung purin, yang sebelumnya
dieliminasi dalam diet rendah purin, tidak ditemukan memiliki hubungan
terjadinya hiperurisemia dan tidak meningkatkan resiko artritis gout. 6
Mekanisme biologi yang menjelaskan hubungan antara konsumsi alkohol
dengan resiko terjadinya serangan gout yakni, alkohol dapat mempercepat
proses pemecahan adenosin trifosfat dan produksi asam urat.10
Metabolisme etanol menjadi acetyl CoA menjadi adenine nukleotida
meningkatkan terbentuknya adenosin monofosfat yang merupakan
prekursor pembentuk asam urat. Alkohol juga dapat meningkatkan asam
laktat pada darah yang menghambat eksresi asam urat.8 Alasan lain yang
menjelaskan hubungan alkohol dengan artritis gout adalah alkohol
memiliki kandungan purin yang tinggi sehingga mengakibatkan over
produksi asam urat dalam tubuh.10

9
Asam urat merupakan produk akhir dari metabolism purin. Dalam
keadaan normalnya, 90% dari hasil metabolit nukleotida adenine, guanine,
dan hipoxantin akan digunakan kembali sehingga akan terbentuk kembali
masing-masing menjadi adenosine monophosphate (AMP), inosine
monophosphate (IMP), dan guanine monophosphate (GMP) oleh adenine
phosphoribosyl transferase (APRT) dan hipoxantin guanine
phosphoribosyl transferase (HGPRT). Hanya sisanya yang akan diubah
menjadi xantin dan selanjutnya akan diubah menjadi asam urat oleh enzim
xantin oksidase.11
2.1.5 Patofisiologi
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya
dalam plasma berlebih, sekitar 7,0 mg/dl. Kadar monosodium urat pada
plasma bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong terjadinya
pembentukan kristal. Hal ini terbukti pada beberapa penderita
hiperurisemia tidak menunjukkan gejala untuk waktu yang lama sebelum
serangan artritis gout yang pertama kali. Faktor-faktor yang mendorong
terjadinya serangan artritis gout pada penderita hiperurisemia belum
diketahui pasti. Diduga kelarutan asam urat dipengaruhi pH, suhu, dan
ikatan antara asam urat dan protein plasma.14
Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi
dengan fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah
dengan cara mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni
opsonisasi dan fagositosis serta mengeluarkan mediator inflamasi.
Mekanisme kedua adalah kristal monosodium urat berinteraksi langsung
dengan membran lipid dan protein melalui membran sel dan glikoprotein
pada fagosit. Interaksi ini mengaktivasi beberapa jalur transduksi seperti
protein G, fosfolipase C dan D, Srctyrosine-kinase, ERK1/ERK2, c-Jun N-
terminal kinase, dan p38 mitogen-activated protein kinase. Proses diatas
akan menginduksi pengeluaran interleukin (IL) pada sel monosit yang
merupakan faktor penentu terjadinya akumulasi neutrofil.9

10
Pengenalan kristal monosodium urat diperantarai oleh Toll-like
receptor (TLR) 2 dan TLR 4, kedua reseptor tersebut beserta TLR protein
penyadur MyD88 mendorong terjadinya fagositosis. Selanjutnya proses
pengenalan TLR 2 dan 4 akan mengaktifkan faktor transkripsi nuclear
factor-kB dan menghasilkan berbagai macam faktor inflamasi. 15 Proses
fagositosis kristal monosodium urat menghasilkan reactive oxygen species
(ROS) melalui NADPH oksidase. Keadaan ini mengaktifkan NLRP3,
kristal monosodium urat juga menginduksi pelepasan ATP yang nantinya
akan mengaktifkan P2X7R. Ketika P2X7R diaktifkan akan terjadi proses
pengeluaran cepat kalium dari dalam sel yang merangsang NLRP3.
Kompleks makro melekular yang disebut dengan inflamasom terdiri dari
NLRP3, ASC dan pro-caspase-1 dan CARDINAL. Semua proses diatas
nantinya akan menghasilkan IL-1α.14
Sel-sel yang sering diteliti pada artritis gout adalah lekosit,
neutrofil, dan makrofag.14 Salah satu komponen utama pada inflamasi akut
adalah pengaktifan vascular endhotelial yang menyebabkan vasodilatasi
dengan peningkatan aliran darah, peningkatan permeabilitas terhadap
protein plasma dan pengumpulan lekosit ke dalam jaringan. Aktivasi
endotel akan menghasilkan molekul adhesi seperti E-selectin, intercellular
adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) yang kemungkinan disebabkan karena adanya faktor TNF-α
yang dikeluarkan oleh sel mast.16
Neutrofil berkontribusi pada proses inflamasi melalui faktor
kemotaktik yakni sitokin dan kemokin yang berperan pada adhesi endotel
dan proses transmigrasi. Sejumlah faktor yang diketahui berperan dalam
proses artritis gout adalah IL-1α, IL-8, CXCL1, dan granulocyte
stimulating-colony factor.14
Penurunan konsentrasi asam urat serum dapat mencetuskan
pelepasan kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofus (crystals
shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia
asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan

11
lutut yang sebelumnya tidak pernah mendapat serangan akut. Dengan
demikian gout dapat timbul pada keadaan asimptomatik.12
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis
gout. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk
menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses
inflamasi itu adalah untuk menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
serta mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.12
Reaksi inflamasi yang berperan dalam proses melibatkan makrofag,
neutrofil, yang nantinya menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara
lain, TNF α, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, alarmin, dan
leukotriene.17
2.1.6 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari artritis gout adalah sebagai berikut1:
a. Tanda
1) Artritis gout tipikal
- Beratnya serangan artritis menyebabkan penderita tidak
bisa berjalan, tidak dapat memakai sepatu dan
mengganggu tidur. Rasa nyeri digambarkan sebagai
excruciating pain dan mencapai puncak 24 jam. Tanpa
pengobatan pada serangan permulaan dapat sembuh 3-4
hari.
- Serangan biasanya bersifat monoartikuler.
- Remisi sempurna antara serangan akut
- Hiperurisemia. Biasanya berhubungan dengan serangan
artritis gout akut, tetapi diagnosis artritis tidak harus
disertai hiperurisemia. Fluktuasi asam urat serum dapat
mempresipitasi serangan gout.
- Faktor pencetus. Faktor pencetus adalah trauma sendi,
alcohol, obat-obatan dan tindakan pembedahan. Biasanya
faktor-faktor ini sudah diketahui penderita.
2) Artritis gout atipikal

12
Gambaran klinik yang khas seperti artritis berat,
monoartikuler dan remisi sempurna tidak ditemukan. Akan
tetapi, yang biasanya timbul beberapa tahun sesudah
serangan pertama ternyata ditemukan bersama dengan
serangan akut. Jenis atipikal ini jarang ditemukan. Dalam
menghadapi kasus gout yang atipikal, diagnosis harus
dilakukan secara cermat. Untuk hal ini diagnosis dapat
dipastikan dengan melakukan pungsi cairan sendi dan
selanjutnya secara mikroskopis di lihat kristal urat.
b. Gejala
Dalam evolusi artritis gout didapatkan 4 fase dan gejala
sebagai berikut1:
1) Artritis gout akut
Manifestasi serangan akut memberikan gambaran yang khas
dan dapat langsung menegakan diagnosis. Sendi yang paling
sering terkena adalah metatarsophalangeal pertama (75%)
yang biasa disebut dengan podagra. Pada sendi yang terkena
jelas terlihat gejala inflamasi yang lengkap. Radang sendi pada
stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam
waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apa-apa. Pada saat
bangun pagi terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa
nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik
berupa demam, menggigil dan merasa lelah.12
2) Artritis gout interkritikal
Fase ini adalah fase antara dua serangan akut tanpa gejala
klinik. Walaupun tanpa gejala, kristal monosodium dapat
ditemukan pada cairan yang diaspirasi dari sendi. Kristal ini
dapat ditemukan pada sel synovia, pada vakuola sel synovia
dan pada vakuola sel mononuclear leukosit.

13
3) Hiperurikemia asimptomatis
Fase ini tidak identik dengan artritis gout. Pada penderita
dengan keadaan ini sebaiknya diperiksa juga kadar kolesterol
darah karena peninggian asam urat darah hampir selalu
disertai peninggian kolesterol.
4) Artritis gout menahun dengan tofi
Tofi adalah penimbunan kristal urat subkutan sendi dan terjadi
pada artritis gout menahun, yang biasanya sudah berlangsung
lama kurang lebih antara 5-10 tahun. Stadium gout menahun
ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri sehingga
dalam waktu lama tidak berobat secara teratur pada dokter.
Artritis gout menahun biasanya disertai tofus yang banyak dan
terdapat poliartikuler.12 Tofus terbentuk pada masa artritis gout
kronis akibat insolubilitas relatif asam urat. Awitan dan ukuran
tofus secara proporsional mungkin berkaitan dengan kadar
asam urat serum.13
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The
American College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat
dalam cairan sendi atau tofus dan/atau bila ditemukan 6 dari 12 kriteria
yaitu, inflamasi maksimum pada hari pertama, serangan akut lebih dari
satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang terkena berwarna kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada sendi metatarsofalangeal, serangan pada
sendi metatarsofalangeal unilateral, adanya tofus, hiperurisemia, pada foto
sinar-X tampak pembengkakan sendi asimetris dan kista subkortikal tanpa
erosi, dan kultur bakteri cairan sendi negatif.
Namun diagnosis artritis gout dapat juga meliputi kriteria analisis
cairan sinovial, terdapat kristal-kristal asam urat berbentuk jarum baik di
cairan eksraseluler maupun intraseluler, asam urat serum, asam urat urin,
ekskresi >800 mg/dl dalam diet normal tanpa pengaruh obat, yang
menunjukkan overproduksi, skrining untuk menemukan faktor resiko,

14
seperti urinalisis, serum kreatinin, tes fungsi hati, kadar glukosa dan
lemak, dan hitung darah lengkap, jika terbukti karena overproduksi,
konsentrasi eritrosit hypoxantine guanine phosporibosyl transferase
(HGPRT) dan 5- phosphoribosyl-1-pyrophosphate (PRPP) terbukti
meningkat, foto sinar-X, menunjukkan perubahan kistik, erosi dengan
garis tepi bersklerosi pada artritis gout kronis.18
Artritis gout memiliki diagnosis banding seperti artritis septik,
psoriasis, calcium pyrophosphate deposition disease (CPPD), dan artritis
rematik. Untuk diagnosis definitif artritis gout dikonfirmasikan dengan
analisis cairan sendi dimana pada penderita artritis gout mengandung
monosodium urat yang negatif birefringent (refraktif ganda) yang juga
ditelan oleh neutrofil (dilihat dengan mikroskop sinar terpolarisasi.19
Analisis cairan sinovial dan kultur sangat penting untuk membedakan
artritis septik dengan artritis gout. Artritis gout cenderung tidak simetris
dan faktor reumatoid negatif, sedangkan pada artritis rematik cenderung
terjadi simetris dan lebih dari 60% kasus memiliki faktor reumatoid
positif. Hiperurisemia juga sering terjadi pada penderita psoriasis dan
adanya lesi kulit membedakan kasus ini dengan artritis gout.20
2.1.8 Penatalaksanaan
Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi,
pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan dini
agar tidak terjadi kerusakan sendi ataupun komplikasi lain. Tujuan terapi
meliputi terminasi serangan akut; mencegah serangan di masa depan;
mengatasi rasa sakit dan peradangan dengan cepat dan aman; mencegah
komplikasi seperti terbentuknya tofi, batu ginjal, dan arthropati destruktif.
Pengelolaan gout sebagian bertolakan karena adanya komorbiditas;
kesulitan dalam mencapai kepatuhan terutama jika perubahan gaya hidup
diindikasikan; efektivitas dan keamanan terapi dapat bervariasi dari pasien
ke pasien. Namun, dengan intervensi awal, pemantauan yang cermat, dan
pendidikan pasien, prognosisnya baik.

15
Gout dapat dicegah dengan mengurangi konsentrasi asam urat
serum < 6,0 mg/dL. Penurunan kurang dari 5,0 mg/dL mungkin diperlukan
untuk resorpsi dari tofi. Terapi dengan obat yang menurunkan konsentrasi
asam urat serum harus dipertimbangkan, ketika semua kriteria sebagai
berikut: penyebab hiperurisemia tidak dapat dikoreksi atau, jika diperbaiki,
tidak menurunkan konsentrasi serum asam urat kurang dari 7,0 mg/dL;
pasien memiliki dua atau tiga serangan pasti gout atau memiliki tofi; dan
pasien dengan kebutuhan untuk minum obat secara teratur dan permanen.
Dua kelas obat yang tersedia: obat urikosurik (misalnya probenesid) dan
xanthine oxidase inhibitor (misalnya Allopurinol).
Obat urikosurik meningkatkan ekskresi asam urat, sehingga
menurunkan konsentrasi asam urat serum. Risiko utama yang terkait
dengan obat ini melibatkan peningkatan ekskresi asam urat kemih yang
terjadi segera setelah terapi inisiasi. Sebaliknya, inhibitor xantin oksidase
memblokir langkah terakhir dalam sintesis asam urat, mengurangi
produksi asam urat sekaligus meningkatkan prekursornya, xanthine dan
hipoksantin (oksipurin). Secara umum, inhibitor xantin oksidase
diindikasikan pada pasien dengan peningkatan produksi asam urat
(overproducers), dan obat urikosurik pada mereka dengan ekskresi urat
yang rendah (underexcretors). Beberapa pasien, memiliki kedua faktor-
misalnya, pasien dengan clearance asam urat rendah dan asupan makanan
tinggi purin dan alkohol. Allopurinol lebih sering direkomendasikan
karena menawarkan kenyamanan dengan dosis tunggal harian dan efektif
dalam overproducers atau underexcretors atau keduanya.
Allopurinol, pirazolopirimidin dan analog dari hipoksantin, adalah
satu-satunya inhibitor xanthine oxidase dalam penggunaan klinis. Inhibitor
xanthine oxidase bekerja dengan menghambat pusat molybdenum pterin
yang merupakan tempat aktif xanthine oksidase. Xanthine oksidase
dibutuhkan untuk mengoksidasi hipoxanthine dan xanthine menjadi asam
urat dalam tubuh.4 Allopurinol adalah obat pilihan untuk orang dengan
kelebihan asam urat, pembentukan tophus, nefrolitiasis, atau

16
kontraindikasi untuk terapi urikosurik lain. Ini merupakan obat pilihan
dalam kasus insufisiensi ginjal, tetapi toksisitasnya paling sering terjadi
ketika laju filtrasi glomerulus berkurang. Keracunan biasanya dapat
dihindari jika dosis disesuaikan dengan tepat. Dosis yang tepat adalah 100
mg per hari pada pasien dengan tingkat filtrasi glomerulus sekitar 30 ml
per menit, 200 mg per hari pada pasien dengan laju filtrasi sekitar 60 ml
per menit, dan 300 mg per hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Agen urikosurik efektif untuk pasien dengan laju filtrasi
glomerulus melebihi 50-60 mL/menit; bersedia untuk minum setidaknya
dua liter cairan setiap hari dan mempertahankan aliran urin yang baik,
bahkan di malam hari; tidak memiliki sejarah nefrolitiasis atau keasaman
urin yang berlebihan; dan dapat menghindari konsumsi semua salisilat,
yang dapat menghambat efek agen urikosurik itu. Probenesid adalah agen
urikosurik yang paling umum digunakan. Dosis awal adalah 0,5 gr/hari;
dosis meningkat perlahan-lahan tidak lebih dari 1 gr dua kali sehari, atau
sampai tingkat target urat tercapai. Efek samping yang umum termasuk
ruam dan GI serta urat nefrolitiasis merugikan yang memberi pengaruh
perhatian terbesar. Pembentukan batu meskipun upaya untuk
mempertahankan volume urin tinggi menunjukkan bahwa terapi urikosurik
mungkin tidak sesuai, dan allopurinol lebih disukai pada pasien tersebut.
Selain itu untuk mengurangi rasa nyeri pasien saat serangan,
diperlukan pemberian obat-obat analgetik seperti:
1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINs).
OAINS dapat mengontrol inflamasi dan rasa sakit pada penderita
gout secara efektif. Efek samping yang sering terjadi karena OAINS
adalah iritasi pada sistem gastroinstestinal, ulserasi pada perut dan usus,
dan bahkan pendarahan pada usus. Penderita yang memiliki riwayat
menderita alergi terhadap aspirin atau polip tidak dianjurkan menggunakan
obat ini. Contoh dari OAINS adalah indometasin. Dosis obat ini adalah
150- 200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai
minggu berikutnya.

17
2. Kolkisin
Kolkisin efektif digunakan pada gout akut, menghilangkan nyeri
dalam waktu 48 jam pada sebagian besar pasien. Kolkisin mengontrol gout
secara efektif dan mencegah fagositosis kristal urat oleh neutrofil, tetapi
seringkali membawa efek samping, seperti nausea dan diare.
Dosis efektif kolkisin pada pasien dengan gout akut berhubungan
dengan penyebab keluhan gastrointestinal. Obat ini biasanya diberikan
secara oral pada awal dengan dosis 1 mg, diikuti dengan 0,5 mg setiap dua
jam atau dosis total 6,0 mg atau 8,0 mg telah diberikan. Kebanyakan
pasien, rasa sakit hilang 18 jam dan diare 24 jam; peradangan sendi reda
secara bertahap pada 75-80% pasien dalam waktu 48 jam. Pemberian
kolkisin dosis rendah dapat menurunkan efek samping gastro-intestinal
ataupun efek toksisitas dari kolkisin itu sendiri. AGREE (Acute Gout
Flare Receiving Kolkisine Evaluation) membandingkan efektivitas
pemberian kolkisin dalam dosis tinggi (4,8 mg dalam 6 jam) dan dalam
dosis rendah (1,8 mg dalam 1 jam) dalam sebuah studi acak. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kolkisin dosis rendah lebih superior dalam
hal efikasi maupun tingkat keamanannya dibandingkan kolkisin dosis
tinggi. Pemberian kolkisin lebih dari 1,8 mg dalam 1 jam (AUC0 43.8
nanograms x jam/ml) akan meningkatkan efek sampingnya tanpa
meningkatkan efek klinisnya.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya berbentuk pil atau dapat pula berupa
suntikan yang lansung disuntikkan ke sendi penderita. Efek samping dari
steroid antara lain penipisan tulang, susah menyembuhkan luka dan juga
penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Steroids digunakan pada
penderita gout yang tidak bisa menggunakan OAINS maupun kolkisin.
Prednison 20-40 mg per hari diberikan selama tiga sampai empat hari.
Dosis kemudian diturunkan secara bertahap selama 1-2 minggu. ACTH
diberikan sebagai injeksi intramuskular 40-80 IU, dan beberapa dokter
merekomendasikan dosis awal dengan 40 IU setiap 6 sampai 12 jam untuk

18
beberapa hari, jika diperlukan. Seseorang dengan gout di satu atau dua
sendi besar dapat mengambil manfaat dari drainase sendi diikuti dengan
injeksi intraartikular dengan 10-40 mg triamsinolon atau 2-10 mg
deksametason, kombinasi dengan lidokain.

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari artritis gout meliputi severe degenerative arthritis,
infeksi sekunder, batu ginjal dan fraktur pada sendi. Sitokin, kemokin,
protease, dan oksidan yang berperan dalam proses inflamasi akut juga
berperan pada proses inflamasi kronis sehingga menyebabkan sinovitis
kronis, dekstruksi kartilago, dan erosi tulang.2 Kristal monosodium urat
dapat mengaktifkan kondrosit untuk mengeluarkan IL-1, merangsang
sintesis nitric oxide dan matriks metaloproteinase yang nantinya
menyebabkan dekstruksi kartilago. Kristal monosodium urat mengaktivasi
osteoblas sehingga mengeluarkan sitokin dan menurunkan fungsi anabolik
yang nantinya berkontribusi terhadap kerusakan juxta artikular tulang.9
Artritis gout telah lama diasosiasikan dengan peningkatan resiko
terjadinya batu ginjal. Penderita dengan artritis gout membentuk batu
ginjal karena urin memilki pH rendah yang mendukung terjadinya asam
urat yang tidak terlarut.24 Terdapat tiga hal yang signifikan kelainan pada
urin yang digambarkan pada penderita dengan uric acid nephrolithiasis
yaitu hiperurikosuria (disebabkan karena peningkatan kandungan asam
urat dalam urin), rendahnya pH (yang mana menurunkan kelarutan asam
urat), dan rendahnya volume urin (menyebabkan peningkatan konsentrasi
asam urat pada urin).25

2.1.10 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

19
BAB III
KESIMPULAN

Artritis gout merupakan suatu gangguan metabolik dimana terjadi


peningkatan kadar asam urat dalam darah. Kadar asam urat dalam darah
dipengaruhi oleh produksi dan ekskresi.
Etiologi penyakit ini dikaitkan dengan adanya abnormalitas kadar asam
urat dalam serum darah dengan akumulasi endapan kristal monosodium urat, yang
terkumpul di dalam sendi.
Prevalensi artritis gout pada pria meningkat dengan bertambahnya usia
dan mencapai puncak antara usia 75 dan 84 tahun. Wanita mengalami peningkatan
resiko artritis gout setelah menopause. Penggunaan obat diuretic, obesitas,
konsumsi tinggi alkohol dan diet kaya daging serta makanan laut merupakan
faktor risiko artritis gout.
Monosodium urat akan membentuk kristal ketika konsentrasinya dalam
plasma berlebih. Kristal monosodium urat yang menumpuk akan berinteraksi
dengan fagosit melalui dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah dengan cara
mengaktifkan sel-sel melalui rute konvensional yakni opsonisasi dan fagositosis
serta mengeluarkan mediator inflamasi. Peradangan atau inflamasi merupakan
reaksi penting pada artritis gout. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh
non spesifik untuk menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan
dari proses inflamasi itu adalah untuk menetralisir dan menghancurkan agen
penyebab serta mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.
Tanda pada artritis gout dibagi menjadi artritis gout tipikal dan artritis gout
atipikal. Gejala pada gout artritis bergantung pada fase dari penyait ini, terdapat 4
fase yaitu artritis gout akut, artritis gout interkritikal, hiperurikemia asimptomatis
dan artritis gout menahun dengan tofi.
Diagnosis artritis gout dilakukan sesuai dengan kriteria dari The American
College of Rheumatology (ACR) yaitu terdapat kristal urat dalam cairan sendi atau
tofus dan/atau bila ditemukan 6 dari 12 kriteria yaitu, inflamasi maksimum pada
hari pertama, serangan akut lebih dari satu kali, artritis monoartikuler, sendi yang

20
terkena berwarna kemerahan, pembengkakan dan nyeri pada sendi
metatarsofalangeal, serangan pada sendi metatarsofalangeal unilateral, adanya
tofus, hiperurisemia, pada foto sinar-X tampak pembengkakan sendi asimetris dan
kista subkortikal tanpa erosi, dan kultur bakteri cairan sendi negatif.
Penatalaksanaan artritis gout dapat berupa non-farmokologi dengan cara
edukasi memperbaiki pola hidup terutama pola makan, dan juga penatalaksanaan
farmokologi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Noor Helmi, Zairin. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuluskeletal. Jakarta:


Medika salemba
2. Rotschild, BM. 2013. Gout and Pseudogout, Emedicine Medscape, diakses
19 Mei 2018, http://www.emedicine. medscape. com/article/329958-author
3. Soriano et al. 2011. Contemporary Epidemiology of Gout in The UK
General Population, NCBI, diakses 19 Mei 2018,
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3132018
4. Talarima et al. 2012. Faktor Risiko Gouty Athritis di Kota Masohi
Kabupaten Maluku Tengah Tahun 2010, Makara-Kesehatan, Vol. 16, No. 2
pp. 90
5. Hensen, TRP. 2007. Hubungan Konsumsi Purin Dengan Hiperurisemia
Pada Suku Bali di Daerah Pariwisata Pedesaan, Jurnal Penyakit Dalam,
Vol. 8, No. 1, pp. 38

21
6. Weaver, AL. 2008. Epidemiology of Gout, Cleveland Clinic Journal of
Medicine, Vol. 75, No. 5, pp. S9-S10
7. Roddy, E dan Doherty, M. 2010. Epidemiology of Gout, Arthritis Research
and Therapy, diakses 19 Mei 2018,
http://arthritisresearch.com/content/12/6/223
8. Doherty, M. 2009. New Insights Into The Epidemiology of Gout, Oxford
Journals, pp. ii2-ii8
9. Choi et al. 2005, Pathogenesis of Gout, American College of Physicians,
pp. 499-516
10. Zhang et al. 2006, Alcohol Consumption as a Trigger of Recurrent Gout
Attacks, The American Journal of Medicine, pp. 800.e13-800.e18
11. Silbernagl, S 2006, Acid Base Homeostatis in Color Atlas of Physiology,
Thieme, New York
12. Tehupeiory, ES 2006, Artritis Gout dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, FKUI, Jakarta pp. 1208-1210
13. Carter, MA 2006, Gout dalam Patofosiologi: Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, EGC, Jakarta pp. 1402-1405
14. Busso N, So A. 2010,. Mechanisms of Inflammation in Gout, Arthritis
Research and Therapy, diakses 20 Mei 2018, http://arthritis-
research.com/content/12/2/206
15. Cronstein BN, Terkeltaub R. 2006. The Inflammatory Process of Gout and
Its Treatment, Arthritis Research and Therapy, diakses 20 Mei 2018,
http://arthritisresearch. com/content/8/S1/S3
16. Dalbeth N, Haskard DO 2005, Mechanisms of Inflammation in Gout,
Oxford Journals, pp. 1090-1096
17. Neogi, T. 2011. Clinical Practice of Gout, The New England Journal of
Medicine, pp. 443-447
18. Fauci et al. 2008. Gout, Pseudogout, and Related Disease in Harrisons’s
Manual of Medicine 17th Edition, The McGraw Hill Companies, USA pp.
903-904

22
19. Setter SM, Sonnet TS. 2005. New Treatment Option in the Management of
Gouty Arthritis, US Pharmacist
20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care
Untuk Pasien Penyakit Artritis Rematik, Jakarta
21. Sholihah, F.M. 2014. Diagnosis and Trearment Gout Arthritis. Artikel
review, Faculty of Medicine, Universitas Lampung, J MAJORITY Vol 3: (
7) 39-45.
22. Widyanto, FW. Artritis Gout dan Perkembangannya. Ejournal. Vol 10 : (2).
Diakses 20 Mei 2018. http://ejournal.umm.ac.id/.
23. Fitriana, Rahmatul. 2015. Cara Cepat Usir Asam Urat. Yogyakarta:
Medika.
24. Liebman et al. 2007, Urid Acid Nephrolithiasis, Current Rheumatology
Reports, Vol. 9, No. 3, pp. 251-257
25. Sakhaee K, Maalouf NM 2008, Metabolic Syndrome and Uric Acid
Nephrolithiasis, Seminars in Nephrology, Vol. 28, No. 2, pp. 174-180

23

Anda mungkin juga menyukai