Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Kesehatan merupakan salah satu hal yang penting dalam hidup


seseorang. Ketika kesehatan seseorang terganggu, mereka akan berusaha
bagaimana caranya untuk menyehatkan tubuhnya kembali. Salah satu upaya
mengembalikan kesehatannya adalah datang pada sarana pelayanan
kesehatan. Upaya mengembalikan kesehatan tidak akan terwujud secara
maksimal apabila tidak didukung dengan pelayanan yang baik dari sarana
pelayanan kesehatan tersebut.
Seiring dengan kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengakses
informasi, masyarakat menjadi semakin kritis. Masyarakat semakin peka
dalam menyikapi persoalan, termasuk memberikan penilaian terhadap
pelayanan yang diberikan petugas kesehatan.
Sorotan masyarakat yang tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan mengenai tuntutan hukum terhadap dokter semakin
meningkat. Hal itu dapat terjadi akibat kesadaran hukum pasien yang
semakin meningkat selain itu kesadaran atau semakin mengertinya pasien
mengenai hak-haknya ketika dirawat oleh seorang dokter. Interpretasi yang
salah di masyarakat luas bahwa kegagalan dokter dalam mengobati pasien
dianggap sebuah tindakan malpraktek, padahal seorang dokter tidak bisa
disalahkan bila tindakan yang dilakukaan dirinya dalam upaya penyembuhan
pasien sudah sesuai dengan Standard Operational Procedure (SOP).
Menurut Valentinv. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, malpraktek adalah kelalaian dari seseorang dokter atau
perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan
dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim digunakan terhadap pasien
atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama, dari

1
definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah
terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Namun menurut World Medical Association, tidak semua kegagalan medis
adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat
diduga sebelumnya yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai
standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk dalam
pengertian malpraktik atau kelalaian medik.
Sejak 2006 hingga 2012, tercatat ada 182 kasus malpraktek yang
terbukti dilakukan dokter di seluruh Indonesia. Malpraktek ini terbukti
dilakukan dokter setelah melalui sidang yang dilakukan Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Akibat dari malpraktek yang
terjadi selama ini, sudah ada 29 dokter yang ijin prakteknya dicabut
sementara.
Oleh karena itu pengetahuan mengenai malpraktek penting untuk
dipahami bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan praktiknya, khususnya
penyedia pelayanan kesehatan primer seperti dokter umum.

1.2 Rumusan masalah


1. Bagaimana penerapan medikolegal dalam menghadapi malpraktek?

2. Apa definisi dan jenis – jenis malpraktek?

3. Bagaimana upaya-upaya menghindari malpraktek?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
1. Mengetahui definisi dan jenis – jenis malpraktek.

2. Mengetahui unsur-unsur malpraktek.

3. Mengetahui batasan malpraktek.

4. Mengetahui upaya-upaya menghindari malpraktek.

5. Mengetahui upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Medikolegal dan Malpraktek

Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik


atau kelalaian medik di Indonesia, ditambah “keberanian” pasien yang
menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para dokter seakan baru mulai
'sibuk' berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek.
'Kesibukan' ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan
keadaan sosial ekonomi masyarakat. Selain sudah mempunyai Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada yang
mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Profesi Dokter (MKPD)
dan peradilan ad hoc. Dalam hal seorang dokter diduga melakukan
pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia
akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin
profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK
menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan
pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di
kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 /
2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran
disiplin profesi kedokteran.
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum
yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu,
seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dan lain-lain. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek
etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena

3
banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau
sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik
kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan
tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang
memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki
sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi
semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur
dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal
selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah
bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran
standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus
pelanggaran hukum.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968
menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran
Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang
kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama
dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga
berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral
yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan
dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis
memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis
yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.
Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan,
banyak yang memerlukan pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata
laksana standar kedokteran ada di luar pengetahuan juri. Jika terdapat

4
tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan tuduhan
tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan
tersebut. Bukti tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi
yang sesuai dengan subjek yang dipermasalahkan. Karena itu, umumnya
banyak didapatkan dokter enggan bersaksi melawan teman sejawatnya.
Alasan keengganannya tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan
malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman
pengeluaran dari komunitas tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan
asuransi dokter tersebut, ancaman pengadilan profesi, dan adanya
konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan yang lebih relevan dan dapat
diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk: (1) Pasien
mengenai resiko berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2) Faktor
penyebab kelalaian terletak di tangan pasien, (3) terletak pada pihak ke tiga.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak
selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” memiliki arti “salah”,
“praktek” memiliki arti “pelaksanaan” atau “tindakan” sehingga malpraktek
berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan
suatu profesi.
Dari segi hukum, malpraktek dapat terjadi karena suatu tinndakan
yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan
kelalaian (negligence) ataupun suatu kekurangmahiran/ketidakkompetenan
yang tidak beralasan. Professional misconduct yang merupakan kesengajan
dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, jukum
administratif serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan
kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, pelanggaran wajib simpan
rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misreprentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji,
berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya.
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas
bagi sang pemohon perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk
mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya tersebut. Hal ini akan

5
terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah
kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di
depan pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim
memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu sendiri. Setelah
bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon
tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter
atau rumah sakit) lalu memberikan bukti – bukti yang menyanggah tuduhan
yang dikenakan kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh
(dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup. Namun, terdapat sanggahan
– sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari
tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang
dilakukan telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap
melanjutkan perawatan (rIsiko diketahui dengan informed consent / surat
tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada terjadinya
luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau
melanggar pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau
kerugian disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan merupakan dampak dari
instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis tanpa bantuan
pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini
dianggap sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya
ia lakukan contohnya saat dokter lalai dalam menjalankan tugas yang
akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini merupakan dasar dan
alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang
berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut.
Kegagalan dalam menggunakan standar dan uji diagnostik yang
tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah praktik kedokteran yang
substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang
berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi
lebih lanjut, maka badan hukum mulai menyelidiki tagihan–tagihan yang
diberikan rumah sakit, dokter dan penyedia layanan kesehatan lain dengan
lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan terhadap prosedur–prosedur

6
yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan secara hati–
hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang
melecehkan tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim,
pembayaran tagihan yang berlebihan dan persetujuan dokter – pasien yang
tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya peraturan – peraturan
yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran
yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi
yang menarik serta dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.

2.2 Jenis – jenis malpraktek

1. Ethical malpractice

Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga


pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota
komunitas profesional lain dan menjadi perhatian penting dalam lingkup
etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait dengan profesi
yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut
mengarah pada terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat
dalam profesi tersebut. Kelalaian dalam menjalani panduan dan standar
etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak terhadap dokter
dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi
keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut
dapat menghasilkan reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian
baik kepada dokter, maupun kepada pasien karena dokter telah melalaikan
standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang dilakukan dengan
mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan
komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk
pelarangan tindakan praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu
dapat dilakukan tindakan pencabutan izin praktek.

7
2. Legal malpractice, teridiri dari :

a. Administrative malpractice

Administrative malpractice terjadi apabila dokter atau


tenaga kerja kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum
administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
dokter tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan lisensi atau iinnya, menjalanka praktek dengan izin yang
sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan
medik.

b. Civil malpractice

Civil malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena


pengobatannya dapat mengakibatkan pasien meninggal atau luka
tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar hukum pidana.
Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien
atau keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk
mendapatkan uang sebagai ganti rugi. Tanggung jawab dokter tersebut
tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak mampu
membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka
atau meningggal akibat pemakaian metode pengobatan yang sama
sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit dibuktikan pelangggaran
pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat
individual atau korporasi. Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat
bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-
dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam
rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.

8
c. Criminal malpractice

Criminal malpractice terjadi ketika seorang dokter yang


menangani sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum
pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan kriminal dan termasuk
perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh
Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini
termasuk ketidakjujuran, kesalahan dalam rekam medis, penggunaan
ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam sumpah dokter,
perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien
yang sakit secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal
psikiatri atau pasien yang tidak sadar karena efek obat anestesi.
Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak
memiliki batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat
lain. Jika perawatan dan tata laksana yang dilakukan dokter dianggap
mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak dapat
dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan
keselamatan pasien maka hal itu pantas untuk menerima hukuman.
Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak malpraktik yang
dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara
tidak langsung hal ini menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih
untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan tidak boleh
mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta
tidak boleh membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa
mempertimbangkan dampaknya. Dokter juga tidak boleh melakukan
tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak
boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga
harus selalu peduli terhadap kesehatan pasien.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai.
Misalnya melakukan pembedahan dengan niat membunuh pasiennya

9
atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada
pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan
sebagainya), yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi sematamata
untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam masyarakat yang
menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan
dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.

2.3 Usaha– usaha menghindari malpraktek

1. Semua tindakan sesuai indikasi medis

Pelayanan kesehatan, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang


mempunyai kompetensi memiliki surat ijin tugas mengingat informed
consent dan rekam medik serta rahasia jabatan atau rahasia kesehatan dari
hasil pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan berdasarkan indikasi medis,
standar pelayanan, protap pelayanan dengan memperhatikan dan
menjelaskan berbagai resiko penyakit, keadaan pasien, dan tindakan
kesehatan selanjutnya tenaga kesehatan harus menerapkan etika umum
dan profesi dan bila tidak mungkin bisa ditangani yang bukan
kompetensinya harus di rujuk atau diserahkan kepada tenaga kesehatan
yang memiliki kompetensi.Prinsip-prinsip tersebut jika dijabarkan satu
persatu antara lain :
a. Tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan dengan memperoleh
ijasah termasuk dalam PP No. 32 Tahun 1996.
b. Tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi hasil ujian

c. Tenaga Kesehatan memiliki surat ijin praktek (SIP) dan Surat Tugas
dari Direktur Rumah Sakit, Dinas Tenaga Kesehatan, Dekan
(Pimpinan Pendidik), dan dari Pemerintah yang lainnya.
d. Tiap menangani pasien harus ada ijin atau persetujuan tertulis atau
lisan dari pihak pasien dan keluarganya.
e. Dalam pelayanan kesehatan harus menerapkan standar pelayanan dan
protap pelayanan kesehatan profesi yang dibuat oleh tenaga profesi.

10
Ini biasanya dibuat SK oleh Direktur Rumah Sakit atau pimpinan
Rumah Sakit setempat.
f. Hasil pemeriksaan / pelayanan atau tindakan ditulis dicatat secara
khusus oleh dokter yang melakukan tindakan atau pemeriksaan atau
singkatnya ditulis yang disebut sebagai rekam medis / rekam rumah
sakit. Untuk bidan dan perawat tertuang dalam Asuhan Keperawatan
atau kebidanan.
g. Point 4,5, dan 6 di atas harus dirahasiakan sesuai dengan peraturan PP
No.10 tahun 1966 dan Undang-undang kesehatan yang lain.
h. Dalam menangani pasien atau tindakan harus berdasarkan indikasi
medis dan kontra indikasi medis.
i. Dalam menangani pasien harus menerangkan mengenai resiko, antara
lain resiko keadaan pasien, resiko penyakitnya, dan resiko tindakan.
j. Dalam komunikasi dengan pasien dan keluarga serta masyarakat harus
menerapkan etika umum dan etika profesi dimana tenaga kesehatan
tersebut bekerja.
k. Kemungkinan dalam menangani pasien memperoleh kesulitan karena
tidak kompetensinya sehingga harus dirujuk/dikirim/ dikonsultasikan
kepada tenaga kesehatan yang kompeten atau dirujuk/dikirim ke
rumah sakit sesuai dengan tingkat pelayanan yang lebih prima.
1. Dalam pelayanan atau upaya kesehatan terjadi sesuatu yang menimbulkan
sengketa atau tuntutan pasien dan keluarganya harus diselesaikan secara
komunikasi yang sehat, secara kemanusiaan dan berdasarkan rambu-
rambu aturan hukum kesehatan. Jangan menerapkan Undang-Undang
diluar Undang-Undang Hukum Kesehatan.

Dengan menerapkan rambu-rambu tersebut (no.1-12) tenaga kesehatan


berusaha atau dapat terhindar dari unsur-unsur malpraktek atau secara
khusus disebut malpraktek.

11
2. Bekerja sesuai standar profesi

Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, “Seorang dokter harus


senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi”. yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam
melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu kedokteran
mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum, etika
kedokteran, hukum dan agama. ilmu kedokteran yang menyangkut segala
pengetahuan dan keterampilan yang telah diajarkan dan dimiliki harus
dipelihara dan dipupuk, sesuai dengn fitrah dan kemampuan dokter
tersebut. Etika umum dan etika kedokteran harus diamalkan dalam
melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta terhadap
sesama manusia, serta penampilan tingkah laku, tutur kata dan berbagai
sifat lain yang terpuji, seimbang dengan martabat jabatan dokter.
Standar Profesi Kedokteran yang diterbitkan oleh Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) yaitu :
a. Standar keterampilan
1) Keterampilan kedaruratan medik; merupakan sikap yang
diambil oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya
dengan sarana yang sesuai dengan standar ditempat
prakteknya. Bilamana tindakan yang dilakukan tidak berhasil,
penderitan perlu dirujuk ke fasilitas pelayanan yang lebih
lengkap.
2) Keterampilan umum; meliputi penanggulangan terhadap
berbagai penyakit yang tercantum dalam kurikulum inti
pendidikan dokter Indonesia.

b. Standar sarana; meliputi segala sarana yang diperlukan untuk


berhasilnya profesi
dokter dalam melayani penderita dan pada dasarnya dibagi 2 bagian,
yakni :
1) Sarana Medis; meliputi sarana alat-alat medis dan obat-obatan.

12
2) Sarana Non Medis; meliputi tempat dan peralatan lainnya yang
diperlukan oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
c. Standar perilaku; yang didasarkan pada sumpah dokter dan pedoman
Kode Etik Kedokteran Indonesia, meliputi perilaku dokter dalam
hubungannya dengan penderita dan hubungannya dengan dokter
lainnya, yaitu :
1) Pasien harus diperlakukan secara manusiawi.

2) Semua pasien diperlakukan sama.

3) Semua keluhan pasien diusahakan agar dapat diperiksa secara


menyeluruh.

4) Pada pemeriksaan pertama diusahakan untuk memeriksa


secara menyeluruh.

5) Pada pemeriksaan ulangan diperiksa menurut indikasinya.

6) Penentuan uang jasa dokter diusahakan agar tidak


memberatkan pasien.

7) Dalam ruang praktek tidak boleh ditulis tarif dokter.

8) Untuk pemeriksaan pasien wanita sebaiknya agar keluarganya


disuruh masuk kedalam ruang praktek atau disaksikan oleh
perawat, kecuali bila dokternya wanita.
9) Dokter tidak boleh melakukan perzinahan didalam ruang
praktek, melakukan abortus, kecanduan dan alkoholisme.
d. Standar catatan medik
Pada semua penderita sebaiknya dibuat catatan medik yang
didalamnya dicantumkan identitas penderita, alamat, anamnesis,
pemeriksaan, diagnosis, terapi dan obat yang menimbulkan alergi
terhadap pasien.

13
3. Membuat informed consent

Secara harfiah consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi,


”izin”. Jadi informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau
keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis
pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk
menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong
bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan
tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata
Informed terkait dengan informasi atau penjelasan. Dapat disimpulkan
bahwa informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau
keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis
atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan
informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat
penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh
undang-undang sehingga dengan kata lain informed consent adalah
Persetujuan Setelah Penjelasan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar
penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien
tersebut.
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar
moral dan etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’
Ethics Manual, pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang
kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan teori
terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut
hukum penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi
yang diberikan harus lengkap, tidak hanya berupa jawaban atas
pertanyaan pasien.
Suatu informed consent harus meliputi :

14
a. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan,
terapi dan penyakitnya

b. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan


dan seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
c. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang
ada dan akibat apabila penyakit tidak diobati
d. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima
atau menolak terapi

e. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang


mungkin terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan
pemeriksaan dan operasi yang dilakukan.
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)

Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya


dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari
isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus
emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera
sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan
dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan
tindakan medik terbaik menurut dokter.

2. Expressed Consent (dinyatakan)

Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan


medis yang bersifat invasif dan mengandung resiko, dokter
sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara
umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
Hakikat informed consent mengandung 2 (dua) unsur penting yaitu :

1. Informasi yang diberikan oleh dokter.

2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.

15
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan
beberapa masukan sebagai berikut :

a. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan


dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
b. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang
tidak diinginkan yang mungkin timbul.
c. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat
diantisipasi untuk pasien.

d. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur atau terapi atau


tindakan berlangsung.
e. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent
tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter
dan lembaganya.
f. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak
tindakan medis tersebut. Pada hakikatnya informed consent
adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien
tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter
terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter),
sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup.
Penandatanganan formulir informed consent secara tertulis
hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati
sebelumnya.

Dalam keadaan gawat darurat informed consent tetap merupakan hal


yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas
yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap
penting, namun informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau
penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis
dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk
menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan
kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak

16
mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien.
Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui
tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus
melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor
585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa
dalam keadaan emergency tidak diperlukan informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek
dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh
pasiennya. Hukum yang umum diberbagai negaramenyatakan bahwa akibat
dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian atau keteledoran.
Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara
dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku
tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek dokter yang dianggap
setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :

1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan


dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading
tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat
dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda
secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

4. Mencatat semua tindakan yang dilakukan

Penyedia layanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu pelayanan


medik di rumah sakit yang diberikan kepada pasien. Rekam Medis sangat
penting dalam mengemban mutu pelayanan medik yang diberikan oleh
rumah sakit beserta staf mediknya. Rekam Medis merupakan milik rumah
sakit yang harus dipelihara karena bermanfaat bagi pasien, dokter maupun
bagi rumah sakit. Tanggung jawab utama akan kelengkapan rekam medis

17
terletak pada dokter yang merawat. Tahap memperdulikan ada tidaknya
bantuan yang diberikan kepadanya dalam melengkapi rekam medis oleh
staf lain di rumah sakit. Dokter mengemban tanggung jawab terakhir akan
kelengkapan dan kebenaran isi rekam medis.
Data harus dipelajari kembali, dikoreksi dan ditanda tangani juga
oleh dokter yang merawat. Pada saat ini banyak rumah sakit menyediakan
staf bagi dokter untuk melengkapi rekam medis. Namun demikian
tanggung jawab utama dari isi rekam medis tetap berada pada dokter yang
bertanggung jawab. Nilai ilmiah dari sebuah rekam medis adalah sesuai
dengan taraf pengobatan dan perawatan yang tercatat. Oleh karena itu
ditinjau dari beberapa segi rekam medis sangat bernilai penting karena :
a. Pertama bagi pasien, untuk kepentingan penyakitnya dimasa sekarang
maupun dimasa yang akan datang.
b. Kedua dapat melindungi rumah sakit maupun dokter dalam segi
hukum (medikolegal). Bila mana rekam medis tidak lengkap dan tidak
benar maka kemungkinan akan merugikan bagi pasien, rumah sakit
maupun dokter sendiri.
c. Ketiga dapat dipergunakan untuk meneliti medik maupun
administratif. Personil rekam medis hanya dapat mempergunakan data
yang diberikan kepadanya. Bilamana diagnosanya tidak benar dan
tidak lengkap maka kode penyakitnyapun tidak tepat, sehingga indeks
penyakit mencerminkan kekurangan. Hal ini berakibat riset akan
mengalami kesulitan. Oleh karena itu data statistik dan laporan hanya
dapat secermat informasi dasar yang benar.
Rekam medis harus memuat isi sebagai berikut :

a. Semua diagnosis ditulis dengan benar pada lembaran masuk dan


keluar, sesuai dengan istilah terminologi yang dipergunakan, semua
diagnosa serta tindakan pembedahan yang dilakukan harus dicatat
Simbol dan singkatan jangan dipergunakan.
b. Dokter yang merawat menulis tanggal dan tanda tangannya pada
sebuah catatan, serta telah menandatangani juga catatan yang ditulis

18
oleh dokter lain Pada rumah Sakit Pendidikan, yaitu : Riwayat
Penyakit, Pemeriksaan fisik dan resume Lembaran lingkaran masuk
dan keluar tidak cukup apabila hanya ditanda tangani oleh seorang
dokter.
c. Bahwa laporan riwayat penyakit, dan pemeriksaan fisik dalam
keadaan lengkap dan berisi semua data penemuan baik yang positif
maupun negative.
d. Catatan perkembangan, memberikan gambaran kronologis dan analisa
klinis keadaan pasien Frekwensi catatan ditentukan oleh keadaan
pasien.
e. Hasil Laboratorium dan X-Ray dicatat dicantumkan tanggalnya serta
ditanda tangani oleh pemeriksa.
f. Semua tindakan pengobatan medik ataupun tindakan pembedahan
harus itulis dicantumkan tanggal, serta ditanda tangani oleh dokter.
g. Semua konsultasi yang dilaksanakan harus sesuai dengan peraturan
staf medik harus dicatat secara lengkap serta ditanda tangani Hasil
konsultasi, mencakup penemuan konsulen pada pemeriksaan fisik
terhadap pasien termasuk juga pendapat dan rekomendasinya.
h. Pada kasus observasi, catatan prenatal dan persalinan dicatat secara
lengkap, mencakup hasil tes dan semua pemeriksaaan pada saat
prenatal sampai masuk rumah sakit Jalannya persalinan dan
kelahirannya sejak pasien masuk rumah sakit, juga harus dicatat secara
lengkap.
i. Catatan perawat dan catatan prenatal rumah sakityang lain tentang
Observasi & Pengobatan yang diberikan harus lengkap catatan ini
harus diberi cap dan tanda tangan.
j. Resume telah ditulis pada saat pasien pulang Resume harus berisi
ringkasan tentang penemuan, dan kejadian penting selama pasien
dirawat, keadaan waktu pulang saran dan rencana pengobatan
selanjutnya.

19
k. Bila otopsi dilakukan, diagnosa sementara / diagnosa anatomi, dicatat
segera ( dalam waktu kurang dari 72 jam ) : keterangan yang lengkap
harus dibuat dan digabungkan dengan rekam medis
l. Analisa kualitatif oleh personel medis untuk mengevaluasi kualitas
pencatatan yang dilakukan oleh dokter untuk mengevaluasi mutu
pelayanan medik Pertanggung jawaban untuk mengevaluasi mutu
pelayanan medik terletak pada dokter yang bertanggung jawab.
Berikut pasal yang mengatur mengenai rekam medis :

Pasal 46

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran
wajib membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera
dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda
tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47

(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46


merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan,
sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan
sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan. mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

5. Apabila ragu-ragu konsultasikan dengan konsulen

Apabila saat akan melakukan tindakan terhadap pasien, dokter yang


melaksanakan tindakan dapat berkonsultasi dengan dokter penanggung
jawab pasien (DPJP). Pada saat emergency, dokter berhak melakukan

20
upaya penyelamatan nyawa pasien terlebih dahulu. Rekam Medis harus
diberi data yang cukup terperinci, sehingga dokter lain dapat mengetahui
bagaimana pengobatan dan perawatan kepada pasien dan konsulen dapat
memberikan pendapat yang tepat setelah dia memeriksanya ataupun
dokter yang bersangkutan dapat memperkirakan kembali keadaan pasien
yang akan datang dari prosedur yang telah dilaksanakan.

6. Memperlakukan pasien secara manusiawi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kriteria paling utama


bagi dokter yang baik bukanlah dokter yang pintar dengan keterampilan
klnis yang baik, tetapi dokter yang memiliki sense atau rasa kemanusiaan
ketika berhadapan dengan pasien. Secara detail, studi itu menunjukkan
bahwa ada empat aspek utama yang harus dimiliki seorang dokter, salah
satunya adalah memiliki sense kemanusiaan (humanness). Dokter yang
baik adah dokter yang menghargai dan merawat pasiennya secara manusia
dan tidak menganggap mereka sebagai objek mencari keuntungan pribadi.
Saat bertemu dengan pasien, dokter yang baik memiliki niat dan
komitmen untuk menolong pasien agar pasien dapat pulang ke rumahnya
dengan rasa puas dan terbebas dari rasa sakit.
Dokter yang baik akan memerlakukan pasiennya secara manusiawi
dan profesional. Mereka mendegarkan keluhan pasien dengan cermat,
tidak menginterupsi keluhan mereka, seta memiliki rasa empati dengan
penyakit yang diderita oleh mereka. Dokter yang baik tidak memeriksa
pasien secara tergesa-gesa sekedar karena ingin cepat-cepat
menyelesaikan konsultasi dan memanggil pasienberikutnya. Dengan
memiliki sense kemanusiaan yang tinggi, dokter yang baik selalu menjaga
kerahasiaan pasien dan tidak membiarkan orang lain mengetahui keluhan
dan kondsi pasiennya. Dokter seperti ini melihat pasiennya sebagai
manusia dan karena itu memperlakukan mereka secara manusiawi.

21
7. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga,
dan masyarakat sekitar

Menurut hukum perdata, hubungan profesional antara dokter dengan


pasien dapat terjadi karena 2 hal, yaitu:
a. Berdasarkan perjanjian (ius contractu)

Kontrak berupa terapeutik secara sukarela antara dokter


dengan pasie berdasarkan kehendak bebas. Tuntutan dapat dilakukan
bila terjadi "wanprestasi", yakni pengingkaran terhadap hal yang
diperjanjikan. Dasar tuntutan adalah tidak, terlambat, salah
melakukan, ataupun melakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan
menurut perjanjian itu.
b. Berdasarkan hukum (ius delicto)

Berlaku prinsip siapa merugikan orang lain harus memberikan


ganti rugi. Rumusan perjanjian atau kontrak menurut hukum perdata
ialah suatu tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukan secara
sukarela oleh dua orang atau lebih, yang bersepakat untuk
memberikan "prestasi" satu kepada lainnya. Dalam hubungan antara
dokter dengan pasien, timbul perikatan usaha (inspanningsverbintenis)
dimana sang dokter berjanji memberikan "prestasi" berupa usaha
penyembuhan yang sebaikbaiknya dan pasien selain melakukan
pembayaran, ia juga wajib memberikan informasi secara benar atau
mematuhi nasihat dokter sebagai "kontra-prestasi". Disebut perikatan
usaha karena didasarkan atas kewajiban untuk berusaha. Dokter harus
berusaha dengan segala daya agar usahanya dapat menyembuhkan
penyakit pasien. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang didasarkan
karena hasil atau resultaat pada perikatan hasil (resultaatverbintenis),
dimana prestasi yang diberikan dokter tidak diukur dengan apa yang
telah dihasilkannya, melainkan ia harus mengerahkan segala
kemampuannya bagi pasien dengan penuh perhatian sesuai standar

22
profesi medis. Selanjutnya dari hubungan hukum yang terjadi ini
timbullah hak dan kewajiban bagi pasien dan dokter.

2.4 Sengketa Medik

2.4.1 Ketidakpuasan pasien atau keluarganya terhadap


pelayanan dokter

Tenaga kesehatan, sebuah profesi yang masih mendapat tempat yang


istimewa di mata masyarakat. Bukan hanya karena kedalaman ilmunya,
tetapi karena jiwa kemanusiaannya yang akrab dengan tugasnya yang
amat mulia, yakni menyelamatkan nyawa orang. Tetapi, sepertinya kesan
baik itu sudah mulai luntur dengan banyaknya tingkah laku tenaga
kesehatan yang mulai menimbulkan rasa was-was kepada pasien.
Faktanya, tidak jarang, tenaga kesehatan melakukan kesalahan-kesalahan
yang tidak lazim dalam menjalankan tugasnya yang ironisnya tak jarang
menyebabkan kerugian yang amat besar kepada pasien. Kesalahan-
kesalahan yang terjadi saat proses pelayanan seorang tenaga kesehatan tak
jarang karena disebabkan oleh kelailaian si tenaga kesehatannya sendiri,
padahal bisa jadi, kekurang telitian tersebut sebenarnya bisa dihindari.
Ketidakpuasan pasien dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:

1. Gagal Berkomunikasi

Salah satu penyumbang faktor yang terbesar terjadinya


ketidakpuasan pasien adalah masalah komunikasi yang dibangun
sewaktu tenaga kesehatan menggali informasi dari pasien. dalam
praktik medis disebut dengan anamnesis. Beberapa fakta empiric yang
sering diresahkan masyarakat adalah sikap tenaga kesehatan yang
kurang ramah, kurang empati dan kurang mengayomi pasien-
pasiennya. Pasien hanya didibaratkan sebagai sebuah mesin yang

23
tunduk pada perintah tenaga kesehatan tanpa memperhatikan feedback
langsung dari lawan bicaranya.
Ketidaksempurnaan tenaga kesehatan dalam membangun
komunikasi terhadap pasien akan berakibat buruk terhadap proses
terapeutik yang dikelolanya nanti. Karena tak jarang, tenaga kesehatan
terlalu intervensif dalam melakukan anamnesis. Seorang tenaga
kesehatan menurut sebuah penelitian di Amerika, umumnya menyela
keluhan yang disampaikan pasiennya setelah 22 detik. Artinya, tenaga
kesehatan sering tidak sabar menunggu Anda menyelesaikan semua
keluhan, dan lebih suka menghentikannya di tengah-tengah
pembicaraan. Padahal, jika tenaga kesehatan mau bersikap lebih sabar
sedikit saja terhadap pasiennya, dan mendengarkan semua penjelasan
yang disampaikan, hal itu tidak memakan waktu lama. Penelitian yang
dilakukan di Swiss, menyimpulkan bahwa pasien rata-rata hanya butuh
waktu dua menit untuk menyelesaikan semua keluhan yang dirasakan.

2. Krisis waktu

Kurangnya perhatian dalam hal komunikasi ini sedikit banyak


dipengaruhi oleh alokasi waktu yang diberikan tenaga kesehatan
kepada pasiennya. Tenaga kesehatan, terutama di negeri ini, cenderung
bersikap kurang bijak antara kemampuan dan output pemeriksaan yang
mereka lakukan. Para tenaga kesehatan lebih mengutamakan kuantitas
pasien yang mereka periksa daripada kualitas hasil pemeriksaannya.
Tak jarang, mereka memaksakan jam periksanya di luar batas
endurance fisiknya. Tuntutan kejar tayang menyebabkan kurangnya
fokus tenaga kesehatan sewaktu memeriksa pasien. Otomatis, alokasi
waktu anamnesis pasien sangat sedikit. Padahal, kunci keberhasilan
pasien adalah pada anamnesis. Tanpa anamnesis yang baik, diagnosis
pasien bisa meleset dan berakibat terjadinya ketidakpuasan pasien.

24
2.4.2 Penyelesaian ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan
dokter

Hubungan pasien dan SPK (Sarana Pelayanan Kesehatan) adalah


suatu hubungan sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan masing-
masing memiliki hak dan kewajibannya. Karena pengobatan
merupakan suatu ikhtiar, SPK tidak bisa menjanjikan kesembuhan,
melainkan memberikan usaha maksimal sesuai dengan standar
pelayanan untuk kesembuhan pasien. Pasien sebaiknya mengerti bahwa
haknya adalah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai penyakit,
pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko, komplikasi, sampai
alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak
pemeriksaan atau pengobatan dan meminta pendapat dokter lain. Selain
itu, isi rekam medik atau catatan kesehatan adalah milik pasien
sehingga berhak untuk meminta salinannya. Pasien memiliki kewajiban
untuk memberikan informasi selengkaplengkapnya, mematuhi
nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, dan
membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Di pihak lain, SPK wajib memberikan pelayanan sesuai dengan
standar dan kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih
mampu jika tidak sanggup menangani pasien, dan merahasiakan rekam
medik. SPK pun berhak menerima pembayaran atas jasa layanan
kesehatan yang diberikannya kepada pasien. Selain mengerti hak dan
kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi
yang baik dan rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman.
Berbagai konflik antara pasien dan SPK hampir selalu diawali oleh
komunikasi yang buruk dan kurangnya rasa percaya di antara
keduanya. Baik pasien maupun SPK harus saling terbuka dan mau
menerima masukan agar pengobatan dapat dilaksanakan dengan
baik.Ada berbagai cara lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian

25
secara kekeluargaan atau dengan bantuan penengah/mediator yang
dipercayai dan dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa
dokter berlaku tidak sesuai etika. Untuk masalah yang berkaitan
dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat
mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) yang anggotanya terdiri atas tokoh masyarakat,
sarjana hukum, dan dokter.
Pasien bisa mengadu ke kedua lembaga tersebut sekaligus dengan
meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi dokter atau dinas
kesehatan setempat.
Hubungan pasien dan SPK memang dinamis sehingga masalah pun akan
selalu timbul. Dengan cara penyelesaian masalah yang tepat, diharapkan
hubungan di antara keduanya dapat terus terjalin dengan baik sehingga
dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat lebih berkualitas.

2.5 Pemahaman masyarakat tentang malpraktek

Asumsi masyarakat tentang kesehatan menyimpang.Anggapan


bahwa layanan di rumah sakit harus selalu sempurna, seolah olah stigma
di masyarakat adalah layanan rumah sakit yang baik, pasien pasti sembuh.
Dokter dianggap serba bisa, kalau tidak sembuh, berarti malpraktek.
Pelayanan kedokteran itu kompleks dan berjenjang, pekerjaan yang harus
dilakukan dengan penuh hati-hati, berhubungan dengan manusia (Hak
Asasi Manusia). Sedangkan permasalahan yang dihadapi saat ini adalah
pasien sering dibawa terlambat, dokter multifungsi, dimana sebagai dokter
memiliki banyak kesibukan dan jabatan sehingga kadang kadang terjadi
overwork.
Masyarakat mempercayai bahwa usaha medis dokter berhubungan
dengan takdir dari Tuhan. Mitos bahwa segala upaya manusia hanya
usaha, namun Tuhan yang menentukan masih menghinggapi sebagian

26
besar masyarakat. Hal ini semakin membuat para dokter terlena dan
sewenang-wenang mengobati pasien. Padahal tindakan medis apapun
sebenarnya sudah terukur. Proses penanganan medis ada prosedunya dan
hasil dari tindakan dokter jelas terukur dan dapat diperkirakan, dengan
adanya pemahaman masyarakat seperti itu maka jika ada malpraktek,
dokter dianggap masyarakat Indonesia dapat lepas tangan dan tak
tersentuh oleh hukum. Masyarakat pun tak menuntut para dokter yang tak
profesional karena adanya pemahaman masyarakat mengenai hal tersebut.

2.6 Unsur malpraktek

1. Unsur kesengajaan (intensional)

Unsur kesengajaan (intensional) menyebabkan professional


misconducts (melakukan tindakan yang tidak benar)

a. Menahan-nahan pasien

Tindak pidana ini menurut pasal 333 KUHP, yaitu “barang


siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas
kemerdekaan (menahan) orang atau meneruskan tahanan itu
dengan melawan hak”.
Istilah dari kata “menahan” dan “meneruskan penahanan” dari
pasal di atas, adalah:
1) Menahan; menunjukkan aflopende-delicten (delik yang sekilas
atau sekejap).

2) Meneruskan penahanan; menunjukkan voor tdurende delicten


(delik yang selalu/ terus-menerus diperbuat).
Unsur-unsur dari pasal 333, yaitu:

1) Perbuatan “menahan/ merampas kemerdekaan”.

2) Yang ditahan “orang”.

27
3) Penahanan terhadap orang itu untuk melawan hak.

4) Adanya unsur kesengajaan dan melawan hukum.

Pasal 333 KUHP ini hanya melindungi kemerdekaan badan


seseorang, bukan kemerdekaan jiwa. Jadi, harus adanya perbuatan
yang menyentuh badan seseorang yang ditahan, misalnya diikat
tangannya sehingga sulit bergerak.
b. Membuka rahasia kedokteran tanpa hak
Masalah sanksi merupakan hal yang sentral dalam hukum
pidana karena seringkali menggambarkan nilai–nilai sosial
budaya bangsa. Artinya, pidana mengandung tata nilai (value)
dalam suatu masyarakat mengenai apa yang amoral serta apa
yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Disamping
keberadaannya telah menjadi kecenderungan internasional,
sistem pemidanaan yang bertolak dari ide individualisasi
pidana ini merupakan hal yang harus diperhatikan sehubungan
dengan pendekatan humanistik dalam penggunaan sanksi
pidana untuk tujuan perlindungan masyarakat (social defence).
Ide menyangkut konsepsi social defence tersebut ternyata
diterima oleh ahli hukum pidana di Indonesia, terbukti dalam pasal
322 KUHP menyebutkan bahwa barangsiapa dengan sengaja
membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau
pekerjaannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan ribu rupiah. Jika
kejahatan itu dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka
perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pergaulan orang itu.
Menurut R. Soesilo dokter yang membuka rahasia dapat dihukum
menurut pasal ini, maka elemen–elemen di bawah ini harus
dibuktikan :
1) Yang diberitahukan (dibuka) itu harus suatu rahasia.

28
2) Bahwa orang itu diwajibkan untuk menyimpan rahasia
tersebut dan ia harus betul–betul mengetahui, bahwa ia wajib
menyimpan rahasia itu.
3) Bahwa kewajiban untuk menyimpan rahasia itu adalah
akibat dari suatu jabatan atau pekerjaan yang sekarang,
maupun yang dahulu pernah jabatan.
4) Membukanya rahasia itu dilakukan dengan sengaja. Yang
diartikan dengan rahasia yaitu barang sesuatu yang hanya
diketahui oleh orang yang berkepentingan, sedang orang
lain belum mengetahuinya. Siapakah yang diwajibkan
menyimpan rahasia itu, tiap–tiap peristiwa harus ditinjau
sendiri–sendiri oleh hakim yang masuk disitu misalnya
seorang dokter harus menyimpan rahasia penyakit
pasiennya.

Proses hukum ini perlu dilakukan, agar para dokter lainnya


atau para profesional dalam bidang lainnya, tidak seenaknya
saja membuka dan membeberkan rahasia jabatan di muka
umum. Seringkali didengar para dokter yang dengan enteng
membeberkan penyakit dari pasiennya yang sebenarnya
termasuk ke dalam rahasia jabatan. Para profesional ini tahu,
tentang adanya rahasia kedokteran, tetapi karena tidak pernah
terjadi adanya pengaduan dari mereka yang dilanggar haknya
atas rahasia kedokteran, maka pelanggaran terhadap hak pasien
yang satu ini seringkali terjadi. Tidak dapat dihindarkan
bahwa wajib penyimpan rahasia membandingkan berat
ringannya kepentingan–kepentingan yang harus diperhatikan
dan yang saling bertentangan. Titik tolaknya adalah
menyimpan rahasianya. Hanya kalau dikehendaki oleh
kepentingan–kepentingan yang dianggap lebih berat dari pada
kepentingan “Pemilik Rahasia” ditambah dengan kepentingan–

29
kepentingan tersebut dan akhirnya pemutusan apakah wajib
menyimpan rahasia menggunakan hak tolaknya atau tidak,
dilakukan sendiri oleh wajib penyimpan rahasia, kalau dirasa
perlu setelah berunding dengan satu orang atau lebih yang ia
pilih, rekan atau bukan rekan.
Seorang saksi sebelum memberi kesaksian harus sumpah
bahwa ia akan memberi keterangan tentang segala sesuatu yang
benar dan tidak lain dari pada yang benar. Ia tidak dapat
mengungkapkan hanya sebagian dari kebenaran dan
menyembuhkan bagian yang lain, ini akan mendapatkan
kedustaan dan demikian sumpah palsu. Jadi seorang dokter
atau wajib penyimpan rahasia lain dihadapkan sebagai saksi
menggunakan hak tolaknya, walaupun diminta dengan sangat
oleh pasiennya untuk memberi kesaksian, ada kemungkinan
bahwa dokter tersebut berbuat demikian untuk kepentingan
pasiennya.

Menurut undang-undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang


Praktik Kedokteran.

Pasal 4 berbunyi demikian :

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik


kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.

(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan


kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak
hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien
sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur
dengan Peraturan Menteri.

Sanksi yang diberikan dapat sebagai berikut :

30
1) Sanksi terhadap pelanggaran dari hukum diterapkan oleh
penguasa (orang atau lembaga yang memegang kekuasaan).
2) Sanksi terhadap pelanggaran dari etika diterapkan oleh
masyarakat.

c. Aborsi ilegal

Naluri yang terkuat pada setiap makhluk bernyawa termasuk


manusia adalah mempertahankan hidupnya. Untuk itu manusia
diberi akal, kemampuan berpikir dan mengumpulkan
pengalamannya, sehingga dapat mengembangkan
ilmupengetahuan dan usaha untuk menghindarkan diri dari bahaya
maut. Semua usaha tersebut merupakan tugas seorang dokter. Ia
harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk
insani.
Banyak pendapat mengenai abortus provocatus yang
disampaikan oleh berbagai ahli dalam berbagai macam bidang
seperti agama, kedokteran, sosial, hukum, eugenetika, dan
sebagainya. Pada umumnya setiap Negara mempunyai undang-
undang yang melarang abortus provocatus (pengguguran
kandungan). Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai
pengobatan, apabila merupakan satu-satunya jalan untuk
menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus provocatus
therapeuticus). Dalam undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang
kesehatan diperjelas mengenai hal ini. Indikasi medic ini dapat
berubah-ubah sesuai perkembangan ilmu kedokteran. Beberapa
penyakit seperti hipertensi, tuberkulosis dan sebagainya.
Sebaliknya ada pula negara yang membenarkann indikasi sosial,
humaniter, dan eugenetik, seperti misalnya di Swedia dan Swiss
yaitu bukan semata-mata untuk menolong ibu, melainkan juga
mempertimbangkan demi keselamatan anak, baik jasmaniah
maupun rohaniah.

31
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus
therapeuticus harus dibuat oleh sekurang-kurangnya dua dokter
dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil yang bersangkutan,
suaminya dan atau keluarhanya yang terdekat. Hendaknya
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana
untuk melakukannya.
Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering
terjadi pada wanita bersuami, yang telah sering melahirkan,
keadaan sosial dan keadaan ekonomi rendah. Ada harapan abortus
provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan berkurang
apabila keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib.
Setiap dokter perlu berperan serta untuk membantu suksesnya
program keluarga berencana ini.Seperti yang telah diatur pada
pasal 349 KUHP, “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang
ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana
kejahatan dilakukan.” dimana dokter dapat dikenakan sanksi 4
tahun penjara.
d. Euthanasia

Euthanasia memiliki tiga arti, yaitu :

1) Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa


penderitaan dan bagi yang beriman dengan nama Allah di
bibir.
2) Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) oenderitaan
pasien diperingan dengan memberi obat penenang.
3) Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

32
Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi
penderitaan yang tidak tertahankan, misalnya karena kanker dalam
keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang
dibungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit dan
sebagainya. orang yang berpendirianpro euthanasia dalam butir c,
akan mengajukan supaya pasien diberi saja morphindalam dosis
lethal, supaya ia bebas dari penderitaan yang berat itu. di beberapa
Negara Eropa dan Amerika sudah banya terdengar suara yang pro-
euthanasia. mereka mengadakan gerakan yang mengukuhkannya
dalam undang-undang. Sebaliknya, bagi mereka yang
kotraeuthanasia berpendirian bahwa tindakan demikian sama
dengan pembunuhan. Kita di Indonesia sebagai umat yang
beragama dan berfalsafah atau berazazkan Pancasila percaya pada
kekuasaan mutlak dari Tuhan Yang Maha Esa. segala sesuatu yang
diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada
makhlukNya mengandung makna dan maksud terentu. dokter
harus mengerahkan segala kepandaianannya dan kemampuannya
untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi
tidak untuk mengakhirinya.
e. Memberikan keterangan palsu
Pada pasal 267 KUHP dinyatakan bahwa :

1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat


keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit,
kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk
memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau
untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun enam bulan.

33
3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan
sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah
isinya sesuai dengan kebenaran.
f. Melakukan praktek tanpa ijin
Pada pasal 2 kodeki, disebutkan bahwa, “Seorang dokter
harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi”. Ijazah yang dimiliki seseorang,
merupakan persyartan untuk memperoleh ijin kerja sesuai
profesinya (SID (surat ijin dokter) atau SP (Surat Penugasan)).
Untuk melakukan pekerjaan profesi kedokteran, wajib dituruti
peraturan perundangundangan yang berlaku (SP, yaitu : Surat Ijin
Penugasan).

2. Unsur Pelanggaran

a. Negligence (kelalaian)

Melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian


pada pasien. Kelalaian medik merupakan salah satu bentuk dari
malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis
yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila
seorang dengan tidak sengaja melakukan sesuatu (komisi) yang
seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi)
yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki
kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama
pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
Pengertian istilah kelalaian medis menurut World Medical
Association (1992) yaitu : Medical malpractice involves the
physicians’s failure to conform to the standard of care for
treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence
in providing care to the patient, which is the direct cause of an

34
injury to the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua
kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa
buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi saat
dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk dalam
pengertian malpraktik atau kelalaian medik. Suatu perbuatan atau
sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur
di bawah ini :
1) Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan
sesuatu tindakan atau tidak melakukan sesuatu tindakan
tertentu terhadap pasien tertentu pada suatu kondisi medis
tertentu
2) Dereliction of the duty / penyimpangan kewajiban tersebut

3) Damage/kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh


pasien sebagai kerugian akibat layanan dari
kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan
4) Indirect causal relationship / hubungan sebab akibat yang
nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat
antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang
setidak-tidaknya merupakan “proximate cause”.
b. Malfeasance (pelanggaran jabatan)

Melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tindakan yang


tidak tepat dan layak (unlawful/improper). Seperti melakukan
tindakan pengobatan tanpa indikasi yang memadai dan
mengobati pasien denga coba-coba tanpa dasar yang jelas.
c. Misfeasance (ketidak hati-hatian)

Melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi


dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance).
Seperti melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.
d. Lack of skill (kurang keahlian)

35
Melakukan tindakan diluar kemampuan atau kompetensi
seorang dokter, kecuali pada situasi kondisi sangat darurat,
seperti melakukan pembedahan oleh bukan dokter, dan
mengobati pasien diluar spesialisasinya.

2.7 Sanksi malpraktek

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

a. Pasal 359

“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan matinya orang


dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya satu tahun.”

b. Pasal 360
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang luka berat
dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-
lamanya 1 tahun.”
c. Pasal 361
“Barangsiapa karena salahnya menyebabkan orang menjadi sakit
atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaanya sementara,
dihukum dengan selamalamanya sembilan bulan atau hukuman
selama-lamanya enam bulan atau hukumkan denda setinggi-tingginya
Rp 4.500.000,00.

2. Undang-Undang Praktik Kedokteran

a. Pasal 75 ayat 1

“Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan


praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat 1 dipidana dengan

36
pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00.
b. Pasal 76

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan


praktik kedokteran tanpa meliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00

c. Pasal 79

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda


oaling banyak Rp 50.000.000,- setiap dokter atau dokter gigi
yang :
1) Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41 ayat 1.
2) Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana
dimaksud dalam pasal 46 ayat 1.
3) Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 51 huruf a,b,c,d atau e.

2.8 Sanksi Pelanggaran Disiplin

Pelanggaran disiplin dokter adalah pelanggaran aturan-aturan


dan/atau ketentuanketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan
praktik kedokteran yang harus diikuti oleh dokter. Pelanggaran disiplin di
bidang kedokteran diatur dalam Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
(Perkonsil) Nomor 16 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Sesuai dengan pasal 27 ayat
(2), dokter yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran disiplin
kedokteran diberikan sanksi disiplin. Sanksi disiplin ini diputuskan pada
sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD), yang merupakan keputusan

37
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) atau
keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di tingkat
Provinsi(MKDKI-P) yang mengikatnya.Sanksi disiplin tersebut dijelaskan
lebih lanjut pada pasal 28 ayat (1).
Sanksi disiplin yang diberikan dapat berupa:

a. Pemberian peringatan tertulis;

b. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat


Izin Praktik; dan/atau
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin
Praktik dapat berupa rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau
Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik
tetap atau selamanya (Pasal 28 ayat (2)). Adapun kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi sesuai dengan pasal 28 ayat (3)
a. Pendidikan formal

b. Pelatihan dalam pengetahuan dan atau keterampilan, magang


di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan
jejaringnya atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk,
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun.
Wewenang MKDKI dalam melaksanakan tugasnya pada kasus
pelanggaran disiplin kedokteran telah diatur dalam Perkonsil No.15 tahun
2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia di Tingkat Provinsi pasal 5 ayat (1).
a. Menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi

38
b. Menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau
pelanggaran etika atau bukan keduanya
c. Memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi

d. Memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan


dokter gigi

e. Menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan


dokter gigi

f. Melaksanakan keputusan MKDKI

g. Menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin


dokter dan doktergigi
h. Menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P

i. Membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan


tugas MKDKI-P

j. Membuat dan memberikan pertimbangan usulan


pembentukan MKDKI-

Pkepada Konsil Kedokteran Indonesia

k. Mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang


MKDKI dan dan MKDKI-P mencatat dan
mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan
keputusan MKDKI.
Ringkasnya, MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya
pelanggaran disiplin kedokteran serta menetapkan sanksi disiplinnya.
Akan tetapi, MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan
pasien/keluarganya. Pada Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.2
tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi disebutkan bahwa dalam penanganan
pelanggaran disiplin kedokteran terdapat tahap pemeriksaan awal dan

39
tahap pemeriksaan disiplin. Tahap pemeriksaan awal adalah sebagai
berikut :
1. Setiap orang atau kepentingan yang dirugikan melakukan pengaduan
tertulis kepada MKDKI, dengan memenuhi persyaratan pengaduan
yang telah ditentukan dalam perkonsil
2. Ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa Awal, yang terdiri
atas anggota MKDKI, untuk menangani kasus dugaan pelanggaran
disiplin kedokteran tersebut.
3. Majelis Pemeriksa Awal melakukan investigasi dan membuat satu
di antara 3 keputusan, yaitu:
a. Kasus yang diadukan bukan merupakan kasus diluar disiplin.
Kasus diserahkan kembali kepada pengadu.
b. Kasus yang diadukan merupakan kasus pelanggaran etik. Kasus
seperti ini diserahkan oleh secretariat MKDKI kepada organisasi
profesi, dalam hal ini IDI.
c. Kasus tersebut benar merupakan kasus pelanggaran disiplin.
Selanjutnya, ketua MKDKI menetapkan Majelis Pemeriksa
Disiplin untuk melakukan tahap pemeriksaan disiplin.
d.
Langkah-langkah tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut:

Setiap orang atau Pengaduan tertulis Penetapan Maje


lis Pemeriksa awal
kepentingan yang Pemeriksa Awal Investigasi
dirugikan verifikasi oleh ketua MKDKI
Keputusan MPA

Ditolak diluar disiplin Pelanggaran etik Pelanggaran disiplin

PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAJELIS PEMERIKSA AWAL

Kepada Pengadu Sekretariat MKDKI Penetapan Majelis


Pemeriksa Disiplin oleh
Ketua MKDKI
Organisasi Profesi

40
Bagan 1. Tahap pemeriksaan awal penanganan kasus dugaan pelanggaran
disiplin (Sumber: Hartono dkk, Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi
Dokter, 2008, hlm.42)

Adapun tahap pemeriksaan disiplin adalah sebagai berikut:

1. Majelis Pemeriksa Disiplin melakukan proses pembuktian terhadap


kasus.

2. Majelis Pemeriksa Disiplin membuat satu di antara 4 keputusan,


yaitu:

a. Dokter dinyatakan bebas/ tidak bersalah. Oleh sekretariat


MKDKI, dokter tidak dikenai sanksi apapun.
b. Dokter diberikan peringatan tertulis oleh MKDKI.

c. Dilakukan rekomendasi pencabutan STR/SIP. Sekretariat


MKDKI menghubungi KKI untuk pencabutan STR dan Dinkes
Kab/Kota untuk pencabutan SIP.
d. Dokter diwajibkan mengikuti pendidikan/ pelatihan kembali.
Sekretariat MKDKI menyerahkan kepada KKI, untuk
menangani pendidikan/ pelatian tersebut.Pendidikan/ pelatihan
dilaksanakan di instansi penidikan dan kolegium yang akan
mengeluarkan bukti bahwa telah dilaksanakan.
Langkah-langkah tersebut dapat disederhanakan dalam bagan berikut:

41
Pemeriksaan awal Penetapan Majelis Pemeriksaan
pelanggaran Pemeriksa oleh proses Keputusan
disiplin ketua MKDKI pembuktian

Bebas/ tidak Peringatan tertulis Rekomendasi Mengikuti


bersalah pencabutanSTR/ SIP pendidikan/ pelatihan

PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAJELIS PEMERIKSA DISIPLIN

Sekretariat Sekretariat Sekretariat Sekretariat


MKDKI MKDKI MKDKI MKDKI

KKI Dinkes KKI


Kab/ Kota
STR
SIP

Bagan 2. Tahap pemeriksaan disiplin penanganan kasus dugaan


pelanggaran disiplin.
(Sumber: Hartono dkk, Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi
Dokter, 2008, hlm.43)

2.9 Standar Profesi Dokter


Semua profesional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai
dengan apa yang disebut standar (ukuran) profesi.Komalawati
memberikan batasan yang dimaksud dengan standar profesi adalah
pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi secara baik. Berkenaan dengan pelayanan medik, pedoman yang
digunakan adalah standar pelayanan medik yang terutama dititik beratkan
pad proses tindakan medik. Menurut Leenen, salah seorang pakar Hukum
Kesehatan dan Negeri Belanda, Standar Profesi Medis dapat
diformulasikan sebagai berikut:
a. Terapi (yang berupa tindakan medik tertentu) harus teliti

42
b. Harus sesuai dengan ukuran medis (kriteria yang ditentukan dalam
kasus konkret yang dilaksanakan berdasarkan ilmu pengetahuan
medik), yang berupa cara tindakan medis tertentu. Dan tindakan
medis yang dilakukan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan
medik dan pengalaman.
c. Sesuai dengan kemampuan rata-rata yang dimiliki oleh seorang
dokter dengan kategori keahlian medis yang sama.
d. Dalam kondisi yang sama

e. Dengan sarana dan upaya yang wajar sesuai dengan tujuan konkrit
tindakan medis tertentu tersebut.
2.9.1 Rumusan Leenen tentang Standar Profesi Kedokteran tersebut
lebih dijelaskan secara detail oleh Hariyani sebagai berikut :
a. berbuat secara teliti atau seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan
dengan culpa/ kelalaian. Bila dokter bertindak tidak teliti, tidak
berhati-hati maka ia memenuhi unsur kelalaian, dan bila
tindakannya sangat tidak berhati-hati atau ceroboh maka ia
memenuhi “culpa lata”.
b. Sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische standard).

c. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian


medik yang sama (gemiddelde bewaamheid van gelijke medische
categorie).
d. Situasi dan kondisi yang sama (gelijke omstandigheden).

e. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/ proporsional (= asas


proportionalitas) sebagai terjemahan dari met middelen die in
redeljke verhouding staan dengan tujuan konkrit tindakan
perbuatan tersebut (tot het concreet handelingsdoel).

Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran, pengertian standar profesi disebutkan di dalam penjelasan
pasal 50. Standar profesi adalah kemampuan (pengetahuan/knowledge,

43
keterampilan teknis/skill dan sikap perilaku/professional attitude) minimal
yang harus dikuasai oleh individu untuk dapat melakukan kegiatan
profesinya di masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi. Standar profesi kedokteran adalah batasan kemampuan minimal
dokter, sebagai syarat untuk melakukan kegiatan profesionalnya. Standar
profesi ini dibuat oleh suatu organisasi profesi, dalam hal ini adalah
Ikadan Dokter Indonesia (IDI).Dokter yang melaksanakan praktik
kedokteran sesuai dengan standar profesi dan standar operasional
prosedur, berhak memperoleh perlindungan hukum.
Pada pasal 2 KODEKI disebutkan bahwa seorang dokter harus
senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi. Melakukan
profesi kedokteran adalah sesuai dengan ukuran ilmu kedokteran
mutakhir, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama sesuai tingkat
atau jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat.
Standar profesi dokter merupakan pedoman bagi para dokter dalam
menjalankan profesinya untuk menjaga mutu pelayanan. Acuan yang
dipakai dalam menyusun standar profesi adalah katalog pendidikan dokter.
Menurut SK Mendiknas No. 45/U/2002 kompetensi adalah seperangkat
tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang
sebagai syarat untuk dianggapmampu oleh masyarakat dalam menjalankan
tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Standar kompetensi dokter di
indonesia dibuat dengan tujuan agar kemampuan profesi dapat diukur
dengan jelas.
Standar kompetensi dokter Indonesia terdiri atas 7 (tujuh) area
kompetensi yang diturunkan dari gambaran tugas, peran, dan fungsi
dokter layanan primer :
1. Profesionalitas yang luhur

2. Mawas diri dan pengembangan diri

3. Komunikasi efektif

4. Pengelolaan informasi

44
5. Landasan ilmiah ilmu kedokteran

6. Keterampilan klinis
7. Pengelolaan masalah kesehatan

Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan dokter indonesia


sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah
sakit dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada
di rumah sakit. Pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien yang meliputi jenis
penyakit, penegakan diagnosis, lama rawat inap, pemeriksaan penunjang
yg diperlukan, dan terapi yg diberikan.
Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan Indonesia dilakukan
dengan meningkatkan mutu dan kuantitas sumber daya, tenaga, peralatan,
pelengkapan dan mateial yang diperlukan dengan menggunakan teknologi
tinggi atau dengan kata lain meningkatkan input dan struktur, serta
memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunkan dala
kegiatan pelayanan, hal ini berarti memperbaiki pelayanan
kesehatan.Pelayanan medis di rumah sakit wajib mempunyai standar
pelayanan medis yang merupakan standar operasional prosedur(SOP).

2.10 Contoh kasus

Kasus 1. Penyuntikan Kalium Chlorida

Seorang pasien berinisial DC yang berusia 3 tahun pada 28 April 2011


datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. DC datang diantar orang
tuanya karena mengalami diare dan kembung. Kemudian dr. W langsung
memberikan tindakan medis berupa pemasangan infus, suntikan, obat
sirup dan memberikan perawatan inap. Keesokan harinya, dr W
mengambil tindakan medis dengan meminta kepada perawat untuk
melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr. W berada di lantai 1
dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan DC
kejang-kejang. Akibat hal ini, DC pun meninggal dunia.

45
Analisa kasus:

Penyuntikan KCL seharusnya dapat dilakukan dengan cara


mencampurkan ke dalam infus sehingga cairan KCL dapat masuk ke
dalam tubuh penderita dengan cara masuk secara pelan-pelan.

Kasus 2. Kasus dr. Ayu

Tanggal 10 April 2010

Ny. JF (25) yang sedang hamil anak kedua masuk ke RS Dr


Kandau Manado atas rujukan Puskesmas atas indikasi ketuban pecah dini.
Pada waktu itu, ia didiagnosis oleh Puskesmas dalam tahap persalinan
pembukaan dua.

Selanjutnya di RS Dr Kandau Manado, Ny.F dilakukan observasi


inpartu. Namun setelah delapan jam, tidak ada kemajuan dalam persalinan
dan muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk
dilakukan pengambilan tindakan yaitu operasi caesar.

Pada saat sayatan pertama operasi caesar dimulai, pasien


mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan hal
tersebut adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen. Setelah itu bayi
berhasil dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin
memburuk dan sekitar 20 menit kemudian, pasien dinyatakan meninggal
dunia Tanggal 15 September 2011.

Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi
Siagian dan dr Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU)
hukuman 10 bulan penjara karena laporan malpraktik keluarga korban.
Namun Pengadilan Negeri (PN) Manado menyatakan ketiga terdakwa
tidak bersalah dan bebas murni. Hal tersebut dikarenakan dari hasil otopsi

46
ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara
pada bilik jantung kanan, sehingga mengganggu peredaran darah. Emboli
udara merupakan hal yang tidak dapat diprediksi oleh dokter sebelumnya.
Kasus ini masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung yang kemudian dikabulkan.

18 September 2012
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan
dr Hendy Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).

11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke
Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan
Kembali (PK). Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa
putusan PN Manado menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan kalau ketiga dokter tidak bersalah melakukan tindak
pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan dan Etika Profesi Kedokteran
(MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya kesalahan atau kelalaian
para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.

8 November 2013
Dr Ayu diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10
bulan penjara.

Pada kasus ini terdapat beberapa tuntutan yang ditujukan oleh dokter,
yaitu:
1. Menurut ibu kandung Ny.F, anaknya ditelantarkan dan tidak segera
ditangani oleh RS Dr Kandau Manado.

47
2. Adanya emboli udara dari bilik kanan jantung Ny. F yang
didapatkan dari hasil otopsi dianggap keluarga ny. F merupakan
kesalahan tim dr.Ayu.
3. Menurut ibu Ny.F tidak diberikan penjelasan yang jelas mengenai
tindakan operasi saecar dan resiko tindakan, dan hanya diminta
untuk segera tanda tangan
4. Dr. Ayu dituduh tidak melakukan pemeriksaan penunjang pre
operasi.

Analisa kasus:
1. Di RS Dr Kandau Manado, Ny.F tidak ditelantarkan oleh dokter
namun dilakukan observasi inpartu dan telah diberikan antibiotik
profilaksis untuk penatalaksanaan ketuban pecah dini.
2. Emboli udara yang terjadi merupakan hal yang tidak dapat diprediksi
oleh dokter sebelumnya.
3. Dokter tidak menyampaikan informed consent ke pasien atau
keluarganya dengan baik sehingga keluarga merasa tidak diberikan
penjelasan mengenai tindakan operasi caesar yang akan dilakukan
terhadap Ny.F
4. Pada operasi cito sectio saecaria tidak memungkinkan dilakukan
pemeriksaan penunjang (jantung)

48
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai
dengan standar profesi atau standar prosedur operasional. Kelalaian dalam
praktek medik jika memenuhi beberapa unsur (1) duty atau kewajiban
tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi
dan kondisi yang sama, (2) dereliction of the duty atau penyimpangan
kewajiban tersebut, (3) damage atau kerugian yaitu segala sesuatu yang

49
dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari pelayanan kesehatan /
kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan, (4) direct causal
relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Sedangkan unsur
pelanggaran displin yaitu pelanggaran meliputi negligence, malfeasance,
misfeasance, lack of skill.

Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya menghindari


malpraktek seperti semua tindakan sesuai indikasi medis, bertindak secara
hati-hati dan teliti, bekerja sesuai standar profesi, membuat informed
consent, mencatat semua tindakan yang dilakukan (rekam medik), apabila
ragu-ragu konsultasikan dengan senior, memperlakukan pasien secara
manusiawi, menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga, dan
masyarakat sekitar. Selain itu juga diperlukan upaya-upaya untuk
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yaitu meningkatkan kualitas
sumber daya, tenaga, peralatan, pelengkapan dan mateial yang diperlukan
dengan menggunakan teknologi tinggi atau dengan kata lain
meningkatkan input dan struktur, memperbaiki metode atau penerapan
teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan, hal ini berarti
memperbaiki pelayanan kesehatan.

3.2 Saran
Diperlukan suatu pemahaman yang baik agar tidak salah dalam
memahami tentang penjelasan mengenai malpraktek, unsur-unsur
malpraktek, aspek hukum malpraktek, serta contoh kasus yang
membedakan antara malpraktek atau bukan, dan pemahaman standar
profesi secara keseluruhan sehingga angka kejadian malpraktek yang
dilakukan dokter dapat ditekan.

50
DAFTAR PUSTAKA

Ali MM, Sidi IPS, Hadad T. Komunikasi efektif dokter pasien. November
2006. Cited from : http://inamc.or.id/download/Manual
%20Komunikasi%20Efektif.pdf
Apriani D. Malpraktik. Mei 2013. Cited from:
http://deniaprianichan.wordpress.com/type/quote/
Dasar Hukum Penyelenggaraan Rekam Medis. Cited
from :
http://permatakakilangit.files.wordpress.com/2010/12/dasar-hukum-
penyelenggaraanhttp://permatakakilangit.files.wordpress.com/2010/12/
dasar-hukum-penyelenggaraan-rm.pdfrm.pdf

51
Dinamika etika dan hokum kedokteran dalam tantangan zaman. Chrisdiono
M. Achadiat.EGC.
Hariyani, Safitri, 2005, SengketaMedik: Alternatif Penyelesaian Perselisihan
Antara Dokter Dengan Pasien, Jakarta: PT. Diadit Media.
Hartono HS dkk. 2008. Pemahaman Etik Medikolegal: Pedoman Bagi Profesi
Dokter. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
http://books.google.co.id/books?
id=azM_UllflUYC&pg=PA193&lpg=PA193&dq=mem
perlakukan+pasien+secara+manusiawi&source=bl&ots=-
http://elearning.unlam.ac.id/course/info.php?id=43
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/PERSETUJUAN
%20TINDAKA N%20KEDOKTERAN.pdf
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/matkul/Forensik/Rhs
%20Kedokteran.pdf
http://hukum.kompasiana.com/2013/11/23/malpraktek-dewa-ayu-mitos-
dokter-danhttp://hukum.kompasiana.com/2013/11/23/malpraktek-
dewa-ayu-mitos-dokter-dan-momentum-penyadaran-publik-
613370.htmlmomentum-penyadaran-publik-613370.html
http://ocw.usu.ac.id/course/download/6110000036-ilmu-kesehatan-gigi-
masyarakathttp://ocw.usu.ac.id/course/download/6110000036-ilmu-
kesehatan-gigi-masyarakat-
i/gm_131_slide_rahasia_kedokteran_wajib_simpan.pdfi/gm_131_slide
_rahasia_kedokteran_wajib_simpan.pdfhttp://ocw.usu.ac.id/course/dow
nload/6110000036-ilmu-kesehatan-gigi-masyarakat-
i/gm_131_slide_rahasia_kedokteran_wajib_simpan.pdf
http://www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/
http://www.jamsosindonesia.com/cetak/print_artikel/67
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/058469172/Terjadi-182-Kasus-
Malpraktekhttp://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/058469172/Ter
jadi-182-Kasus-Malpraktek-di-Balikpapandi-Balikpapan.

52
Informasi rekam medis dan bidang kesehatan. Gatot kaca. Februari 2009.
Cited from :
http://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-isi-
rekam-medis-
sesuaihttp://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-
isi-rekam-medis-sesuai-permenkes-no-
269menkesperiii2008/permenkes-no-269menkesperiii2008/
Ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan RS. Oktober 2011. Cited from :
Kode etik kedokteran
Indonesia.http://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-
Etikhttp://www.dikti.go.id/files/atur/sehat/Kode-Etik-
Kedokteran.pdfKedokteran.pdf
Kompasiana. Malpraktek Dewa Ayu, Mitos Dokter dan Momentum
Penyadaran Publik.
M Kottow. 2004. The battering of informed consent. J Med Ethics. Cited from
: http://jme.bmj.com/content/30/6/565.full
Nasser M. Sengketa Medis dalam Pelayanan Kesehatan. Maret 2011. Cited
from :
http://kebijakankesehatanindonesia.net/sites/default/files/file/2011/M
%20Nasser.pdf
Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta :Rineka
Cipta. Penelitian Hukum Normatif terhadap UUPK No.29/2004 dan
PERMENKES R.I. No. 585/ Men.Kes /Per/ IX /1989. Masters thesis,
Unika Soegija pranata.
Perkonsil No.15 tentang Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi. Konsil Kedokteran
Indonesia.
Perkonsil No.16 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan
Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi oleh Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.

53
Perkonsil No.2 tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan
Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi. Konsil Kedokteran
Indonesia.
Rahim, Dian H. 2007. Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Dan
Perlindungan Hukum Bagi Dokter Informed Consent And Legal
Protection For Doctor
Solichin S. Persetujuan tindakan medik (informed consent).
Departemen/instalasi ilmu kedokteran forensik dan medikolegal. Cited
from : STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA
2013 available at
http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.p
df.
STANDAR KOMPETENSI DOKTER INDONESIA 2012
available at http://bemfkur.org/wp-
content/uploads/2013/11/SKDI- 2012.pdf
Suharto G. 2008. Aspek Medikolegal Praktek Kedokteran. Semarang: ABH
Associates.
Sukmana BI. Malpraktek (MP). http://elearning.unlam.ac.id/course/info.php?
id=43
UU No.29 tentang Praktek Kedokteran.
WNrQe7kYDwDg&redir_esc=y#v=onepage&q=memperlakukan%20pasien
%20secara% 20manusiawi&f=false
World Medical Association. World medical association statement on medical
malpractice.
http://www.wma.net/en/30publications/10policies/20archives/m2/index
.html , 2 Desember 2013.

54

Anda mungkin juga menyukai