1. Fibrilasi atrium adalah distritmia atrium yang terjadi sewaktu atrium berdenyut dengan kecepatan
lebih dari 350-600x/menit. Depolarisasi ventrikel menjadi ireguler dan mungkin dapat mengikuti
depolarisasi atrium mungkin pula tidak. Pengisian ventrikel tidak secara total bergantung pada kontraksi
atrium yang terorganisasi, sehingga aliran darah yang masuk dan keluar ventrikel biasanya cukup kecuali
pada waktu-waktu terjadi peningkatan kebutuhan misalnya, selama berolahraga (Corwin, 2009)
2. Fibrilasi atrium adalah depolarisasi muncul di banyak tempat di atrium, menyebabkan depolarisasi
yang tidak terkoordinasi dengan frekwensi tinggi. Sentakan fokus ektopik pada struktur vena yang dekat
dengan atrium (biasanya vena pulmonal) merupakan penyebab tertinggi (Surya Dharma, 2012)
3. Fibrilasi atrium didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal. Aktivitas listrik jantung yang
cepat dan tidak beraturan mengakibatkan atrium bekerja terus menerus menghantarkan implus ke
nodus AV sehingga respon ventrikel menjadi ireguler. Atrial fibrilasi dapat bersifat akut maupun kronik
dan umumnya terjadi pada usia di atas 50 tahun (Berry and Padgett, 2012).
B. Epidemiologi
Fibrilasi atrium (AF) merupakan gangguan irama jantung yang paling sering dijumpai dan terjadi secara
persisten, dengan prevalensi
1. AF dapat terjadi pada jantung normal, namun umumnya lebih sering terjadi pada penyakit jantung
(Shay, 2010).
2. Prevalensi AF pada populasi dewasa adalah 0,5% dengan kenaikan prevalensi mencapai 10% pada
individu berusia lebih dari 75 tahun;
3. Pada pasien yang juga menderita stenosis mitral, reumatik, akan meningkatkan risiko stroke yang
dihadapinya 17 kali lebih tinggi. (Chang, 2009)
4. Fibrilasi atrial terjadi pada 1-2% dari polpulasi, dan tampaknya akan terjadi peningkatan dalam 50
tahun ke depan.
5. Prevalensi AF meningkat berdasarkan usia, mulai dari 0,5% pada usia 40-50 tahun, dan mendekati
5-15% pada usia 80 tahun.
7. Di AS, > 850,000 orang dirawat karena aritmia setiap tahunnya. AF mengenai kurang lebih 2,3 juta
orang di amerika utara dan 4,5 juta orang di eropa, terutama yang berusia lanjut. Di AS, kira-kira 75 %
orangberusia 65 tahun atau bahkan lebih tua. AF merupakan aritmia yang paling sering terjadi dengan
prevalensi 0,4 % pada golongan usia <65 tahun dan meningkat 10 % pada kelompok usia > 75 tahun. Di
Amerika Utara, prevalensi AF diperkirakan meningkat 2-3x pada tahun 2050 (Department Health and
Human Services USA, 2010).
C. Anatomi fisiologi
1. Elektrofisiologi jantung
Ada 3 jenis kumpulan sel-sel jantung yang dapat membangkitkan arus listrik, yakni;
Stimulasi listrik atau potensial aksi yang terjadi pada ketiga sel-sel khusus ini dihasilkan oleh interaksi
ionik transmembran, yaitu berupa transport berbagai ion utama melalui kanal-kanal khusus yang
melewati membran sarcolema (suatu membran bilayer fosfolipid). Transportasi ionik ini
mempertahankan gradien konsentrasi dan tegangan antara intra dan ekstra sel. Dalam keadaan normal,
konsentrasi Na+ dan Ca++ lebih tinggi diluar sel, sedangkan konsentrasi K+ lebih tinggi didalam sel.
Intrasel bermuatan negatif dibandingkan sisi ekstranya, sehingga menghasilkan perbedaan tegangan
dikedua sisi membran yang disebut sebagai potensial transmembran.Potensial transmembran saat
istirahat (–80 s/d –90 mV pada otot jantung dan –60 pada sel pacemaker) terjadi akibat adanya
akumulasi molekul-molekul bermuatan negatif (ion-ion) didalam sel. Potensial aksi pada sel jantung
memberikan pola yang khas, dan mencerminkan aktifitas listrik dari satu sel jantung.Secara klasik aksi
potensial dibagi 5 fase, namun untuk memudahkan pemahaman terhadap potensial aksi dapat
disederhanakan menjadi 3 fase umum, yaitu :
a. Fase Depolarisasi
Fase depolarisasi (fase 0) adalah fase awal dari potensial aksi yang timbul pada saat kanal Na+ membran
sel terstimulasi untuk membuka. Bila hal ini terjadi, maka ion Na+ yang bermuatan positif akan serentak
masuk ke dalam sel, sehingga menyebabkan potensial transmembran beranjak positif secara cepat.
Perubahan resultan tegangan ini disebut depolarisasi. Depolarisasi satu sel jantung akan cenderung
menyebabkan sel-sel yang berdekatan ikut berdepolarisasi dan membuka kanal Na+ sel sebelahnya.
Sekali sel berdepolarisasi, gelombang depolarisasi akan di hantarkan dari sel ke sel ke seluruh sel
jantung. Kecepatan depolarisasi suatu sel menentukan cepatnya impuls listrik dihantarkan ke seluruh sel
miokard.
b. Fase Repolarisasi
Sekali suatu sel berdepolarisasi maka tidak akan berdepolarisasi kembali hingga aliran ionik kembali pulih
selama depolarisasi. Proses mulai kembalinya ion- ion ketempatnya semula seperti saat sebelum
depolarisasi disebut repolarisasi.Karena depolarisasi berikutnya tidak dapat terjadi hingga repolarisasi,
rentang waktu sejak akhir fase 0 hingga akhir fase 3 disebut sebagai periode refrakter (refractory
periode).Fase 2 (fase plateau) dimediasi oleh terbukanya kanal lambat kalsium, yang akan menyebabkan
ion kalsium yang bermuatan positif masuk kedalam sel.
c. Fase Istrahat
Pada hampir semua sel jantung, fase istirahat (rentang waktu antara 2 potensial aksi sebagai fase 4)
merupakan fase di mana tak ada perpindahan ion di membran sel. Namun pada sel-sel pacemaker tetap
terjadi perpindahan ion melewati membran sel pada fase 4 ini dan secara bertahap mencapai ambang
potensial, kemudian kembali berdepolarisasi membangkitkan impuls listrik yang dihantarkan ke seluruh
jantung. Aktifitas fase 4 yang kemudian berdepolarisasi spontan disebut automatisitas.
Pola potensial aksi tidaklah sama pada setiap sel-sel yang menyusun sistem listrik jantung. Pola potensial
aksi sel- sel Purkinje sangat berbeda dengan sel-sel nodus SA dan nodus AV. Perbedaan ini terjadi pada
fase 0 yaitu depolarisasi lambat sel nodus SA dan AV, dikarenakan tidak adanya kanal cepat Na+ yang
bertanggung jawab pada fase depolarisasi cepat sel otot jantung yang lain (fase 0).
Secara umum, peningkatan tonus simpatik akan meningkatkan automatisitas (sel-sel pacemaker akan
terpacu lebih cepat), meningkatkan kecepatan konduksi (impuls listrik akan dihantarkan lebih cepat), dan
berkurangnya masa potensial aksi / memendeknya masa refrakter (sel akan siap secara cepat untuk
berdepolarisasi kembali). Sebaliknya dengan bertambahnya tonus parasimpatik, automatisitas ditekan,
kecepatan konduksi berkurang, dan masa refrakter meningkat. Serabut-serabut simpatik dan
parasimpatik banyak mempersarafi nodus SA maupun AV. Selain itu, sel-sel pacemaker persarafan
simpatiknya lebih dominan dibandingkan persarafan parasimpatik, itulah sebabnya mengapa perubahan
pada tonus parasimpatis relatif lebih besar pengaruhnya terhadap nodus SA dan AV dibandingkan
jaringan jantung lainnya.
Abnormalitas sistem listrik jantung menghasilkan 2 jenis keadaan umum aritmia, yaitu irama jantung
yang terlalu lambat (bradiaritmia) dan irama jantung yang terlalu cepat (takiaritmia). AF merupakan
suatu bentuk takiaritmia, secara umum ada 3 mekanisme yang mendasari gangguan irama ini, yaitu:
a. Abnormal Automaticity
b. Reentry
c. Trigered activity
b. ReentryReentry merupakan mekanisme umum yang terjadi pada hampir semua jenis takiaritmia.
Untuk terjadinya Reentry harus terdapat beberapa syarat: Terdapat dua jaras paralelyang saling
berhubungan, pada bagian distal dan proksimal, membentuk sirkuit potensial listrik; Salah satu jaras
harus memiliki masa refrakter yang berbeda dengan jaras yang lain. Bila suatu saat terjadi impuls
prematur, impuls ini harus melewati sirkuit B (masa refrakter panjang) dan sirkuit A (masa refrakter
pendek) (gambar 7). Impuls akan melewati sirkuit A karena lebih cepat pulih dan siap kembali menerima
impuls listrik, sedangkan sirkuit B tidak dapat dilewati karena belum siap menerima impuls (masa
refrakternya panjang). Pada saat sirkuit A menjalarkan impuls secara lambat, sirkuit B sudah pulih dari
masa refrakter dan siap menerima impuls, yang ternyata dimulai dari arah berlawanan, berasal dari
impuls prematur sirkuit A (konduksi retrograde). Bila impuls retrograd ini kembali melewati sirkuit A
secara antegrade maka lingkaran impuls yang kontinu akan terbentuk, dan terjadilah lingkar reentry
(loop reentry).
c. Trigered activityTrigered activity memiliki gambaran yang sama seperti automatisitas dan reentry.
Seperti pada automatisitas, trigered activity mencakup kebocoran ion positif kedalam sel jantung yang
menyebabkan cetusan potensial aksi pada fase 3 atau awal fase 4. Cetusan ini disebut after-
depolarization. Bila afterdepolarization ini cukup besar untuk membuka kanal natrium, potensial aksi
yang kedua akan dibangkitkan.
D. Etiologi:
b. Hipertensi kronis
a. Kelainan metabolik :
· Tiroksikosis
· Alkohol akut/kronis
· Emboli paru
· Pneumonia
· PPOM
· Kor pulmonal
E. Faktor Resiko
1. Faktor risiko yang menyebabkan AF terutama faktor usia (National Collaborating Center for Chronic
Condition, 2006).
2. Faktor risiko yang berasal dari non-cardiac adalah penyakit DM, kekurangan elektrolit, hipertiroid,
dan emboli pulmonal.
3. Faktor risiko dari cardiac adalah ASD, post operasi jantung, kardiomiopati, gagal jantung, hipertensi,
iskemik, dll (Berry and Padgett, 2012).
F. Patofisiologi
Adanya regangan akut dinding atrium dan fokus ektopik di lapisan dinding atrium di antara vena
pulmonalis atau vena caval junctions merupakan pencetus AF.Daerah ini dalam keadaan normal memiliki
aktifitas listrik yang sinkron, namun pada regangan akut dan aktifitas impuls yang cepat, dapat
menyebabkan timbulnya after-depolarisation lambat dan aktifitas triggered.Triggered yang dijalarkan
kedalam miokard atrium akan menyebabkan inisiasi lingkaran-lingkaran gelombang reentry yang pendek
(wavelets of reentry) dan multiple. Lingkaran reentry yang terjadi pada AF tedapat pada banyak tempat
(multiple) dan berukuran mikro, sehingga menghasilkan gelombang P yang banyak dalam berbagai
ukuran dengan amplitudo yang rendah (microreentrant tachycardias).Berbeda halnya dengan flutter
atrium yang merupakan suatu lingkaran reentry yang makro dan tunggal di dalam atrium
(macroreentrant tachycardias).
AF dimulai dengan adanya aktifitas listrik cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis.
Aritmia ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit reentry yang multipel. Penurunan
masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan memfasilitasi terjadinya reentry.
Setelah AF timbul secara kontinu, maka akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang
selanjutnya akan membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan menjadi
permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung lama.
Atrium tidak adequat memompa darah selama AF berlangsung.walaupun demikian, darah akan mengalir
secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya
sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel,
orang dapat hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun
timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan
ventrikel berkontraksi lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu
untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. trombus ini meningkatkan resiko terjadinya stroke emboli dan gangguan
hemostasis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor
terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand
( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. AF akan meningkatkan agregasi
trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF.
G. Manifestasi Klinis
1. Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau “berdebar” dalam dada)
3. Sesak napas/dispnea,
4. Pusing, atau
5. Sinkop (pingsan mendadak) yang dapat terjadi akibat peningkatan laju ventrikel atau tidak adanya
pengisian sistolik ventrikel.
Trombus dapat terbentuk dalam rongga atrium kiri atau bagian lainnya karena tidak adanya kontraksi
atrium yang mengakibatkan stasis darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya emboli pada sirkulasi
sistemik terutama otak dan ekstremitas sehingga atrial fibrilasi menjadi salah satu penyebab terjadinya
serangan stroke (Philip and Jeremy, 2007).
H. Klasifikasi :
1. Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan
menjadi;
Klasifikasi AF
Keterangan
AF paroksimal
AF ini dapat hilang dan timbul secara spontan, tidak lebih dari beberapa hari tanpa intervensi.
AF persisten
AF ini tak dapat terkonversi secara spontan menjadi irama sinus, sehingga diperlukan kardioversi untuk
kembali ke irama sinus, baik konversi farmakologik ataupun non farmakologik.
AF permanen
a. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik lainnya,
b. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti gangguan tiroid.
a. AFCoarse(kasar) jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali.
Sumber : (Levy, Camm, Saksena, 2003. Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009).
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Fisik :
a. Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dengan regularitasnya, tekanan darah, dan pernapasan
meningkat
d. Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif,
terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup jantung
2. Laboratorium :
e. PT/APTT
3. Pemeriksaan EKG :
a. Irama EKG umumnya tidak teratur dengan frekuensi bervariasi (bisa normal/lambat/cepat). Jika
kurang dari 60x/menit disebut atrial fibrilasi slow ventricular respons (SVR), 60-100x/menit disebut atrial
fibrilasi normo ventricular respon (NVR) sedangkan jika >100x/menit disebut atrial fibrilasi rapid
ventricular respon (RVR).
b. Gelombang P tidak ada atau jikapun ada menunjukkan depolarisasi cepat dan kecil sehingga
bentuknya tidak dapat didefinisikan
4. Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOM, kor pulmonal.
5. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan ventrikel, hipertrofi
ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan
J. Penatalaksanaan
AF paroksismal yang singkat, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya
(rhytm control).Namun pada pasien dengan AF yang persisten, terkadang kita dihadapkan pada dilema
apakah mencoba mengembalikan ke irama sinus (rhytm control) atau hanya mengendalikan laju denyut
ventrikular (rate control) saja.
Berikut penatalaksanaan AF berdasarkan Standar Pelayanan Medik (SPM) RS Harapan Kita Edisi III 2009,
yaitu:
1. Farmakologi
a. Rhythm control,
Tujuannya adalah untuk mengembalikan ke irama sinus / irama jantung yang normal.
· Untuk gol.III dapat diberikan amiodaron. Dapat juga dikombinasi dengan kardioversi dengan DC
shock
b. Rate control
Rate control bertujuan untuk mengembalikan / menurunkan frekwensi denyut jatung dapat diberikan
obat-obat yang bekerja pada AV node seperti :
digitalis, verapamil, dan obat penyekat beta (β bloker) seperti propanolol. Amiodaron juga dapat dipakai
untuk rate control
c. Profilaksis tromboemboli
Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan anti-
koagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli.Pasien yang mempunyai kontraindikasi
terhadapwarfarin dapat di berikan antipletelet.
2. Non-farmakologi
a. Kardioversi
Kardioversi eksternal dengan DC shock dapat dilakukan pada setiap AF paroksismal dan AF persisten.
Untuk AF sekunder, seyogyanya penyakit yang mendasari dikoreksi terlebih dahulu. Bilamana AF terjadi
lebih dari 48 jam, maka harus diberikan antikoagulan selama 4 minggu sebelum kardioversi dan selama 3
minggu setelah kardioversi untuk mencegah terjadinya stroke akibat emboli. Konversi dapat dilakukan
tanpa pemberian antikoagulan, bila sebelumnya sudah dipastikan tidak terdapat trombus dengan
transesofageal ekhokardiografi.
Beberapa tahun belakangan ini beberapa pabrik pacu jantung (pacemaker) membuat alat pacu jantung
yang khusus dibuat untuk AF paroksismal.Penelitian menunjukkan bahwa pacu jantung kamar ganda
(dual chamber), terbukti dapat mencegah masalah AF dibandingkan pemasangan pacu jantung kamar
tunggal (single chamber).
c. Ablasi kateter
Ablasi saat ini dapat dilakukan secara bedah (MAZE procedure) dan transkateter.Ablasi transkateter
difokuskan pada vena-vena pulmonalis sebagai trigger terjadinya AF. Ablasi nodus AV dilakukan pada
penderita AF permanen, sekaligus pemasangan pacu jantung permanen
K. Komplikasi
2. Stroke
3. Dimensia
L. Pronosis
Penanganan AF secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik pada kejadian tromboemboli
terutama stroke dan komplikasi yang lain
II. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Riwayat Keperawatan
a. Aktivitas / istirahat
Keluhan kelemahan fisik secara umum dan keletihan berlebihan.Temuan fisik berupa disritmia,
perubahan tekanan darah dan denyut jantung saa aktivitas.
b. Sirkulasi
Melaporkan adanya riwayat penyakit jantung koroner ( 90 -95 % mengalami disritmia ), penyakit katub
jantung , hipertensi , kardiomiopati, dan CHF. Riwayat insersi pacemaker. Nadi cepat/lambat/tidak
teratur,palpitasi.Temuan fisik meliputi hipotensi atau hipertensi selama episode disritmia.Nadi ireguler
atau denyut berkurang.Auskultasi jantung ditemukan adanya irama ireguler, suara ekstrasisitole. Kulit
mengalami diaforesis,pucat, sianosis.Edema dependen, distnsi vena jugularis,penurunan urine output.
c. Neurosensori
Keluhan pening hilang timbul, sakit kepala,pingsan. Temuan fisik : status mental
disorientasi,confusion,kehilangan memori, perubahan pola bicara,stupor dan koma.Letargi
( mengantuk ), gelisah, halusinasi; reaksi pupil berubah.Reflek tendon dalam hilang menggambarkan
disritmia yang mengancam jiwa ( ventrikuler tachicardi atau bradikardia berat ).
d. Kenyamanan
Keluhan neri dada sedang dan berat ( infark miokard ) tidak hilang dengan pemberian obat anti angina.
Temuan fisik gelisah.
e. Respirasi
Keluhan sesak nafas , batuk, ( dengan atau tanpa sputum ) , riwayat penyakit paru, , riwayat
merokok,.Temuan fisik perubahan pola nafas selam periode disritmia. Suara nafas krekels
mengindikasikan oedem paru atau fenomena thromboemboli paru.
Keluhan berupa intoleransi terhadap makanan, mual, mumtah.Temuan fisik berupa tidak nafsu
makan,perubahan turgor atau kelembapan kulit. Perubahan berat badan akibat odema.
g. Keamanan
h. Psikologis
Merasa cemas , takut, menarik diri, marah, menangis, dan mudah tersinggung.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Resiko penurunan curah jantung b.d. perubahan konduksi elektrik miokard, penurunan kontraktilitas
miokard
Tujuan
Mempertahankan curah jantung tetap adekuat, tidak berlanjut kepada munculnya tanda/ gejala
dekompensasi.
Kriteria hasil
Intervensi
· Palpasi nadi, femoral, dorsum pedis ), catat frekuensi per menit, keteraturan, dan ampnya
litudo.Dokumentasi adanya pulsus alterans, denyut bigemini, atau defisit nadi.
· Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, permenit, irama.Catat adanya ekstrasistole, hilangnya
denyut.
· Monitor tanda vital, dan observasi keadekuatan perfusi jaringan. Laporkan jika terjadi perubhan
tekanan darah, denyut nadi, respirasi yang bermakna, nilai dan catat MAP, tekanan nadi, perubahan
warna atau suhu kulit, tingkat kesadaran, dan produksi rine selama periode disritmia.
· Tentukan jenis disritmia dan dokumentasikan melalui rhytim strip: tachicardi, bradikardia, atrial
disritmia, ventrikuler disritmia, heart blok.
Rasional :
Disritmia menyebabkan penurunan tekanan darah, serta perubahan frekuensi dan amplitudo nadi yang
berakibat menurunnya curah jantung dan perfusi organ/ jaringan. Kondisi ini akan meningkatkan
konsumsi oksigen miokard.
· Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman.Jelaskan pembatasan aktifitas selama faseakut
· Ajarkan dan anjurkan melakukan teknik managemen stres ( relaksasi, napas dalam, dan imaginasi
secara terbimbing ).
· Kaji lebih lanjut keluhan nyeri dada. Dokumentasikan nyerinya, lokasinya, durasi, intensitas, serta
faktor yang da[at mengurangi atau memperparah keluhan.Catat respon nonverbal nyeri : grimace wajah,
menangis, perubahan tekanan darah, dan frekuensi denyut nadi.
Rasional :
Mengrangi kecemmasan yang memicu peningkatan konsumsi oksigen miokard dan disritmia. Nyeri dada
mengindikasikan iskemia miokard.
· Kolaborasi
Ø Monitor hasil studi laboratorium ( elektrolit,level pemakaian obat/ kadar serum digitalis )
Ø Pemberian oksigen
Rasional:
§ Ketidakseimbangan elektrolit dan kadar digitalis darah memicu disritmia yang membahayakan
§ Terapi disritmia sesuai jenis disritmia dan indikasi akan memperbaiki kontraktilitas jantung, serta
meningkatkan curah jantung danperfusi jaringan.
Diagnosa keperawatan 2
Resiko terhadap ketidak efektifan penatalaksanaan aturan teraupetik b.d ketidak cukupan pengetahuan
tentang program terapi,program aktivitas, serta tanda dan gejala komplikasi.
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
· Review fungsi normal jantung dan konduksi elejtrik jantung dengan bahasa yang mudah
dipahami
· Beri penjelasan tentang gangguanirama jantung tertentu, dan penentuan therapi kepada
klien dan keluarganya
· Identifikasi efek lanjut atau komplikasi dari disritmia tertentu seperti fatique, edema,
vertigo, dan perubahan status mental
· Identifikasi gejala dan tand ayng timbul akibat aktivitas yang berlebihan seperti
pening,palpitasi, dypsnea,berkunang-kunang dan nyeri dada
· Berikan informasi tertulis agar dibawa pulang dan digunakan bila kondisi klien berubah
· Ajarkan dan demonstrasikan teknik mengukur nadi sendiri.Ajarkan kepada klien / keluarga
untuk melakukan dan mencatat nadi sebelum minum obat atau latihan dan mengenali tanda dan
gejala yang memerlukan tindkan medis segera.
· Review tindakan pencegahan yang aman, teknik untuk mengevaluasi tau mempertahankan
fungsi pacemaker serta tanda dan gejala yang membutuhkan intervensi medis.
Rasional
Pengajaran tentang fungsi jantung, danprogram terapi dapat membantu klien beradaptasi dengan pola
aktivitas, diet, gaya hidup, dan meningkatkan kualitas hidup klien.
KEPUSTAKAAN
1. Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing
2. Chang, Esther. 2009. Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
4. Dharma, Surya. 2012, Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG, Jakarta : EGC