Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS POLI SARAF

EPILEPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas ilmu kedokteran klinik (IKK)
di bagian klinik penyakit saraf di RSUD Blambangan

Pembimbing:

Dr. Andar Setyawan, Sp. S

Disusun oleh :

Berty Nur K. I. P 111611101004


Yurike Fitria Sari 111611101082

PKL. ILMU KEDOKTERAN KLINIK (IKK)


RSUD. BLAMBANGAN – BANYUWANGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

1
BAB 1. RIWAYAT KASUS

1.1. Identitas Pasien


Nama : an. RA
Umur : 9 tahun
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Alamat : Perum Griya Pesona Blok E 001 – Banyuwangi
Pekerjaan : Siswa

1.2. Anamnesa
 Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sering mengalami kejang - kejang
 Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sering mengalami kejang – kejang ketika badannya panas atau
kecapekan mulai usia 1 tahun sampai sekarang saat pasien berumur 9 tahun.
Kejang kejang terjadi selama 1 menit sampai beberapa menit. Serangan sering
kambuh kurang lebih 8x dalam satu bulan. Saat pasien mengalami kejang – kejang
pasien mengeluarkan busa dari dalam mulut. Awalnya ketika pasien berusia 2 hari
pasien terkena pukulan benda tumpul (sandal) ke kepala belakang sebelah kiri dan
langsung mengalami kejang kejang namun dibiarkan saja hingga hilang dengan
sendirinya. Setelah itu ketika pasien berusia sebulan, pasien mengalami kejang –
kejang lagi dan dibawa ke tukang pijat. Namun setelahnya kejang – kejang masih
tetap terjadi. Saat pasien berumur 2 tahun, pasien dibawa ke Poli saraf untuk
konsultasi namun pasien tidak melanjutkan perawatan lagi setelah itu.
 Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah mengalami kejang kejang sebelum trauma pukulan benda
tumpul terjadi. Keluarga pasien juga belum pernah mengalami hal tersebut
sebelumnya.
 Riwayat penyakit sistemik/ alergi
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik/ alergi

2
 Riwayat pekerjaan
Pasien masih berstatus siswa
 Riwayat sosial ekonomi
Kebutuhan pasien masih dalam tanggungan orang tua ( Ayah swasta dan ibu IRT)

1.3 Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik status generalis
Keadaan Umum : Baik
Vital sign
Tensi : 100/70 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 84x/menit

b. Status neurologis
 Kesadaran
GCS (Glasgow Coma Scale) : 4-5-6
Pada GCS ada skala penilaian:
Respon buka mata/Eye opening 1-4 (E)
Respon verbal terbaik 1-5 (V)
Respon motorik terbaik 1-6 (M)

TINGKAT KESADARAN (GCS) SKALA


1. Tanggapan Membuka Mata (E)
 Spontan 4
 Terhadap bicara 5
 Terhadap nyeri 4

 Tak ada tanggapan 1

2. Tanggapan Verbal (V)


 Berorientasi 5
 Bicara kacau/disorientasi 4
 Kata-kata tak tepat/tidak membentuk kalimat 5

3
 Bunyi tanpa arti (mengerang) 0
 Tak ada jawaban 0
3. Tanggapan Motorik (M)
 Menurut perintah 6
 Melokalisir nyeri 5
 Reaksi menghindar 4

 Gerakan fleksi abnormal (dekortikasi) 3

 Gerakan ekstensi (deserebrasi) 2

 Tak ada gerakan 1

Tabel 1. Data tingkat kesadaran (Marshall, 1997, Lumban Tobing, 2000)

c. Kepala dan Leher


d. N. I (Olfactorius )
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Dbn Dbn Dalam batas
normal

e. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan Dbn Dbn
Dalam batas
Lapang pandang Dbn Dbn
normal
Pengenalan warna Dbn Dbn

f. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Bentuk Bulat Bulat Kiri Dalam
Ukuran Φ2mm Φ2mm batas normal
akomodasi baik baik
Refleks pupil
Langsung (+) (+)
Tidak langsung (+) (+)

4
Gerak bola mata Tidak normal Dbn
Kedudukan bola mata Ortoforia Ortoforia

g. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
normal

h. N. V (Trigeminus)

Kanan Kiri Keterangan


Motorik Dbn Dbn
Sensibilitas
Opthalmikus Dbn Dbn Dalam batas
Maxilaris Dbn Dbn normal
Mandibularis Dbn Dbn

i. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Dbn Dalam batas
Strabismus (-) (-) normal

j. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam simetris simetris Dalam batas
Mengernyitkan dahi Dbn Dbn normal
Senyum Dbn Dbn
memperlihatkan gigi Dbn Dbn
Daya perasa 2/3 Tidak Tidak dilakukan
anterior lidah dilakukan

5
k. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif (-) (-)
Tuli sensorieural (-) (-) Dalam batas
Vestibular normal
Vertigo (-) (-)
Nistagmus (-) (-)

l. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris
Daya perasa 1/3 Dalam batas
posterior lidah Tidak Tidak dilakukan normal
dilakukan

m. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings Simetris Simetris
Disfonia - - Dalam batas
Refleks muntah Tidak Tidak dilakukan normal
dilakukan
n. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh dbn dbn Dalam batas
Mengankat bahu dbn dbn normal
Trofi Eutrofi Eutrofi

6
o. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik dbn Dbn
Trofi eutrofi Eutrofi Dalam batas
Tremor (-) (-) normal
Disartri (-) (-)

p. Thoraks
a. Jantung : dalam batas normal
b. Pulmo : dalam batas normal

q. Abdomen
a. Bising usus : dalam batas normal
b. Hepar : dalam batas normal
c. Pankreas : dalam batas normal
d. Ginjal : dalam batas normal

r. Punggung : dalam batas normal

s. Ekstremitas

Kanan Kiri Keterangan


Ekstremitas atas
Kekuatan 3 5
Gerakan BT B Kiri Dalam
Batas Normal,
Ekstremitas bawah Kanan tidak
Kekuatan 3 5 normal
Gerakan BT B

7
Dalam pemeriksaan kekuatan otot dapat dilakukan 4 cara yang sedikit berbeda:
1. Pasien disuruh menahan usaha si pemeriksa untuk menggerakkan salah satu bagian
anggota geraknya. (kekurangan tenaga ringan)
2. Pasien diminta untuk menggerkan bagian anggota geraknya dan si pemeriksa
menahan gerakan yang akan dilaksanakan pasien itu. (kekurangan tenaga ringan
sampai sedang)
3. Pasien diminta untuk melakukan gerakan ke arah yag melawan gaya tarik bumi dan
yang mengarah ke jurusan gaya tarik bumi. (tenaga otot yang sangat kurang)
4. Penilaian dengan cara inspeksi dan palpasi gerakan otot, jika metode diatas kurang
cocok dilakukan seperti menilai otot masseter atau otot temporalis

Penilaian kriteria kekuatan otot, yaitu:


5 : Normal
4 : Melawan Gravitasi, tahanan cukup
3 : Melawan Gravitasi, tahanan ringan
2 : Gerak sendi, tidak bisa melawan gravitasi
1 : Otot kontraksi, gerak sendi (-)
0 : Plegi

t. Tonus
hipotoni Normal
hipotoni Normal

Tonus adalah ketegangan otot pada waktu istirahat. Syarat terpenting dalam
pemeriksaan tonus otot adalah pasien harus rileks tidak melawan (pasif), memberikan
gerakan pasif fleksi dan ekstensi pada semua sendi kiki maupun kanan, untuk
mengalihkan konsentrasi alihkan perhatian pasien dengan cara diajak bicara.

Interpretasi:
1. Menurun (hipotoni)

8
Tonus otot menurun tidak ada gerakan perlawanan terdapat pada lesi Lower Motor
Neuron (LMN)
2. Normal
3. Meningkat (hipertoni)
Spastis (tahanan meningkat pada awal gerakan sesudah itu tidak menunjukkan
adanya tahanan); rigiditas (kekakuan, tahanan meningkat mulai awal gerakan
sampai akhir gerakan sehingga sendi sulit digerakkan; ada tahanan sepanjang
gerakan)

u. Trophi
Atropi Eutrophi
Atropi Eutrophi

v. Reflek fisiologis
normal Normal 
normal Normal

Reflek Biseps (BPR)


Pegang lengan pasien yang disemifleksikan sambil menempatkan ibu jari di atas
tendon otot biseps. Kemudian ibu jari diketok, hal ini akan mengakibatkan gerakan
fleksi lengan bawah.

9
 Reflek Triseps (TPR)
Pegang lengan bawah pasien yang diseifleksikan. Setelah intu diketok pada tendon

insersi otot triseps, yang berada sedikit di atas olekranon. Sebagai jawaban, maka
lengan bawah akan mengadakan gerakan ekstensi.

 Reflek Patella (R. Tendon lutut, R. Kuadriseps femoris)


Tungkai difleksikan atau digantung, kemudian diketok pada tendon otot kuadriseps
femoris, di bawah patella. Otot kuadriseps femoris akan berkontraksi dan akan
mengakibatkan gerakan ekstensi tungkai bawah.

10
 Reflek Achilles
Tungkai bawah difleksikan sedikit, kemudian kita pegang kaki pada ujungnya untuk
memberikan sikap dorsofleksi ringan pada kaki. Setelah itu tendon Achilles diketok.
Hal ini akan mengakibatkan berkontraksinya otot triseps suure dan memberikan gerak
plantar fleksi pada kaki.

w. Reflek patologis
negatif Negatif
negatif Negatif

x. Reflek Nistagmus
Pasien dari posisi berbaring kemudian di bantu untuk posisi duduk kemudian kita lihat
tanyakan kepada pasien apakah pasien merasa pusing, jika pasien merasa pusing
dicurigai ada kelainan pada sistem saraf perifer nya.

11
y. Pemeriksaan penunjang
Tahun 2009

Tahun 2016

Dengan kontras Tanpa kontras

12
1.4 Resume
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan:
Pasien mengeluhkan sering mengalami kejang – kejang ketika badannya panas atau
kecapekan mulai usia 1 tahun sampai sekarang saat pasien berumur 9 tahun. Kejang
kejang terjadi selama 1 menit sampai beberapa menit. Serangan sering kambuh kurang
lebih 8x dalam satu bulan. Saat pasien pasien mengalami kejang – kejang, pasien
mengeluarkan busa dari dalam mulut. Awalnya ketika pasien berusia 2 hari pasien
terkena pukulan benda tumpul ( sandal) ke kepala belakang sebelah kiri dan langsung
mengalami kejang kejang namun dibiarkan saja hingga hilang dengan sendirinya.
Setelah itu ketika pasien berusia sebulan, pasien mengalami kejang – kejang lagi dan
dibawa ke tukang pijat namun kejang – kejang masih tetap terjadi. Saat pasien berumur
2 tahun, pasien dibawa ke Poli saraf untuk konsultasi namun pasien tidak melanjutkan
perawatan lagi setelah itu.

 Keadaan Umum : Baik

 Vital sign :
Tensi : 100/70 mmHg
Respirasi : 20x/menit
Nadi : 84x/menit
 Status kesadaran pasien composmentis, GCS 4E-5V-6M

13
1.5 Diagnosa
Diagnosa Klinis : Epilepsi
Diagnosa Topic : Temporal sinistra
Diagnosa Etiologi : Trauma/ Kista Arachnoid
1.6 Penatalaksanaan:
Pada pasien ini diberikan terapi medikasi sebagai berikut:
Kutoin 125 mg
Asam valproat 0,5 mg
Carbamazepin 30 mg
Vit b 20 mg

14
BAB 2. KAJIAN TEORI

2.1 Definisi

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3

Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat cetusan
pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.Cetusan tersebut dapat melibatkan
sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada kedua hemisfer
otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks yang disebabkan
berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan neuron yang berlebihan
dan dapat dideteksi dari gejala klinis, rekaman elektroensefalografi (EEG), atau keduanya.
Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang
berulang (lebih dari satu episode).3

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for
epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang
ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik,perubahan
neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social yang diakibatkannya.
Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik sebelumnya.Sedangkan
bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang timbul sepintas
(transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.4

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri
timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak
secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang berulang
tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.4

15
2.2 Etiologi

Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

 Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ±50% dari penderita


epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya pada
usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat diagnostic yang
canggih kelompok ini semakin sedikit.
 Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.
 Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsy
mioklonik.7

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan


elektroensefalogram yaitu :

Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3

1. Bangkitan parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a. Dengan gejala motorik
b. Dengan gejala sensorik
c. Dengan gejala otonomik
d. Dengan gejala psikik
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
 Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

16
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme
3) Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)


1) Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal.Serangan terjadi secara tiba-tiba, tanpa di
dahului aura.Kesadaran hilang selama beberapa detik, di tandai dengan terhentinya
percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat.Hampir
selalu pada anak-anak, mungkin menghilang waktu remaja atau diganti dengan
serangan tonik-klonik.

2) Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba,
bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis.Muncul akibat adanya gerakan
involuntar sekelompok otot skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya
berlangsung sejenak.Biasanya tidak ada kehilangan kesadaran selama
serangan.Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

3) Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot
ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.Berupa pergerakan tonik
satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai
yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.Biasanya kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada
anak 1-7 tahun.

4) Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan total

17
dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Biasanya penderita
akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara tiba-tiba.Bangkitan ini jarang
terjadi.

5) Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebabkan oleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.Keadaan ini diikuti sentakan
bilateral yang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang sering asimetris dan bisa
predominasi pada satu anggota tubuh. Serangan ini bisa bervariasi lamanya, seringnya
dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat lain.

6) Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal. Merupakan jenis serang klasik epilepsi
serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau pendengaran selama
beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran secara cepat.Secara tiba-tiba
penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian
diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan
tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa
menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan
biasanya akan tertidur setelahnya.

3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

2.4 Patofisiologi Epilepsi


Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada
sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik yang
disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron bergantung
pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah dilalui oleh ion K
dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl, sehingga di
dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah ion Ca, Na, dan Cl,
sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion
inilah yang menimbulkan potensial membran. 9
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badan-badan
neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron berikutnya.

18
Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan
depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Diantara
neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate,aspartat dan asetilkolin
sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA)
dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls
atau rangsang.Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di
neuron.Dalam keadaan istirahat, membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. 9
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi
membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan
listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar
sarang epileptic.Selain itu juga system-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain
yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 9

Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap
adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8
tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas
normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak
ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans
berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa
penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara
thalamus dan korteks serebri.Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal
akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar,
dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM. 9

19
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi
genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion. Pada kanal ion
yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan
keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi
yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada
generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan
sedangkan kalium efluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi
yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama
terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium
sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel
neuron. 9

Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke,
tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi
genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan
mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang
mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus)
inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. 8

Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di
otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa
menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang biologi molekuler,
bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi
neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi
neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada
reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik. Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari
reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan
epilepsi.Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang
bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari
reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal
ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya

20
mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa.Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium,
kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor.Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan
dalam komunikasi sesame neuron. 8

Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik
akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja
reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti
gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik),
serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi,
asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori
dan proses belajar. 9

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran
konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan menguatnya
sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan aktivitas
serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler
dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran neuron. 9

21
Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan
kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup
mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya
dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam
otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

22
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA
(gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial
postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya
inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak.
Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset
membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak
lengkap yang akan menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil
neuron saja, sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak.Lokasi yang berbeda
dari kelompok neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. 9
Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal
( GABA ) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi
jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator,
misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau
toksin.Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada rangsangan
yang memadai. 9

2.6 Gejala Epilepsi 2

a. Kejang parsial simplek


 Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
“déjàvu” : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
 Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat di jelaskan.
 Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubuh
tertentu.
 Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
 Halusinasi

23
b. Kejang parsial (psikomotor) kompleks
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama.
Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat
waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
 gerakan seperti mencucur atau mengunyah
 melakukan gerakan yang sama berulang – ulang atau memainkan pakaiannya
 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan
seperti sedang bingung
 Gerakan menendang atau meninju yang berulang – ulang
 Berbicara tidak jelas seperti menggumam

c. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau
kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya
mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura
merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa : merasa sakit perut ,
baal, kunang – kunang , telinga berdengung.

Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian
dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi kontraksi otot yang berulang dan tidak
terkontrol, mengompol atau buang air besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat
pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan
semacam ini.

24
2.7 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun
demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa
hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.Penjelasan perihal segala
sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci
diagnosis.Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan
kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan
tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

25
Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :

Major :

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder.Epilesi
grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.Manifestasi klinik:
kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura
yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand
mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak fokus
epileptogen pada permukaan otak.Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu,
mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya.Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita
terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat,
penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar
dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.Kejang tonik ini
kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3
menit.Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil,
refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis.Kejang berhenti secara berangsur-angsur
dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit kemudian penderita
bangun, termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan
dapat setiap jam sampai setahun sekali.

Minor :

Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..

Bangkitan mioklonus.Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan


kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang.Bangkitan terjadi demikian cepatnya
sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat
peka terhadap rangsang sensorik.9

Bangkitan akinetik.Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena


menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari
pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit mal,

26
mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-
Gastaut.

Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau sindroma
West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang
pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti
proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan
dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas,
kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,miosis atau midriasis pupil, sianosis dan
berkeringat.

Bangkitan motorik.Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.Bangkitan kejang


pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran.
Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan.Manifestasi klinik ini
disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).9

Bangkitan sensorik Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen
pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus postcentralis
memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau
perasaan kehilangan salah satu anggota badan.Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat
menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-
kejang.Epilepsi lobus temporalis. Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun.
Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat
kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini
meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra
tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik,
dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor.

Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa


automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam
keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi
(twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan
automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan
automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi

27
dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran
atau perasaan aneh.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari adanya
tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih, dan adenoma
seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda
adanya penyakit Sturge-Weber.Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan
tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri pada kepala, muka,
tubuh,ekstrimitas.

3. Pemeriksaan penunjang
a.
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang
ialah keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia.Penting puladiperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya radang
pada otak atau selaputnya,toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia yang
menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau perdarahan
subaraknoid.10,11

28
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Contohnya adalah MRI dan CT Scan. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu
terapi pembedahan.

c. Elektro ensefalografi (EEG)


Elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang
dapat memastikan diagnosis epilepsy.Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa
gelombang runcing, gelombang paku, runcing lambat, paku lambat.Pemeriksaan EEG
merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.Rekaman EEG
dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding
seharusnya misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat

29
yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3
spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat
dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
a. Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi
sumber serangan.Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara
fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang
kembali gambaran klinis yang ada.Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta
bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.Penentuan lokasi fokus epilepsi
parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi.

30
Gambar Pembentukan EEG

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Epilepsi
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan oksigenasi otak yang
adekuat, mengakhiri kejang sesegera mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari
faktor penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti
sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan diazepam per
rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak
> 10 kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5
menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam per
rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita epilepsi terbebas dari
serangan epilepsinya. Serangan kejang yang berlangsung mengakibatkan kerusakan
sampai kematian sejumlah sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terus menerus maka
kerusakan sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya

31
kemampuan intelegensi penderita. Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang
harus dilakukan terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi dapat dicegah
atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien tersebut 2 tahun bebas kejang.
Secara umum ada tiga terapi epilepsi, yaitu :
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani penderita epilepsi
yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi (OAE) baku yang biasa diberikan
di Indonesia adalah obat golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam
valproat. Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat mencegah
serangan epilepsi secara efektif. Walaupun serangan epilepsi sudah teratasi,
penggunaan OAE harus tetap diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek
samping yang berat maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang dapat mengatasi
kejang.

Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni:


a. Obat Antiepilepsi (OAE) mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan,
terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah
mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan
tidak terkontrol dengan dosis efektif.
d. Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan,
ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE
pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.
e. Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi
dengan penggunaan dosis maksimal kedua dan pertama.
Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi, yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG,
terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan
kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus.
Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi :

32
a. Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA).
b. Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi konduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau
aktivitas neurotransmiter.

Tabel 1. Mekanisme kerja OAE.

Tabel2.Dosis OAE untuk dewasa diambil dari Brodie et al (2005).


Obat Dosis Dosis Dosis Frekuensi Efek samping
awal yang maintenance pemberian
(mg/hari) paling (mg/hari) (kali/hari)
umum
(mg/hari)
Fenitoin 200 300 100-700 1-2 Hirsutisme, hipertrofi
gusi, distres lambung,
penglihatan kabur,
vertigo,hiperglikemia,

33
anemia makrositik
Karbamazepin 200 600 400-2000 2-4 Depresi sumsum tulang,
distress lambung, sedasi,
penglihatan kabur,
konstipasi, ruam kulit
Okskarbazepin 150-600 900-1800 900-2700 2-3 Gangguan GI, sedasi,
diplopia, hiponatremia,
ruam kulit
Lamotrigin 12,5-25 200-400 100-800 1-2 Hepatotoksik, ruam,
sindrom steven-johnson,
nyeri kepala, pusing,
penglihatan kabur
Zonisamid 100 400 400-600 1-2 Somnolen, ataksia,
kelelahan, anoreksia,
pusing, batu ginjal,
leukopenia
Ethosuximid 500 1000 500-2000 1-2 Mual, muntah, BB ↓,
konstipasi, diare,
gangguan tidur
Felbamat 1200 2400 1800-4800 3 gg. GI, BB ↓ , anoreksia,
nyeri kepala, insomnia,
hepatotoksik
Topiramat 25-50 200-400 100-100 2 Faringitis, insomnia, BB
↓, konstipasi, mulut
kering, sedasi, anoreksia
Clobazam 10 20 10-40 1-2
Clonazepam 1 4 2-8 1-2 Mengantuk, kebingungan,
nyeri kepala, vertigo,
sinkop
Fenobarbital 60 120 60-240 1-2 Sedasi, distress lambung
Pirimidon 125 500 250-1500 1-2 -
Tiagabin 4-10 40 20-60 2-4 Mulut kering, pusing,
sedasi, langkah

34
terhuyung, nyeri kepala,
eksaserbasi kejang
generalisata
Vigabatrin 500-1000 3000 2000-4000 1-2 -
Gabapentin 300-400 2400 1200-4800 3 Leukopenia,mulut kering,
penglihatan kabur,
mialgia, penambahan
berat, kelelahan
Pregabalin 150 300 150-600 2-3 -
Valproat 500 1000 500-3000 2-3 Mual, hepatotoksik
Levetiracetam 1000 2000-3000 1000-4000 2 -

Tabel 3. Pemilihan OAE didasarkan tipe serangan (Modifikasi brodie et al (2005) dan
panayiotopoulos (2005)
Tipe serangan First-line Second-line/ Third line/
add on add on
Parsial simple & Karbamazepine Asam valproat Tiagabin
kompleks dengan Fenitoin Levetiracetam Vigabatrin
atau tanpa general Fenobarbital Zonisamid Felbamat
sekunder Okskarbazepin Pregabalin Pirimidon
Lamotrigin
Topiramat
Gabapentin
Tonik klonik Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepine Okskarbazepin Levetiracetam
Fenitoin Zonisamid
Fenobarbital Pirimidon
Mioklonik Asam valproat Topiramat Lamotrigin
Levetiracetam Clobazam
Zonisamid Clonazepam
Fenobarbital

35
Absence (tipikal dan Asam valproat Etosuksimid Levetiracetam
atipikal) Lamotrigin Zonisamid
Atonik Asam valproat Lamotrigin Felbamat
Topiramat
Tonik Asam valproat Clonazepam
Fenitoin Clobazam
Fenobarbital

Epilepsy absence Asam valproat Clonazepam


juvenil Etosuksimid
Epilepsy mioklonik Asam valproat Clonazepam
juvenil Fenobarbital Etosuksimid

2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi
fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan terutama
untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis
bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

36
BAB 3. PEMBAHASAN

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan


kronik otak yang menunjukkan gejala - gejala berupa serangan yang berulang -
ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau
seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang
yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik, sensorik, otonom atau
psikis yang timbul tiba - tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan listrik abnormal sel
- sel otak. 8
Berdasarkan riwayat kasus, etiologi dari epilepsy pasien ini digolongkan pada
epilepsy simtomatik dimana epilepsy ini salah satunya disebabkan oleh trauma. Pada
pemeriksaan CT Scan terdapat gambaran arachnoid cyst temporal pada bagian kiri .
Sesuai dengan gejala klinis yang dialami pasien, tipe epilepsy ini mengarah pada
epilepsy jenis generalized tonik klonic seizure. Tipe ini memiliki gejala pasien tiba-tiba
jatuh, kejang selama beberapa menit dan tidak sadar, ketika sadar pasien lupa
keadaannya.
Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek
traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya.Efek ini
dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron
atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau lingkungan neuronal
epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan
sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi.9
Dasar serangan epilepsy ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Semua sel saraf mengandung tiga komponen penting. Komponen
pertama adalah soma yang mengandung nukleus untuk mengatur metabolisme sel,
komponen kedua adalah akson yang bercabang-cabang, dimana ujung-ujung akson akan
membentuk komponen ketiga, yaitu terminal sinaptik. Terminal sinaptik ini akan
mengeluarkan neurotransmiter ke dalam celah sinaptik. Ada dua jenis neurotransmiter,
yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik
dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam
sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak
mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat
disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter

37
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil
pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. 9
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan
berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi
membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor,
diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron
sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra
seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan
listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh
sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. 9
Sifat khas serangan epilepsi ialah beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh
proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang
epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin
agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepas muatan. Keadaan lain yang dapat
menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat
habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak. 8
Diseberang celah sinaptik, terdapat membran postsinaptik yang mengandung
reseptor pengikat neurotransmitter. Jika neurotransmiter yang dilepaskan berikatan
dengan reseptor, maka akan terjadi perubahan lokal pada sistem elektrik neuron.
Perubahan tersebut dapat berupa eksitasi maupun inhibisi pada impuls saraf, sehingga
terjadi aksi potensial yang dapat menimbulkan serangan epilepsy. 9
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pemeriksaan Penunjang untuk menegakkan diagnose epilepsy diantaranya
yaitu pemeriksaan EEG dan CT scan. EEG sangat berperan dalam menegakkan
diagnosis epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta
dalam menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus kejang.
Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman EEG saat
tidur (sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga
keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Hasil EEG dikatakan
bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. CT Scan
( Computed Tomography Scanner ) adalah suatu prosedur yang digunakan untuk
mendapatkan gambaran dari berbagai sudut kecil dari tulang tengkorak dan otak. Tujuan

38
utama penggunaan ct scan adalah untuk pemeriksaan seluruh organ tubuh, seperti
sususan saraf pusat, otot dan tulang, tenggorokan, rongga perut terutama untuk
mendeteksi adanya tumor. Pada pasien ini terdapat gambaran arachnoid cyst pada bagian
temporal sinistra.
Penatalaksanaan pasien epilepsi yaitu dengan terapi medikasi diantaranya pemberian
asam valproat, kutoin, carbamazepin dan vit b6. Valproat dapat bekerja menurunkan
ambang konduktan kalsium, sedangkan kutoin yang mengandung fenitoin dapat
memblok sodium chanel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida. Sedangkan
carbamazepin bekerja dengan cara memblok sodium chanel konduktan pada neuron
untuk mencegah kejang.

39
BAB 4. KESIMPULAN

Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan terjadinya kejang


berulang.Kejang terjadi ketika aktivitas listrik dalam otak tiba-tiba terganggu.Gangguan ini
dapat menyebabkan perubahan gerakan tubuh, kesadaran, emosi dan sensasi.
Gejala epilepsy dapat dikontrol dengan menggunakan obat anti kejang.Hampir
delapan dari sepuluh orang dengan epilepsy gejala kejang yang mereka alami dapat dikontrol
dengan baik oleh obat anti kejang. Pada awal pengobatan akan diberikan satu jenis obat untuk
mengatasi kejang. Apabila kejang tidak dapat dikontrol maka akan digunakan dua atau lebih
kombinasi dari obat anti kejang.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Accessed on February 22th 2014 :


http://www.searo.who.int/LinkFiles/Technical_documents_Ment-134.pdf
2. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In :
Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.2005.
p119-127.
3. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(Perdossi). 2012. Pedoman Tatalaksana Epilepsy.Jakarta: Penerbit Perdossi
4. Heilbroner, Peter. 2007.Seizures, Epilepsy, and Related Disorder,Pediatric
Neurology: Essentials for General Practice. 1sted.
5. Accessed on February 22th 2014:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy_atlas_introdion.pdf
6. Accessed on February 22th 2014: http://www.epilepsyfoundation.org/about/statistics.cfm
7. Accessed on February 22th 2014 :
http://epilepsiindonesia.com/pengobatan/epilepsi-dan-anak/pahami-gejala-epilepsi-
pada-anak-2
8. Shorvon SD.2005. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Ther
apy in Children and Adults. 2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd.
9. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses -Proses Penyakit.Ed:
6. Jakarta: EGC
10. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6thed. New York: McGraw-Hill.
11. Wilkinson I. Essential neurology. 4thed. USA: Blackwell Publishing.
200515.PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta.
200816.http://www.medscape.com/viewarticle/726809.
12. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat;
2009.p.439.
13. Utama H. 2005. Antiepilepsi dan Antikonvulsi dalam Farmakologi dan terapi. 5th
ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
14. Lumbantobing SM. 2006. Epilepsy. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

41

Anda mungkin juga menyukai