Anda di halaman 1dari 7

I.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Undang-


Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan, sehingga Mahkamah Konstitusi dikenal dengan
sebutan the guardian of the constitution. Produk legislatif seburuk apapun
sebelumnya tetap berlaku tanpa sama sekali terdapat lembaga yang bisa
mengoreksi kecuali kesadaran pembentuknya sendiri yang merevisi atau
mencabutnya. Sebagai sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi memilik
tugas dan wewenang antara lain:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Mekanisme pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan untuk
melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap undang-
undang yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan tertentu. Pengujian undang-
undang sendiri di Indonesia dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan yang
berbeda, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA).
Kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 secara teoritis
atau praktis menjadikan Mahkamah Konsitusi sebagai lembaga pengontrol dan
penyeimbang dalam penyelenggaraan kekuasaan negara, sehingga dapat
mencegah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh legislatif dan eksekutif
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
UUD NRI 1945.
Judicial review merupakan istilah yang digunakan dalam pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI 1945 atau dapat diartikan sebagai
peninjauan kembali (PK). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial
review merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk
hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif dalam rangka penerapan prinsip check and balences berdasarkan
separation of power. Awal mula lahirnya judicial review yaitu sejak tahun 1803
di Amerika Serikat, dimana terjadi kasus Madison vs William Marbury. Hakim
John Marshal yang melahirkan putusan judicial review saat itu ditantang oleh
Madison untuk melakukan pengujian terhadap undang-undang yang ditetapkan
oleh kongres. Namun, di Amerika judicial review dilakukan oleh Mahkamah
Agung (Supreme Court), karena di Amerika tidak mengenal adanya lembaga
Mahkamah Konstitusi.
Terdapat tiga macam norma hukum yang dapat diuji, yang biasa disebut
dengan mekanisme kontrol norma. Ketiganya merupakan hasil dari proses
pengambilan keputusan hukum, yaitu:
1. Keputusan normatif yang berisi atau bersifat pengaturan (regeling).
2. Keputusan normatifyang berisi atau bersifat penetapan administratif
(bescikking).
3. Keputusan normatif yang berisi atau bersifat penghakiman (vonnis).
Menurut Jimly Asshidiqie, ketiga bentuk norma hukum tersebut
merupakan general dan abstract norms. Vonnis dan beschikking selalu
bersifat individual danconcrete norms, sedangkan regeling selalu
bersifat general dan abstract. Salah satu bentuk
dari general dan abstract norms adalah pengujian konstitusionalitas undang-
undang mengenai nilai dari segi formil ataupun materiil.
Dalam konteks pengujian undang-undang terhadap UUD NRI 1945 di
Indonesia dikenal dua macam pengujian yaitu Pengujian Formil dan Pengujian
Materil. Dua macam pengujian ini dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 51
Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berikut
adalah penjelasan lengkapnya:
a. Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian formil, di mana dalam
ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara
umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil (formeele toetsing)
tidak hanya mencakup proses pembentukan undang-undang dalam arti
sempit, tetapi juga mencakup pengujian mengenai aspek bentuk undang-
undang dan pemberlakuan undang-undang. Pengujian Formil
berdasarkan ketetuan Pasal 51 huruf a Undang-Undang No 24 Tahun
2003 dinyatakan bahwa “pembentukan undang-undang tidak memenuhi
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
b. Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Pasal 51 ayat (3) huruf b UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur mengenai pengujian materiil, dimana dalam
ketentuan tersebut diatur bahwa Pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Dalam Pasal 4 ayat
(2) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, mengatur
mengenai pengujian materiil sebagai berikut: "Pengujian materiil adalah
pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945”. Sementara Pengujian materil ruang
lingkupnya diatur dalam Pasal 51 huruf b Undang-Undang No 24 Tahun
2003 dinyatakan bahwa “materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau
bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Secara singkat
pengujian formil terkait dengan proses pembentukan suatu undang-
undang dan tidak memperhitungkan tentang apakah isi dari undang-
undang tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Dilihat dari objek yang diuji, maka peraturan perundang-undangan yang
diuji terbagi atas:
1. Seluruh peraturan perundang-undangan (legislative acts dan executive
acts) dan tindakan administrasi terhadap UUD diuji oleh hakim pada
seluruh jenjang peradilan. Pengujian dengan objek seperti ini dilakukan
dalam kasus yang kongkrit, dan secara umum dilakukan pada Negara
menggunakan common law system.
2. UU terhadap UUD diuji oleh hakim-hakim pada MK, sedangkan
peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU diuji oleh
hakim-hakim di MA. Pengujian dengan pembagian objek tersebut secara
umum tidak dilakukan dalam kasus yang kongkrit dan secara umum
dilakukan pada Negara yang menggunakan sistem hukum civil law.

Syarat dan tata cara pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi


Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dinyatakan bahwa:
1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/ kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakatnya dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum Publik atau privat, dan/ atau;
d. Lembaga negara.
2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
3. Dalam permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon
wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
a. Pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD NRI Tahun 1945 dan/atau;
b. Materi muatan dalam ayat,pasal dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan
ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap yang memuat
sekurang-kurangnya:
1. Identitas Pemohon, meliputi:
a. Nama;
b. Tempat tanggal lahir/ umur;
c. Agama;
d. Pekerjaan;
e. Kewarganegaraan;
f. Alamat Lengkap;
g. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (apabila ada).
2. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
a. Kewenangan Mahkamah;
b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang
jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan
konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang
dimohonkan untuk diuji;
c. Alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
3. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian
formil, yaitu:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
c. Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
4. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian
materiil, yaitu:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
c. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari
UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung
permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan saksi;
c. Keterangan ahli;
d. Keterangan para pihak;
e. Petunjuk dan;
f. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.

II. Kesimpulan
Salah satu tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi yaitu menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Mekanisme pengujian undang-undang ini sendiri dimaksudkan
untuk melakukan pengujian suatu produk perundang-undangan terhadap
undang-undang yang lebih tinggi oleh lembaga peradilan tertentu. Judicial
review merupakan istilah yang digunakan dalam pengujian undang-undang
terhadap UUD NRI 1945 atau dapat diartikan sebagai peninjauan kembali
(PK). Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa judicial review merupakan upaya
pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan
oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam rangka
penerapan prinsip check and balences berdasarkan separation of power.
Di Indonesia dikenal dua macam pengujian yaitu Pengujian Formil dan
Pengujian Materil. Dua macam pengujian ini dapat ditemukan pada ketentuan
Pasal 51 Undang-Undang No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa secara umum, yang dapat disebut
sebagai pengujian formil (formeele toetsing) tidak hanya mencakup proses
pembentukan undang-undang dalam arti sempit, tetapi juga mencakup
pengujian mengenai aspek bentuk undang-undang dan pemberlakuan undang-
undang. Sedangkan pengujian formil terkait dengan proses pembentukan
suatu undang-undang dan tidak memperhitungkan tentang apakah isi dari
undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Dan
mengenai syarat dan tata cara pengajuan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi sudah dijelaskan dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.

III. Pertanyaan
a. Apa perbedaan antara judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi dengan Mahkamah Agung?
b. Apakah ultra petita dalam perkara pengujian konstitusional yang
dilakukan Mahkamah Konstitusi dibenarkan berdasarkan sistem UUD
NRI 1945?

Anda mungkin juga menyukai