Oleh
Pembimbing
2018
1
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Case
Congestive Heart Failure (CHF)
Oleh:
Sarah Qonitah,S.Ked
04084821820013
Fachrezi Khatami, S.Ked
04054821820007
Case ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
periode 30 April 2018 s.d 9 Juli 2018
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya case yang berjudul “Congestive Heart Failure (CHF)” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Case ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada Dr. Syamsu Indra,
SpPD-KKV, FINASIM, MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini
menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................2
KATA PENGANTAR ...........................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................4
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................5
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................25
3.1 Anatomi Jantung ........................................................................................25
3.2 Gagal Jantung Kongestif ............................................................................31
3.2.1 Definisi ...........................................................................................31
3.2.2 Epidemiologi ..................................................................................31
3.2.3 Etiologi dan Faktor risiko ..............................................................32
3.2.4 Patogenesis .....................................................................................33
3.2.5 Klasifikasi ......................................................................................39
3.2.6 Manifestasi Klinis ..........................................................................40
3.2.7 Diagnosis Banding .........................................................................40
3.2.8 Penegakan Diagnosis .....................................................................41
3.2.9 Pemeriksaan Penunjang ................................................................43
3.2.10 Tatalaksana.....................................................................................40
3.2.11 Tatalaksana.....................................................................................47
3.2.12 Prognosis ........................................................................................47
3.3 SKDI ..........................................................................................................48
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................53
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
sebanyak 54.826 orang (0,19%), sedangkan Provinsi Maluku Utara dengan
estimasi paling sedikit yaitu sebanyak 144 orang (0,02%).6
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard,
pericardium, pembuluh darah besar,arithmia, kelainan katup dan gangguan irama.
Di Eropa dan Amerika disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit
arteri koroner biasanya akibat infark miokard, yang merupakan penyebab paling
sering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan
di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data rumah sakit di Palembang
menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit arteri
koroner dan katup.1,2
Manifestasi Congestive Heart Failure (CHF) ditandai dengan fatigue,
dyspnea, dan shortness of breath. Keluhan lain dapat berupa anoreksia, nausea,
dan rasa penuh.Tekanan darah dapat normal atau meningkat akibat disfungsi
ventrikel kiri, peninggian tekanan pengisian vena, adanya murmur (sistolik atau
diastolik) dan irama gallop. Ronki basah pada basal paru kiri dan ditemukan
edema ekstremitas yang umumnya simetris.1,2,3
Gagal jantung kronik dalam hal ini Congestive Heart Failure (CHF) berdasaran
SKDI merupakan kompetensi 3A, dengan demikian dokter umum harus mampu
menegakkan diagnosis, melakukan tatalaksana awal dan kemudian menentukan rujukan
yang tepat, lalu menindaklanjuti setelah di rujuk. Dengan demikian diharapkan melalui
case ini dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit ini.7
6
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTIFIKASI
Nama : Tn. SS
Usia : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sei Selincah Kalidoni, Kota Palembang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Polisi
MRS : 08 Mei 2018 pukul 10.00 WIB
No. Reg RS : RD 18009820
2.2 ANAMNESIS
Autoanamnesis dengan pasien (tanggal, 8 Mei 2018, Pukul 13.00 WIB)
Keluhan Utama :
Senap di dada sejak 3 jam SMRS.
7
+ 2 bulan SMRS pasien mengeluh sesak di dada timbul kembali,
sesak timbul saat aktivitas berat dan menjadi lebih ringan saat istirahat,
pasien sering terbangun di malam hari karena sesak yang dirasakan, pasien
lebih nyaman beristirahat dalam posisi setengah duduk, sesak juga
berkurang saat pasien duduk dengan posisi badan dicondongkan ke depan,
jantung berdebar-debar (+),bengkak pada kedua tungkai (+) sakit pada
dada kiri yang tembus hingga ke bagian belakang tubuh (+),mual (-),
muntah (-), pandangan berkunang-kunang (-).. Pasien dibawa ke RS Myria
dan dirawat + 1 minggu dan dilakukan pengobatan yang sama seperti
bulan lalu, keluhan pasien berkurang.
+ 3 jam SMRS pasien mengeluh sesak di dada semakin berat,
pasien tidak mampu melakukan aktivitas meskipun aktivitas ringan,
jantung berdebar-debar (+), sakit pada dada kiri yang tembus hingga ke
bagian belakang tubuh (+), pasien langsung dibawa ke CVCU RSMH pada
pukul 16.00 WIB.
8
Riwayat Pengobatan
- Obat berwarna pink, coklat yang dikonsumsi 2 kali sehari (pasien lupa
nama obat)
Riwayat Gizi
Makan teratur 3 kali sehari, porsi sedang. Namun saat ini tidak terjadi
penurunan nafsu makan.
9
KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)
Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
10
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis : (5+3) cmH2O.
Dada
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri = kanan
Perkusi : Redup pada hemithoraks kiri ICS VI, sonor hemithoraks
kanan.
Auskultasi : Vesikuler kiri menurun kanan normal, ronkhi basah
halus (+/+) pada basal paru kiri, wheezing (-/-)
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan menurun dari kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri = kanan
Perkusi : Redup hemithoraks kiri bagian bawah
11
Auskultasi: Vesikuler kiri menurun, ronkhi basah halus (+/+) pada
basal paru kiri, wheezing(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas atas kanan ICS II linea sternalis kanan
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis kanan
Batas kiri ICS VI linea midaxillaris sinistra
Auskultasi : HR 91 x/menit. BJ I-II irreguler, murmur
pansistolik (+), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-) di bagian bawah abdomen,
hepar teraba 2 jari dibawah arkus costae, lien tidak
teraba, Ballotement ginjal (-)
Perkusi : Timpani ke redup, shifting dullness (+), nyeri
ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus normal, 6 x / menit
Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-
), sianosis (-), jari tabuh (-), , kulit lembab, flapping
tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis
(-)
Palpasi :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-), CRT <2
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema pretibial (+/+), krepitasi (-/),
CRT <2 detik
12
ROM :
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Alat Kelamin : Tidak diperiksa
Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tebal
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab
Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba
13
- Leukosit (WBC) : 9,9 x 103/mm3
- Hematokrit (HT) : 46 %
- Trombosit : 455 108/mikroL
- Hitung jenis (DC) : 0 / 0 / 81 / 15 / 4 %
Kimia Klinik
Hati
- AST/SGOT : 37 U/L
- ALT/SGPT : 62 U/L
Metabolisme Sewaktu
- Glukosa Sewaktu : 170 mg/dL
Ginjal
- Ureum : 58 mg/dL
- Creatinin : 1,27 mg/dL
Elektrolit
- Kalsium (Ca) : 9,0 mg/dL
- Natrium (Na) : 138 mEq/L
- Kalium : 4,5 mEq/L
Enzim Jantung
- Troponin 50
- CKMB 33
14
Gambar 1. Foto thorax AP
Deskripsi:
- Posisi supinasi
- CTR sulit dievaluasi, kesan jantung membesar dengan apeks tertanam.
Aorta dilatasi dan kalsifikasi.
- Trakea di tengah, mediastinum superior tidak melebar
- Hillus kanan agak melebar, hillus kiri tertutup opasitas dan bayangan
jantung.
- Corakan bronkovaskular meningkat
- Tampak opasitas menutupi bagian hemithorax
- Hemidiafragma kanan licin, kiri tertutup opasitas.
- Sudut costophrenicus kanan sedikit tumpul, kiri tertutup opasitas dan
bayangan jantung.
- Tulang-tulang dan jaringan lunak tak tampak kelainan.
15
Keterangan:
Irama sinus
86x/menit
Aksis normal
Gel P normal
PR interval normal – 0,14 detik. QRS complex melebar dengan morfologi
khas dengan durasi 0,16 detik,
LV strain dengan T inverted pada V5 dan V6
ST Elevasi pada V2 dan V3
Q patologis pada II, III, aVF
P inverted V1 dengan kedalaman 1 kotak
Interpretasi Right Atrial Enlargment, Left Ventrikular Hypertrophy, HHD,
STEMI anteroseptal dengan OMI inferior
16
Gambar 5. Aliran Darah Aorta
17
2.5 Diagnosis
Gagal Jantung Kongestif e.c. coronary artery disease, dd/ HHD
UAP dd/STEMI
Hipertensi Stage I
2.7 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
Istirahat
Edukasi
o Edukasi mengenai kongestif jantung, penyebab dan bagaimana
mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
o Tirah baring
o Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan hindari makanan
yang dapat meningkatkan kolestrol total dan gula tinggi.
Diet jantung III
O2 3-4 L/menit
Timbang BB tiap hari
Balance cairan
Farmakologis:
- IVFD NaCl 0,9%gtt X/ menit (iv)
- Inj. Furosemid 20mg/24 jam (iv)
- Aspilet 160mg/24 jam (po) 80mg/24 jam
- Clopidogrel 75mg/24 jam (po)
- ISDN (Isosorbid Dinitrat) sublingual 5mg jika perlu (sublingual)
- Lansoprazole 30mg/24 jam (po)
18
2.8 Rencana Pemeriksaan
- EKG serial / 12 jam
- Enzim jantung serial / 24 jam 2 hari
- ECHO
2.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
19
FOLLOW UP
KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)
Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-)
20
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3mm/3mm, refleks
cahaya (+/+)
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis : (5+3) cmH2O.
Dada
Paru-paru (Anterior)
21
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi
dinding dada (-), spider nevi (-), venektasi (-),
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri = kanan
Perkusi : Redup pada hemithoraks kiri ICS VI, sonor hemithoraks
kanan.
Auskultasi : Vesikuler kiri menurun kanan normal, ronkhi basah
halus (+/+) pada basal paru kiri menurun, wheezing (-/-)
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan menurun dari kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri = kanan
Perkusi : Redup hemithoraks kiri bagian bawah
Auskultasi: Vesikuler kiri menurun, ronkhi basah halus (+/+) pada
basal paru kiri, wheezing(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Batas atas kanan ICS II linea sternalis kanan
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis kanan
Batas kiri ICS VI linea midaxillaris sinistra
Auskultasi : HR 91 x/menit. BJ I-II irreguler, murmur
pansistolik (+), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-) di bagian bawah abdomen,
hepar teraba 2 jari dibawah arkus costae, lien tidak
teraba, Ballotement ginjal (-)
22
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : Bising usus normal, 6 x / menit
Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-
), sianosis (-), jari tabuh (-), , kulit lembab, flapping
tremor (-), onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+),
koilonikia (-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis
(-)
Palpasi :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-), CRT <2
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema pretibial (-/-), krepitasi (-/-),
CRT <2 detik
ROM :
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Alat Kelamin : Tidak diperiksa
Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tebal
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab
23
Kelenjar Getah Bening (KGB)
Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular,
submandibula, cervical anterior dan posterior, supraclavicula,
infraclaviculla, axilla, dan inguinal.
Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis
posterior, a.dorsalis pedis : teraba
24
- Kalium : 4,5 mEq/L
Enzim Jantung
- Troponin 50
- CKMB 33
Cairan
a) Input Cairan:
Infus = 2000 cc
Obat injeksi = 100 cc
AM = 330 cc (5 cc x 66 kg) +
2430 cc
b) Output cairan:
Urine = 1700 cc
IWL = 990 cc (15 cc x 66 kg) +
2690 cc
Jadi Balance cairan pasien dalam 24 jam:
Intake cairan – output cairan
2430 cc – 2690 cc = - 260 cc.
25
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Jantung
3.1.1 Anatomi Jantung
Jantung adalah organ muskular berongga yang bentuknya mirip
piramid dan terletak di dalam pericardium di mediastinum. Basis jantung
dihubungkan dengan pembuluh-pembuluh darah besar.8 Jantung
mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel kanan,
dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan
berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah
jantung. dan mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa darah
ke seluruh tubuh.Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah
rendah oksigen dari seluruh tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah
yang kaya oksigen dari paru-paru dan mengalirkan darah tersebut ke paru-
paru. Ventrikel kanan berfungsi menerima darah dari atrium kanan dan
memompakannya ke paru-paru.ventrikel kiri berfungsi untuk
memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh. 8,9
26
atas satu atrium dan satu ventrikel. Setiap atrium adalah suatu pompa
pendahulu yang lemah bagi ventrikel. Ventrikel lalu menyediakan tenaga
pemompa utama yang mendorong darah (1) ke sirkulasi paru melalui
ventrikel kanan atau (2) ke sirkulasi perifer melalui ventrikel kiri (Gambar
5). 10
Gambar 5. Struktur jantung dan arah aliran darah yang melewati ruang-ruang
dan katup jantung10
27
potensial aksi, maupun penghantaran potensial aksi melalui jantung,
sehingga menjadi suatu sistem eksitatorik yang mengatur denyut jantung
berirama. 10
Histologi Otot Jantung
Histologi otot jantung terbentuk atas serat-serat otot yang tersusun
seperti kisi-kisi, dengan serat-serat uang memisah, bergabung kembali
kemudian menyebar kembali. Otot jantung berlurik-lurik dengan pola
yang sama dengan otot rangka. Selanjutnya, otot jantung mempunyai
miofibril-miofibril khas yang mengandung filamen aktin dan miosin, yang
hampir identik dengan filamen yang dijumpai di dlaam otot rangka;
selama kontraksi filamen-filamen ini terletak berdampingan dan saling
bergeser satu terhadap lainnya seperti yang terjadi pada otot rangka.10
Otot Jantung sebagai Suatu Sinsitium
Terdapat daerah-daerah gelap yang menyilang serat-serat otot
jantung yang disebut diskus interkalatus; namun diskus interkalatus
sebenarnya merupakan membran sel yang memisahkan masing-masing sel
otot jantung satu sama lainnya. Jadi, serat-serat otot jantung terdiri atas
banyak sel otot jantung yang saling berhubungan dalam suatu rangkaian
secara seri dan paralel satu dengan lainnya (Gambar 6).10
28
permeabel, yang memungkinkan difusi ion-ion yang cepat. Oleh karena
itu, dipandang dari segi fungsinya, ion-ion itu dengan mudah bergerak
dalam cairan intraselular sepanjang sumbu longitudinal serat otot jantung
sehingga potensial aksi dapat berjalan dengan mudah dari satu sel otot
jantung ke sel otot jantung yang lain, melewati diskus interkalatus. Jadi,
otot jantung merupakan suatu sinsitium dari banyak sel-sel otot jantung
dimana tiap sel otot jantung itu berhubungan dengan sangat erat sehingga
bila salah satu sel otot ini terangsang, potensial aksi akan menyebar ke
seluruh jantung, sari satu sel ke sel yang lain melalui kisi-kisi yang saling
berhubungan tadi.10
Jantung sebenarnya terdiri atas dua sinsitium; sinsitium atrium
yang menyusun dinding kedua atrium, dan sinsitium ventrikel yang
membentuk dinding kedua ventrikel. Atrium dan ventrikel dipisahkan oleh
jaringan fibrosa yang mengelilingi lubang katup atrioventrikuler (A-V) di
antara atrium dan ventrikel. Biasanya, potensial aksi tidak dihantarkan dari
sinsitium atrium menuju ke sinsitiu ventrikel secara langsung melalui
jaringan fibrosa ini. Melainkan, impuls hanya dihantarkan melalui sistem
hantaran khusus yang disebut berkas A-V, yaitu sebuah berkas serat
hantaran dengan diameter beberapa milimeter. Pembagian otot jantung
menjadi dua sinsitium fungsional ini memungkinkan atrium berkontraksi
sesaat sebelum kontraksi ventrikel, yang penting bagi efektivitas pompa
jantung.10
29
pengaturan khusus dalam sistem konduksi dari atrium menuju ventrikel,
ditemukan perlambatan selama lebih dari 0,1 detik ketika impuls jantung
dihantarkan dari atrium ke ventrikel. Keadaan ini memungkinkan atrium
untuk berkontraksi mendahului kontraksi ventrikel, serta memompakan
darah ke dalam ventrikel sebelum terjadi kontraksi ventrikel yang kuat.
Jadi, atrium itu bekerja sebagai pompa pendahulu bagi ventrikel, dan
ventrikel selanjutnya akan menyediakan sumber kekuatan utama untuk
memompakan darah ke sistem pembuluh darah tubuh.10
30
jantung adalah 1/72/menit-sekitar 0,0139 menit per denyut, atau 0,833
detik per denyut.
Potensial aksi yang direkam pada sebuah serat otot ventrikel rata-
rata besarnya 105 milivolt, yang berarti bahwa diantara denyut jantung,
potensial intrasel tersebut meningkat dari suatunilai yang sangat negatif,
sekitar -85 milivolt, menjadi sedikit positif, kira-kira +20 milivolt,
sepanjang denyut jantung. Setelah terjadi gelombang paku (spike) yang
31
pertama, membran tetap dalam keadaan depolarisasi selama kira-kira 0,2
detik, memperlihatkan suatu plateau (garis datar) yang diikuti dengan
repolarisasi tiba-tiba pada bagian akhir dari plateau tersebut. Adanya
plateau pada potensial aksi ini menyebabkan kontraksi ventrikel
berlangsung sampai 15 kali lebih lama daripada kontraksi otot rangka.10
3.2.2 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah
dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi
tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada
Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu
Klasifikasi Forrester
Stevenson
NYHA.2
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:
Derajat I : tanpa gagal jantung
Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru kiri,
S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
32
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah
sistolik _ 90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis) kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi jaringan.2
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan
melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan
adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular,
edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square
wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi
simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang
mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry).
Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak
disebut panas (warm).
Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas,
yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Menurut New York Heart Association ( NYHA ), gagal jantung di
klasifikasikan berdasarkan pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.
Kelas I : sesak nafas ketika aktivitas berat
Kelas II : sesak nafas ketika aktivitas sedang
Kelas III : sesak nafas ketika aktivitas ringan
Kelas IV : sesak nafas ketika istirahat
3.2.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara
epidemiologi cukup penting untung mengetahui penyebab dari gagal
33
jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi
merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara berkembang yang
menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan penyakit
jantung akibat malnutrisi.4 Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk
menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada
Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46%
laki-laki dan 27% pada wanita.4 Faktor risiko koroner seperti diabetes
dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada
perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya
rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah
dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa
penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan
diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta
memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun
aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel
kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung.4
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung
yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun
penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial.
Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional :
dilatasi (kongestif)
hipertrofi
restriktif
obliterasi.
Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi
ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit
34
pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis
nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan.
Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran
khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan
obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif).
Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan
fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel.4,5
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik,
walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju.
Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan
stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan
kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta
menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload). Aritmia sering
ditemukan pada pasien
dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural
termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi
dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek
secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun
gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot
jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3% dari
kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat
kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga
dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap
otot jantung.5
3.2.4 Patofisiologi
35
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi
gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem
saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada
disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan
terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide
yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga.6,7 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada
baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut
jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer
(peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan
nekrosis miokard fokal.6 Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan
konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan
sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan
aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada
miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.6,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir
sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan
saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium
sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga
dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah
dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi
minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon
36
terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis
terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic
peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan
perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.2,6 Vasopressin
merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal
jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2 Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide
vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan
pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan
kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling
vaskular dan miokardial akibat endotelin.2,6 Disfungsi diastolik
merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding
ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel
kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi
pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan
30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang
masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi
sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.
3.2.5 Diagnosis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah
digunakan secara luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan
37
minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor.
Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, ppok, sirosis
hati atau sindroma nefrotik.
Tabel 1. Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema malleolus bilateral
Distensi vena leher Dyspnea pada exersi biasa
Krepitasi Takikardia(.120/min)
S3 gallop Batuk nocturnal
Kardiomegali (rasio kardiotorak Hepatomegaly
.50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut Efusi pleura
Reflux hepatojugular Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(.16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan
38
efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena
adalah bagian kanan.8,10
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal
pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran
normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan
antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri,
bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto
dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal
jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil
kemungkinannya.8
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat
berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran
obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu
dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko
disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol,
atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta
mengetahui risiko emboli.8
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit
dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya
kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia
dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal
jantung
yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk
mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila
terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin
converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung
39
berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian
diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring.
Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada
gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid,
albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal
jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP
adalah 300 pg/ml.2,8,12-14 Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik,
laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan
kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan
(atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary
artery capillary wedge pressure.8,15
3.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi
penatalaksanaan secara non farmakologis dan secara farmakologis,
keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan
paripurna penderita gagal jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu
akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan progosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta
beratnya kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal
jantung akan semakin baik prognosisnya.2,16
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara
lain adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya,
40
pengobatan serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan
gaya hidup seperti pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada
penderita dengan kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi
alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita
terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga
dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif
terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap
kelangsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung kronis
mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga vaksinasi
terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis
antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada
penderita dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup
prostesis.16
Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non
farmakologis dan farmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi
ataupun dekompensasi. Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil,
dengan tanda retensi air dan edema paru tidak dijumpai. Dekompensasi
berarti terdapat gangguan yang mungkin timbul adalah episode udema
paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan dan untuk
menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya
adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat.15
Gagal jantung pada eksaserbasi akut pada kondisi emergensi
dimana memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui
penyebab seperti :
perbaikan hemodinamik
menghilangan kongesti paru,
perbaikan oksigenasi jaringan2
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat
41
dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan
khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah
menunjukkan adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan
merupakan prognosa yang buruk. Koreksi hipoperfusi dan pemberian
natrium bikarbonat utnuk memperbaiki asidosis.16
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid dengan dosis
40 mg-80 mg IV/24 jam. Hal ini akan menyebabkan venodilatasi yang
akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga
meningkatkan produksi prostaglandin vasodilator renal. Efek ini dihambat
oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga
harus dihindari bila memungkinkan.2,18 Opioid parenteral seperti morfin
atau diamorfin dengan dosis 2,5-5 mg IV / 24 jam ,hal ini penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat
juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem
paru.2 Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan
vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian
harus adekuat sehingga terjaidkeseimbangan antara dilatasi vena dan arteri
tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi
terutama pada pemberian intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya
hanya 16 – 24 jam.2,19
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang
diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal
jantung yang disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari
pada gagal ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5
μg/kg/menit.2,19
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
42
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan
neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan
menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa
meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena
berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit.2
Pemberian inotropik dan vasodilator ditujukan pada gagal jantung
akut yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan /
atau vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka
inotropik dan/atau vasopressor merupakan pilihan.
Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat
meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi
jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.1,2,16 Pemberian dopamin
2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan
ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik
beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian
5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang
akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin
akan merangsang reseptor adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan meningkatnya
kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah
jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah
mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15
– 20 μg/kg/mnt.2
Pada penderita gagal jantung dengan hipotensi yang telah
mendapat terapi beta bloker tapi masih dibutuhkan inotropic positif maka
diberikan Phospodiesterase inhibitor yang menghambat penguraian
cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan
inotropik jantung. Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone
43
dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia gagal jantung
akut dengan hipotensiyang telah mendapat terapi penyekat beta yang
memerlukan inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10
– 20 menit kemudian infus 0,375 – 075 μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25
– 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.2 Pemberian
vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok
kardiogenik dengan tekanan darah < 70 mmHg.
Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah
< 90 mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg
selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah epinefrin dan
norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5
μg/kg/mnt. Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.2
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit penyerta yang
menyebabkan terjadinya gagal jantung akut de novo atau dekompensasi.
Yang tersering adalah penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut.
Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan
bertujuan untuk menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah
diturunkan dengan menggunakan obat seperti loop diuretik intravena,
nitrat atau nitroprusside intravena maupun antagonis kalsium intravena
(nicardipine). Loop diuretik yang sering digunakan adalah furosemide
dengan dosis diberikan dengan dosis 40-80 mg /24 jam IV pada penderita
dengan tanda kelebihan cairan. Terapi nitrat untuk menurunkan preload
dan afterload sehingga meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine
diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik dengan afterload
tinggi. Penderita dengan gagal ginjal, diterapi sesuai penyakit dasar.
Penderita gagal jantung yang datang dengan Aritmia jantung harus
diterapi.2 Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon
intra aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter
defibrilator, ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan
pada penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak
memberikan respon terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau
44
ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk
mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi atrium
dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable
cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis
yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita
dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik.1,2
Pada penderita gagal jantung konis obat – obat yang biasa
digunakan antara lain: diuretik (loop dan thiazide), angiotensin converting
enzyme inhibitors, beta blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol),
digoxin, spironolakton, vasodilator (hydralazine /nitrat), antikoagulan,
antiaritmia, serta obat positif inotropik.15-17 Berikut adalah algoritma
penanganan untuk pasien dengan gagal jantung sistolik kronik simtomatik
(NYHA fungsional kelas II-IV)
45
Obat-obatan pada penanganan gagal jantung kronis:
1. Diuretik
Bilamana digunakan sebagai monoterapi, tingkat keefektifan
mencapai kira- kira 30-40% dari pasien- pasien dan paling membantu
untuk menurunkan tekanan darah sistolik. Harga murah dan
46
berdasarkan hasil meta- analisa menunjukkan terapi diuretic mampu
menurunkan kadar mortalitas kardiak dan juga stroke. Juga merupakan
terapi antihipertensi efektif pada golongan tua.
Tabel 2. Dosis diuretik yang umum digunakan pada gagal jantung
3. Beta- bloker
Penggunaan monoterapi beta- bloker efektif terhadap 50-60%
pasien, terutama di kalangan yang dengan system renin- angiotensin
yang teraktivasi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan
menurunkan denyut jantung serta menurunkan kontraktilitas jantung
serta curah jantung.
47
4. Mineralokortokoid/ aldosterone receptor antagonist
Spironolactone dan eplerenone menblok reseptor yang berikatan
dengan aldosterone dan kortikosteroid yang lain.
6. Ivabradine
Ivabradine adalah obat yang meninhibisi kanal If di nodus sinus.
Obat in hanya menurukan denyut jantung pada pasien dengan ritme
sinus (tidak menurunkan denyut ventrikel pada fibrilasi atrial.
48
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan
(1,5 – 2 l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien.
Tirah baring jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal.
Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan
imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada penderita dengan
fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi
ventrikel.16
3.2.7 Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui.
Sedangkan prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: 21
49
BAB IV
ANALISIS KASUS
50
Selain itu, pada os ini didapatkan JVP (5+3) cmH2O, hepatojugular reflux
(-), distensi vena – vena leher (+),ronkhi basah halus di basal lapang paru kanan
(+), batas jantung kiri membesar, Gallop S3 (-), serta hepatomegali (+) 2 JBAC.
Hasil – hasil tersebut merupakan gejala yang timbul pada gagal jantung kongestif,
serta termasuk dalam kriteria Framingham yang digunakan dalam mendiagnosis
gagal jantung.
51
Pemeriksaan penunjang pada pasien adalah pemeriksaan echocardiografi.
Pada pemeriksaan ini didapatkan Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai
anatomi dan fungsi jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevalusi
gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal
jantung adalah penilaian Left ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya
remodeling ventrikel kiri, dan perubahan pada fungsi sistolik.1,2,3
Tata laksana awal yang dapat diberikan pada pasien adalah diuretik berupa
furosemid untuk mengurangi beban preload jantung, spironolakton yang memiliki
efek hemat kalium. Walaupun pasien mengalami hipertensi, pemberian oabat-
obatan golongan CCB (calsium channel blocker) harus dihindari karena memiliki
efek inotropik negatif yang dapat memperburuk keadaan gagal jantung.
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien termasuk dalam NYHA kelas III.
Pasien memiliki keterbatasan pada aktivitas fisik. Sedikit aktivitas menyebabkan
fatigue, dyspnea, palpitasi, atau nyeri angina: yang hilang dengan istirahat. Pasien
memiliki ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas fisik sehingga keluhan
gagal jantung mungkin dirasakan meskipun saat beristirahat. Prognosis pada kasus
yaitu quo ad vitam dubia ad bonam, quo ad functionam dubia ad malam, serta
quo ad sanationam dubia ad malam. Hal ini sesuai dengan data epidemiologi
prognosis gagal jantung yaitu angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis
mencapai 30-40% sedangkan angka kematian dalam 5 tahun mencapai 60-70%.1
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements
2005;7 (Supplement J):J15-J20.
2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ 2000;320:39-42.
4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ
2000;320:104-7.
5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure:
pathophysiology. BMJ 2000;320:167-70.
7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure.
In: Dec GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker; 2005.p.117-36.
8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation.
BMJ 2000;320:297-300
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in
general practice. BMJ 2000;320:626-9.
10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart
failure – full text the task force on acute heart failure of the european
society of cardiology. Eur Heart J 2005
53
11. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey
KR, Redfield NM. Congestive heart failure in the community trends in
incidence and survival in 10-year period. Arch Intern Med 1999;159:29-
34.
12. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features
and complications. BMJ 2000;320:236-9.
13. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in
the older patient. British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
14. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart
failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.
15. Lee TH. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker; 2005.p.449-65.
16. Gibbs CR, Jackson G, Lip GYH. ABC of heart failure: non-drug
management. BMJ 2000;320:366-9.
17. Millane T, Jackson G, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: acute
and chronic management strategies. BMJ 2000;320:559-62.
18. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: management:
diuretics, ACE inhibitors, and nitrates. BMJ 2000;320:428-31.
19. Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure Management:
digoxin and other inotropes, _ blockers, and antiarrhythmic and
antithrombotic treatment. BMJ 2000;320:495-8. sesak nafas saat aktifitas.
Penatalaksaan ditujukan
20. John JV MC Murry dkk. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012
http://www.escardio.org/guidelines-s u r v e y s / e s c g u i d e l i n e s / G
u i d e l i n esDocuments/Guidelines-Acute%20and%20Chronic-HF-
FT.pdf
21. Hauser K, Longo B, Jameson F. Harrison’s principle of internal medicine ed XVI.
2005
54
55