Anda di halaman 1dari 8

Sejarah sesirangan

Arti kata sasirangan sendiri di ambil dari kata “sa” yang berarti “satu” dan “sirang”
yang berarti “jelujur”. Sesuai dengan proses pembuatannya, Di jelujur, di simpul
jelujurnya kemudian di celup untuk pewarnaannya. Ini berarti sasirangan artinya
dibuat menjadi satu jelujur. Sasirangan merupakan kain sakral warisan abad XII
saat Lambung Mangkurat menjadi patih Negara Dipa. Awalnya sasirangan dikenal
sebagai kain untuk “batatamba” atau penyembuhan orang sakit yang harus
dipesan khusus terlebih dahulu (pamintaan) sehingga pembutan kain sasirangan
seringkali mengikuti kehendak pemesannya. Oleh karena itu, Urang Banjar
seringkali menyebut sasirangan kain pamintaan yang artinya permintaan. Selain
untuk kesembuhan orang yang tertimpa penyakit, kain ini juga merupakan kain
sakral, yang biasa dipakai pada upacara-upacara adat.

Pada zaman dahulu kala kain sasirangan diberi warna sesuai dengan tujuan
pembuatannya, yakni sebagai sarana pelengkap dalam terapi pengobatan suatu
jenis penyakit tertentu yang diderita oleh seseorang.

Motif kain sesirangan

Motif pada kain sasirangan pada umumnya dapat digolongkan menjadi 3


kelompok yakni:

1. Motif lajur, yakni bentuk motif yang dirangkai secara memanjang. Contoh:
hiris pudak, kulat karikit, gigi haruan, kangkung kaumbakan.
2. Motif ceplok, yaitu bentuk motif yang tampil secara sendiri tanpa ada motif
lain yang mendampingi. Contoh: tampuk manggis, hiris gagatas, atau tampuk
manggis.
3. Motif variasi, yaitu motif penghias sebagai tambahan dalam motif dalam lain
yang sudah ada. Contoh: motif hiris gagatas yang diberi pinggiran agar
terlihat lebih menarik

1.Bayam Raja dan Kambang Kacang

2.Daun Jaruju dan Tampuk Manggi

3.Kangkung dan Kambang Kacang


4. Mayang Maurai dan Naga Balimbur

5. Ramak Sahang, Gelombang, dan Daun Katu

6. Bintang Sudut Ampat, Lima, Tujuh, Gugusan Bintang, dan Bintang


Bahambur

7. Hiris Gagatas dan Kambang Sakaki

8. Kulat Karikit, Gigi Haruan, Hiris Pudak, dan Ular Lidi

9. Kangkung Kaumbakan dan Ombak Sinampur Karang

Motif Sasirangan dan Maknanya


1. Bayam Raja
Motif sasirangan Bayam Raja merupakan atribut untuk seseorang yang
bermartabat dan dihormati di masyarakat. Bentuknya yakni berupa garis-garis
yang melengkung patah-patah. Motif ini biasanya tersusun secara vertikal sebagai
garis pembatas antara motif satu dan motif lainnya sehingga menjadikannya
sebagai motif yang banyak digunakan dalam kain sasirangan.

2. Kambang Kacang
Motif sasirangan Kambang Kacang merupakan simbol sebuah keakraban. Hal
tersebut dikarenakan kambang kacang merupakan sejenis tanaman yang buahnya
selalu jadi kegemaran oleh hampir semua orang Banjar. Buah tersebut sering
dicampur dalam pembuatan sayur seperti kacang hijau atau labu dalam masakan
khas masyarakat Banjar.

3. Daun Jaruju
Motif sasirangan Daun Jaruju mengandung makna sebagai penolak bala. Tanaman
daun jaruju ini termasuk tanaman yang berduri yang sering dimanfaatkan sebagai
pengusir tikus. Dahulu, daun jaruju ini diletakkan di sudut-sudut rumah agar tikus
tidak bisa menerobos masuk ke rumah.

4. Tampuk Manggis
Motif sasirangan Tampuk Manggis diambil dari filosofi buang manggis yang
memiliki makna kejujuran, dimana jumlah tampuk manggis pasti selalu sama
dengan jumlah isi buah manggis tersebut. Jadi, jika tampuk yang terletak di luar
buah manggis berjumlah lima maka jumlah isi buang manggis pun pasti berjumlah
lima. Motif ini menyiratkan makna bahwa apa yang sudah kita ucapkan haruslah
sama dengan apa yang terlintas di dalam hati.

5. Mayang Maurai
Mayang Maurai berarti mayang yang terurai. Mayang itu sendiri dijadikan sebagai
alat untuk acara bamandi-mandi (mandi-mandi) dalam tradisi adat Banjar yang
biasanya dilakukan satu hari sebelum kedua pengantin bersanding. Selain itu,
mayang juga dipakai dalam acara mandi seorang wanita yang hamil 7 bulan.

6. Naga Balimbur
Kalau motif Naga Balimbur diambil dari dongeng orang Banjar yang dapat
digolongkan ke dalam folklore/cerita rakyat, yakni tentang seekor naga yang
sedang mandi di tengah sungai di pagi hari. Naga tersebut dengan riangnya
berjemur di bawah terik sinar matahari yang hangat. Keadaan tersebut
menggambarkan suasana yang gembira dan menyenangkan.

7. Ramak Sahang
Motif sasirangan Ramak Sahang terdiri dari kata “ramak” yang berarti hancur dan
“sahang” yang berarti merica, sehingga ramak sahang berarti merica hancur.
Bentuk motif ini hampir mirip dengan motif hiris pundak ganda akan tetapi
gambarnya tidak senyawa alias terputus-putus.

8. Daun Katu
Motif sasirangan Daun Katu diambil dari sejenis tanaman yang sering dijadikan
sebagai sayur, yakni daun katu. Orang banjar sering menanam tanaman daun katu
di pekarangan rumahnya karena sangat bermanfaat untuk ibu-ibu yang sedang
menyusui. Daun katu dipercaya dan memang sudah terbukti secara ilmiah mampu
melancarkan air susu ibu (ASI).

9. Bintang Sudut Ampat, Lima, Tujuh/Gugusan Bintang/Bintang Bahambur


Motif sasirangan berbentuk bintang atau Bintang Bahambur yang berarti bintang
yang berserakan (di langit) menyatakan bahwa bintang merupakan ciptaan-Nya
dan sebagai tanda kebesaran Yang Maha Kuasa. Makna dari bahambur
(berserakan) ialah kita sebagai manusia yang kecil ini tidak akan mampu
menghitung jumlah bintang sesungguhnya di seluruh alam semesta ini.
10. Hiris Gagatas
Motif sasirangan Hiris Gagatas disebut juga rincung gagatas yang berarti bungas
(cantik) serta tak akan pernah bosan apabila terus dipandang. Umumnya, kue-kue
tradisional khas Banjar dipotong menjadi beberapa bagian dengan bentuk gagatas
ini.

11. Kambang Sakaki


Motif sasirangan Kambang Sakaki melambangkan keindahan yang disimbolkan
dengan sekuntum bunga. Motif ini sering dipakai pada ornamen khas Banjar
seperti pada ukiran arsitektur rumah adat Banjar.

12. Kulat Karikit


Motif sasirangan Kulat Karikit diambil dari tumbuhan sejenis cendawan atau
jamur yang hidup menempel pada sebuah batang atau dahan pohon yang disebut
kulat. Walaupun hidupnya dengan menumpang di tumbuhan lain, akan tetapi
kulat ini tidak sedikit pun merugikan tumbuhan yang ditumpanginya layaknya
parasit seperti benalu.

Kulat karikit hidup secara mandiri dengan mencari makan sendiri. Maka diambil
sebuah makna filosofi dari cara hidup kulat tersebut bahwa hidup haruslah
mandiri, tahan menderita, dan jangan pernah merugikan orang lain walau sedikit
pun.

13. Gigi Haruan


Motif sasirangan Gigi Haruan diambil dari ikan yang merupakan makanan
kegemaran orang Banjar yaitu Haruan atau Gabus. Ikan haruan berwarna hitam
dengan gigi-gigi runcing dan tajam. Dari gigi haruan tersebutlah diambil filosofi
kehidupan yang bermakna ketajaman berpikir.

14. Hiris Pudak


Motif sasirangan Hiris Pudak merupakan sebutan orang Banjar untuk tanaman
pandan yang sering ditanam di pekarang rumah layaknya tanaman daun katu.
Pandan sering digunakan sebagai pengharum ketika memasak nasi.

Selain itu, orang Banjar sering juga menggunakan air pandan sebagai pewarna kue
tradisional. Pandan juga digunakan sebagai campuran bunga rampai (bunga khas
Banjar) yang akrab dipakai dalam acara perkawinan adat Banjar.
15. Ular Lidi
Motif sasirangan Ular Lidi diambil dari dongeng orang Banjar dan dianggap
sebagai simbol kecerdikan. Hal ini dikarenakan karena ular lidi yang kecil dan
gagah tersebut cerdik tapi juga berbisa. Bentuk motif ini mirip hiris pudak,
berganda dan tidak patah-patah, akan tetapi melengkung vertikal serta bervariasi.

16. Kangkung Kaumbakan


Motif sasirangan Kangkung Kaumbakan berarti kangkung yang terkena ombak.
Motif ini memiliki filosofi bahwa kangkung yang merupakan salah satu tanaman
air yang menjalar apabila ia terkena gelombang ombak air, batangnya tidak akan
putus. Makna filosofinya yakni tahan terhadap cobaan serta ujian dalam
kehidupan.

17. Ombak Sinampur Karang

Motif sasirangan Ombak Sinampur Karang berarti ombak yang menerjang karang.
Ombak disini dikiaskan sebagai gelombang perjuangan hidup manusia.

18. Dara Manginang


Motif sasirangan atau dalam istilah orang Banjar disebut juga Galuh Manginang
yang berarti seorang gadis Banjar dahulu yang baru manginang, yaitu memakan
sirih sehingga air liurnya memerah karena gambir hingga menetes dari bibir.

Namun, tradisi ini sudah jarang ditemui di masyarakat Banjar saat ini. Karena
sebab itulah kemudian tradisi tersebut diabadikan menjadi salah satu motif
sasirangan, sehingga dapat dijadikan pengingat bahwa orang-orang Banjar dahulu
memiliki tradisi menginang. Biasanya motif ini dominan berwarna merah
menyala.

Proses pembuatan sesirangan

Secara umum proses pembuatan kain sasirangan dapat dilihat pada skema di
bawah ini
Menyiapkan Kain Putih
Langkah pertama dalam membuat kain sasirangan yaitu mempersiapkan bahan
kain putih polos sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Pada awal kemunculannya
bahan baku yang digunakan untuk membuat kain sasirangan yaitu berupa serat
kapas (cotton), namun seiring berjalannya waktu saat ini lebih banyak
memanfaatkan material lain seperti santung, balacu, kaci, king, satin, polyester,
rayon, dan sutera.

Pembuatan Pola Desain Pada Media Kain


Setelah itu dilanjutkan dengan pembuatan pola gambar tradisional sesuai dengan
motif yang dikehendaki. Pola-pola inilah yang kemudian dijadikan patokan dalam
menjahit kain tersebut. Pola-Pola yang dapat digunakan dalam pembuatan kain
sasirangan yaitu Iris Pudak, Kambang Raja, Bayam Raja, Kulit Kurikit, Ombak
Sinapur Karang. Bintang Bahambur. Sari Gading. Kulit Kayu, Naga Balimbur,
Jajumputan, Turun Dayang. Kambang Tampuk Manggis, Daun Jaruju, Kangkung
Kaombakan. Sisik Tanggiling, Kambang Tanjung

Menjahit Jelujur
Selanjutnya pola-pola tersebut dijahit jelujur menggunakan benang atau bahan
perintang lainnya dengan jarak satu sampai dua mili meter atau dua sampai tiga
mili meter. Benang-benang yang terdapat pada setiap jahitan-jahitan pola
tersebut ditarik sampai membentuk kerutan-kerutan.
Membersihan Kain
Bila kain yang digunakan mengandung kanji maka harus dibersihkan terlebih
dahulu dengan cara merendamnya dalam air dingin yang telah dicampur dengan
kaporit selama satu malam.

Pewarnaan Kain
a. Sedikitnya terdapat tiga cara pewarnaan kain sasirangan, diantaranya
pencelupan, pencoletan, serta kombinasi keduanya (pencelupan dan
pencoletan). \Teknik
b. pencelupan digunakan untuk memperoleh satu warna saja, yaitu dengan cara
mencelupkan kain ke dalam larutan zat pewarna, kecuali pada bagian kain yang
dijelujur. bagian yang dijelujur akan tetap berwarna putih.
c. Pewarnaan dengan cara dicolet biasanya dilakukan apabila motif yang dibuat
memerlukan lebih dari satu warna. Pada teknik pencelupan dan pencoletan,
untuk memperoleh warna dasar yang bagus kain dicelup terlebih dahulu
kemudian dicolet dengan variasi warna sebagaimana telah direncanakan
Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna yang dibuat dari
bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah, daun, kulit, atau
umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam di sekitar tempat
tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri. Ada 6 warna utama kain
sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni:
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak.
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok merah,
atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa Banjar
Ramania,pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Tetapi Zat warna yang sering digunakan saat ini adalah zat warna naphtol dengan
garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH),
TRO/Sepritus, air panas yang mendidih.

Melepas Jahitan Jelujur


Selanjutnya benang-benang jahitan atau ikatan pada kain yang digunakan untuk
menjelujur tersebut kemudian dilepaskan seluruhnya, apabila kain dirasa sudah
agak kering. Sehingga akan terlihat motif-motif bekas jahitan yang tampak
diantara kain tersebut.

Pencucian
Setelah seluruh perintang dilepaskan, barulah kemudian dicuci sampai bersih
ditandai dengan air bekas cuciannya yang jernih atau tidak berwarna lagi.

Pengeringan
Tahap selanjutnya, kain dijemur di tempat yang teduh dan tidak terkena paparan
sinar matahari langsung.

Finishing / Disetrika
Sebagai penyempurnaan akhir dari proses pembuatan kain sasirangan, kain
tersebut kemudian di setrika agar menjadi halus, licin dan rapi.

Anda mungkin juga menyukai