Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

Sindrom Nefrotik
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani
Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun oleh:
dr. Intan Purnamasari

Pembimbing:
dr. Zainal Fahmi Sp. PD

RSUD SEJIRAN SETASON


BANGKA BARAT
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria
massif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urine sewaktu >2 mg
atau dipstick ≥2+), hipoalbuminemia (≤2,5 gr/dL), edema dan dapat disertai
hiperkolestrerolemia (250 mg/uL).1
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7 per
100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun sedangkan di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta, sindrom nefrotik
merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di Poliklinik Khusus Nefrologi
dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak yang dirawat antara tahun 1995-
2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada
purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada
tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan
kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.3
Proteinuria merupakan faktor risiko penentu progresivitas sindrom nefrotik,
progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis dan kerusakan
tubulointersisial. Penurunan proteinuria secara parsial ataupun komplit menghasilkan
fungsi ginjal yang lebih baik pada pasien dengan kelainan ginjal akibat diabetes
maupun nondiabetes. Koreksi proteinuria merupakan faktor risiko utama yang dapat
dimodifikasi untuk mengurangi progresivitas menjadi gagal ginjal stadium akhir.
Tujuan terapi pada pasien sindrom nefrotik adalah dengan menurunkan proteinuria
serendah-rendahnya.4
Komplikasi sindrom nefrotik adalah gangguan keseimbangan nitrogen menjadi
negatif akibat proteinuria masif sehingga menurunkan massa otot, hiperlipidemia dan
lipiduria akibat peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya
katabolisme, hiperkoagulasi akibat peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit,
dan penurunan fibrinolisis, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, infeksi,
gangguan fungsi ginjal dengan proteinuria masif yang menyebabkan inflamasi
tubulointersisial ginjal.3,10
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESIS

1. Identitas Pasien

Nama : Nn. Rosita


Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kundi
Agama : Islam
No. CM : 071143
Tanggal masuk RS : 01 Maret 2018
2. Keluhan Utama
Bengkak
3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki dan perut sejak 1 minggu yang lalu.
Selain itu pasien juga mengeluh wajah dan kelopak mata bengkak terutama di pagi hari
dan berkurang saat siang hari. Sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada dan
BAB cair tidak ada. Makan dan minum seperti biasa. Riwayat sakit kulit (-), trauma (-),
sakit pinggang (-), riwayat kencing berdarah (-) dan sakit perut (-).

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit sistemik sebelumnya
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat keluarga yang menderita penyakit ini, tidak ada riwayat keluarga
diabetes mellitus

2.2 PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis

GCS : E4M6V5
2. Pengukuran :

Tanda vital : Tensi : 90/60 MmHg

Nadi : 72x/menit

Suhu : 36,3o C

Respirasi : 18x/menit

Berat badan : 35kg

Tinggi badan : 140 cm

Kulit : Warna : Kuning Langsat

Sianosis : Tidak ada

Hemangiom : Tidak ada

Turgor : Cepat kembali

Kelembaban : Cukup

Pucat : Tidak ada

3. Kepala : Bentuk : Normocepali

Rambut : Warna : Hitam

Tebal/tipis : Tebal

Jarang/tidak (distribusi) : Tidak jarang

Alopesia : Tidak ada

Mata : Palpebra : Edema

Alis & bulu mata : Tidak mudah dicabut

Konjungtiva : Tidak anemis

Sklera : Tidak ikterik

Produksi air mata : Cukup


Pupil : Diameter : 3 mm/3 mm

Simetris : Isokor, normal

Reflek cahaya langsung dan tak langsung : +/+

Kornea : Jernih

Telinga : Bentuk : Simetris

Sekret : Tidak ada

Serumen : Minimal

Nyeri : Tidak ada

Hidung : Bentuk : Simetris

Pernafasan cuping hidung : Tidak ada

Epistaksis : Tidak ada

Sekret : Tidak ada

Mulut : Bentuk : Normal

Bibir : Mukosa bibir basah, sianosis tidak ada

Gusi : - Tidak mudah berdarah

- Pembengkakan tidak ada

Lidah : Bentuk : Normal

Pucat/tidak : Tidak pucat

Tremor/tidak : Tidak tremor

Kotor/tidak : Tidak kotor

Warna : Kemerahan

Faring : Hiperemi : Tidak ada

Edema : Tidak ada


Membran/pseudomembran : (-)

Tonsil : Warna : Kemerahan

Pembesaran : Tidak ada

Abses/tidak : Tidak ada

Membran/pseudomembran : (-)

4. Leher :

Vena Jugularis : Pulsasi : Tidak terlihat

Tekanan : Tidak meningkat

Pembesaran kelenjar leher : Tidak ada

Kaku kuduk : Tidak ada

Masa : Tidak ada

Tortikolis : Tidak ada

5. Thorak :

a. Dinding dada/paru :

Inspeksi : Bentuk : Simetris

Retraksi : Tidak ada

Dispnea : Tidak ada

Pernafasan : Abdomino-thorakal

Palpasi : Fremitus fokal : Simetris

Perkusi : Sonor/sonor

Auskultasi : Suara Napas Dasar : Suara napas vesikuler

Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), Gesekan pleura (-/-)
b. Jantung :

Inspeksi : Iktus : Tidak terlihat

Palpasi : Apeks : Tidak teraba

Thrill : Tidak ada

Perkusi : Batas kanan : ICS IV LPS dextra

Batas kiri : ICS V LMK sinistra

Batas atas : ICS II LPS dextra

Auskultasi :

Frekuensi : 72 x/menit

Suara dasar : BJ I > BJ II Tunggal, Reguler

Bising : Tidak ada

6. Abdomen

Inspeksi : Bentuk : Cembung (perut kodok)

Palpasi : Hati : Sulit dinilai

Lien : Sulit dinilai

Ginjal : Sulit dinilai

Masa : sulit dinilai

Undulasi : (+)

Perkusi : Timpani/pekak : Timpani, shifting dullness (+)

Asites : Ada

Auskultasi : Bising usus (+) normal

7. Ekstremitas :

Umum : Akral hangat, edeme ( - - ) , tidak parese


(+ +)
Neurologis
Tanda Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Normal Normal normal Normal
Tonus Normal Normal normal Normal
Trofi - - - -
Klonus - - - -
Refleks Normal Normal Normal Normal
Fisiologis
Refleks - - - -
patologis
Sensibilitas Normal Normal normal Normal
Tanda
rangsang - - - -
meningeal

9. Susunan saraf : Nervi Craniales I – XII normal

10. Genetalia : Perempuan dan edema labia mayora

11. Anus : Ada dan tidak ada kelainan

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium darah lengkap:


Hb : 11,4 g/dl
Trombosit : 322.000/l
Leukosit : 10.120/l
Neutrofil Segmen : 53%
Albumin : 1,4 gr/dl
Kolesterol total : 555 mg/dl
Trigliserida : 892 mg/dl
Urinalisa : Protein (+3)
Sedimen Urin : Bakteri bentuk batang
Malaria : Negatif
2.4 RESUME

Nama : Nn. Rosita

Jenis kelamin : Perempuan

Umur : 17 Tahun

Berat badan : 35kg

Keluhan utama : Bengkak

Uraian : Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki dan perut sejak 1

minggu yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh wajah dan kelopak

mata bengkak terutama di pagi hari dan berkurang saat siang hari.

Sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, BAB cair tidak ada.

Makan dan minum seperti biasa. Riwayat sakit kulit (-), trauma (-),

sakit pinggang (-), riwayat kencing berdarah (-) dan sakit perut (-).

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Kompos mentis GCS : 4-5-6

Tensi : 90/60 mm/Hg

Denyut Nadi : 72 kali/menit

Pernafasan : 18 kali/menit

Suhu : 36,5 oC

Kulit : Turgor cepat kembali, kelembaban cukup

Kepala : Normocephali
Mata : Edema palpebrae (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

produksi air mata cukup

Telinga : Simetris, sekret (-/-), serumen minimal

Mulut : Sianosis (-), mukosa bibir basah

Thorak/paru : Retraksi (-), suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-),

Jantung : S1 dan S2 tunggal

Abdomen : Cembung, bising usus (+) normal, asites (+), hati/limpa/renal sulit

dinilai

Ekstremitas : Akral hangat, terdapat edeme pada kedua tungkai bawah, parese tidak

ada

Susunan saraf : Nervi craniales I-XII tidak ada kelainan

Genitalia : Perempuan, Edema labia mayora

Anus : Ada, tidak ada kelainan

VI. DIAGNOSA

1. Diagnosa banding : Sindrom Nefrotik

Glomerulonefritis Akut

2. Diagnosa kerja : Sindrom Nefrotik

3. Status gizi : IMT 27 (Normal)

VII. PENATALAKSANAAN

1. IVFD Nacl 20 gtt/i


2. Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
3. Inj. Furosemid 40 mg/12 jam
4. Spironolactone 1x25mg
5. Inj. Dexamethasone 5mg/8 jam
6. Simvastatin 1x20mg

VIII. USULAN PEMERIKSAAN

1. USG Abdomen dan Ginjal

2. ANA Tes

3. Hba1c

4. Biopsi

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia

Quo ad functionam : Dubia

Quo ad sanationam : Dubia

X. PENCEGAHAN

1. Sanitasi dan hygiene lingkungan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.

2. Memberikan penerangan yang cukup mengenai semua risiko yang mungkin terjadi dan

mengenai diet, yakni menghindari makanan yang banyak mengandung garam dan

lemak tetapi memperbanyak makan makanan yang mengandung protein, seperti putih

telur, tahu, tempe dan ikan.


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 SINDROM NEFROTIK


2.1.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m3 disertai hipoalbuminemia, edema,
hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. [1,2,3]
2.1.2 Epidemiologi
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% anak kurang dari 6 tahun dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2:1. Kejadian SN idiopatik 2-3
kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1.000.000/tahun. Sindrom nefrotik sekunder
pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus. [3]

2.1.3 Etiologi [4]


Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:

A. glomerulonefritis (GN) primer:


- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- GN membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat:
i. Infeksi: - HIV, Hepatitis virus B dan C
- Sifilis, Malaria, Skistosoma
- TBC, Lepra
ii. Keganasan: -Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma
multiple dan karsinoma ginjal
iii. Penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. Efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid,captopril
v. Lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah.

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat NSAID atau
preperat emas dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.

2.1.4 Klasifikasi [4,5,6,7]

Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:


I. Sindrom Nefrotik Bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama
kehidupannya.
II. Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:
 Malaria kuartana atau parasit lain.
 Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.
 Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.
 Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah,
racun oak, air raksa.
 Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif
hipokomplementemik.
III. Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :
a. Kelainan minimal
 Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel
berpadu (mikroskop elektron)
 Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding
kapiler glomerolus
 Lebih banyak terdapat pada anak
 Prognosis baik
b. Nefropati membranosa
 Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
 Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferatif
 Eksudatif difus
Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus. Pembengkakan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
 Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
 Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
 Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis
dan mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental
 Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
 Prognosis buruk

2.1.5 Pembagian Patologi Anatomi [4,5,6,7]

a) Kelainan minimal
o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak
tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).
o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit
podosit.
o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-
anak usia 1-5 tahun.
o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan
mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor
yang tidak memperlihatkan imunopatologi.

b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)


o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh
kelainan berbatas jelas pada MBG.
o Jarang ditemukan pada anak-anak.
o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal.
o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik
dengan mikroskop cahaya maupun elektron.

c). Glomerulosklerosis fokal segmental


o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif dan
responnya terhadap kortikosteroid buruk.
o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada
permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian
terkena.
o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu
glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan segmental.
o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.

d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)


o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta
infiltrasi sel PMN.
o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan
suatu penambahan matriks mesangial.
o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi
membrana basalis (”jejak-trem” atau kontur lengkap)
o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan
pada sindrom nefrotik.
o Ada MPGN tipe I dan tipe II.

e). Glomerulonefritis proliferatif fokal


o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus individual
(segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).
o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.

2.1.6 Patofisiologi [3,4,5,6,7,9]

Gambar 1.3
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,
namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui pasti. Salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.


Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas


sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik
hormon) dengan akibat retensi natrium dan air sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat
dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.

Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma


dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini
dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron
rendah sebagai akibat hipervolemia.

Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin terjadi kedua proses underfill dan overfill yang berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus atau bisa suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [4]
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila
kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar
lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (Low Density Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (Very Low Density
Lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas
enzim LCAT (Lecithin Cholesterol Acyltransferase) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN. [3]

2.1.7 Gejala Klinis [3,4,6]

Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak


periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema
anasarka. Keluhan jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Anoreksia dan hilangnya protein
di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik yang mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat.

Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik [3,4]


Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaria yang massif, proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau ≥
3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia dan tanpa
ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila
didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :
sklerosis glomerulus fokal).

Gambaran laboratorium [2,3,4]


 Darah : - Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)
- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat
 Urin : - Volumenya : normal sampai kurang
- Berat jenis : normal sampai meningkat
- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
- Sedimen: silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies,
leukosit normal sampai meningkat.
Pemeriksaan urin yang didapatkan [7,8]:
Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat)
didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan kekeruhan
berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama
edema masih ada.
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa silinder/torak/cast hialin, granula, lipoid
Ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan
Sudan III).
Terdapat leukosit
Pemeriksaan darah yang didapatkan [2,3,4]:
Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.
Hiperkolesterolemia

2.1.7 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik Secara Suportif, Diitetik dan Medikamentosa


Suportif:
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg BB/hari
dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin
converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor
antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif
dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti
memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya
mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL. [11]
 Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)
 Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari+ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
 Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1–2 gram/hari. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.
 Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari
 Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari
Medikamentosa: [3,4,6]
Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga kadar
albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali tekanan
osmotik plasma.

Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu
diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah,
apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,5]

Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan


pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah. Tetapi
pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat tersebut
dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita dengan
gangguan fungsi ginjal.

Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang
tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan
kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2-3
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Selama
pemberian obat-obat tersebut harus diperhatikan karena dapat menekan hormone-hormon
gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemoragik dan menekan
produksi sel sumsum tulang.[1,2,3] Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal
change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama
8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan
antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau
jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap
selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa
dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan
cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari
pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome. [1]

2.1.8 Komplikasi Sindrom Nefrotik [3,4,6]


1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada
sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III,
protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin.
b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,
meningkatnya sintesis protein prokoagulan karena hipoksia dan tertekannya
fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan
oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya
mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.

2. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus, bronkopneumonia,


TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan. Pinggiran kelainan kulit
ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan biasanya tidak ditemukan
organisme apabila kelainan kulit dibiakan.

3. Gangguan tubulus renalis


Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke ansa
henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH
urin sesudah pemberian beban asam.
4. Gagal ginjal akut.
Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema
interstisial dengan akibatnya meningkatnya tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan
penurunan LFG.

5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe. Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria.

6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-
kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.

7. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral


Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin umumnya
berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan
kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien
sering mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses
lebih besar daripada pemasukan.
Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium dalam
GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit
tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan. [3,8]

Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik: [3,4,6]


Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik.
1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis diberikan
trombolitik.
2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik terutama
yang berspektrum luas .
3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid
juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1
mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter,
dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat.
4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal.
5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis
penuh: 60mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal
80mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam
seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila
relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian
dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid maka
lakukan biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap
percobaan.

Prognosis Sindrom Nefrotik [3,4,5,6]

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
 Kelainan minimal (minimal lesion):

Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang
dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
 Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia
dalam waktu 10-20 tahun.

 Glomerulosklerosis fokal segmental


Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk

 Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)


Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif
dan pada sindrom nefrotik.
Untuk mengetaui secara pasti tipe dari SN adalah dengan melakukan biopsi ginjal, namun

ada beberapa indikasi dalam melakukan biopsi ginjal yaitu : (7)

 Resisten steroid

 Onset terjadi pada usia >10 tahun atau < 6 bulan

 Gejala mula-mula yang timbul adalah hematuria makroskopik

 Kadar C3 yang rendah

 Adanya hipertensi dan hematuria makroskopik yang persisten

Respon terhadap pengobatan

 Remisi : ekskresi protein urine < 4 mg/hr/m2 selama 3 hari berturut-turut.

 Relaps : setelah mencapai remisi, pemeriksaan protein urine 3 hari berturut-turut > 2+ .

 Relaps berulang (frequent) : relaps terjadi 2x atau lebih dalam 6 bulan atau > 4x relaps dalam

12 bulan.

 Steroid dependen : terjadi relaps 2x berturut-turut selama pengobatan steroid atau dalam

waktu 14 hari penghentian terapi.


 Steroid resisten : gagal mencapai respon (klinis dan laboratorium tidak memperlihatkan

perubahan) setelah 28 hari pengobatan dengan steroid dosis 60 mg/kgbb/hari.


BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini ada seorang perempuan berusia 17 tahun datang ke RSUD Sejiran setason.
Berdasarkan anamnesis dengan pasien dan orang tua setelah dilakukan pemeriksaan fisik,
didapatkan :

 Keluhan utama berupa bengkak.

 Lokasi bengkak atau edema pada daerah kelopak mata (puffy face), wajah, perut dan tungkai.

Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom

nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

diperoleh hasil :

 Kadar serum albumin 1,4 g/dl (hipoalbuminemia)

 Kadar kolesterol darah 555 mg/dl dan trigliserida 892 mg/dl (hiperkolestrolemia)

 Terdapat protein dalam urine (proteinuria) +3 atau protein urine 200-500 mg/dl

 Terdapatnya eritrosit dalam urine 6/lpb (hematuria mikroskopik)

Hasil pemeriksaan laboratorium ini mendukung ditegakkannya diagnosa sindroma

nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema

generalisata (anasarka), hipoalbuminemia, hiperlipidemia (hiperkolesterolemia) dan proteinuria.

Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini tidak diketahui (idiopatik). Indikasi untuk

biopsi ginjal pada pasien ini ada karena pasien berusia >10 tahun. Namun hal ini tidak dilakukan

karena keterbatasan sarana dan prasarana.

SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA karena gejala klinis yang

ditimbulkan sama yakni berupa edema. Tapi pada pasien ini tidak ditemukan adanya hipertensi.

Sesuai dengan teori di atas hipertensi lebih sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain

dinyatakan bahwa hipertensi ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi
bersamaan dengan peningkatan diuresis, sehingga dalam penatalaksanaannya tidak perlu

diberikan anti hipertensi. Hal ini berbeda dengan hipertensi pada GNA, dimana sering terjadi

hipertensi berat sehingga memerlukan terapi anti hipertensi.

Pasien ini dirawat inap selama beberapa hari dan dilanjutkan dengan rawat jalan. Hal ini

dilakukan karena secara klinis edema sudah mulai berkurang, tekanan darah sudah kembali

normal, pemberian obat dapat dilakukan secara oral, pasien sudah terlihat sehat, serta orangtua

kooperatif untuk terus memberikan dukungan dan pengobatan kepada pasien selama dirumah.

Pada pasien ini diberikan obat selama 28 hari dan dianjurkan untuk kontrol agar dapat dilakukan

pemeriksaan kadar protein urinenya. Sehingga dapat diketahui apakah telah mencapai remisi atau

tidak. Bila tercapai remisi pengobatan dilanjutkan namun bila tidak terdapat remisi atau terjadi

relaps maka dilakukan pengobatan lanjutan.

Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa dengan diet TKTPRG

(tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam). Sedangkan secara medikamentosa dengan

pemberian diuretik berupa furosemid dengan dosis 2x40mg dan pemberian kortikosteroid berupa

tablet metil prednison 3x8mg, pemberian spironolacton 1x25mg, simvastatin 1x20mg serta

cefixime 2x100mg karena terdapat infeksi sekunder berupa isk berdasarkan temuan bakteri

berbentuk batang dalam urin. Pada saat rawat jalan pasien tetap dianjurkan makan makanan yang

tidak banyak mengandung garam dan lemak, tetapi lebih banyak makan makanan yang

mengandung protein seperti putih telur, tahu dan tempe serta sayur dan buah-buahan. Serta

menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terinfeksi sehingga tidak akan memperparah

sindroma nefrotiknya.
BAB V
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus sindrom nefrotik (SN) pada seorang wanita berusia 17 tahun dengan

berat badan 35 kg yang datang ke RSUD sejiran setason dengan keluhan utama bengkak.

Diagnosis Sindrom nefrotik (SN) ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra,

wajah, perut dan tungkai bawah sedangkan pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya

proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia.

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney
Care Club. [cited 2018, mar 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170

2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2018, mar 15]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Si
ndromaNefrotikPatogenesis.html

4. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549

5. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited
2018, mar 12 ]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview

6. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2018, mar 12]
7. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
8. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001
9. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA:
Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477

Anda mungkin juga menyukai