Sindrom Nefrotik
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani
Program Internsip Dokter Indonesia
Disusun oleh:
dr. Intan Purnamasari
Pembimbing:
dr. Zainal Fahmi Sp. PD
2.1 ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki dan perut sejak 1 minggu yang lalu.
Selain itu pasien juga mengeluh wajah dan kelopak mata bengkak terutama di pagi hari
dan berkurang saat siang hari. Sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada dan
BAB cair tidak ada. Makan dan minum seperti biasa. Riwayat sakit kulit (-), trauma (-),
sakit pinggang (-), riwayat kencing berdarah (-) dan sakit perut (-).
GCS : E4M6V5
2. Pengukuran :
Nadi : 72x/menit
Suhu : 36,3o C
Respirasi : 18x/menit
Kelembaban : Cukup
Tebal/tipis : Tebal
Kornea : Jernih
Serumen : Minimal
Warna : Kemerahan
Membran/pseudomembran : (-)
4. Leher :
5. Thorak :
a. Dinding dada/paru :
Pernafasan : Abdomino-thorakal
Perkusi : Sonor/sonor
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-), Gesekan pleura (-/-)
b. Jantung :
Auskultasi :
Frekuensi : 72 x/menit
6. Abdomen
Undulasi : (+)
Asites : Ada
7. Ekstremitas :
Umur : 17 Tahun
Uraian : Pasien datang dengan keluhan bengkak di kedua kaki dan perut sejak 1
minggu yang lalu. Selain itu pasien juga mengeluh wajah dan kelopak
mata bengkak terutama di pagi hari dan berkurang saat siang hari.
Sesak tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, BAB cair tidak ada.
Makan dan minum seperti biasa. Riwayat sakit kulit (-), trauma (-),
sakit pinggang (-), riwayat kencing berdarah (-) dan sakit perut (-).
Pemeriksaan Fisik :
Pernafasan : 18 kali/menit
Suhu : 36,5 oC
Kepala : Normocephali
Mata : Edema palpebrae (+/+), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
Thorak/paru : Retraksi (-), suara nafas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
Abdomen : Cembung, bising usus (+) normal, asites (+), hati/limpa/renal sulit
dinilai
Ekstremitas : Akral hangat, terdapat edeme pada kedua tungkai bawah, parese tidak
ada
VI. DIAGNOSA
Glomerulonefritis Akut
VII. PENATALAKSANAAN
2. ANA Tes
3. Hba1c
4. Biopsi
IX. PROGNOSIS
X. PENCEGAHAN
2. Memberikan penerangan yang cukup mengenai semua risiko yang mungkin terjadi dan
mengenai diet, yakni menghindari makanan yang banyak mengandung garam dan
lemak tetapi memperbanyak makan makanan yang mengandung protein, seperti putih
- GN membranosa (GNMN)
- GN membranoproliferatif (GNMP)
- GN proliferatif lain
B. GN sekunder akibat:
i. Infeksi: - HIV, Hepatitis virus B dan C
- Sifilis, Malaria, Skistosoma
- TBC, Lepra
ii. Keganasan: -Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma
multiple dan karsinoma ginjal
iii. Penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. Efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid,captopril
v. Lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah.
GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat NSAID atau
preperat emas dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.
a) Kelainan minimal
o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun tampak
tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).
o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau penyakit
podosit.
o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada anak-
anak usia 1-5 tahun.
o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan
mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis mayor
yang tidak memperlihatkan imunopatologi.
Gambar 1.3
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik,
namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui pasti. Salah satu teori yang dapat
menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel
kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan
albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus.
Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Edema muncul akibat
rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Pembentukan edema pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin terjadi kedua proses underfill dan overfill yang berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus atau bisa suatu
kombinasi rangsangan yang lebih dari satu. [4]
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila
kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar
lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (Low Density Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (Very Low Density
Lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme
VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau
viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya aktivitas
enzim LCAT (Lecithin Cholesterol Acyltransferase) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN. [3]
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan komplikasi
seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler berat. Perlu
diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar albumin dalam darah,
apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan diuretikum tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan warna urin serta
muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.[3,5]
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien yang
tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan dengan
kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2-3
mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Selama
pemberian obat-obat tersebut harus diperhatikan karena dapat menekan hormone-hormon
gonadal (terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemoragik dan menekan
produksi sel sumsum tulang.[1,2,3] Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal
change nephritic syndrome secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama
8 atau 12 minggu masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan
antara dua kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau
jumlah pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap
selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa
dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan
cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2 mg/kg/hari
pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change nephotic syndrome. [1]
5. Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe. Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria.
6. Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kuman-
kuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion):
Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang
dewasa, bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia
dalam waktu 10-20 tahun.
Resisten steroid
Relaps : setelah mencapai remisi, pemeriksaan protein urine 3 hari berturut-turut > 2+ .
Relaps berulang (frequent) : relaps terjadi 2x atau lebih dalam 6 bulan atau > 4x relaps dalam
12 bulan.
Steroid dependen : terjadi relaps 2x berturut-turut selama pengobatan steroid atau dalam
Pada kasus ini ada seorang perempuan berusia 17 tahun datang ke RSUD Sejiran setason.
Berdasarkan anamnesis dengan pasien dan orang tua setelah dilakukan pemeriksaan fisik,
didapatkan :
Lokasi bengkak atau edema pada daerah kelopak mata (puffy face), wajah, perut dan tungkai.
Berdasarkan hal diatas diagnosa sementara yang dapat ditegakkan adalah sindrom
nefrotik (SN). Untuk lebih memastikannya maka dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
diperoleh hasil :
Kadar kolesterol darah 555 mg/dl dan trigliserida 892 mg/dl (hiperkolestrolemia)
Terdapat protein dalam urine (proteinuria) +3 atau protein urine 200-500 mg/dl
nefrotik. Hal ini sesuai dengan definisi dari SN yaitu keadaan klinis yang terdiri dari edema
Penyebab utama terjadinya SN pada anak ini tidak diketahui (idiopatik). Indikasi untuk
biopsi ginjal pada pasien ini ada karena pasien berusia >10 tahun. Namun hal ini tidak dilakukan
SN pada kasus ini didiagnosa banding dengan GNA karena gejala klinis yang
ditimbulkan sama yakni berupa edema. Tapi pada pasien ini tidak ditemukan adanya hipertensi.
Sesuai dengan teori di atas hipertensi lebih sering terjadi pada GNA. Namun pada literatur lain
dinyatakan bahwa hipertensi ringan sedang sering ditemukan pada SN dan menjadi normotensi
bersamaan dengan peningkatan diuresis, sehingga dalam penatalaksanaannya tidak perlu
diberikan anti hipertensi. Hal ini berbeda dengan hipertensi pada GNA, dimana sering terjadi
Pasien ini dirawat inap selama beberapa hari dan dilanjutkan dengan rawat jalan. Hal ini
dilakukan karena secara klinis edema sudah mulai berkurang, tekanan darah sudah kembali
normal, pemberian obat dapat dilakukan secara oral, pasien sudah terlihat sehat, serta orangtua
kooperatif untuk terus memberikan dukungan dan pengobatan kepada pasien selama dirumah.
Pada pasien ini diberikan obat selama 28 hari dan dianjurkan untuk kontrol agar dapat dilakukan
pemeriksaan kadar protein urinenya. Sehingga dapat diketahui apakah telah mencapai remisi atau
tidak. Bila tercapai remisi pengobatan dilanjutkan namun bila tidak terdapat remisi atau terjadi
Penatalaksanaan pada kasus ini yakni secara non medikamentosa dengan diet TKTPRG
(tinggi kalori tinggi protein dan rendah garam). Sedangkan secara medikamentosa dengan
pemberian diuretik berupa furosemid dengan dosis 2x40mg dan pemberian kortikosteroid berupa
tablet metil prednison 3x8mg, pemberian spironolacton 1x25mg, simvastatin 1x20mg serta
cefixime 2x100mg karena terdapat infeksi sekunder berupa isk berdasarkan temuan bakteri
berbentuk batang dalam urin. Pada saat rawat jalan pasien tetap dianjurkan makan makanan yang
tidak banyak mengandung garam dan lemak, tetapi lebih banyak makan makanan yang
mengandung protein seperti putih telur, tahu dan tempe serta sayur dan buah-buahan. Serta
menjaga kebersihan diri dan lingkungan agar terinfeksi sehingga tidak akan memperparah
sindroma nefrotiknya.
BAB V
PENUTUP
Telah dilaporkan kasus sindrom nefrotik (SN) pada seorang wanita berusia 17 tahun dengan
berat badan 35 kg yang datang ke RSUD sejiran setason dengan keluhan utama bengkak.
Diagnosis Sindrom nefrotik (SN) ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan edema palpebra,
wajah, perut dan tungkai bawah sedangkan pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney
Care Club. [cited 2018, mar 12]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
2. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009
3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006 53. Website: kalbe farma. [cited 2018, mar 15]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Si
ndromaNefrotikPatogenesis.html
4. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-549
5. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited
2018, mar 12 ]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
6. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2018, mar 12]
7. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of Medicine. 17th
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-806
8. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001
9. Stephen JM, William G. Nephrotic Syndrome. Pathophysiology of Disease. 5th ed. USA:
Lange-Mc Graw Hill. 2003. Page: 476-477