WILAYAH SUNGAI
KEPULAUAN BATAM BINTAN
2011
1
DAFTAR ISI
2
III.2.1 Beberapa Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim
pada Wilayah Sungai...........................................................99
III.2.2 Skenario Pertumbuhan Ekonomi.......................................100
III.3 Alternatif Pilihan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air...............109
III.3.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air ...................................109
III.3.2 Aspek Pendayagunaan Sumbaer Daya Air .........................111
III.3.3 Aspek Pengendalian Daya Rusak Air .................................111
III.3.4 Aspek Sistem Informasi Sumber Daya Air..........................112
III.3.5 Aspek Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Masyarakat 112
3
BAB I PENDAHULUAN
Pola Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) merupakan kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air (UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumbe Daya
Air) wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air
tanah (UU Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 11 Ayat 4), yang merupakan
keterpaduan dalam pengelolaan yang diselenggarakan dengan memperhatikan
wewenang dan tanggung jawab instansi masing-masing sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Pola pengelolaan sumber daya air ini harus disusun
secara terkoordinasi diantara instansi terkait, berdasarkan asas kelestarian,
asas keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi, asas
kemanfaatan umum, asas keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas
kemandirian, serta asas transparansi dan akuntabilitas. Penyusunan pola
pengelolaan sumber daya air perlu melibatkan seluas-luasnya peran
masyarakat dan dunia usaha baik koperasi, BUMN, BUMD maupun badan
usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya
diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air, tetapi
berperan pula dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi
dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan atas pengelolaan sumber
daya air (UU Nomor 7 Tahun 2004 Bagian Penjelasan Ayat 7).
Untuk dapat menyusun rancangan pola pengelolaan sumber daya air wilayah
sungai perlu diketahui sistem pengelolaan sumber daya air yang sedang
4
berjalan saat ini, mencakup aspek-aspek konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, sistem
informasi sumber daya air dan peran serta masyarakat, swasta dan dunia
usaha dalam pengelolaan sumber daya air.
Disamping inventarisasi sistem pengelolaan sumber daya air saat ini, juga
dilakukan inventarisasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan sumber
daya air di wilayah sungai, yang akan dijadikan acuan dalam penyusunan
rencana pengelolaan sumber daya air di masa yang akan datang.
I.2.2 Tujuan
I.2.3 Sasaran
Sasaran dari Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Kepulauan Batam-Bintan adalah untuk memberikan:
5
c. Memberikan arahan tentang kebijakan pengendalian daya rusak air di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan;
d. Memberikan arahan tentang kebijakan pelaksanaan sistem informasi
sumber daya air di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan;
e. Memberikan arahan tentang kebijakan peran serta masyarakat dan
swasta dalam pengelolaan sumber daya air Wilayah Sungai Kepulauan
Batam-Bintan.
Dari rumusan visi di atas terkandung makna bahwa sumber daya air sebagai
salah satu unsur utama bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat harus
dikelola secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatannya tetap terpelihara.
Penyediaan prasarana sumber daya air harus dilaksanakan secara memadai
sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan airnya, baik untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya maupun untuk meningkatkan
ekonominya.
Dalam sasaran MDGs untuk penyediaan air minum untuk tahun 2015
(tingkat nasional) cakupan pelayanan air perpipaan di perkotaan adalah 69%
sedang di pedesaan 54%. Untuk tingkat pelayanan non perpipaan terlindungi
targetnya adalah 25% (perkotaan) dan 26% (pedesaan).
6
Target penyediaan air minum tersebut perlu didukung oleh penyediaan air
bakunya, yang dapat dialokasikan dari waduk-waduk yang akan dibangun di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan . Pemanfaatan dan pengembangan
teknologi waste water recycled maupun desalinasi air laut akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan air baku.
Salah satu fenomena perubahan iklim global adalah peningkatan suhu dan
curah hujan tahunan dengan penurunan jumlah hari hujan sehingga musim
hujan menjadi lebih singkat. Dampak fenomena perubahan iklim global
terhadap Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan adalah:
7
I.3.2 Isu Strategis Lokal
I.3.2.1 Karakteristik Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan sebagai
Wilayah Sungai Kepulauan
a. Tidak adanya cekungan air tanah (CAT) sehingga seluruh Wilayah Sungai
Kepulauan Batam-Bintan mengandalkan sumber air yang berasal dari air
permukaan atau dari air hujan saja;
b. Lapisan humus yang tipis pada lapisan tanah yang ada pada pulau-pulau
di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan yang perlu mendapat
perhatian khusus dalam pengelolaan lahan/rencana konservasi lahan
yang ada;
c. Air hujan yang turun ke daratan di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-
Bintan sebagian besar akan terbuang ke laut jika tidak dibuatkan
tampungan-tampungan semacam embung-embung maupun waduk yang
berfungsi untuk menyimpan air pada waktu hujan/air melimpah;
d. Temperatur yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan evaporasi dari
laut yang cukup tinggi dan dapat menghasilkan curah hujan yang cukup
tinggi pula di WS Kepulauan Batam-Bintan ;
e. Pasang naik air laut yang apabila bertepatan dengan turunnya hujan
lebat dapat menyebabkan tergenangnya kawasan di sekitar muara sungai
maupun kawasan di sekitar muara drainase;
f. Rentan terjadi kekeringan jika tidak berhasil dalam melakukan konservasi
lahan untuk daerah tangkapan air mengingat karakteristik tanah di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan yang mudah hilang
kesuburannya apabila terjadi pengupasan lapisan top soil.
a. Perubahan fungsi lahan dari hutan lindung menjadi lahan kelapa sawit
maupun menjadi ladang/tegalan akan mengurangi tangkapan air dan
dapat menyebabkan hilangnya lapisan humus dan tanah menjadi tandus
setelah perkebunan/ladang tersebut ditinggalkan;
b. Penetapan dan perlindungan sempadan dan daerah tangkapan air, antara
lain dengan penerapan peraturan daerah yang berkaitan dengan
konservasi lahan, pemagaran, dan peningkatan fungsi pengawasan
terhadap keberlangsungan fungsi sempadan dan daerah tangkapan air.
8
I.3.2.5 Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan fluktuatif akibat
dominasi imigrasi penduduk
Daya tarik wisata melalui budaya Melayu yang tetap dilestarikan dan
dikembangkan dan akan memberi pengaruh dalam pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan SUMBER DAYA AIR yang ada.
9
BAB II KONDISI PADA WILAYAH SUNGAI KEPULAUAN
BATAM-BINTAN
10
19. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
20. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
22. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah.
23. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan.
24. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air.
25. Peraturan Pemerintah No.04/PRT/M/2008 tentang Pembentukan Wadah
Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Wilayah Sungai.
26. Peraturan Menteri PU Nomor 22/Prt/M/2009, tentang Pedoman Teknis Dan
Tatacara Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air.
27. Peraturan Menteri PU No.67/PRT/1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air
Provinsi Daerah Tingkat I.
28. Peraturan Menteri PU No.49/PRT/1990 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Ijin
Penggunaan Air dan atau Sumber Air.
29. Peraturan Menteri PU No.63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai
30. Keputusan Menteri PU No.458/KPTS/1986 tentang Ketentuan Pengamanan
Sungai Dalam Hubungan Dengan Penambangan Bahan Galian Golongan C.
Arah kebijakan pengelolaan sumber daya air di Wilayah Sungai (WS) Kepulauan
Batam-Bintan mengacu pada arah kebijakan nasional yang telah diatur dalam
Undang-undang No.7 Tahun 2004/Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA), yang meliputi; Konservasi Sumber
Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, Pengendalian Daya Rusak Air,
Ketersediaan Data dan Sistem Informasi Sumber Daya Air (SISDA) dan
Pemberdayaan dan Peningkatan Peran masyarakat.
Kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air dalam aspek konservasi sumber
daya air yang terkait dalam pengelolaan WS Kepulauan Batam–Bintan adalah:
11
II.2.1.2 Aspek Pendayagunaan Sumber Daya Air
Arahan Strategis Pola Pengelolaan Sumber Daya air pada aspek Pendayagunaan
SDA sebagai berikut:
a. Mendayagunakan fungsi atau potensi yang terdapat pada sumber air secara
berkelanjutan.
b. Mengupayakan penyediaan air untuk berbagai kepentingan secara
proporsional dan berkelanjutan.
c. Mengupayakan penataan sumber air secara layak.
d. Memanfaatkan sumber daya air dan prasarananya sebagai media/materi
sesuai prinsip penghematan penggunaan, ketertiban dan keadilan, ketepatan
penggunaan, keberlanjutan penggunaan, dan saling menunjang antara
sumber air dengan memprioritaskan penggunaan air permukaan.
e. Meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, dan atau peningkatan
ketersediaan dan kualitas air.
f. Meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dengan
prinsip meningkatkan efisiensi alokasi dan distribusi kemanfaatan sumber
air.
Pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi dan
memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak
air. Daya rusak air dapat berupa banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi,
longsoran tanah, amblesan tanah, perubahan sifat dan kandungan kimiawi,
biologi dan fisika air, terancamnya kepunahan jenis tumbuhan dan/atau satwa,
dan/atau wabah penyakit.
Untuk terselenggaranya tata pengaturan air yang baik, pengelolaan sumber daya
air harus dilakukan secara melembaga sampai pada tingkat wilayah sungai
termasuk didalamnya perencanaan pengembangan sumber daya air.
12
Keanekaragaman dinamika masyarakat di Pulau Batam-Bintan perlu dijadikan
sebagai potensi kekuatan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Setiap
tahapan dalam proses pembangunan perlu melibatkan masyarakat dan mereka
mendapat kesempatan untuk mengutarakan kepentingan dan kebutuhannya
yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air di Pulau
Batam-Bintan.
Arahan strategis dalam pengelolaan sistem informasi sumber daya air adalah:
Pengelolaan sistem informasi sumber daya air khususnya data dan infor masi
hidrologi wilayah sungai perlu diinformasikan secara berkala ke tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota.
13
II.2.2 Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Sumber Daya Air di
Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
II.2.2.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air a.
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama menjaga
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya buatan yang
merupakan modal dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan
pemantapan kawasan lindung di Provinsi Kepulauan Riau adalah mengurangi
resiko kerusakan lingkungan hidup dan kehidupan sebagai akibat dari kegiatan
pembangunan, sedangkan sasarannya adalah:
Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air dan iklim;
Mempertahankan keaneka-ragaman flora, fauna dan tipe ekosistem, serta
keunikan alam;
Menyediakan dan mempersiapkan lingkungan hidup (habitat) untuk suku-
suku terasing;
Mempertahankan kawasan lindung minimal 30% dari luas pulau sesuai
dengan karakteristik pulau;
Mempertahankan dan melestarikan keberadaan hutan mangrove.
14
b. Kota Batam
c. Kabupaten Bintan
15
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka arahan kawasan huatan lindung di
Kabupaten Bintan meliputi kawasan lindung darat dan kawasan lindung
lautan.
Kawasan pengembangan sumber daya air meliputi kawasan untuk meresapkan air
hujan dengan kemampuan tinggi yang merupakan tempat pengisian air bumi
(aquifer), yakni terdapat di sebagian wilayah Bintan Timur dan kawasan
pengembangan sumber air (KPSA). Berdasarkan hasil overlaping antara
kecenderungan perkembangan wilayah, proyeksi kebutuhan air bersih, serta
kapasitas wilayah yang optimal dalam menyerap air permukaan, maka untuk
wilayah KPSA yang semula memiliki luas 370 km2 (SK Gubernur Riau Nomor
KPTS.516/VIII/1992 tentang Penunjukan Lima DAS yaitu DAS Jago, Ekang
Anculai, Bintan, Kangboi, dan Kawal seluas 370 Km2 sebagai hutan lindung),
berkurang menjadi 125,87 Km 2, dengan konsentrasi lahan yang ada tetap
mempertahankan fungsi yang diemban oleh kelima DAS tersebut.
Ruang wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat besar dan beragam, sehingga menempatkan sektor
kelautan sebagai sektor unggulan pada masa datang. Untuk memanfaatkan
potensi sumber daya yang tersedia, perlu diatur dan diarahkan secara bijaksana
dengan menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, agar potensi yang ada tetap
terjaga.
Kawasan pulau-pulau kecil yang memiliki luas kurang dari 100 Ha disarankan
untuk tidak dikembangkan, namun diarahkan sebagai area konservasi. Sesuai
azas biogeografi kepulauan, pengembangan kegiatan budidaya di pulau-pulau kecil
akan sangat mengganggu kestabilan ekosistem, yang pada gilirannya dapat
menyebabkan biodiversitas di pulau tersebut semakin terancam.
16
d. Kota Tanjungpinang (RTRW 2010-2030)
Kondisi geografis Kota Tanjungpinang yang merupakan wilayah pesisir dan laut
di Kota Tanjungpinang dengan segala keanekaragaman sumberdaya lautnya perlu
dijaga sedemikian rupa demi keberlangsungan hingga jangka waktu yang akan
datang. Oleh sebab itu, sejalan dengan arahan pola ruang Provinsi Kepulauan
Riau, di Kota Tanjungpinang ditetapkan Taman Laut Daerah Pulau Penyengat.
Kawasan pertanian ini terdiri dari kawasan budidaya tanaman pangan, holtikultira
dan perternakan. Pengembangan Kawasan Budidaya Tanamana Pangan,
Hortikultura dan Peternakan yang direncanakan seluas sekitar 124.292 Ha,
dengan luas lahan terluas dialokasikan di Kabupaten Lingga sebagai sentra
pengembangan sektor pertanian dan Kabupaten Bintan.
17
Kawasan Budidaya Tanaman Pangan: Sub sektor tanaman pangan terdiri dari
tanaman padi sawah/ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi
kayu dan ubi jalar. Komoditas pertanian yang dikembangkan di Provinsi
Kepulauan Riau merupakan komoditas pertanian yang terdiri dari komoditas
tanaman pangan dan hortikultura.
Berdasarkan morfologi dan ukuran ternak, maka ternak besar (sapi dan kerbau)
dikembangkan di Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan
Anambas, Kabupaten Karimun, dan Kabupaten Bintan. Untuk ternak kecil
(kambing, domba dan babi) diarahkan di Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan
dan Kabupaten Lingga. Sedangkan ternak unggas diarahkan di seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau.
18
Potensi pertambangan yang ada di provinsi Kepulauan Riau berupa batu granit di
wilayah Karimun, Bintan, Lingga dan Kepulauan Anambas; Pasir di wilayah
Karimun, Bintan, dan Lingga; Timah di wilayah Karimun dan Lingga; Bauksit di
wilayah Karimun, Bintan, dan Lingga, Biji Besi di wilayah Lingga dan Kepulauan
Anambas, Minyak dan Gas di wilayah Natuna dan Kepulauan Anambas, serta
potensi galian tambang lainnya.
19
Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata E (Kabupaten Natuna),
pengembangannya diarahkan pada pengembangan wisata bahari (Kawasan
Kecamatan Pulau Tiga dan Kawasan Pantai Tanjung), wisata budaya
(Kawasan Keramat Binjai, Komplek Makam Segeram, Rumah
Peradilan/Rumah Orang Kaya Suan, Rumah Datuk Kaya Wan Muhammad
Benteng, Benteng Kawasan Pertahanan Portugis dan Jepang) serta wisata
minat khusus (Kawasan Pulau Tiga).
Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata F (Kabupaten Kepulauan
Anambas), pengembangannya diarahkan pada pengembangan wisata
bahari dan wisata minat khusus (Kawasan Pulau Bawah, Pulau Penjalin,
Pulau Kelong dan Pulau Semut, Pulau Berhala dan Tukong Atap).
Unit Kawasan Wisata Pulau Batam, memiliki fungsi utama sebagai wisata
konferensi dan wisata belanja dan menjadi pusat pengembangan UPWP A.
Unit Kawasan Wisata Setokok, Rempang, Galang, Galang Baru, memiliki fungsi
utama sebagai pusat pengembangan kegiatan wisata bahari, sejarah dan
agrowisata yang merupakan pelengkap dan pendukung Unit Kawasan Wisata
Pulau Batam.
Unit Kawasan Wisata Bulang Lintang, Belakang Padang, memiliki fungsi utama
sebagai pengembangan kegiatan wisata bahari, wisata pulau, wisata sejarah,
agrowisata, terpadu dan wisata minat khusus yang merupakan pelengkap dan
pendukung Unit Kawasan Wisata Pulau Batam.
20
Unit Kawasan Wisata Pulau Papan (Pulau Buru) di Kecamatan Buru, memiliki
fungsi utama adalah wisata bahari dan wisata penunjangnya adalah wisata
pemandian sumber air panas Pulau Buru, wisata sejarah yakni wisata makam
Badang Buru dan wisata minat khusus.
Unit Kawasan Wisata Kundur, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari
(yakni wisata pantai gading, wisata pantai lubuk, wisata batu limau, dan
wisata pantai sawang) serta wisata penunjangnya adalah wisata sejarah dan
agro wisata.
Unit Kawasan Wisata Moro, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari dan
wisata penunjangnya adalah wisata religi, sejarah serta wisata minat khusus.
Unit Kawasan Wisata Lingga, memiliki fungsi utama untuk wisata sejarah dan
agro wisata dengan wisata pendukungnya adalah wisata alam pegunungan dan
wisata bahari.
Unit Kawasan Wisata Singkep, memiliki fungsi utama sebagai pintu masuk
wisatawan serta pusat transit wisatawan dengan kegiatan wisata adalah wisata
alam dan wisata bahari.
Unit Kawasan Wisata Senayang, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari.
Lahan siap bangun bagi pengembangan rumah perorangan perlu dikendalikan dari
waktu kewaktu, hal ini mengingat keterbatasan lahan yang tidak mencukupi jika
semua kawasan dibangun untuk perumahan tanpa mempertimbangkan daya
dukung lingkungan. Hingga tahun 2028, alokasi ruang bagi kawasan permukiman
direncanakan seluas lebih kurang 112.190 Ha. Orientasi pengembangan
perumahan khususnya di kawasan perkotaan dan cepat tumbuh diarahkan bagi
“rumah tumbuh” atau vertikal. Dengan demikian akan mengurangi tekanan bagi
penyempitan lahan untuk aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
21
No Kabupaten 2013 2018 2023 2028
3 Natuna 13.237 14.780 17.247 19.258
4 Lingga 19.021 21.512 25.556 28.903
5 Kep. Anambas 7.079 7.724 8.727 9.522
6 Batam 188.140 239.966 306.069 390.380
7 Tanjungpinang 41.933 48.111 55.199
63.331
Jumlah 357.868 444.397 555.602 693.273
Sumber: RTRW Provinsi Kabupaten Bintan Tahun 2007-2017
Bila dilihat dari aspek lokasi geografisnya, hampir seluruh wilayah Provinsi
Kepulauan Riau merupakan kawasan pertahanan dan keamanan, karena letaknya
yang berbatasan dengan negara tetangga. Meskipun kawasan pertahanan tersebut
dititikberatkan pada 19 pulau terdepan daerah perbatasan, pada tiap-tiap
kabupaten/kota terdapat pusat-pusat pertahanan berupa instalasi militer maupun
daerah latihan militersebagaimana pada tabel 2.3.
b. Kota Batam
b.1. Konsepsi Pengembangan Kawasan Budidaya Perkotaan
Kegiatan perdangan dan jasa yang akan dikembangkan di Kota Batam berupa
perdagangan produk-produk industri dengan kualitas barang bertaraf
internasional, yang akan dipusatkan di Nagoya-Jodoh. Ini dikarenakan kegiatan
perdagangan dan jasa yang ada di Nagoya-Jodoh saat ini sudah berkembang
secara alami dan membentuk pusat kegiatan komersial dengan skala pelayanan
regional/nasional bahkan internasional. Untuk memenuhi tuntutan sebagai pusat
kegiatan perdagangan dan jasa yang bertaraf internasional agar dapat dijadikan
22
sebagai alternatif kegiatan serupa yang ada di Singapura, maka peran pusat
perdagangan dan jasa yang ada saat ini harus ditingkatkan kualitas dan fungsi
pelayanannya serta didukung oleh kebijaksanaan yang menetapkan Kota Batam
sebagai pusat kegiatan perdagangan bebas. Selain itu kegiatan perdagangan dan
jasa ini dikembangkan pula di Batam Center yang diintegrasikan dengan kegiatan
perkantoran. Jenis produk yang diperdagangkan di kawasan ini diprioritaskan
pada produk lokal, terutama yang dihasilkan oleh industri yang ada di Kota Batam.
Kegiatan industri yang akan dikembangkan di Kota Batam berupa kegiatan marine
industry, industri ringan hingga industri berat yang menggunakan teknologi
madya-tinggi, tidak berpolusi dan sedikit membutuhkan air. Pengembangan
kegiatan industri di Kota Batam berupa kawasan industri, akan dipusatkan di
Pulau Batam dan beberapa lokasi di Pulau Rempang-Galang, diantaranya di Batam
Center, Kabil, Batu Ampar, Sekupang, Tanjung Uncang-Sagulung, Muka Kuning,
Sembulang-Pulau Rempang dan di kawasan industri Pulau Janda Berhias.
Pengembangan kawasan industri ini nantinya akan dikelompokkan sesuai jenis
dan luasan industrinya ke dalam satu lokasi pada setiap kawasan industri yang
akan dikembangkan. Untuk pengembangan kawasan industri di Batam Center
diarahkan pada kegiatan clean industry dan industri perakitan (asembling) dengan
persyaratan tidak menimbulkan polusi dan menggunakan bahan baku dari produk
yang dihasilkan kegiatan industri yang ada di Kota Batam. Sedangkan
pengembangan industri di Pulau Rempang diarahkan pada jenis industri hight tech
yang ramah lingkungan.
Secara umum, kriteria jenis industri yang akan dikembangkan di Kota Batam,
diantaranya berupa:
Agar kegiatan industri yang akan dikembangkan ini dapat memberi manfaat
terhadap masyarakat setempat serta berjalan sesuai dengan yang diharapkan,
maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan dan peningkatan ketrampilan bagi
masyarakat setempat yang berminat bekerja di sektor ini, meningkatkan
produktivitas tenaga kerja serta usaha untuk meningkatkan penguasaan teknologi,
baik melalui transfer teknologi atau melalui peningkatan kemampuan terhadap
teknologi yang digunakan. Selain itu, untuk menunjang pengembangan kegiatan
industri perlu pula ditunjang kelengkapan sarana dan prasarana pendukungnya,
seperti pelabuhan barang untuk kegiatan ekspor-impor, peningkatan aksessibilitas
yang baik, serta suplai air, listrik dan telekomunikasi yang memadai.
23
Kegiatan pariwisata yang akan dikembangkan di Kota Batam dititikberatkan pada
kegiatan wisata budaya dan wisata bahari, dengan target market tidak hanya
penduduk Kota Batam dan sekitarnya saja tetapi juga untuk menarik minat
wisatawan manca negara berkunjung di kota ini. Kawasan yang akan
dikembangkan sebagai pusat kegiatan wisata terbagi atas 4 Satuan Wilayah
Pengembangan Pariwisata, yaitu Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Pulau
Batam, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Sekitar Jembatan Satu –
Rempang – Galang – Galang Baru, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata
Belakang Padang, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Bulang Untuk
memenuhi tuntutan sebagai pusat kegiatan wisata yang bertaraf nasional bahkan
internasional, maka perlu didukung oleh pengembangan sarana akomodasi yang
memadai melalui peningkatan kualitas dan kuantitas serta fungsi pelayanannya.
24
Kawasan Pengembangan Pantai merupakan kawasan pesisir di Kota Batam diukur
dari garis pantai saat pasang tertinggi ke arah laut yang ditetapkan untuk
pengembangan berbagai kegiatan perkotaan melalui reklamasi pantai. Konsepsi
pengembangan kawasan pantai merupakan suatu upaya teknologi yang dilakukan
manusia untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi lingkungan buatan,
suatu ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang
alam daratan. Pengembangan kawasan pantai hasil reklamasi harus
memperhatikan keberadaan Perkampungan-perkampungan Tua, keselarasannya
dengan peruntukan di kawasan pantai semula, serta keselarasannya dengan
peruntukan blok-blok reklamasi di sekelilingnya. Kegiatan pengembangan kawasan
pantai yang mengubah ekosistem dan lingkungan perairan laut harus didahului
dengan studi yang mendalam dan dilengkapi dengan Amdal sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aspek positif dari pengembangan kawasan pantai antara lain pertambahan lahan,
penataan bagian-bagian ruang kota, berkembangnya pusat kegiatan bisnis dan
permukiman, serta pengaturan kembali sistem transportasi perkotaan yang saling
terpadu. Kegiatan tersebut juga akan membuka peluang usaha baru dan lapangan
pekerjaan baru bagi masyarakat. Disamping aspek positif juga akan menimbulkan
dampak negatif baik langsung atau tak langsung, seperti terjadinya relokasi
permukiman khususnya masyarakat pantai, sebagai akibat penataan kota,
perubahan kehidupan sosial dan ekonomi serta perubahan lingkungan.
Kawasan strategis merupakan kawasan yang memiliki nilai penting dilihat dari segi
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan maupun pertahanan dan keamanan, yang
memerlukan upaya penanganan dan pengembangan secara terpadu (integrated
development). Penetapan kawasan strategis didasarkan atas kriteria yang
mencakup :
Kawasan potensial tumbuh cepat dan berfungsi sebagai pusat bisnis terpadu
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi kawasan dan merangsang
perkembangan kawasan sekitarnya
Kawasan berfungsi pertahanan dan keamanan melalui pengembangan
ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan serta pembangunan
prasarana dan sarana dasar untuk meningkatkan ketahanan wilayah.
25
Kawasan khusus merupakan kawasan yang memiliki potensi dan kemampuan
tertentu dalam memacu pertumbuhan kawasan. Pengembangan kawasan khusus
dilakukan dengan mendorong pengembangannya melalui kegiatan investasi dan
penanganan pemanfaatan ruang secara khusus, yang penetapan kawasan tersebut
ditentukan berdasar kriteria-kriteria berikut:
c. Kota Tanjungpinang
26
Untuk itu dalam RTRW kegiatan perumahan termasuk perumahan yang telah ada
diarahkan pengembangan di Wilayah Potensi (WP) V sebagai kota baru. WP ini
menjadi konsentrasi pelimpahan persebaran penduduk. Sedangkan untuk
menyeimbangkan struktur kota yang terbentuk maka perkembangan pemukiman
juga diarahkan ke Dompak. Pemukiman yang dikembangkan di Dompak
merupakan pemukiman dengan berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan
pemukiman dengan tetap memperhatikan penghijauan di sekitarnya. Dengan
perbandingan lahan terbangun dan penghijauan sebesar 60:40. Disamping itu
pada masing-masing kawasan permukiman lainnya dialokasikan pula sesuai
dengan pertumbuhan masing-masing.
Sebagai daerah yang dekat dengan perbatasan antara negara Indonesia dengan
negara tetangga maka Kota Tanjungpinang selama ini menjadi salah satu tempat
transit bagi para tenaga Kerja yang akan bekerja di luar negeri. Terutama TKI yang
akan bekerja di negara Malaysia dan Singapura. Selama ini para TKI tersebut
sebagian besar ditampung di dalam rumah-rumah toko yang banyak tersebar di
dalam Kota Tanjungpinang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu
direncanakan tempat penampungan sebagai tempat transit bagi para TKI. Tempat
yang dialokasikan adalah di sekitar Bintan Center Kecamatan Tanjungpinang
Timur, juga disediakan balai latihan kerja sebagai tempat pendidikan bagi para
calon pekerja tersebut. Luas lahan yang dibutuhkan untuk tempat transit dengan
balai latihan kerja sekitar 2 hektar.
27
Luasan kawasan pendidikan ini mencapai 79,73 Ha untuk pendidikan dasar dan
dialokasikan 500 Ha untuk perguruan tinggi.
Alokasi lahan untuk kegiatan wisata diberikan di lokasi-lokasi wisata yang telah
ada. Diantaranya untuk Pulau Penyengat dan Kota Piring sebagai wisata budaya,
Pulau Los, Pulau Dompak, Pulau Terkulai, Hanaria, dan Danau di Kelurahan Air
Raja. Selain itu terdapat wisata spiritual, yaitu klenteng di Senggarang dan
Kampung Bugis. Luas pengembangan yang dialokasikan sekitar 125 Ha.
a. Kawasan Hijau
Rekreasi
Rencana kawasan rekreasi selain berpedoman pada kondisi yang telah ada saat ini
dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota, juga
berdasarkan optimasi pemanfaatan lahan-lahan konservasi yang akan
dikembangkan. Dengan demikian, kawasan rekreasi di Kota Tanjungpinang
meliputi:
b. Kawasan Olahraga
Pusat kegiatan olahraga (sport centre) berupa Gedung Olaharaga (GOR) dengan
sarana dan prasarana olaraga yang lengkap dikembangkan di Kawasan
Senggarang. Kawasan ini dipersiapkan selain untuk pembinaan dan
peningkatan prestasi olahraga, juga untuk penyelenggaraan even olahraga
tingkat nasional dan regional. Penataan kawasan ini, juga diharapkan dapat
mengadopsi konsep-konsep kawasan olahraga terpadu, dimana, area di luar
stadion (venue) dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan olahraga masyarakat
Kota Tanjungpinang.
Sport centre diarahkan dengan konsep yang didominasi oleh ruang terbuka.
28
Kawasan olahraga skala WP, dikembangkan pada masing-masing pusat WP.
d. Pertanian Kota
(Penghijauan)
Secara lebih jelas mengenai rencana pola ruang wilayah daratan Kota
Tanjungpinang tahun 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Rencana Pola Ruang Wilayah (Darat) Kota Tanjungpinang Tahun 2010 -
2030
LUAS
NO. RENCANA PERUNTUKAN
Hektar %
A. Kawasan Lindung 2,869.72 21.82
1 Hutan Lindung 188.91 1.44
2 Sempadan Hutan Lindung (Buffer Zone) 30.83 0.23
3 Mangrove 933.40 7.10
4 Danau 16.75 0.13
29
LUAS
NO. RENCANA PERUNTUKAN
Hektar %
5 Sungai 63.26 0.48
6 Sempadan Danau 9.86 0.07
7 Sempadan Sungai 512.82 3.90
8 Sempadan Pantai 973.11 7.40
9 Cagar Budaya 73.07 0.56
10 Ruang Terbuka Hijau (RTH) 67.71 0.51
B. Kawasan Budidaya 10,284.28 78.18
1 Permukiman 5,146.37 39.12
2 Fasum dan Fasos 71.61 0.54
3 GOR 27.98 0.21
4 Perdagangan dan Jasa 983.53 7.48
5 Perkantoran 1,387.86 10.55
6 Industri dan Pergudangan 836.05 6.36
7 Pariwisata 48.33 0.37
8 Militer 31.22 0.24
9 Pertanian (Penghijauan) 1308.50 9.95
10 Pertambangan 11.00 0.08
11 Taman Budaya 9.12 0.07
12 Bandara 95.77 0.73
13 Pelabuhan 44.53 0.34
14 Terminal 0.65 0.00
15 TPA 6.33 0.05
16 TPU 22.25 0.17
16 Jaringan Jalan 253.18 1.92
Total 13,154.00 100.00
Sumber: RTRW Tanjungpinang, Tahun 2010-2030
d. Kabupaten Bintan
d.1. Permukiman.
Permukiman berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dari hujan, angin, dan
sengatan matahari. Permukiman merupakan suatu kawasan yang sangat
mempengaruhi suatu perkembangan wilayah sehingga daerah ini perlu
diperhatikan sekali perkembangannya baik untuk dimasa sekarang maupun
dimasa yang akan datang.
d.2. Industri.
Kawasan industri merupakan suatu kawasan yang memiliki multiplier effect sangat
besar bagi perkembangan wilayah disekitarnya.
30
Lokasi industri di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan
Bintan Utara, Kecamatan Gunung Kijang, dan Kecamatan Bintan Timur.
d.3. Pariwisata
Kabupaten Bintan memiliki potensi yang sangat besar di bidang pariwisata. Objek
wisata yang tersedia di Kabupaten Bintan diantaranya ialah pantai, Takaran
Penyu, dan panorama alamnya (gunung).
d.4. Pertanian
d.5. Pertambangan.
Kabupaten Bintan memiliki jenis tanah yang sesuai untuk pertambangan. Hasil
dari pertambangan di Pulau Bintan ini banyak di ekspor ke Cina dan beberapa
negara lainnya. Namun selama ini pengelolaan pertambangan yang ada di
Kabupaten Bintan belum menerapkan kaidah berwawasan lingkungan.
Kawasan perdagangan dan jasa yang ada di Kabupaten Bintan pada dasarnya
tersebar di sekitar permukiman dan berpola mengikuti aliran jalan utama.
Tempat pembuangan akhir di Kabupaten Bintan pada dasarnya belum tersedia dan
selama ini masih menumpang di Tempat Pembuangan Akhir Kota Tanjungpinang.
Melihat fungsi Kota Tanjungpinang sebagai ibukota propinsi maka tidak
memungkinkannya tempat pembuangan akhir Kabupaten Bintan bergabung
dengan Kota Tanjungpinang sehingga Kabupaten Bintan perlu suatu tempat
pembuangan sendiri.
31
Lokasi tempat pembuangan akhir di Kabupaten Bintan terletak di wilayah
Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Bintan Timur.
d.8. Militer.
d.9. Peternakan.
Kabupaten Bintan memiliki potensi peternakan yang terdiri dari hewan ternak dan
unggas.
d.11. Tambak.
Kota Batam
32
yang umumnya berupa sungai-sungai di daerah pesisir yang terpengaruh oleh
pasang air laut, sehingga seringkali menjadi daerah genangan. Sungai-sungai di
maksud antara lain Sungai Kabil, Sungai Tembesi Lama, Sungai Tembesi Baru,
Sungai Penaran, Sungai Langkoi, Sungai Samat, Sungai Senimba, Sungai Temiang,
Sungai Turian, dan Sungai Tiban yang berada di Pulau Batam, Sungai Cia, Sungai
Rempang, Sungai Akit, dan Sungai Jata yang berada di Pulau Rempang, di Sungai
Gong dan Sungai Galang di Pulau Galang, serta Sungai Air Raja.
b. Kota Tanjungpinang
c. Kabupaten Bintan
Terkait dengan pengendalian daya rusak air, dalam RTRW Kabupaten Bintan
dilakukan kebijakan dengan Program Rehabilitasi dan Pemulihan Sumber Daya
Alam. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan
mempercepat pemulihan sumber daya alam, sehingga selain berfungsi sebagai
penyangga sistem kehidupan juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara
berkelanjutan.
33
Gambar 2.1 Provinsi Kepulauan Riau
Sebagai provinsi yang masih baru, Provinsi Kepulauan Riau terus berkembang dan
melakukan pemekaran wilayah. Hingga tahun 2008, Provinsi Kepulauan Riau
memiliki 5 (lima) kabupaten dan 2 (dua) kota, yakni Kabupaten Bintan, Kabupaten
Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas,
Kota Tanjungpinang, dan Kota Batam.
Dalam konteks Pengelolaan Sumber Daya Air dan sesuai Permen Pekerjaan Umum
Nomor 11A/PRT/M/2006 Tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, Provinsi
Kepulauan Riau dibagi menjadi 4 wilayah sungai yaitu: WS Kepulauan Karimun,
WS Kepulauan Lingga Singkep, WS Kepulauan Anambas dan WS Kepulauan
Batam-Bintan (Gambar 2.2).
34
Gambar 2.2 Wilayah Sungai di Provinsi Kepulauan Riau
35
Gambar 2.3 Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan dalam Provinsi Kepulauan
Riau
a.2. Posisi Wilayah Sungai (WS) Kepulauan Batam-Bintan dalam Free Trade
Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun
36
Gambar 2.4 FTZ Kota Batam
37
b. Tata Ruang WS Kepulauan Batam-Bintan
b.1. Rencana Tata Ruang Kota Batam
Batam yang sejak beberapa tahun ini telah diupayakan pembangunannya yang
didasari oleh pertimbangan lokasi strategis, dirasakan memperoleh perhatian yang
baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Perkembangan ini merupakan suatu
konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi yang pesat di kawasan tersebut,
disamping pengaruh langsung dari perilaku globalisasi dunia akhir-akhir ini yang
terus menunjukkan pengaruhnya.
Data kondisi tata guna lahan saat ini diperoleh dari Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Batam 2004-2014 yang disusun oleh Badan Perencanaan Penelitian dan
Pengembangan Kota (BAPPEKO) Batam dan data tambahan dari Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006 yang disusun oleh Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) Kota Batam. Data dalam
RTRW dimaksud membagi tata guna lahan menjadi 2 kawasan, yaitu kawasan
budidaya dan kawasan lindung. Menurut data, lahan yang banyak akan
digunakan di Kota Batam sampai dengan tahun 2011, adalah lahan untuk
permukiman sebesar 14,37% dari total areal Kota Batam sebagai kawasan
budidaya dan hutan lindung sebesar 19,87% dari total areal Kota Batam sebagai
kawasan lindung.
38
Gambar 2.6 Peta rencana tata ruang Kota Batam 2004-2014
39
Tabel 2.6. Rencana Alokasi Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Bintan
Fungsi Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase (%)
Kawasan Industri 7335.24 5.56
Kawasan Lindung 37223.63 28.21
Kawasan Makam 12.68 0.01
Kawasan Militer 15.55 0.01
Kawasan Parawisata 28243.74 21.40
Kawasan Pemerintahan 6.15 0.00
Kawasan Pendidikan 34.28 0.03
Kawasan Perdagangan 219.99 0.17
Kawasan Pemukiman 6203.55 4.70
Kawasan Pertanian 35226.95 26.70
Kawasan Peternakan 7.09 0.01
Kawasan Tambak 220 0.17
Kawasan Tambang 12055.64 9.14
Hutan Lindung 4490.60 3.40
Lainnya 656.06 0.50
Total 131951.15 100.00
Sumber: RTRW Kabupaten Bintan Tahun 2007-2017
Gambar 2.7 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kab. Bintan Tahun 2007-2017
40
c. Bandara Raja Haji Fisabilillah.
d. Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Geliga, dan Pelabuhan Tanjung Mocoh.
e. Terminal Sei Carang di Bintan Center.
f. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Kawasan Kota Lama dan Bintan Center.
g. Kawasan Industri Air Raja dan Dompak Darat/Seberang.
h. Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Istana Kota Piring, dan Kota Rebah.
Gambar 2.8 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Tanjungpinang s/d 2030
II.3.1.2 Demografi/Kependudukan
41
Kota Batam memiliki luas wilayah 1.038.840 km2 dengan jumlah penduduk
tersebut diatas maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kota Batam 91
orang per Km2. Wilayah dengan penduduk terpadat adalah kecamatan Lubuk Baja
yaitu mencapai 750 orang/Km2 dan wilayah yang paling kecil kepadatan
penduduknya adalah kecamatan Galang yaitu hanya 4 orang/Km2.
42
Kec. Batuaji
8.48 9.57
10.60 Kec. Batuampar
17.18
Kec. Belakangpadang
15.68 Kec. Bulang
13.48 Kec. Galang
5.25 Kec. Lubukbaja
9.03 6.20
Kec. Nongsa
Kec. Sagulung
Kec. Sekupang
1.62 1.01 1.90
Kec. Sungaibeduk
43
Gambar 2.10 Kepadatan penduduk Kota Batam (Per-Km2)
Kec. Tambelan
Gambar 2.12 Distribusi Penduduk Kabupaten Bintan (Diolah dari data BPS 2010)
Dengan luas wilayah Kabupaten Bintan sekitar 88.038,54 kilo meter persegi
(namun luas daratannya hanya 2,21 % saja, yakni 1.946,13 kilo meter persegi)
yang didiami oleh 142.382 orang maka rata-rata tingkat kepadatan Kabupaten
Bintan adalah sebanyak 73,16 orang per kilo meter persegi.
Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan per tahun selama sepuluh tahun
terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,63 %. Laju pertumbuhan penduduk
Kecamatan Teluk Sebong adalah yang tertinggi dibandingkan kecamatan lain di
Kabupaten Bintan yakni sebesar 4,27 %, sedangkan yang terendah di Kecamatan
Tambelan yakni sebesar -0,96 %.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Teluk Sebong seiring dengan
perkembangan usaha perhotelan selama kurun waktu 10 tahun. Usaha perhotelan
ini menyerap banyak tenaga kerja baik itu dari daerah Kecamatan Teluk Sebong
sendiri maupun dari luar daerah Teluk Sebong.
9.00
37.92 Kec. Tanjung Pinang
28.66 Barat
24.41
Gambar 2.15 Distribusi Penduduk Kota Tanjungpinang (Diolah dari data BPS
2010)
Wilayah Kota Batam terdiri dari 329 buah pulau besar dan kecil, yang letak satu
dengan lainnya dihubungkan dengan perairan. Pulau-pulau yang tersebar pada
umumnya merupakan sisa-sisa erosi atau pencetusan dari daratan pratersier yang
membentang dari Semenanjung Malaysia di bagian utara sampai dengan Pulau
Moro, Kundur, serta Karimun di bagian selatan.
Dilihat dari perputaran arus yang ada maka perairan di Kota Batam yang berada di
Selat Malaka ini merupakan daerah subur bagi kehidupan perikanan dan biota
lainnya. Perairan Kota Batam merupakan wilayah ekosistem perikanan Kepulauan
Riau yang dipengaruhi oleh gerakan air yang berasal dari Samudera Hindia yang
melewati Selat Malaka dan gerakan arus yang berasal dari Laut Cina Selatan.
Dalam ekosistem di wilayah Kota Batam ditemukan satwa liar yang terdiri dari 8
(delapan) jenis kelas mamalia, 16 (enam belas) heasevas dan partilia. Tipe habitat
yang digunakan satwa liar ini yaitu: pantai, mangrove, rawa/danau, ladang/kebun,
hutan sekunder dan hutan primer.
G )
ambar 2.18 Kondisi topografi Pulau Batam dalam Digital Elevation Model (DEM
Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), areal di Kota Batam berada pada ketinggian 5 -25
meter dpi, yang merupakan lahan auvial. Daerah dengan ketinggian 0–5 meter dpi
terdapat di pesisir Utara dan Selatan Pulau Batam, yang merupakan hutan
mangrove, sekitar 51% (42.406 Ha). Secara teori, lahan dengan ketinggian 25 – 100
meter dpi cocok untuk perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan hutan
lindung (kawasan konservasi). Sedangkan sekitar 32% dari luas areal di Pulau
Batam berada di ketinggian 25 – 100 meter dpi, sehingga dapat menjadi areal
perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan hutan lindung (kawasan
konservasi). Distribusi areal di Pulau Batam berdasarkan elevasi dapat dilihat pada
Tabel berikut:
Menurut laporan tersebut, apabila ditinjau dari kemiringan lahan, daerah dengan
kemiringan 0 – 3 % terdapat di pantai Teluk Senimba, Jodoh, Tering dan Pantai di
Duriangkang. Daerah ini cocok untuk perumahan, industri, pariwisata, pertanian
dan hutan konservasi. Lahan dengan kemiringan 3 – 10% tersebar di seluruh
Pulau Batam, mulai dari Bukit Dangas Pancur di Sekupang dan Tanjung Uncang
di bagian timur sampai ke Teluk Jodoh dan Duriangkang di bagian selatan. Daerah
kemiringan 10 – 20% terdapat di daerah perbukitan pantai barat sampai timur.
Daerah dengan kemiringan 20 – 40% merupakan daerah sempit terdapat di
perbukitan Dangas Pancur (dikembangkan untuk konservasi dan bisnis). Daerah
dengan kemiringan lebih dari 40% terdapat di bukit Dangas dan Pancur,
merupakan areal konservasi hutan dan hutan lindung untuk sumber daya air
(daerah tangkapan air).
Gambar 2.19 Peta Kemiringan Lahan WS Pulau Batam (diolah dari DEM Aster)
Berdasarkan kemiringan lahan tersebut di atas, serta pembentukan tanahnya
maka geomorfologi lahan di Pulau Batam dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Bapedal Kota Batam, 2006) :
a. Dataran Pantai (Marine Plain): Ketinggian sekitar 0,5 meter dpi terdapat di
pantai Pulau Batam, yang terbentuk dari batuan koral dan pasir. Sebagai
endapan dan proses erosi dan penguraian batuan koral daerah ini potensial
untuk pengembangan wisata.
b. Dataran Aluvial (Aluvial Plain): Dataran ini mempunyai kemiringan 3 – 10%.
Secara umum, 10 – 20% dari dataran tersebut berbentuk dataran sampai
bergelombang. Dataran ini merupakan tanah yang terbentuk dari sedimentasi
bahan batuan atau tanah, dan tersebar hampir di seluruh wilayah Pulau
Batam. Daerah ini potensial untuk perumahan, industri, pariwisata dan hutan
konservasi.
c. Daerah Perbukitan (Hills): Daerah ini biasanya mempunyai ketinggian di atas
25 meter sampai 100 meter dengan kemiringan 20-40%. Daerah ini terdiri dari
tanah aluvium dan kallovium yang terpadatkan. Daerah ini potensial untuk
perumahan, pertanian, industri dan kawasan konservasi.
d. Daerah Pegunungan (Mountainous): Daerah ini terdapat pada ketinggian lebih
dari 100 meter dpi dan kemiringan sekitar 40%. Daerah ini merupakan material
alluvium yang terpadatkan, dan dapat ditemui di perbukitan Dangas dan
Pancur. Daerah ini potensial untuk pengembangan hutan konservasi dan
daerah pariwisata.
Secara umum kondisi topografi Pulau Bintan berdasarkan elevasi dan bentuk
morfologinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu:
Berikut ini profil topografi Pulau Bintan arah Utara-Selatan dan Barat-Timur.
Gambar 2.21 Profil Utara-Selatan Pulau Bintan
Daerah yang memperlihatkan timbulan yang cukup mencolok antara lain adalah:
Gunung Bintan Besar (+348 m.dpl), Gunung Bintan Kecil (+ 196 m.dpl),
Gunung Kijang (+ 217 m.dpl), dan Gunung Langkuas (+ 214 m.dpl). Kondisi
Topografi daerah studi disajikan pada gambar 2.23.
ambar 2.23 Kondisi topografi Pulau Bintan dalam Digital Elevation Model (DEM)
Menurut Hamilton (1979), secara regional geologi Pulau Batam dan sekitarnya
termasuk dalam tatanan stratigrafi dan litologi berumur Palaeozoikum Atas dan
Triasik yang merupakan kelanjutan dari bagian timur Malaysia. Berdasarkan peta
geologi Pulau Batam yang dikompilasi oleh GM. Hermansyah (1983), litologi yang
terdapat di Pulau Batam adalah sebagai berikut:
Batuan tertua merupakan batuan malihan yang terdiri dari sekis, batu sabak dan
kuarsit yang berumur Permo-karbon. Batuan ini pada umumnya terdapat di pantai
timur dan barat Pulau Batam yang menyebar dari utara ke selatan. Di bagian
barat, batuan malihan ini dapat dijumpai mulai dari Teluk Senimba yang
memanjang ke arah selatan dan berakhir di sekitar daerah Pulau Gundap
sedangkan di bagian timur terdapat di kawasan pantai Pangkalan Api, Panau
sampai Kabil. Selanjutnya pada umur Pra Triasik terdapat batuan granit berbentuk
batolit yang menerobos batuan malihan tersebut di atas. Berdasarkan peta geologi
yang ada, batuan granit ini pada umumnya terungkap di bagian timur pantai utara
Pulau Batam, yaitu sekitar Nongsa, Pulau Babi dan menyebar ke selatan di sekitar
Pulau Jabi. Berdasarkan singkapan yang terdapat di sekitar Nongsa, batuan granit
ini berwarna abu-abu kemerahan, kadang-kadang abu-abu kegelapan, sangat
kompak, berstektur porpiritik dan terdiri dari mineral-mineral kuarsa, ortoklas dan
mineral hitam yang diduga horenblende. Di beberapa tempat dijumpai pula batuan
kuarsit yang seolah-olah mengisi kekar-kekar yang terjadi pada grani itu sendiri
dan batuan asing basalt berupa zenoit. Batuan kuarsit tersebut diperkirakan
sebagai proses akhir magmatis dari pembentukan terobosan granit, sedangkan
batuan basalt terjadi akibat batuan samping di sekitarnya termakan oleh proses
granitisasi. Berdasarkan kenampakan di lapangan, struktur geologi yang
berkembang pada batuan granit terdiri dari patahan dan kekar. Indikasi patahan
tersebut dibuktikan dengan dijumpainya kenampakan cermin sesar dan
perkembangan dari kekar-kekar itu sendiri. Secara umum liniasi patahan tersebut
berarah barat laut – tenggara. Selanjutnya di atas batuan granit, diendapkan
secara tidak selaras Formasi Batam Tengah yang terdiri dari batuan lempung
serpihan berwarna hitam, boklat dan merah keunguan, batu pasir lempungan yang
mengandung mineral mika, batu pasir berwarna putih dan hitam, kuarsit dan
konglomerat kuarsit. Keseluruhan batuan tersebut di atas berumur Triasik.
Geologi Pulau Batam diklasifikasikan atas alluvium, formasi Batam Tengah, granit,
kuarsa porpirite dan unti metamorfosa. Secara detail klas geologi ini adalah
sebagai berikut:
a. Alluvium. Komposisinya terdiri dari pasir, pasir berliat, liat berpasir dan pada
beberapa lokasi terdapat batu-batuan (gravel). Tanah jenis ini tersebar di
estuari sungai Beduk, Duriangkang Selatan. Tanah kelas ini cocok digunakan
untuk areal pertanian, hutan mangrove, perumahan dan industri.
b. Central Batam Formation. Komposisinya terdiri dari tanah liat hitam, tanah liat
coklat kemerahan, liat berpasir, pasir mika pasir putih, dan pasir coklat. Tanah
jenis ini tersebar hampir di semua Pulau Batam, cocok digunakan untuk
perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan areal konservasi.
c. Granit. Merupakan padatan yang terurai, tahan air, permeablirtas rendah.
Jenis ini banyak terdapat di arah timur laut dari Nongsa sampai Kabil. Areal ini
baik dikembangkan untuk industri, perumahan dan pariwisata.
d. Quartz Porphyrites. Merupakan penguraian dari batuan granit propirit, terdiri
dari khlorit, epidot, kalsit dan florit. Banyak terdapat di Batam Center (Teluk
Tering), baik digunakan untuk industri, perumahan dan pariwisata.
e. Unit Metamorfosis. Terbentuk dari batuan padat atau sedimen melalui proses
metamorfosis (perubahan bentuk), terdiri dari selists, slater dan kwarsa. Jenis
ini menyebar di arah timur dari Dangas Pancur dan Pantai Timur (Kabil) ke
Pantai Duriangkang. Baik digunakan untuk industri, perumahan, pariwisata,
pertanian dan daerah konservasi hutan.
Batuan termuda terdiri dari batu pasir, serpih dan konglomerat yang sedikit
terlipatkan. Batuan tersebut dapat dikorelasikan dengan plato batupasir di
Kalimantan, yang diperkirakan berumur Tersier Awal. Batuan berumur tersier
yang lebih tua diterobos oleh batuan granit. Daerah yang paling luas yang didasari
oleh batuan granit adalah Pulau Kundur, Pulau Karimun, Pulau Singkep dan
Pulau Bintan. Intrusi granit dalam skala kecil terdapat di Pulau Logan, Pulau
Tanjung Siau dan Pulau Rempang.
Batuan yang menyusun Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya terdiri atas
batuan sedimen dan batuan terobosan intrusive, secara berurutan dari paling
muda sampai paling tua yang tersingkap adalah (Kusnama dkk, 1994):
Tabel 2.11Hasil stuid terkait sumber daya air dalam WS Kepulauan Batam-Bintan
No Uraian / Pekerjaan
1 Studi Catchment Area dalam Rangka Konservasi SDA pada pulau Batam-Bintan
2010
2 DED Pengerukan dan Perkuatan Tebing W. Sei Pulai
3 Studi Potensi Sumber Air Alternatif di P. Bintan Kep. Riau 2009
4 Upaya Antisipasi Krisis Ketersediaan Air Di P. Batam Tahun 2014
5 Penyediaan Air Baku P. Bintam
6 Rencana Pengembangan Embung Galang Batang
7 Rencana Pembangunan DAM Busung Kab. Bintan 2009
8 Study Kondisi Waduk Sei Pulai
9 Peningkatan Pelayanan PDAM Tirta Kep. Riau
10 Penyedian Air Baku Sungai Gesek
11 Studi Penanggulangan Banjir Pulau Batam
12 Upaya Pengendalian Banjir di WS Kep. Batam-Bintan
13 Studi Pengendalian Banjir Batam Center
14 Data DAS, Sungai & Danau P. Bintan Th 2010
15 Data-Data Teknis Bendung di Baelang
16 Data-Data Prasarana Sumber Daya Air
17 Data Prasarana SDA Yang Dibangun Oleh BWSS4
18 SID Bendung Dan Jaringan Irigasi D.I Kandui
19 Perencanaan Penyediaan Air Baku Galang Batang P. Bintan
20 Studi Kelayakan Pembangunan Estuasi DAM di P. Bintan
21 Studi Kelayakan Pembangunan Pengaman Pantai P. Batu Berhanti & P. Pelampong
22 Studi Kelayakan Pembangunan Pengaman Pantai P. Nongsa. P. Mapur & P. Sentot
23 Studi Kondisi & Inventarisasi Pantai dan Muara pd P. Batam-Bintan
24 Studi Kondisi & Inventarisasi Sungai, Danau dan Prasarananya pd P. Batam-Bintan
25 Penyusunan DED Pengaman Pantai Senggarang Kota Tj. Pinang
26 Studi Rasionalisasi Sistem Hidrologi di Kep. Riau
27 Studi & Perenc. Detail Terpadu Pengendalian Banjir Sungai Banyuasin Bomberlian
28 Rancangan Pola Pengelolaan SDA WS Kep. Batam-Bintan
a. Batam
Data iklim didapat dari stasiun Meteorologi terdekat yaitu Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Hang Nadim Kota Batam. Data yang diperlukan dalam studi ini
adalah data klimatologi merupakan data analisis statistik yaitu:
a. Data Presipitasi
b. Data Penyinaran Matahari
c. Kelembaban Udara
d. Temperatur Udara
Data meteorologi telah diukur dan direkam dalam berbagai satuan. Semua data
telah dikonversikan kedalam satuan metric untuk pelapoaran ini. Tabel...
menyajikan parameter yang diukur dan satuan yang terekam.
Tabel 2.12 Daftar Parameter dan Satuannya
Parameter Satuan Unit laporan
Kecepatan anqin(m/s) Mile per jam (knots) Meters per second
Temperatur udara Derajat celsius (°C) Derajat celsius (°C)
Kelembapa Udara % udara %
Tekanan Atmosfir Millibar (mbars) Millibar (mbars).
Curah hujan Millimeter (mm) Millimeter (mm)
Lama penyinaran matahari % %
Sumber: Stasiun Meteorologi Hang Nadim, Batam
Data curah hujan yang didapat dari stasiun BMG Hang Nadim tahun 1999–2009
menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember tahun
2006 yakni sebesar 989.5 mm, sedangkan curah hujan minimum terjadi pada
bulan Januari 2009 yaitu 11.80 mm. Grafik tinggi hujan tahunan rata-rata Pos
Hidroklimatologi Hang Nadim disajikan pada Gambar 2.25..
Gambar 2.26 Curah Hujan Rerata Bulanan Stasiun BMG Hang Nadim
Curah Hujan Rerata Pos Hidroklimatologi Hang Nadim
(Tahun 1999 - 2009)
300
250
150
100
50
0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gambar 2.27 Curah Hujan Rerata Tahunan Stasiun BMG Hang Nadim
70
60
Lama Penyinaran (%)
50
40
30
20
10
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
Kelembaban udara adalah rasio antara kandungan air dalam udara dengan jumlah
kandungan air tersebut yang dapat diterima pada temperatur yang sama. Satuan
dari kelembaban udara adalah %. Kelembaban udara relatif bervariasi antara
penyinaran matahari yang maksimum dan minimun pada sore hari. Variasi
kelembaban udara relatif mengikuti variasi temperatur.
Data kelembaban udara relative dari BMG Hang Nadim tahun 1999 sampai 2009
dengan tiga waktu pengamatan yaitu pukul 07.00, 13.00 dan 18.00. Gambaran
kelembaban udara maksimum dan minimum stasiun Klimatologi Hang Nadim
Batam disajikan pada Gambar 2.28.
Kelembaban Udara Stasiun BMG Hang Nadim
(Tahun 1999 - 2009)
100
95
90
85
Kelembaban Udara (%)
80
75
70
65
60
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
Kelembaban Max
Data temperatur udara bulanan, berdasarkan data temperatur udara dari tahun
1999-2009 disajikan pada Gambar 2.29.
22
20
18
16
14
12
10
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
Max Min
b. Bintan
Data iklim didapat dari stasiun Meteorologi Tanjung Pinang yang berada di
Tanjung Pinang timur pada koordinat 00055'07" LU-104031'48" BT.
b.1. Data Presipitasi
Data curah hujan tahun 1995–2009 menunjukkan bahwa curah hujan rerata
bulanan maksimum terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 410.1 mm,
sedangkan curah hujan rerata bulanan minimum terjadi pada bulan Februari yaitu
142.7 mm. Grafik curah hujan rerata bulanan Stasiun Tanjungpinang disajikan
pada Gambar 2.30.
Curah Hujan Rerata Bulanan Stasiun Tanjungpinang
(Tahun 1995- 2009)
450
400
Tinggi Hujan (mm)
350
300
250
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
50
40
Lama Penyinaran (%)
30
20
10
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
86
Kelembapan Udara (%)
84
82
80
78
76
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des
Data temperatur udara bulanan, berdasarkan data temperatur udara dari tahun
2005-2009 disajikan pada Gambar 2.33.
Batam
Banyak sungai yang ada di Pulau Batam mempunyai penampang kecil dan pada
saat musim kemarau debitnya mengecil atau bahkan sampai dengan nol atau
mengering. Hal ini membuat stakeholders dan penduduk setempat menyebutnya
parit, bukan sungai. Oleh sebab itu, hal tersebut merupakan kesulitan tersendiri
bagi konsultan untuk mengetahui informasi mengenai sungai dari penduduk di
sekitar lokasi sungai. Beberapa sungai juga masuk dalam wewenang perusahaan
yang terdekat dengan lokasi sungai, sehingga penelusuran tidak sampai masuk ke
wilayah tersebut.
Kebutuhan air bersih di Pulau Batam dipenuhi dengan adanya enam waduk seperti
terlihat pada tabel di bawah ini. Kapasitas waduk pada tahun 2010 mencapai
2.855 liter/detik. Hal ini menunjukkan kenaikan kapasitas produksi waduk dari
tahun 2006 sampai tahun 2010.
Dari data sekunder yang dikumpulkan, dapat diketahui beberapa sungai dan
waduk yang ada di Pulau Batam beserta lokasinya masing-masing yang antara lain
adalah sebagai berikut:
Data pada tahun 2010 jumlah air baku keseluruhan yang tersimpan di enam
waduk/dam yaitu sebanyak 104.980.000 m3 dengan kapasitas produksi 2.855
liter/detik atau 7.400.160.000 liter/bulan (7.400.160 m3/bulan atau 246.672
m3/hari). Pengolahan air bersih di Pulau Batam dilakukan oleh PT. Adhya Tirta
Batam. Data dari PT. Adhya Tirta Batam menginformasikan bahwa jumlah
pelanggan air bersih pada tahun 2010 adalah 175.000 pelanggan. Waduk yang ada
di Pulau Batam ini saling terkait dalam mensuplai air bersih bagi para pelanggan.
Oleh karena itu apabila salah satu waduk tidak berfungsi/mengalami gangguan
maka dapat disuplai dari waduk yang lain. Hal ini bertujuan supaya semua
pelanggan di Pulau Batam dapat terpenuhi kebutuhan air bersihnya dengan
merata.
b. Bintan
Berdasarkan hasil studi Identifikasi Potensi Sumber Daya Air di Pulau Bintan,
Wilayah Sungai di Pulau Bintan mempunyai 26 buah DAS besar seperti terlihat
pada gambar di bawah ini. Dari ke 26 DAS tersebut, DAS terbesar adalah DAS
Engkang Anculai dengan luas 80,09 km2, dan terkecil adalah DAS Beloking
dengan luas 2,79 km2.
Perbedaan ketinggian di Pulau Bintan berkisar antara 0 – 214 m di atas muka laut,
yang membentuk relief bergelombang penonjolan puncak-puncak bukit antara lain
Gunung Kijang dan Gunung Lengkuas. Bukit-bukit tersebut merupakan hulu-hulu
sungai yang mengalir ke segala arah. Pola penyaluran sungai pada dasarnya terdiri
dari kombinasi pola penyaluran subparalel dan subradier yang mengalir dari mata
air yang berada di daerah perbukitan bergelombang terjal yang membentang dari
barat ke timur. Beberapa sungai di Pulau Bintan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan air penduduk antara lain Sungai Gesek, Sungai Sumpat,
Sungai Pegudang, Sungai Kawal, Sungai Galang Tua, dan Sungai Pulai yang
dibendung untuk memenuhi kebutuhan air bersih PDAM.
Untuk memenuhi kebutuhan air baku yang ada di Pulau Bintan terdapat beberapa
waduk yang sudah dimanfaatkan, antara lain DAM Sungai Pulai, Waduk Dam
Sungai Jago, dan Waduk Lagoi. Pengolahan air bersih di pulau ini dilakukan oleh
PDAM Tirta Kepri. Kebutuhan air bersih di Kabupaten Bintan disuplai dari Waduk
Sungai Lepan dengan debit 174 liter/detik dan Waduk Sekuning, sedangkan di
Kota Tanjung Pinang berada di Sungai Pulai. Sejauh ini PDAM Tirta Kepri melayani
kebutuhan air bersih dengan skala pelayanan seluruh Pulau Bintan dengan
sumber air baku dari Waduk Sei Pulai, Kolong Enam dan Dam Sei Jago.
Air waduk di pulau ini berasal dari tampungan air hujan yang ada di kawasan
lindung di sekitar lokasi waduk. Adanya keterbatasan sumber air di Pulau Bintan
menuntut perlunya dicari alternatif lokasi yang dapat dijadikan catchment waduk
guna menampung buangan air hujan dengan kapasitas yang cukup besar.
Hasil penelusuran lapangan di Pulau Batam dan Pulau Bintan, sungai di kedua
tempat tersebut mempunyai ciri fisik yang berbeda. Untuk fisik sungai yang ada di
Pulau Batam mempunyai lebar yang relatif kecil, dangkal dan debitnya tidak
menentu. Pada waktu hujan debit air sangat melimpah, tetapi setelah hujan
berhenti debit langsung menurun dengan cepat, seakan-akan tidak ada air yang
tertahan di dalam tanah, sebagian besar menjadi run-off. Sedangkan di Pulau
Bintan dengan debit yang lebih teratur sepanjang tahun karena air hujan dapat
ditampung oleh sungai yang mempunyai penampang relatif lebar dibanding sungai
yang ada di Pulau Batam.
a. Batam
Menurut Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), secara umum daerah aliran sungai (DAS) yang
terdapat di Pulau Batam memperlihatkan pola aliran subdendritik. Selain itu
dijumpai pula aliran yang memperlihatkan pola subrektangular dan subparalel
dengan arah aliran relatif tegak lurus dengan garis pantai. Sungai-sungai tersebut
umumnya pendek-pendek dan dangkal, serta sebagian besar telah dimanfaatkan
untuk sumber air minum.
Berdasarkan laporan tersebut, didapatkan jenis sumber air tanah yang ada di Kota
Batam adalah sebagai berikut:
Sumber air tanah bebas didapatkan dengan memanfaatkan air tanah bebas
dengan cara pembuatan sumur gali. Muka air tanah umumnya dangkal
sehingga memudahkan disadap dengan teknik yang paling sederhana. Daerah-
daerah tersebut antara lain Dataran Bagan (Duriangkang), yang terletak antara
Tanjung Piayu dan Tanjung Kasam.
b. Bintan
Di Pulau Bintan tidak terdapat potensi Cekungan Air Tanah (CAT) menurut Peta
CAT yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.
a. Batam
Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), diperkirakan pola arus perairan Pulau Batam sangat
dipengaruhi oleh pola pasang surut (pasut) setempat, dengan melihat keadaan
geografis Pulau Batam. Pola arus perairan ini sendiri ditentukan oleh pola pasut
yang diteumui di perairan yang lebih luas (Pariwono, 1985), dalam hal ini Selat
Malaka di sebelah utara dan Laut Cina Selatan di sebelah timur. Dengan demikian
apabila di Selat Malaka sedang mengalami air pasang, maka air pasang ini akan
merambat ke selatan memasuki perairan Pulau Batam. Dengan demikian, arah
arus di sekitar perairan Pulau Batam akan mengarah ke selatan. Sebaliknya
apabila Selat Malaka sedang surut, maka arus di perairan Bintan dan sekitarnya
akan menuju utara.
Pasut di perairan Barat Bintan (Pulau Karimun Besar) bertipe campuran dengan
tipe ganda yang menonjol. Hal ini dapat dilihat dari bilangan Formzahl di stasiun
Pasir Panjang (Karimun Besar) yang bernilai 0.38. Perairan di sebelah barat laut
(terletak di Selat Malaka) juga bertipe campuran dengan tipe ganda yang menonjol,
seperti yang ditunjukkan oleh stasiun di Dumai dan Bengkalis.Sedangkan bilangan
formzahi di stasiun Batu Ampar adalah 0.50.
Pasang purnama adalah pasang tertinggi dari suatu perairan dan terjadi pada saat
bulan purnama atau bulan mati, sedangkan pasang perbani kisaran pasutnya
paling rendah dan terjadi pada waktu bulan seperempat dan tiga perempat. Di
Pulau Batam, kondisi pasang purnama dan pasang perbani pada saat matahari
berada di belahan bumi utara (bulan Juni), dan di belahan bumi selatan (bulan
Desember). Apabila membandingkan keadaan pasut pada kedua waktu tersebut,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kisaran pasut di perairan Pulau
Batam pada saat purnama antara saat kedudukan matahari berada di belahan
bumi utara dan ketika matahari berada di belahan bumi selatan. Keadaan ini
hanya berlaku untuk pasang purnama, dimana kisarannya didapati mencapai 3.1.
Berbeda dengan pasang perbani.
Pada saat pasang perbani dan matahari berada di belahan bumi utara, kisaran
pasut pada waktu pasang mencapai 1,8 meter. Akan tetapi ketika matahari berada
di belahan bumi selatan, kisaran pasutnya hanya mencapai 1,2 meter. Dari data
unsur-unsur pasut di suatu stasiun dapat diperkirakan kisaran perubahan tinggi
muka laut (sea level) di perairan tersebut. Untuk melihat nilai perubahan tinggi
muka laut maksimum atau minimum ataupun tinggi rerata di perairan sekitar
Pulau Batam diperlihatkan pada tabel berikut:
Besaran kisaran perubahan tinggi muka air laut (pasang surut) di Pantai Utara
Pulau Bintan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.14 Kisaran Tinggi Muka Air Laut di Pantai Utara Pulau Bintan
Kondisi Notasi Tinggi (m.MSL)
Tinggi Muka Air Pasang Tertinggi HHWL +2.390
Tinggi Muka Air Pasang Rata-rata MHWL +1.890
Tinggi Rata-rata Muka Air Laut MSL +0.000
Tinggi Muka Air Surut Rata-rata MLWL -1.890
Tinggi Muka Air Surut Terendah LLWL -1.390
Sumber: Data Dishidros-AL tahun 1999
a. Batam
Menurut Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006,
kerusakan ekosistem hutan telah memberikan kontribusi yang cukup besar
sehingga membawa dampak yang besar pula, walaupun merupakan satu-satunya
faktor. Kehilangan tutupan hutan berpotensi mengganggu siklus hidrologis yang
pada gilirannya membuat pasokan dan perilaku air menjadi tidak menentu. Hal ini
tercermin dari air melimpah pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir serta
kelangkaan air di musim kemarau.
Ketersediaan air untuk konsumsi juga berkurang akibat pencemaran oleh industri,
rumah tanggal dan pertanian. Berbagai jenis industri berat, menengah dan kecil
masih membuang limbah industri tanpa diolah terlebih dahulu. Setelah dilakukan
pengamatan tersebut, dapat dilihat beberapa parameter penting yang diuji kualitas
air bersih ini yaitu warna, kekeruhan, senyawa organik (amonia, nitrate,
kesadahan dan sulfat, chlorida), senyawa anorganik (logam), serta keberadaan
bakteri E.Coli dan Coliform.
Berdasarkan hasil analisa fisika dan analisa kimia dari pengamatan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum kondisi kualitas air bersih di WS
Batam telah mengalami pencemaran yang mengakibatkan degradasi/penurunan
kualitas air bersih. Hal ini bisa dilihat dari parameter warna dan kekeruhan yang
terindentifikasi di atas baku mutu. Dengan demikian konsumsi air bersih yang
tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu oleh perusahaan pengolah air
bersih dapat membahayakan kesehatan manusia.
Banyaknya kegiatan perumahan bakan kegiatan rumah sakit yang disinyalir belum
memiliki instalasi pengolahan air bersih (IPAL), membuang limbah domestik,
limbah medis serta limbah MCK tanpa diolah terlebih dahulu dapat dikatakan
sebagai penyebab tingginya kandungan bakteri E. Colli dan Collyform di beberapa
waduk/dam pada WS Batam, khususnya pada Dam Duriangkang, Dam
Mukakuning, Dam Baloi, Dam RS. Otorita Batam, dan Dam Sei Ladi. Hasil
pengamatan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Hasil Pengamatan Kualitas Air di WS Batam
L o k a s i P e n ga m a t an
Standar Dam Dam
Parameter Unit Dam Dam Dam Sei
Max Duriangkan Mukakunin
Baloi Rsob Ladi
g g
Color Pt-Co
5 8 8 14 4 5
Scale
Dissolved Solid rncl/L 63 65 10 120 22 63
Taste Tasteles
Tasteless Tasteless Tasteless Tasteless Tasteless
s
Turbidity FTU 2 3 4 10 2 2
Temperature °C 26.5 26.5 26.6 26.4 26.7 26.5
Odor Odorless Odorless Odorless Odorless Odorless Odorless
Mercury (Hq) mq/L < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001
Arsenic (As) mq/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Iron (Fe) Total (Fe) mq/L 0.65 0.06 0.02 0.21 0.85 0.65
Flouride (F) mq/L 0.26 0.38 0.4 0.42 0.9 0.26
Cadmium (Cd) mq/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Total Hardness mq/L
110.12 6.65 1.78 12.72 118.6 110.12
CaCO3
Chloride (CI) mq/L 25.32 20.35 8.65 21.22 72.36 25.32
Chrom Hexavalent mq/L
< 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006
(Cr6+)
Manganese (Mn) mq/L 0.25 < 0.02 < 0.02 0.07 < 0.02 0.25
Nitrate (NO3) mq/L 0.47 < 0.11 < 0.11 0.62 0.66 0.47
Nitrite (NO2) mq/L 0.07 < 0.03 < 0.03 0.1 0.24 0.07
pH 6.75 6.65 6.52 6.6 6.68 6.75
Selenium (Se) mq/L < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007
Zinc (Zn) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 0.42 < 0.01 < 0.01
Cyanide (CN) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01
Sulfate (304) mq/L 2.72 10.3 14.35 5.88 12.36 2.72
Lead (Pb) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01
Surfactant Anionic mq/L
< 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05
as MBAS
Organic Matter by mq/L
1.95 2.18 2.24 4.2 1.68 1.95
KMNO4
Coliform Total MPN/100 3 2 3 22 2 3
ml
Standar Baku Mutu Kelas I PP No. 82/2001 (Sumber : Bapedal Kota Batam)
b. Bintan
Pengambilan sampel air diambil dari beberapa tempat yang dinilai ada potensi
untuk dimanfaatkan sebagai air baku. Lokasi pengambilan sempel tersebut
antara lain di Waduk Sei Pulai, Kolong Kalang Batang, Kolong S.Jago -Jeram, S.
Jeram, Mata air di sungai Bintan, dan S.Kangboi, tetapi sampel air yang akan
diuji, antara lain : (1). Kolong S.Jago-Jeram, (2). Sungai Engkang, (3). Sungai
Jeram Hulu, (4). Kolong Kalang Batang, dan (5). Sungai Kangboi Hulu, sedangkan
untuk sampel air Waduk Sei Jago Hulu, Waduk Sei Pulai, tidak akan diuji karena
sudah dimanfaatkan oleh PT. PDAM Tirta Janggi dan mata air Gn. Bintan tidak
akan diuji karena dianggap masih belum terkontaminasi. Gambar 2.34
menyajikan lokasi pengambilan sampel air di beberapa sungai di Pulau Bintan.
Gambar 2.35 Lokasi Pengambilan Sampel Air
74
I.Physical Properties
1 Temperature °C deviasi 28.1
expansion
3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 24.6 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 20.6 Spectrophotometric
II.Chemycal properties
1 pH pH 6-9 7,52 Electrometri
2 Biochemical Oxygen mg/L 2 3 Incubation
75
Class
No. PARAMETER UNIT I RESULT METHOD
Demand,BOD
3 Chemycal Oxygen demand,COD mg/L 10 20 Titrimetri
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 5 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.001 Spectrophotometric
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.07 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 <0.001
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 0.002 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 <0.001 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.021 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.052 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.00048 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 0.001 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 2.5 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.06 0.0291 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 400 0.01 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 430 5.3 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)
2) Kualitas Air di Sungai Engkang Hulu
Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S.Engkang Hulu sudah terpolusi namun
masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.
75
No. PARAMETER UNIT I
RESULT METHOD
I. Physical Properties
Temperature °C deviasi 27.5
1 expansion
3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 8 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 228 Spectrophotometric
II. Chemycal properties
1 pH pH 6-9 6.15 Electrometri
Biochemical Oxygen mg/L 2 2 Incubation
2
Demand,BOD
Chemycal Oxygen mg/L 10 12 Titrimetri
3
demand,COD
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 5 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.001 Spectrophotometric
76
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.51 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 0.001 Spectrophotometric
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 0.0014 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 <0.001 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.021 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 <0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.022 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.0001 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 <0.001 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 4.8 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 0.005 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.05 0.0309 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 0.06 0.004 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 400 35 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometri
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)
Dapat disimpulkan kualitas air Kolong Kalang Batang sudah terpolusi namun
masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, dan industri .
Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S. Kangboi sudah terpolusi namun masih
dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.
Batam
78
Pada saat ini bangunan air penting yang ada di WS Batam ada di 6 buah waduk
yang tersebar, yaitu Waduk Baloi, Waduk Sei Ladi, Waduk Sei Harapan, Waduk
Nongsa, Waduk Duriangkang dan Waduk Muka Kuning. Bangunan tersebut
tampak dalam gambar di bawah ini:
79
Gambar 2.37 Mapping Waduk & Danau
b. Bintan
Bangunan air yang ada di Pulau Bintan ditemukan di lokasi kolong yang sudah
dimanfaatkan baik oleh PDAM maupun oleh masyarakat. Pada saat survey ada
pembangunan reservoir disertai dengan saringan kasar di daerah Kuala Sempang
Kecamatan Teluk Bintan. Menurut informasi dari masyarakat setempat,
pembangunan reservoir tersebut didanai oleh Pemda.
80
(c). PDAM Tirta Tanggi unit Kijang (d). PDAM Tirta Janggi Unit Tj. Pinang
Gambar 2.38 Kondisi Bangunan Air Eksisting
Air bersih adalah air yang diperlukan untuk rumah tangga, biasanya diperoleh
secara individu dari sumber air yang dibuat oleh masing masing rumah tangga
berupa sumur dangkal, atau dapat diperoleh dari layanan PT. ATB. Dalam DAS
Batam akan diperhitungkan kebutuhan air bersih rumah tangga yang berasal dari
PT. ATB dengan sumber air baku dapat berasal dari air sungai, mata air, danau,
sumur dalam atau kombinasinya.
Kebutuhan air bersih rumah tangga, dinyatakan dalam satuan Liter/Orang/ Hari
(L/O/H), besar kebutuhan tergantung dari kategori kota berdasarkan jumlah
penduduk dapat dilihat pada Tabel.2.25, yaitu :
Tabel 2.25. Kebutuhan Air Bersih Rumah Tangga per Orang Per Hari Menurut
Kategori Kota
81
Jumlah Penduduk Kebutuhan Air Bersih
No Kategori Kota (Jiwa) (L/O/H)
1 Semi Urban (Ibu Kota Kecamatan/Desa) 3.000 – 20.000 60 – 90
2 Kota Kecil 20.000 – 100.000 90 – 110
82
3 Kota Sedang 100.000 – 500.000 100- 125
4 Kota Besar 500.000 – 1.000.000 120 – 150
5 Metropolitan > 1.000.000 150 – 200
Sumber: Dirjen Cipta Karya,DPU,2006,”Unit Pelayanan”, Materi Pelatihan Penyegaran SDM Sektor Air Minum(Peningkatan Kemampuan
Staf Profesional Penyelenggara SPAM
a. Batam
Tabel 2.25. Kebutuhan Air Domestik Pulau Batam
Kabupaten/Kota Kecamatan Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt)
2013 2020 2030
Batam Belakang Padang 0.093 0.158 0.280
Bulang 0.045 0.077 0.136
Galang 0.076 0.128 0.227
Sei Beduk 0.415 0.704 1.246
Nongsa 0.191 0.324 0.573
Sekupang 0.457 0.774 1.370
Lubuk Baja 0.371 0.630 1.114
Batu Ampar 0.349 0.592 1.047
Bengkong 0.374 0.634 1.122
Batam Kota 0.462 0.783 1.386
Sagulung 0.543 0.920 1.628
Batu Aji 0.388 0.658 1.165
TOTAL 3.764 6.383 11.294
b. Bintan
Tabel 2.26. Kebutuhan Air Domestik Pulau Bintam
82
Kabupaten Kecamatan Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt)
/Kota 2013 2020 2030
Tanjungpin Bukit Bestari 0.20 0.31 0.55
ang Tanjungpinang Timur 0.25 0.39 0.69
Tanjungpinang Kota 0.06 0.10 0.18
Tanjungpinang Barat 0.17 0.27 0.48
Bintan Teluk Bintan 0.03 0.05 0.09
Seri Kuala Lobam 0.06 0.10 0.17
Bintan Utara 0.08 0.12 0.21
Teluk Sebong 0.04 0.07 0.11
Bintan Timur 0.13 0.21 0.37
Bintan Pesisir 0.03 0.05 0.08
Mantang 0.01 0.02 0.04
Gunung Kijang 0.03 0.05 0.09
Toapaya 0.03 0.04 0.08
Tambelan 0.02 0.03 0.05
TOTAL 1.15 1.81 3.18
Kebutuhan air untuk industri sangat kompleks, biasanya sesuai dengan klasifikasi
jenis dan ukuran industrinya, namun korelasi antara jenis dan ukuran industri
dengan kebutuhan air tersebut kurang nyata. Air yang digunakan setiap pabrik
berbeda untuk masing masing jenisnya (pabrik tekstil berbeda dengan pabrik
elektronik), selain itu tergantung pula pada ukuran pabrik, teknologi yang
dipergunakan (umumnya yang lebih modern akan lebih efisien dalam penggunaan
air), bahkan untuk setiap produk yang dikerjakan pada setiap saat. Sehingga, akan
sulit menentukan perkirakan kebutuhan air untuk industri secara lebih akurat.
Banyak pabrik mengambil air dari sumur PT. ATB. Besar kebutuhan air bersih
industri diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk terhadap kebutuhan per
pekerja dan rata rata pelayanan, yaitu :
83
KAI= %Px AP x RL
Dimana :
AP = Kebutuhan air industri per tenaga kerja, pada tahap awal diperhitungkan
sebesar 500 L/O/H, terjadi peningkatan sebesar 1 % setiap tahun,
sehingga ada kenaikan pada tahap perencanaan tahun 2010 menjadi
sebesar 515 L/O/H; tahun 2015 menjadi sebesar 541 L/O/H; tahun 2020
menjadi sebesar 569 L/O/H dan tahun 2025 menjadi sebesar 598 L/O/H.
Selain itu kebutuhan air industri diperhitungkan pula untuk kehilangan air yang
terdiri dari : (1). Kehilangan dalam proses sebesar 6 %; (2). Kehilangan air tidak
terhitung yaitu sebesar 25 %.
a. Batam
83
No. Kabupaten/Kota 2010 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Batam 0,0043 0,0046 0,0061 0,0046 0,0091 0,0052
Total Pulau Batam 0,0043 0,0046 0,0061 0,0046 0,0091 0,0052
b. Bintan
84
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Tanjungpinang 0.0002 0,0613 0,0663 0,0713 0,0762 0,0812
2 Bintan 0.0003 0,0649 0,0701 0,0754 0,0806 0,0858
Total 0.0005 0,1262 0,1364 0,1466 0,1568 0,1670
Kebutuhan Air Perkotaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan air komersial dan
sosial. Pada umumnya hampir semua pelayanan PT. ATB antara 15% sampai
dengan 35% dari total air perpipaan untuk kebutuhan air komersial dan sosial
seperti: toko, gudang, bengkel, sekolah, rumah sakit, hotel dsb. Makin besar dan
padat penduduk, daerah komersial dan sosial cenderung lebih banyak, sehingga
kebutuhan untuk air komersial dan sosial akan lebih tinggi jika penduduk makin
banyak.
a. Batam
84
No Kota/Kabupaten Kecamatan 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Kota Batam Belakang Padang 0,0075 0,0075 0,0076 0,0078 0,0079 0,0081
Bulang 0,0028 0,0029 0,0029 0,0030 0,0030 0,0031
Galang 0,0060 0,0061 0,0062 0,0063 0,0064 0,0065
Sei Beduk 0,0454 0,0458 0,0466 0,0474 0,0483 0,0492
Nongsa 0,0152 0,0153 0,0156 0,0159 0,0162 0,0165
Sekupang 0,0500 0,0503 0,0512 0,0522 0,0531 0,0541
Lubuk Baja 0,0296 0,0298 0,0304 0,0309 0,0315 0,0321
Batu Ampar 0,0334 0,0336 0,0343 0,0349 0,0355 0,0362
Bengkong 0,0358 0,0361 0,0367 0,0374 0,0381 0,0388
Batam Kota 0,0505 0,0509 0,0518 0,0528 0,0537 0,0547
Sagulung 0,0594 0,0598 0,0609 0,0620 0,0631 0,0643
Batu Aji 0,0425 0,0428 0,0436 0,0443 0,0452 0,0460
Jumlah 0,3782 0,3809 0,3879 0,3949 0,4020 0,4093
Total Pulau Batam 0,3782 0,3809 0,3879 0,3949 0,4020 0,4093
b. Bintan
85
Mantang 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009
Gunung Kijang 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022
Toapaya 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018
Tambelan 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012
Jumlah 0,0341 0,0342 0,0342 0,0342 0,0342 0,0343
Total Pulau Bintan 0,0900 0,0900 0,0901 0,0902 0,0903 0,0904
Batam
b. Bintan
85
Tabel 2.38. Kebutuhan Air Pendidikan Pulau Bintan
No. Kabupaten/Kota Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Pendidikan (m3/detik)
2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Tanjungpinang 0.0008 0,0009 0,0010 0,0013 0,0016 0,0020
2 Bintan 0.0079 0,0082 0,0082 0,0098 0,0108 0,0120
Total Pulau Bintan 0.0087 0,0091 0,0099 0,0111 0,0124 0,0140
Batam
b. Bintan
II.3.4 Ketersediaan
Air yang tersedia pada suatu lokasi tidak pernah tetap jumlahnya melainkan selalu
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Untuk dapat menyatakan ketersediaan air
secara sempurna maka data debit aliran haruslah bersifat runtut waktu (time
series). Data runtut waktu inilah yang menjadi masukan utama dalam model
simulasi wilayah sungai, dan menggambarkan secara lengkap variabilitas data
debit aliran.
Jika kita akan menyatakan ketersediaan air dengan menggunakan sebuah angka,
maka angka tersebut adalah rata-rata data debit yang ada. Cara ini tidak memberi
86
informasi mengenai variabilitas data. Menyajikan data sebagai 12 angka yang
menyatakan rata-rata bulanan lebih memberikan informasi mengenai variabilitas
data dalam setahun, akan tetapi belum memberi informasi mengenai berapa debit
yang dapat diandalkan. Angka yang menunjukkan variabilitas ketersediaan air
sekaligus menunjukkan seberapa besar debit yang dapat diandalkan adalah debit
andalan.
Debit andalan
Debit andalan adalah debit yang dapat diandalkan untuk suatu reliabilitas
tertentu. Untuk keperluan irigasi biasa digunakan debit andalan dengan reliabilitas
80%. Artinya dengan kemungkinan 80% debit yang terjadi adalah lebih besar atau
sama dengan debit tersebut, atau sistem irigasi boleh gagal sekali dalam lima
tahun. Untuk keperluan air minum dan industri maka dituntut reliabilitas yang
lebih tinggi, yaitu sekitar 90% sampai dengan 95%. Jika air sungai ini digunakan
untuk pembangkitan listrik tenaga air maka diperlukan reliabilitas yang sangat
tinggi, yaitu antara 95% sampai dengan 99%.
Nilai debit rata-rata, maupun debit andalan sebaiknya dihitung dari data debit
pengamatan yang cukup panjang. Permasalahan yang kerapkali terjadi adalah
bahwa data debit yang diukur tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali.
Permasalahan lain yaitu banyak pengamatan yang kosong atau salah. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis hujan-aliran untuk
melengkapi data debit yang kosong dan memperpanjang data debit runtut waktu
yang kurang panjang.
Potensi air permukaan biasanya ditunjukan dengan debit andalan 80% dengan
periode waktu setengah bulanan yang dianalisis dengan analisis frekuensi
menggunakan persamaan empiris.
Pada kondisi ketersediaan data debit sedikit, maka perlu dicari korelasi hubungan
antara hujan dengan aliran; salah satu metode hujan – aliran yang dapat
digunakan adalah Model Mock.
a. Batam
87
200
180
KETERSEDIAAN WS BATAM
160
140
120
100
80
Debit (m3/s)
60
40
20
0
Jan-1 Jan-2 Feb-1 Feb-2 Mar-1 Mar-2 Apr-1 Apr-2 Mei-1 Mei-2 Jun-1 Jun-2 Jul-1 Jul-2 Ags-1 Ags-2 Sep-1 Sep-2 Okt-1 Okt-2 Nov-1 Nov-2 Des-1 Des-2
Qrerata 34.92 32.76 4.175 6.552 6.298 5.905 3.008 6.416 4.540 5.011 5.608 5.614 6.995 8.145 4.583 5.040 5.400 5.413 15.18 14.29 20.18 42.92 42.24
19.63
Qand 50% 19.63 18.42 2.848 3.283 2.775 2.599 2.769 3.614 4.136 4.113 4.038 4.043 5.292 6.535 3.239 4.829 3.233 3.271 18.97 17.83 18.13 31.17 29.25
18.12
Qand 80% 3.295 3.086 1.559 1.797 1.556 1.458 2.240 2.319 2.317 2.170 2.312 2.310 2.573 2.432 1.802 2.176 2.481 2.479 2.972 2.784 5.158 8.376 7.855
2.966
Qmin 1.180 1.105 1.177 1.357 1.175 1.100 1.173 1.171 1.170 1.096 1.168 1.167 1.166 1.092 1.163 1.413 2.239 2.237 2.234 2.093 2.230 2.794 2.792 2.615
Qmax 102.7 96.39 13.03 34.13 43.45 40.77 5.552 15.87 16.28 15.30 19.74 19.78 19.36 23.06 10.63 9.982 14.18 14.21 28.92 27.19 42.84 42.87 148.3 160.8
b. Bintan
400
250
200
Q (m 3/det)
150
100
50
0
Jan-1 Jan-2 Feb-1 Feb-2 Mar-1 Mar-2 Apr-1 Apr-2 Mei-1 Mei-2 Jun-1 Jun-2 Jul-1 Jul-2 Ags-1 Ags-2 Sep-1 Sep-2 Okt-1 Okt-2 Nov-1 Nov-2 Des-1 Des-2
Qrerata 59.95 39.79 8.424 5.024 8.666 15.20 4.782 24.81 19.29 15.96 10.46 21.35 16.59 15.06 7.377 20.22 5.825 20.86 29.76 28.13 51.56 73.01 40.73 105.2
Qand 50% 19.91 0.170 0.146 0.114 0.099 0.137 0.146 18.69 18.37 13.04 8.558 23.53 6.860 15.50 0.139 11.58 0.165 25.64 22.57 32.12 55.49 87.54 32.71 80.42
Qand 80% 0.071 0.066 0.066 0.052 0.045 0.049 0.069 0.322 4.703 2.711 0.152 7.686 0.108 0.385 0.071 0.093 0.071 0.671 0.133 10.39 14.80 22.75 0.157 42.14
Qmin 0.017 0.016 0.044 0.020 0.017 0.028 0.030 0.044 0.063 0.107 0.101 0.101 0.079 0.034 0.036 0.023 0.025 0.039 0.047 0.044 1.819 0.061 0.029 0.041
Qmax 228.2 136.7 80.09 56.43 78.38 106.0 34.21 64.23 41.36 40.37 34.88 44.86 49.72 37.16 42.11 78.81 37.91 49.53 76.95 52.36 98.26 137.0 184.4 384.1
Pada saat ini penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten Bintan dan Lingga
berasal dari berbagai suku bangsa, kebudayaan dan golongan sosial. Suku yang
cukup banyak terdapat di Pulau Batam dan Bintan adalah masyarakat yang
berasal dari suku Jawa, China, Batak, Bugis, Minangkabau, dan suku lainnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki heterogenitas suku bangsa
yang secara langsung akan merupakan suatu penggerak dan atau sebaliknya dapat
menghambat jalannya proses pembangunan.
88
Penambangan bauksit meninggalkan lahan-lahan bekas penambangan yang
tidak produktif. Sebagian bekas pertambangan berubah menjadi kubangan,
danau, rawa, kolam-kolam, serta tanah yang tandus dan sebagian lainnya
berubah menjadi kawah kering yang menganga lebar, besar dan luas.
Sungai-sungai yang memiliki catchment area tidak terlalu besar dengan
kemiringan sungainya cukup curam/tajam sering terjadi banjir bandang.
Semakin rusaknya kawasan hutan, mengakibatkan sebagian besar situ yang
dulunya berfungsi dengan baik, sekarang ini semakin parah kondisinya.
Pemukiman penduduk yang ada di sekitar tepian Sungai, lahan lereng-lereng
yang curam, perlu segera diperhatikan, karena penggunaan tanah dengan
berbagai jenis tanaman setahun pada lereng 30% ternyata menghasilkan erosi
dan limpasan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanaman hutan.
Pada musim kemarau potensi kebakaran hutan sangat tinggi.
Penduduk Kota Batam tahun 2010: 949.775 jiwa, Tahun 2030 diproyeksikan
mencapai 1.539.719 jiwa
Sistem penyediaan air bersih di Kota Batam melalui air baku di 6 waduk (6
waduk di Pulau Batam dan 1 waduk Pulau Rempang). Total persediaan Kota
Batam adalah 90 juta m3.
Kapasitas rencana WTP keseluruhan adalah sebesar 2.185 L/detik dengan
kapasitas WTP yang beroperasi sekarang 2.115 L/detik.
Sampai dengan Desember 2006 tercatat 124.224 Satuan Sambungan
sebesar 27%.
Ketersediaan air baku digunakan untuk melayani kebutuhan pabrik-pabrik,
hotel-hotel dan perumahan (domestik).
Penduduk Kab. Bintan tahun 2010: 142.382 jiwa, dengan laju pertumbungan
2000-2010 adalah 2,63%. Kota Tanjungpinang tahun 2010: 187.687 jiwa,
dengan laju pertumbuhan 2000-2010 adalah 2,79%.
Telah terdeteksi titik-titik banjir di Pulau Batam (terutama di dekat jalan umum),
Genangan terutama terjadi akibat:
89
Keterlambatan realisasi pembangunan kanal karena diserahkan/dihimbau
kepada pengembang;
Ketidakjelasan O&P karena aset sebagian besar milik pengembang.
Lapisan tanah impermeabel sangat memperbesar aliran permukaan
(biopori/sumur resapan tidak bisa diterapkan sama sekali);
Opportunity: alur yang pendek karena Batam mrpk Pulau Kecil; tidak ada
banjir “kiriman”; genangan banjir > 1 meter yang pernah terjadi maksimal
sekitar 7 jam
Pengendalian banjir masih identik dengan drainase perkotaan saja (belum
terpadu, sistem DAS, non-fisik).
Titik-titik banjir baru terdeteksi parsial, belum ada peta kawasan rawan
banjir;
Kejadian banjir tercatat akibat pertemuan debit banjir di sungai dengan pasang
naik air laut (tunggang pasang cukup tinggi antara 2 s.d. 3 meter) yang
menggenangi jalan dan pertokoan di tanjungpinang (feb 2009);
II.4.4 Aspek sistem informasi sumber daya air dan ketersediaan data
sumber daya air yang meliputi:
Di WS Kepulauan Batam-Bintan hanya terdapat dua pos hujan, yakni pos hujan
kijang station kijang yang terletak di Bandara Udara Kijang dan pos hujan Hang
Nadim. Kerapatan stasiun hidroklimatologi, jumlah dan kondisi stasiun
hidroklimatologi yang berfungsi/rusak, stasiun pengukur tinggi muka air/debit,
stasiun pengamatan kualitas air pada sumber air dan badan air, serta keberadaan
data series (curah hujan dan debit), keakuratan data dan keberadaan sistim
informasi data sumber daya air.
c. keberadaan dan jumlah usaha yang sangat tergantung pada ketersediaan air
serta peran dunia usaha terhadap pengelolaan sumber daya air; dan
90
BAB III ANALISA DATA WILAYAH SUNGAI
Perhitungan laju pertumbuhan penduduk yang dilakukan dengan rumus dan cara-
cara yang digunakan mengambil dari Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai;
Persamaan pertumbuhan penduduk sebagai berikut:
⁄
{ } ;
Kebutuhan air perkotaan dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase jumlah kebutuhan air
domestik. Kriteria Penentuan kebutuhan air perkotaan memakai Pedoman Konstruksi dan Bangunan
Departemen Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai penentuan status
kota dan besar kebutuhan air berdasarkan status kota tersebut. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.2. dan Tabel 3.3. berikut :
91
Tabel 3.3. Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Status Kota
Jenis Kebutuhan Air Mutu
Metropolitan Besar Sedang Kecil
Untuk Fasilitas Perkotaan Air
Komersial Kelas
a. Pasar 0,1-1,00 (l/dt) Satu
b. Hotel
- Lokal 400 (l/kamar/hari)
- Interlokal 1000 (l/kamar/hari)
c. Hostek 135-180 (l/orang/hari)
d. Bioskop 15 (l/orang/hari)
Sosial dan Institusi Kelas
a. Universitas 20 (l/siswa/hari) Dua
b. Sekolah 15 (l/siswa/hari)
c. Masjid 1- 2 (m³/hari/unit)
d. Rumah Sakit
< 100 tempat tidur 340 (l/tp.tdr/hari)
> 100 tempat tidur 400-450 (l/tp.tdr/hari)
e. Puskesmas 1- 2 (m³/hari/unit) 40 % dari 30 % dari 25 % dari
f. Kantor 0,01-45 (l/dt/hari) kebutuhan kebutuhan kebutuhan
g. Militer 10 (m³/hari/unit) air baku air baku air baku
h. Klinik Kesehatan 135 (l/orang/unit) rumah rumah rumah
Fasilitas Pendukung Kota tangga tangga tangga
a. Taman 1,4 (l/m²/hari) (domestik) (domestik) (domestik)
b. Read Watering 1,0-1,5 (l/m²/hari)
c. Sewer System 4,5 (l/kapita/hari)
(air kotor)
Fasilitas Transportasi Ada Tidak Ada
Fasilitas Fasilitas
92
Kamar Kamar
Mandi Mandi
(liter/kapita/hari)
a. Stasiun Menengah 45 23
b. Stasiun Penghubung dan 70 45
Menengah dimana ada
tempat (kotak) surat
c. Terminal 45 45
d. Bandar Udara Lokal dan 70 70
Internasional
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum
93
Industri Kecil 1000
Industri Sedang 18000 - 67000
Industri Besar 225000 - 1,35 juta
Industri Tekstil 400 - 700
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU
q( f )
Q f 365harix xP(n)
1000
dengan:
Kebutuhan air bersih pariwisata meliputi kebutuhan air hotel dan kebutuhan air
restaurant. Untuk sarana perhotelan/penginapan didasarkan pada kebutuhan
untuk tiap tempat tidur dan data jumlah tempat tidur yang ada, sedangkan untuk
restaurant didasarkan pada jumlah restaurant yang ada. Satuan pemakaian air
menurut Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjend Cipta Karya DPU, untuk
perhotelan ditentukan sebesar 200 liter/tempat tidur/hari, sedangkan untuk
restourant ditentukan sebesar 400 liter/restaurant/hari.
Kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan pada luasan irigasi. Sesuai dengan
Perda No. 6 tahun 2010 tentang Irigasi besarnya kebutuhan air irigasi sebesar 1
liter/detik/Ha.
Sebagai tolak ukur evaluasi data kualitas air sungai WS Kepulauan Batam-Bintam
adalah Baku Mutu (BM) air pada sumber air yang datur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air.
93
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 disebutkan bahwa
penggolongan air menurut peruntukannya ditetapkan sebagai berikut:
94
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
Kelas I atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
Kelas II
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
Kelas III tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan
Kelas IV atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan
status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan
menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (United State - Environmental Protection
Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dlm empat kelas, yaitu:
95
III.1.3.2 Erosi
Erosi pada dasarnya adalah suatu perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang
dapat terjadi pada sebidang lahan bila pengelolaan tanaman dan konservasi tanah
tidak mengalami gangguan dalam jangka waktu panjang. Perkiraan jumlah tanah
hilang maksimum ini dapat dilakukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh
Smith dan Wischmeier (Kirkby, 1980) dan dikenal dengan Universal Soil Loss
Equation (USLE). Persamaan tersebut adalah :
A= R x K x L x S x C x P
A adalah laju erosi atau jumlah tanah yang hilang maksimum yang diperkirakan
terjadi. Satuan laju erosi tergantung dari parameter yang mempengaruhi seprti
tercantum dalam formulasi A. Umumnya A menyatakan laju erosi yang terjadi pada
suatu luasan dalam kurun waktu tertentu yaitu [ton hektar/tahun]. K adalah faktor
tanah yang dinyatan sebagai nilai erodibilitas tanah. R adalah faktor fisik hujan
yang menyebabkan timbulnya peroses erosi disebut baik erosi permukaan, erosi
alur atau erosi tebing. Faktor fisik hujan yang dapat menimbulkan erosi disebut
erosifitas hujan. Erosifitas hujan besarnya merupakan fungsi energi kinetik total
hujan dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit dengan satuan [foot-ton
acre-1 inch jam -1], atau dengan metrik [ton-m ha¹cm jam¹]. L adalah faktor panjang
kemirigan lereng lahan. S adalah faktor kemiringan lereng tanah. C adalah faktor
penutup tanah berikut pengelolaannya, Nilai C yang terdapat dalam pustaka pada
umumnya merupakan nilai rata-rata dalam kurun waktu tanaman sampai
berproduksi untuk tanaman pangan. Dengan demikian belum didapatkan nilai C
misalnya pada saan periode tanam, vegetatif atau periode lainya. Hal ini penting
untuk dikemukakan dalam penentuan nilai C karena berkaitan dengan
karakteristik penutupan lahan dan masa pengelolaan tanaman. P adalah faktor
praktek pengendalian laju erosi secara mekanis, seperti penanaman mengikuti
kontur, strip cropping, dan pembuatan teras.
Nilai batas erosi yang diijinkan, EDP adalah nilai laju erosi yang tidak melebihi laju
pembentukan tanah. Hal ini berarti nilai laju kehilangan tanah sama atau lebih
kecil dari kecepatan pembentukan tanah. Batasan nilai EDP diberikan pada Tabel
3.6.
95
d. Pasang surut muka air laut
e. Banyaknya penambangan timah tanpa izin
96
debit 80% xn 3/5
H 1/ 2
lebarsungaixSo
3/ 2
Qb wxHxSo
1/3
0.047 xs wxDm 0.25xw / 9.81
e. Menghitung nilai Qb’ (nilai angkutan sedimen dasar harian/bed load) dalam
(m3/s) dengan rumus :
Qb
Qb' xB
s 1
U* 9.81xHxSo
1/ 2
Qbton / m / s
CA
11.6 xU *x2 xDm
6
1.11x10
11.6 x
U*
97
Dm
Ks /
97
j. Menghitung nilai Z dengan rumus :
0.048
Z
0.4 xU *
2 xDm
A
H
Gambar 3.1. Grafik Hubungan AE dan I1 untuk perbedaan harga Z (Einstein 1950)
98
Gambar 3.2. Grafik Hubungan AE dan I2 untuk perbedaan harga Z (Einstein 1950)
30.2 xH xI1 I 2
Qs 11.6 xU * xCAx 0.0078 2.303 log
0.0039
98
Qs xB
Qs'
2870 X 9.8
Sedimentasi sangat berpengaruh terhadap aktivitas dan fungsi air yang selama ini
digunakan masyarakat pengguna air oleh karena itu perlu diadakannya upaya-
upaya pelestarian dan penganggulangan terhadap pengendalian sedimentasi.
Upaya yang dilakukan seperti :
Penertiban terhadap penambangan timah tanpa izin dan galian golongan C yang
berada disekitar sungai
99
III.2 Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim Pada Ws
III.2.1 Beberapa Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim pada
Wilayah Sungai
Tingkat pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 7,6 persen pada tahun 2005,
dengan tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) mendekati 12.02
(triliun rupiah) pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2004, pertumbuhan
ekonomi kota Batam mencapai 8.28 persen. Terdapat 7 (tujuh) sektor ekonomi dan
sektor jasa, kontribusi yang masih sangat dominan berasal dari sektor industri
pengolahan sebesar 71.28%. Sedangkan sektor lainnya yang juga cukup dominan
adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.94% dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 4.61%. Laju pertumbuhan
ekonomi kota Batam per sektor pada tahun 2004 di dominasi oleh sektor-sektor
industri pengolahan sebesar 8.45%. Pendapatan per kapita masyarakat juga
menunjukkan peningkatan. Berdasarkan harga berlaku (current price), pada tahun
2004 pendapatan per kapita telah mencapai Rp. 17.176.162,49 sedangkan pada
tahun 2003 sebesar Rp.15.935.049,96.
Pengelolaan sumber daya air tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun
banyak faktor yang mempengaruhi. Di antaranya kondisi politik yang berdampak
pada strategi dan kebijakan. Kondisi politik juga berperan signifikan terhadap
skala prioritas program konservasi, alokasi pendayagunaan sumber daya air serta
program penanggulangan bencana yang terkait dengan pengelolaan sumber daya
air.
99
Skenario kondisi politik dalam pola pengelolaan sumber daya air dituangkan dalam
ada atau tidak adanya perubahan kibijakan yang signifikan dalam penggantian
pimpinan yang berperan langsung dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, asumsi-asumsi dalam pola
dapat langsung diterapkan. Namun jika ada perubahan kebijakan yang signifikan
terhadap pengelolaan sumber daya air, maka skenario perubahan kibijakan harus
dituangkan dalam strategi dan kebijakan operasional pada Matriks Kebijakan
Operasional Pola Pengelolaan SDA di Pulau Batam Bintan.
a. Tidak ada perubahan iklim yang signifikan, sehingga asumsi hidrologi dan
konservasi adalah selaras dengan data historis.
b. Perubahan iklim terjadi dengan perubahan pola dan intensitas hujan yang
berdampak pada perhitungan hidrologi, alokasi air dan pola pengendalian daya
rusak air.
Skenario kondisi wilayah sungai merupakan asumsi tentang kondisi pada masa
yang akan datang dalam kurun waktu 20 tahun ke depan yang mungkin terjadi,
misalnya, kondisi perekonomian, perubahan iklim, atau perubahan politik. (PPRI,
No.42 Th 2008 Ttg Pengelolaan SDA, pasal 16, ayat b)
Untuk menentukan asumsi kondisi perekonomian rendah, sedang dan tinggi pada
masa yang akan datang (20 tahun) dapat digunakan beberapa pendekatan:
100
ekonomi dikategorikan kedalam skenario pertumbuhan ekonomi rendah, sedang
dan tinggi dengan kriteria sebagai berikut:
Kebutuhan air di Pulau Batam adalah kebutuhan air rumah tangga, perkotaan,
dan industri (RKI), pariwisata, pendidikan, penggelontoran dan perkebunan.
Ketersediaan air pada neraca air Pulau Batam dan Bintan terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Ketersediaan air yang merupakan potensi air yang dihitung dengan cara
mengalihragamkan data curah hujan menjadi debit limpasan. Debit Limpasan
yang telah diperoleh berupa rerata debit bulanan yaitu sebesar 30.551,45
m3/detik untuk Pulau Batam dan 86.277,33 m3/detik untuk Pulau Bintan.
Ketersediaan air tahun 2010 sampai dengan tahun 2031 dianggap stabil
dengan pertimbangan bahwa selama 20 tahun tidak tejadi perubahan iklim
secara signifikan serta keberadaan tutupan hutan pada daerah recharge air
serta lahan kritis pada wilayah sungai semakin berkurang.
b. Ketersediaan air nyata di Pulau Batam dan Pulau Bintan pada tahun 2010
adalah jumlah air atau debit air yang dapat
disuplai/dilayani/disediakan/terpasang saat ini (eksisting) untuk pemenuhan
kebutuhan air yang diperoleh dari waduk.
Grafik neraca air Pulau Batam dan Pulau Bintan disajikan pada Gambar 1 dan
Gambar 2.
101
NERACA AIR WS BATAM
35000.00
102
30000.00
25000.00
Debit (liter/detik)
20000.00
15000.00
10000.00
5000.00
0.00
2027
2010
2015
2016
2018
2024
2025
2026
2028
2012
2013
2014
2017
2019
2029
2030
2031
2020
2021
2022
2023
2011
90000.00
80000.00
70000.00
Debit (liter/detik)
60000.00
50000.00
40000.00
30000.00
20000.00
10000.00
0.00
2012
2016
2020
2024
2028
2010
2014
2018
2022
2026
2030
2013
2015
2017
2019
2021
2023
2025
2027
2029
2031
2011
103
Batam 145 liter/orang/hari tahun 2011-2031 (10 point diatas standard
kebutuhan air per orang untuk status kota besar dengan jumlah penduduk
s/d 1 juta orang – Standar Ditjen Cipta Karya DPU)
Batam 140 liter/orang/hari tahun 2011-2031 (5 point dibatas standard
kebutuhan air per orang untuk status kota besar dengan jumlah penduduk
s/d 1 juta orang – Standar Ditjen Cipta Karya DPU)
c. Kebutuhan air industri mengacu pada kebutuhan air untuk industri besar yaitu
225.000 – 1,350 juta liter/hari.
d. Kebutuhan air perkebunan 1 liter/detik/ha untuk semua jenis tanaman
perkebunan kecuali kelapa sawit sebesar 10 liter/deti/ha.
e. Kebutuhan air peternakan: kerbau/sapi/kuda 40 liter/ekor/hari,
kambing/domba 5 liter/ekor/hari, unggas 0,6 liter/ekor/hari.
f. Kebutuhan air untuk pariwisata:
Grafik neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau Batam (Gambar 3) menyajikan:
Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air rumah
tangga hingga tahun 2024. Sebelum tahun 2024, perlu dilakukan upaya untuk
dapat memenuhi kebutuhan air hingga tahun 2031 yaitu sebesar 3759.08
liter/detik.
Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air RKI
hingga tahun 2017. Sebelum tahun 2017, perlu dilakukan upaya untuk dapat
memenuhi kebutuhan air hingga tahun 2031 yaitu sebesar 11431.61
liter/detik.
Waduk eksisting dan waduk rencana tidak mampu memenuhi kebutuhan air
RKI, perkebunan dan ternak, termasuk kebutuhan air untuk penggelontoran.
Grafik neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau Bintan pada Gambar 4
menunjukkan bahwa waduk eksisting dan waduk rencana tidak mampu
memenuhi kebutuhan air untuk RKI, perkebunan, peternakan dan penggelontoran.
Gambar 4 menunjukkan bahwa pada neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau
Bintan:
Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air rumah
tangga hingga tahun 2031.
103
Tahun 2010-2015, kebutuhan air RKI belum dapat terpenuhi. Adanya upaya
penambahan waduk menyebabkan kebutuhan air RKI dapat terpenuhi pada
tahun 2016. Tahun 2020, kebutuhan air RKI belum dapat terpenuhi. Adanya
upaya penambahan waduk menyebabkan kebutuhan air RKI dapat terpenuhi
pada tahun 2031.
104
a) Neraca Air Skenario Ekonomi Tinggi
105
Gambar 4. Neraca Air Skenario Ekonomi Tinggi Pulau Bintan
106
Selanjutnya pentahapan alokasi air (skema pemenuhan air baku) untuk
eksisting, jangka pendek, menengah, dan panjang dapat dilihat pada diagram
alokasi air sebagai berikut:
I - 107
Skema Pemenuhan Kebutuhan Air Jangka Menengah (Tahun 2020)
I - 108
III.3 Alternatif Pilihan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air
III.3.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air
III.3.1.1 Perlindungan dan Pelestarian Sumbaer Daya Air
I - 109
Sosialsasi tentang perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;
h) Rehabilitasi hutan dan lahan dan atau pelestarian hutan lindung, kawasan
suaka alam, dan kawasan pelestarian alam
a) Memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air
I - 110
III.3.2 Aspek Pendayagunaan Sumbaer Daya Air
I - 111
Penyeimbangan hulu-hilir dilakukan dengan mekanisme penataan
ruang dan pengoperasian prasarana sungai sesuai dengan kesepakatan
para pemilik kepentingan
Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ditujukan
untuk mencegah kerusakan dan/atau bencana yang diakibatkan oleh
daya rusak air.
Pengutamaan kegiatan nonfisik dalam rangka pencegahan bencana
dilakukan melalui pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian.
Naturalisasi sempadan sungai dan sumber-sumber air.
I - 112