Anda di halaman 1dari 136

RANCANGAN

POLA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

WILAYAH SUNGAI
KEPULAUAN BATAM BINTAN

2011

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 4


I.1 Latar Belakang .................................................................................4
I.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran Penyusunan Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan ............5
I.2.1 Maksud .................................................................................5
I.2.2 Tujuan ..................................................................................5
I.2.3 Sasaran.................................................................................5
I.3 Isu-isu Strategis ...............................................................................6
I.3.1 Isu Strategis Nasional............................................................6
I.3.2 Isu Strategis Lokal................................................................8
BAB II KONDISI PADA WILAYAH SUNGAI KEPULAUAN BATAM-
BINTAN ........................................................................... 10
II.1 Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Sumber Daya Air Dan
Peraturan Lainnya Yang Terkait .....................................................10
II.1.1 Peraturan Perundangan-udangan Terkait Pengelolaan
Sumber Daya Air .................................................................10
II.2 Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air .............................11
II.2.1 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air ...............11
II.2.2 Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Sumber Daya Air
di Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota .............................14
II.3 Inventarisasi Data ..........................................................................33
II.3.1 Data Umum.........................................................................33
II.3.2 Data Sumber Daya Air.........................................................58
II.3.3 Data Kebutuhan dan Ketersediaan Air ................................81
II.3.4 Ketersediaan .......................................................................86
II.3.5 Data Lain ............................................................................88
II.4 Identifikasi Kondisi Lingkungan Dan Permasalahan .......................88
II.4.1 Aspek konservasi sumber daya air ......................................88
II.4.2 Aspek pendayagunaan sumber daya air ..............................89
II.4.3 Aspek pengendalian daya rusak air. ....................................89
II.4.4 Aspek sistem informasi sumber daya air dan ketersediaan
data sumber daya air yang meliputi: ...................................90
II.4.5 Aspek pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat
dan dunia usaha serta kelembagaan yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai,
khususnya terhadap: ..........................................................90
BAB III ANALISA DATA WILAYAH SUNGAI ................................... 91
III.1 Asumsi Kriteria Dan Standar ..........................................................91
III.1.1 Kriteria Kebutuhan Air Bersih .............................................91
III.1.2 Kriteria Baku Mutu Air........................................................93
III.1.3 Kriteria Konservasi Lahan ...................................................94
III.1.4 Kriteria Perhitungan Tingkat Sedimentasi ...........................95
III.2 Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim Pada Ws ........99

2
III.2.1 Beberapa Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim
pada Wilayah Sungai...........................................................99
III.2.2 Skenario Pertumbuhan Ekonomi.......................................100
III.3 Alternatif Pilihan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air...............109
III.3.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air ...................................109
III.3.2 Aspek Pendayagunaan Sumbaer Daya Air .........................111
III.3.3 Aspek Pengendalian Daya Rusak Air .................................111
III.3.4 Aspek Sistem Informasi Sumber Daya Air..........................112
III.3.5 Aspek Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Masyarakat 112

3
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Wilayah Sungai (WS) Kepulauan Batam-Bintan ditetapkan sebagai WS


Strategis Nasional berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12
Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai WS ini ditetapkan sebagai WS
Strategis Nasional karena kepualauan ini memiliki karateristik sebagai
kawasan stategis nasional seperti: terletak pada Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas Batam (KPBPB), beberapa pulau merupakan kawasan
perbatasan Indonesia (P. Nongsa, P. Batu Berhanti, P. Pelampong, P. Nipa,
dan P. Sentut), serta Kota Batam adalah sebagai Pusat Kegiatan Strategis
Nasional (PKSN). Status ini membawa konsekwensi pada pentinganya
pengelolaan WS Kepulauan Batam-Bintan.

Dengan posisinya pada kawasan strategis nasional maka WS Kepulauan


Batam-Bintan ini akan menerima berbagai dampak seperti pertumbuhan
urbanisasi yang tinggi, munculnya kawasan beberapa bisnis baru, perubahan
budaya, dan berbagai kompleksitas lainnya. Pertumbuhan beberapa sektor
yang tinggi memerlukan dukungan infrastruktur yang memadai, mulai dari
transportasi, gedung-gedung, fasilitas umum, serta sumber daya air.
Penyiapan semua infrastruktur tersebut perlu direncanakan secara matang
sehingga semua aktifitas dapat berjalan dengan baik. Khususnya sumber
daya air, pemerintah telah mengamanatkan untuk membuat sebuah kerangka
dasar perencanaan sumber daya air yang disebut dengan Pola Pengelolaan
Sumber Daya Air.

Pola Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) merupakan kerangka dasar dalam
merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan
konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan
pengendalian daya rusak air (UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumbe Daya
Air) wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air
tanah (UU Nomor 7 Tahun 2004 Pasal 11 Ayat 4), yang merupakan
keterpaduan dalam pengelolaan yang diselenggarakan dengan memperhatikan
wewenang dan tanggung jawab instansi masing-masing sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya. Pola pengelolaan sumber daya air ini harus disusun
secara terkoordinasi diantara instansi terkait, berdasarkan asas kelestarian,
asas keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi, asas
kemanfaatan umum, asas keterpaduan dan keserasian, asas keadilan, asas
kemandirian, serta asas transparansi dan akuntabilitas. Penyusunan pola
pengelolaan sumber daya air perlu melibatkan seluas-luasnya peran
masyarakat dan dunia usaha baik koperasi, BUMN, BUMD maupun badan
usaha swasta. Sejalan dengan prinsip demokratis, masyarakat tidak hanya
diberi peran dalam penyusunan pola pengelolaan sumber daya air, tetapi
berperan pula dalam proses perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi
dan pemeliharaan, pemantauan, serta pengawasan atas pengelolaan sumber
daya air (UU Nomor 7 Tahun 2004 Bagian Penjelasan Ayat 7).

Untuk dapat menyusun rancangan pola pengelolaan sumber daya air wilayah
sungai perlu diketahui sistem pengelolaan sumber daya air yang sedang

4
berjalan saat ini, mencakup aspek-aspek konservasi sumber daya air,
pendayagunaan sumber daya air, pengendalian daya rusak air, sistem
informasi sumber daya air dan peran serta masyarakat, swasta dan dunia
usaha dalam pengelolaan sumber daya air.

Disamping inventarisasi sistem pengelolaan sumber daya air saat ini, juga
dilakukan inventarisasi permasalahan yang ada dalam pengelolaan sumber
daya air di wilayah sungai, yang akan dijadikan acuan dalam penyusunan
rencana pengelolaan sumber daya air di masa yang akan datang.

I.2 Maksud, Tujuan dan Sasaran Penyusunan Pola Pengelolaan


Sumber Daya Air Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan
I.2.1 Maksud

Pola Pengelolaan Sumber Daya Air di WS Kepulauan Batam-Bintan disusun


dengan maksudkan untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber
daya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan.

I.2.2 Tujuan

Tujuan disusunnya Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai


Kepulauan Batam-Bintan adalah:

a. Menjadi kerangka dasar dalam mendukung kebijakan Pemerintah Pusat,


Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau, Pemerintah Kota Batam, Pemerintah
Kota Tanjung Pinang, dan Pemerintah Kabupaten Bintan dalam
pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan
b. Menjadi kerangka dasar dalam pemenuhan kebutuhan air baku bagi para
pemanfaat sumber daya air di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan
terutama bagi keperluan rumah tangga
c. Menjadi kerangka dasar dalam konvervasi kawasan perbatasan (pulau-
pulau terluar) dan strategis nasional yang berdaya dan berhasil guna
serta terlindung dari daya rusak air
d. Menjadi kerangka dasar dalam pengelolaan sumber daya air yang
berkelanjutan dengan menyelaraskan pemenuhan kebutuhan fungsi
lingkungan hidup dan fungsi ekonomi serta menjaga keseimbangan
antara ekosistem dan daya dukung lingkungan sesuai dengan kapasitas
maksimal daya dukung masing-masing pulau.

I.2.3 Sasaran

Sasaran dari Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai
Kepulauan Batam-Bintan adalah untuk memberikan:

a. Memberikan arahan tentang kebijakan pengelolaan sumber daya air di


Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan dalam aspek konservasi sumber
daya air;
b. Memberikan arahan tentang kebijakan pendayagunaan sumber daya air
di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan dengan memperhatikan
kebijakan daerah, termasuk arahan dalam penataan ruang wilayah;

5
c. Memberikan arahan tentang kebijakan pengendalian daya rusak air di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan;
d. Memberikan arahan tentang kebijakan pelaksanaan sistem informasi
sumber daya air di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan;
e. Memberikan arahan tentang kebijakan peran serta masyarakat dan
swasta dalam pengelolaan sumber daya air Wilayah Sungai Kepulauan
Batam-Bintan.

Visi dan Misi Pengelolaan Sumber Daya Air di WS Kepulauan Batam-Bintan


sejalan dengan amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air, maka visi pengelolaan sumber daya air
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan adalah sebagai berikut:

“Terkelolanya sumber daya air secara berkelanjutan dan optimal untuk


menunjang segenap aspek kehidupan pada Wilayah Sungai Kepulauan
Batam-Bintan ”

Dari rumusan visi di atas terkandung makna bahwa sumber daya air sebagai
salah satu unsur utama bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat harus
dikelola secara berkelanjutan, sehingga pemanfaatannya tetap terpelihara.
Penyediaan prasarana sumber daya air harus dilaksanakan secara memadai
sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan airnya, baik untuk
memenuhi kebutuhan pokok hidupnya maupun untuk meningkatkan
ekonominya.

Misi pengelolaan sumber daya air Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan


adalah sebagai berikut:

“Mengelola sumber daya air secara berkelanjutan dan optimal untuk


menunjang segenap aspek kehidupan pada Wilayah Sungai Kepulauan
Batam-Bintan”

I.3 Isu-isu Strategis

Pengelolaan sumber daya air di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan


akan dipengaruhi oleh isu-isu strategis yang terjadi, baik isu strategis
nasional maupun lokal.

I.3.1 Isu Strategis Nasional


I.3.1.1 Target Millenium Development Goals (MDGs) untuk penyediaan air
minum

Dalam sasaran MDGs untuk penyediaan air minum untuk tahun 2015
(tingkat nasional) cakupan pelayanan air perpipaan di perkotaan adalah 69%
sedang di pedesaan 54%. Untuk tingkat pelayanan non perpipaan terlindungi
targetnya adalah 25% (perkotaan) dan 26% (pedesaan).

Untuk Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan yang mempunyai


karakteristik pulau-pulau kecil dan tidak terdapat cekungan air tanah, maka
cakupan pelayanan air perpipaan di perkotaan dan pedesaan adalah 100%,
mengingat penduduk tidak dapat memanfaatkan air tanah.

6
Target penyediaan air minum tersebut perlu didukung oleh penyediaan air
bakunya, yang dapat dialokasikan dari waduk-waduk yang akan dibangun di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan . Pemanfaatan dan pengembangan
teknologi waste water recycled maupun desalinasi air laut akan digunakan
untuk memenuhi kebutuhan air baku.

I.3.1.2 Kawasan Strategis Nasional

Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya


diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

Pada Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan terdapat Kawasan


Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yakni Kawasan Batam dan
Kawasan Bintan. KPBPB ini akan menjadi pemicu perkembangan yang pesat
terutama dari sisi perekonomian yang sangat membutuhkan dukungan
pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi dan berkelanjutan, baik dalam
hal penyediaan air baku, pengendalian banjir, dan pengamanan pantai.

Selain itu, pada Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan terdapat lima


pulau terluar yang menjadi patokan batas teritorial laut Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yakni Pulau Nipa, Pulau Pelampong, Pulau Batu
Berhanti, Pulau Nongsa, dan Pulau Sentut yang perlu mendapat perhatian
khususnya dari sisi pengamanan pantai.

I.3.1.3 Perubahan Iklim Global (Climate Change)

Salah satu fenomena perubahan iklim global adalah peningkatan suhu dan
curah hujan tahunan dengan penurunan jumlah hari hujan sehingga musim
hujan menjadi lebih singkat. Dampak fenomena perubahan iklim global
terhadap Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan adalah:

a. Ketidakstabilan pasokan air dari curah hujan;


b. Peningkatan resiko terjadinya banjir;
c. Penurunan kualitas air permukaan;
d. Kerusakan infrastruktur sumber daya air dan pengaman pantai;
e. Rusaknya hutan akibat kekeringan dan degradasi lahan;

Salah satu upaya penting untuk mengantisipasi perubahan iklim global di


Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan, antara lain dengan:

a. Rehabilitasi fungsi-fungsi lindung pada kawasan lindung;


b. Penetapan kawasan-kawasan lindung;
c. Reklamasi dan proteksi pantai pulau-pulau terluar khususnya yang
berbatasan langsung dengan negara lain
d. Pembangunan waduk dan saluran atau kanal pengendali banjir
e. Pemantauan kualitas dan kuantitas air serta operasi dan pemeliharaan
infrastruktur dan sumber air alami yang ada pada Wilayah Sungai
Kepulauan Batam-Bintan

7
I.3.2 Isu Strategis Lokal
I.3.2.1 Karakteristik Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan sebagai
Wilayah Sungai Kepulauan

a. Tidak adanya cekungan air tanah (CAT) sehingga seluruh Wilayah Sungai
Kepulauan Batam-Bintan mengandalkan sumber air yang berasal dari air
permukaan atau dari air hujan saja;
b. Lapisan humus yang tipis pada lapisan tanah yang ada pada pulau-pulau
di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan yang perlu mendapat
perhatian khusus dalam pengelolaan lahan/rencana konservasi lahan
yang ada;
c. Air hujan yang turun ke daratan di Wilayah Sungai Kepulauan Batam-
Bintan sebagian besar akan terbuang ke laut jika tidak dibuatkan
tampungan-tampungan semacam embung-embung maupun waduk yang
berfungsi untuk menyimpan air pada waktu hujan/air melimpah;
d. Temperatur yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan evaporasi dari
laut yang cukup tinggi dan dapat menghasilkan curah hujan yang cukup
tinggi pula di WS Kepulauan Batam-Bintan ;
e. Pasang naik air laut yang apabila bertepatan dengan turunnya hujan
lebat dapat menyebabkan tergenangnya kawasan di sekitar muara sungai
maupun kawasan di sekitar muara drainase;
f. Rentan terjadi kekeringan jika tidak berhasil dalam melakukan konservasi
lahan untuk daerah tangkapan air mengingat karakteristik tanah di
Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan yang mudah hilang
kesuburannya apabila terjadi pengupasan lapisan top soil.

I.3.2.2 Pemulihan Kawasan Hutan Lindung

a. Perubahan fungsi lahan dari hutan lindung menjadi lahan kelapa sawit
maupun menjadi ladang/tegalan akan mengurangi tangkapan air dan
dapat menyebabkan hilangnya lapisan humus dan tanah menjadi tandus
setelah perkebunan/ladang tersebut ditinggalkan;
b. Penetapan dan perlindungan sempadan dan daerah tangkapan air, antara
lain dengan penerapan peraturan daerah yang berkaitan dengan
konservasi lahan, pemagaran, dan peningkatan fungsi pengawasan
terhadap keberlangsungan fungsi sempadan dan daerah tangkapan air.

I.3.2.3 Pemenuhan kebutuhan air baku untuk rumah tangga, industri


dan yang lainnya
I.3.2.4 Degradasi dasar sungai

Degradasi dasar sungai di WS Kepulauan Batam-Bintan akibat dari kegiatan


galian golongan C yang tidak terkendali sudah sangat menprihatinkan,
sehingga perlu segera diatasi, mengingat bahaya yang mengancam
keberlanjutan fungsi sarana dan prasarana SUMBER DAYA AIR sudah
tampak pada saat ini

8
I.3.2.5 Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan fluktuatif akibat
dominasi imigrasi penduduk

a. Pertumbuhan penduduk di WS Kepulauan Batam-Bintan didominasi oleh


adanya imigrasi sebagai salah satu dampak yang muncul karena adanya
FTZ (Free Trade Zone) dan transportasi yang mudah untuk menuju WS
Kepulauan Batam-Bintan
b. Pertumbuhan penduduk di WS Kepulauan Batam-Bintan mencapai lebih
dari 10% (> 10%) untuk setiap tahunnya.

I.3.2.6 Budaya Melayu:

Daya tarik wisata melalui budaya Melayu yang tetap dilestarikan dan
dikembangkan dan akan memberi pengaruh dalam pemberdayaan
masyarakat dalam pengelolaan SUMBER DAYA AIR yang ada.

I.3.2.7 Pertambangan bauksit galian golongan C

Pertambangan bauksit galian golongan C perlu mendapat pengaturan dan


pengawasan yang lebih baik agar tidak menimbulkan hal-hal negatif dalam
pengelolaan SUMBER DAYA AIR di WS Kepulauan Batam-Bintan .

I.3.2.8 Pengelolaan waduk

a. Kegiatan Operasional & Pemeliharaan (O & P) setiap waduk perlu selalu


dilaksanakan agar tetap berfungsi dengan baik dan tujuan dari
dibangunnya waduk-waduk tersebut dapat tercapai. Beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan antara lain: peningkatan Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam melakukan O & P, melakukan perawatan rutin terhadap
waduk dan bangunan-bangunan pelengkapnya, pemantauan sedimen dan
pembuangan sedimen jika memungkinkan, dan lain-lain yang sekiranya
diperlukan.
b. Instrumentasi
c. Kegiatan optimasi waduk juga perlu dilakukan guna peningkatan kinerja
waduk, misalkan dengan mengurangi evaporasi dan kebocoran waduk,
meningkatkan kualitas air yang dihasilkan, dan lain-lainnya.

9
BAB II KONDISI PADA WILAYAH SUNGAI KEPULAUAN
BATAM-BINTAN

II.1 Peraturan Perundang-Undangan Dibidang Sumber Daya Air Dan


Peraturan Lainnya Yang Terkait
II.1.1 Peraturan Perundangan-udangan Terkait Pengelolaan Sumber Daya
Air
II.1.1.1 Status Wilayah Sungai

Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan telah ditetapkan dalam Keputusan


Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai, sebagai
Wilayah Sungai Strategis Nasional.

II.1.1.1.1 Landasan Pokok

Landasan pokok yang digunakan dalam penyusunan Pola Pengelolaan Sumber


Daya Air pada Wilayah Sungai adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Undang-Undang Sumber Daya Air) dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sumber Daya Air (PP Pengelolaan Sumber Daya Air).

II.1.1.1.2 Landasan Terkait

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang terkait dengan penyusunan


Pedoman Pola Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai, meliputi:
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam
Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
3. Undang-undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
4. Undang-undang No.25 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan
Riau.
5. Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
6. Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional.
7. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
8. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Daerah.
9. Undang-undang No.24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
10. Undang-undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
11. Undang-undang No.27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil.
12. Undang-Undang No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah.
13. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
14. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 tentang Bendung.
15. Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air &
Pengendalian Pencemaran Air.
16. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
17. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum.
18. Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2006 tentang Irigasi.

10
19. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan.
20. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana.
21. Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional.
22. Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2008 tentang Air Tanah.
23. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2010 tentang Bendungan.
24. Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2008 tentang Dewan Sumber Daya Air.
25. Peraturan Pemerintah No.04/PRT/M/2008 tentang Pembentukan Wadah
Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Wilayah Sungai.
26. Peraturan Menteri PU Nomor 22/Prt/M/2009, tentang Pedoman Teknis Dan
Tatacara Penyusunan Pola Pengelolaan Sumber Daya Air.
27. Peraturan Menteri PU No.67/PRT/1993 tentang Panitia Tata Pengaturan Air
Provinsi Daerah Tingkat I.
28. Peraturan Menteri PU No.49/PRT/1990 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Ijin
Penggunaan Air dan atau Sumber Air.
29. Peraturan Menteri PU No.63/PRT/1993 tentang Garis Sempadan Sungai,
Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai
30. Keputusan Menteri PU No.458/KPTS/1986 tentang Ketentuan Pengamanan
Sungai Dalam Hubungan Dengan Penambangan Bahan Galian Golongan C.

II.2 Kebijakan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air


II.2.1 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air

Arah kebijakan pengelolaan sumber daya air di Wilayah Sungai (WS) Kepulauan
Batam-Bintan mengacu pada arah kebijakan nasional yang telah diatur dalam
Undang-undang No.7 Tahun 2004/Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA), yang meliputi; Konservasi Sumber
Daya Air, Pendayagunaan Sumber Daya Air, Pengendalian Daya Rusak Air,
Ketersediaan Data dan Sistem Informasi Sumber Daya Air (SISDA) dan
Pemberdayaan dan Peningkatan Peran masyarakat.

II.2.1.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air

Kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air dalam aspek konservasi sumber
daya air yang terkait dalam pengelolaan WS Kepulauan Batam–Bintan adalah:

a. Mengupayakan selalu tersedianya air dengan kualitas dan kuantitas yang


memadai.
b. Melestarikan sumber-sumber air dengan memperhatikan kearifan lokal/adat
istiadat setempat.
c. Melindungi sumber air dengan lebih mengutamakan kegiatan rekayasa sosial,
peraturan perundang-undangan, monitoring kualitas air dan kegiatan
vegetatif.
d. Mengembangkan budaya pemanfaatan air yang efisien.
e. Mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang berada pada sumber
sumber air.
f. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan konservasi SDA.

11
II.2.1.2 Aspek Pendayagunaan Sumber Daya Air

Arahan Strategis Pola Pengelolaan Sumber Daya air pada aspek Pendayagunaan
SDA sebagai berikut:

a. Mendayagunakan fungsi atau potensi yang terdapat pada sumber air secara
berkelanjutan.
b. Mengupayakan penyediaan air untuk berbagai kepentingan secara
proporsional dan berkelanjutan.
c. Mengupayakan penataan sumber air secara layak.
d. Memanfaatkan sumber daya air dan prasarananya sebagai media/materi
sesuai prinsip penghematan penggunaan, ketertiban dan keadilan, ketepatan
penggunaan, keberlanjutan penggunaan, dan saling menunjang antara
sumber air dengan memprioritaskan penggunaan air permukaan.
e. Meningkatkan kemanfaatan fungsi sumber daya air, dan atau peningkatan
ketersediaan dan kualitas air.
f. Meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air dengan
prinsip meningkatkan efisiensi alokasi dan distribusi kemanfaatan sumber
air.

II.2.1.3 Aspek Pengendalian Daya Rusak Air

Pengendalian Daya Rusak Air adalah upaya untuk mencegah, menanggulangi dan
memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak
air. Daya rusak air dapat berupa banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi,
longsoran tanah, amblesan tanah, perubahan sifat dan kandungan kimiawi,
biologi dan fisika air, terancamnya kepunahan jenis tumbuhan dan/atau satwa,
dan/atau wabah penyakit.

Pemerintah dan masyarakat perlu melakukan upaya-upaya peningkatan sistem


pencegahan dan penanggulangan bencana, pemulihan fungsi sarana dan
prasarana berkaitan dengan daya rusak air, baik yang bersifat upaya penceg ahan
sebelum terjadi bencana, upaya penanggulangan pada saat terjadi bencana
maupun upaya pemulihan akibat bencana.

Arahan strategis Pengendalian Daya Rusak Air adalah:

a. Mengupayakan keberlangsungan aktifitas masyarakat dan terlindungnya


sarana dan prasarana pendukung aktifitas masyarakat.
b. Mengupayakan sistem pencegahan bencana akibat daya rusak air.
c. Meningkatkan sistem penanggulangan bencana.
d. Memulihkan fungsi sarana dan prasarana guna pemenuhan kebutuhan pokok
sehari-hari.
e. Meningkatkan peran masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
daya rusak air.

II.2.1.4 Aspek Peran Serta Masyarakat

Untuk terselenggaranya tata pengaturan air yang baik, pengelolaan sumber daya
air harus dilakukan secara melembaga sampai pada tingkat wilayah sungai
termasuk didalamnya perencanaan pengembangan sumber daya air.

12
Keanekaragaman dinamika masyarakat di Pulau Batam-Bintan perlu dijadikan
sebagai potensi kekuatan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Setiap
tahapan dalam proses pembangunan perlu melibatkan masyarakat dan mereka
mendapat kesempatan untuk mengutarakan kepentingan dan kebutuhannya
yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air di Pulau
Batam-Bintan.

Arahan strategis dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat adalah:

a. Pemberdayaan dan Peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan,


sempadan sungai, bendungan dan mata air.
b. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan,
perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Ijin Usaha Pengelolaan Hasil
Hutan (IUPHH).
c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
(LH).
d. Penataan hukum dan kelembagaan dalam pengelolaan SDA dan LH.
e. Pembentukan Unit Pelaksana Teknis pengelola SDA WS yang secara
struktural berada di bawah Pemerintah Pusat atau Dinas Pekerjaan Umum
(atau dengan nama lain) yang bertanggungjawab dalam pengelolaan SDA
wilayah sungai yang bersangkutan.
f. Peningkatan kemampuan sumber daya manusia aparat dinas teknis yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan SDA dan kehutanan.
g. Pembentukan Dewan SDA Provinsi/Kab./Kota dan Dewan SDA wilayah
sungai sebagai wadah koordinasi antar stakeholder.

II.2.1.5 Sistem Informasi Sumber Daya Air (SISDA)

Untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, Pemerintah Pusat dan


Pemerintah Daerah menyelengarakan pengelolaan sistem informasi sumb er daya
air sesuai dengan kewenangannya. Informasi sumber daya air meliputi informasi
mengenai kondisi hidrologis, hidrometeorologis, kebijakan sumber daya air,
prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, lingkungan pada sumber
daya air dan sekitarnya, serta kegiatan sosial ekonomi budaya masyarakat yang
terkait dengan sumber daya air.

Arahan strategis dalam pengelolaan sistem informasi sumber daya air adalah:

a. Pengelolaan sistem informasi sumber daya air harus dapat mengakses


informasi yang berkaitan dengan sumber daya air yang tersebar dan dikelola
oleh berbagai instansi.
b. Sistem informasi sumber daya air memelihara dan meng-updating data dan
informasi hidrologi, hidrometeorologi, kebijakan sumber daya air, sarana dan
prasarana sumber daya air, teknologi sumber daya air, kualitas lingkungan
sumber air dan sekitarnya serta data dan informasi sosial ekonomi dan
budaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air.

Pengelolaan sistem informasi sumber daya air khususnya data dan infor masi
hidrologi wilayah sungai perlu diinformasikan secara berkala ke tingkat nasional,
provinsi dan kabupaten/kota.

13
II.2.2 Kebijakan Pemerintah yang Terkait dengan Sumber Daya Air di
Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota
II.2.2.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air a.

Provinsi Kepulauan Riau

Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama menjaga
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya buatan yang
merupakan modal dasar untuk pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan
pemantapan kawasan lindung di Provinsi Kepulauan Riau adalah mengurangi
resiko kerusakan lingkungan hidup dan kehidupan sebagai akibat dari kegiatan
pembangunan, sedangkan sasarannya adalah:
 Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air dan iklim;
 Mempertahankan keaneka-ragaman flora, fauna dan tipe ekosistem, serta
keunikan alam;
 Menyediakan dan mempersiapkan lingkungan hidup (habitat) untuk suku-
suku terasing;
 Mempertahankan kawasan lindung minimal 30% dari luas pulau sesuai
dengan karakteristik pulau;
 Mempertahankan dan melestarikan keberadaan hutan mangrove.

Arahan kebijakan pemantapan kawasan lindung adalah:

 Bagian kawasan dengan fungsi sebagai suaka harus dilindungi.


 Di dalam kawasan tersebut tidak boleh ada kegiatan lain, kecuali kegiatan
untuk menjaga fungsi kawasan tersebut.
 Kawasan lindung setempat meliputi sempadan sungai, sempadan pantai,
sempadan waduk/kolong, dan kawasan dengan faktor kawasan pembatas
lereng/ketinggian dimanfaatkan dengan tanaman tahunan yang berfungsi
untuk reboisasi.

Berdasarkan proses padu serasi kawasan hutan Provinsi Kepulauan Riau,


diusulkan beberapa kawasan hutan yang ditetapkan sebagai hutan lindung (Tabel
2.1), yaitu:

Tabel 2.1 Daftar Hutan Lindung Provinsi Kepulauan Riau


No. Hutan Lindung, HL Luas (Ha) No. Hutan Lindung, HL Luas (Ha)
1 Pulau Karimun Kecil 380.39 21 Dapur 12 294.80
2 G. Jantan-Betina 1.584.42 22 Bukit Kucing 54.40
3 Pulau Combol 1.978.80 23 Sei. Pulai 562.75
4 Pulau Panjang 463.30 24 Bintan Kecil 308.00
5 Pulau Durian 1.366.30 25 Bintan Besar 280.00
6 Nongsa I 365.90 26 Gunung Langkuas 1.071.80
7 Nongsa II 251.60 27 Gunung Kijang 760.00
8 Duriangkang 3.511.00 28 Sungai Pulai 249.75
9 Bukit Dangas 174.60 29 Sei. Jago 1.629.60
10 Sei. Harapan 709.40 30 Bukit Siolong + Usulan Baru 6.698.72
11 Bukit Tiban 1.830.00 31 G. Lanjut 4,896.33
12 Sei. Ladi 48.95 32 G. Muncung 2,684.06
13 Batu Ampar II 60.71 33 G. Daik 19.552.03
14 Tanjung Piayu + Bagan 559.00 34 Bukit Tunggal 337.57
15 Tembesi 2.119.00 35 P. Jemaja 2.495.78
16 Lelai 279.20 36 P. Siantan 3.453.76
17 Telaga Punggur 366.10 37 G. Ranai 2.654.40
18 Tiban Utara 19.27 38 G. Bedung (Koreksi 4.720 Ha) 5.263.62
19 Galang 39 G. Sekunyam 4.988.05
20 Tanjung Uncang 36.71 Jumlah 75,029.02
Sumber: RTRW Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2008-2028

14
b. Kota Batam

Konsepsi pengembangan kawasan lindung di Kota Batam yang dicantumkan dalam


Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batam Tahun 2004-2014 bertujuan untuk
menjaga kelestarian dan keseimbangan alam terutama pada pulau-pulau kecil
yang ada di wilayah Kota Batam dengan luas kurang dari 10 Ha serta pada
kawasan tertentu yang mempunyai fungsi khusus berdasarkan Keppres No. 32
tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, diantaranya:

 Kawasan yang memberikan perlindungan kawaasan bawahannya, yang


merupakan kawasan lindung sebagai daerah pengaturan tata air, pencegah
banjir dan erosi, serta untuk memelihara kesuburan tanah.
 Kawasan perlindungan setempat, yang berupa jalur pengaman (sempadan)
pantai, sempadan sungai, sempadan danau (waduk), sempadan mata air, serta
pada hutan bakau yang keberadaannya tetap dipertahankan guna menjaga
kelestarian pantai, sungai, danau/waduk, mata air, dan habitat/ekosistem
yang ada di hutan bakau.
 Kawasan pelestarian alam, yang merupakan hutan wisata alam sebagai sumber
hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata.
 Kawasan cagar budaya, yang merupakan situs/kawasan peninggalan sejarah
dan budaya setempat serta perkampungan tua.
 Kawasan rawan bencana, yang merupakan daerah bencana yang ditimbulkan
sebagai akibat adanya jalur-jalur sesar di Pulau Rempang.
 Ruang hijau kota, merupakan kawasan tutupan hijau, berupa hutan kota,
jalur hijau kota, taman kota, taman lingkungan, zona penyangga hijau kota
(buffer zone), dan ruang terbuka hijau lainnya.

c. Kabupaten Bintan

Kawasan lindung di Pulau Bintan dikembangkan dengan suatu konsepsi dengan


tujuan untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan alam terutama pada pulau-
pulau kecil yang ada di Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan dengan luas
kurang dari 10 Ha serta pada kawasan tertentu yang mempunyai fungsi khusus
berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung
diantaranya:

 Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, yang


merupakan kawasan lindung sebagai daerah pengaturan tata air, pencegah
banjir dan erosi , serta untuk memelihara kesuburan tanah
 Kawasan perlindungan setempat, yang berupa jalur pengaman pantai,
sempadan sungai, sempadandanau (waduk), sempadan mata air, serta pada
hutan bakau yang keberadaannya tetap dipertahankan guna menjaga
kelestarian pantai, sungai, danau/waduk, mata air dan habitat/ekonsistem
yang ada di hutan bakau
 Kawasan pelestarian alam, yang merupakan hutan wisata alam sebagai sumber
hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata
 Kawasan cagar budaya yang merupakan situs/kawasan peninggalan sejarah
dan budaya
 Ruang hijau kota, merupakan kawasan tutupan hijau, berupa hutan kota,
jalur hijau kota, taman kota, taman lingkungan, zona penyangga hijau kota
(buffer zone) dan ruang terbuka hijau lainnya

15
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka arahan kawasan huatan lindung di
Kabupaten Bintan meliputi kawasan lindung darat dan kawasan lindung
lautan.

c.1. Kawasan Lindung Wilayah Daratan

Kawasan lindung darat meliputi kawasan hutan lindung, kawasan


pengembangan sumberdaya air, dan kawasan lindung setempat. Kawasan hutan
lindung di Kabupaten Bintan mencakup hutan yang berlokasi di DAS Jago, hutan
di Gunung Bintan Kecil, hutan di DAS Pulai, hutan di Gunung Kijang dan hutan
di Gunung lengkuas.

Kawasan pengembangan sumber daya air meliputi kawasan untuk meresapkan air
hujan dengan kemampuan tinggi yang merupakan tempat pengisian air bumi
(aquifer), yakni terdapat di sebagian wilayah Bintan Timur dan kawasan
pengembangan sumber air (KPSA). Berdasarkan hasil overlaping antara
kecenderungan perkembangan wilayah, proyeksi kebutuhan air bersih, serta
kapasitas wilayah yang optimal dalam menyerap air permukaan, maka untuk
wilayah KPSA yang semula memiliki luas 370 km2 (SK Gubernur Riau Nomor
KPTS.516/VIII/1992 tentang Penunjukan Lima DAS yaitu DAS Jago, Ekang
Anculai, Bintan, Kangboi, dan Kawal seluas 370 Km2 sebagai hutan lindung),
berkurang menjadi 125,87 Km 2, dengan konsentrasi lahan yang ada tetap
mempertahankan fungsi yang diemban oleh kelima DAS tersebut.

c.2. Kawasan Lindung Wilayah Pesisir dan Kelautan

Kabupaten Bintan secara geografis merupakan wilayah kepulauan yang memiliki


wilayah pesisir dan kelautan yang cukup luas. Kewenangan pengelolaan
berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004, belum secara implisit mampu
menjelaskan tata cara penentuan batas-batas wilayah pengelolaan laut antara
wilayah kepulauan dengan wilayah yang hanya memiliki sebagian lautnya,
sehingga dalam penyusunan rencana ini masih didasarkan pada batas
wilayah administrasi Kabupaten Bintan.

Ruang wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan memiliki potensi sumber
daya alam yang sangat besar dan beragam, sehingga menempatkan sektor
kelautan sebagai sektor unggulan pada masa datang. Untuk memanfaatkan
potensi sumber daya yang tersedia, perlu diatur dan diarahkan secara bijaksana
dengan menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan, agar potensi yang ada tetap
terjaga.

Alokasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan kelautan akan dirumuskan


secara terintegrasi dan terpadu dengan menempatkan wilayah daratan, pesisir,
dan laut dalam satu kesatuan ekosistem yang saling terkait. Potensi-potensi yang
terdapat di wilayah pesisir dan laut perlu diatur pemanfaatannya, yang antara
lain berupa hutan bakau (mangrove), terumbu karang, padang lamun, rumput
laut, pariwisata, habitat dugong, penyu, lumba-lumba, kerapu, kerang dan pulau-
pulau kecil.

Kawasan pulau-pulau kecil yang memiliki luas kurang dari 100 Ha disarankan
untuk tidak dikembangkan, namun diarahkan sebagai area konservasi. Sesuai
azas biogeografi kepulauan, pengembangan kegiatan budidaya di pulau-pulau kecil
akan sangat mengganggu kestabilan ekosistem, yang pada gilirannya dapat
menyebabkan biodiversitas di pulau tersebut semakin terancam.

16
d. Kota Tanjungpinang (RTRW 2010-2030)

Kawasan hutan lindung di wilayah Kota Tanjungpinang ditetapkan di kawasan


hutan yang mempunyai kemiringan lahan di atas 40%, yaitu sebagai berikut:

 Hutan Lindung Sungai Pulai berdasarkan SK Gubernur Nomor 13/1/74 (16-1-


74) dan SK Menhut Nomor 670/XI/1978 (1-11-1978) seluas 751,8 Ha.
 Hutan Lindung Bukit Kucing berdasarkan SK Gubernur Nomor 13/1/1974
(16-1-1974) dan SK Menhut Nomor 670/XI/1978 (1-11-1980) seluas 54,4 Ha.

Di wilayah Kota Tanjungpinang penyebaran kawasan perlindungan setempat


adalah sebagai berikut: Sungai Jang, Sungai Nibung Angus, Sungai Jago, Sungai
Timun, Sungai Ladi, Sungai Terusan dan Sungai Dompak. Sedangkan untuk
perlindungan setempat waduk/danau adalah di Danau Sungai Pulai dan mata air
di Senggarang, serta garis sempadan di sepanjang garis pantai yang ada. Selain itu,
kawasan perlindungan setempat yang dikembangkan di Kota Tanjungpinang
adalah ruang terbuka hijau yang berupa hutan kota (Bukit Manuk), zona
penyangga hutan lindung, taman kota, dan sebagainya.

Kondisi geografis Kota Tanjungpinang yang merupakan wilayah pesisir dan laut
di Kota Tanjungpinang dengan segala keanekaragaman sumberdaya lautnya perlu
dijaga sedemikian rupa demi keberlangsungan hingga jangka waktu yang akan
datang. Oleh sebab itu, sejalan dengan arahan pola ruang Provinsi Kepulauan
Riau, di Kota Tanjungpinang ditetapkan Taman Laut Daerah Pulau Penyengat.

Kawasan cagar budaya yang ditetapkan di Kota Tanjungpinang adalah Pulau


Penyengat di Kecamatan Tanjungpinang Kota dan Kota Piring di Kecamatan
Tanjungpinang Timur.

II.2.2.2 Pendayagunaan Sumber Daya Air

a. Provinsi Kepulauan Riau

Kawasan budidaya merupakan kawasan daratan yang berpotensi untuk


dikembangkan baik untuk kepentingan usaha produksi maupun pemukiman
penduduk dan sangat terkait dengan aspek pendayagunaan sumber daya air.

a.1. Kawasan Hutan Produksi

Arahan kebijakan untuk ruang kawasan hutan produksi terbatas adalah


pengusahaan hutan produksi melalui pemberian izin HPH dengan menerapkan
pola tebang pilih dan tanam kembali. Areal hutan produksi di Provinsi Kepulauan
Riau direncanakan sekitar 138.878 Ha yang tersebar paling luas di Kabupaten
Natuna dan Kabupaten Lingga.

a.2. Kawasan Pertanian

Kawasan pertanian ini terdiri dari kawasan budidaya tanaman pangan, holtikultira
dan perternakan. Pengembangan Kawasan Budidaya Tanamana Pangan,
Hortikultura dan Peternakan yang direncanakan seluas sekitar 124.292 Ha,
dengan luas lahan terluas dialokasikan di Kabupaten Lingga sebagai sentra
pengembangan sektor pertanian dan Kabupaten Bintan.

17
Kawasan Budidaya Tanaman Pangan: Sub sektor tanaman pangan terdiri dari
tanaman padi sawah/ladang, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi
kayu dan ubi jalar. Komoditas pertanian yang dikembangkan di Provinsi
Kepulauan Riau merupakan komoditas pertanian yang terdiri dari komoditas
tanaman pangan dan hortikultura.

Kawasan Budidaya Peternakan: Untuk kawasan agribisnis diprioritaskan pada


Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas,
Kabupaten Karimun dan Kabupaten Bintan serta beberapa pulau yang memiliki
potensi dan kesesuaian dari aspek daya dukung lahan dan agroklimat. Khusus
untuk Kota Batam, kawasan peternakan dikembangkan pada daerah hinterland.
Sedangkan pengembangan sub sistem hilir peternakan diarahkan di kota Batam
dan Kota Tanjungpinang.

Berdasarkan morfologi dan ukuran ternak, maka ternak besar (sapi dan kerbau)
dikembangkan di Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan
Anambas, Kabupaten Karimun, dan Kabupaten Bintan. Untuk ternak kecil
(kambing, domba dan babi) diarahkan di Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan
dan Kabupaten Lingga. Sedangkan ternak unggas diarahkan di seluruh
Kabupaten/Kota di Provinsi Kepulauan Riau.

a.3. Kawasan Perkebunan

Kawasan perkebunan di Provinsi Kepulauan Riau direncanakan seluas sekitar


143.374 Ha dengan luasan terbesar di Kabupaten Lingga.

a.4. Kawasan Perikanan

Dalam rangka pengembangan potensi perikanan dan kelautan di Provinsi


Kepulauan Riau, diperlukan konsep pengembangan yang tersistem, dan dijabarkan
secara spasial sebagai berikut:

 Kawasan perikanan tangkap: semua perikanan laut di wilayah Provinsi


Kepulauan Riau.
 Kawasan pelabuhan perikanan: Ranai, Tarempa, Karimun, Batam, Senayang,
Bintan Timur.
 Kawasan budidaya laut: Kepulauan Anambas, Natuna, Lingga, Bintan,
Karimun, Batam, dan Tanjungpinang.
 Pengolahan perikanan (Pabrik Pengolahan Perikanan): Kepulauan Anambas,
Natuna, Lingga, Bintan, Karimun, dan Batam.
 Pusat distribusi hasil perikanan dan pelabuhan ekspor: Batam, Bintan,
Karimun, Kepulauan Anambas, dan Natuna.
 Pelabuhan utama pengawasan perikanan: Kepulauan Anambas.

Pengembangan perikanan budidaya yang meliputi usaha pembenihan sampai


pemanfaatan teknologi budidaya sangat cocok di provinsi ini. Potensi perikanan
budidaya yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau meliputi budidaya laut seluas
lebih kurang 435.000 ha, rumput laut lebih kurang 38.520 ha, tambak seluas lebih
kurang 17.000 ha dan budidaya air tawar yang dapat dikembangkan baik di
Bintan, Lingga, Natuna, Kepulauan Anambas dan Karimun.

a.5. Kawasan Pertambangan

18
Potensi pertambangan yang ada di provinsi Kepulauan Riau berupa batu granit di
wilayah Karimun, Bintan, Lingga dan Kepulauan Anambas; Pasir di wilayah
Karimun, Bintan, dan Lingga; Timah di wilayah Karimun dan Lingga; Bauksit di
wilayah Karimun, Bintan, dan Lingga, Biji Besi di wilayah Lingga dan Kepulauan
Anambas, Minyak dan Gas di wilayah Natuna dan Kepulauan Anambas, serta
potensi galian tambang lainnya.

a.6. Kawasan Perindustrian

Industri yang dikembangkan di Provinsi Kepulauan Riau adalah industri unggulan


yang terdiri dari industri manufaktur, industri berbasis agro, industri alat angkut,
industri elektronika dan telematika, industri penunjang industry kreatif, dan
industri kreatif tertentu, serta industri kecil dan menengah tertentu. Kawasan
industri yang dikembangkan di seluruh wilayah Provinsi Kepualaun Riau tersebut
sesuai dengan kompetensi inti daerah. Dengan total luas sekitar 39.816 Ha yang
tersebar di Kabupaten Karimun, Kabupaten Bintan, Kota Batam dan Kota
Tanjungpinang.

a.7. Kawasan Pariwisata

Arahan Kepariwisataan Provinsi Kepulauan Riau diimplementasikan ke dalam 6


(enam) Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata, yang terdiri dari:

1. Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata A (Kota Batam) pengembangannya


diarahkan untuk pengembangan wisata konferensi/Meeting, Incentive,
Conferrence, Exhebition (Kawasan Nagoya), wisata belanja (Kawasan Nagoya,
Jodoh, Batu Aji, Batam Centre, Muka Kuning), wisata terpadu (Kawasan Batu
Ampar), wisata bahari (Kawasan Pulau Abang, Pulau Segayang, Kawasan
Nongsa), wisata sejarah/budaya (Camp Pengusngsian Vietnam Pulau Galang),
ekowisata (Kawasan Nongsa) dan wisata minat khusus (Kawasan Pulau Abang).
2. Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata B (Kota Tanjungpinang dan Kabupaten
Bintan), pengembangannya diarahkan pada:

 Kota Tanjungpinang diarahkan untuk pengembangan wisata


budaya/sejarah/religi (Kawasan Pulau Penyengat, Kota Piring, Kawasan
Kota Rebah) dan wisata belanja.
 Kabupaten Bintan diarahkan untuk pengembangan wisata terpadu
(Kawasan Lagoi), ekowisata (Kawasan Gunung Bintan) wisata religi/sejarah
(Kawasan Kota Kara dan Bukit Batu) wisata bahari (Kawasan Lagoi,
Kawasan Sakera Tanjung Uban, Kawasan Trikora) dan wisata minat
khusus (Kawasan Lagoi, Pulau Nikoi dan sekitarnya).
 Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata C (Kabupaten Karimun),
pengembangannya diarahkan untuk pengembangan wisata budaya
(Kawasan Makam Datok Badang, Cagar Budaya Makam Moyang Seraga,
Mesjid Jami‟ Pulau Buru, situs Batu Tulis), wisata bahari (Pantai Pongkar,
Pelawan, Pantai Lubuk Tanjung Batu, Pantai Berangan dan Telunas di
Moro).
 Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata D (Kabupaten Lingga),
pengembangannya diarahkan pada pengembangan wisata budaya dan
sejarah (Kawasan Istana Damnah, Makam Merah, Kawasan Bukit Cening,
Kawasan Bilik 44, Kawasan Mesjid Sultan Lingga), pengembangan wisata
minat khusus (Kawasan Pulau Benan dan Kawasan Pulau Penaah) serta
ekowisata (Desa Resun).

19
 Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata E (Kabupaten Natuna),
pengembangannya diarahkan pada pengembangan wisata bahari (Kawasan
Kecamatan Pulau Tiga dan Kawasan Pantai Tanjung), wisata budaya
(Kawasan Keramat Binjai, Komplek Makam Segeram, Rumah
Peradilan/Rumah Orang Kaya Suan, Rumah Datuk Kaya Wan Muhammad
Benteng, Benteng Kawasan Pertahanan Portugis dan Jepang) serta wisata
minat khusus (Kawasan Pulau Tiga).
 Unit Pengembangan Wilayah Pariwisata F (Kabupaten Kepulauan
Anambas), pengembangannya diarahkan pada pengembangan wisata
bahari dan wisata minat khusus (Kawasan Pulau Bawah, Pulau Penjalin,
Pulau Kelong dan Pulau Semut, Pulau Berhala dan Tukong Atap).

Unit Pengembangan Wilayah A (Kota Batam) terbagi menjadi 3 Unit Kawasan


Wisata (UKW), yaitu:

 Unit Kawasan Wisata Pulau Batam, memiliki fungsi utama sebagai wisata
konferensi dan wisata belanja dan menjadi pusat pengembangan UPWP A.
 Unit Kawasan Wisata Setokok, Rempang, Galang, Galang Baru, memiliki fungsi
utama sebagai pusat pengembangan kegiatan wisata bahari, sejarah dan
agrowisata yang merupakan pelengkap dan pendukung Unit Kawasan Wisata
Pulau Batam.
 Unit Kawasan Wisata Bulang Lintang, Belakang Padang, memiliki fungsi utama
sebagai pengembangan kegiatan wisata bahari, wisata pulau, wisata sejarah,
agrowisata, terpadu dan wisata minat khusus yang merupakan pelengkap dan
pendukung Unit Kawasan Wisata Pulau Batam.

Unit Pengembangan Wilayah B (Pulau Bintan) meliputi wilayah Kota


Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan, yang terbagi menjadi 3 Unit Kawasan
Wisata (UKW), yaitu:

 Unit Kawasan Wisata Kota Tanjungpinang, memiliki fungsi utama sebagai


wisata salah satu pintu gerbang dan pusat transit wisatawan di wilayah Pulau
Bintan dengan wisata penunjang adalah wisata belanja.
 Unit Kawasan Wisata Pulau Penyengat, memiliki fungsi utama sebagai wisata
sejarah dan budaya yang merupakan salah satu obyek wisata andalan di UPWP
B.
 Unit Kawasan Wisata Bintan, memiliki fungsi utama sebagai pengembangan
wisata terpadu (Lagoi, sepanjang Trikora, Sakera, serta Kuala Sempang) dan
kawasan pulau-pulau di sekitarnya dengan kegiatan wisata pendukungnya
adalah ekowisata, wisata pantai serta agrowisata.

Unit Pengembangan Wilayah C (Kabupaten Karimun) meliputi wilayah Kabupaten


Karimun, yang terbagi menjadi 5 Unit Kawasan Wisata (UKW), yaitu:

 Unit Kawasan Wisata Karimun Utara, memiliki fungsi utama untuk


pengembangan wisata bahari dengan kegiatan wisata pendukungnya wisata
sejarah, wisata alam pegunungan (yakni wisata pantai pongkar, wisata pantai
pelawan, wisata air terjun pongkar, wisata gunung jantan betina, dan wisata
gunung karimun anak).
 Unit Kawasan Wisata Karimun Selatan, memiliki fungsi utama sebagai pintu
masuk wisatawan serta pusattransit wisatawan dengan kegiatan wisata
penunjangnya adalah wisata hiburan, belanja dan kuliner.

20
 Unit Kawasan Wisata Pulau Papan (Pulau Buru) di Kecamatan Buru, memiliki
fungsi utama adalah wisata bahari dan wisata penunjangnya adalah wisata
pemandian sumber air panas Pulau Buru, wisata sejarah yakni wisata makam
Badang Buru dan wisata minat khusus.
 Unit Kawasan Wisata Kundur, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari
(yakni wisata pantai gading, wisata pantai lubuk, wisata batu limau, dan
wisata pantai sawang) serta wisata penunjangnya adalah wisata sejarah dan
agro wisata.
 Unit Kawasan Wisata Moro, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari dan
wisata penunjangnya adalah wisata religi, sejarah serta wisata minat khusus.

Unit Pengembangan Wilayah D (Kabupaten Lingga) meliputi wilayah Kabupaten


Lingga, yang terbagi menjadi 3 Unit Kawasan Wisata (UKW), yaitu:

 Unit Kawasan Wisata Lingga, memiliki fungsi utama untuk wisata sejarah dan
agro wisata dengan wisata pendukungnya adalah wisata alam pegunungan dan
wisata bahari.
 Unit Kawasan Wisata Singkep, memiliki fungsi utama sebagai pintu masuk
wisatawan serta pusat transit wisatawan dengan kegiatan wisata adalah wisata
alam dan wisata bahari.
 Unit Kawasan Wisata Senayang, memiliki fungsi utama adalah wisata bahari.

Unit Pengembangan Wilayah E (Kabupaten Natuna) meliputi wilayah Kabupaten


Natuna, yang terbagi menjadi 1 Unit Kawasan Wisata (UKW), yaitu Unit Kawasan
Wisata Bunguran, unit kawasan wisata ini terdiri dari Tanjung, Serasan, Subi,
Midai, Pulau Laut dan Pulau Panjang. Kawasan ini memiliki fungsi utama untuk
wisata bahari dengan wisata pelengkapnya berupa wisata alam pegunungan dan
wisata minat khusus, serta merupakan pintu masuk dan transit wisatawan.

Unit Pengembangan Wilayah F (Kabupaten Kepulauan Anambas) meliputi wilayah


Kabupaten Anambas, yang terbagi menjadi 1 Unit Kawasan Wisata (UKW), yaitu
Unit Kawasan Wisata Kepulauan Anambas, unit kawasan wisata ini terdiri dari
Palmatak, Siantan, Jemaja, memiliki fungsi utama untuk wisata bahari (laut dan
dasar laut) serta pulau-pulau sekitar seperti: Pulau Bawah, Pulau Durai, Pulau
Penjalin dan Pulau Dikar.

a.8. Kawasan Permukiman

Lahan siap bangun bagi pengembangan rumah perorangan perlu dikendalikan dari
waktu kewaktu, hal ini mengingat keterbatasan lahan yang tidak mencukupi jika
semua kawasan dibangun untuk perumahan tanpa mempertimbangkan daya
dukung lingkungan. Hingga tahun 2028, alokasi ruang bagi kawasan permukiman
direncanakan seluas lebih kurang 112.190 Ha. Orientasi pengembangan
perumahan khususnya di kawasan perkotaan dan cepat tumbuh diarahkan bagi
“rumah tumbuh” atau vertikal. Dengan demikian akan mengurangi tekanan bagi
penyempitan lahan untuk aktivitas masyarakat secara keseluruhan.

Tabel 2.2. Proyeksi Jumlah Hunian Yang Dibutuhkan Untuk Permukiman di


Provinsi Kepulauan Riau.

No Kabupaten 2013 2018 2023 2028


1 Karimun 55.082 67.760 83.356 102.541
2 Bintan 33.380 44.547 59.450 79.340

21
No Kabupaten 2013 2018 2023 2028
3 Natuna 13.237 14.780 17.247 19.258
4 Lingga 19.021 21.512 25.556 28.903
5 Kep. Anambas 7.079 7.724 8.727 9.522
6 Batam 188.140 239.966 306.069 390.380
7 Tanjungpinang 41.933 48.111 55.199
63.331
Jumlah 357.868 444.397 555.602 693.273
Sumber: RTRW Provinsi Kabupaten Bintan Tahun 2007-2017

a.9. Kawasan Lainnya

Bila dilihat dari aspek lokasi geografisnya, hampir seluruh wilayah Provinsi
Kepulauan Riau merupakan kawasan pertahanan dan keamanan, karena letaknya
yang berbatasan dengan negara tetangga. Meskipun kawasan pertahanan tersebut
dititikberatkan pada 19 pulau terdepan daerah perbatasan, pada tiap-tiap
kabupaten/kota terdapat pusat-pusat pertahanan berupa instalasi militer maupun
daerah latihan militersebagaimana pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Pusat Pertahanan di Wilayah Provinsi Kepulauan Riau


Kabupaten/Kota Kegiatan/Pusat Pertahanan
Kota Tanjungpinang • Instalasi Militer Lantamal IV • Instalasi Militer Korem – 033 WP •
Instalasi Militer KODIM – 0315 • Instalasi Militer Kantor Lanud
Kota Batam • Guskamla Armabar • Instalasi Militer KODIM – 0316 • Instalasi Militer
Lanal Batam • Daerah Latihan Militer
Kabupaten Bintan • Instalasi Militer Mentigi, Tanjung Uban • Instalasi Militer Satrad
Kabupaten Karimun • Instalasi Militer KODIM • Instalasi Militer Lanal Tanjungbalai Karimun
Kabupaten Lingga • Instalasi Militer Lanal Dabo Singkep • Daerah Latihan Militer
Kabupaten Natuna • Instalasi Militer KODIM • Instalasi Militer Lanal Ranai • Instalasi Militer
Rencana AWR Ranai • Instalasi Militer Lapangan Udara Ranai • Daerah
Latihan Militer
Sumber: RTRW Provinsi Kabupaten Bintan Tahun 2007-2017

b. Kota Batam
b.1. Konsepsi Pengembangan Kawasan Budidaya Perkotaan

Konsepsi pengembangan kawasan budidaya perkotaan di Kota Batam, meliputi:

 Pengembangan Kawasan Pusat Pemerintahan Kota Batam

Pengembangan kawasan pusat pemerintahan dan perkantoran yang ada di Kota


Batam diarahkan di Batam Center dan didukung kawasan pemerintahan lainnya
yang sudah ada maupun yang akan direncanakan, dengan skala pelayanan kota
dan regional. Lokasi pusat pemerintahan yang berada di Kota Batam ini
dihubungkan oleh jaringan jalan utama kota yang berhirarki dan saling terintegrasi
dengan bagian wilayah kotanya, sehingga mudah dijangkau dari seluruh bagian
wilayah kotanya.

 Pengembangan Kawasan Perdagangan dan jasa

Kegiatan perdangan dan jasa yang akan dikembangkan di Kota Batam berupa
perdagangan produk-produk industri dengan kualitas barang bertaraf
internasional, yang akan dipusatkan di Nagoya-Jodoh. Ini dikarenakan kegiatan
perdagangan dan jasa yang ada di Nagoya-Jodoh saat ini sudah berkembang
secara alami dan membentuk pusat kegiatan komersial dengan skala pelayanan
regional/nasional bahkan internasional. Untuk memenuhi tuntutan sebagai pusat
kegiatan perdagangan dan jasa yang bertaraf internasional agar dapat dijadikan

22
sebagai alternatif kegiatan serupa yang ada di Singapura, maka peran pusat
perdagangan dan jasa yang ada saat ini harus ditingkatkan kualitas dan fungsi
pelayanannya serta didukung oleh kebijaksanaan yang menetapkan Kota Batam
sebagai pusat kegiatan perdagangan bebas. Selain itu kegiatan perdagangan dan
jasa ini dikembangkan pula di Batam Center yang diintegrasikan dengan kegiatan
perkantoran. Jenis produk yang diperdagangkan di kawasan ini diprioritaskan
pada produk lokal, terutama yang dihasilkan oleh industri yang ada di Kota Batam.

 Pengembangan Kawasan Industri

Kegiatan industri yang akan dikembangkan di Kota Batam berupa kegiatan marine
industry, industri ringan hingga industri berat yang menggunakan teknologi
madya-tinggi, tidak berpolusi dan sedikit membutuhkan air. Pengembangan
kegiatan industri di Kota Batam berupa kawasan industri, akan dipusatkan di
Pulau Batam dan beberapa lokasi di Pulau Rempang-Galang, diantaranya di Batam
Center, Kabil, Batu Ampar, Sekupang, Tanjung Uncang-Sagulung, Muka Kuning,
Sembulang-Pulau Rempang dan di kawasan industri Pulau Janda Berhias.
Pengembangan kawasan industri ini nantinya akan dikelompokkan sesuai jenis
dan luasan industrinya ke dalam satu lokasi pada setiap kawasan industri yang
akan dikembangkan. Untuk pengembangan kawasan industri di Batam Center
diarahkan pada kegiatan clean industry dan industri perakitan (asembling) dengan
persyaratan tidak menimbulkan polusi dan menggunakan bahan baku dari produk
yang dihasilkan kegiatan industri yang ada di Kota Batam. Sedangkan
pengembangan industri di Pulau Rempang diarahkan pada jenis industri hight tech
yang ramah lingkungan.

Secara umum, kriteria jenis industri yang akan dikembangkan di Kota Batam,
diantaranya berupa:

 Industri padat modal yang menggunakan teknologi madya-tinggi


 Industri yang tidak membutuhkan banyak air dan tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan (non industri polutif)
 Industri yang memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Kota Batam dan
wilayah sekitarnya sebagai bahan baku, sehingga dapat mempercepat proses
pengembangan wilayah sekitarnya dan daerah hinterland-nya
 Industri yang mempunyai potensi pasar dan mempunyai daya saing tinggi, baik
jenis industri yang memanfaatkan teknalogi tinggi maupun yang padat tenaga
kerja
 Industri kecil dan menengah yang dikelola oleh masyarakat setempat, baik
berupa industri kerajinan maupun industri makanan khas setempat.

Agar kegiatan industri yang akan dikembangkan ini dapat memberi manfaat
terhadap masyarakat setempat serta berjalan sesuai dengan yang diharapkan,
maka perlu dilakukan upaya pemberdayaan dan peningkatan ketrampilan bagi
masyarakat setempat yang berminat bekerja di sektor ini, meningkatkan
produktivitas tenaga kerja serta usaha untuk meningkatkan penguasaan teknologi,
baik melalui transfer teknologi atau melalui peningkatan kemampuan terhadap
teknologi yang digunakan. Selain itu, untuk menunjang pengembangan kegiatan
industri perlu pula ditunjang kelengkapan sarana dan prasarana pendukungnya,
seperti pelabuhan barang untuk kegiatan ekspor-impor, peningkatan aksessibilitas
yang baik, serta suplai air, listrik dan telekomunikasi yang memadai.

 Pengembangan Kawasan Pariwisata

23
Kegiatan pariwisata yang akan dikembangkan di Kota Batam dititikberatkan pada
kegiatan wisata budaya dan wisata bahari, dengan target market tidak hanya
penduduk Kota Batam dan sekitarnya saja tetapi juga untuk menarik minat
wisatawan manca negara berkunjung di kota ini. Kawasan yang akan
dikembangkan sebagai pusat kegiatan wisata terbagi atas 4 Satuan Wilayah
Pengembangan Pariwisata, yaitu Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Pulau
Batam, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Sekitar Jembatan Satu –
Rempang – Galang – Galang Baru, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata
Belakang Padang, Satuan Wilayah Pengembangan Pariwisata Bulang Untuk
memenuhi tuntutan sebagai pusat kegiatan wisata yang bertaraf nasional bahkan
internasional, maka perlu didukung oleh pengembangan sarana akomodasi yang
memadai melalui peningkatan kualitas dan kuantitas serta fungsi pelayanannya.

 Pengembangan Kawasan Permukiman

Pada prinsipnya pengembangan kegiatan permukiman dapat dialokasikan pada


lahan-lahan yang kurang produktif, baik oleh Pemerintah, Swasta maupun
Masyarakat yang pelaksanaannya dapat dilakukan melalui kerjasama kemitraan
yang saling menguntungkan. Konsepsi pengembangan kegiatan permukiman ini
dilakukan dengan konsepsi “neighborhood unit” yang dilengkapi dengan sarana
pelayanan umum dan prasarana kotanya. Strategi pengembangan kegiatan
permukiman ini diprioritaskan pada pengembangan secara intensif (vertikal),
dikarenakan lahan yang tersedia di Kota Batam sangat terbatas. Selain itu pola
pengembangan kegiatan permukiman ini harus saling terintegrasi antara
permukiman baru yang akan dikembangkan dengan permukiman penduduk yang
sudah ada, sehingga tercipta keserasian dan dapat dihindari tumbuhnya
kerawanan sosial akibat adanya kesenjangan. Khusus untuk pengembangan
kawasan permukiman di Batam Center diarahkan pada perumahan berkepadatan
rendah.

b.2. Konsepsi Pengembangan Kawasan Budidaya Perdesaan

Konsepsi Pengembangan kawasan budidaya perdesaan di Kota Batam, terbagi atas:

a. Pengembangan Kegiatan Terbangun Di Perdesaan (Perkampungan)

Kegiatan ini merupakan kegiatan terbangun yang ada di pedesaan umumnya


berupa perkampungan penduduk asli yang sudah lama mendiami kawasan
tersebut atau perkampungan nelayan di pulau-pulau yang penduduknya hidup di
laut. Aktivitas kegiatan penduduk pedesaan ini sebagian besar berciri khas pada
kegiatan pedesaan, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.

b. Pengembangan Kegiatan Pertanian, Perkebunan, Peternakan dan Perikanan

Pengembangan kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan


diarahkan pada lahan-lahan produktif yang ada di Kota Batam serta di pulau-
pulau kecil sekitar Wilayah Barelang dan di wilayah pesisir yang ditikberatkan
pada pengembangan kegiatan budidaya perikanan laut. Adapun jenis kegiatan
yang dikembangkan berupa komoditi buah-buahan, palawija, peternakan serta
rumput laut dan perikanan laut.

b.3. Konsepsi Kawasan Pengembangan Pantai

24
Kawasan Pengembangan Pantai merupakan kawasan pesisir di Kota Batam diukur
dari garis pantai saat pasang tertinggi ke arah laut yang ditetapkan untuk
pengembangan berbagai kegiatan perkotaan melalui reklamasi pantai. Konsepsi
pengembangan kawasan pantai merupakan suatu upaya teknologi yang dilakukan
manusia untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi lingkungan buatan,
suatu ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang
alam daratan. Pengembangan kawasan pantai hasil reklamasi harus
memperhatikan keberadaan Perkampungan-perkampungan Tua, keselarasannya
dengan peruntukan di kawasan pantai semula, serta keselarasannya dengan
peruntukan blok-blok reklamasi di sekelilingnya. Kegiatan pengembangan kawasan
pantai yang mengubah ekosistem dan lingkungan perairan laut harus didahului
dengan studi yang mendalam dan dilengkapi dengan Amdal sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aspek positif dari pengembangan kawasan pantai antara lain pertambahan lahan,
penataan bagian-bagian ruang kota, berkembangnya pusat kegiatan bisnis dan
permukiman, serta pengaturan kembali sistem transportasi perkotaan yang saling
terpadu. Kegiatan tersebut juga akan membuka peluang usaha baru dan lapangan
pekerjaan baru bagi masyarakat. Disamping aspek positif juga akan menimbulkan
dampak negatif baik langsung atau tak langsung, seperti terjadinya relokasi
permukiman khususnya masyarakat pantai, sebagai akibat penataan kota,
perubahan kehidupan sosial dan ekonomi serta perubahan lingkungan.

Dalam kegiatan pengembangan kawasan perlu dipertimbangkan bahan baku


urugan yang akan dipergunakan apakah berasal dari daratan atau laut atau akan
diurug dengan sistem „landfill’ dengan memperhatikan material landfill tersebut
untuk menjaga kontaminasi dikemudian hari. Untuk kawasan yang secara alamiah
merupakan muara sungai perlu tetap dikembangkan hutan bakau sebagai
kawasan penyangga kawasan pengembangan kawasan. Sedangkan apabila
material untuk pengembangan kawasan berasal dari laut perlu dipertimbangkan
sekaligus dengan kegiatan pengerukan untuk jalur pelayaran, memasukkan
pertimbangan biaya lingkungan jika terjadi kerusakan lingkungan hidup,
mengembangkan pendapatan alternatif khususnya untuk masyarakat pantai yang
terkena dampaknya.

b.4. Konsepsi Pengembangan Kawasan Strategis

Kawasan strategis merupakan kawasan yang memiliki nilai penting dilihat dari segi
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan maupun pertahanan dan keamanan, yang
memerlukan upaya penanganan dan pengembangan secara terpadu (integrated
development). Penetapan kawasan strategis didasarkan atas kriteria yang
mencakup :

 Kawasan potensial tumbuh cepat dan berfungsi sebagai pusat bisnis terpadu
untuk menunjang pertumbuhan ekonomi kawasan dan merangsang
perkembangan kawasan sekitarnya
 Kawasan berfungsi pertahanan dan keamanan melalui pengembangan
ekonomi, sosial dan budaya, pertahanan dan keamanan serta pembangunan
prasarana dan sarana dasar untuk meningkatkan ketahanan wilayah.

b.5. Konsepsi Pengembangan Kawasan Khusus

25
Kawasan khusus merupakan kawasan yang memiliki potensi dan kemampuan
tertentu dalam memacu pertumbuhan kawasan. Pengembangan kawasan khusus
dilakukan dengan mendorong pengembangannya melalui kegiatan investasi dan
penanganan pemanfaatan ruang secara khusus, yang penetapan kawasan tersebut
ditentukan berdasar kriteria-kriteria berikut:

 Mempunyai potensi sumberdaya yang besar pengaruhnya terhadap aspek


ekonomi, demografi, serta pengembangan wilayah di sekitarnya
 Mempunyai dampak penting terhadap kegiatan yang sejenis atau kegiatan
lainnya
 Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya
 Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang
dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional
maupun regional

b.6. Konsepsi Pengembangan Kawasan Prioritas

Kawasan prioritas merupakan kawasan yang mendapatkan prioritas utama di


dalam pengembangan dan penanganannya. Konsepsi pengembangan kawasan
prioritas yang harus segera ditangani oleh Pemerintah Kota Batam melalui Badan /
Instansi berwenang, mencakup kawasan tumbuh cepat, kawasan tertinggal, dan
kawasan-kawasan dengan permasalahan tertentu.

c. Kota Tanjungpinang

Terkait dengan pendayagunaan sumber daya air, di RTRW Kota Tanjungpinang


telah ditetapkan tentang kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan
dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber
daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Pemanfaatan
kawasan budidaya terdiri dari kegiatan permukiman/perumahan, pusat
perkantoran pemerintah, perdagangan dan jasa, industri, kawasan khusus militer,
pendidikan, wisata, olah raga, dan ruang terbuka hijau.

Penjelasan masing-masing kegiatan pemanfaatan lahan dan proses penetapannya


adalah sebagai berikut:

c.1. Kawasan Permukiman

Indikasi kebutuhan akan permukiman akan berkaitan dengan kebutuhan


pengembangan perumahan. Berdasarkan peningkatan jumlah penduduk sampai
tahun 2030 maka kebutuhan rumah mencapai 179.496 unit rumah. Perhitungan
alokasi lahan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan berikut:

Guna mengakomodasi kebutuhan tersebut maka kriteria lahan yang


dikembangkan untuk perumahan adalah:

 Kemiringan 0-8% untuk perumahan biasa dan 9-25% untuk perumahan


mewah
 Suplai air mudah
 Dekat dengan pusat pelayanan/sub pusat pelayanan

26
Untuk itu dalam RTRW kegiatan perumahan termasuk perumahan yang telah ada
diarahkan pengembangan di Wilayah Potensi (WP) V sebagai kota baru. WP ini
menjadi konsentrasi pelimpahan persebaran penduduk. Sedangkan untuk
menyeimbangkan struktur kota yang terbentuk maka perkembangan pemukiman
juga diarahkan ke Dompak. Pemukiman yang dikembangkan di Dompak
merupakan pemukiman dengan berwawasan lingkungan, yaitu pembangunan
pemukiman dengan tetap memperhatikan penghijauan di sekitarnya. Dengan
perbandingan lahan terbangun dan penghijauan sebesar 60:40. Disamping itu
pada masing-masing kawasan permukiman lainnya dialokasikan pula sesuai
dengan pertumbuhan masing-masing.

Sebagai daerah yang dekat dengan perbatasan antara negara Indonesia dengan
negara tetangga maka Kota Tanjungpinang selama ini menjadi salah satu tempat
transit bagi para tenaga Kerja yang akan bekerja di luar negeri. Terutama TKI yang
akan bekerja di negara Malaysia dan Singapura. Selama ini para TKI tersebut
sebagian besar ditampung di dalam rumah-rumah toko yang banyak tersebar di
dalam Kota Tanjungpinang. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka perlu
direncanakan tempat penampungan sebagai tempat transit bagi para TKI. Tempat
yang dialokasikan adalah di sekitar Bintan Center Kecamatan Tanjungpinang
Timur, juga disediakan balai latihan kerja sebagai tempat pendidikan bagi para
calon pekerja tersebut. Luas lahan yang dibutuhkan untuk tempat transit dengan
balai latihan kerja sekitar 2 hektar.

c.2. Kawasan Industri dan Pergudangan

Kebutuhan pengembangan kawasan industri dan pergudangan dialokasikan di Air


Raja dan Dompak. Kawasan ini terletak di perbatasan antara Kota Tanjungpinang
dengan Kabupaten Bintan tepatnya di Kelurahan Air Raja dan Dompak Darat
(Seberang).

Pengembangan kawasan pergudangan di Kota Tanjungpinang diarahkan secara


terpadu dengan Kawasan Pelabuhan Tanjung Mocoh dan kawasan industri di
Kawasan Dompak Darat.

c.3. Kawasan Pusat Pemerintahan / Perkantoran Pemerintahan

Berdasarkan potensi lahan maka khusus pengembangan perkantoran


pemerintahan Kota Tanjungpinang dialokasikan sebesar 200 Ha di Kelurahan
Senggarang Kecamatan Tanjungpinang Kota. Fasilitas pusat pemerintahan
dijadikan dalam satu kawasan untuk efektifitas kerja. Sementara itu aset-aset
pemerintah kota yang terdapat di pusat kota dapat digunakan untuk mendukung
fungsi pusat pelayanan dan jasa.

c.4. Kawasan Perdagangan dan Jasa

Untuk mengakomodasi pertumbuhan sektor perdagangan dan jasa maka


peruntukan ruang dialokasikan untuk jenis perdagangan grosir di WP I (Kota
Lama) dan WP IV (Bintan Center).

c.5. Kawasan Pendidikan

Kebutuhan kawasan pendidikan tinggi diakomodasi dengan memberikan alokasi


lahan yang terletak di WP III tepatnya di Kelurahan Sungai Jang dan Senggarang.

27
Luasan kawasan pendidikan ini mencapai 79,73 Ha untuk pendidikan dasar dan
dialokasikan 500 Ha untuk perguruan tinggi.

Khusus di Pulau Dompak direncanakan sebuah tempat Pusat penelitian kelautan


dan perikanan, yang mengkaji mengenai berbagai macam potensi maupun
permasalahan yang ada di wilayah perairan Kepulauan Riau. Selain bermanfaat
dalam ilmu pengetahuan juga dapat mendukung adanya industri yang ada di
Dompak daratan dan akan sangat bermanfaat bagi nelayan sekitarnya.

c.6. Kawasan Pariwisata

Alokasi lahan untuk kegiatan wisata diberikan di lokasi-lokasi wisata yang telah
ada. Diantaranya untuk Pulau Penyengat dan Kota Piring sebagai wisata budaya,
Pulau Los, Pulau Dompak, Pulau Terkulai, Hanaria, dan Danau di Kelurahan Air
Raja. Selain itu terdapat wisata spiritual, yaitu klenteng di Senggarang dan
Kampung Bugis. Luas pengembangan yang dialokasikan sekitar 125 Ha.

c.7. Kawasan Hijau Binaan

Kawasan hijau binaan di Kota Tanjungpinang merupakan kawasan hijau sebagai


sarana kota yang meliputi : kawasan hijau rekreasi, kawasan hijau olahraga,
Ruang Terbuka Hijau, TPU dan Pertanian.

a. Kawasan Hijau
Rekreasi

Rencana kawasan rekreasi selain berpedoman pada kondisi yang telah ada saat ini
dan program pembangunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota, juga
berdasarkan optimasi pemanfaatan lahan-lahan konservasi yang akan
dikembangkan. Dengan demikian, kawasan rekreasi di Kota Tanjungpinang
meliputi:

 Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat;


 Kawasan Ruang Terbuka Hijau, berupa Lapangan Pamedan A. Yani, Lapangan
Skip, dan Lapangan Taman Budaya di Senggarang;
 Kawasan Wisata Kuliner (jajanan) di Kawasan Kota Lama;
 Kawasan Taman Hutan Kota Bukit Manuk (Senggarang);
 Kawasan Taman Hutan Kota Bukit Kucing;
 Seluruh areal konservasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai
kawasan wisata, baik secara alami, maupun yang dikelola.

b. Kawasan Olahraga

Rencana lokasi kawasan olahraga diarahkan sebagai berikut:

 Pusat kegiatan olahraga (sport centre) berupa Gedung Olaharaga (GOR) dengan
sarana dan prasarana olaraga yang lengkap dikembangkan di Kawasan
Senggarang. Kawasan ini dipersiapkan selain untuk pembinaan dan
peningkatan prestasi olahraga, juga untuk penyelenggaraan even olahraga
tingkat nasional dan regional. Penataan kawasan ini, juga diharapkan dapat
mengadopsi konsep-konsep kawasan olahraga terpadu, dimana, area di luar
stadion (venue) dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan olahraga masyarakat
Kota Tanjungpinang.
 Sport centre diarahkan dengan konsep yang didominasi oleh ruang terbuka.

28
 Kawasan olahraga skala WP, dikembangkan pada masing-masing pusat WP.

c. Tempat Pemakaman Umum


(TPU)

Arahan pengembangannya adalah sebagai berikut:

 Lahan TPU Kota diarahkan pengembangannya di WP-V untuk pelayanan


bagian utara kota, di WP-IV untuk pelayanan bagian pusat dan timur kota,
serta di WP-I untuk pelayanan bagian pusat dan selatan kota.
 Selain itu untuk pelayanan wilayah dan pemenuhan kebutuhan akan Ruang
Terbuka Hijau kota, maka TPU juga diarahkan untuk dikembangkan di setiap
kecamatan dengan luas yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan dan
kepadatan penduduknya.
 Apabila TPU di Kawasan Pusat Kota sudah penuh maka akan dilayani oleh TPU
yang berada pada wilayah lain, sesuai lokasi dan radius ke TPU terdekat.

d. Pertanian Kota
(Penghijauan)

Pemanfaatan kawasan pertanian meliputi kegiatan perkebunan, perladangan, dan


kehutanan (hutan produksi). Akomodasi kegiatan pertanian diberikan dengan
memberikan alokasi di WP II dan sebagian di WP V.

c.8. Kawasan Khusus

Kawasan khusus merupakan kawasan yang intensitas pemanfaatannya bersifat


terbatas dan penanganannya pun bersifat khusus. Berkaitan dengan pembatasan-
pembatasan akses tersebut, maka kawasan khusus di Kota Tanjungpinang terdiri
dari ; Kawasan Bandara Raja Haji Fisabilillah, Kawasan Pangkalan Utama TNI AL,
kompleks-kompleks militer, dan Kawasan Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung
Geliga, dan Pelabuhan Tanjung Mocoh.

c.9. Kawasan Pertambangan

Kawasan pertambangan adalah Kawasan yang diperuntukkan bagi pertambangan,


baik wilayah yang sedang maupun yang akan segera dilakukan kegiatan
pertambangan. Untuk kawasan pertambangan di wilayah Kota Tanjungpinang
umumnya berupa bahan galian bauksit. Proporsi lahan untuk kawasan ini
disesuaikan dengan kondisi kawasan lainnya yang ada, sehingga diharapkan
kegiatan pertambangan ini tidak mengganggu kegiatan lainnya. Luas lahan
kawasan pertambangan adalah sebesar 11 Ha yang lokasinya berada di Kecamatan
Tanjungpinang Kota.

Secara lebih jelas mengenai rencana pola ruang wilayah daratan Kota
Tanjungpinang tahun 2010-2030 dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Rencana Pola Ruang Wilayah (Darat) Kota Tanjungpinang Tahun 2010 -
2030
LUAS
NO. RENCANA PERUNTUKAN
Hektar %
A. Kawasan Lindung 2,869.72 21.82
1 Hutan Lindung 188.91 1.44
2 Sempadan Hutan Lindung (Buffer Zone) 30.83 0.23
3 Mangrove 933.40 7.10
4 Danau 16.75 0.13
29
LUAS
NO. RENCANA PERUNTUKAN
Hektar %
5 Sungai 63.26 0.48
6 Sempadan Danau 9.86 0.07
7 Sempadan Sungai 512.82 3.90
8 Sempadan Pantai 973.11 7.40
9 Cagar Budaya 73.07 0.56
10 Ruang Terbuka Hijau (RTH) 67.71 0.51
B. Kawasan Budidaya 10,284.28 78.18
1 Permukiman 5,146.37 39.12
2 Fasum dan Fasos 71.61 0.54
3 GOR 27.98 0.21
4 Perdagangan dan Jasa 983.53 7.48
5 Perkantoran 1,387.86 10.55
6 Industri dan Pergudangan 836.05 6.36
7 Pariwisata 48.33 0.37
8 Militer 31.22 0.24
9 Pertanian (Penghijauan) 1308.50 9.95
10 Pertambangan 11.00 0.08
11 Taman Budaya 9.12 0.07
12 Bandara 95.77 0.73
13 Pelabuhan 44.53 0.34
14 Terminal 0.65 0.00
15 TPA 6.33 0.05
16 TPU 22.25 0.17
16 Jaringan Jalan 253.18 1.92
Total 13,154.00 100.00
Sumber: RTRW Tanjungpinang, Tahun 2010-2030

d. Kabupaten Bintan

Kawasan budidaya merupakan kawasan daratan yang berpotensi untuk


dikembangkan baik untuk kepentingan usaha produksi maupun pemukiman
penduduk. Kawasan budidaya di Kabupaten Bintan memiliki potensi sumber daya
alam yang sangat potensial dan beragam. Untuk memanfaatkan potensi sumber
daya yang tersedia, perlu diatur dan diarahkan secara bijaksana dengan
menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Untuk
lebih jelasnya mengenai sebaran potensi sumber daya yang berfungsi sebagai
kawasan budidaya di Kabupaten Bintan adalah:

d.1. Permukiman.

Permukiman berfungsi sebagai tempat tinggal manusia dari hujan, angin, dan
sengatan matahari. Permukiman merupakan suatu kawasan yang sangat
mempengaruhi suatu perkembangan wilayah sehingga daerah ini perlu
diperhatikan sekali perkembangannya baik untuk dimasa sekarang maupun
dimasa yang akan datang.

Lokasi Permukiman umumnya tersebar di wilayah Kecamatan Bintan Utara,


Kecamatan Teluk Bintan, Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang,
Kecamatan Tambelan, dan Kecamatan Bintan Timur.

d.2. Industri.

Kawasan industri merupakan suatu kawasan yang memiliki multiplier effect sangat
besar bagi perkembangan wilayah disekitarnya.

30
Lokasi industri di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan
Bintan Utara, Kecamatan Gunung Kijang, dan Kecamatan Bintan Timur.

d.3. Pariwisata

Kabupaten Bintan memiliki potensi yang sangat besar di bidang pariwisata. Objek
wisata yang tersedia di Kabupaten Bintan diantaranya ialah pantai, Takaran
Penyu, dan panorama alamnya (gunung).

Lokasi wisata di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan Teluk


Bintan, Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan Bintan
Timur, dan Kecamatan Tambelan.

d.4. Pertanian

Setelah nelayan masyarakat Kabupaten Bintan bermata pencaharian sebagai


petani. Secara umum kawasan Pulau Bintan berpotensi sebagai kawasan
pertanian, apalagi Kabupaten Bintan berdekatan dengan negara tetangga seperti
Negara Singapura yang sangat membutuhkan hasil pertanian untuk konsumsi bagi
masyarakatnya.

Lokasi pertanian di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan


Bintan Utara, Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan
Bintan Timur, dan Kecamatan Tambelan.

d.5. Pertambangan.

Kabupaten Bintan memiliki jenis tanah yang sesuai untuk pertambangan. Hasil
dari pertambangan di Pulau Bintan ini banyak di ekspor ke Cina dan beberapa
negara lainnya. Namun selama ini pengelolaan pertambangan yang ada di
Kabupaten Bintan belum menerapkan kaidah berwawasan lingkungan.

Lokasi pertambangan di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah


Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Teluk Bintan, Kecamatan Gunung Kijang,
dan Kecamatan Bintan Timur.

d.6. Perdagangan dan Jasa.

Kawasan perdagangan dan jasa yang ada di Kabupaten Bintan pada dasarnya
tersebar di sekitar permukiman dan berpola mengikuti aliran jalan utama.

Lokasi Perdagangan dan Jasa di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah


Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan Teluk Bintan,
dan Kecamatan Bintan Timur.

d.7. Tempat Pembuangan Akhir.

Tempat pembuangan akhir di Kabupaten Bintan pada dasarnya belum tersedia dan
selama ini masih menumpang di Tempat Pembuangan Akhir Kota Tanjungpinang.
Melihat fungsi Kota Tanjungpinang sebagai ibukota propinsi maka tidak
memungkinkannya tempat pembuangan akhir Kabupaten Bintan bergabung
dengan Kota Tanjungpinang sehingga Kabupaten Bintan perlu suatu tempat
pembuangan sendiri.

31
Lokasi tempat pembuangan akhir di Kabupaten Bintan terletak di wilayah
Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Bintan Timur.

d.8. Militer.

Kabupaten Bintan merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan negara


tetangga khususnya Negara Singapura dan Malaysia sehingga diperlukan
antisipasi terhadap ancaman dan gangguan baik yang datangnya dari luar maupun
dalam.

Lokasi militer di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan


Bintan Utara dan Kecamatan Teluk Bintan.

d.9. Peternakan.

Kabupaten Bintan memiliki potensi peternakan yang terdiri dari hewan ternak dan
unggas.

Lokasi peternakan di Kabupaten Bintan umumnya tersebar di wilayah Kecamatan


Bintan Utara, Kecamatan Teluk Bintan, Kecamatan Gunung Kijang, dan
Kecamatan Bintan Timur.

d.10. Bumi Perkemahan.

Gerakan Pramuka di Kabupaten Bintan yang merupakan organisasi kepanduan


memiliki peranan penting dalam mencetak generasi muda, sehingga diperlukan
suatu lokasi untuk beraktivitas kegiatan tersebut.

Lokasi bumi perkemahan di Kabupaten Bintan terletak di wilayah Kecamatan


Teluk Sebong.

d.11. Tambak.

Kegiatan budidaya air tawar di Kabupaten Bintan menggunakan media kolam.


Lokasi tambak di Kabupaten Bintan terletak di wilayah Kecamatan Teluk Bintan
dan Kecamatan Gunung Kijang

II.2.2.3 Pengendalian Daya Rusak Air a.

Kota Batam

Sungai-sungai yang berada di lingkungan perumahan dan kegiatan perkotaan


lainnya (kawasan budidaya) dengan fungsi sebagai saluran utama (primer)
pembuangan air hujan diberlakukan sempadan sungai sebesar 10 meter.
Pemberlakuan sempadan sungai (saluran buangan air hujan) ini terutama untuk
mengamankan saluran pembuangan air hujan dari kegiatan terbangun. Dengan
demikian diharapkan pada daerah sekitar sungai ini limpahan air hujan dapat
dialirkan secara langsung ke waduk penampungan, sehingga dapat dihindari
adanya genangan/banjir.

Untuk itu perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan terutama pada


sungai-sungai yang berada di luar kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan,

32
yang umumnya berupa sungai-sungai di daerah pesisir yang terpengaruh oleh
pasang air laut, sehingga seringkali menjadi daerah genangan. Sungai-sungai di
maksud antara lain Sungai Kabil, Sungai Tembesi Lama, Sungai Tembesi Baru,
Sungai Penaran, Sungai Langkoi, Sungai Samat, Sungai Senimba, Sungai Temiang,
Sungai Turian, dan Sungai Tiban yang berada di Pulau Batam, Sungai Cia, Sungai
Rempang, Sungai Akit, dan Sungai Jata yang berada di Pulau Rempang, di Sungai
Gong dan Sungai Galang di Pulau Galang, serta Sungai Air Raja.

b. Kota Tanjungpinang

Sesuai dengan arahan RTRW Kota Tanjungpinang 2010-2030 bahwa pengendalian


daya rusak air difokuskan pada:

 Rehabilitasi dan Revitalisasi Sungai Utama di Kota Tanjungpinang (Sungai


Gugus, Sungai Terusan, Sungai Papah, Sungai Mentoi, Sungai Sipayung,
Sungai Dompak).
 Pembangunan prasarana dan sarana pada kawasan abrasi pantai dan rawan
banjir/genangan diseluruh kecamatan di Kota Tanjungpinang.

c. Kabupaten Bintan

Terkait dengan pengendalian daya rusak air, dalam RTRW Kabupaten Bintan
dilakukan kebijakan dengan Program Rehabilitasi dan Pemulihan Sumber Daya
Alam. Program ini bertujuan untuk merehabilitasi alam yang telah rusak dan
mempercepat pemulihan sumber daya alam, sehingga selain berfungsi sebagai
penyangga sistem kehidupan juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan secara
berkelanjutan.

Kegiatan pokok yang akan dilaksanakan antara lain meliputi :

 Rehabilitasi ekosistem dan habitat yang rusak di dalam kawasan penyangga


dan kawasan lindung, pesisir (mangrove) serta pengembangan sistem
manajemen pengelolaannya;
 Rehabilitasi kerusakan di sekitar sumber-sumber air, wilayah rawan bencana
serta wilayah pasca bencana lingkungan tanah longsor, banjir dan kekeringan.

II.3 Inventarisasi Data


II.3.1 Data Umum
II.3.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah

a. Kedudukan WS Batam Bintan Dalam Konstelasi Tata Ruang Nasional


a.1. Posisi Wilayah Sungai (WS) Kepulauan Batam-Bintan dalam Povinsi
Kepulauan Riau

33
Gambar 2.1 Provinsi Kepulauan Riau

Provinsi Kepulauan Riau dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun


2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Provinsi Kepulauan Riau
memiliki karakteristik yang berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, dikarenakan
sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan dan pulau-pulau yang tersebar dari
Selat Malaka sampai Laut Natuna. Berdasarkan perhitungan dari Bakosurtanal,
Provinsi Kepulauan Riau mempunyai luas wilayah 425.214,676 km2. Dari luas
wilayahnya, Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari 9.982,88 km2 berupa daratan dan
415.231,79 km2 berupa lautan. Provinsi Kepulauan Riau mempunyai 2.408 pulau,
dimana 385 pulau telah berpenghuni. Namun demikian baru 1.795 pulau yang
diakui, termasuk diantaranya 19 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan
Negara tetangga, sedangkan 613 pulau sisanya masih dalam proses penetapan di
PBB.

Sebagai provinsi yang masih baru, Provinsi Kepulauan Riau terus berkembang dan
melakukan pemekaran wilayah. Hingga tahun 2008, Provinsi Kepulauan Riau
memiliki 5 (lima) kabupaten dan 2 (dua) kota, yakni Kabupaten Bintan, Kabupaten
Karimun, Kabupaten Lingga, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kepulauan Anambas,
Kota Tanjungpinang, dan Kota Batam.

Dalam konteks Pengelolaan Sumber Daya Air dan sesuai Permen Pekerjaan Umum
Nomor 11A/PRT/M/2006 Tentang Kriteria dan Penetapan Wilayah Sungai, Provinsi
Kepulauan Riau dibagi menjadi 4 wilayah sungai yaitu: WS Kepulauan Karimun,
WS Kepulauan Lingga Singkep, WS Kepulauan Anambas dan WS Kepulauan
Batam-Bintan (Gambar 2.2).

34
Gambar 2.2 Wilayah Sungai di Provinsi Kepulauan Riau

WS Kepulauan Batam-Bintan sendiri ditetapkan sebagai WS dengan status “WS


Strategis Nasional” yang meliputi wilayah Pulau Batam dan Pulau Bintan serta
beberapa pulau-pulau kecil disekitarnya (Gambar 2.3). Mencakup 3 wilayah
adminitrasi kabupaten/kota, yaitu: Kota Batam, Kabupaten Bintan dan Kota
Tanjung Pinang.

35
Gambar 2.3 Wilayah Sungai Kepulauan Batam-Bintan dalam Provinsi Kepulauan
Riau

a.2. Posisi Wilayah Sungai (WS) Kepulauan Batam-Bintan dalam Free Trade
Zone (FTZ) Batam, Bintan, dan Karimun

Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang


No.1 Tahun 2007 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000
Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-
Undang. Pada tanggal 20 Agustus 2007 kita juga telah menerbitkan tiga buah
Peraturan Pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 Tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, PP No. 47 Tahun 2007
Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Pulau Bintan, dan PP
No. 48 Tahun 2007 menyangkut Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas untuk Karimun. Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah
Tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas
Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta berada di kawasan yang
telah ditunjuk sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Sehingga wilayah ini menjadi wilayah yang sangat strategis nasional.

36
Gambar 2.4 FTZ Kota Batam

Gambar 2.5 FTZ Pulau Bintan

37
b. Tata Ruang WS Kepulauan Batam-Bintan
b.1. Rencana Tata Ruang Kota Batam

Batam yang sejak beberapa tahun ini telah diupayakan pembangunannya yang
didasari oleh pertimbangan lokasi strategis, dirasakan memperoleh perhatian yang
baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Perkembangan ini merupakan suatu
konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi yang pesat di kawasan tersebut,
disamping pengaruh langsung dari perilaku globalisasi dunia akhir-akhir ini yang
terus menunjukkan pengaruhnya.

Data kondisi tata guna lahan saat ini diperoleh dari Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Batam 2004-2014 yang disusun oleh Badan Perencanaan Penelitian dan
Pengembangan Kota (BAPPEKO) Batam dan data tambahan dari Laporan Status
Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006 yang disusun oleh Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal) Kota Batam. Data dalam
RTRW dimaksud membagi tata guna lahan menjadi 2 kawasan, yaitu kawasan
budidaya dan kawasan lindung. Menurut data, lahan yang banyak akan
digunakan di Kota Batam sampai dengan tahun 2011, adalah lahan untuk
permukiman sebesar 14,37% dari total areal Kota Batam sebagai kawasan
budidaya dan hutan lindung sebesar 19,87% dari total areal Kota Batam sebagai
kawasan lindung.

Tabel 2.5 Rencana pemanfaatan lahan Kota Batam Tahun 2014


Luas Total % Luas Total %
No Jenis Pemanfaatan Lahan RTRW 2011 RTRW 2011 RTRW 2014 RTRW 2014
(Ha) (%) (Ha) (%)
Kawasan Budidaya 54,418.41 54.89 58,517.95 54.43
1 Pusat Pemerintahan 90.00 0.09 68.26 0.07
2 Industri 6,754.57 6.81 5,843.74 5.63
3 Perdagangan dan Jasa 1,927.22 1.94 2,243.50 2.16
4 Pariwisata 8,369.52 8.44 7,915.09 7.62
5 Pemukiman 14,245.50 14.37 14,136.14 13.61
6 Pengembangan Pantai - - 2,196.88 2.12
7 Pertanian 11,947.02 12.05 11,051.18 10.64
8 Budidaya Perikanan 4,130.39 4.17 3,609.88 3.48
9 Kawasan Strategis - - 1,866.70 1.80
10 Kawasan Khusus - - 1,104.44 1.06
11 Kawasan Bandara - - 1,743.53 1.68
12 Lingkungan Kerja Pelabuhan - - 562.02 0.54
13 Fasilitas Umum 3,740.84 3.77 1,612.00 1.55
14 Jalan 3,213.35 3.24 2,336.69 2.25
15 Pengembangan Terbatas - - 227.90 0.22
Kawasan Lindung 45.11 47,325.27 45.57
44,731.14
16 Bumi Perkemahan - - 94.91 0.09
17 Waduk/Danau 4,600.02 4.64 2,195.40 2.11
18 Rencana Waduk 0.00 2,022.53 1.95
19 Hutan Lindung 19,703.90 19.87 8,797.51 8.47
20 Hutan Wisata 611.67 0.62 968.99 0.93
21 Ruang Hijau Kota - - 11,591.48 11.16
22 Buffer Zone - - 1,966.52 1.89
23 Kawasan Rawan Sesar 76.37 0.08 79.91 0.08
24 Sempadan Waduk 10,350.38 10.44 1,959.23 1.89
25 Sempadan Pantai 0.00 7,746.75 7.46
26 Mangrove / Bakau 9,388.80 9.47 9,902.04 9.54
Jumlah 99,149.55 100.00 103,843.22 100.00
Sumber: RTRW Kota Batam 2004-2014

38
Gambar 2.6 Peta rencana tata ruang Kota Batam 2004-2014

b.2. Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan

Penggunaan lahan di Pulau Bintan tediri dari hutan, permukiman, pawawisata,


perdagangan, pertanian, pertambangan dan lain-lain.

Berdasarkan laporan RTRW Kab tahun 2007-2017, rencana alokasi pemanfaatan


lahan di Kabupaten Bintan, khususnya di wilayah daratan, beserta luasannya
disajikan pada tabel 2.6.

39
Tabel 2.6. Rencana Alokasi Pemanfaatan Lahan di Kabupaten Bintan
Fungsi Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase (%)
Kawasan Industri 7335.24 5.56
Kawasan Lindung 37223.63 28.21
Kawasan Makam 12.68 0.01
Kawasan Militer 15.55 0.01
Kawasan Parawisata 28243.74 21.40
Kawasan Pemerintahan 6.15 0.00
Kawasan Pendidikan 34.28 0.03
Kawasan Perdagangan 219.99 0.17
Kawasan Pemukiman 6203.55 4.70
Kawasan Pertanian 35226.95 26.70
Kawasan Peternakan 7.09 0.01
Kawasan Tambak 220 0.17
Kawasan Tambang 12055.64 9.14
Hutan Lindung 4490.60 3.40
Lainnya 656.06 0.50
Total 131951.15 100.00
Sumber: RTRW Kabupaten Bintan Tahun 2007-2017

Gambar 2.7 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kab. Bintan Tahun 2007-2017

b.3. Rencana Tata Ruang Kota Tanjungpinang

Menurut RTRW Kota Tanjungpinang 2010-2030, rencana struktur kegiatan


fungsional Kota Tanjungpinang dibagi menjadi kegiatan fungsional primer yang
melayani wilayah lebih luas dari Kota Tanjungpinang dan kegiatan fungsional
sekunder yang melayani internal Kota Tanjungpinang.

Kegiatan fungsional primer, meliputi :

a. Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau di Pulau Dompak.


b. Pusat Pemerintahan Kota Tanjungpinang di Senggarang.

40
c. Bandara Raja Haji Fisabilillah.
d. Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjung Geliga, dan Pelabuhan Tanjung Mocoh.
e. Terminal Sei Carang di Bintan Center.
f. Kawasan Perdagangan dan Jasa di Kawasan Kota Lama dan Bintan Center.
g. Kawasan Industri Air Raja dan Dompak Darat/Seberang.
h. Kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat, Istana Kota Piring, dan Kota Rebah.

Kegiatan fungsional sekunder, meliputi :

a. Kawasan Perdagangan dan Jasa di masing-masing sub pusat pelayanan kota.


b. Sub Terminal di masing-masing sub pusat pelayanan kota..

Gambar 2.8 Peta Rencana Tata Guna Lahan Kota Tanjungpinang s/d 2030

II.3.1.2 Demografi/Kependudukan

a. Demografi Kota Batam

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota


Batam sementara adalah 949.775 orang, yaitu 486.404 laki-laki dan 463.371
perempuan. Kota Batam merupakan wilayah kepulauan dengan pusat Kota di
Pulau Batam dan secara otomatis persebaran penduduk terkonsentrasi di Pulau
Batam sedangkan wilayah kecamatan kepulauan masih relatif sedikit
penduduknya. Jika dilihat distribusi menurut kecamatannya, prosentase terbesar
ada di kecamatan Batam Kota yaitu 17,18 %, Sagulung (15,68 %) dan Batu Aji
(13,48 %). Sedangkan penduduk paling sedikit ada di Kecamatan Belakang Padang
(1,90 %), Galang (1,62 %) dan Bulang (1,01 %).

41
Kota Batam memiliki luas wilayah 1.038.840 km2 dengan jumlah penduduk
tersebut diatas maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk di Kota Batam 91
orang per Km2. Wilayah dengan penduduk terpadat adalah kecamatan Lubuk Baja
yaitu mencapai 750 orang/Km2 dan wilayah yang paling kecil kepadatan
penduduknya adalah kecamatan Galang yaitu hanya 4 orang/Km2.

Tabel 2.7 Data kependudukan Kota Batam (BPS-2010)


Distribusi Jumlah Luas Wilayah Kepadatan
Kecamatan
Penduduk (%) Penduduk (Jiwa) (KM2) (PER-KM2)
Kec. Bengkong 9.57 90879 13.214 6877
Kec. Batam Kota 17.18 163216 38.964 4189
Kec. Batuaji 13.48 128004 41.337 3097
Kec. Batuampar 6.20 58923 11.187 5267
Kec. Belakangpadang 1.90 18074 69.12 261
Kec. Bulang 1.01 9574 158.753 60
Kec. Galang 1.62 15353 350.764 44
Kec. Lubukbaja 9.03 85737 11.426 7504
Kec. Nongsa 5.25 49909 114.546 436
Kec. Sagulung 15.68 148942 54.78 2719
Kec. Sekupang 10.60 100632 68.302 1473
Kec. Sungaibeduk 8.48 80543 106.447 757

Distribusi Penduduk Kota Batam Kec. Bengkong


Kec. Batam Kota

42
Kec. Batuaji
8.48 9.57
10.60 Kec. Batuampar
17.18
Kec. Belakangpadang
15.68 Kec. Bulang
13.48 Kec. Galang
5.25 Kec. Lubukbaja
9.03 6.20
Kec. Nongsa
Kec. Sagulung
Kec. Sekupang
1.62 1.01 1.90
Kec. Sungaibeduk

Gambar 2.9 Distribusi Penduduk Kota Batam

43
Gambar 2.10 Kepadatan penduduk Kota Batam (Per-Km2)

Jumlah penduduk suatu wilayah selalu mengalami perubahan baik bertambah


maupun berkurang, hal tersebut dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian dan
migrasi. Perubahan jumlah penduduk dari waktu ke waktu tersebut yang disebut
pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk Kota Batam selama
sepuluh tahun terakhir (2000-2010) adalah sebesar 8,1 %, yang berarti secara
rata-rata jumlah penduduk di Kota Batam setiap tahun bertambah sekitar 8,1 %.

Jika dilihat menurut kecamatan, laju petumbuhan penduduk tertinggi adalah


kecamatan Sagulung yaitu 15,7 % dan yang terendah adalah kecamatan Belakang
Padang yaitu -0,6 % yang berarti rata-rata setiap tahun penduduk Kecamatan
Belakang Padang berkurang sekitar 0,6 %. Wilayah yang penduduknya relatif
stagnan adalah kecamatan Bulang, Galang, Sei Beduk, Lubuk Baja dan Batu
Ampar meskipun Kecamatan Lubuk Baja dari segi kepadatan penduduk adalah
yang terbesar.
Gambar 2.11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Batam

b. Demografi Kabupaten Bintan

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk


Kabupaten Bintan sementara adalah 142.382 orang, yang terdiri atas 73.677 laki-
laki dan 68.705 perempuan. Dari hasil SP2010 tersebut tampak bahwa penyebaran
penduduk Kabupaten Bintan terkonsentrasi di Kecamatan Bintan Timur yang
dapat ditunjukkan dari jumlah penduduknya yang tinggi yakni 39.180 orang.
Kemudian diikuti oleh Kecamatan Bintan Utara yang jumlah penduduknya 21.198
orang. Mantang dan Tambelan adalah 2 kecamatan dengan urutan terbawah yang
memiliki jumlah penduduk paling sedikit yang masing-masing berjumlah 3.894
orang, dan 4.974 orang.

Tabel 2.8 Data kependudukan Kabupaten Bintan (BPS-2010)


Luas Kepadatan
Distribusi Jumlah
Kecamatan Penduduk (%) Penduduk (Jiwa) Kecamatan Penduduk
(KM2) (Per KM2)
Kec. Teluk Sebong 4.84 15975 285.44 56
Kec. Toapaya 3.22 10617 135.53 78
Kec. Bintan Timur 11.87 39180 97.90 400
Kec. Bintan Pesisir 2.43 8028 126.55 63
Kec. Bintan Utara 6.42 21198 78.73 269
Kec. Gunung Kijang 3.61 11924 221.39 54
Kec. Mantang 1.18 3894 66.26 59
Kec. Seri Kuala 5.35 17649 104.86 168
Lobam
Kec. Teluk Bintan 2.71 8943 124.84 72
Kec. Tambelan 1.51 4974 35.00 142
Distribusi Penduduk Kab. Bintan Kec. Teluk Sebong
1.51 Kec. Toapaya
2.71 4.84 Kec. Bintan Timur
1.18
5.35 3.22
Kec. Bintan Pesisir

Kec. Bintan Utara


3.61
11.87 Kec. Gunung Kijang

6.42 Kec. Mantang


2.43
Kec. Seri Kuala Lobam

Kec. Teluk Bintan

Kec. Tambelan

Gambar 2.12 Distribusi Penduduk Kabupaten Bintan (Diolah dari data BPS 2010)

Dengan luas wilayah Kabupaten Bintan sekitar 88.038,54 kilo meter persegi
(namun luas daratannya hanya 2,21 % saja, yakni 1.946,13 kilo meter persegi)
yang didiami oleh 142.382 orang maka rata-rata tingkat kepadatan Kabupaten
Bintan adalah sebanyak 73,16 orang per kilo meter persegi.

Gambar 2.13 Kepadatan penduduk Kabupaten Bintan (Per-Km2)

Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan per tahun selama sepuluh tahun
terakhir yakni dari tahun 2000-2010 sebesar 2,63 %. Laju pertumbuhan penduduk
Kecamatan Teluk Sebong adalah yang tertinggi dibandingkan kecamatan lain di
Kabupaten Bintan yakni sebesar 4,27 %, sedangkan yang terendah di Kecamatan
Tambelan yakni sebesar -0,96 %.
Tingginya laju pertumbuhan penduduk di Kecamatan Teluk Sebong seiring dengan
perkembangan usaha perhotelan selama kurun waktu 10 tahun. Usaha perhotelan
ini menyerap banyak tenaga kerja baik itu dari daerah Kecamatan Teluk Sebong
sendiri maupun dari luar daerah Teluk Sebong.

Sedangkan rendahnya laju pertumbuhan di Kecamatan Tambelan, dikarenakan


pola masyarakatnya yakni yang berusia produktif, yaitu cenderung keluar daerah
untuk bersekolah/bekerja dan setelah selesai/tamat sekolah maupun setelah
mempunyai pekerjaan tetap, mereka tidak kembali lagi ke desa/kecamatan asal,
kemudian membawa serta seluruh keluarganya.

Gambar 2.14 Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Bintan

c. Demografi Kota Tanjungpinang

Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah sementara


penduduk Kota Tanjungpinang sebesar 187.687 orang. Dengan 95.765 orang
penduduk laki-laki dan 91.922 orang penduduk perempuan.

Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Tanjungpinang Timur,


yakni sebesar 71.174 orang dengan 36.489 orang penduduk laki-laki dan 34.685
orang penduduk perempuan.
Tabel 2.9 Data kependudukan Kota Tanjungpinang (BPS-2010)
Distribusi Jumlah Luas Kepadatan
Kecamatan Penduduk Penduduk Kecamatan Penduduk (Per
(%) (Jiwa) (KM2) KM2)
Kec. Tanjung Pinang Timur 37.92 71174 66.2309 1074.634347
Kec. Tanjung Pinang Barat 24.41 45819 4.2607 10753.86674
Kec. Bukit Bestari 28.66 53797 43.9238 1224.780188
Kec. Tanjung Pinang Kota 9.00 16897 31.0986 543.336356

Distribusi Penduduk Kota Tanjung


Kec. Tanjung Pinang
Pinang
Timur

9.00
37.92 Kec. Tanjung Pinang
28.66 Barat

Kec. Bukit Bestari

24.41

Kec. Tanjung Pinang


Kota

Gambar 2.15 Distribusi Penduduk Kota Tanjungpinang (Diolah dari data BPS
2010)

Gambar 2.16 Kepadatan penduduk Kota Tanjungpinang (Per-Km2)


Laju pertumbuhan penduduk Kota Tanjungpinang dari tahun 2000-2010 sebesar
2.79. Penduduk Kota Tanjungpinang mengalami pertumbuhan penduduk yang
relatif besar, hal ini akibat dari dijadikannya Kota Tanjungpinang Tanjungpinang
sebagai Ibu Kota Propinsi, dampaknya memicu migrasi yang cukup besar dari
beberapa Kabupaten/kota lain yang ada di Propinsi Kepulauan Riau hal inilah
salah satu penyebab tingginya laju pertumbuhan penduduk Kota Tanjungpinang.

Apabila dilihat per kecamatan, laju pertumbuhan kecamatan Tanjungpinang Timur


mengalami laju pertumbuhan penduduk terbesar, yaitu sebesar 9,69. Hal ini
karena wilayah Tanjungpinang Timur dahulu merupakan daerah kosong, sekarang
berubah menjadi banyak perumahan-perumahan. Sedangkan Wilayah Kecamatan
Tanjungpinang Barat berkurang jumlah penduduknya dari tahun 2000-2010
dengan laju sebesar 4,78.

Gambar 2.17 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota Tanjungpinang

II.3.1.3 Kondisi Topografi, Digital Elavation Model (DEM), Morfologi dan


Geologi

a. Topografi, DEM, dan Morfologi Kota Batam/Pulau Batam

Wilayah Kota Batam seperti halnya kecamatan-kecamatan di daerah lainnya di


Provinsi Kepulauan Riau, juga merupakan bagian dari paparan kontinental. Pulau-
pulau yang tersebar di daerah ini merupakan sisa-sisa erosi atau penyusutan dari
daratan pra tersier yang membentang dari semenanjung Malaysia/Pulau Singapura
di bagian utara sampai dengan Pulau Moro dan Kundur serta Karimun di bagian
Selatan. Kota Tanjung Pinang yang merupakan pusat pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau dan Kabupaten Bintan terletak disebelah timur dan memiliki
keterkaitan emosional dan kultural dengan Kota Batam. Permukaan tanah di Kota
Batam pada umumnya dapat digolongkan datar dengan variasi disana-sini
berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 160 m di atas permukaan laut.
Sungai-sungai kecil banyak mengalir dengan aliran pelan dan dikelilingi hutan-
hutan serta semak belukar yang lebat.

Wilayah Kota Batam terdiri dari 329 buah pulau besar dan kecil, yang letak satu
dengan lainnya dihubungkan dengan perairan. Pulau-pulau yang tersebar pada
umumnya merupakan sisa-sisa erosi atau pencetusan dari daratan pratersier yang
membentang dari Semenanjung Malaysia di bagian utara sampai dengan Pulau
Moro, Kundur, serta Karimun di bagian selatan.

Dilihat dari perputaran arus yang ada maka perairan di Kota Batam yang berada di
Selat Malaka ini merupakan daerah subur bagi kehidupan perikanan dan biota
lainnya. Perairan Kota Batam merupakan wilayah ekosistem perikanan Kepulauan
Riau yang dipengaruhi oleh gerakan air yang berasal dari Samudera Hindia yang
melewati Selat Malaka dan gerakan arus yang berasal dari Laut Cina Selatan.
Dalam ekosistem di wilayah Kota Batam ditemukan satwa liar yang terdiri dari 8
(delapan) jenis kelas mamalia, 16 (enam belas) heasevas dan partilia. Tipe habitat
yang digunakan satwa liar ini yaitu: pantai, mangrove, rawa/danau, ladang/kebun,
hutan sekunder dan hutan primer.

Kondisi topografi secara umum dapat dilihat pada gambar 2.18.

G )

ambar 2.18 Kondisi topografi Pulau Batam dalam Digital Elevation Model (DEM
Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), areal di Kota Batam berada pada ketinggian 5 -25
meter dpi, yang merupakan lahan auvial. Daerah dengan ketinggian 0–5 meter dpi
terdapat di pesisir Utara dan Selatan Pulau Batam, yang merupakan hutan
mangrove, sekitar 51% (42.406 Ha). Secara teori, lahan dengan ketinggian 25 – 100
meter dpi cocok untuk perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan hutan
lindung (kawasan konservasi). Sedangkan sekitar 32% dari luas areal di Pulau
Batam berada di ketinggian 25 – 100 meter dpi, sehingga dapat menjadi areal
perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan hutan lindung (kawasan
konservasi). Distribusi areal di Pulau Batam berdasarkan elevasi dapat dilihat pada
Tabel berikut:

Tabel 2.10 Klasifikasi Lahan Pulau Batam Berdasarkan Kemiringan (Ha)


Wilayah Kemiringan Lahan (Ha) Total
0-3 3-10 10-20 20-40 >40
Batu Ampar 1.743,75 1.262,50 718,75 431,25 37,50 4.198,75
Batam Center 425 1.062,50 618,75 62,50 - 2.168,75
Kabil 3.243,75 1.912,50 1.3875,50 318,75 12,50 6.875,00
Nongsa 987,5 1.056,25 1.087,25 581,25 6,25 3.718,75
Duriangkang 2.312,50 4.437,50 2.318,75 1.050,00 106,25 10.225,00
Muka Kuning 43,75 1.475,00 1.743,75 1.956,25 725,00 5.943,75
Tj. Uncang 2.656,25 3.100,00 806,25 187,50 6,25 6.756,25
Sekupang 1.050,00 1.393,75 843,75 612,50 368,75 4.26878
Total 10.718,715 15.700,00 9.525,00 5.200,00 1.262,50 42.406,25
%tase 25,28 37,02 22,46 12,26 2,98 100
Sumber: Lemtek UI, 1999

Menurut laporan tersebut, apabila ditinjau dari kemiringan lahan, daerah dengan
kemiringan 0 – 3 % terdapat di pantai Teluk Senimba, Jodoh, Tering dan Pantai di
Duriangkang. Daerah ini cocok untuk perumahan, industri, pariwisata, pertanian
dan hutan konservasi. Lahan dengan kemiringan 3 – 10% tersebar di seluruh
Pulau Batam, mulai dari Bukit Dangas Pancur di Sekupang dan Tanjung Uncang
di bagian timur sampai ke Teluk Jodoh dan Duriangkang di bagian selatan. Daerah
kemiringan 10 – 20% terdapat di daerah perbukitan pantai barat sampai timur.
Daerah dengan kemiringan 20 – 40% merupakan daerah sempit terdapat di
perbukitan Dangas Pancur (dikembangkan untuk konservasi dan bisnis). Daerah
dengan kemiringan lebih dari 40% terdapat di bukit Dangas dan Pancur,
merupakan areal konservasi hutan dan hutan lindung untuk sumber daya air
(daerah tangkapan air).

Peta Kemiringan lahan disajikan pada gambar 2.19.

Gambar 2.19 Peta Kemiringan Lahan WS Pulau Batam (diolah dari DEM Aster)
Berdasarkan kemiringan lahan tersebut di atas, serta pembentukan tanahnya
maka geomorfologi lahan di Pulau Batam dapat diklasifikasikan sebagai berikut
(Bapedal Kota Batam, 2006) :

a. Dataran Pantai (Marine Plain): Ketinggian sekitar 0,5 meter dpi terdapat di
pantai Pulau Batam, yang terbentuk dari batuan koral dan pasir. Sebagai
endapan dan proses erosi dan penguraian batuan koral daerah ini potensial
untuk pengembangan wisata.
b. Dataran Aluvial (Aluvial Plain): Dataran ini mempunyai kemiringan 3 – 10%.
Secara umum, 10 – 20% dari dataran tersebut berbentuk dataran sampai
bergelombang. Dataran ini merupakan tanah yang terbentuk dari sedimentasi
bahan batuan atau tanah, dan tersebar hampir di seluruh wilayah Pulau
Batam. Daerah ini potensial untuk perumahan, industri, pariwisata dan hutan
konservasi.
c. Daerah Perbukitan (Hills): Daerah ini biasanya mempunyai ketinggian di atas
25 meter sampai 100 meter dengan kemiringan 20-40%. Daerah ini terdiri dari
tanah aluvium dan kallovium yang terpadatkan. Daerah ini potensial untuk
perumahan, pertanian, industri dan kawasan konservasi.
d. Daerah Pegunungan (Mountainous): Daerah ini terdapat pada ketinggian lebih
dari 100 meter dpi dan kemiringan sekitar 40%. Daerah ini merupakan material
alluvium yang terpadatkan, dan dapat ditemui di perbukitan Dangas dan
Pancur. Daerah ini potensial untuk pengembangan hutan konservasi dan
daerah pariwisata.

b. Topografi, DEM, dan Morfologi Pulau Bintan

Geomorfologi P. Bintan didominasi oleh bentangalam dataran rendah diselingi oleh


perbukitan yang mempunyai ketinggian berkisar 400 meter dpl. Morfologi
perbukitan mempunyai dua bentuk yang berbeda, berasosiasi dengan jenis bahan
yang menempatinya. Morfologi perbukitan berbentuk bulat dengan permukaan
halus dan lembah berlereng sedang tersebar di bagian Timur P. Bintan, berasosiasi
dengan batu granit. Morfologi perbukitan di bagian tengah dan barat sedikit
berbeda, dicirikan oleh pola terrain lebih kasar dengan Iuas tinggian lebih lebar.
Pada morfologi ini, jejak-jejak bidang perlapisan masih dapat diamati dengan jelas,
menunjukkan tipik batuan sedimen/meta-sedimen.
Gambar 2.20 Peta Kemiringan Lahan WS Pulau Bintan (diolah dari DEM Aster)

Secara umum kondisi topografi Pulau Bintan berdasarkan elevasi dan bentuk
morfologinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) satuan morfologi, yaitu:

1) Satuan Morfologi Dataran


Dataran pada Pulau Bintan tersebar sepanjang pantai yang merupakan
dataran pantai dan rawa. Elevasi daratan diwilayah ini berkisar antara
+0.000 s/d +3.000 m.dpl dengan kemiringan lereng < 3 0. Satuan morfologi
ini menempati ± 25 % dari luas Pulau Bintan atau sekitar 285 Km 2.

2) Satuan Morfologi Perbukitan Landai


Satuan morfologi ini sangat luas (60 % dari luas Pulau Bintan) dan tersebar
dibagian tengah pulau. Secara umum satuan ini membentuk morfologi
perbukitan bergelombang dengan kemiringan antara 3 0-200 dengan elevasi <
+ 50,000 m.dpl. Daerah ini merupakan daerah pemukiman, tegalan dan
persawahan. Satuan morfologi ini tersusun dari batuan hasil rombakan
batuan yang lebih tua dan umumnya sudah mengalami konsolidasi.

3) Satuan Morfologi Perbukitan Terjal


Satuan morfologi ini tersebar dibagian utara utara, tengah dan bagian
selatan dengan luasan ± 15 % atau sekitar 171 Km2. Kondisi lahan di
satuan morfologi ini berupa hutan, perkebunan dan pertambangan. Bukit-
bukit yang mencirikan satuan morfologi ini diantaranya Gn. Bintan Kecil,
Gn.Langkuas, dan Gn.Kijang yang memiliki kemiringan lereng >20 0. Batuan
penyusun satuan morfologi ini terdiri dari batuan granit dan granodiroit.

Berikut ini profil topografi Pulau Bintan arah Utara-Selatan dan Barat-Timur.
Gambar 2.21 Profil Utara-Selatan Pulau Bintan

Gambar 2.22 Profil Barat-Timur Pulau Bintan

Daerah yang memperlihatkan timbulan yang cukup mencolok antara lain adalah:
Gunung Bintan Besar (+348 m.dpl), Gunung Bintan Kecil (+ 196 m.dpl),
Gunung Kijang (+ 217 m.dpl), dan Gunung Langkuas (+ 214 m.dpl). Kondisi
Topografi daerah studi disajikan pada gambar 2.23.
ambar 2.23 Kondisi topografi Pulau Bintan dalam Digital Elevation Model (DEM)

c. Geologi WS Kepulauan Batam-Bintan

Geomorfologi Pulau Bintan berupa perbukitan granit yang terletak di bagian


selatan pulau dan dataran yang terletak di bagian kaki. Struktur geologi sesar
Pulau Bintan dominan berarah barat laut-tenggara dan barat daya-timur laut,
beberapa ada yang berarah utara-selatan atau barat-timur. Pulau-pulau kecil di
sebelah timur dan tenggara Pulau Bintan juga disusun oleh granit berumur Trias
(Trg) sebagai penghasil bauksit (RTRW Provinsi Kepulauan Riau 2008-2028).
Gambar 2.24 Peta Geologi WS Kepulauan Batam Bintan

Gambar 2.25 Peta Formasi Geologi WS Kepulauan Batam Bintan


c.1. Geologi Pulau Batam

Menurut Hamilton (1979), secara regional geologi Pulau Batam dan sekitarnya
termasuk dalam tatanan stratigrafi dan litologi berumur Palaeozoikum Atas dan
Triasik yang merupakan kelanjutan dari bagian timur Malaysia. Berdasarkan peta
geologi Pulau Batam yang dikompilasi oleh GM. Hermansyah (1983), litologi yang
terdapat di Pulau Batam adalah sebagai berikut:

Batuan tertua merupakan batuan malihan yang terdiri dari sekis, batu sabak dan
kuarsit yang berumur Permo-karbon. Batuan ini pada umumnya terdapat di pantai
timur dan barat Pulau Batam yang menyebar dari utara ke selatan. Di bagian
barat, batuan malihan ini dapat dijumpai mulai dari Teluk Senimba yang
memanjang ke arah selatan dan berakhir di sekitar daerah Pulau Gundap
sedangkan di bagian timur terdapat di kawasan pantai Pangkalan Api, Panau
sampai Kabil. Selanjutnya pada umur Pra Triasik terdapat batuan granit berbentuk
batolit yang menerobos batuan malihan tersebut di atas. Berdasarkan peta geologi
yang ada, batuan granit ini pada umumnya terungkap di bagian timur pantai utara
Pulau Batam, yaitu sekitar Nongsa, Pulau Babi dan menyebar ke selatan di sekitar
Pulau Jabi. Berdasarkan singkapan yang terdapat di sekitar Nongsa, batuan granit
ini berwarna abu-abu kemerahan, kadang-kadang abu-abu kegelapan, sangat
kompak, berstektur porpiritik dan terdiri dari mineral-mineral kuarsa, ortoklas dan
mineral hitam yang diduga horenblende. Di beberapa tempat dijumpai pula batuan
kuarsit yang seolah-olah mengisi kekar-kekar yang terjadi pada grani itu sendiri
dan batuan asing basalt berupa zenoit. Batuan kuarsit tersebut diperkirakan
sebagai proses akhir magmatis dari pembentukan terobosan granit, sedangkan
batuan basalt terjadi akibat batuan samping di sekitarnya termakan oleh proses
granitisasi. Berdasarkan kenampakan di lapangan, struktur geologi yang
berkembang pada batuan granit terdiri dari patahan dan kekar. Indikasi patahan
tersebut dibuktikan dengan dijumpainya kenampakan cermin sesar dan
perkembangan dari kekar-kekar itu sendiri. Secara umum liniasi patahan tersebut
berarah barat laut – tenggara. Selanjutnya di atas batuan granit, diendapkan
secara tidak selaras Formasi Batam Tengah yang terdiri dari batuan lempung
serpihan berwarna hitam, boklat dan merah keunguan, batu pasir lempungan yang
mengandung mineral mika, batu pasir berwarna putih dan hitam, kuarsit dan
konglomerat kuarsit. Keseluruhan batuan tersebut di atas berumur Triasik.

Geologi Pulau Batam diklasifikasikan atas alluvium, formasi Batam Tengah, granit,
kuarsa porpirite dan unti metamorfosa. Secara detail klas geologi ini adalah
sebagai berikut:

a. Alluvium. Komposisinya terdiri dari pasir, pasir berliat, liat berpasir dan pada
beberapa lokasi terdapat batu-batuan (gravel). Tanah jenis ini tersebar di
estuari sungai Beduk, Duriangkang Selatan. Tanah kelas ini cocok digunakan
untuk areal pertanian, hutan mangrove, perumahan dan industri.
b. Central Batam Formation. Komposisinya terdiri dari tanah liat hitam, tanah liat
coklat kemerahan, liat berpasir, pasir mika pasir putih, dan pasir coklat. Tanah
jenis ini tersebar hampir di semua Pulau Batam, cocok digunakan untuk
perumahan, industri, pertanian, pariwisata dan areal konservasi.
c. Granit. Merupakan padatan yang terurai, tahan air, permeablirtas rendah.
Jenis ini banyak terdapat di arah timur laut dari Nongsa sampai Kabil. Areal ini
baik dikembangkan untuk industri, perumahan dan pariwisata.
d. Quartz Porphyrites. Merupakan penguraian dari batuan granit propirit, terdiri
dari khlorit, epidot, kalsit dan florit. Banyak terdapat di Batam Center (Teluk
Tering), baik digunakan untuk industri, perumahan dan pariwisata.
e. Unit Metamorfosis. Terbentuk dari batuan padat atau sedimen melalui proses
metamorfosis (perubahan bentuk), terdiri dari selists, slater dan kwarsa. Jenis
ini menyebar di arah timur dari Dangas Pancur dan Pantai Timur (Kabil) ke
Pantai Duriangkang. Baik digunakan untuk industri, perumahan, pariwisata,
pertanian dan daerah konservasi hutan.

c.2. Geologi Pulau Bintan

Batuan termuda terdiri dari batu pasir, serpih dan konglomerat yang sedikit
terlipatkan. Batuan tersebut dapat dikorelasikan dengan plato batupasir di
Kalimantan, yang diperkirakan berumur Tersier Awal. Batuan berumur tersier
yang lebih tua diterobos oleh batuan granit. Daerah yang paling luas yang didasari
oleh batuan granit adalah Pulau Kundur, Pulau Karimun, Pulau Singkep dan
Pulau Bintan. Intrusi granit dalam skala kecil terdapat di Pulau Logan, Pulau
Tanjung Siau dan Pulau Rempang.

Batuan yang menyusun Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil sekitarnya terdiri atas
batuan sedimen dan batuan terobosan intrusive, secara berurutan dari paling
muda sampai paling tua yang tersingkap adalah (Kusnama dkk, 1994):

a. Endapan Aluvial (Qa). Tersusun dari lempung, lanau, kerikil, sisa-sisa


tumbuhan, gambut, terumbu koral, pasir kuarsa, sisa batuan granit,
konglomerat , belum terkompaksi. Penyebaran endapan ini umumnya terdapat
di daerah pantai Pulau Bintan dan sepanjang bantaran sungai Anculai.
Endapan aluvial ini masih berlangsung hingga saat ini.
b. Formasi Goungon (GTg). Batupasir tufaan keputihan berbutir halus menengah,
laminasi sejajar, batu lanau umum dijumpai, tuf pasiran dan tuf litik berwarna
putih berukuran butir pasir halus setempat berselingan dengan batupasir tuf
putih kemerahan dan batu lanau kelabu agak karbonan mengandung sisa
tanaman. Formasi ini tersebar secara luas di bagian tengah Pulau Bintan mulai
dari Tanjung Uban sampai Kawal dan berlingkungan Fluviatil, ketebalan
mencapai 200 meter dengan umur Plio-Plistosen.
c. Formasi Tanjung Kerotang (Tmpt). Konglomerat aneka batuan berkomposisi
granit, batupasir kuarsa, feldspar dan malihan yang berlanauan dalam matrik
batupasir kasar dengan konsolidasi baik, lapisan bersusun dan silang siur
umum dijumpai dalam lingkungan darat dan pantai. Formasi ini tidak
tersingkap di permukaan dan berumur Plio-Pliosen.
d. Batuan Terobosan Andesit (Tma). Andesit kelabu, komposisi Plagioklas,
Hornblende, Biotit, tekstur porfiritik dengan masa dasar mikro kristal feldspar,
agak terkekarkan dan umumnya segar. Batuan ini ditemukan di Gunung
Bintan Besar, Gunung Kijang, dan Gunung Lengkuas.
e. Batuan Terobosan Intrusive Granit (Tlg). Berwarna kelabu kemerahan-
kehijauan, berbutir kasar, komposisi feldspar, kuarsa, hornblende dan biotit,
mineral umumnya bertekstur primer dan membentuk Pluton Batholit yang
tersingkap luas di Pulau Bintan yang salah satu diantaranya dikenal sebagai
Pluton Granit Kawal yang dijumpai mulai dari desa Kijang sampai Berakit.
Batuan terobosan intrusive granit ini disamping menempati hampir sebagian
seperti Tanjung Uban, Lagoi, juga sebagai penyusun pulau-pulau kecil
disekitarnya seperti Pulau Koko, Pulau Berakit dan Pulau Sumpat.
II.3.1.4 Laporan Hasil Studi/Kajian Terkait Sumber Daya Air

Untuk mendukung pembuatan Pola PSDA Kepulauan Batam-Bintan, beberapa


hasil inventarisasi studi sebelumnya yang pernah dilakukan dirangkum dalam
tabel 2.11.

Tabel 2.11Hasil stuid terkait sumber daya air dalam WS Kepulauan Batam-Bintan
No Uraian / Pekerjaan
1 Studi Catchment Area dalam Rangka Konservasi SDA pada pulau Batam-Bintan
2010
2 DED Pengerukan dan Perkuatan Tebing W. Sei Pulai
3 Studi Potensi Sumber Air Alternatif di P. Bintan Kep. Riau 2009
4 Upaya Antisipasi Krisis Ketersediaan Air Di P. Batam Tahun 2014
5 Penyediaan Air Baku P. Bintam
6 Rencana Pengembangan Embung Galang Batang
7 Rencana Pembangunan DAM Busung Kab. Bintan 2009
8 Study Kondisi Waduk Sei Pulai
9 Peningkatan Pelayanan PDAM Tirta Kep. Riau
10 Penyedian Air Baku Sungai Gesek
11 Studi Penanggulangan Banjir Pulau Batam
12 Upaya Pengendalian Banjir di WS Kep. Batam-Bintan
13 Studi Pengendalian Banjir Batam Center
14 Data DAS, Sungai & Danau P. Bintan Th 2010
15 Data-Data Teknis Bendung di Baelang
16 Data-Data Prasarana Sumber Daya Air
17 Data Prasarana SDA Yang Dibangun Oleh BWSS4
18 SID Bendung Dan Jaringan Irigasi D.I Kandui
19 Perencanaan Penyediaan Air Baku Galang Batang P. Bintan
20 Studi Kelayakan Pembangunan Estuasi DAM di P. Bintan
21 Studi Kelayakan Pembangunan Pengaman Pantai P. Batu Berhanti & P. Pelampong
22 Studi Kelayakan Pembangunan Pengaman Pantai P. Nongsa. P. Mapur & P. Sentot
23 Studi Kondisi & Inventarisasi Pantai dan Muara pd P. Batam-Bintan
24 Studi Kondisi & Inventarisasi Sungai, Danau dan Prasarananya pd P. Batam-Bintan
25 Penyusunan DED Pengaman Pantai Senggarang Kota Tj. Pinang
26 Studi Rasionalisasi Sistem Hidrologi di Kep. Riau
27 Studi & Perenc. Detail Terpadu Pengendalian Banjir Sungai Banyuasin Bomberlian
28 Rancangan Pola Pengelolaan SDA WS Kep. Batam-Bintan

II.3.2 Data Sumber Daya Air


II.3.2.1 Klimatologi

a. Batam

Data iklim didapat dari stasiun Meteorologi terdekat yaitu Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG) Hang Nadim Kota Batam. Data yang diperlukan dalam studi ini
adalah data klimatologi merupakan data analisis statistik yaitu:

a. Data Presipitasi
b. Data Penyinaran Matahari
c. Kelembaban Udara
d. Temperatur Udara

Data meteorologi telah diukur dan direkam dalam berbagai satuan. Semua data
telah dikonversikan kedalam satuan metric untuk pelapoaran ini. Tabel...
menyajikan parameter yang diukur dan satuan yang terekam.
Tabel 2.12 Daftar Parameter dan Satuannya
Parameter Satuan Unit laporan
Kecepatan anqin(m/s) Mile per jam (knots) Meters per second
Temperatur udara Derajat celsius (°C) Derajat celsius (°C)
Kelembapa Udara % udara %
Tekanan Atmosfir Millibar (mbars) Millibar (mbars).
Curah hujan Millimeter (mm) Millimeter (mm)
Lama penyinaran matahari % %
Sumber: Stasiun Meteorologi Hang Nadim, Batam

a.1. Data Presipitasi

Jenis hujan dapat diklasifikasikan berdasarkan pada lokasi dan, mekanisme


peningkatan pendinginannya, tipe tersebut adalah:

a) Dekat area katulistiwa, hujan dalam jumlah besar diperoleh berdasarkan


penyinaran matahari yang terus menerus dikarenakan adanya peningkatan
kelembaban udara laut yang menghasilkan proses pendinginan konvektif.
Adanya pola sirkulasi secara global menyebabkan massa udara kutub utara
dan selatan memusat dekat garis katulistiwa yang menyebabkan peningkatan
tinggi.
b) Area garis lintang tengah (30o-60o) hujan sebagian besar dihasilkan oleh
aktivitas siklonis , ketika massa udara kutub dan subtropics bertemu pada
depan kutub.
c) Area pegunungan, dimana dekat dengan sumber air dimungkinkan menerima
curah hujan dalam jumlah besar berdasarkan pada pendinginan aerografis,
situasi ini disebabkan oleh adanya angin dari gunung.

Data curah hujan yang didapat dari stasiun BMG Hang Nadim tahun 1999–2009
menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember tahun
2006 yakni sebesar 989.5 mm, sedangkan curah hujan minimum terjadi pada
bulan Januari 2009 yaitu 11.80 mm. Grafik tinggi hujan tahunan rata-rata Pos
Hidroklimatologi Hang Nadim disajikan pada Gambar 2.25..

Gambar 2.26 Curah Hujan Rerata Bulanan Stasiun BMG Hang Nadim
Curah Hujan Rerata Pos Hidroklimatologi Hang Nadim
(Tahun 1999 - 2009)
300
250

Curah Hujan Rerata Tahunan (mm)


200

150

100

50

0
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Gambar 2.27 Curah Hujan Rerata Tahunan Stasiun BMG Hang Nadim

a.2. Data Penyinaran Matahari

Data lama penyinaran matahari diperlihatkan dalam %tasi kondisi penyinaran


matahari selama 8 jam setiap hari. Data lama penyinaran matahari tahun 1999
sampai 2009 dari BMG Hang Nadim disajikan dalam Gambar 2.27.

Lama Penyinaran Stasiun BMG Hang Nadim


(Tahun 1999 - 2009)
80

70

60
Lama Penyinaran (%)

50

40

30

20

10

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Gambar 2.28 Lama Penyinaran Matahari (%)

a.3. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah rasio antara kandungan air dalam udara dengan jumlah
kandungan air tersebut yang dapat diterima pada temperatur yang sama. Satuan
dari kelembaban udara adalah %. Kelembaban udara relatif bervariasi antara
penyinaran matahari yang maksimum dan minimun pada sore hari. Variasi
kelembaban udara relatif mengikuti variasi temperatur.

Data kelembaban udara relative dari BMG Hang Nadim tahun 1999 sampai 2009
dengan tiga waktu pengamatan yaitu pukul 07.00, 13.00 dan 18.00. Gambaran
kelembaban udara maksimum dan minimum stasiun Klimatologi Hang Nadim
Batam disajikan pada Gambar 2.28.
Kelembaban Udara Stasiun BMG Hang Nadim
(Tahun 1999 - 2009)
100

95

90

85
Kelembaban Udara (%)

80

75

70

65

60
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Kelembaban Max

Gambar 2.29 Data Kelembaban Udara Relatif (%)

Gambar 2.28 menunjukkan bahwa bahwa kelembaban udara rerata maksimum


adalah 94% dan minimum 77%.

a.4. Temperatur Udara

Data temperatur udara bulanan, berdasarkan data temperatur udara dari tahun
1999-2009 disajikan pada Gambar 2.29.

Temperatur Pos Hidroklimatologi Hang Nadim


(Tahun 1999 - 2009)
30
28
26
24
Kelembaban Udara (%)

22
20
18
16
14
12
10
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Max Min

Gambar 2.30 Temperatur Udara

b. Bintan

Data iklim didapat dari stasiun Meteorologi Tanjung Pinang yang berada di
Tanjung Pinang timur pada koordinat 00055'07" LU-104031'48" BT.
b.1. Data Presipitasi

Data curah hujan tahun 1995–2009 menunjukkan bahwa curah hujan rerata
bulanan maksimum terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 410.1 mm,
sedangkan curah hujan rerata bulanan minimum terjadi pada bulan Februari yaitu
142.7 mm. Grafik curah hujan rerata bulanan Stasiun Tanjungpinang disajikan
pada Gambar 2.30.
Curah Hujan Rerata Bulanan Stasiun Tanjungpinang
(Tahun 1995- 2009)
450

400
Tinggi Hujan (mm)
350

300

250

200

150

100

50

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Gambar 2.31 Curah Hujan Rerata Bulanan Stasiun Tanjungpinang

b.2. Data Penyinaran Matahari

Data lama penyinaran matahari diperlihatkan dalam %tasi kondisi penyinaran


matahari selama 8 jam setiap hari. Data lama penyinaran matahari tahun 2005-
2009 disajikan dalam Gambar 2.31.

Lama Penyinaran Stasiun Tanjungpinang


(Tahun 2005 - 2009)
60

50

40
Lama Penyinaran (%)

30

20

10

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Gambar 2.32 Lama Penyinaran Matahari (%)


b.3. Kelembaban Udara

Data kelembaban udara relatif dari stasiun Tanjungpinang tahun 2005-2009


dengan tiga waktu pengamatan yaitu pukul 07.00, 13.00 dan 18.00. Adapun
gambaran kelembaban udara disajikan pada Gambar 2.32.

Lama Penyinaran Stasiun Tanjungpinang


(Tahun 2005- 2009)
88

86
Kelembapan Udara (%)

84

82

80

78

76
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sept Okt Nov Des

Gambar 2.33 Data Kelembaban Udara Relatif (%)

Gambar 2.32 menunjukkan bahwa bahwa kelembaban udara rerata maksimum


adalah 94% dan minimum 77%.

b.4. Temperatur Udara

Data temperatur udara bulanan, berdasarkan data temperatur udara dari tahun
2005-2009 disajikan pada Gambar 2.33.

Gambar 2.34 Temperatur Udara


II.3.2.2 Kondisi Air Permukaan a.

Batam

Banyak sungai yang ada di Pulau Batam mempunyai penampang kecil dan pada
saat musim kemarau debitnya mengecil atau bahkan sampai dengan nol atau
mengering. Hal ini membuat stakeholders dan penduduk setempat menyebutnya
parit, bukan sungai. Oleh sebab itu, hal tersebut merupakan kesulitan tersendiri
bagi konsultan untuk mengetahui informasi mengenai sungai dari penduduk di
sekitar lokasi sungai. Beberapa sungai juga masuk dalam wewenang perusahaan
yang terdekat dengan lokasi sungai, sehingga penelusuran tidak sampai masuk ke
wilayah tersebut.

Kebutuhan air bersih di Pulau Batam dipenuhi dengan adanya enam waduk seperti
terlihat pada tabel di bawah ini. Kapasitas waduk pada tahun 2010 mencapai
2.855 liter/detik. Hal ini menunjukkan kenaikan kapasitas produksi waduk dari
tahun 2006 sampai tahun 2010.

Dari data sekunder yang dikumpulkan, dapat diketahui beberapa sungai dan
waduk yang ada di Pulau Batam beserta lokasinya masing-masing yang antara lain
adalah sebagai berikut:

Tabel 2.13 Daftar Sungai di Pulau Batam


No Nama Sungai Kecamatan
1 Sungai Harapan Sekupang
2 Sungai Ladi Batu Aji
3 Sungai Baloi Lubuk Baja
4 Sungai Beduk Sungai Beduk
5 Sungai Tiban Sekupang
6 Sungai Lelai Batam Kota
7 Sungai Jodoh Lubuk Baja
8 Sungai Pancur Sungai Beduk
9 Sungai Tongkang Sungai Beduk
10 Sungai Patam Batu Aji
11 Sungai Nongsa Nongsa
12 Sungai Kabil Nongsa
13 Sungai Bengkong Bengkong
14 Sungai Panas Batam Kota
15 Sungai Temiang
16 Sungai Binti
17 Sungai Lekop
18 Sungai Muka Kuning Sungai Beduk
19 Sungai Tuak
20 Sungai Deras Nongsa
21 Sungai Kasam Nongsa
22 Sungai Jabi Nongsa
23 Sungai Seribu Nongsa
Sumber: Inventarisasi SDW 2010

Tabel 2.13 Waduk di Pulau Batam


No Nama Waduk Kelurahan Kecamatan
1 Waduk Sei Baloi Sei Panas Batam Kota
2 Waduk Sei Ladi Lubuk Baja Indah Lubuk Baja
3 Waduk Sei Harapan Tanjung Riau Sekupang
4 Waduk Nongsa Nongsa Nongsa
5 Waduk Muka Kuning Sei Beduk Sei Beduk
6 Waduk Duriangkang Tanjung Piayu Sei Beduk
Sumber: Inventarisasi SDW 2010

Data pada tahun 2010 jumlah air baku keseluruhan yang tersimpan di enam
waduk/dam yaitu sebanyak 104.980.000 m3 dengan kapasitas produksi 2.855
liter/detik atau 7.400.160.000 liter/bulan (7.400.160 m3/bulan atau 246.672
m3/hari). Pengolahan air bersih di Pulau Batam dilakukan oleh PT. Adhya Tirta
Batam. Data dari PT. Adhya Tirta Batam menginformasikan bahwa jumlah
pelanggan air bersih pada tahun 2010 adalah 175.000 pelanggan. Waduk yang ada
di Pulau Batam ini saling terkait dalam mensuplai air bersih bagi para pelanggan.
Oleh karena itu apabila salah satu waduk tidak berfungsi/mengalami gangguan
maka dapat disuplai dari waduk yang lain. Hal ini bertujuan supaya semua
pelanggan di Pulau Batam dapat terpenuhi kebutuhan air bersihnya dengan
merata.

Tabel 2.13 Dam dan Kapasitasnya di Pulau Batam


No Nama Dam Kapasitas (m3) Kapasitas Produksi (ltr/dtk)
1 Dam Mukakuning 12.720.000 310
2 Dam Duriangkang 78.180.000 1.855
3 Dam Sungai Ladi 9.490.000 290
4 Dam Sungai Harapan 3.600.000 210
5 Dam Baloi 270.000 60
6 Dam Nongsa 720.000 110
Total 104.980.000 2.855
Sumber: Inventarisasi SDW 2010

b. Bintan

Berdasarkan hasil studi Identifikasi Potensi Sumber Daya Air di Pulau Bintan,
Wilayah Sungai di Pulau Bintan mempunyai 26 buah DAS besar seperti terlihat
pada gambar di bawah ini. Dari ke 26 DAS tersebut, DAS terbesar adalah DAS
Engkang Anculai dengan luas 80,09 km2, dan terkecil adalah DAS Beloking
dengan luas 2,79 km2.

Perbedaan ketinggian di Pulau Bintan berkisar antara 0 – 214 m di atas muka laut,
yang membentuk relief bergelombang penonjolan puncak-puncak bukit antara lain
Gunung Kijang dan Gunung Lengkuas. Bukit-bukit tersebut merupakan hulu-hulu
sungai yang mengalir ke segala arah. Pola penyaluran sungai pada dasarnya terdiri
dari kombinasi pola penyaluran subparalel dan subradier yang mengalir dari mata
air yang berada di daerah perbukitan bergelombang terjal yang membentang dari
barat ke timur. Beberapa sungai di Pulau Bintan yang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan air penduduk antara lain Sungai Gesek, Sungai Sumpat,
Sungai Pegudang, Sungai Kawal, Sungai Galang Tua, dan Sungai Pulai yang
dibendung untuk memenuhi kebutuhan air bersih PDAM.

Untuk memenuhi kebutuhan air baku yang ada di Pulau Bintan terdapat beberapa
waduk yang sudah dimanfaatkan, antara lain DAM Sungai Pulai, Waduk Dam
Sungai Jago, dan Waduk Lagoi. Pengolahan air bersih di pulau ini dilakukan oleh
PDAM Tirta Kepri. Kebutuhan air bersih di Kabupaten Bintan disuplai dari Waduk
Sungai Lepan dengan debit 174 liter/detik dan Waduk Sekuning, sedangkan di
Kota Tanjung Pinang berada di Sungai Pulai. Sejauh ini PDAM Tirta Kepri melayani
kebutuhan air bersih dengan skala pelayanan seluruh Pulau Bintan dengan
sumber air baku dari Waduk Sei Pulai, Kolong Enam dan Dam Sei Jago.
Air waduk di pulau ini berasal dari tampungan air hujan yang ada di kawasan
lindung di sekitar lokasi waduk. Adanya keterbatasan sumber air di Pulau Bintan
menuntut perlunya dicari alternatif lokasi yang dapat dijadikan catchment waduk
guna menampung buangan air hujan dengan kapasitas yang cukup besar.

Hasil penelusuran lapangan di Pulau Batam dan Pulau Bintan, sungai di kedua
tempat tersebut mempunyai ciri fisik yang berbeda. Untuk fisik sungai yang ada di
Pulau Batam mempunyai lebar yang relatif kecil, dangkal dan debitnya tidak
menentu. Pada waktu hujan debit air sangat melimpah, tetapi setelah hujan
berhenti debit langsung menurun dengan cepat, seakan-akan tidak ada air yang
tertahan di dalam tanah, sebagian besar menjadi run-off. Sedangkan di Pulau
Bintan dengan debit yang lebih teratur sepanjang tahun karena air hujan dapat
ditampung oleh sungai yang mempunyai penampang relatif lebar dibanding sungai
yang ada di Pulau Batam.

II.3.2.3 Air Tanah

a. Batam

Menurut Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), secara umum daerah aliran sungai (DAS) yang
terdapat di Pulau Batam memperlihatkan pola aliran subdendritik. Selain itu
dijumpai pula aliran yang memperlihatkan pola subrektangular dan subparalel
dengan arah aliran relatif tegak lurus dengan garis pantai. Sungai-sungai tersebut
umumnya pendek-pendek dan dangkal, serta sebagian besar telah dimanfaatkan
untuk sumber air minum.

Di bagian selatan Pulau Batam berkembang sungai-sungai dengan pola sub


rektangular. Sungai-sungai kecil yang ada di bagian utara Pulau Batam dan pulau-
pulau kecil yang ada di sekitarnya memperlihatkan pola subparalel seperti Sungai
Ladi, Sungai Lelai dan Sungai Baru.

Berdasarkan laporan tersebut, didapatkan jenis sumber air tanah yang ada di Kota
Batam adalah sebagai berikut:

 Sumber Air Tanah Bebas

Sumber air tanah bebas didapatkan dengan memanfaatkan air tanah bebas
dengan cara pembuatan sumur gali. Muka air tanah umumnya dangkal
sehingga memudahkan disadap dengan teknik yang paling sederhana. Daerah-
daerah tersebut antara lain Dataran Bagan (Duriangkang), yang terletak antara
Tanjung Piayu dan Tanjung Kasam.

 Sumber Air Tanah Tertekan

Sumber air tanah tertekan masih bisa diharapkan pada daerah-daerah


bermorfologi relatif landai di daerah pantai. Hal ini antara lain terlihat pula dari
adanya pemunculan mata air, meskipun dengan debit relatif kecil. Daerah-
daerah tersebut dijumpai di bagian utara Pulau Batam.

b. Bintan

Di Pulau Bintan tidak terdapat potensi Cekungan Air Tanah (CAT) menurut Peta
CAT yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral.

II.3.2.4 Pasang Surut

a. Batam

Berdasarkan Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006
(Bapedal Kota Batam, 2006), diperkirakan pola arus perairan Pulau Batam sangat
dipengaruhi oleh pola pasang surut (pasut) setempat, dengan melihat keadaan
geografis Pulau Batam. Pola arus perairan ini sendiri ditentukan oleh pola pasut
yang diteumui di perairan yang lebih luas (Pariwono, 1985), dalam hal ini Selat
Malaka di sebelah utara dan Laut Cina Selatan di sebelah timur. Dengan demikian
apabila di Selat Malaka sedang mengalami air pasang, maka air pasang ini akan
merambat ke selatan memasuki perairan Pulau Batam. Dengan demikian, arah
arus di sekitar perairan Pulau Batam akan mengarah ke selatan. Sebaliknya
apabila Selat Malaka sedang surut, maka arus di perairan Bintan dan sekitarnya
akan menuju utara.

Pasut di perairan Barat Bintan (Pulau Karimun Besar) bertipe campuran dengan
tipe ganda yang menonjol. Hal ini dapat dilihat dari bilangan Formzahl di stasiun
Pasir Panjang (Karimun Besar) yang bernilai 0.38. Perairan di sebelah barat laut
(terletak di Selat Malaka) juga bertipe campuran dengan tipe ganda yang menonjol,
seperti yang ditunjukkan oleh stasiun di Dumai dan Bengkalis.Sedangkan bilangan
formzahi di stasiun Batu Ampar adalah 0.50.

Pasang purnama adalah pasang tertinggi dari suatu perairan dan terjadi pada saat
bulan purnama atau bulan mati, sedangkan pasang perbani kisaran pasutnya
paling rendah dan terjadi pada waktu bulan seperempat dan tiga perempat. Di
Pulau Batam, kondisi pasang purnama dan pasang perbani pada saat matahari
berada di belahan bumi utara (bulan Juni), dan di belahan bumi selatan (bulan
Desember). Apabila membandingkan keadaan pasut pada kedua waktu tersebut,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan kisaran pasut di perairan Pulau
Batam pada saat purnama antara saat kedudukan matahari berada di belahan
bumi utara dan ketika matahari berada di belahan bumi selatan. Keadaan ini
hanya berlaku untuk pasang purnama, dimana kisarannya didapati mencapai 3.1.
Berbeda dengan pasang perbani.

Pada saat pasang perbani dan matahari berada di belahan bumi utara, kisaran
pasut pada waktu pasang mencapai 1,8 meter. Akan tetapi ketika matahari berada
di belahan bumi selatan, kisaran pasutnya hanya mencapai 1,2 meter. Dari data
unsur-unsur pasut di suatu stasiun dapat diperkirakan kisaran perubahan tinggi
muka laut (sea level) di perairan tersebut. Untuk melihat nilai perubahan tinggi
muka laut maksimum atau minimum ataupun tinggi rerata di perairan sekitar
Pulau Batam diperlihatkan pada tabel berikut:

Tabel 2.13 Kisaran Tinggi Muka Laut di Pulau Batam


Kisaran Muka Laut Notasi Tinggi (cm)
Tinggi Muka Laut Pada Air Pasang tertinggi HHWL 102
Tinggi Muka Laut Pada Air Pasang Rerata MHWL 64
Tinggi Muka Laut Rerata MSL 0
Tinggi Muka Laut Pada Air Surut Rerata MLWL -59
Tinggi Muka Laut Pada Air Surut Terendah LLWL -68
Sumber: Data DISHIDROS-AL,1994
b. Bintan

Besaran kisaran perubahan tinggi muka air laut (pasang surut) di Pantai Utara
Pulau Bintan adalah sebagai berikut:

Tabel 2.14 Kisaran Tinggi Muka Air Laut di Pantai Utara Pulau Bintan
Kondisi Notasi Tinggi (m.MSL)
Tinggi Muka Air Pasang Tertinggi HHWL +2.390
Tinggi Muka Air Pasang Rata-rata MHWL +1.890
Tinggi Rata-rata Muka Air Laut MSL +0.000
Tinggi Muka Air Surut Rata-rata MLWL -1.890
Tinggi Muka Air Surut Terendah LLWL -1.390
Sumber: Data Dishidros-AL tahun 1999

II.3.2.5 Kualitas Air

a. Batam

Menurut Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Kota Batam Tahun 2006,
kerusakan ekosistem hutan telah memberikan kontribusi yang cukup besar
sehingga membawa dampak yang besar pula, walaupun merupakan satu-satunya
faktor. Kehilangan tutupan hutan berpotensi mengganggu siklus hidrologis yang
pada gilirannya membuat pasokan dan perilaku air menjadi tidak menentu. Hal ini
tercermin dari air melimpah pada musim hujan sehingga menyebabkan banjir serta
kelangkaan air di musim kemarau.

Menurunnya kualitas air di WS Batam dapat dibuktikan dengan program


monitoring yang dilakukan oleh Bapedal Kota Batam.

Ketersediaan air untuk konsumsi juga berkurang akibat pencemaran oleh industri,
rumah tanggal dan pertanian. Berbagai jenis industri berat, menengah dan kecil
masih membuang limbah industri tanpa diolah terlebih dahulu. Setelah dilakukan
pengamatan tersebut, dapat dilihat beberapa parameter penting yang diuji kualitas
air bersih ini yaitu warna, kekeruhan, senyawa organik (amonia, nitrate,
kesadahan dan sulfat, chlorida), senyawa anorganik (logam), serta keberadaan
bakteri E.Coli dan Coliform.

Berdasarkan hasil analisa fisika dan analisa kimia dari pengamatan tersebut,
dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum kondisi kualitas air bersih di WS
Batam telah mengalami pencemaran yang mengakibatkan degradasi/penurunan
kualitas air bersih. Hal ini bisa dilihat dari parameter warna dan kekeruhan yang
terindentifikasi di atas baku mutu. Dengan demikian konsumsi air bersih yang
tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu oleh perusahaan pengolah air
bersih dapat membahayakan kesehatan manusia.

Banyaknya kegiatan perumahan bakan kegiatan rumah sakit yang disinyalir belum
memiliki instalasi pengolahan air bersih (IPAL), membuang limbah domestik,
limbah medis serta limbah MCK tanpa diolah terlebih dahulu dapat dikatakan
sebagai penyebab tingginya kandungan bakteri E. Colli dan Collyform di beberapa
waduk/dam pada WS Batam, khususnya pada Dam Duriangkang, Dam
Mukakuning, Dam Baloi, Dam RS. Otorita Batam, dan Dam Sei Ladi. Hasil
pengamatan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Hasil Pengamatan Kualitas Air di WS Batam
L o k a s i P e n ga m a t an
Standar Dam Dam
Parameter Unit Dam Dam Dam Sei
Max Duriangkan Mukakunin
Baloi Rsob Ladi
g g
Color Pt-Co
5 8 8 14 4 5
Scale
Dissolved Solid rncl/L 63 65 10 120 22 63
Taste Tasteles
Tasteless Tasteless Tasteless Tasteless Tasteless
s
Turbidity FTU 2 3 4 10 2 2
Temperature °C 26.5 26.5 26.6 26.4 26.7 26.5
Odor Odorless Odorless Odorless Odorless Odorless Odorless
Mercury (Hq) mq/L < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001 < 0.0001
Arsenic (As) mq/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Iron (Fe) Total (Fe) mq/L 0.65 0.06 0.02 0.21 0.85 0.65
Flouride (F) mq/L 0.26 0.38 0.4 0.42 0.9 0.26
Cadmium (Cd) mq/L < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001
Total Hardness mq/L
110.12 6.65 1.78 12.72 118.6 110.12
CaCO3
Chloride (CI) mq/L 25.32 20.35 8.65 21.22 72.36 25.32
Chrom Hexavalent mq/L
< 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006 < 0.006
(Cr6+)
Manganese (Mn) mq/L 0.25 < 0.02 < 0.02 0.07 < 0.02 0.25
Nitrate (NO3) mq/L 0.47 < 0.11 < 0.11 0.62 0.66 0.47
Nitrite (NO2) mq/L 0.07 < 0.03 < 0.03 0.1 0.24 0.07
pH 6.75 6.65 6.52 6.6 6.68 6.75
Selenium (Se) mq/L < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007 < 0.007
Zinc (Zn) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 0.42 < 0.01 < 0.01
Cyanide (CN) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01
Sulfate (304) mq/L 2.72 10.3 14.35 5.88 12.36 2.72
Lead (Pb) mq/L < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01 < 0.01
Surfactant Anionic mq/L
< 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05 < 0.05
as MBAS
Organic Matter by mq/L
1.95 2.18 2.24 4.2 1.68 1.95
KMNO4
Coliform Total MPN/100 3 2 3 22 2 3
ml
Standar Baku Mutu Kelas I PP No. 82/2001 (Sumber : Bapedal Kota Batam)

Selain hasil pemantauan di atas, PT. Multimera Harapan juga melakukan


pengambilan sample untuk kualitas air WS Batam yang diambil dari empat lokasi,
yaitu : (1).Waduk Bulang Lintang ; (2).Sumur di P. Bulang Lintang; (3). Danau
Mungga di Rempang; (4). Danau Sekanak di P. Belakang Padang.

Evaluasi kualitas pada sumber air di lokasi-lokasi tersebut dilakukan berdasarkan


Baku Mutu Kelas I dari PP 82/2001.

1) Kualitas Air Waduk Bulang Lintang

Berdasarkan data pemantauan kualitas Waduk Bulang Lintang, dibandingkan


dengan air baku air minum ( Klas I PP 82/2001) terdapat beberapa parameter yang
telah melampaui persyaratan, yaitu : Free Chlorine dan Phenol compound as
Phenol, yang dapat dilihat pada Tabel 2.16.

Tabel 2.16 Kualitas Air Waduk Bulang Lintang


Sample Regulatory
No. Test Description Unit Method
Result Limit*
PHYSICS
1 Total Dissolved Solids, TDS 69 1000 mq/L Conductometric
2 Total Suspended Solids, TSS 5 50 mq/L Gravimetric
3 Temperature 26.3 Deviation 3° °C Expansion
INORGANICS
1 pH pH
6.87 6-9 Electrometric
Units
Sample Regulatory
No. Test Description Unit Method
Result Limit*
2 Biochemical Oxygen Demand, mq/L
2 2 Incubation
BOD
3 Chemical Oxygen Demand, mq/L
7 10 Titrimetric
COD
4 Dissolved Oxygen 5.6 6 mq/L Titrimetric
5 Total Phospate as P 0.51 0.2 mq/L Spectrophotometric
6 Nitrogen, Nitrate as N, (NO3-N] 1.4 10 mq/L Spectrophotometric
7 Cyanide, CN < 0.02 0.02 mq/L Spectrophotometric
8 Fluoride, F < 0.1 0.5 mq/L Spectrophotometric
9 Nitrogen. Nitrite as N, (NO2-N) < 0.01 0.06 mq/L Spectrophotometric
10 Free Chlorine 0.08 0.03 mq/L Spectrophotometric
11 Hydrogen Sulfide, H2S <0.01 0.002 mq/L Spectrophotometric
METALS
1 Arsenic. As <0.002 0.05 mq/L AAS
2 Cobalt, Co <0.007 0.2 mq/L ICP
3 Boron, 13 <0.005 1 mq/L ICP
4 Selenium, Se <0.002 0.01 mq/L AAS
5 Cadmium, Cd <0.004 0.01 mq/L ICP
6 Hexavalent Chromium, Cre* mq/L Spectrophotometri
< 0.01 0.05 c
7 Copper, Cu <0.006 0.02 mq/L ICP
8 Lead, Pb <0.04 0.03 mq/L ICP
9 Mercury, Hq <0.000 mq/L
0.001 AAS
2
10 Zinc, Zn <0.002 0.05 mq/L ICP
ORGANICS
1 Oil and Grease <1 1000 pq/L IR Spectrophotometric
2 Surfactants, MBAS < 25 200 pq/L Spectrophotometric
3 Phenol compound as Phenol 22 1 pq/L Spectrophotometric
4 BHC 0 14 210 pq/L Gas Chromatography
5 DDT <0.12 2 pq/L Gas Chromatography
6 Endrine <0.06 1 pq/L Gas Chromatography
MICROBIOLOGY
1 Coliform, Fecal Co1/10
2 Total Coliform 0 100 0mL Membrane Filter
0 1000 Co1/10 Membrane Filter
0mL
RADIOACTIVE
1 Gross A NA 0.1 Bq/L
2 Gross B NA 1 Bq/L
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2007

2) Kualitas Air Sumur di P. Bulang Lintang

Berdasarkan data pemantauan kualitas Sumur di P. Bulang Lintang, dibandingkan


dengan air baku air minum ( Klas I PP 82/2001) terdapat beberapa parameter yang
telah melampaui persyaratan, yaitu: pH, COD, Total Phospate as P, Zinc (Zn) dan
Phenol compound as Phenol, dapat dilihat pada Tabel 2.17.

Tabel 2.17 Kualitas Air Sumur di P. Bulang Lintang


Sample Regulatory
No. Test Description Unit Method
Result Limit*
PHYSICS
1 Total Dissolved Solids, TDS 50 1000 mq/L Conductometric
2 Total Suspended Solids, TSS 3 50 mq/L Gravimetric
3 Temperature 26,7 Deviation 3° °C Expansion
INORGANICS
1 pH 4.14 6-9 pH Units Electrometric
2 Biochemical Oxygen Demand, 2 2 mq/L Incubation
BOD
3 Chemical Oxygen Demand, 13 10 mq/L Titrimetric
Sample Regulatory
No. Test Description Unit Method
Result Limit*
COD
4 Dissolved Oxygen 5, 6 6 mq/L Titrimetric
5 Total Phospate as P 0.47 0.2 mq/L Spectrophotometric
6 Nitrogen, Nitrate as N, (NO3-N] 0.6 10 mq/L Spectrophotometric
7 Cyanide, CN < 0.02 0.02 mq/L Spectrophotometric
8 Fluoride, F < 0.1 0.5 mq/L Spectrophotometric
9 Nitrogen. Nitrite as N, (NO2-N) < 0.01 0.06 mq/L Spectrophotometric
10 Free Chlorine <0.02 0.03 mq/L Spectrophotometric
11 Hydrogen Sulfide, H2S < 0.01 0.002 mq/L Spectrophotometric
METALS
1 Arsenic. As <0.002 0.05 mq/L AAS
2 Cobalt, Co <0.007 0.2 mq/L ICP
3 Boron, 13 <0.005 1 mq/L ICP
4 Selenium, Se <0.002 0.01 mq/L AAS
5 Cadmium, Cd <0.004 0.01 mq/L ICP
6 Hexavalent Chromium, Cre* < 0.01 0.05 mq/L Spectrophotometric
7 Copper, Cu <0.006 0.02 mq/L ICP
8 Lead, Pb <0.04 0.03 mq/L ICP
9 Mercury, Hq <0.0002 0.001 mq/L AAS
10 Zinc, Zn 0.450 0.05 mq/L ICP
ORGANICS
1 Oil and Grease 1000 pq/L IR
<1 Spectrophotometric
2 Surfactants, MBAS < 25 200 pq/L Spectrophotometric
3 Phenol compound as Phenol 21 1 pq/L Spectrophotometric
4 BHC 210 pq/L Gas
0 04
Chromatography
5 DDT 2 pq/L Gas
<0. 12
Chromatography
6 Endrine 1 pq/L Gas
<0.06
Chromatography
MICROBIOLOGY
1 Coliform, Fecal 0 100 Co1/100mL Membrane Filter
2 Total Coliform 0 1000 Co1/100mL Membrane Filter
RADIOACTIVE
1 Gross A NA 0.1 Bq/L -
2 Gross B NA 1 Bq/L -
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2007

3) Kualitas Air Danau Mungga di Rempang.

Berdasarkan data pemantauan kualitas Danau Mungga di Rempang,


dibandingkan dengan air baku air minum ( Klas I PP 82/2001) terdapat beberapa
parameter yang telah melampaui persyaratan, yaitu : pH, Total Phospate as P, dan
Phenol compound as Phenol, dapat dilihat pada Tabel 2.18.

Tabel 2.18. Kualitas Air Danau Mungga di Rempang


Sample Regulatory
No Test Description Unit Method
Result Limit*
PHYSICS
1 Total Dissolved Solids, TDS 17 1000 mq/L Conductometric
2 Total Suspended Solids, TSS 1 50 mq/L Gravimetric
3 Temperature 28 5 Deviation 3° °C Expansion
INORGANICS
1 pH 4.95 6-9 pH Electrometric
Units
2 Biochemical Oxygen Demand, BOD 1 2 mq/L Incubation
3 Chemical Oxygen Demand, COD 10 10 mq/L Titrimetric
4 Dissolved Oxygen 6.0 6 mq/L Titrimetric
5 Total Phospate as P 0.63 0.2 mq/L Spectrophotometric
6 Nitrogen, Nitrate as N, (NO3-N] 0.2 10 mq/L Spectrophotometric
Sample Regulatory
No Test Description Unit Method
Result Limit*
7 Cyanide, CN < 0.02 0.02 mq/L Spectrophotometric
8 Fluoride, F < 0.1 0.5 mq/L Spectrophotometric
9 Nitrogen. Nitrite as N, (NO2-N) < 0.01 0.06 mq/L Spectrophotometric
10 Free Chlorine 0.01 0.03 mq/L Spectrophotometric
11 Hydrogen Sulfide, H2S < 0.01 0.002 mq/L Spectrophotometric
METALS
1 Arsenic. As <0.002 0.05 mq/L AAS
2 Cobalt, Co <0.007 0.2 mq/L ICP
3 Boron, 13 <0.005 1 mq/L ICP
4 Selenium, Se <0.002 0.01 mq/L AAS
5 Cadmium, Cd <0.004 0.01 mq/L ICP
6 Hexavalent Chromium, Cre* < 0.01 0.05 mq/L Spectrophotometric
7 Copper, Cu <0.006 0.02 mq/L ICP
8 Lead, Pb <0.04 0.03 mq/L ICP
9 Mercury, Hq <0.0002 0.001 mq/L AAS
10 Zinc, Zn <0.002 0.05 mq/L ICP
ORGANICS
1 Oil and Grease <1 1000 pq/L IR
Spectrophotometric
2 Surfactants, MBAS < 25 200 pq/L Spectrophotometric
3 Phenol compound as Phenol 3 1 pq/L Spectrophotometric
4 BHC 0.23 210 pq/L Gas
Chromatography
5 DDT 12 2 pq/L Gas
Chromatography
6 Endrine <0.06 1 pq/L Gas
Chromatography
MICROBIOLOGY
1 Coliform, Fecal 0 100 Co1/1 Membrane Filter
00mL
2 Total Coliform 0 1000 Co1/1 Membrane Filter
00mL
RADIOACTIVE
1 Gross A NA 0.1 Bq/L -
2 Gross B NA 1 Bq/L -
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2007

4) Kualitas Air Danau Sekanak di P. Belakang Padang

Berdasarkan data pemantauan kualitas Danau Sekanak di P. Belakang Padang,


dibandingkan dengan air baku air minum ( Klas I PP 82/2001) terdapat beberapa
parameter yang telah melampaui persyaratan, yaitu : pH, Free Chlorine, dan
Phenol compound as Phenol, dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:

Tabel 2.19. Danau Sekanak di P. Belakang Padang


Sampl Regulator
No Test Description e y Unit Method
Result Limit*
PHYSICS
1 Total Dissolved Solids, TDS 23 1000 mq/L Conductometric
2 Total Suspended Solids, TSS 2 50 mq/L Gravimetric
3 Temperature 27 1 Deviation °C Expansion

INORGANICS
1 pH 5.61 6- 9 pH Units Electrometric
2 Biochemical Oxygen Demand, BOD 1 2 mq/L Incubation
3 Chemical Oxygen Demand, COD 7 10 mq/L Titrimetric
4 Dissolved Oxygen 6.0 6 mq/L Titrimetric
5 Total Phospate as P 1.13 0.2 mq/L Spectrophotometric
6 Nitrogen, Nitrate as N, (NO3-N] 0.7 10 mq/L Spectrophotometric
7 Cyanide, CN < 0.02 0.02 mq/L Spectrophotometric
Sampl Regulator
No Test Description e y Unit Method
Result Limit*
8 Fluoride, F < 0.1 0.5 mq/L Spectrophotometric
9 Nitrogen. Nitrite as N, (NO2-N) < 0.01 0.06 mq/L Spectrophotometric
10 Free Chlorine 0.05 0.03 mq/L Spectrophotometric
11 Hydrogen Sulfide, H2S <0.01 0.002 mq/L Spectrophotometric
METALS
1 Arsenic. As <0.002 0.05 mq/L AAS
2 Cobalt, Co <0.007 0.2 mq/L ICP
3 Boron, 13 <0.005 1 mq/L ICP
4 Selenium, Se <0.002 0.01 mq/L AAS
5 Cadmium, Cd <0.004 0.01 mq/L ICP
6 Hexavalent Chromium, Cre* < 0.01 0.05 mq/L Spectrophotometric
7 Copper, Cu <0.006 0.02 mq/L ICP
8 Lead, Pb <0.04 0.03 mq/L ICP
9 Mercury, Hq <0.000 0.001 mq/L AAS
2
10 Zinc, Zn <0.002 0.05 mq/L ICP
ORGANICS
1 Oil and Grease <1 1000 pq/L IR
Spectrophotometric
2 Surfactants, MBAS < 25 200 pq/L Spectrophotometric
3 Phenol compound as Phenol 4 1 pq/L Spectrophotometric
4 BHC 0.06 210 pq/L Gas
Chromatography
5 DDT <0.12 2 pq/L Gas
Chromatography
6 Endrine <0.06 1 pq/L Gas
Chromatography
MICROBIOLOGY
1 Coliform, Fecal 0 100 Co1/100 Membrane Filter
mL
2 Total Coliform 0 1000 Co1/100 Membrane Filter
mL
RADIOACTIVE
1 Gross A NA 0.1 Bq/L -
2 Gross B NA 1 Bq/L -
Sumber : Hasil Analisa Laboratorium, 2007

b. Bintan

Pengambilan sampel air diambil dari beberapa tempat yang dinilai ada potensi
untuk dimanfaatkan sebagai air baku. Lokasi pengambilan sempel tersebut
antara lain di Waduk Sei Pulai, Kolong Kalang Batang, Kolong S.Jago -Jeram, S.
Jeram, Mata air di sungai Bintan, dan S.Kangboi, tetapi sampel air yang akan
diuji, antara lain : (1). Kolong S.Jago-Jeram, (2). Sungai Engkang, (3). Sungai
Jeram Hulu, (4). Kolong Kalang Batang, dan (5). Sungai Kangboi Hulu, sedangkan
untuk sampel air Waduk Sei Jago Hulu, Waduk Sei Pulai, tidak akan diuji karena
sudah dimanfaatkan oleh PT. PDAM Tirta Janggi dan mata air Gn. Bintan tidak
akan diuji karena dianggap masih belum terkontaminasi. Gambar 2.34
menyajikan lokasi pengambilan sampel air di beberapa sungai di Pulau Bintan.
Gambar 2.35 Lokasi Pengambilan Sampel Air

Evaluasi kualitas pada sumber air di lokasi-lokasi tersebut dilakukan berdasarkan


Baku Mutu Kelas I dari PP 82/2001.

1) Kualitas Air Kolong S. Jago-Jeram

Berdasarkan data pemantauan kualitas Air Kolong S.Jago-Jeram, menunjukkan


pH air sebesar 7.52. Kadar oksigen terlarut (DO) tergolong rendah, hal ini
ditunjukan dari kadar oksigen terlarut sebesar 5,0 mg/L. Kandungan bahan
organik yang dinyatakan sebagai BOD, COD melebihi batas atas baku mutu air
kelas 1 yakni bernilai 3 mg/L dan 20 mg/L. Hasil analisis kadar golongan fosfat
dan nitrat juga relatif kecil, kadar fosfat 0.001 mg/L dan kadar nitrat 0.07 mg/L.
Kandungan senyawa logam semuanya masih jauh dibawah baku mutu air kelas 1.

Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S.Jago-Jeram sudah terpolusi namun


masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.

Tabel 2.20. Hasil Uji Kualitas Air di Kolong S.Jago – Jeram


Class
No. PARAMETER UNIT I RESULT METHOD

74
I.Physical Properties
1 Temperature °C deviasi 28.1
expansion
3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 24.6 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 20.6 Spectrophotometric
II.Chemycal properties
1 pH pH 6-9 7,52 Electrometri
2 Biochemical Oxygen mg/L 2 3 Incubation

75
Class
No. PARAMETER UNIT I RESULT METHOD
Demand,BOD
3 Chemycal Oxygen demand,COD mg/L 10 20 Titrimetri
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 5 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.001 Spectrophotometric
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.07 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 <0.001
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 0.002 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 <0.001 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.021 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.052 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.00048 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 0.001 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 2.5 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.06 0.0291 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 400 0.01 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 430 5.3 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)
2) Kualitas Air di Sungai Engkang Hulu

Berdasarkan data pemantauan kualitas Air Kolong S.Jago-Jeram, menunjukkan


pH air sebesar 6.15. Kadar oksigen terlarut (DO) tergolong rendah, hal ini
ditunjukan dari kadar oksigen terlarut sebesar 5,0 mg/L. Kandungan bahan
organik yang dinyatakan sebagai BOD, COD melebihi batas atas baku mutu air
kelas 1 yakni bernilai 2 mg/L dan 12 mg/L. Hasil analisis kadar golongan fosfat
dan nitrat juga relatif kecil, kadar fosfat 0.001 mg/L dan kadar nitrat 0.51 mg/L.
Kandungan senyawa logam semuanya masih jauh dibawah baku mutu air kelas 1.

Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S.Engkang Hulu sudah terpolusi namun
masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.

Tabel 2.21. Hasil Uji Kualitas Ai r di Sungai Engkang Hulu


Class

75
No. PARAMETER UNIT I
RESULT METHOD
I. Physical Properties
Temperature °C deviasi 27.5
1 expansion
3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 8 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 228 Spectrophotometric
II. Chemycal properties
1 pH pH 6-9 6.15 Electrometri
Biochemical Oxygen mg/L 2 2 Incubation
2
Demand,BOD
Chemycal Oxygen mg/L 10 12 Titrimetri
3
demand,COD
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 5 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.001 Spectrophotometric

76
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.51 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 0.001 Spectrophotometric
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 0.0014 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 <0.001 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.021 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 <0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.022 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.0001 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 <0.001 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 4.8 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 0.005 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.05 0.0309 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 0.06 0.004 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 400 35 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometri
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)

3) Kualitas Air Sungai Jeram Hulu

Berdasarkan data pemantauan kualitas S. Jeram Hulu, menunjukkan pH air


sebesar 6.35. Kadar oksigen terlarut (DO) tergolong rendah, hal ini ditunjukan dari
kadar oksigen terlarut sebesar 4,0 mg/L. Kandungan bahan organik yang
dinyatakan sebagai BOD, COD melebihi batas atas baku mutu air kelas 1 yakni
bernilai 3 mg/L dan 11 mg/L. Hasil analisis kadar golongan fosfat dan nitrat juga
relatif kecil, kadar fosfat < 0.001 mg/L dan kadar nitrat 0.01 mg/L. Kandungan
senyawa logam semuanya masih jauh dibawah baku mutu air kelas 1.

Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S.Jago-Jeram sudah terpolusi namun


masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.

Tabel 2.22. Hasil Uji Kualitas Air di Sungai Jeram Hulu


Class
No PARAMETER UNIT RESULT METHOD
1
I.Physical Properties
1 Temperature °C deviasi 3 28.6 expansion
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 9 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 1 Spectrophotometric
II.Chemycal properties
1 pH pH 6-9 6.35 Electrometri
2 Biochemical Oxygen Demand,BOD mg/L 2 3 Incubation
3 Chemycal Oxygen demand,COD mg/L 10 11 Titrimetri
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 4 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 <0.001 Spectrophotometric
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.01 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 0.09 Spectrophotometric
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 <0.001 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 0.02 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 0.004 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.015 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 <0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.011 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.0001 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 <0.001 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 25.4 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.05 0.028 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 0.06 <0.01 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 400 63 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 <0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)

4) Kualitas Air Kolong Kalang Batang

Berdasarkan data pemantauan kualitas Kolong Kalang Batang, menunjukkan pH


air sebesar 6.85. Kadar oksigen terlarut (DO) tergolong rendah, hal ini ditunjukan
dari kadar oksigen terlarut sebesar 4,0 mg/L. Kandungan bahan organik yang
dinyatakan sebagai BOD, COD melebihi batas atas baku mutu air kelas 1 yakni
bernilai 3 mg/L dan 61 mg/L. Hasil analisis kadar golongan fosfat dan nitrat juga
relatif kecil, kadar fosfat <0.002 mg/L dan kadar nitrat 0.02 mg/L. Kandungan
senyawa logam semuanya masih jauh dibawah baku mutu air kelas 1.

Dapat disimpulkan kualitas air Kolong Kalang Batang sudah terpolusi namun
masih dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, dan industri .

Tabel 2.23. Hasil Uji Kualitas Air di Kolong Kalang Batang


UNI Class
No. PARAMETER T I
RESULT METHOD
I.Physical Properties
Temperature °C devia 28.4 expansion
1 si 3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 53 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 38.7 Spectrophotometric
II.Chemycal properties
1 pH pH 6-9 6.85 Electrometri
Biochemical Oxygen mg/L 2 3 Incubation
2 Demand,BOD
3 Chemycal Oxygen demand,COD mg/L 10 61 Titrimetri
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 4 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.002 Spectrophotometric
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.02 Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 1
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 <0.001 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 0.001 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.054 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.044 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.0001 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 0.004 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 24.8 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 <0.001 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.05 0.0283 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 0.06 0.004 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 400 48 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.001 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 - Spectrophotometric
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)

5) Kualitas Air Sungai Kangboi

Berdasarkan data pemantauan kualitas S. Kangboi, menunjukkan pH air sebesar


6.20. Kadar oksigen terlarut (DO) tergolong rendah, hal ini ditunjukan dari kadar
oksigen terlarut sebesar 4,0 mg/L. Kandungan bahan organik yang dinyatakan
sebagai BOD, COD melebihi batas atas baku mutu air kelas 1 yakni bernilai 3
mg/L dan 17.5 mg/L. Hasil analisis kadar golongan fosfat dan nitrat juga relatif
kecil, kadar fosfat 0.004 mg/L dan kadar nitrat 0.014 mg/L. Kandungan senyawa
logam semuanya masih jauh dibawah baku mutu air kelas 1.

Dapat disimpulkan kualitas air Kolong S. Kangboi sudah terpolusi namun masih
dapat di treatment untuk dijadikan air baku minum atau langsung dapat
digunakan untuk pertanian, perikanan, peternakan, industri dan sumber tenaga
air.

Tabel 2.24. Hasil Uji Kualitas Air di Sungai Kangboi


Class
No. PARAMETER UNIT I
RESULT METHOD
I.Physical Properties
1 Temperature °C deviasi 28.6 expansion
3
2 Total Dissolve Solids, TDS mg/L 1000 42 Conduktometri
3 Total Suspended Solids TSS mg/L 50 164.2 Spectrophotometric
II.Chemycal properties
1 pH pH 6-9 6.2 Electrometri
2 Biochemical Oxygen Demand,BOD mg/L 2 3 Incubation
3 Chemycal Oxygen demand,COD mg/L 10 17.5 Titrimetri
4 Disolved Oxygen, DO mg/L 6 4 Titrimetri
5 Phospat, PO4-P mg/L 0.2 0.004 Spectrophotometric
6 Nitrate as NO2 mg/L 10 0.014 Spectrophotometric
Spectrophotometric
7 Amonia, NH2 mg/L 0.5 0.06
8 Arsenic. AS mg/L 0.005 <0.01 Spectrophotometric
9 Cabal. Co mg/L 0.2 <0.001 ASS
10 Cadmium, Cd mg/L 0.01 <0.001 ASS
11 Hexavalent Crhomium,Cr64 mg/L 0.005 <0.001 Spectrophotometric
12 Copper. Cu mg/L 0.02 0.002 AAS
13 Iron ,fe mg/L 0.3 0.047 ASS
14 Lead,Pb mg/L 0.03 0.001 ASS
15 Manganese,Mn mg/L 0.01 0.055 ASS
16 Mercury,Hg mg/L 0.001 <0.00048 Mercury Analiser
17 Zinc,Zn mg/L 0.005 0.02 ASS
18 Cloride,Cl mg/L - 5.1 Spectrophotometric
19 Cyadine,CN mg/L 0.002 0.001 Spectrophotometric
20 Floride,F mg/L 0.05 0.0299 Spectrophotometric
21 Nitrite,NO2-N mg/L 0.06 0.01 Spectrophotometric
22 Sulfate,So4 mg/L 400 7.8 Spectrophotometric
23 Free Chlorine, Cl2 mg/L 0.03 0.005 Spectrophotometric
24 Hydogen Sulfyda,H2S mg/L 0.002 0.001 Spectrophotometric
(Sumber : Hasil Analisa Laboratorium,2008)

II.3.2.6 Prasarana/Infrastruktur Sumber Daya Air a.

Batam

78
Pada saat ini bangunan air penting yang ada di WS Batam ada di 6 buah waduk
yang tersebar, yaitu Waduk Baloi, Waduk Sei Ladi, Waduk Sei Harapan, Waduk
Nongsa, Waduk Duriangkang dan Waduk Muka Kuning. Bangunan tersebut
tampak dalam gambar di bawah ini:

Gambar Bangunan Air di Baloi Gambar Bangunan Air di Sei Ladi

Gambar Bangunan Air di Galang Gambar Bangunan Air di Sei Harapan

Gambar 2.36 Beberapa Bangunan Air di Kota Batam

Selain bangunan air di atas, pada kenyataannya Batam mempunyai 10 waduk


(reservoir) yaitu Sei Harapan, Sei Baloi, Sei Nongsa, Sei Ladi, Mukakuning,
Duriangkan, Sekanak I, Sekanak II, Pemping dan Bulang Lintang serta Danau
Mungga, dimana masing-masing waduk tersebut mempunyai bangunan air, meski
tidak semua digolongkan sebagai bangunan air yang penting.

79
Gambar 2.37 Mapping Waduk & Danau

b. Bintan

Bangunan air yang ada di Pulau Bintan ditemukan di lokasi kolong yang sudah
dimanfaatkan baik oleh PDAM maupun oleh masyarakat. Pada saat survey ada
pembangunan reservoir disertai dengan saringan kasar di daerah Kuala Sempang
Kecamatan Teluk Bintan. Menurut informasi dari masyarakat setempat,
pembangunan reservoir tersebut didanai oleh Pemda.

(a). Pembangunan Tampungan di (b). Instalasi Pengimpanan Air PDAM


Kuala Sempang Tj. Uban

80
(c). PDAM Tirta Tanggi unit Kijang (d). PDAM Tirta Janggi Unit Tj. Pinang
Gambar 2.38 Kondisi Bangunan Air Eksisting

II.3.3 Data Kebutuhan dan Ketersediaan Air

Dasar perhitungan untuk memperkirakan kebutuhan air baku penduduk Pulau


Batam di masa mendatang, digunakan standar dari Direktorat Air Bersih
Departemen Perkerjaan Umum yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan rata -
rata untuk masing-masing aktivitas di setiap pengguna lahan, yaitu:

1. Rumah tangga (dosmestik) : 130 liter / orang /hari


2. Industri : 40 m3/Ha/Hari atau 40.000 liter/Ha/Hari
3. Pariwisata : 4,8 m3/Ha/Hari atau 4.800 liter/ Ha/Hari
4. Perdagangan : 5.21 m3/Ha/Hari atau 5.210 liter/Ha/Hari
5. Pertanian : 4.15 m3/Ha/Hari atau 4.150 liter/Ha/Hari
6. Non-Domestik : 20-30% dari kebutuhan domestik
7. Hidran Umum : 30 liter / orang / Hari
8. Kehilangan air maksimum : 20% dari kebutuhan total air bersih

Berdasarkan kriteria tersebut, dapat diperkirakan total kebutuhan air bersih


untuk penduduk di WS Batam Bintan hingga tahun 2031.

II.3.3.1 Kebutuhan Air Minum

Air bersih adalah air yang diperlukan untuk rumah tangga, biasanya diperoleh
secara individu dari sumber air yang dibuat oleh masing masing rumah tangga
berupa sumur dangkal, atau dapat diperoleh dari layanan PT. ATB. Dalam DAS
Batam akan diperhitungkan kebutuhan air bersih rumah tangga yang berasal dari
PT. ATB dengan sumber air baku dapat berasal dari air sungai, mata air, danau,
sumur dalam atau kombinasinya.

Kebutuhan air bersih rumah tangga, dinyatakan dalam satuan Liter/Orang/ Hari
(L/O/H), besar kebutuhan tergantung dari kategori kota berdasarkan jumlah
penduduk dapat dilihat pada Tabel.2.25, yaitu :

Tabel 2.25. Kebutuhan Air Bersih Rumah Tangga per Orang Per Hari Menurut
Kategori Kota

81
Jumlah Penduduk Kebutuhan Air Bersih
No Kategori Kota (Jiwa) (L/O/H)
1 Semi Urban (Ibu Kota Kecamatan/Desa) 3.000 – 20.000 60 – 90
2 Kota Kecil 20.000 – 100.000 90 – 110

82
3 Kota Sedang 100.000 – 500.000 100- 125
4 Kota Besar 500.000 – 1.000.000 120 – 150
5 Metropolitan > 1.000.000 150 – 200
Sumber: Dirjen Cipta Karya,DPU,2006,”Unit Pelayanan”, Materi Pelatihan Penyegaran SDM Sektor Air Minum(Peningkatan Kemampuan
Staf Profesional Penyelenggara SPAM

a. Batam
Tabel 2.25. Kebutuhan Air Domestik Pulau Batam
Kabupaten/Kota Kecamatan Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt)
2013 2020 2030
Batam Belakang Padang 0.093 0.158 0.280
Bulang 0.045 0.077 0.136
Galang 0.076 0.128 0.227
Sei Beduk 0.415 0.704 1.246
Nongsa 0.191 0.324 0.573
Sekupang 0.457 0.774 1.370
Lubuk Baja 0.371 0.630 1.114
Batu Ampar 0.349 0.592 1.047
Bengkong 0.374 0.634 1.122
Batam Kota 0.462 0.783 1.386
Sagulung 0.543 0.920 1.628
Batu Aji 0.388 0.658 1.165
TOTAL 3.764 6.383 11.294

b. Bintan
Tabel 2.26. Kebutuhan Air Domestik Pulau Bintam

82
Kabupaten Kecamatan Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt) Keb Air (m3/dt)
/Kota 2013 2020 2030
Tanjungpin Bukit Bestari 0.20 0.31 0.55
ang Tanjungpinang Timur 0.25 0.39 0.69
Tanjungpinang Kota 0.06 0.10 0.18
Tanjungpinang Barat 0.17 0.27 0.48
Bintan Teluk Bintan 0.03 0.05 0.09
Seri Kuala Lobam 0.06 0.10 0.17
Bintan Utara 0.08 0.12 0.21
Teluk Sebong 0.04 0.07 0.11
Bintan Timur 0.13 0.21 0.37
Bintan Pesisir 0.03 0.05 0.08
Mantang 0.01 0.02 0.04
Gunung Kijang 0.03 0.05 0.09
Toapaya 0.03 0.04 0.08
Tambelan 0.02 0.03 0.05
TOTAL 1.15 1.81 3.18

II.3.3.2 Kebutuhan Air Untuk Industri dan Pariwisata

Kebutuhan air untuk industri sangat kompleks, biasanya sesuai dengan klasifikasi
jenis dan ukuran industrinya, namun korelasi antara jenis dan ukuran industri
dengan kebutuhan air tersebut kurang nyata. Air yang digunakan setiap pabrik
berbeda untuk masing masing jenisnya (pabrik tekstil berbeda dengan pabrik
elektronik), selain itu tergantung pula pada ukuran pabrik, teknologi yang
dipergunakan (umumnya yang lebih modern akan lebih efisien dalam penggunaan
air), bahkan untuk setiap produk yang dikerjakan pada setiap saat. Sehingga, akan
sulit menentukan perkirakan kebutuhan air untuk industri secara lebih akurat.

Banyak pabrik mengambil air dari sumur PT. ATB. Besar kebutuhan air bersih
industri diperhitungkan berdasarkan jumlah penduduk terhadap kebutuhan per
pekerja dan rata rata pelayanan, yaitu :

83
KAI= %Px AP x RL

Dimana :

KAI = Kebutuhan Air Industri , L/O/H

% Penduduk diasumsi pada tahap perencanaan awal, tahun 2007 sebesar


6 %, terjadi peningkatan sebesar 0,5 % setiap tahun, sehingga ada
kenaikan pada tahap perencanaan tahun 2010 menjadi sebesar 6,09 %,
tahun 2015 menjadi sebesar 6,24%, tahun 2020 menjadi sebesar 6,40 %
dan tahun 2025 menjadi sebesar 6,60 %

% P = %tase asumsi penduduk

AP = Kebutuhan air industri per tenaga kerja, pada tahap awal diperhitungkan
sebesar 500 L/O/H, terjadi peningkatan sebesar 1 % setiap tahun,
sehingga ada kenaikan pada tahap perencanaan tahun 2010 menjadi
sebesar 515 L/O/H; tahun 2015 menjadi sebesar 541 L/O/H; tahun 2020
menjadi sebesar 569 L/O/H dan tahun 2025 menjadi sebesar 598 L/O/H.

RL = Rerata Layanan, diperhitungkan konstan sebesar 70 %.

Selain itu kebutuhan air industri diperhitungkan pula untuk kehilangan air yang
terdiri dari : (1). Kehilangan dalam proses sebesar 6 %; (2). Kehilangan air tidak
terhitung yaitu sebesar 25 %.

a. Batam

Tabel 2.29. Kebutuhan Air Industri Pulau Batam


Tahun Prediksi Kebutuhan Air Industri (m³/bulan)

83
No. Kabupaten/Kota 2010 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Batam 0,0043 0,0046 0,0061 0,0046 0,0091 0,0052
Total Pulau Batam 0,0043 0,0046 0,0061 0,0046 0,0091 0,0052

Tabel 2.30. Kebutuhan Air Pariwisata Pulau Batam


No. Kabupaten/Kota Eksiting Kebutuhan Air Pariwisata (m3/detik)
2010 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Batam - 0,2287 0,2469 0,2651 0,2833 0,3014
Total - 0,2287 0,2469 0,2651 0,2833 0,3014

b. Bintan

Tabel 2.31. Kebutuhan Air Industri Pulau Bintan


No. Kabupaten/Kota Tahun Prediksi Kebutuhan Air Industri (m³/bulan)
2010 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Tanjungpinang 0,0049 0,0024 0,0031 0,0038 0,0045 0,0052
2 Bintan 0,0007 0,0007 0,0009 0,0011 0,0012 0,0014
Total Pulau Bintan 0,0056 0,0031 0,0040 0,0049 0,0057 0,0066

Tabel 2.32. Kebutuhan Air Pariwisata Pulau Bintan


No. Kabupaten/Kota Eksiting Kebutuhan Air Pariwisata (m3/detik)
2010 2011 2016 2021 2026 2031

84
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Tanjungpinang 0.0002 0,0613 0,0663 0,0713 0,0762 0,0812
2 Bintan 0.0003 0,0649 0,0701 0,0754 0,0806 0,0858
Total 0.0005 0,1262 0,1364 0,1466 0,1568 0,1670

II.3.3.3 Kebutuhan Air Perkotaan

Kebutuhan Air Perkotaan yaitu untuk memenuhi kebutuhan air komersial dan
sosial. Pada umumnya hampir semua pelayanan PT. ATB antara 15% sampai
dengan 35% dari total air perpipaan untuk kebutuhan air komersial dan sosial
seperti: toko, gudang, bengkel, sekolah, rumah sakit, hotel dsb. Makin besar dan
padat penduduk, daerah komersial dan sosial cenderung lebih banyak, sehingga
kebutuhan untuk air komersial dan sosial akan lebih tinggi jika penduduk makin
banyak.

Dalam perencanaan WS Batam Bintan, kebutuhan air untuk perkotaan diasumsi


sebesar 35 % dari kebutuhan air bersih rumah tangga, dengan nilai konstan dari
masing masing tahapan perencanaan, sehingga sampai proyeksi kebutuhan tahun
2025 nilainya sama sebesar 35 %. Selain itu kebutuhan air bersih rumah tangga
diperhitungkan pula untuk kehilangan air yang terdiri dari : (1).Kehilangan dalam
proses sebesar 6 %; (2).Kehilangan air tidak terhitung yaitu sebesar 25 %.

a. Batam

Tabel 2.33. Kebutuhan Air Perkotaan Pulau Batam


Eksiting Prediksi Keb utuhan Air Perkotaan

84
No Kota/Kabupaten Kecamatan 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Kota Batam Belakang Padang 0,0075 0,0075 0,0076 0,0078 0,0079 0,0081
Bulang 0,0028 0,0029 0,0029 0,0030 0,0030 0,0031
Galang 0,0060 0,0061 0,0062 0,0063 0,0064 0,0065
Sei Beduk 0,0454 0,0458 0,0466 0,0474 0,0483 0,0492
Nongsa 0,0152 0,0153 0,0156 0,0159 0,0162 0,0165
Sekupang 0,0500 0,0503 0,0512 0,0522 0,0531 0,0541
Lubuk Baja 0,0296 0,0298 0,0304 0,0309 0,0315 0,0321
Batu Ampar 0,0334 0,0336 0,0343 0,0349 0,0355 0,0362
Bengkong 0,0358 0,0361 0,0367 0,0374 0,0381 0,0388
Batam Kota 0,0505 0,0509 0,0518 0,0528 0,0537 0,0547
Sagulung 0,0594 0,0598 0,0609 0,0620 0,0631 0,0643
Batu Aji 0,0425 0,0428 0,0436 0,0443 0,0452 0,0460
Jumlah 0,3782 0,3809 0,3879 0,3949 0,4020 0,4093
Total Pulau Batam 0,3782 0,3809 0,3879 0,3949 0,4020 0,4093

b. Bintan

Tabel 2.34. Kebutuhan Air Perkotaan Pulau Bintan


Eksisting Prediksi Kebutuhan Air perkotaan
No Kota / 2009
Kecamatan 2011 2016 2021 2026 2031
Kabupaten
(m³/dt) ( m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt) (m³/dt)
1 Tanjungpinang Bukit Bestari 0,0166 0,0166 0,0166 0,0166 0,0166 0,0167
Tanjungpinang Timur 0,0208 0,0208 0,0208 0,0209 0,0209 0,0209
Tanjungpinang Kota 0,0042 0,0042 0,0042 0,0042 0,0042 0,0042
Tanjungpinang Barat 0,0143 0,0143 0,0144 0,0144 0,0144 0,0144
Jumlah 0,0558 0,0559 0,0559 0,0560 0,0561 0,0562
2 Bintan Teluk Bintan 0,0021 0,0021 0,0021 0,0021 0,0021 0,0021
Seri Kuala Lobam 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040 0,0040
Bintan Utara 0,0064 0,0064 0,0064 0,0064 0,0064 0,0064
Teluk Sebong 0,0027 0,0027 0,0027 0,0027 0,0027 0,0027
Bintan Timur 0,0110 0,0110 0,0110 0,0111 0,0111 0,0111
Bintan Pesisir 0,0019 0,0019 0,0019 0,0020 0,0020 0,0020

85
Mantang 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009 0,0009
Gunung Kijang 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022 0,0022
Toapaya 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018
Tambelan 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012 0,0012
Jumlah 0,0341 0,0342 0,0342 0,0342 0,0342 0,0343
Total Pulau Bintan 0,0900 0,0900 0,0901 0,0902 0,0903 0,0904

II.3.3.4 Kebutuhan Air Untuk Penggelontoran dan Pendidikan a.

Batam

Tabel 2.35. Kebutuhan Air Penggelontoran Pulau Batam


Tahun Prediksi Kebutuhan Air Penggelontoran
Kota /
No. Kecamatan 2009 2011 2016 2021 2026 2031
Kabupaten (m³/bulan) (m³/bulan) (m³/bulan) (m³/bulan) (m³/bulan) (m³/bulan)
Batam Belakang Padang 0,0937 0,0944 0,0961 0,0978 0,0996 0,1014
Bulang 0,0455 0,0459 0,0467 0,0475 0,0484 0,0493
Galang 0,0759 0,0765 0,0779 0,0793 0,0807 0,0822
Sei Beduk 0,4165 0,4195 0,4271 0,4348 0,4427 0,4508
Nongsa 0,1915 0,1929 0,1964 0,2000 0,2036 0,2073
Sekupang 0,4581 0,4614 0,4697 0,4782 0,4869 0,4957
Lubuk Baja 0,3724 0,3751 0,3819 0,3888 0,3959 0,4030
Batu Ampar 0,3499 0,3525 0,3588 0,3654 0,3720 0,3787
Bengkong 0,3751 0,3778 0,3847 0,3917 0,3988 0,4060
Batam Kota 0,4633 0,4667 0,4751 0,4838 0,4925 0,5014
Sagulung 0,5444 0,5483 0,5582 0,5684 0,5787 0,5892
Batu Aji 0,3894 0,3922 0,3993 0,4065 0,4139 0,4214
Jumlah 3,7757 3,8030 3,8719 3,9421 4,0136 4,0863
Total Pulau Batam 3,7757 3,8030 3,8719 3,9421 4,0136 4,0863

Tabel 2.36. Kebutuhan Air Pendidikan Pulau Batam


Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Pendidikan (m³/detik)
No. Kabupaten/Kota 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Batam 0,0479 0,0492 0,0518 0,0553 0,0591 0,0631
Total Pulau Batam 0,0479 0,0492 0,0518 0,0553 0,0591 0,0631

b. Bintan

Tabel 2.37. Kebutuhan Air Penggelontoran Pulau Bintan


Tahun Prediksi Kebutuhan Air Penggelontoran
Kota /
No Kecamatan 2009 2011 2016 2021 2026 2031
Kabupaten
m³/bulan m³/bulan m³/bulan m³/bulan m³/bulan m³/bulan
1 Tanjungpinang Bukit Bestari 0,2082 0,2083 0,2086 0,2089 0,2092 0,2094
Tajpinang Timur 0,2613 0,2615 0,2618 0,2622 0,2625 0,2628
Tjpinang Kota 0,0666 0,0666 0,0667 0,0668 0,0669 0,0670
Tjpinang Barat 0,1801 0,1802 0,1804 0,1807 0,1809 0,1812
Jumlah 0,7163 0,7166 0,7176 0,7185 0,7195 0,7204
2 Bintan Teluk Bintan 0,0330 0,0331 0,0331 0,0331 0,0331 0,0332
Seri Kuala Lobam 0,0640 0,0640 0,0641 0,0641 0,0642 0,0643
Bintan Utara 0,0799 0,0799 0,0800 0,0801 0,0801 0,0802
Bintan Timur 0,1386 0,1387 0,1388 0,1389 0,1391 0,1392
Bintan Pesisir 0,0311 0,0312 0,0312 0,0312 0,0312 0,0313
Mantang 0,0143 0,0143 0,0143 0,0143 0,0143 0,0143
Gunung Kijang 0,0348 0,0348 0,0349 0,0349 0,0349 0,0350
Toapaya 0,0292 0,0292 0,0292 0,0293 0,0293 0,0293
Tambelan 0,0185 0,0185 0,0185 0,0185 0,0185 0,0185
Jumlah 0,4434 0,4436 0,4440 0,4444 0,4449 0,4453
Total Pul au Bintan 1,1597 1,1602 1,1616 1,1630 1,1643 1,1657

85
Tabel 2.38. Kebutuhan Air Pendidikan Pulau Bintan
No. Kabupaten/Kota Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Pendidikan (m3/detik)
2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Tanjungpinang 0.0008 0,0009 0,0010 0,0013 0,0016 0,0020
2 Bintan 0.0079 0,0082 0,0082 0,0098 0,0108 0,0120
Total Pulau Bintan 0.0087 0,0091 0,0099 0,0111 0,0124 0,0140

II.3.3.5 Kebutuhan Air Untuk Peternakan dan Perkebunan a.

Batam

Tabel 2.39. Kebutuhan Air Perkebunan Pulau Batam


Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Perkebunan (m³/detik)
No. Kabupaten/Kota 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Batam 0,5010 0,5478 0,6923 0,8368 0,9813 1,1257
Total Pulau batam 0,5010 0,5478 0,6923 0,8368 0,9813 1,1257

b. Bintan

Tabel 2.40. Kebutuhan Air perkebunan Pulau Bintan


Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Perkebunan (m³/detik)
No. Kabupaten/Kota 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Tanjungpinang - - - - - -
2 Bintan 19,9150 23,4271 32,2739 41,1206 49,9673 58,8141
Total Pulau Bintan 19,9150 23,4271 32,2739 41,1206 49,9673 58,8141

Tabel 2.41. Kebutuhan Air Peternakan Pulau Bintam


Eksisting Prediksi Kebutuhan Air Peternakan (m³/detik)
No. Kecamatan 2009 2011 2016 2021 2026 2031
(m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik) (m³/detik)
1 Tanjung Pinang 0,0001 0,0001 0,0001 0,0001 0,0002 0,0002
2 Bintan 0,0021 0,0022 0,0031 0,0039 0,0047 0,0056
Total Pulau Bintan 0,0021 0,0023 0,0032 0,0040 0,0049 0,0058

II.3.4 Ketersediaan

Variabilitas ketersediaan air

Air yang tersedia pada suatu lokasi tidak pernah tetap jumlahnya melainkan selalu
berubah-ubah dari waktu ke waktu. Untuk dapat menyatakan ketersediaan air
secara sempurna maka data debit aliran haruslah bersifat runtut waktu (time
series). Data runtut waktu inilah yang menjadi masukan utama dalam model
simulasi wilayah sungai, dan menggambarkan secara lengkap variabilitas data
debit aliran.

Jika kita akan menyatakan ketersediaan air dengan menggunakan sebuah angka,
maka angka tersebut adalah rata-rata data debit yang ada. Cara ini tidak memberi

86
informasi mengenai variabilitas data. Menyajikan data sebagai 12 angka yang
menyatakan rata-rata bulanan lebih memberikan informasi mengenai variabilitas
data dalam setahun, akan tetapi belum memberi informasi mengenai berapa debit
yang dapat diandalkan. Angka yang menunjukkan variabilitas ketersediaan air
sekaligus menunjukkan seberapa besar debit yang dapat diandalkan adalah debit
andalan.

Debit andalan

Debit andalan adalah debit yang dapat diandalkan untuk suatu reliabilitas
tertentu. Untuk keperluan irigasi biasa digunakan debit andalan dengan reliabilitas
80%. Artinya dengan kemungkinan 80% debit yang terjadi adalah lebih besar atau
sama dengan debit tersebut, atau sistem irigasi boleh gagal sekali dalam lima
tahun. Untuk keperluan air minum dan industri maka dituntut reliabilitas yang
lebih tinggi, yaitu sekitar 90% sampai dengan 95%. Jika air sungai ini digunakan
untuk pembangkitan listrik tenaga air maka diperlukan reliabilitas yang sangat
tinggi, yaitu antara 95% sampai dengan 99%.

Nilai debit rata-rata, maupun debit andalan sebaiknya dihitung dari data debit
pengamatan yang cukup panjang. Permasalahan yang kerapkali terjadi adalah
bahwa data debit yang diukur tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali.
Permasalahan lain yaitu banyak pengamatan yang kosong atau salah. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan analisis hujan-aliran untuk
melengkapi data debit yang kosong dan memperpanjang data debit runtut waktu
yang kurang panjang.

Potensi air permukaan biasanya ditunjukan dengan debit andalan 80% dengan
periode waktu setengah bulanan yang dianalisis dengan analisis frekuensi
menggunakan persamaan empiris.

Pada kondisi ketersediaan data debit sedikit, maka perlu dicari korelasi hubungan
antara hujan dengan aliran; salah satu metode hujan – aliran yang dapat
digunakan adalah Model Mock.

a. Batam

87
200

180
KETERSEDIAAN WS BATAM
160

140

120

100

80
Debit (m3/s)
60

40

20

0
Jan-1 Jan-2 Feb-1 Feb-2 Mar-1 Mar-2 Apr-1 Apr-2 Mei-1 Mei-2 Jun-1 Jun-2 Jul-1 Jul-2 Ags-1 Ags-2 Sep-1 Sep-2 Okt-1 Okt-2 Nov-1 Nov-2 Des-1 Des-2

Qrerata 34.92 32.76 4.175 6.552 6.298 5.905 3.008 6.416 4.540 5.011 5.608 5.614 6.995 8.145 4.583 5.040 5.400 5.413 15.18 14.29 20.18 42.92 42.24
19.63
Qand 50% 19.63 18.42 2.848 3.283 2.775 2.599 2.769 3.614 4.136 4.113 4.038 4.043 5.292 6.535 3.239 4.829 3.233 3.271 18.97 17.83 18.13 31.17 29.25
18.12
Qand 80% 3.295 3.086 1.559 1.797 1.556 1.458 2.240 2.319 2.317 2.170 2.312 2.310 2.573 2.432 1.802 2.176 2.481 2.479 2.972 2.784 5.158 8.376 7.855
2.966
Qmin 1.180 1.105 1.177 1.357 1.175 1.100 1.173 1.171 1.170 1.096 1.168 1.167 1.166 1.092 1.163 1.413 2.239 2.237 2.234 2.093 2.230 2.794 2.792 2.615
Qmax 102.7 96.39 13.03 34.13 43.45 40.77 5.552 15.87 16.28 15.30 19.74 19.78 19.36 23.06 10.63 9.982 14.18 14.21 28.92 27.19 42.84 42.87 148.3 160.8

Gambar 2.39 Grafik ketersediaan Air di WS Batam

b. Bintan

400

350 KETERSEDIAAN WS BINTAN


300

250

200
Q (m 3/det)
150

100

50

0
Jan-1 Jan-2 Feb-1 Feb-2 Mar-1 Mar-2 Apr-1 Apr-2 Mei-1 Mei-2 Jun-1 Jun-2 Jul-1 Jul-2 Ags-1 Ags-2 Sep-1 Sep-2 Okt-1 Okt-2 Nov-1 Nov-2 Des-1 Des-2
Qrerata 59.95 39.79 8.424 5.024 8.666 15.20 4.782 24.81 19.29 15.96 10.46 21.35 16.59 15.06 7.377 20.22 5.825 20.86 29.76 28.13 51.56 73.01 40.73 105.2
Qand 50% 19.91 0.170 0.146 0.114 0.099 0.137 0.146 18.69 18.37 13.04 8.558 23.53 6.860 15.50 0.139 11.58 0.165 25.64 22.57 32.12 55.49 87.54 32.71 80.42
Qand 80% 0.071 0.066 0.066 0.052 0.045 0.049 0.069 0.322 4.703 2.711 0.152 7.686 0.108 0.385 0.071 0.093 0.071 0.671 0.133 10.39 14.80 22.75 0.157 42.14
Qmin 0.017 0.016 0.044 0.020 0.017 0.028 0.030 0.044 0.063 0.107 0.101 0.101 0.079 0.034 0.036 0.023 0.025 0.039 0.047 0.044 1.819 0.061 0.029 0.041
Qmax 228.2 136.7 80.09 56.43 78.38 106.0 34.21 64.23 41.36 40.37 34.88 44.86 49.72 37.16 42.11 78.81 37.91 49.53 76.95 52.36 98.26 137.0 184.4 384.1

Gambar 2.40 Grafik ketersediaan Air di WS Bintan

II.3.5 Data Lain


II.3.5.1 Kondisi Sosial Budaya

Pada saat ini penduduk yang mendiami wilayah Kabupaten Bintan dan Lingga
berasal dari berbagai suku bangsa, kebudayaan dan golongan sosial. Suku yang
cukup banyak terdapat di Pulau Batam dan Bintan adalah masyarakat yang
berasal dari suku Jawa, China, Batak, Bugis, Minangkabau, dan suku lainnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki heterogenitas suku bangsa
yang secara langsung akan merupakan suatu penggerak dan atau sebaliknya dapat
menghambat jalannya proses pembangunan.

II.4 Identifikasi Kondisi Lingkungan Dan Permasalahan


II.4.1 Aspek konservasi sumber daya air

 Konversi lahan konservasi ke lahan produktif atau perumahan.

88
 Penambangan bauksit meninggalkan lahan-lahan bekas penambangan yang
tidak produktif. Sebagian bekas pertambangan berubah menjadi kubangan,
danau, rawa, kolam-kolam, serta tanah yang tandus dan sebagian lainnya
berubah menjadi kawah kering yang menganga lebar, besar dan luas.
 Sungai-sungai yang memiliki catchment area tidak terlalu besar dengan
kemiringan sungainya cukup curam/tajam sering terjadi banjir bandang.
 Semakin rusaknya kawasan hutan, mengakibatkan sebagian besar situ yang
dulunya berfungsi dengan baik, sekarang ini semakin parah kondisinya.
 Pemukiman penduduk yang ada di sekitar tepian Sungai, lahan lereng-lereng
yang curam, perlu segera diperhatikan, karena penggunaan tanah dengan
berbagai jenis tanaman setahun pada lereng 30% ternyata menghasilkan erosi
dan limpasan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tanaman hutan.
 Pada musim kemarau potensi kebakaran hutan sangat tinggi.

II.4.2 Aspek pendayagunaan sumber daya air


II.4.2.1 Kota Batam

 Penduduk Kota Batam tahun 2010: 949.775 jiwa, Tahun 2030 diproyeksikan
mencapai 1.539.719 jiwa
 Sistem penyediaan air bersih di Kota Batam melalui air baku di 6 waduk (6
waduk di Pulau Batam dan 1 waduk Pulau Rempang). Total persediaan Kota
Batam adalah 90 juta m3.
 Kapasitas rencana WTP keseluruhan adalah sebesar 2.185 L/detik dengan
kapasitas WTP yang beroperasi sekarang 2.115 L/detik.
 Sampai dengan Desember 2006 tercatat 124.224 Satuan Sambungan

sebesar 27%.
 Ketersediaan air baku digunakan untuk melayani kebutuhan pabrik-pabrik,
hotel-hotel dan perumahan (domestik).

II.4.2.2 Kab. Bintang dan Kota Tanjung Pinang

 Penduduk Kab. Bintan tahun 2010: 142.382 jiwa, dengan laju pertumbungan
2000-2010 adalah 2,63%. Kota Tanjungpinang tahun 2010: 187.687 jiwa,
dengan laju pertumbuhan 2000-2010 adalah 2,79%.

II.4.3 Aspek pengendalian daya rusak air.

Telah terdeteksi titik-titik banjir di Pulau Batam (terutama di dekat jalan umum),
Genangan terutama terjadi akibat:

 Tersumbatnya kanal banjir (sampah terutama organik);


 Pendangkalan kanal akibat sedimentasi;
 Perubahan daerah resapan permukaan menjadi non-permeabel surface yang
meningkatkan volume dan akumulasi aliran permukaan;
 Kurangnya volume retention basin yang ada;
 Belum optimalnya kanal-kanal pengendali banjir yang ada (jumlah,
pengintegrasian, volume, O&P).
 Teralokasikannya sungai alami kepada pengembang kawasan (terutama di
kawasan padat), sehingga:
 Mengubah alur aliran alami;

89
 Keterlambatan realisasi pembangunan kanal karena diserahkan/dihimbau
kepada pengembang;
 Ketidakjelasan O&P karena aset sebagian besar milik pengembang.
 Lapisan tanah impermeabel sangat memperbesar aliran permukaan
(biopori/sumur resapan tidak bisa diterapkan sama sekali);
 Opportunity: alur yang pendek karena Batam mrpk Pulau Kecil; tidak ada
banjir “kiriman”; genangan banjir > 1 meter yang pernah terjadi maksimal
sekitar 7 jam
 Pengendalian banjir masih identik dengan drainase perkotaan saja (belum
terpadu, sistem DAS, non-fisik).

Pulau Bintan (Kab. Bintang dan Kota Tanjungpinang)

 Titik-titik banjir baru terdeteksi parsial, belum ada peta kawasan rawan
banjir;
 Kejadian banjir tercatat akibat pertemuan debit banjir di sungai dengan pasang
naik air laut (tunggang pasang cukup tinggi antara 2 s.d. 3 meter) yang
menggenangi jalan dan pertokoan di tanjungpinang (feb 2009);

II.4.4 Aspek sistem informasi sumber daya air dan ketersediaan data
sumber daya air yang meliputi:

Di WS Kepulauan Batam-Bintan hanya terdapat dua pos hujan, yakni pos hujan
kijang station kijang yang terletak di Bandara Udara Kijang dan pos hujan Hang
Nadim. Kerapatan stasiun hidroklimatologi, jumlah dan kondisi stasiun
hidroklimatologi yang berfungsi/rusak, stasiun pengukur tinggi muka air/debit,
stasiun pengamatan kualitas air pada sumber air dan badan air, serta keberadaan
data series (curah hujan dan debit), keakuratan data dan keberadaan sistim
informasi data sumber daya air.

II.4.5 Aspek pemberdayaan dan peningkatan peran masyarakat dan dunia


usaha serta kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan sumber
daya air pada wilayah sungai, khususnya terhadap:

a. keberadaan dan jumlah organisasi pengguna air;

b. kemandirian organisasi (kemampuan swadaya);

c. keberadaan dan jumlah usaha yang sangat tergantung pada ketersediaan air
serta peran dunia usaha terhadap pengelolaan sumber daya air; dan

d. kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang meliputi landasan hukum


pembentukannya, jumlah lembaga, lingkup kegiatan, frekuensi koordinasi
antarlembaga (dalam penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan).

90
BAB III ANALISA DATA WILAYAH SUNGAI

III.1 Asumsi Kriteria Dan Standar III.1.1


Kriteria Kebutuhan Air Bersih III.1.1.1 Kriteria
Laju Pertumbuhan Penduduk

Perhitungan laju pertumbuhan penduduk yang dilakukan dengan rumus dan cara-
cara yang digunakan mengambil dari Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air
Wilayah Sungai;
Persamaan pertumbuhan penduduk sebagai berikut:

{ } ;

r = Laju pertumbuhan penduduk


Pt = Penduduk pada tahun proyeksi
P0 = Penduduk tahun awal
t = Selisih tahun Pt dan P0

III.1.1.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga (Domestik)

Kebutuhan air rumah tangga (domestik) dihitung berdasarkan jumlah penduduk


dan kebutuhan air perkapita. Kriteria penentuan kebutuhan air rumah tangga
(domestik) yang dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan
Umum, menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai penentuan jumlah air
yang dibutuhkan perkapita per hari. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada
Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Kriteria Penentuan Kebutuhan Air Rumah Tangga (Domestik)


No Jumlah Penduduk Domestik (liter/Kapita/hari)
1 > 1000.000 150
2 500.000 - 1000.000 135
3 100.000 - 500.000 120
4 20.000 - 100.000 105
5 < 20.000 82,5
Sumber : Puslitbang Pengairan Departemen Pekerjaan Umum

III.1.1.3 Kebutuhan Air Perkotaan

Kebutuhan air perkotaan dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase jumlah kebutuhan air
domestik. Kriteria Penentuan kebutuhan air perkotaan memakai Pedoman Konstruksi dan Bangunan
Departemen Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai penentuan status
kota dan besar kebutuhan air berdasarkan status kota tersebut. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat
pada Tabel 3.2. dan Tabel 3.3. berikut :

Tabel 3.2. Pembagian Status Kota


Kategori Status Kota Jumlah Penduduk (jiwa)
I Metropolitan > 1.000.000
II Besar 500.000 - 1000.000
III Sedang 100.000 - 500.000
IV Kecil 20.000 - 100.000
V IKK 3000 - 20.000
VI Desa < 3000
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum

91
Tabel 3.3. Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Status Kota
Jenis Kebutuhan Air Mutu
Metropolitan Besar Sedang Kecil
Untuk Fasilitas Perkotaan Air
Komersial Kelas
a. Pasar 0,1-1,00 (l/dt) Satu
b. Hotel
- Lokal 400 (l/kamar/hari)
- Interlokal 1000 (l/kamar/hari)
c. Hostek 135-180 (l/orang/hari)
d. Bioskop 15 (l/orang/hari)
Sosial dan Institusi Kelas
a. Universitas 20 (l/siswa/hari) Dua
b. Sekolah 15 (l/siswa/hari)
c. Masjid 1- 2 (m³/hari/unit)
d. Rumah Sakit
< 100 tempat tidur 340 (l/tp.tdr/hari)
> 100 tempat tidur 400-450 (l/tp.tdr/hari)
e. Puskesmas 1- 2 (m³/hari/unit) 40 % dari 30 % dari 25 % dari
f. Kantor 0,01-45 (l/dt/hari) kebutuhan kebutuhan kebutuhan
g. Militer 10 (m³/hari/unit) air baku air baku air baku
h. Klinik Kesehatan 135 (l/orang/unit) rumah rumah rumah
Fasilitas Pendukung Kota tangga tangga tangga
a. Taman 1,4 (l/m²/hari) (domestik) (domestik) (domestik)
b. Read Watering 1,0-1,5 (l/m²/hari)
c. Sewer System 4,5 (l/kapita/hari)
(air kotor)
Fasilitas Transportasi Ada Tidak Ada
Fasilitas Fasilitas

92
Kamar Kamar
Mandi Mandi
(liter/kapita/hari)
a. Stasiun Menengah 45 23
b. Stasiun Penghubung dan 70 45
Menengah dimana ada
tempat (kotak) surat
c. Terminal 45 45
d. Bandar Udara Lokal dan 70 70
Internasional
Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum

III.1.1.4 Kebutuhan Air Industri

Kebutuhan air industri meliputi kebutuhan untuk proses industri, termasuk


bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri.
Kebutuhan air industri dihitung berdasarkan jumlah unit industri dan jumlah
tenaga kerja indsutri. Kriteria penentuan kebutuhan air industri memakai
Pedoman Konstruksi dan Bangunan Departemen Pekerjaan Umum, menggunakan
parameter jumlah unit industri dan jumlah pekerja industri sebagai penentuan
klasifikasi/jenis industri dan besar kebutuhan air berdasarkan jenis industri
tersebut. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.4. dan Tabel 3.5.
berikut :

Tabel 3.4. Klasifikasi Industri


Jumlah Tenaga Kerja Klasifikasi Industri
1 - 4 orang Rumah Tangga
5 - 19 orang Kecil
20 - 99 orang Sedang
> 100 orang Besar
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU

Tabel 3.5. Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Jenis Industri


Jenis Industri Kebutuhan Air (liter/hari)
Industri rumah Tangga Belum ada rekomendasi

93
Industri Kecil 1000
Industri Sedang 18000 - 67000
Industri Besar 225000 - 1,35 juta
Industri Tekstil 400 - 700
Sumber : Pedoman Konstruksi dan Bangunan DPU

III.1.1.5 Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai

Kebutuhan air untuk penggelontoran saluran diestimasi berdasarkan perkalian


antara jumlah penduduk perkotaan dengan kebutuhan air untuk penggelontoran
perkapita. Menurut IWRD, besar kebutuhan air untuk penggelontoran atau
pemeliharaan sungai saat ini adalah 330 liter/kapita/hari. Kebutuhan air untuk
selanjutnya dapat dihitung sebagai berikut:

q( f )
Q f  365harix xP(n)
1000

dengan:

Qf : jumlah kebutuhan air untuk penggelontoran, dalam m³/th,


q(f) : kebutuhan air untuk pemeliharaan/penggelontoran, dalam
ltr/kapita/hr,
P(n) : jumlah penduduk kota, dalam kapita (orang).

III.1.1.6 Kebutuhan Air Pariwisata

Kebutuhan air bersih pariwisata meliputi kebutuhan air hotel dan kebutuhan air
restaurant. Untuk sarana perhotelan/penginapan didasarkan pada kebutuhan
untuk tiap tempat tidur dan data jumlah tempat tidur yang ada, sedangkan untuk
restaurant didasarkan pada jumlah restaurant yang ada. Satuan pemakaian air
menurut Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjend Cipta Karya DPU, untuk
perhotelan ditentukan sebesar 200 liter/tempat tidur/hari, sedangkan untuk
restourant ditentukan sebesar 400 liter/restaurant/hari.

III.1.1.7 Kebutuhan Air Perkebunan

WS Kepulauan Batam-Bintan terdapat 5 jenis tanaman perkebunan yaitu Karet,


Lada, Cengkeh, Kelapa, Kelapa sawit. Kebutuhan air perkebunan dihitung
berdasarkan pada luasan perkebunan tersebut. Satuan pemakaian kebutuhan air
perkebunan menurut Perda No. 6 tahun 2010 sebesar 1 liter/detik/Ha.

III.1.1.8 Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi dihitung berdasarkan pada luasan irigasi. Sesuai dengan
Perda No. 6 tahun 2010 tentang Irigasi besarnya kebutuhan air irigasi sebesar 1
liter/detik/Ha.

III.1.2 Kriteria Baku Mutu Air

Sebagai tolak ukur evaluasi data kualitas air sungai WS Kepulauan Batam-Bintam
adalah Baku Mutu (BM) air pada sumber air yang datur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran Air.

93
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 disebutkan bahwa
penggolongan air menurut peruntukannya ditetapkan sebagai berikut:

94
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan
Kelas I atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi
air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
Kelas II
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
Kelas III tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain
yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut
air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan
Kelas IV atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut

Secara prinsip metoda STORET adalah membandingkan antara data kualitas air
dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan
status mutu air. Cara untuk menentukan status mutu air adalah dengan
menggunakan sistem nilai dari “US-EPA (United State - Environmental Protection
Agency)” dengan mengklasifikasikan mutu air dlm empat kelas, yaitu:

Kelas A : baik sekali, skor = 0 memenuhi baku mutu


Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 cemar ringan
Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 cemar sedang
Kelas D : buruk, skor = -31 cemar berat

III.1.3 Kriteria Konservasi Lahan


III.1.3.1 Lahan Kritis

Metodologi penentuan lahan kritis ditetapkan dengan menggunakan beberapa


parameter lahan meliputi:

- Penggunaan lahan dan penutupan vegetasi,


- Kelerengan lahan,
- Tingkat erosi (didekati dengan jenis tanah),
- Manajemen pengelolaan lahan.

Masing-masing parameter tersebut memilki kriteria (bobot) serta nilai (skor)


sehingga kombinasi antara masing-masing parameter akan
menghasilkan/menggambarkan indikasi kekritisan lahan. Untuk membantu dalam
penentuan lahan kritis maka dilakukan analisis dan studi peta dengan
menggunakan beberapa peta tematik. Peta-peta tematik tersebut terdiri atas: peta
kawasan hutan, peta batas administrasi, peta kelerengan, peta jenis tanah, peta
penggunaan lahan dan penutupan vegetasi (hasil penafsiran citra landsat) dan peta
DAS di WS Kepulauan Batam-Bintan. Peta tematik tersebut kemudian
ditumpangsusunkan (overlay) dan dinilai berdasarkan kriteria dan skor yang ada
untuk menentukan kekritisan lahan Berdasarkan hasil tumpangsusun (overlay)
dan skoring maka dapat ditentukan Tingkat Kekritisan Lahan.

95
III.1.3.2 Erosi

Erosi pada dasarnya adalah suatu perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang
dapat terjadi pada sebidang lahan bila pengelolaan tanaman dan konservasi tanah
tidak mengalami gangguan dalam jangka waktu panjang. Perkiraan jumlah tanah
hilang maksimum ini dapat dilakukan dengan persamaan yang dikembangkan oleh
Smith dan Wischmeier (Kirkby, 1980) dan dikenal dengan Universal Soil Loss
Equation (USLE). Persamaan tersebut adalah :

A= R x K x L x S x C x P

A adalah laju erosi atau jumlah tanah yang hilang maksimum yang diperkirakan
terjadi. Satuan laju erosi tergantung dari parameter yang mempengaruhi seprti
tercantum dalam formulasi A. Umumnya A menyatakan laju erosi yang terjadi pada
suatu luasan dalam kurun waktu tertentu yaitu [ton hektar/tahun]. K adalah faktor
tanah yang dinyatan sebagai nilai erodibilitas tanah. R adalah faktor fisik hujan
yang menyebabkan timbulnya peroses erosi disebut baik erosi permukaan, erosi
alur atau erosi tebing. Faktor fisik hujan yang dapat menimbulkan erosi disebut
erosifitas hujan. Erosifitas hujan besarnya merupakan fungsi energi kinetik total
hujan dengan intensitas hujan maksimum selama 30 menit dengan satuan [foot-ton
acre-1 inch jam -1], atau dengan metrik [ton-m ha¹cm jam¹]. L adalah faktor panjang
kemirigan lereng lahan. S adalah faktor kemiringan lereng tanah. C adalah faktor
penutup tanah berikut pengelolaannya, Nilai C yang terdapat dalam pustaka pada
umumnya merupakan nilai rata-rata dalam kurun waktu tanaman sampai
berproduksi untuk tanaman pangan. Dengan demikian belum didapatkan nilai C
misalnya pada saan periode tanam, vegetatif atau periode lainya. Hal ini penting
untuk dikemukakan dalam penentuan nilai C karena berkaitan dengan
karakteristik penutupan lahan dan masa pengelolaan tanaman. P adalah faktor
praktek pengendalian laju erosi secara mekanis, seperti penanaman mengikuti
kontur, strip cropping, dan pembuatan teras.

Nilai batas erosi yang diijinkan, EDP adalah nilai laju erosi yang tidak melebihi laju
pembentukan tanah. Hal ini berarti nilai laju kehilangan tanah sama atau lebih
kecil dari kecepatan pembentukan tanah. Batasan nilai EDP diberikan pada Tabel
3.6.

Tabel 3.6. Pengelompokan Erosi berdasarkan Tanah yang Hilang


Kategori Laju Erosi
Erosi sangat berat > 330 ton/ha/tahun
Erosi berat 125 - 330 ton/ha/tahun
Erosi sedang 50 - 125 ton/ha/tahun
Erosi kecil 12.5 - 50 ton/ha/tahun
Erosi sangat kecil < 12.5 ton/ha/tahun

III.1.4 Kriteria Perhitungan Tingkat Sedimentasi

Sedimentasi merupakan proses pengangkutan material sungai yang terbawa pada


aliran sungai dan menyebabkan terjadinya pendangkalan pada dasar sungai dan
muara sungai. Sedimentasi dapat terjadi karena pengaruh :

a. Terjadinya erosi lahan (diuraikan pada subbab di atas),


b. Terjadinya erosi dan longsor pada tepi/tebing sungai,
c. Adanya penggalian golongan C,

95
d. Pasang surut muka air laut
e. Banyaknya penambangan timah tanpa izin

Apabila sedimentasi tidak dikontrol dengan baik dapat menyebabkan bangunan-


bangunan pengendali sungai menjadi rusak. Hal ini yang menyebabkan adanya
perhitungan sedimen lebih lanjut . Tujuan utama perhitungan sedimen adalah
untuk memperkirakan kondisi keseimbangan antara erosi yang terjadi dengan
pelumpuran/pengendapan yang terjadi. Juga untuk menghitung laju
erosi/sedimentasi untuk kepentingan pengendalian. Perhitungan sedimen
dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

a. Menentukan debit andalan 80% (Q 80%) dari data mock


b. Menentukan data lebar sungai (B) dari google earth dan kemiringan lereng (So)
dari GIS
c. Menghitung nilai H (analisis kedalam air) dengan rumus :

96
 debit 80% xn 3/5


H 1/ 2 
 
lebarsungaixSo

d. Menghitung nilai Qb (nilai angkutan sedimen dasar harian/bed load) dalam


(ton/m/s) dengan rumus :

 3/ 2
Qb  wxHxSo 
 1/3 
 0.047 xs  wxDm  0.25xw / 9.81

e. Menghitung nilai Qb’ (nilai angkutan sedimen dasar harian/bed load) dalam
(m3/s) dengan rumus :

 Qb 
Qb'   xB
 s  1 

f. Menghitung nilai U* dengan rumus :

U*  9.81xHxSo 
1/ 2

g. Menghitung nilai CA dengan rumus :

 Qbton / m / s  
CA   
 11.6 xU *x2 xDm

h. Menghitung nilai  dengan rumus :

6
1.11x10
  11.6 x
U*

i. Menghitung nilai Ks/ dengan rumus :

97
Dm
Ks /  

97
j. Menghitung nilai Z dengan rumus :

0.048
Z 
0.4 xU *

k. Menghitung nilai A dengan rumus :

2 xDm
A
H

l. Menggunakan persamaan pendekatan semi teoritik untuk menentukan :

1) Menentukan nilai I1 dari grafik Hubungan AE dan I1 untuk perbedaan harga


Z,

Gambar 3.1. Grafik Hubungan AE dan I1 untuk perbedaan harga Z (Einstein 1950)

2) Menentukan nilai I2 dari grafik Hubungan AE dan I2 untuk perbedaan harga


Z,

98
Gambar 3.2. Grafik Hubungan AE dan I2 untuk perbedaan harga Z (Einstein 1950)

m. Menentukan nilai Qs (nilai angkutan sedimen melayang/suspended load)


dalam (N/m det) dengan rumus:

  30.2 xH    xI1  I 2
Qs  11.6 xU * xCAx 0.0078 2.303 log   
0.0039

98
   

n. Menentukan nilai Qs‟ (nilai angkutan sedimen melayang/suspended load)


dalam (m3/ det) dengan rumus :

Qs xB
Qs' 
2870 X 9.8

o. Menghitung nilai sedimen total

Se dim enTotal  Qs' (m3 / dt )  Qb' (m3 / dt )

Sedimentasi sangat berpengaruh terhadap aktivitas dan fungsi air yang selama ini
digunakan masyarakat pengguna air oleh karena itu perlu diadakannya upaya-
upaya pelestarian dan penganggulangan terhadap pengendalian sedimentasi.
Upaya yang dilakukan seperti :

a. Perbaikan terhadap erosi lahan


b. Perbaikan terhadap tutupan hutan
c. Perbaikan terhadap DAS Kritis

Penertiban terhadap penambangan timah tanpa izin dan galian golongan C yang
berada disekitar sungai

99
III.2 Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim Pada Ws
III.2.1 Beberapa Skenario Kondisi Ekonomi, Politik, Perubahan Iklim pada
Wilayah Sungai

Skenario dalam pengelolaan sumber daya air dalam Pulau Batam-Bintan


didasarkan pada kondisi keuangan negara dan perekonomian nasional, hal ini
disebabkan karena Pulau Batam-Bintan merupakan WS Strategis Nasional yang
kewenangan pengelolaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Namun
demikian program-program yang akan dilaksanakan sangat tergantung pada
kondisi fisik seperti hidrologi, geomorfologi, jenis tanah, morfologi sungai,
kesesuaian lahan, tataguna lahan, kawasan hutan, kawasan lindung serta kualitas
air serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.

III.2.1.1 Skenario kondisi ekonomi

Tingkat pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 7,6 persen pada tahun 2005,
dengan tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) mendekati 12.02
(triliun rupiah) pada tahun 2005. Sedangkan pada tahun 2004, pertumbuhan
ekonomi kota Batam mencapai 8.28 persen. Terdapat 7 (tujuh) sektor ekonomi dan
sektor jasa, kontribusi yang masih sangat dominan berasal dari sektor industri
pengolahan sebesar 71.28%. Sedangkan sektor lainnya yang juga cukup dominan
adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 10.94% dan sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sebesar 4.61%. Laju pertumbuhan
ekonomi kota Batam per sektor pada tahun 2004 di dominasi oleh sektor-sektor
industri pengolahan sebesar 8.45%. Pendapatan per kapita masyarakat juga
menunjukkan peningkatan. Berdasarkan harga berlaku (current price), pada tahun
2004 pendapatan per kapita telah mencapai Rp. 17.176.162,49 sedangkan pada
tahun 2003 sebesar Rp.15.935.049,96.

Untuk bisa memenuhi kebutuhan SDA yang mendukung sektor-sektor tersebut,


maka akan digunakan beberapa skenario, yaitu skenario ekonomi tinggi, ekonomi
sedang dan ekonomi rendah. Batasan-batasan untuk pengelompokan skenario-
skenario yang akan dikembangkan adalah:

a. Skenario 1: pertumbuhan ekonomi rendah apabila pertumbuhan ekonomi <


4,5%
b. Skenario 2: pertumbuhan ekonomi sedang apabila pertumbuhan ekonomi 4,5%
- 6,5%
c. Skenario 3: pertumbuhan ekonomi tinggi apabila pertumbuhan ekonomi >
6,5%

Berdasarkan rerata laju pertumbuhan ekonomi Pulau Batam Bintan, maka


skenario pertumbuhan ekonomi adalah termasuk pertumbuhan ekonomi tinggi.

III.2.1.2 Skenario Kondisi Politik

Pengelolaan sumber daya air tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi, namun
banyak faktor yang mempengaruhi. Di antaranya kondisi politik yang berdampak
pada strategi dan kebijakan. Kondisi politik juga berperan signifikan terhadap
skala prioritas program konservasi, alokasi pendayagunaan sumber daya air serta
program penanggulangan bencana yang terkait dengan pengelolaan sumber daya
air.

99
Skenario kondisi politik dalam pola pengelolaan sumber daya air dituangkan dalam
ada atau tidak adanya perubahan kibijakan yang signifikan dalam penggantian
pimpinan yang berperan langsung dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air.
Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, asumsi-asumsi dalam pola
dapat langsung diterapkan. Namun jika ada perubahan kebijakan yang signifikan
terhadap pengelolaan sumber daya air, maka skenario perubahan kibijakan harus
dituangkan dalam strategi dan kebijakan operasional pada Matriks Kebijakan
Operasional Pola Pengelolaan SDA di Pulau Batam Bintan.

III.2.1.3 Skenario Perubahan Iklim

Pergeseran musim hujan dan perubahan intensitas hujan diduga disebabkan


adanya perubahan iklim global (Global Climate Change). Dampak dari adanya
perubahan iklim global adalah semakin terbatasnya ketersediaan air dan semakin
meningkatnya bencana yang disebabkan oleh air. Kekeringan dan banjir nantinya
akan menjadi isu utama dalam pengelolaan air. Oleh karena itu, maka dipandang
perlu untuk memasukkan perubahan iklim ke dalam skenario pengelolaan sumber
daya air. Skenario tersebut meliputi:

a. Tidak ada perubahan iklim yang signifikan, sehingga asumsi hidrologi dan
konservasi adalah selaras dengan data historis.
b. Perubahan iklim terjadi dengan perubahan pola dan intensitas hujan yang
berdampak pada perhitungan hidrologi, alokasi air dan pola pengendalian daya
rusak air.

III.2.2 Skenario Pertumbuhan Ekonomi

Skenario kondisi wilayah sungai merupakan asumsi tentang kondisi pada masa
yang akan datang dalam kurun waktu 20 tahun ke depan yang mungkin terjadi,
misalnya, kondisi perekonomian, perubahan iklim, atau perubahan politik. (PPRI,
No.42 Th 2008 Ttg Pengelolaan SDA, pasal 16, ayat b)

Kondisi perubahan iklim dan perubahan politik yang mempengaruhi kondisi


wilayah sungai sangat sulit diasumsikan pada masa 20 tahun yang akan datang,
oleh karenanya skenario kondisi wilayah sungai diasumsikan berdasarkan kondisi
perekonomian pada masa yang akan datang.

Untuk menentukan asumsi kondisi perekonomian rendah, sedang dan tinggi pada
masa yang akan datang (20 tahun) dapat digunakan beberapa pendekatan:

a. Analisis kecenderungan pertumbuhan ekonomi pada daerah provinsi,


kabupaten/kota yang berada pada wilayah sungai berdasarkan pada
pertumbuhan sektor-sektor dalam PDRB,
b. Perbandingan antara pertumbuhan ekonomi pada daerah provinsi,
kabupaten/kota yang berada pada wilayah sungai dengan pertumbuhan
ekonomi nasional.

Penentuan kondisi perekonomian menggunakan pendekatan no. 2 di atas,


diuraikan sebagai berikut:

Pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2006-2007 berkisar antara 6-6.7%,


rata pertumbuhan nasional adalah 6.35%, berdasarkan hal tersebut pertumbuhan

100
ekonomi dikategorikan kedalam skenario pertumbuhan ekonomi rendah, sedang
dan tinggi dengan kriteria sebagai berikut:

a) Skenario Pertumbuhan Ekonomi Rendah :

Skenario ekonomi rendah ditetapkan dengan pertumbuhan ekonomi yang jauh


lebih rendah dari rata-rata pertumbuhah ekonomi nasional yaitu <6,35%. Pada
kondisi ini, pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai akan mengalami
kesulitan dalam pembiayaan, oleh karena itu target/sasaran dari strategi
(rangkaian upaya dan kegiatan) pengelolaan sumber daya air pada masa 20 tahun
tidak akan tercapai.

b) Skenario Pertumbuhan Ekonomi Sedang :

Skenario ekonomi sedang ditetapkan dengan pertumbuhan ekonomi yang


mendekati rata-rata pertumbuhah ekonomi nasional yaitu 6,35%. Pada kondisi ini,
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dapat dibiayai secara terbatas,
oleh karena itu target/sasaran dari strategi (rangkaian upaya dan kegiatan)
pengelolaan sumber daya air akan tercapai sebagian.

c) Skenario Pertumbuhan Ekonomi Tinggi :

Skenario ekonomi tinggi ditetapkan dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di


atas rata-rata pertumbuhah ekonomi nasional yaitu >6,35%. Pada kondisi ini,
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai dapat dibiayai sepenuhnya, oleh
karena itu target/sasaran dari strategi (rangkaian upaya dan kegiatan) pengelolaan
sumber daya air pada masa 20 tahun dapat tercapai sepenuhnya sesuai dengan
yang diharapkan.

III.2.2.1 Neraca Air 20 Tahun (2010-2031)

Kebutuhan air di Pulau Batam adalah kebutuhan air rumah tangga, perkotaan,
dan industri (RKI), pariwisata, pendidikan, penggelontoran dan perkebunan.

Ketersediaan air pada neraca air Pulau Batam dan Bintan terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Ketersediaan air yang merupakan potensi air yang dihitung dengan cara
mengalihragamkan data curah hujan menjadi debit limpasan. Debit Limpasan
yang telah diperoleh berupa rerata debit bulanan yaitu sebesar 30.551,45
m3/detik untuk Pulau Batam dan 86.277,33 m3/detik untuk Pulau Bintan.

Ketersediaan air tahun 2010 sampai dengan tahun 2031 dianggap stabil
dengan pertimbangan bahwa selama 20 tahun tidak tejadi perubahan iklim
secara signifikan serta keberadaan tutupan hutan pada daerah recharge air
serta lahan kritis pada wilayah sungai semakin berkurang.

b. Ketersediaan air nyata di Pulau Batam dan Pulau Bintan pada tahun 2010
adalah jumlah air atau debit air yang dapat
disuplai/dilayani/disediakan/terpasang saat ini (eksisting) untuk pemenuhan
kebutuhan air yang diperoleh dari waduk.

Grafik neraca air Pulau Batam dan Pulau Bintan disajikan pada Gambar 1 dan
Gambar 2.

101
NERACA AIR WS BATAM
35000.00

102
30000.00

25000.00
Debit (liter/detik)

20000.00

15000.00

10000.00

5000.00

0.00

2027
2010

2015

2016

2018

2024

2025

2026

2028
2012

2013

2014

2017

2019

2029

2030

2031
2020

2021

2022

2023
2011

Kebutuhan Ketersediaan Waduk Eksisting

Gambar 1. Grafik Neraca Air Pulau Batam

NERACA AIR WS BINTAN


100000.00

90000.00

80000.00

70000.00
Debit (liter/detik)

60000.00

50000.00

40000.00

30000.00

20000.00

10000.00

0.00
2012

2016

2020

2024

2028
2010

2014

2018

2022

2026

2030
2013

2015

2017

2019

2021

2023

2025

2027

2029

2031
2011

Kebutuhan Ketersediaan Waduk eksisting

Gambar 2. Grafik Neraca Air Pulau Bintan

Kondisi ekonomi WS Batam-Bintan masuk dalam kriteria ekonomi tinggi dengan


asumsi:

a. Pertumbuhan Penduduk diasumsikan:

 Pulau Batam tahun 2011-2020 sebesar 10% pertahun dan 2020-2031


sebesar 7% pertahun
 Pulau Bintan tahun 2011-2020 sebesar 7% pertahun dan 2020-2031
sebesar 6% pertahun

b. Kebutuhan air domestik ekivalen:

103
 Batam 145 liter/orang/hari tahun 2011-2031 (10 point diatas standard
kebutuhan air per orang untuk status kota besar dengan jumlah penduduk
s/d 1 juta orang – Standar Ditjen Cipta Karya DPU)
 Batam 140 liter/orang/hari tahun 2011-2031 (5 point dibatas standard
kebutuhan air per orang untuk status kota besar dengan jumlah penduduk
s/d 1 juta orang – Standar Ditjen Cipta Karya DPU)

c. Kebutuhan air industri mengacu pada kebutuhan air untuk industri besar yaitu
225.000 – 1,350 juta liter/hari.
d. Kebutuhan air perkebunan 1 liter/detik/ha untuk semua jenis tanaman
perkebunan kecuali kelapa sawit sebesar 10 liter/deti/ha.
e. Kebutuhan air peternakan: kerbau/sapi/kuda 40 liter/ekor/hari,
kambing/domba 5 liter/ekor/hari, unggas 0,6 liter/ekor/hari.
f. Kebutuhan air untuk pariwisata:

 Kebutuhan air perhotelan 200 liter/tempat tidur/hari (standar Dir. Teknik


Penyehatan, Ditjen Cipta Karya Dep. PU).
 Kebutuhan air restaurant 400 liter/restoran/hari.

g. Kebutuhan air perkotaan (contoh: pemadam kebakaran, taman kota,


perkantoran, dll) ekivalen 40% dari kebutuhan air domestik untuk status kota
besar (Batam) dan 30% untuk status kota sedang (Bintan).
h. Kebutuhan air untuk penggelontoran/pemeliharaan sungai 360
liter/kapita/hari (2000-2015) dan 300 liter/kapita/hari (2015-2031)
i. Kebutuhan air pendidikan 25 liter/siswa/hari.
j. Kehilangan air 35% untuk Batam dan 35% untuk Bintan.
k. Diasumsikan cakupan pelayanan untuk penggelontoran dan peternakan adalah
sebesar 50%, dan untuk perkebunan 70%.
l. Cakupan pelayanan air domestik, industri, perkotaan, pariwisata dan
pendidikan adalah 95%.

Grafik neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau Batam (Gambar 3) menyajikan:

 Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air rumah
tangga hingga tahun 2024. Sebelum tahun 2024, perlu dilakukan upaya untuk
dapat memenuhi kebutuhan air hingga tahun 2031 yaitu sebesar 3759.08
liter/detik.
 Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air RKI
hingga tahun 2017. Sebelum tahun 2017, perlu dilakukan upaya untuk dapat
memenuhi kebutuhan air hingga tahun 2031 yaitu sebesar 11431.61
liter/detik.
 Waduk eksisting dan waduk rencana tidak mampu memenuhi kebutuhan air
RKI, perkebunan dan ternak, termasuk kebutuhan air untuk penggelontoran.

Grafik neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau Bintan pada Gambar 4
menunjukkan bahwa waduk eksisting dan waduk rencana tidak mampu
memenuhi kebutuhan air untuk RKI, perkebunan, peternakan dan penggelontoran.

Gambar 4 menunjukkan bahwa pada neraca air skenario ekonomi tinggi Pulau
Bintan:

 Waduk eksisting dan waduk rencana mampu memenuhi kebutuhan air rumah
tangga hingga tahun 2031.

103
 Tahun 2010-2015, kebutuhan air RKI belum dapat terpenuhi. Adanya upaya
penambahan waduk menyebabkan kebutuhan air RKI dapat terpenuhi pada
tahun 2016. Tahun 2020, kebutuhan air RKI belum dapat terpenuhi. Adanya
upaya penambahan waduk menyebabkan kebutuhan air RKI dapat terpenuhi
pada tahun 2031.

104
a) Neraca Air Skenario Ekonomi Tinggi

Gambar 3. Neraca Air Skenario Ekonomi Tinggi Pulau Batam

105
Gambar 4. Neraca Air Skenario Ekonomi Tinggi Pulau Bintan

106
Selanjutnya pentahapan alokasi air (skema pemenuhan air baku) untuk
eksisting, jangka pendek, menengah, dan panjang dapat dilihat pada diagram
alokasi air sebagai berikut:

Skema Pemenuhan Kebutuhan Air Eksiting

Skema Pemenuhan Kebutuhan Air Jangka Pendek (Tahun 2015)

I - 107
Skema Pemenuhan Kebutuhan Air Jangka Menengah (Tahun 2020)

Skema Pemenuhan Kebutuhan Air Jangka Panjang (Tahun 2030)

I - 108
III.3 Alternatif Pilihan Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air
III.3.1 Aspek Konservasi Sumber Daya Air
III.3.1.1 Perlindungan dan Pelestarian Sumbaer Daya Air

a) Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air


(DTA) :

 Penetapan kawasan lindung pd daerah resapan air dan DTA


 Pemberdayaan masyarakat yg tinggal di kawasan tersebut dengan
meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang isu-isu DTA.
 Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan
(stakeholder) dalam kepedulian terhadapa DTA, pencegahan polusi, dan
konservasi sumber daya.
 Meningkatkan program-program dan pengembangan yang
meminimalkan dampak pertumbuhan dimasa datang ke DTA.
 Penegakan hukum terhadap pemanfaatan lahan daerah resapan air dan
DTA.

b) Pengendalian pemanfaatan sumber air :

 Pembuatan Peraturan pengambilan kuantitas sumber air permukaan


(sungai, mata air, danau, waduk, embung dll) dan air tanah.
 Sosialisasi peraturan dgn pemberdayaan masyarakat.
 Pengembangan sistim informasi perijinan
 Penertiban/penindakan pelanggaran peraturan.

c) Pengisian air pada sumber air :

 Memelihara kondisi anak sungai (tali air) pengisi waduk.


 Mencari lahan yang berpotensi sebagai daerah tampungan air.

d) Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi :

 Peraturan Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi sampai pada


standar yang bisa diterima/standar baku yang ada.
 Meningkatkan cakupan pelayanan sanitisasi.
 Meningkatkan manajemen pengelolaan sanitasi.
 Menjamin akses bagi semua masyarakat terhadap layanan sanitasi.
 Privatisasi pelayanan sanitasi dan pengolahan limbah yang berpihak
pada masyarakat miskin dan pulau-pulau kecil.
 Pemantaun dan peningkatan kerjasama antara pemangku kepentingan
dalam pelayanan sanitasi.
 Sosialisasi tentang prasarana dan sarana sanitasi yang sesuai dengan
pedoman.

e) Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan


pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air :

 Perlindungan sumber air dari kegiatan yang menyebabkan penurunan


kualitas dana kuatitas air.
 Pemantauan kuantitas dan kualitas air pada sumber air.
 Zonasi pemanfaatan lahan pada sumber air.

I - 109
 Sosialsasi tentang perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan
kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air;

f) Pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu :

 Pengendalian pengolahan tanah dengan memperhatikan kaidah


konservasi dan tetap mempertahankan fungsi lindung sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Sosialisasi tentang pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu

g) Pengaturan daerah sempadan sumber air :

 Penetapan batas sempadan sumber air dan penetapan pemanfaatan


daerah sempadan sumber air
 Sosialisasi penetapan dan pemanfaatan daerah sempadansumber air

h) Rehabilitasi hutan dan lahan dan atau pelestarian hutan lindung, kawasan
suaka alam, dan kawasan pelestarian alam

 Pengijauan dan perbaikan lahan kritis.


 Sosialisasi tentang rehabilitasi hutan dan lahan.

III.3.1.2 Pengawetan Air

a) Menyimpan air yang berlebihan di saat hujan untuk dapat dimanfaatkan


pada waktu diperlukan

 Pembuatan tampungan air hujan, kolam, embung, atau waduk.

b) Menghemat air dengan pemakaian yang efisien dan efektif

 Penghematan pemakain air


 Monitoring dan evaluasi penggunaan air.
 Pengembangan teknologi untuk penghematan air

III.3.1.3 Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air

a) Memperbaiki kualitas air pada sumber air dan prasarana sumber daya air

 Pencegahan pencemaran pada sumber-sumber air.


 Monitoring dan evaluasi kualitas air pada sumber air.
 Pembuatan aturan baku mutu air.

I - 110
III.3.2 Aspek Pendayagunaan Sumbaer Daya Air

a) Penatagunaan Sumbaer Daya Air

 Perlindungan monitoring dan evaluasi terhadap penatagunaan sumber


daya air.
 Reformasi penataan pemanfaatn sumber air dan peruntukan air pada
sumber air.
 Sosialisasi dan komunikasi kepada masyarakat dan mitra air tentang
zonasi pemanfaat sumber air dan perutukan air pada sumber air

b) Penyediaan Sumber Daya Air

 Penetapan urutan prioritas penyediaan sumber daya air


 Integrasi prioritas penyediaan sumber air dengan zonasi pemanfaatan
dan peruntukan air pada sumber air.
 Monitoring dan evaluasi periodik penyediaan sumber air.
 Pemanfaatan semua sumber air yang ada (sungai, waduk, kolong, kolam,
dll)

c) Penggunaan sumber daya air

 Penghematan penggunaan sumber daya air;


 Pemantau ketertiban dan keadilan penggunaan sumber daya air;
 Pemantau ketepatan penggunaan sumber daya air;
 Menjamin keberlanjutan penggunaan sumber daya air;
 Memprioritaskan penggunaan air permukaan.

d) Pengembangan sumber daya air

 Pembangunan tempat penyimpanan air lebih banyak (waduk, embung,


kolam, estuaria dam, dll) adalah mutlak penting untuk kebutuhan masa
depan juga untuk pulau-pulau kecil.
 Rehabilitasi tempat penyimpanan air eksisting dengan O dan P.
 Pencarian alternative dan teknologi baru dalam pengembangan SDA

e) Pengusahaan sumber daya air

 Pengaturan pengusahaan sumber daya air.


 Monitoring dan evaluasi pengusahaan sumber daya air.

III.3.3 Aspek Pengendalian Daya Rusak Air

a) Pencegahan Daya Rusak Air

 Meningkatkan Meningkatkan kualitas prakiraan (forecasting) dan


peringatan dalam kaitannya dengan bahaya yang berhubungan dengan
daya rusak air (seperti: informasi cuaca, jumlah hujan, debit sungai dll)
 Penilaian resiko dan pemetaan daerah rawan bencana akibat daya
rusak air (termasuk frekuensi, intensitas, dampak dan periode ulang).

I - 111
 Penyeimbangan hulu-hilir dilakukan dengan mekanisme penataan
ruang dan pengoperasian prasarana sungai sesuai dengan kesepakatan
para pemilik kepentingan
 Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang ditujukan
untuk mencegah kerusakan dan/atau bencana yang diakibatkan oleh
daya rusak air.
 Pengutamaan kegiatan nonfisik dalam rangka pencegahan bencana
dilakukan melalui pengaturan, pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian.
 Naturalisasi sempadan sungai dan sumber-sumber air.

b) Penanggulangan Daya Rusak Air

 Penanggulangan kerusakan dan/atau bencana akibat daya rusak air.


 Sosialisasi prosedur operasi lapangan penanggulangan kerusakan
dan/atau bencana akibat daya rusak air.

c) Pemulihan Daya Rusak

 Rehabilitasi dan Rekonstruksi

III.3.4 Aspek Sistem Informasi Sumber Daya Air

a) Informasi Sumber Daya Air

 Peningkatan prasarana dan sarana system informasi sumber daya air


 Perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian, pemeliharaan, dan evaluasi
sistem informasi sumber daya air.

b) Pengelolaan Sistem Informasi

 Pengkoordinasian pengelolaan sistem informasi SDA

III.3.5 Aspek Pemberdayaan dan Peningkatan Peran Masyarakat

a) Pelibatan Peran Masyarakat dalam pengelolaan SDA

 Pengaktifan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air.


 Penggalian kearifan lokal dalam pengelolaan SDA.

I - 112

Anda mungkin juga menyukai