Anda di halaman 1dari 11

Dasar Hukum

Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan “HPL”) diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain:

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah. (“PP No.40/1996”)
3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak enguasaan Atas tanah Negara
dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. (“Permenag No.9/1965”)
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No.9/1999”).

Pengertian
Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3)
huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan
penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

Obyek HPL
Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan untuk pertanian.

Subyek HPL
Berdasarkan Pasal 67 Permenag No. 9/1999, HPL dapat diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut:a. instansi
pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.

Terjadinya HPL
HPL dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu:

1. Konversi hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Permenag No.9/1965.


2. Pemberian hak atas tanah berasal dari tanah negara yang diberikan melalui permohonan, sebagaimana diatur
dalam Permenag No.9/1999.

Kewenangan Subyek HPL


Lebih lanjut Pasal 6 Permenag No. 9/1965 menjelaskan HPL memberikan wewenang kepada pemegangnya untuk:
a. merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu 6
(enam) tahun;
d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan.

Tata Cara Permohonan dan Pemberian HPL


Pasal 70 Permenag No. 9/1999 lebih lanjut menjelaskan terkait tata cara permohonan HPL yaitu permohonan diajukan
secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan. Keputusan pemberian atau penolakan pemberian HPL akan disampaikan kepada pemohon melalui surat
tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.Jangka Waktu HPL
HPL tidak mempunyai jangka waktu kepemilikan sehingga jangka waktu HPL adalah tidak terbatas.

Pemberian Hak Atas Tanah di Atas Bagian Tanah HPL


Berdasarkan PPNo. 40/ 1996 menyatakan bahwa di atas tanah HPL dapat diberikan atau dibebankan dengan hak-hak
atas tanah yaitu Hak Guna Bangunan (“HGB”) dan Hak Pakai (“HP”). HGB atas tanah HPL dan HP atas tanah HPL
diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang HPL
kepada calon pemegang HPL.

. Hapusnya hak pengelolaan


Karena dilepaskan oleh pemegang haknya.
Dibatalkan karena tanahnya tidak dipergunakan sesuai dengan pemberian haknya.
Dicabut untuk kepentingan umum.
Karena berakhir jangka waktunya (kalau pemberian haknya diberikan untuk jangka waktu tertentu).

Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya
lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat
adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal
lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom,
Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek
Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih
tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu
misalnya mengenai hak – hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas – asas
Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[1]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum
tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan
Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya.
Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak
tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996.
Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan pengertian dari Hak Tanggungan.
"Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana
dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut
atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan
memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda – benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak
atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya
yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal,
yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
benda-benda tersebut.[2] Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan
dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan
dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut
merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

B. CIRI-CIRI HAK TANGGUNGAN


Ciri Hak Tanggungan adalah:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (droit de preference). Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor
pemegang hak tanggungan berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan umum
dengan hak mendahului dan kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada (droit de suite). Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak
Tanggungan. Meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih
tetap dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji (wanprestasi).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian
hukum bagi pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 kreditur diberikan
kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji
(wanpreslasi), maka kreditor tidak perlu menempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya
besar. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk menjual obyek hak tanggungan melalui
pelelangan umum.[3]
Ciri-ciri tersebut selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio bahwa:[4]
Ciri-ciri Hak Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-Undang Hak Tanggungan, suatu Pasal
yang hendak memberikan perumusan tentang Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:
a. Hak jaminan;
b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan dengan tanah yang
bersangkutan;
c. untuk pelunasan suatu hutang;
d. memberikan kedudukan yang diutamakan
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang ditampilkan berbeda dasar
pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai
kedudukan yang diutamakan.
Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka terdapat beberapa sifat dan
asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan adalah sebagai berikut:
a. Hak Tanggungan mempunyai sifat hak didahulukan, yakni memiliki kedudukan yang diutamakan bagi
kreditur tertentu terhadap kreditur lain (droit de preference) dinyatakan dalam pengertian Hak Tanggungan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996:
“Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain
yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”,
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 pada angka 4 menyatakan:
“Bahwa apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelengan
umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan
hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Kedudukan yang diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak
mengurangi prefensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku”.
b. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi. Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat
dibagi-bagi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian
Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”,
dan juga di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan hutang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara
angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan,yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya
membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa hutang yang belum dilunasi”.
c. Hak Tanggungan mempunyai sifat membebani berikut atau tidak berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah.
Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanah juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah
tersebut sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996,
menentukan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan dapat saja
dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, tetapi juga berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut.[5]
d. Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir Hak Tanggungan menurut sifat accessoir dijelaskan dalam
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 8 menentukan bahwa:
“Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang
didasarkan pada suatu perjanjian hutang piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan
oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya”
Lebih lanjut Hak Tanggungan mempunyai sifat Accessoir dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996, menentukan bahwa:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan
pelunasan hutang tertentu yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lain yang menimbulkan hutang tersebut”.
Kemudian dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan hapus karena hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.”
Perjanjian pembebanan Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya
adalah karena ada perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk bagi perjanjian Hak Tanggungan
adalah perjanjian hutang piutang yang menimbulkan hutang yang dijamin. Dengan kata lain, perjanjian pembebanan
Hak Tanggungan adalah perjanjian accessoir.
e. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat diberikan lebih dari satu hutang.
Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari suatu hutang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu hutang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk
satu hutang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.”
f. Hak Tanggungan mempunyai sifat tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada.
Hak Tanggungan mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek Hak Tanggungan itu berada berdasarkan
Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 menentukan:
“Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada”.
Dengan demikian Hak Tanggungan tidak akan hapus sekalipun objek Hak Tanggungan itu berada pada pihak
lain.
g. Hak Tanggungan mempunyai sifat dapat beralih dan dialihkan. Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-
sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditur yang baru.”
Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan karena mungkin piutang yang dijaminkan itu dapat beralih dan
dialihkan. Ketentuan bahwa Hak Tanggungan dapat beralih dan dialihkan yaitu dengan terjadinya peralihan atau
perpindahan hak milik atas piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut atau Hak Tanggungan beralih
karena beralihnya perikatan pokok.[6]
h. Hak Tanggungan mempunyai sifat pelaksanaan eksekusi yang mudah.
Menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, menentukan:
“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan dibawah kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”.
Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan tidak perlu
memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat
apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang. Pemegang Hak Tanggungan
dapat langsung mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang untuk melakukan pelelangan objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.

C. SUBJEK DAN OBJEK HAK TANGGUNGAN


1. Subjek Hak Tanggungan
Subjek hak tanggungan adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan
Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.[7]
Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor.
Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi
Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada
pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah
pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak
tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[8]
Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa
subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak
tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil
karya yang ikut dibebani hak tanggungan
b. Pemegang Hak Tanggungan
Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.[9]
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank,
badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk
menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan
pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak
Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

2. Obyek hak tanggungan


Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak tanggungan.
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat,
yaitu:[10]
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya adalah jika debitor cidera janji
maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan cara lelang
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka benda yang dijadikan jaminan akan
dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku, karena harus dipenuhi "syarat
publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum,
dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang
diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai
hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat
mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang.
Dalam Pasal 4 undang-undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak tanggungan
adalah:
1. Hak Milik (Pasal 25 UUPA) ;
2. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;
3. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) ;
4. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum perdata dengan jangka waktu terbatas,
untuk keperluan pribadi atau usaha. Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan Negara Asing yang peruntukkannya
tertentu dan telah didaftar bukan merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena sifatnya
tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek
hak tanggungan;
5. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun
1985 Tentang Rumah Susun.

D. PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN


Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10
Ayat (1) Undang undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu:
1. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan pembuatan Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan
akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT
yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan
dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas
tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena
jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jabatan PPAT.[11]
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan
dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak
tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan
merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu
yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal
pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan
menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak
tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan
diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Untuk melindungi kepentingan kreditor, maka dapat saja sertifikat hak tanggungan tetap berada ditangan
kreditor. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan kecuali
jika diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan
dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

E. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN


Pasal 20 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera janji maka eksekusi hak tanggungan
dapat dilakukan berdasarkan:
1. Hak pemegang Hak tanggungan pertama untuk menjual obyek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 UUHT atau ;
2. Titel Eksekutorial yang terdapat pada sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
3. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan
dibawah tangan apabila jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak;
4. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak diberitahukan
secara tertulis oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan
sedikitnya dalam 2 surat kabar yang beredar didaerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada
pihak yang merasa keberatan;
5. Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi hak tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum;
6. Sampai pengumuman untuk lelang dikeluarkan penjualan lelang dapatdihindarkan dengan pelunasan hutang yang
dijamin dengan hak tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan
Pasal 6 Undang - Undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila debitor cidera janji, pemegang hak
tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan
umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan menyebutkan apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit
pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuanUndang-
Undang ini.
1. Akibat Hak Tanggungan yang tidak didaftarkan
Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10
Ayat (1) Undang - Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari perjanjian utang piutang.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan
dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak
tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan
merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu
yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal
pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan
menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak
tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan
diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan
selambat – lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan
saat lahirnya suatu hak tanggungan dan merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan
hak tanggungan maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari hak
tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur preferen sebagaimana
kreditur hak tanggungan.
Jika tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak
tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang –
Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan
eksekutorial karena memuat irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat yang
memiliki irah – irah ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki
kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka
hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur
seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Sehingga suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas dari hak tanggungan.
Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai kreditur yang preferen melainkan sama seperti
kedudukan kreditur konkuren. Selain itu dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat sertifikat
hak tanggungan yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.
Pengertian Roya secara umum adalah pencoretan Hak Tanggungan yang melekat pada buku tanah yang menjadi objek
Hak Tanggungan, karena hapusnya Hak Tanggungan yang membebani atas tanah. Permohonan Roya diajukan kepada
instansi yang berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Hapusnya Hak Tanggungan terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU
No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya
cukup disebut UUHT), yaitu sbb :
§ Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
§ Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
§ Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
§ Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

Prosedur pelaksanaan Roya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU HT tentang Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut :
“Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan
melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena
piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor
bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah
lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

Pengertian Pasal 22 ayat (4) sudah jelas dan tidak memerlukan interpretasi lagi, yaitu bahwa permohonan pencoretan
(Roya) yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan :
§ diberi catatan atau pernyataan tertulis oleh kreditur dengan menyebutkan keterangan pinjaman tersebut LUNAS ;
atau
§ pernyataan tertulis dari kreditur (Bank) bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena lunas atau kreditur (Bank)
melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.

1. Sebenarnya istilah strata title tidak ada dalam kamus kepustakaan hukum Indonesia. Istilah strata
title digunakan di negara-negara seperti Singapura dan Australia yang pada intinya memungkinkan kepemilikan
bersama secara horisontal di samping pemilikan secara vertikal. Walaupun di Indonesia dikenal berbagai istilah
seperti rumah susun, apartemen, flat, condominium, akan tetapi dalam bahasa hukumnya semua disebut sebagai
rumah susun.
2. Dasar hukum pengaturan rumah susun adalah:
- Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. (UU Rumah Susun)
- Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (PP Rumah Susun)
Pengertian rumah susun berdasarkan UU Rumah Susun adalah:
”Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal dan vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, terutama bentuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan abgian
bersama, benda bersama dan tanah bersama.”
Pemilikan perseorangan atas satuan rumah susun dan hak bersama meliputi:
1. hak bersama atas bagian bersama
2. hak bersama atas benda bersama
3. hak bersama atas tanah bersama
yang kesemuanya merupakan satu kesatuan hak yang tidak terpisahkan.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (”HMSRS”) dinyatakan lahir sejak didaftarkannya Akta Pemisahan dengan
dibuatnya Buku Tanah atas setiap rumah susun yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian hak bagi pemilik
satuan rumah susun, pemerintah memberikan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat HMSRS yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat. Setiap pemilik rumah susun akan
mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Berdasarkan pasal 7 UU Rumah Susun, tanah yang digunakan untuk pembangunan rumah susun adalah tanah
dengan status:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan (HGB)
3. Hak pakai atas tanah negara
4. Hak Pengelolaan (HPL)
3. Hal penting yang perlu diperhatikan pada saat Anda berminat untuk membeli apartemen adalah hak atas SRS
tersebut. Permasalahan dapat timbul apabila rumah susun tersebut dibangun di tanah yang berstatus HGB di atas
HPL. Pasal 38 PP Rumah Susun menyatakan apabila rumah susun dibangun di atas tanah dengan status HPL
maka pihak pengembang (developer) terlebih dahulu wajib mengajukan permohonan status HGB di atas tanah
HPL tersebut. Apabila pemberian status HGB belum selesai, maka satuan rumah susun tersebut belum dapat dijual
donesia
Penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria memberikan
banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas
tanah oleh pemerintahKonversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada sistem
hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan Tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA[4]. Sebelum adanya konversi
hak-hak atas tanah dan berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat
hukum, yaitu :
1. Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-
tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang dianut oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah
adat atas tanah Indonesia.
2. Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang
bersumber pada Boegerlinjk Wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang
memberikan pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini diberlakukan atas dasar
Konkordansi. Misalnya tanah Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht.
3. Hukum agraria Administrasif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria
pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari Hukum Agraria ini adalah
Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang memberikan
landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/agrarianya.
4. Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-
daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah
swapraja yang bersangkutan.
Dasar hukum konversi hak atas tanah terdapat di bagian Kedua UUPA tentang Ketentuan-Ketentuan
Konversi, yaitu pasal I hingga Pasal VIII. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
2. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Berbagai jenis hak atas tanah tersebut kemudian dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru, yaitu hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. berikut ini penjelasan dari ketiga jenis konversi tersebut.
1.1 Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
Hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1. Hak eigendom, adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara
bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Hak eigendom merupakan hak yang paling
sempurna. Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Namun apabila
terhadap hak eigendom tersebut dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka konversinya harus atas kesepakatan
antara pemegang hak eigendom dengan pemengang hak opstal atau hak erfpacht.
2. Hak opstal, adalah hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain
(Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
3. Hak erfpacht, adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan
mengusahakannya untuk waktu yang sangat lama (Pasal 820 KUH Perdata). Hak erfpacht terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
o Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.
o Hak erfpacht untuk perumahan, dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
o Hak erfpacht untuk pertanian kecil, tidak dikonversi dan dihapus.
4. Hak gebruik (recht van gebruik), adalah hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk
mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya, sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
Hak gebruik dikonversi menjadi hak pakai.
5. Bruikleen, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain
untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang ditentukan.
Bruikleen dikonversi menjadi hak pakai.
1.2 Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Hak erfpacht yang altijddurend, adalah hak erfpacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah
partikulir menurut S. 1913 – 702. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna
bangunan, tergantung pada subyek hak dan peruntukannya.
2. Hak agrarische eigendom, adalah hak buatan semasa pemerintahan kolonial Belanda yang memberikan kaum
bumiputera suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Hak agrarische eigendom juga dapat dikonversi menjadi hak
milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
3. Hak gogolan, adalah hak seorang gogol (kuli) atas komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau
hak pekulen. Hak gogolan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
o Hak gogolan yang bersifat tetap, apabila si gogol secara terus-menerus mempunyai tanah yang sama dan tanah
tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
o Hak gogolan yang bersifat tidak tetap, apabila gogol tersebut tidak secara terus-menerus memegang tanah gogolan
yang sama dan apabila ia meninggal dunia, tanah gogolan kembali pada desa.
Terhadap tanah gogolan yang bersifat tetap dapat dikonversi menjadi hak milik. Sedangkan terhadap tanah
gogolan yang bersfat tidak tetap dapat dikonversi menjadi hak pakai.
Bahwa yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden No. 32/1979 adalah penegasan kembali tentang
berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di
dalam UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak Barat atas tanah di
Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas
tanah asal Konversi Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi.
Bahwa selanjutnya tanah-tanah asal Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi
tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan
tanah melalui pemberian hak baru.#
Sedangkan konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II, VI dan VII, ketentuan
konversi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak
Indonesia atas tanah
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-
hak Indonesia atas tanah.
c. Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 / DDA / 1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas
hak-hak Indonesia atas tanah.
II. Tujuan dan Fungsi Konversi
Tujuan dari konversi hak–hak atas tanah tidak lepas dari tujuan yang hendak dicapai UUPA yakni unifikasi dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Secara lebih khusus konversi
bertujuan untuk mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk
Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH perdata yang lebih mengutamakan kepentingan
individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum adat dengan keanekaragamannya itu.
Keseluruhan dari hak-hak atas tanah dari produk hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau dirobah
kedalam salah satu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu :
Hak milik,Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan,Hak Pakai,Hak Sewa,Hak Membuka Hutan,Hak Memungut Hasil
Hutan,
Tentunya hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria huruf (a) sampai dengan
(g) tersebut tidak bersifat Liminatif, dalam pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk pengembangan hak-hak
atas tanah lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam proses konversi hak atas tanah di Indonesia harus punya 5
prinsip, dari kelima prinsip tersebut akan semakin jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan cara penyelesaian dari
konversi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca / ditemui dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik
Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
2. Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu .
Berlakunya UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang pertanahan. Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang
tunduk pada Hukum yang lama, yakni Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap
tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui Lembaga Konversi
disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan
ketentuan konversi ini. Berlainan dengan Negara-negara penjajah maupun Negara–negara komunis yang mengambil
alih daerah pada umumnya.
3. Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada
sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem
UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata
dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
4.Penyesuaian kepada kepentingan konversi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang
pernah ada sebelum berlaku UUPA, maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi
disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Dalam Hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat
menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
5.Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada Hukum
Barat maupun Adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan
ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan Hukum.
III.Hak-hak atas tanah yang dikonversi
Di dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA ada 2 sistem hukum yang mengatur
masalah tanah yaitu sistem menurut KUH Perdata dan Hukum Adat, semenjak berlakunya UUPA tanggal 24-9-1960
kedua sistem hukum tersebut tidak diberlakukan lagi dan terhadap yang pernah di timbulkan oleh kedua sistem hukum
tersebut di konversi ke dalam hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA. Untuk jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
a. Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada ex KUH Perdata
Pasal I ketentuan konversi menyebutkan:
1. Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak
milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala
perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal
41 ayat (1) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum, yang tidak di tunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam
pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat
(1) dengan jangka waktu 20 tahun.
4. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal
dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-Undang itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35
ayat (1) yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut
diatas,tetapi selama-lamanya 20 tahun.
5. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara
yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
6. Hak-hak hipotik, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membenahi hak eigendom tetap membebani hak
milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) ayat (3) pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi suatu hak
menurut Undang-Undang ini.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa hak eigendom itu dapat di konversi kedalam 3 kemungkinan:
Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik.
Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan.
Hak eigendom di konversikan menjadi hak pakai.
Ad 1. Hak eigendom di konversikan menjadi hak milik .
Konversi hak eigendom menjadi hak milik apabila pemiliknya berwarganegara Indonesia asli atau berwarganegara
tunggal pada tanggal 24 September 1960 atau badan hukum Indonesia dengan syarat badan hukum tersebut adalah
badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
Ad. 2 Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan
Dalam ayat 1 pasal I KK menentukan bahwa hak eigendom kepunyaan orang asing atau orang yang
berdwikewarganegaraan dikonversi kedalam HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Hal ini bertentangan dengan prinsip
nasionalitas yang tidak memungkinkan untuk orang asing dan orang yang berdwikewarganegaraan (digolongkan
dengan orang asing) mempunyai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Otomatis didalam praktek
ketentuan ayat (3) ini tidak mungkin dilaksanakan.
Ad.3 Hak eigendom dikonversi menjadi hak pakai
Untuk konversi hak eigendom menjadi hak pakai diatur dalam pasal I ayat (2) KK diperlukan suatu penegasan bahwa
tanah eigendom tersebut benar-benar digunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan asing atau
gedung kedutaan sebab jika dipergunakan untuk keperluan lain maka hak eigendom tersebut dikonversi menjadi HGB
dengan jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut dapat dilihat juga dalam Surat Menteri Agraria tanggal 20
Nopember 1961 No. Ka. 12/5/36 yang menetapkan bahwa konversi hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara
asing dan gedung kedutaannya di konversi menjadi hak pakai.

Anda mungkin juga menyukai