Dasar Hukum
Dasar Hukum
Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut dengan “HPL”) diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara
lain:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“UU BPHTB”)
2. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas
Tanah. (“PP No.40/1996”)
3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak enguasaan Atas tanah Negara
dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. (“Permenag No.9/1965”)
4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian
dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (“Permenag No.9/1999”).
Pengertian
Berdasarkan Permenag No. 9/1999, pengertian dari HPL yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 2 ayat (3)
huruf f UU BPHTB, pengertian HPL dijelaskan lebih lengkap lagi yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain berupa perencanaan peruntukandan
penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
Obyek HPL
Obyek dari HPL adalah tanah untuk pertanian dan tanah bukan untuk pertanian.
Subyek HPL
Berdasarkan Pasal 67 Permenag No. 9/1999, HPL dapat diberikan kepada pihak-pihak sebagai berikut:a. instansi
pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
b. Badan Usaha Milik Negara;
c. Badan Usaha Milik Daerah;
d. PT. Persero;
e. Badan Otorita;
f. badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk Pemerintah.
Terjadinya HPL
HPL dapat terjadi karena 2 (dua) hal, yaitu:
Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang tadinya tidak tertulis kedua-duanya
lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat
adanya unifikasi hukum tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum dikenal
lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah hak barat, seperti Hak Eigendom,
Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek
Credietverband. Dengan demikian mengenai segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih
tetap berdasarkan ketentuan – ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu
misalnya mengenai hak – hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu mengenai asas – asas
Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam Hipotik dan Credietverband.[1]
Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan unifikasi hukum
tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan
Credietverband dengan Hak milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya.
Hak-hak barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi, karena hak-hak
tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam UUPA.
Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996.
Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan pengertian dari Hak Tanggungan.
"Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana
dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut
atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya”
Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan diharapkan akan
memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan tanah beserta benda – benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak
atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda – benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya
yang secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan Horizontal,
yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi
benda-benda tersebut.[2] Penerapan asas tersebut tidak mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan
dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan
dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang benda-benda tersebut
merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
Hapusnya Hak Tanggungan terjadi karena peristiwa-peristiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU
No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya
cukup disebut UUHT), yaitu sbb :
§ Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
§ Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
§ Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
§ Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Prosedur pelaksanaan Roya sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) UU HT tentang Hak Tanggungan adalah
sebagai berikut :
“Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan
melampirkan sertipikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena
piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas, atau pernyataan tertulis dari kreditor
bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah
lunas atau karena kreditor melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.”
Pengertian Pasal 22 ayat (4) sudah jelas dan tidak memerlukan interpretasi lagi, yaitu bahwa permohonan pencoretan
(Roya) yang diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan :
§ diberi catatan atau pernyataan tertulis oleh kreditur dengan menyebutkan keterangan pinjaman tersebut LUNAS ;
atau
§ pernyataan tertulis dari kreditur (Bank) bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena lunas atau kreditur (Bank)
melepaskan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
1. Sebenarnya istilah strata title tidak ada dalam kamus kepustakaan hukum Indonesia. Istilah strata
title digunakan di negara-negara seperti Singapura dan Australia yang pada intinya memungkinkan kepemilikan
bersama secara horisontal di samping pemilikan secara vertikal. Walaupun di Indonesia dikenal berbagai istilah
seperti rumah susun, apartemen, flat, condominium, akan tetapi dalam bahasa hukumnya semua disebut sebagai
rumah susun.
2. Dasar hukum pengaturan rumah susun adalah:
- Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. (UU Rumah Susun)
- Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun (PP Rumah Susun)
Pengertian rumah susun berdasarkan UU Rumah Susun adalah:
”Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang
distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal dan vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-
masing dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, terutama bentuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan abgian
bersama, benda bersama dan tanah bersama.”
Pemilikan perseorangan atas satuan rumah susun dan hak bersama meliputi:
1. hak bersama atas bagian bersama
2. hak bersama atas benda bersama
3. hak bersama atas tanah bersama
yang kesemuanya merupakan satu kesatuan hak yang tidak terpisahkan.
Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (”HMSRS”) dinyatakan lahir sejak didaftarkannya Akta Pemisahan dengan
dibuatnya Buku Tanah atas setiap rumah susun yang bersangkutan. Untuk memberikan kepastian hak bagi pemilik
satuan rumah susun, pemerintah memberikan alat pembuktian yang kuat berupa sertifikat HMSRS yang
diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat. Setiap pemilik rumah susun akan
mendapatkan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Berdasarkan pasal 7 UU Rumah Susun, tanah yang digunakan untuk pembangunan rumah susun adalah tanah
dengan status:
1. Hak Milik
2. Hak Guna Bangunan (HGB)
3. Hak pakai atas tanah negara
4. Hak Pengelolaan (HPL)
3. Hal penting yang perlu diperhatikan pada saat Anda berminat untuk membeli apartemen adalah hak atas SRS
tersebut. Permasalahan dapat timbul apabila rumah susun tersebut dibangun di tanah yang berstatus HGB di atas
HPL. Pasal 38 PP Rumah Susun menyatakan apabila rumah susun dibangun di atas tanah dengan status HPL
maka pihak pengembang (developer) terlebih dahulu wajib mengajukan permohonan status HGB di atas tanah
HPL tersebut. Apabila pemberian status HGB belum selesai, maka satuan rumah susun tersebut belum dapat dijual
donesia
Penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria memberikan
banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas
tanah oleh pemerintahKonversi hak atas tanah adalah penyesuaian hak-hak tanah yang pernah tunduk kepada sistem
hukum lama yaitu hak-hak tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat dan Tanah-tanah yang tunduk
kepada hukum adat untuk masuk dalam sistem hak-hak tanah menurut ketentuan UUPA[4]. Sebelum adanya konversi
hak-hak atas tanah dan berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5 perangkat
hukum, yaitu :
1. Hukum Agraria Adat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada hukum adat dan berlaku terhadap tanah-
tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang dianut oleh hukum adat, yang selanjutnya sering disebut tanah
adat atas tanah Indonesia.
2. Hukum Agraria Barat
Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata Barat, khususnya yang
bersumber pada Boegerlinjk Wetboek (BW). Hukum Agraria ini terdapat dalam BW (bersifat ekstern), yang
memberikan pengaturan bagi sebagian kecil tanah tetapi bernilai tinggi. Hukum agraria ini diberlakukan atas dasar
Konkordansi. Misalnya tanah Hak Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht.
3. Hukum agraria Administrasif
Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan dari politik agraria
pemerintah di dalam kedudukannya sebagai badan penguasa. Sumber pokok dari Hukum Agraria ini adalah
Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang dilaksanakan dengan Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118, yang memberikan
landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan politik pertanahan/agrarianya.
4. Hukum Agraria Swapraja
Yaitu keseluruhan dari kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan tentang tanah di daerah-
daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan bagi tanah-tanah di wilayah daerah-daerah
swapraja yang bersangkutan.
Dasar hukum konversi hak atas tanah terdapat di bagian Kedua UUPA tentang Ketentuan-Ketentuan
Konversi, yaitu pasal I hingga Pasal VIII. Secara garis besar, konversi hak atas tanah terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
2. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
3. Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas swapraja
Berbagai jenis hak atas tanah tersebut kemudian dikonversi menjadi hak atas tanah yang baru, yaitu hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. berikut ini penjelasan dari ketiga jenis konversi tersebut.
1.1 Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat
Hak atas tanah yang berasal dari tanah hak barat terdiri dari beberapa jenis, yaitu:
1. Hak eigendom, adalah hak untuk membuat suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara
bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain. Hak eigendom merupakan hak yang paling
sempurna. Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai. Namun apabila
terhadap hak eigendom tersebut dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka konversinya harus atas kesepakatan
antara pemegang hak eigendom dengan pemengang hak opstal atau hak erfpacht.
2. Hak opstal, adalah hak kebendaan untuk memiliki bangunan dan tanaman-tanaman di atas sebidang tanah orang lain
(Pasal 711 KUH Perdata). Hak opstal dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
3. Hak erfpacht, adalah hak untuk memetik kenikmatan seluas-luasnya dari tanah milik orang lain dan
mengusahakannya untuk waktu yang sangat lama (Pasal 820 KUH Perdata). Hak erfpacht terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
o Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, dapat dikonversi menjadi hak guna usaha.
o Hak erfpacht untuk perumahan, dapat dikonversi menjadi hak guna bangunan.
o Hak erfpacht untuk pertanian kecil, tidak dikonversi dan dihapus.
4. Hak gebruik (recht van gebruik), adalah hak kebendaan atas benda orang lain bagi seseorang tertentu untuk
mengambil benda sendiri dan memakai apabila ada hasilnya, sekedar buat keperluannya sendiri beserta keluarganya.
Hak gebruik dikonversi menjadi hak pakai.
5. Bruikleen, adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu menyerahkan benda dengan cuma-cuma kepada pihak lain
untuk dipakainya dengan disertai kewajiban untuk mengembalikan benda tersebut pada waktu yang ditentukan.
Bruikleen dikonversi menjadi hak pakai.
1.2 Konversi hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia
Hak atas tanah yang berasal dari tanah bekas hak Indonesia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Hak erfpacht yang altijddurend, adalah hak erfpacht yang diberikan sebagai pengganti hak usaha di atas bekas tanah
partikulir menurut S. 1913 – 702. Hak ini dapat dikonversi menjadi hak milik, hak guna usaha atau hak guna
bangunan, tergantung pada subyek hak dan peruntukannya.
2. Hak agrarische eigendom, adalah hak buatan semasa pemerintahan kolonial Belanda yang memberikan kaum
bumiputera suatu hak baru yang kuat atas sebidang tanah. Hak agrarische eigendom juga dapat dikonversi menjadi hak
milik, hak guna usaha atau hak guna bangunan, sesuai dengan subyek hak dan peruntukannya.
3. Hak gogolan, adalah hak seorang gogol (kuli) atas komunal desa. Hak gogolan juga sering disebut hak sanggao atau
hak pekulen. Hak gogolan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
o Hak gogolan yang bersifat tetap, apabila si gogol secara terus-menerus mempunyai tanah yang sama dan tanah
tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya.
o Hak gogolan yang bersifat tidak tetap, apabila gogol tersebut tidak secara terus-menerus memegang tanah gogolan
yang sama dan apabila ia meninggal dunia, tanah gogolan kembali pada desa.
Terhadap tanah gogolan yang bersifat tetap dapat dikonversi menjadi hak milik. Sedangkan terhadap tanah
gogolan yang bersfat tidak tetap dapat dikonversi menjadi hak pakai.
Bahwa yang menjadi pokok kebijaksanaan dalam Keputusan Presiden No. 32/1979 adalah penegasan kembali tentang
berakhirnya hak atas tanah asal Konversi Hak-hak Barat (yang dikonversi menjadi Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai) pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di
dalam UUPA, dengan maksud untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak Barat atas tanah di
Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu hak atas
tanah asal Konversi Hak Barat itu tidak akan diperpanjang lagi.
Bahwa selanjutnya tanah-tanah asal Konversi Hak-hak Barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi
tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan
tanah melalui pemberian hak baru.#
Sedangkan konversi hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum Adat diatur dalam pasal II, VI dan VII, ketentuan
konversi dengan peraturan pelaksanaannya antara lain :
a. Peraturan Menteri Agraria No. 2 tahun 1960 tentang pelaksanaan konversi dan pendaftaran bekas hak
Indonesia atas tanah
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas hak-
hak Indonesia atas tanah.
c. Surat keputusan Mentri Dalam Negri no. Sk.26 / DDA / 1970 tentang penegasan konversi dan pendaftaran bekas
hak-hak Indonesia atas tanah.
II. Tujuan dan Fungsi Konversi
Tujuan dari konversi hak–hak atas tanah tidak lepas dari tujuan yang hendak dicapai UUPA yakni unifikasi dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan serta untuk memberikan jaminan kepastian hukum mengenai hak-hak atas
tanah dan terciptanya kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat. Secara lebih khusus konversi
bertujuan untuk mengadakan unifikasi hak-hak atas tanah, sehingga kelak tidak ada lagi hak-hak atas tanah produk
Hukum yang lama yakni Hak-hak atas tanah yang tunduk pada KUH perdata yang lebih mengutamakan kepentingan
individu maupun hak-hak atas tanah menurut Hukum adat dengan keanekaragamannya itu.
Keseluruhan dari hak-hak atas tanah dari produk hukum yang lama tersebut disesuaikan, dialihkan atau dirobah
kedalam salah satu hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 UUPA yaitu :
Hak milik,Hak Guna Usaha,Hak Guna Bangunan,Hak Pakai,Hak Sewa,Hak Membuka Hutan,Hak Memungut Hasil
Hutan,
Tentunya hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria huruf (a) sampai dengan
(g) tersebut tidak bersifat Liminatif, dalam pengertian bahwa masih dimungkinkannya untuk pengembangan hak-hak
atas tanah lainnya, misalnya hak pengelolaan.
Untuk mewujudkan tujuan dari konversi tersebut, dalam proses konversi hak atas tanah di Indonesia harus punya 5
prinsip, dari kelima prinsip tersebut akan semakin jelas terlihat tujuan yang hendak dicapai dan cara penyelesaian dari
konversi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dengan kepribadian Indonesia
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
1. Prinsip Nasionalitas
Prinsip ini dapat dibaca / ditemui dalam pasal 9, 21, 30 dan 36 UUPA. Menurut pasal 9 bahwa warga Negara
Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi air dan ruang angkasa, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, mereka mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak-hak atas tanah.
Ketentuan dari Prinsip Nasionalitas ini lebih dirinci dalam pasal 21 UUPA yang berbunyi :
Hanya Warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik
Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
2. Prinsip pengakuan hak-hak tanah terdahulu .
Berlakunya UUPA terjadilah Unifikasi Hukum di Bidang pertanahan. Namun bukan berarti hak-hak atas tanah yang
tunduk pada Hukum yang lama, yakni Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat menjadi hilang begitu saja, terhadap
tanah, yang tunduk pada sistem hukum lama masih diakui keberadaanya. Untuk kemudian melalui Lembaga Konversi
disesuaikan kedalam salah satu hak atas tanah menurut sistem UUPA.
Hal demikian memperlihatkan kepribadian dari bangsa Indonesia yang berkeprimanusiaan dalam melaksanakan
ketentuan konversi ini. Berlainan dengan Negara-negara penjajah maupun Negara–negara komunis yang mengambil
alih daerah pada umumnya.
3. Prinsip Kepentingan Hukum
Dengan adanya ketentuan konversi maka ada kepastian Hukum mengenai status Hak-hak atas tanah yang tunduk pada
sistem Hukum yang lama. Apakah hak tersebut akan dihapuskan atau disesuaikan kedalam hak-hak menurut sistem
UUPA dan kepastian berakhirnya masa-masa konversi hak-hak atas tanah bekas tunduk pada KUH Perdata
dinyatakan telah berakhir pada tanggal 24 September 1960.
4.Penyesuaian kepada kepentingan konversi
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ketentuan konversi Indonesia mengakui hak-hak atas tanah, yang lama yang
pernah ada sebelum berlaku UUPA, maka terhadap hak-hak yang lama tersebut melalui Lembaga konversi
disesuaikan atau dipadankan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Dalam Hal ini tidak terlepas dari prinsip terdahulu yakni prinsip nasionalitas, masalah kewarganegaraan sangat
menentukan dalam penyesuaian atau pemadanan tersebut.
5.Status quo hak-hak tanah terdahulu
Setelah berlaku nya UUPA maka tidak mungkin lagi di terbitkan hak-hak baru atas tanah yang tunduk pada Hukum
Barat maupun Adat. Dengan demikian setiap ada perbuatan suatu hak baru atas tanah yang tunduk atau yang akan
ditundukkan pada sistim hukum yang lama adalah batal dan tidak berkekuatan Hukum.
III.Hak-hak atas tanah yang dikonversi
Di dalam uraian terdahulu telah dijelaskan bahwa sebelum berlakunya UUPA ada 2 sistem hukum yang mengatur
masalah tanah yaitu sistem menurut KUH Perdata dan Hukum Adat, semenjak berlakunya UUPA tanggal 24-9-1960
kedua sistem hukum tersebut tidak diberlakukan lagi dan terhadap yang pernah di timbulkan oleh kedua sistem hukum
tersebut di konversi ke dalam hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA. Untuk jelasnya akan diuraikan dibawah ini:
a. Konversi atas tanah-tanah yang tunduk pada ex KUH Perdata
Pasal I ketentuan konversi menyebutkan:
1. Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak
milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala
perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal
41 ayat (1) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut diatas.
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia
mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum, yang tidak di tunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam
pasal 21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat
(1) dengan jangka waktu 20 tahun.
4. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak opstal dan hak erfpacht, maka hak opstal
dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-Undang itu menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35
ayat (1) yang membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht tersebut
diatas,tetapi selama-lamanya 20 tahun.
5. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani hak opstal atau hak erfpacht, maka hubungan antara
yang mempunyai hak eigendom tersebut dan pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut
pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
6. Hak-hak hipotik, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membenahi hak eigendom tetap membebani hak
milik dan hak guna bangunan tersebut dalam ayat (1) ayat (3) pasal ini, sedangkan hak-hak tersebut menjadi suatu hak
menurut Undang-Undang ini.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa hak eigendom itu dapat di konversi kedalam 3 kemungkinan:
Hak eigendom dapat dikonversi menjadi hak milik.
Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan.
Hak eigendom di konversikan menjadi hak pakai.
Ad 1. Hak eigendom di konversikan menjadi hak milik .
Konversi hak eigendom menjadi hak milik apabila pemiliknya berwarganegara Indonesia asli atau berwarganegara
tunggal pada tanggal 24 September 1960 atau badan hukum Indonesia dengan syarat badan hukum tersebut adalah
badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagai badan hukum yang dapat mempunyai hak milik.
Ad. 2 Hak eigendom di konversi menjadi hak guna bangunan
Dalam ayat 1 pasal I KK menentukan bahwa hak eigendom kepunyaan orang asing atau orang yang
berdwikewarganegaraan dikonversi kedalam HGB dengan jangka waktu 20 tahun. Hal ini bertentangan dengan prinsip
nasionalitas yang tidak memungkinkan untuk orang asing dan orang yang berdwikewarganegaraan (digolongkan
dengan orang asing) mempunyai hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan. Otomatis didalam praktek
ketentuan ayat (3) ini tidak mungkin dilaksanakan.
Ad.3 Hak eigendom dikonversi menjadi hak pakai
Untuk konversi hak eigendom menjadi hak pakai diatur dalam pasal I ayat (2) KK diperlukan suatu penegasan bahwa
tanah eigendom tersebut benar-benar digunakan untuk keperluan rumah kediaman kepala perwakilan asing atau
gedung kedutaan sebab jika dipergunakan untuk keperluan lain maka hak eigendom tersebut dikonversi menjadi HGB
dengan jangka waktu 20 tahun. Ketentuan tersebut dapat dilihat juga dalam Surat Menteri Agraria tanggal 20
Nopember 1961 No. Ka. 12/5/36 yang menetapkan bahwa konversi hak eigendom kepunyaan pemerintah Negara
asing dan gedung kedutaannya di konversi menjadi hak pakai.