Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari tahun ke tahun kasus HIV AIDS masih terus meningkat dan menjadi
perhatian di berbagai negara. Sehingga banyak yang mengkampanyekan
pencegahan HIV AIDS untuk menurunkan tingkat penderita HIV AIDS.
Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang bisa menyembuhkan infeksi HIV,
namun ada pengobatan yang dapat memperlambat perkembangan virus HIV
yaitu dengan rehabilitasi terapi Antiretroviral (ARV) yang bisa membantu
kualiats hidup Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) menjadi lebih baik.
Menurut jurnal Langlois-Klassen, Kipp dan Jhangri (2007) , banyak pasien
HIV/AIDS rawat jalan yang menggunakan terapi tradisional, karena terapi
ARV dinilai tidak adekuat terhadap gejala HIV/AIDS yang terjadi. Pengobatan
atau perawatan tradisional pada ODHA banyak macamnya, salah satunya
dengan TCAM (Therapy Comlementer and alternatife medicine) dan THM
(therapy herbal medicine). Terapi tradisional dinilai terjangkau dan dapat
memberikan manfaat yang lebih efektif pada ODHA. Namun masih banyak
masyarakat tersebut yang mengabaikan resiko yang terjadi jika menggunakan
pengobatan tradisional bersamaan dengan pengobatan ARV.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu HIV/AIDS ?
2. Bagaimana Etiologi Penyebab HIV/AIDS ?
3. Bagaimana Tanda dan Gejala HIV/AIDS ?
4. Bagaimana Resiko atau Dampak dan Komplikasi dari HIV/AIDS ?
5. Bagaimana Stigma Masyarakat terhadap Penerimaan ODHA ?
6. Bagaimana Penularan ODHA melalui Perilaku Seks ?
7. Bagaimana Terapi Rehabilitasi pada ODHA ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu HIV/AIDS .
2. Untuk mengatahui bagaimana Etiologi penyebab pada HIV/AIDS .
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala HIV/AIDS.
4. Untuk mengetahui resiko atau dampak dan komplikasi dari HIV/AIDS.
5. Untuk mengetahui bagaimanastigma masyarakat terhadap penerimaan OD
HA.
6. Untuk mengetahui bagaimana Penularan ODHA melalui perilaku Seks.
7. Untuk mengetahui bagaimana terapi rehabilitasi pada ODHA.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definis HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu virus yang
menyebabkan terjadinya penurunan kekebalan tubuh yang dapat menimbulkan
kumpulan gejala atau penyakit yang disebut AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). ( Sarlito Leunupun, Mieke ,Kembuan, Denny
Ngantung). Penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) hingga kini masih
merupakan masalah kesehatan global dengan tingginya angka kejadian dan
kematian. HIV termasuk dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae
adalah virus yang menyebabkan penyakit AIDS yaitu suatu penyakit retrovirus
yang ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi
oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Christy B.
Tumbelaka, Denny J. Ngantung, J. Maja P. S).
Pendapat lain menyatakan bahwa HIV adalah sejenis retrovirus-RNA yang
menyerang system kekebalan tubuh manusia. AIDS adalah singkatan
dari Acquired Immunodeficiency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit
yang didapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh
virus HIV (Langlois-Klassen, et al. 2007). Selanjutnya menurut Tuti Susilowati
dalam jurnalnya menyatakan bahwa HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi
klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV.
Jadi HIV adalah penyakit yang di pengaruhi oleh virus Human
Immunodeficiency Virus yang mengakibatkan penurunan kekebalan tubuh
manusia. Dan AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit yang didapat
akibat menurunya kekebalan tubuh yang di sebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus)
B. Etiologi Penyebab pada HIV/AIDS
Penyebab penyakit AIDS adalah virus HIV dan saat ini telah diketahui dua
tipe yaitu tipe HIV-1 dan HIV-2. Infeksi yang terjadi sebagian besar
3
disebabkan oleh HIV-1, sedangkan HIV-2 benyak terdapat di Afrika Barat.
Gambaran klinis dari HIV-1 dan HIV-2 relatif sama, hanya infeksi oleh HIV-1
jauh lebih mudah ditularkan dan masa inkubasi sejak mulai infeksi sampai
timbulnya penyakit lebih pendek. (Tuti Susilowati 2015). HIV adalah virus
sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
Lentivirinae, genus Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA)
dengan berat molekul 9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar
atau envelop yang terdiri atas glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya terdapat lapisan kedua yang terdiri dari
protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV yang dibentuk oleh protein. (Ferdi
akbar, eli kamelia, 2015).
Infeksi HIV menyebar secara mudah bila orang memakai alat suntik secara
bergantian dalam penggunaan narkoba. Penggunaan alat bergantian juga
menularkan virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan penyakit gawat lain, Darah
yang terinfeksi terdapat pada semprit (insul) kemudian disuntikkan bersama
dengan narkoba saat pengguna berikut memakai semprit tersebut. Ini adalah
cara termudah untuk menularkan HIV karena darah yang terinfeksi langsung
dimasukkan pada aliran darah orang lain.
Jadi, pemakaian jarum suntik secara bergantian dalam penggunaan
narkoba akan dengan cepat menularkan virus HIV melalui aliran darah.
C. Tanda dan gejala HIV/AIDS
Tanda dan gejala (Manifestasi) HIV/AIDS dibagi dua, yaitu manifestasi klinis
dan manifestasi Oral Hairy Leukoplakia.
1. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Penderita yang mengidap HIV dikategorikan menjadi 4
kelompok, yaitu :
a. Individu dengan antibodi HIV positif, namun asimtomatik dan tidak
menunjukkan kelainan dalam pemeriksaan.
b. Individu dengan antibodi HIV positif, ditambah perubahan
laboratorium minor dan bisa juga menunjukkan kelainan-kelainan
seperti pembengkakan nodus limfatikus, berkeringat malam hari,
kehilangan berat badan, dan lain-lain.

4
c. Individu dengan ARC. Antibodi HIV positif, dan menunjukkan
limfadenopati, berkeringat malam hari, kehilangan berat badan,
demam, malaise, dan diare.
d. Individu dengan AIDS termasuk Sarkoma Kapossi, sindrom SSP
disertai infeksi oportunistik yang mengancam hidup. Dapat
menunjukkan limfadenopati general dengan penurunan berat badan
drastis, kelelahan, diare kronis, demam kronis, dan berkeringat di
malam hari.

2. Manifestasi Oral Hairy Leukoplakia

Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Agustina Tri Pujiastuti dan


Dwi Murtiastutik , Oral hairy leukoplakia (OHL)merupakan suatu lesi
spesifik pada infeksi HIV yang disebabkan oleh virus Epstein Barr, telah
dilaporkan pada lebih dari 28% pasien, dan merupakan tanda dari
progresivitas penyakit. OHL secara klinis tampak sebagai plak putih atau
putih keabuan berbatas tegas dengan tekstur berombak yang asimtomatis.
Permukaan “hairy” berukuran bermacam-macam mulai dari beberapa
milimeter hingga keterlibatan luas dari lidah hingga mukosa kavum oris.
Lesi ini biasanya terjadi pada lateral lidah, tetapi dapat pula pada
permukaan ventral, dorsal lidah, dan mukosa pipi. Penampakan khas OHL
disebabkan oleh hipertrofi papila lidah. Secara umum lesi ini bersifat
tidak nyeri dan tidak dapat dihilangkan dengan manipulasi tumpul. Lesi
OHL menjadi simtomatik jika didapatkan koinfeksi dengan kandida. Hal
itu sering menyebabkan salah diagnosis dengan kandidiasis oral.

Selanjutnya menurut sri ramayanti, Oral hairy leukoplakia (OHL)


lebih umum terjadi pada orang dewasa yang terinfeksi HIV daripada anak
yang terinfeksi HIV. Kehadiran OHL adalah tanda imunosupresi berat.
OHL merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada
tepi lateral lidah dan berkaitan dengan virus Epstein Barr dan infeksi HIV.
Lesi awal tampak sebagai plak vertikal, putih, besar, pada tepi lateral
lidah, dan umumnya bilateral. Lesi-lesi tersebut dapat menutup

5
permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke mukosa pipi dan palatum.
Lesi tersebut tanpa gejala dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu
estetika. Bukti histologi tampak tonjolan mirip rambut hiperkeratotik,
kolisitosis, sedikit radang dan infeksi kandida. Hal ini sangat penting
karena dapat digunakan untuk meramalkan perkembangan
AIDS, Sedangkan menurut I Dewa Ayu Ratna Dewanti dalam artikelnya
menyatakan bahwa Kejadian Hairy leukoplakia rendah pada anak-anak
karena jarang terinfeksi oleh virus Epstein Barr yang
menyebabkan timbulnya lesi ini.

a. kriteria presumtif : lesi putih, tidak dapat diangkat, permukaan tidak


rata, bilateral pada lateral lidah. Dapat timbul pada permukaan ventral
dan dorsal lidah, jarang terjadi pada mukosa bukal
b. kriteria definitive : adanya virus Epstein Barr pada lesi ini, ditentukan
dengan pemeriksaan histopatologik dan hibridisasi DNA ini. Jika
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan, maka kurangnya respon
terhadap terapi anti jamur dapat memperkuat dugaan diagnose lesi
ini. Tingkat imunosupresi, presentase CD4, dan tipe lesi telah
dilaporkan oleh Santoz dan kawan-kawan pada penelitiannya terhadap
80 anak-anak HIV yang berumur rata-rata 6 tahun.

Berikutnya menurut Tatiana Lucianelli Komatsu, Elena Riet Correa


Rivero, dkk. dalam jurnalnya yang berjudul Epstein-Bar Virus in Oral
Hairy Leukoplakia Scrapes : Identification by PCR menyatakan
bahwa, OHL adalah lesi putih yang biasanya mengalir di tepi lateral lidah,
seringkali secara bilateral. Tipikal, korosi vertical terjadi secara bilateral
pada batas lateral atau permukaan ventral lidah, namun jika berada pada
dorsum lidah penampilannya cenderung lebih homogeny.

Jadi, Oral Hairy Leukoplakia (OHL) merupakan suatu lesi spesifik


pada infeksi HIV yang disebabkan oleh virus Epstein Barr. OHL lebih
banyak terjadi pada dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak. OHL
merupakan lesi putih, tidak berbatas jelas, berkerut, menonjol pada tepi

6
lateral lidah dan berkaitan dengan virus . Lesi awal tampak sebagai plak
vertikal, putih, besar, pada tepi lateral lidah, dan umumnya bilateral. Lesi-
lesi tersebut dapat menutup permukaan lateral dan dorsal lidah, meluas ke
mukosa pipi dan langit-langit rongga mulut. Lesi tersebut tanpa gejala
dan tidak dapat dihapus, serta mengganggu estetika. Bukti histologi
tampak tonjolan mirip rambut hiperkeratotik, kolisitosis, sedikit radang
dan infeksi kandida.

D. Resiko Dampak HIV dan Komplikasi dari HIV/AIDS

Ada banyak dampak yang ditimbulkan oleh HIV AIDS, salah satunya
penyakit infeksi intrakranial. Keterlibatan sistem saraf pada infeksi HIV dapat
terjadi secara langsung karena virus tersebut dan tidak langsung akibat infeksi
oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara Barat melaporkan
komplikasi sistem saraf terjadi pada 30% - 70% penderita HIV. HIV/AIDS
dapat menyebabkan komplikasi intrakranial seperti Toksoplasmosis Otak (TO),
Meningitis Tuberkulosis, Meningitis Kriptokokus, Demensia HIV,
Leukoensefalopati multifokal progresif. Menurut data WHO diketahui sekitar
300 juta orang menderita toksoplasmosis. Penyakit ini dapat menyerang
manusia dan berbagai jenis mamalia dan juga merupakan penyakit infeksi
parasit yang paling sering terjadi pada manusia. (Christy B. Tumbelaka, Denny
J. Ngantung, J. Maja P. S)

Jadi, infeksi intrakranial bisa terjadi pada HIV/AIDS


seperti Toksoplasmosis otak (TO), Meningitis Tuberculosis,Meningitis
Kriptokokus, Demensia HIV.

E. Stigma Masyarakat terhadap Penerimaan ODHA

Stigma adalah prasangka memberikan label sosial yang bertujuan untuk


memisahkan atau mendiskreditkan seseorang atau sekelompok orang dengan
cap atau pandangan buruk (maharani, riri. 2014). Stigma merupakan tantangan
yang terusmenerus ada berkelanjutan sehingga membuat kegiatan di tingkat
masyarakat, nasional dan global menjaditerkendala/terhambat menurut Ade
7
Latifa dan Sri Sunarti Purwaningsih, 2009. Stigma tetap menjadi penghalang
paling signifikan untuk kesehatan masyarakat jika terjadi HIV. Itulah alasan
utama mengapa juga banyak orang takut menemui dokter untuk menentukan
apakah mereka memiliki penyakit atau untuk mencari pengobatan jika
demikian (Saurabh Yakhmi , Balwant Singh Sidhu , Baldeep Kaur AndEish
Kumar Dalla, 2014).

Jadi, stigma adalah label negatif yang diberikan seseorang kepada ODHA
yang mengakibatkan ODHA menjadi takut memberitahukan penyakitnya.

Diskriminasi yaitu tindakan tidak mengakui atau tidak


mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar individu atau kelompoksebagaimana
selayaknya sebagai manusia yang bermartabat. Stigma dan diskriminasi masih
sering terjadi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Riri Maharani 2014 ).
Adanya stigma dan diskriminasi cenderung membuat orang segan untuk
mencari informasi, mengadopsi perilaku yang 'aman', mengakses layanan
kesehatan untuk upaya preventif-kuratif serta mencari dukungan
dan layanan hokum, menurut Ade Latifa dan Sri Sunarti Purwaningsih, 2009.

Sehingga dapat disimpilkan bahwa diskriminasi adalah suatu sikap negatif


yang dimunculkan kepada ODHA sehingga ODHA tidak leluasa untuk mencari
pelayanan kesehatan untuk penyakitnya.

Peran Masyarakat Madani Dalam Mengurangi Stigma Dan Diskriminasi Terh


adap Penderita HIV & AIDS. Peran dari masyarakat madani dalam mendukung
upaya pemerintah maupun LSM ( lembaga swadaya masyarakat ) dalam
menanggulangi persoalan yang terkait dengan penyakit HIV & AIDS termasuk
menghapus stigma dan diskriminasi itu sangat dibutuhkan. Terkait dengan
penghapusan stigma dan diskriminasi, sejatinya upaya ini dimotori oleh
kelompok masyarakat,tidak hanya bergantung pada upaya pihak pemerintah
atau LSM saja.

Masyarakat madani seperti tokoh agama, tokoh informal masyarakat,


tokoh pemuda, merupakan figur yang disegani sehingga dapat dimanfaatkan
8
untuk mempengaruhi persepsi-perilaku. Sebagai tokoh di kalangan masyarakat,
mereka mampu membuka suatu dialog dengan masyarakat mengenai
HIVIAIDS untuk menghilangkan mitos, meningkatkan kesadaran,
menyampaikan pesan penting. pada bermacam-macam kelompok masyarakat,
dan melahirkan rasa belas kasih. Hal ini dapat dimulai dengan
mengampanyekan bersikap positifterhadap ODHA sehingga penderita
termotivasi untuk mencari atau menjalani pengobatan secara optimal.
Pengalaman dari berbagai negara telah menunjukkan bahwa para tokoh yang
menjadi panutan masyarakat telah membantu keterbukaan tentang
beberapa isu besar seputar HIV/AIDS dan dapat memengaruhi persepsi
public pada skala yang lebih luas, menurut Ade Latifa dan Sri Sunarti
Purwaningsih, 2009.

Jadi, sebenarnya yang seharusnya memberikan peran yang lebih banyak


adalah LSM, Dinas Kesehatan, dan pemerintah, dimana pihak tersebut
seharusnya lebih memberikan pendidikan dan penyuluhan tentang HIV/AIDS
kepada masyarakat. Karena sesuai dengan data yang saya lihat ternyata masih
banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai apa saja yang harus diketahui
tentang penularan HIV/AIDS sehingga hasilnya setiap penyandang HIVAIDS
tidak akan di diskriminasi oleh masyarakat sekitar.

F. Penularan ODHA melalui Perilaku Seks

Faktor internal yang paling memengaruhi perilaku seksual adalah


berkembangnya organ seksual (Niniek, 2010). Inisiasi seksual dini
didefinisikan sebagai pengalaman hubungan seksual pada usia 15 atau lebih
awal. Nomor seumur hidup dari pasangan seksual, didefinisikan sebagai
jumlah orang yang pasangan itu memiliki hubungan seksual.

Aktivitas seksual tidak lepas dari perilaku berisiko pada laki-laki yang
memiliki mobilitas di luar rumah tinggi, di mana banyak faktor yang bisa
mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku seksual berisiko atau seksual
komersial, dengan pengetahuan yang cukup namun tidak seluruhnya
mengaplikasikan dalam perilakunya seperti tidak melakukan pengamanan dari
9
penyakit menular seksual, meskipun mereka mengetahui bagaimana
seharusnya melindungi diri sendiri dari virus HIV.Pengaruh aktifitas seks pada
pasien HIV/AIDS yang berseksual tanpa kondom.

Aktivitas seksual tidak lepas dari perilaku berisiko pada seseorang yang
memiliki mobilitas di luar rumah tinggi, di mana banyak faktor yang bisa
mempengaruhi mereka untuk melakukan perilaku seksual berisiko atau seksual
komersial, dengan pengetahuan yang cukup namun tidak seluruhnya
mengaplikasikan dalam perilakunya seperti tidak melakukan pengamanan dari
penyakit menular seksual, meskipun mereka mengetahui bagaimana
seharusnya melindungi diri sendiri dari virus HIV.AIDS suatu penyakit yang
menyerang mereka yang berhubungan seks tanpa kondom dan memiliki
beberapa pasangan seksual, disebabkan virus HIV yang menurunkan system
kekebalan tubuh penderitanya dalam jangka panjang.

Perilaku pasien tak lepas dari faktor predisposisi mengenai pengetahuan


tentang HIV, factor pemungkin bagaimana ketersediaan fasilitas kesehatan
yang mudah dijangkau, dan faktor pendorong dari perilaku petugas kesehatan
dan masyarakat sekitar dalam menanggapi masalah penyakit HIV. Penggunaan
non kondom merupakan praktik umum di kalangan ODHA. Pekerjaan
sebelumnya telah menunjukkan bahwa ODHA dalam hubungan menikah tidak
mungkin melakukan seks aman.

Di mana semakin sering seseorang melakukan hubungan seksual selain


dengan pasangan (suami-istri) dengan tidak menggunakan kondom maka akan
memberi peluang risiko tertularnya virus HIV lebih cepat.

Kebutuhan untuk menjaga pernikahan hubungan dan tujuan menjadi


dorongan kuat terhadap seks tanpa kondom diantara ODHA yang sudah
menikah. Namun, pentingnya seks aman terutama di dalam pernikahan di
antara ODHA harus merupakan implementasi program yang
berkesinambungan di antara pasangan suami istri dengan HIV / AIDS.

10
Penggunaan non kondom adalah praktik umum di kalangan ODHA.
Pekerjaan sebelumnya telah menunjukkan bahwa ODHA dalam hubungan
menikah tidak mungkin melakukan seks aman. Dimana semakin sering
seseorang melakukan hubungan seksual selain dengan pasangan (suami-istri)
dengan tidak menggunakan kondom maka akan memberi peluang risiko
tertularnya virus HIV lebih cepat.

G. Bagaimana terapi rehabilitasi pada ODHA

1. Terapi Antirtroviral

Terapi antiretroviral merupakan terapi yang dijalankan pasien dengan


mengonsumsi obat seumur hidup mereka. Untuk menekan penggandaan
(replikasi) virus di dalam darah, tingkat obat antiretroviral (ARV) harus
selalu di atas tingkat tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa untuk
mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 90 – 95% dari
semua dosis tidak boleh terlupakan (Pedoman Nasional Terapi ARV,
2007). Terapi antiretroviral merupakan terapi yang saat ini banyak
digunakan untuk mencegah penyebaran virus HIV dalam tubuh dan terapi
ini juga mencegah penyakit HIV berkembang menjadi AIDS.

Menurut Sugiharti, Yuyun dan Heni dalam jurnalnya menggambarkan ke


patuhan orang dengan hiv-aids (ODHA) dalam minum obat ARV di kota
bandung, provinsi jawa barat, tahun 2011-2012 dipengaruhi oleh
beberapa faktor pendukung kepatuhan menjalani terapi antiretroviral antara
lain sebagai berikut :

a. Motivasi Diri
b. Dukungan Dari Keluarga
c. Dukungan Suami
d. Dukungan Dari Teman Dekat
e. Dukungan dari Petugas Kesehatan dan Manajer kasus
f. Stigma

11
Adapun faktor penghambat menjalani terapi menurut sugiharti,yuyun dan
heni dalam jurnal gambaran kepatuhan orang dengan HIV-AIDS (ODHA)
dalam minum obat ARV di kota bandung, provinsi jawa barat, tahun 2011-
2012 adalah sebagi berikut :

1. Biaya berobat
2. Efek samping obat
3. Kejenuhan
4. Stigma

kepatuhan dalam menjalani terapi antiretroviral lumayan susah


dikarenakan banyak factor yang membuat si penderita saat menjalani terapi
ini tidak mau menjalaninya. Akibat dari ketidakpatuhan ini akan membuat
penyakit ini menjadi resisten dan sukar diobati.

2. Terapi herbal

Menurut jurnal Deanne Langlois-Klassen dkk, pengobatan tradisional


digunakan oleh pasien rawat jalan pada ART di uganda. Interaksi obat
antara herbal dengan obat ARV sudah di jelaskan dan interaksi tersebut
diketahui dapat menurunkan level serum pengobatan ARV, dan itu sangat
penting untuk diingat bahwa THM (Therapy Herbal Medicine) dapat
menurunkan efektivitas dari penggunaan pengobatan ARV. Dengan kata
lain penting halnya memikirkan potensial untuk rencara pengobatan yang
dapat membantu keefektvan pengobatan ARV, seperti dengan
menggunakan chloroquine(bioaktif malagashanine, dari tanaman Sp.
Strychnos di Madagascar)

Dari hasil penelitiannya dapat diketahui bahwa penggunaan THM pada


pasien rawat jalan yang digunakan bersamaan denganpengobatan ARV
sangatlah tinggi, hal tersebut dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan
mengenai resiko penggunaan pengobatan ARV bersamaan dengan THM.
Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa pemilihan obat
tradisional oleh ODHA dilakukan karena memiliki pemikiran bahwa
12
pengobatan ARV tidak adekuat terhadap gejala yang ditimbulkan oleh HIV
AIDS.

Sedangkan menurut Pertistiawan dkk dalam laporan penelitiannya


didapatkan hasil bahwa :

1. Ramuan jamu imunostimulan dapat meningkatkan kualitas hidup


penderita HIV/AIDS pada kelompok jamu setelah 28 hari perlakuan.
2. Kualitas hidup penderita HIV/AIDS antara kelompok jamu dan placebo
(pemberian sugesti) tidak berbeda nyata pada pengukuran hari ke-0, 14
dan 28.
3. Setelah 28 hari, kadar CD4 penderita HIV/AIDS kelompok jamu tidak
mengalami perbedaan yang signifikan. Sedangkan pada kelompok
placebo, kadar CD4 mengalami penurunan yang signifikan.
4. Selama 28 hari intervensi ramuan jamu imunostimulan dan placebo,
tidak ditemukan gejala efek samping yang serius.
5. Pemberian ramuan jamu imunostimulan dan placebo (pemberian
sugesti) pada subjek penelitian selama 28 hari tidak mengganggu fungsi
hati dan fungsi ginjal.

Berikut adalah data mengenai penggunaan pengobatan tradisional,


komplementer dan alternatif yang dilakukan oleh pasien hiv di kwa-zunu-
natal di afrika selatan, berdasarkan jurnal (Peltzer, et al. 2008). hasil dari
penelitiannya menunjukan bahwa diantara 618 sampel dari 3 rumah sakit di
Kwa-Zulu-Natal, terapi TCAM biasa digunakan pasien (317,51.3%), terapi
herbal saja sebanyak 183, 29.6%. dan penggunaan mikronutrien sebanyak
42,9% tidak termasuk dari TCAM .

Adapun jenis-jenis pengobatan terapi herbal yang sering digunakan oleh


pasien hiv yang berkaitan dengan gejala hiv berdasarkan jurnal Langlois-
Klassen, Kipp dan Jhangri (Langlois-Klassen, et al. 2007). Hal tersebut
menunjukan bahwa semakin banyak gejala yang dirasakan semakin
meningkat pula frequensi penggunaan THM oleh pasien AIDS di Kabarole.

13
Dari data diatas dapat diambil kesimpulan, keseluruhan 63,5% partisipan
terindikasi menggunakan obat herbal tradisional setelah tediagnosa infeksi
HIV. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh persepsi mereka.

Jadi penggunaan TCAM atau pun THM pada ODHA dapat membantu
mengembalikan sistem imunitas dan kualitas hidup pada ODHA , tetapi
harus diperhatikan dalam penggunaannya. Karna penggunaaan terapi atau
perawatan ODHA dengan TCAM atau THM dapat menurunkan efektivitas
pengobatan ARV.

14
BAB IIi

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hiv aids adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya infeksi retrovirus
yang menyerang sel T sistem imunitas tubuh.

Rehabilitasi pada pasien hiv aids ada 2 macam konvensional (ARV) non
konvensional. Terapi non-konvensional merupakan terapi tradisional yang
dapat digunakan untuk mempertahankan dan mengembalikan sistem imun
tubuh pada ODHA. Ada banyak macam terapi tradisional pada ODHA .

Rehabilitasi pada pasien hiv aids menggunakan terapi tradisional banyak


digunakan oleh pasien hiv Aids rawat jalan. Penggunaan terapi tradisional
bersamaan dengan pengobatan ARV dapat mempengaruhi efektifitas
pengobatan ARV atau terjadi interaksi sevara farmakologi. Jadi perlu
dilakukan lagi penelitian untuk mengetahui resiko yang terjadi akan hal
tersebut.

B. Saran

Penggunaan pengobatan atau terapi tradisional harus diperhatikan lagi


dan sebaiknya dilakukan penelitian kembali untuk mengetahui efek dari
penggunaan pengobatan atau terapi tersebut bersamaan dengan pengobatan
ARV.

15
16

Anda mungkin juga menyukai