Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS KELOLAAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHOLELITIASIS


DI RUANG MELATI 3 RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun oleh:
HANIF MIFTAHUL IZA
17420973/KU/20158

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHOLELITIASIS


DI RUANG MELATI 3 RSUP DR. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN

Tugas Mandiri
Stase Keperawatan Medikal Bedah Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun oleh:
HANIF MIFTAHUL IZA
17420973/KU/20158

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLELITIASIS
A. Pengertian
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat didalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya (Muttaqin dan Sari, 2011). Batu empedu bisa
terdapat pada kantung empedu, saluran empedu ekstra hepatik, atau saluran empedu
intra hepatik. Bila terletak di dalam kantung empedu saja disebut kolesistolitiasis, dan
yang terletak di dalam saluran empedu ekstra hepatik (duktus koleduktus) disebut
koledokolitiasis, sedang bila terdapat di dalam saluran empedu intra hepatik disebelah
proksimal duktus hepatikus kanan dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan
koledokolitiasis disebut dengan kolelitiasis.

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:

1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin,
diabetes militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan
peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk
pengembangan batu empedu kolesterol.
4. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi
yang bisa meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla
spinalis), puasa berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN),
dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak
(misalnya: diet rendah lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan
menurunkan produksi garam empedu, serta meningkatkan kehilangan garam
empedu ke intestinal.
5. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat
hipolipidemik meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier
dan tampaknya meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin
muncul sebagai faktor predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi
pengosongan kantung empedu.
6. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat
dalam bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi
kolesterol meningkatkan kolesterol empedu.
7. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah
turun temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik
fraternal.
8. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
9. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
10. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
11. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

C. Manifestasi Klinik
1. Asimtomstik
Sampai 50% dari semua pasien dengan batu empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25% pasien yang benar-benar
mempunyai batu asimtomatik, akan merasakan gejalanya yang membutuhkan
intervensi setelah lima tahun. Batu Empedu bisa terjadi secara tersembunyi karena
tidak menimbulkan rasa nyeri dan hanya menyebabkan gejala gastrointestinal yang
ringan. Batu itu mungkin ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pembedahan atau evaluasi untuk gangguan yang tidak berhubungan sama sekali.
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua
jenis gejala, yaitu gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu
sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu
empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis. Gangguan epigastrum, seperti
rasa penuh, distensi abdomen, dan nyeri yang samar pada kuadran kanan atas
abdomen dapat terjadi.
2. Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan
mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin
teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai
nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas. Nyeri pascaprandial kuadran kanan
atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah
makan, berahir setelah beberapa jam dan kemudian pulih. Rasa nyeri ini biasanya
disertai dengan mual dan muntah, dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam
setelah memakan makanan dalam jumlah besar. Sekali serangan kolik biliaris
dimulai, serangan ini cenderung meningkat frekuansi dan intensitasnya. Pasien
akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan
posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik
melainkan presisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding
abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh bagian kanan.
Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan
atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dam menghambat pengembangan
rongga dada.
Nyeri pada kolisistisi akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga
membutuhkan preparat analgesic yang kuat seperti meperdin. Pemberian morfin
dianggap dapat meningkatkan spasme spingter oddi sehingga perlu dihindari.
3. Ikterus
Ikterus dapat dijumpai diantara penderita penyakit kandung empedu dengan
presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus.
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala
yang khas, yaitu getah empedu yang tidak lagi dibawa ke duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit.
4. Perubahan Warna Urin dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urin berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan
biasanya pekat yang disebut dengan “ clay-colored”.
5. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mempengaruhi absorbsi vitamin A, D, E, K yang
larut lemak. Karena itu, pasien dapat menunjukkan gejala defisiensi vitamin-
vitamin ini jika defisiensi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat
mengganggu proses pembekuan darah normal.
Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus,
kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera
mereda dalam waktu yang relatif singkat. Jika batu empedu terus menyumbat
saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan
perforasi disertai peritonitis generalisata.
D. Patofisiologi
Batu empedu terdapat di dalam kandung empedu atau dapat bergerak kearea lain dari
sistem empedu. Pada saat pengosongan kandung empedu atau pengisian kandung
empedu batu dapat pindah dan terjebak dalam leher kandung empedu. Selain leher
cysticduct (saluran cyste), atau saluran empedu menyebabkan bebuntuan. Ketika
empedu tidak bias mengalir dari kandung empedu. Terjadi bendungan dan iritasi lokal
dari batu empedu menyebabkan radang batu empedu (cholecystitis)
Faktor yang mendukung :
1. Kadar kolesterol yang tinggi pada empedu
2. Pengeluaran empedu yang berkurang
3. Kecepatan pengosongan kandung empedu yang menurun
4. Perubahan pada konsentrasi empedu atau bendungan empedu pada kandung
empedu
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap kali terjadi serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT),
LDH agak meningkat. Kadar protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu
dalam usus menurunkan absorbs vitamin K.
2. Pemeriksaan sinar-X abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun
demikian, hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk
dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

Gambar 3: hasil sinar-x pada kolelitiasis




3. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di
fleksura hepatika. Walaupun teknik ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik
bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

Gambar 4: Hasil foto polos abdomen pada kolelitiasis

4. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat,
dan dapat digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu,
pemerikasaan USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam
harinya sehingga kandung empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra
sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi
biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan
mencapai 95%. Kriteria batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Walaupun demikian,
manfaat US untuk mendiagnosis BSE relatif rendah. Pada penelitian kami yang
mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas US didapatkan sebesar 40%,
spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE disebabkan : a) bagian
distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit diamati akibat
tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka melebar pada
sejumlah kasus BSE.

Gambar 5: hasil USG pada kolelitiasis

5. Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk
penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung
jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang
mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung
empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh
bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan Nampak pada
foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada reaksi alergi
terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tertentu tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan lebih banyak
waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.

Gambar 6: Hasil pemeriksaan kolesistografi

6. Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)


Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang
hanya dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi
insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai
duodenum pasrs desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus
dan duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP
juga memungkinkan visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke
dalam duktus koledokus bagian distal untuk mengambil batu empedu.
Gambar 7: hasil ERCP pada kolelitiasis

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara
langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan relative besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut,
yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus
koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya
dengan jelas.
8. Computed Tomografi (CT)
CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun
demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding US.

Gambar 8: Hasil CT pada kolelitiasis


9. Magnetic resonance imaging (MRI) with magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP)

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Non-Pembedahan
Sasaran utama terapi medikal adalah untuk mengurangi insiden serangan akut
nyeri kandung empedu dan kolesistitis dengan penatalaksanaan suportif dan diit,
dan jika memungkinkan, untuk menyingkirkan penyebab dengan farmakoterapi,
prosedur-prosedur endoskopi, atau intervensi pembedahan.
a. Penatalaksanaan Supotif dan Diet
Sekitar 80% pasien dengan inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastric, analgesik dan antibiotik.
Intervensi bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evaluasi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi pasien semakin memburuk.
b. Farmakoterapi
Asam Kenodeoksikolat. Dosisnya 12-15 mg/kg/hari pada orang yang tidak
mengalami kegemukan. Kegemukan jelas telah meningkatkan kolesterol bilier,
sehingga diperlukan dosis 18-20 mg/kg/hari. Dosis harus ditingkatkan bertahap
yang dimulai dari 500 mg/hari. Efek samping pada pemberian asam
kenodeoksikolat adalah diare.
Asam ursodeoksikolat. Berasal dari beruang jepang berleher putih. Doasisnya
8-10 mg/kg/hari, dengan lebih banyak diperlikan jika pasien mengalami
kegemukan. Asam ursodeoksikolat melarutkan sekitar 30% batu radiolusen
secara lengkap dan lebih cepat daripada menggunakan asam kenodeoksikolat.
Efek sampingnya tidak ada.
Kemungkinan kombinasi asam ursodeoksikolat 6,5 mg/kg/hari dangan 7,5
mg/kg/hari asam kenodeoksikolat lebih murah dan sama efektif.
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk)
telah digunakan untuk mmelarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran
kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan
dengan kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan
dengan dosis yang lebih rendah untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme
kerjanya adalah menhambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya
sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat dikurangi
besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah
pembentukannya. Padabanyak pasien diperlukan pengobatan selama 6 hingga
12 bulan untuk melarutkan batu empedu, dan selama terapi keadaan pasien
dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien. Terapi ini
dilakukan pada pasien yang menolak terapi pembedahan atau dianggap terlalu
beresiko untuk menjalani pembedahan.
Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20-50% pasien
sesudah terapi dihentikan, dengan demikian pemberian obat ini dengan dosis
rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan tersebut. Jika gejala akut
kolesistisis berlanjut atau timbul kembali, intervensi bedah atau litotropis
merupakan indikasi.
c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan
menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butyl eter
[MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui
selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu,
atau melalui selang atau drain yang dimasukkan melaui T-tube untuk melarutkan
batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan, atau bisa juga melalui
endoskop ERCP, atau kateter bilier transnasal.
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL). Prosedur noninvasif ini
menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) yang diarahkan
pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan
maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang
kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelektrik,
atau muatan elektromagnetik. Energi ini disalurkan ke dalam tubuh lewat
rendaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang
dkonvergensikan tersebut dialirkan kepada batu empedu yang akan dipecah.
Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari
kandung empedu atau duktus koledokus dan dikeluatkan melalui endoscop atau
dilarutkan dengan pelarut asam empedu yang diberikan per oral.
Litotripsi Intracorporeal. Batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus
koledokus dapat dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser
berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoscop, dan diarahkan
langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris dikeluarkan dengan
cara irigasi dan aspirasi.

2. Penatalaksanaan Pembedahan
a. Koleksistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna, cidera duktus biliaris,
terjadi dalam kurang dari 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini telah terlihat dalam penelitian baru-baru ini, yaitu kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren,
diikuti oleh kolesistisi akut. Praktik pada saat ini mencakup kolesistektomi
segera dalam pasien dengan kolesistisi akut dalam masa perawatan di rumah
sakit yang sama. Jika tidak ada bukti kemajuan setelah 24 jam penanganan
medis, atau jika ada tanda-tanda penurunan klinis, maka kolesistektomi darurat
harus dipertimbangkan.
b. Mini Kolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4cm. Jika diperlukan, luka insisi dapat diperlebar untuk
mengeluarkan batu kandung empedu yang berukuran lebih besar. Drain mungkin
dapat atau tidak digunakan pada mini kolasistektomi. Biaya yang ringan dan
waktu rawat yang singkat merupakan salah satu alasan untuk meneruskan bentuk
penanganan ini.
c. Kolesistektomi laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan batu empedu simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai untuk melakukan prosedur ini dalam pasien dengan kolesistisis akut dan
dalam pasien dengan batu duktus koledokus. Keuntungan secara toritis dari
prosedur ini dibandingkan dengan konvensional, kolesistektomi mengurangi
perawatan di rumah sakit serta biaaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat bisa
kembali bekerja, nyeri menurun, dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden
komplikasi mayor, seperti misalnya cidera duktus biliaris, yang mungkin terjadi
lebih sering selama kolisistektomi laparoskopik. Frekuensi dari cidera mungkin
merupakan ukuran pengalaman ahli bedah dan merupakan manifestasi dari
kurva pelatihan yang berkaitan dengan modalitas baru.
d. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi
yang lebih luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak
jelas. Kndung empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu
atau cairan drainase yang purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat
dengan jahitan kantung tembakau (purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan
dengan sistem drainase untuk mencegah kebocoran getah empedu disekitar
kateter atau perembesan getah empedu ke dalam rongga peritoneal. Setelah
sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi untuk menjalani
kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah kolesistotomi memiliki
angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi 20-30%) yang
disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
e. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan
diagnosis kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para
penderita sepsis atau gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal,
paru atau hati. Dibawah pengaruh anastesi local sebilah jarum yang halus
ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke dalam kandung empedu
dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu diaspirasi untuk
memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi
saluran empedu. Dengan prosedur ini hampir selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri
dan gejala serta tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau
menghilang dengan segera.
f. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter
ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda.
Kateter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu
biasanya juga mngandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan
bersama-sama kolesistektomi.

H. Komplikasi
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada
dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi
suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut
(kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,
kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut
beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
1. Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat
peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti
peradangan kronis dengan adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding
tebal dan terdistensi oleh materi steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh
efek massa dalam kuadran kanan atas. Hidrops kandung empedu dapat
menyebabkan kolesistisi akut.
2. Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu
dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu
menjadi lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada
awal penyakit, peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi.
Komplikasi kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
a. Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau
kolesistisis supuratif, kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin
toksik, demam tinggi, menggigil dan leukositosis.
b. Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan
perforasi. Batu empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus
Roktiansky-Aschoff terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi
ruptura. Biasanya rupture terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica
biliaris yang paling kurang baik vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas
peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias memungkinkan terjadinya
perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan pembentukan abses
local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula saluran empedu.

c. Peritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah.
Karena efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.
3. Kolesistitis kronis
a. Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada
dinding organ di dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum,
dapat terjadi nekrosis dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga
terjadi perforasi ke dalam lumen saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara
kandung empedu dan organ-organ tersebut.
4. Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54%
disebebkan oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh
organisme Enterokokal dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan
berwarna coklat tua dan gelap. Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi
dengan diskuamasi atau mukosa yang ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.
5. Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
I. Rencana Asuhan Keperawatan
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk
merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melalui lima fase berikut
yaitu pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
1. Pengkajian
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan,
pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa
medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk
menentukan tindakan selanjutnya.
2) Identitas penanggung jawab
Identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi
penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi
nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri
abdomen pada kuadran kanan atas.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R)
yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana
yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T)
yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
(P): Nyeri setelah makan, terutama makanan yang berlemak
(Q): Nyeri dirasakan hebat
(R): Nyeri dirasakan pada abdomen kuadran kanan atas dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan.
(S): Nyeri terasa saat melakukan inspirasi
(T): Nyeri dirasakan sejak dua hari yang lalu
3) Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di
riwayat sebelumnya.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis.
c. Pemeriksaan fisik
Pendekatan dengan metode 6B:
1) B1-Breath
Pernapasan tertekan ditandai dengan napas pendek dan dangkal, terjadi
peningkatan frekuensi pernapasan sebagai kompensasi.
2) B2-Blood
3) Takikardi dan berkeringat karena peningkatan suhu akibat respon inflamasi.
4) B3-Brain
5) B4-Bladder
Urine pekat dan berwarna gelap, akibat dari pigmen empedu.
6) B5-Bowel
7) Feses berwarna kelabu “clay colored” akibat obstruksi duktus biliaris
sehingga pigmen empedu tidak dibuang melalui feses.
8) B6-Bone
-
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu
b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d
Ketidakmampuan Pemasukan Nutrisi
c. Mual b.d Iritasi Lambung
d. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif
e. Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri
f. Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri
g. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri
h. Ansietas b.d Ancaman Kematian
i. Kerusakan Integritas Kulit b.d Faktor mekanik
j. Risiko Perdarahan
k. Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif

3. Prioritas Diagnosa
No Priorotas Diagnosa

1 Nyeri Akut b.b Agen Cedera Biologis: Obstruksi Kandung Empedu.

2 Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Nyeri

3 Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Volume Cairan Aktif

4 Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Tubuh b.d Ketidakmampuan


Menelan Makanan

5 Mual b.d Iritasi Lambung

6 Ansietas b.d Ancaman Kematian

7 Insomnia b.d Ketidaknyamanan Fisik: Nyeri

8 Hambatan Mobilitas Fisik b.d Nyeri

9 Kerusakan Integritas Kulit

10 Risiko Perdarahan

11 Risiko Infeksi b.d Kerusakan Integritas Kulit: Prosedur Invasif


4. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Nyeri akut Nyeri: Efek Merusak : efek merusak dari nyeri Penatalaksanaan Nyeri : meringankan atau
terhadap emosi dan perilaku yang diamati atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan
dilaporkan. yang dapat diterima oleh pasien.
Dibuktikan dengan indikator berikut :  Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif
 Pasien akan melapor bahwa nyeri akan hilang meliputi lokasi, karakteristik, awitan/durasi,
(4) frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
 Pasien akan menunjukkan penggunaan nyeri, dan faktor presipitasinya.
keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan  Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
sesuai indikasi untuk situasi individual (4) (misalnya, umpan balik biologis,
 Penurunan penampilan peran atau hubungan transcutaneous electrical nerve stimulation
interpersonal (4) (TENS), hipnosis, relaksasi, imajinasi
 Gangguan kerja, kepuasan hidup atau terbimbing, terapi musik, distraksi, terapi
kemampuan untuk mengendalikan (4) bermain, terapi aktivitas, akupresur, kompres
hangat/dingin, dan masase) sebelum, setelah
dan jika memungkinkan, selama aktivitas yang
menyakitkan; sebelum nyeri terjasi atau
meningkat; dan selama penggunaan tindakan
pengurangan nyeri yang lain.
 Kelola nyeri pascaoperasi awal dengan
pemberian opiat yang terjadwal (misalnya,
setiap 4 jam atau 36 jam) atau PCA.
 Berikan perubahan posisi, masase punggung,
dan relaksasi.
Ketidakefektifan Pola Status Respirasi: Pergerakan udara ke dalam dan Pengelolaan jalan nafas: Fasilitasi untuk
Nafas ke luar paru-paru. kepatenan jalan nafas.
ditandai dengan indikator:  Pantau kecepatan,irama, kedalaman dan
 Kedalaman inspirasi dan kemudahan usaha respirasi.
bernafas (3)  Informasikan kepada pasien dan keluarga
 Tidak ada otot bantu (3) tentang tehnik relaksasi untuk meningkatkan
 Bunyi nafas tambahan tidak ada (3) pola pernafasan
 Nafas pendek tidak ada (3)  Berikan obat nyeri untuk pengoptimalan pola
pernafasan.
 Posisikan pasien untuk mengoptimalkan
pernafasan.
Kekurangan volume Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa: Pengelolaan Cairan: Peningkatan keseimbangan
cairan Keseimbangan elektrolit dan nonelektrolit dalam cairan dan pencegahan komplikasi akibat kadar
ruang intrasel dan ekstrasel tubuh. cairan yang tidak normal atau tidak diinginkan.
Ditunjukkan dengan indikator: Aktivitas:
 Elektrolit serum (misalnya, natrium, kaliun,  Pantau hasil laboratorium yang relevan
kalsium, dan magnesium) dalam batas normal dengan keseimbangan cairan (misalnya,
(4). kadar hematokrit, BUN, albumin, protein
 Serum dan pH urine dalam batas normal (4). total, osmolalitas serum, dan berat jenis
 Tidak memiliki konsentrasi urine yang urine).
berlebihan. BJ urine normal: 1003-1030  Anjurkan pasien untuk menginformasikan
perawat bila haus.
 Berikan ketentuan penggantian nasogastrik
berdasarkan haluaran, sesuai dengan
kebutuhan.
 Pasang kateter urine, bila perlu.
Ketidakseimbangan Status Gizi: Nilai Gizi : Keadekuatan zat gizi Pengelolaan Nutrisi : Bantuan atau pemberian asupan
nutrisi kurang dari yang dikonsumsi tubuh. diet makanan dan cairan yang seimbang.
kebutuhan tubuh Dibuktikan dengan indikator berikut :  Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan

 Asupan mkanan dan cairan oral (4) asupan.


 Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan
 Mempertahankan massa tubuh dan berat badan
nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
dalam batas normal (4)
 Tentukan—dengan melakukan kolaborasi bersama
 Melaporkan keadekuatan tingkat energi (4)
ahli gizi, secara tepat—jumlah kalori dan jenis zat
gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi (khususnya untuk pasien dengan kebutuhan
energi tinggi, seperti pasien pascoperasi dna luka
bakar, trauma, demam, dan luka).
 Berikan pasien minuman dan camilan bergizi,
tinggi protein, tinggi kalori yang siap dikonsumsi,
bila memungkinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Cahyono, Suharjo B. 2009. Batu Empedu. Yogyakarta: Kanisus


Hadi, Sujono. 2009. Gastroenterologi. Bandung: Alumni
Herdman, T.Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif dan Sari, Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika
Schwartz, Seymour I. 2009. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku dari Brunner & Suddarth.
Jakarta : EGC
Suratun dan Lusianah. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Gastrointestinal. Jakarta: Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai