Oleh:
FITA PUJI ARIATI
NIM. 11.02.01.0799
Persarafan Duramater
Persarafan ini terutama berasal dari cabang nervus trigeminus, tiga saraf
servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan nervus vagus.
Reseptor-reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium mengirimkan impuls
melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka.
Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk
kebelakang kepala dan leher.
Pendarahan Duramater
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri
maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis.
Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang
umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media
berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga
kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan
ke lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os
temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus
atau saluran angulus antero-inferior os parietale, perjalanannya secara kasar
berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang
posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior
duramater. Vena -vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater.
Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteri meningea media dan
mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.
Vena terletak di lateral arteri.
2) Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis.
Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada
bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut
sistermagna. Ruangan tersebut dapat dimasukkan jarum kedalam melalui
foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau disebut fungsi sub
oksipitalis.
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi otak
dan terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna.
Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang
subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh
ruang subarachnoidea, yang terisi dengan cairan serebrospinal. Permukaan luar
dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel-sel mesothelial yang gepeng. Pada
daerah -aerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk
membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat
cairan serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan
ke piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang
subarachnoidea yang berisi cairan. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh
pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak.
Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian
bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium serebri dan
kebawah disekeliling medulla spinalis.
3) Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak. Piameter
berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi flak serebri
membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum dengan
serebelum.
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel-sel
mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun
kedalam sulki yang terdalam. Piamater meluas keluar pada saraf-saraf cranial
dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang memasuki substansi otak
membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea
dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependyma
untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan
keempat otak.
FISIOLOGI MENINGEN
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut
duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai
arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler
serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta
dikenal sebagai piamater.
3. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura
meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang
arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang
tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal
atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh
hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga
hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah temporal
menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam.
Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain
kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
4. Tanda dan Gejala
Pasien dengan EDH seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang
telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga.
Tanda dan gejala yang tampak pada pasien dengan EDH antara lain:
a. Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
b. Bingung
c. Penglihatan kabur
d. Susah bicara
e. Nyeri kepala yang hebat
f. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
g. Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.
h. Mual
i. Pusing
j. Berkeringat
k. Pucat
l. Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
c. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
d. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
e. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
6. Komplikasi
a. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang
sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan
peningkatan tekanan intracranial
b. Kompresi batang otak sehingga mengakibatkan kematian
7. Penatalaksanaan
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler
Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan,
karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah.
Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang – kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang
cukup adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O,
dapat digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.
Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi
darah otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.
Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma.
Trauma kepala
Meningkatkan
rangsangan simpatis
Gangguan
Terputusnya kontinuitas jaringan
suplai darah
kulit, otot, dan vaskuler
Meningkatkan tahanan
vaskuler sistemik dan
tekanan darah
Perdarahan, hematoma iskemia
Nyeri
akut Menurunkan tekanan
hipoksia pembuluh darah
Perubahan sirkulasi cairan pulmonal
serebrospinal
Ketidakefektifan Peningkatan tekanan
perfusi jaringan hidrostatik
serebral
Peningkatan TIK
Kebocoran cairan
Mual muntah, papilodema, kapiler
Girus medialis lobus pandangan kabur,
temporalis tergeser penurunan fungsi
pendengaran, nyeri Oedem paru
Herniasi unkus
Resiko Gangguan Difusi oksigen
terhambat
kekurangan persepsi
volume sensori
Mesensefalon
cairan
tertekan Ketidakefektifan
pola nafas
Defisiensi
Gangguan
pengetahuan
kesadaran
Resiko cedera
imobilisasi
Defisit
Resiko gangguan
perawatan diri
integritas kulit
Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak).
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau
kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan
keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
4) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, biologis : trauma
Pre op
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, biologis : trauma
2) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral
Intra op
1) Resiko devicit volume berhubungan dengan perdarahan
2) Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan penurunan kesadaran
Post op
1) Nyeri akut berhubungan dengan luka insisi
2) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah
akibat efek anastesi
DAFTAR PUSTAKA
1) Smeltzer , Suzanna C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC
2) Kusuma, Hardi&Amin Huda Nurarif. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatab
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA. Yogyakarta: Media Action
Publishing
3) Nanda International. 2011. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Jakarta: EGC
4) Joanne McCloskey Dochterman&Gloria M. Bulechek. 2004. Nursing
Interventions Classification (NIC) Fourth Edition. Mosby: United States
America
5) Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius FK UI
6) Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika
7) http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CDU
QFjAB&url=http%3A%2F%2Ftiarasalsabilatoniputri.files.wordpress.com
%2F2012%2F04%2Fpenatalaksanaan-cedera-
kepala.doc&ei=nc6KU9bjK9Tc8AWC34GgCw&usg=AFQjCNEEcLjZ43SL
0GBIXx5jmLryf47w&sig2=Odq4mYJZUHEE3_g31u1QjA&bvm=bv.67720
277,d.dGc diakses tanggal 1 Juni 2014
8) Batticaca Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan.Jakarta : Salemba Medika
9) Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah. Jakarta : Erlangga