Anda di halaman 1dari 11

Nama : Putu Frydalyasa Yudhi A.

NPM : 16710165
No : 97
PERTUSIS
A. DEFINISI
Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough,
dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah
pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping
cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak).
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit
infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang
belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.
B. EPIDEMIOLOGI
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta
kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama masa pra-vaksin
tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak
di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi
kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.5
Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun5. Dalam
satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya. Dilaporkan sebagian
kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis dapat mengenai semua golongan
umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun, umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu
dikatakan bahwa perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan
0.9:11,3.
Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak,
terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian
disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas
penyakit ini mulai menurun4.
Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi sangat
mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh karena itu di negara
dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak didapatkan pertusis.
Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat infeksi pertussis menurun drastis
setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas, dan terendah sepanjang kasus yang
dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.
C. ETIOLOGI
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis. B. pertussis cirinya kecil, tidak
bergerak, cocobacillus gram (-).Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring
penderita pertussis, dan biasanya tumbuh baik pada “glycerin-potato-blood agar media
(border-gengou)”. 6
Ada enam spesies dari Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B.
avium, B. hinzii, B. holmesii, dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua
patogen yang paling umum ditemukan pada manusia.6
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen
utama. B.pertussis juga menghasilkan beberapa bahan aktif, yang banyak darinya
dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin
filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria
69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia
saluran pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pembersihan
organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara
dominant menyebabkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan
mempermudah penyerapan TP.2,3,4
D. FAKTOR RISIKO
Siapa saja berisiko terkena pertusis. Orang yang tinggal serumah dengan
penderita pertusis lebih mungkin terjangkit. Bayi prematur, pasien yang menderita
penyakit jantung, paru-paru, otot atau neuromuscular berisiko tinggi menderita pertusis
dankomplikasinya.10
E. PATOGENESIS
Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme
pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,7
Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/
Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia.
Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke
seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis tidak
terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin
yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.1,7
Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis
toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya
berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada daerah
aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah
infeksi.1,7
Toksin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis
protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel
target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan
serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan
menurunkan konsentrasi gula darah.1,7
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus
pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan menimbulkan
plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.1,7
Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat
ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder
sebagai akibat anoksia.1
Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel
mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap
proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi yang
ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.1
F. GEJALA KLINIS
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit
ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu 7-10 hari setelah
terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran udara sehingga
pembentukan lendir semakin banyak.1
Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi
berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,8:
1. Tahap Kataral
Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi, ciri-cirinya
menyerupai flu ringan :
 Bersin-bersin
 Mata berair
 Nafsu makan berkurang
 Lesu
 Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari)
2. Tahap Paroksismal
Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-15 kali
batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk bisa disertai
pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak
sebagai gelembung udara di hidungnya).
Muka anak akan merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi,
salivasi dan distensi vena leher selama serangan.
Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous
plug” pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau
perdarahan konjungtiva.Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya
muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara.
Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak
dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”. Anak akan terlihat apatis dan
berat badan menurun.
Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan
dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.
3. Tahap Konvalesen
Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk semakin
berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi
selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksisma dan bunyi whop yang jelas. Dalam anamnesis
ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala klinis pertusis lainnya, faktor resiko,
riwayat keluarga, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat imunisasi.
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada minggu pertama dapat terjadi leukopenia seperti gambaran infeksi virus. Pada
minggu kedua, hitung limfosit absolut >10.000.
Reaksi lukomoid ditandai dengan peningkatan leukosit 20.000-50/000 / UI dengan
limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium paroksismal.
Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis oleh karena respon limfositosis
juga terjadi pada infeksi lain.1,3,8
Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis pertussis.
Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-
3 dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya1,3,8.
Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menetukan adanya
infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum
IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai serum IgM FHA dan PT menggambarkan
respon imun primer baik disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis
merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak
tampak setelah pertussis8,9.
Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis
atau emfisema.
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis, pneumonia
bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang menyebabkan limfadenopati
dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.1
1. Bronkiolitis (RSV) pada bayi < 6 bulan
2. Asma
3. Obstruksi di trakea, benda asing, penekanan dari kelenjar lkimfe hilus karena TBC atau
tumor mediastinal
4. Pneumonia
5. Leukemia akut (Reaksi lukomoid), pada pertusis terjadi peningkatan limfosit bukan
limfoblas
Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium. Benda
asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya mendadak dan
dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi B. parapertussis, B.
bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis B.pertussis, dapat dibedakan
dengan isolasi kuman penyebab.1
I. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan
batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan
tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit
dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau
mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada
perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,
keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.1,10
Pada kasus ringan, umumnya anak-anak umur ≥ 6 bulan, dilakukan pengobatan
rawat jalan. Sedangkan pada anak < 6 bulan perlu dirawat di Rumah sakit. Selain itu, anak
dengan penyulit juga perlu dirawat, misalnya pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi,
gizi buruk, henti napas lama, atau kebiruan setelah batuk.10
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus, pada
keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh personel perawat
kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian makan, muntah, dan
perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan. Paroksismal khas yang tidak
membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan
warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai
pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir
paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak
berespons.1,10
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-faktor
yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada
distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia
dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada
pasien pertussis adalah sebagai berikut1,10,11 :
1. Agen Antimikroba
Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena
kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14
hari merupakan pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi
etilsuksinat dan stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan
dengan dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam
dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam
dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,
Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi
sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih
unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-satunya
agen dengan kemanjuran yang terbukti.
2. Salbutamol
Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-
gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial klinis tepat yang
telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh.
Pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.
3. Kortikosteroid
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan untukan
mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis. Penelitian pada
binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak
mempunyai kesimpulan pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya
tidak dibenarkan.
J. PENCEGAHAN
1. Imunisasi aktif :
Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan
jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan
tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat
dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7
tahun tidak rutin diimunisasi.1,10,12
Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti
eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,
dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis.
Resiko terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen
(15mg/kg BB, per oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72
jam.1,10,12
Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan
neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga
adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi
pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk
pemberian vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum
imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
menangis 3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam
2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.50C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.1,10,12
2. Kontak dengan penderita :
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-
ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama
14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan
eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi
eliminasi B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit1,10,11.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat
imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan.
Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita
berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan
eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi1,10,11.
K. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada berbagai macam sistem, terutama sistem respirasi
dan saraf pusat.1,10
1. Pneumonia merupakan komplikasi paling sering. Pada 90% kasus, kematian pada anak-
anak bukan disebabkan karena B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria
sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,10.
2. TBC laten dapat menjadi aktif.
3. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang kental. Aspirasi
lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia. Infeksi sekunder terjadi dan dapat
menimbulkan demam tinggi.
4. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
5. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.
6. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat menyebabkan
perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial,
ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.1,10
7. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia),
perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur
tinggi.1,9
8. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome of
Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH).9
L. PROGNOSIS
Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio
kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat
inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi pneumonia
hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4 %11. Kebanyakan kematian
disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain1,11.

Daftar Pustaka
1. S. Long, Sarah. 2000. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-
965.
2. Garna, Harry , Azhali M.S, dkk. 1993. Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik.
Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.
3. Law Barbara J. 1998. Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB
Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.
4. Heininger, U. 2010. Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy
8 (2): 163–73.
5. Cherry JD. 2005. The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the
disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics :
115:1422-1427.
6. Hewlett EL. 2005. Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th
ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701.
7. Todar, Kenneth. 2011. Bordetella pertussis and Whooping Cough. Todar’s Online Textbook
of Bacteriology
8. Shehab, Ziad M. 1999. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.
Missouri, USA. Mosby Inc. Chapter 42. h: 693-699.
9. Tejpratap Tiwari. 2005. Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
10. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2005. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI :
Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.
11. Tejpratap Tiwari. 2005. Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and
Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.
12. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. 2006. Preventing tetanus, diphtheria, and
pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular
pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33.

Anda mungkin juga menyukai