Anda di halaman 1dari 16

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, sholawat dan salam senantiasa
tercurah kepada Rasulullah SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah
yang berjudul : “KAJIAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP KASUS KORUPSI
DI INDONESIA (Studi Kasus Vonis Gayus Tambunan).”dengan baik dan lancar.
Makalah ini dibuat bertujuan untuk memberikan informasi kepada para
pembaca mengenai masalah yang kami bahas di dalamnya. Materi yang kami
bahas di dalam makalah ini, kami kemas secara sederhana sehingga mudah
dipahami oleh pembaca.
Makalah ini dapat terselesaikan berkat bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak. Mudah-mudahan apa yang penulis tuangkan dalam makalah ini
dapat menambah informasi dan bermanfaat bagi semua pihak.
Kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan penulisan
merupakan harapan yang besar bagi penulis. Akhir kata kami ucapkan terima
kasih.
Wassalamualaikum,

Penulis

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan masalah besar dan masalah nasional yang sifatnya
sangat kompleks dan banyak seginya. Di era reformasi dan pasca reformasi yang
sudah berusia kurang lebih 10 tahun ini justru korupsi menjadi wabah dan virus
yang menyerbu kemana-mana. Jika di era orde baru dengan sifatnya yang
sentralistik korupsi seolah hanya terbatas dilakukan oleh orang-orang tertentu di
tingkat atas, dan itupun hanya dilakukan kalangan eksekutif dalam pemerintahan
di negeri ini. Tetapi, kini korupsi di zaman demokratisasi kian menyebar sampai
ke daerah terpencil sekalipun1.
Korupsi, dilihat dari berbagai aspek, dapat dikelompokkan sebagai
kejahatan tingkat tinggi, karena merupakan gabungan dari dua kejahatan besar:
pencurian dan penipuan. Mencuri karena pelaku korupsi mengambil sesuatu yang
bukan haknya, dan menipu karena pelaku korupsi harus menyembunyikan bukti
perbuatannya. Secara yuridis, korupsi merupakan kejahatan yang merugikan
negara. Secara sosiologis, kejahatan korupsi berakibat pada kerugian yang dialami
oleh masyarakat dalam skala yang luas. Dan tentu saja dari sudut pandang
teologis, korupsi juga masuk dalam kejahatan yang berakibat dosa besar. Dalam
konteks fiqih, korupsi, karena berbagai akibat yang ditimbulkannya, dapat
digolongkan dalam dosa besar2.
Saat ini sering kita mendengar pemberitaan kasus-kasus korupsi di
berbagai media informasi yang sangat gencar diberitakan. Banyaknya kasus
korupsi yang diangkat oleh media menjadikan kasus ini perlu ditangani secara
khusus dan sistemik, dan salah satu kasus yang cukup menyedot perhatian
masyarakat adalah korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan. Kasus gayus
tersebut merupakan tindak pidana korupsi yang dilakukan olehnya dalam Dirjen
Pajak, dan kasus ini sangatlah menarik karena terdapat beberapa kejanggalan
didalamnya.
Melihat fenomena tersebut maka dapat dikatakan jika Korupsi saat ini
tidak sekadar permasalahan hukum, tetapi telah berkembang menjadi

1
Jeje Abdul Rojak, “Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif islam,” Surabaya, 28
November 2009, hlm. 1
2
http://ahmadfk.wordpress.com/2007/10/19/jalur-penal-dan-non-penal-harus-sejalan/

1
multidimensi berkelindan dengan sektor – sektor politik, ekonomi, sosial dan
budaya. Realitas tersebut menegaskan upaya pemberantasannya tidak hanya
mengandalkan hukum pidana3. Fenomena ini membuat kita bertanya kembali dari
sisi filsafat, sebenarnya apa yang terjadi dengan korupsi, mungkinkah kita salah
mengartikan tentang apa yang dianggap korupsi dan apa yang tidak korupsi4.
Dalam hal inilah diperlukan filsafat untuk lebih memahami korupsi itu sendiri dan
pandangan filsafat hukum terhadap korupsi. Seperti yang diketahui bahwa filsafat
itu bisa digunakan untuk memahami semua persoalan secara filosofis dan berdaya
upaya untuk memberikan gambaran (ilustrasi) yang lengkap mengenai suatu peta
kesusilaan,hukum dan politik untuk sepanjang masa5.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan korupsi dan apa saja faktor-faktor yang
menyababkan korupsi ?
2. Bagaimana perspektif atau pandangan filsafat hukum terhadap kasus korupsi ?
3. Bagaimana penanggulangan korupsi dalam perspektif hukum alam dengan
didasarkan pada ajaran Islam ?

C. Tujuan
1. Untuk memahami korupsi dan faktor-faktor yang menyebabkan korupsi.
2. Untuk menganalisis perspektif atau pandangan filsafat hukum terhadap kasus
korupsi.
3. Untuk mengetahui penanggulangan korupsi dalam perspektif hukum alam
dengan didasarkan pada ajaran Islam.

3
Hidayatullah, “Kitapun Bisa Jadi Pemberantas Korupsi,” Juni 2011, hlm. 1.
4
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-pandang-
filsafat-ilmu/
5
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Dalam Penelusuran Kepustakaan, (Bandung:
Dewa Ruchi, 2007), hlm. 21.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Korupsi Dan Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Korupsi.


Menurut Andi Hamzah, Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau
“Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis
“Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie”, dan selanjutnya dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan “Korupsi”. John M. Echols dan Hasan Shadily
menerjemahkan korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk, sedangkan A.I.N
Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi6.
Di Indonesia secara yuridis pengertian korupsi dapat diidentifikasikan dari
rumusan-rumusan perbuatan yang dapat dihukum karena tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Juncto Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara”.
Sedangkan pengertian korupsi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah :
“Perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri (spt
menggelapkan uang atau menerima uang sogok)”7.
Dengan pengertian korupsi secara harfiah tersebut dapat disimpulkan
bahwa sesungguhnya korupsi sebagai suatu istilah sangat luas artinya. Korupsi itu
adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam-macam artinya menurut
waktu,tempat dan bangsa8.
Faktor-faktor yang menyebabkan korupsi secara garis besar dapat dibagi 2
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor Internal yaitu faktor-faktor yang
terdapat dalam diri seseorang yang disebabkan oleh : 1) Kelemahan iman/tauhid.
2)Kelemahan akhlak/moral (rakus, tidak jujur, tidak amanah, tidak adil) serta 3)

6
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.
70.
7
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008), hlm. 756.
8
Edi Setiadi dan Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 75.

3
Kurangnya ilmu yang mengantarkan kebenaran dan lemahnya disiplin. Faktor
eksternal adalah faktor-faktor yang terdapat di luar diri seseorang yang meliputi
antara lain : 1) Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi kunci yang
mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menunjukkan
korupsi. 2) Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat. 3) Latar belakang kebudayaan atau
kultur Indonesia yang merupakan sumber atau penyebab meluasnya korupsi. 4)
Managemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efesien akan
memberikan peluang bagi orang untuk korupsi. 5) Kemiskinan. 6) Taraf
sinkronisasi peraturan perundangan dengan yang rendah kurang baik begitu pula
adanya mental yang rendah dari sebagian oknum penegak hukum. 7) Pembagian
fasilitas yang tidak merata dan adil serta sikap yang lebih mementingkan hak atas
fasilitas dari pada tanggung jawab penggunaannya. 8) Lingkungan keluarga dan
masyarakat yang mendorong dan merangsang untuk melakukan korupsi 9.
Timbulnya kejahatan korupsi disebabkan karena adanya niatan,
kesempitan, dan kesempatan. Tegasnya, penyebab timbulnya korupsi terdiri dari
tiga faktor : 1) Faktor mental, 2) Faktor kondisi sosial ekonomi, 3) Faktor sistem
tata-aturan. Faktor mental artinya kemerosotan moral akibat penyakit mental :
seperti rakus, iri hati, tamak, gila harta, gila jabatan, curang, tidak jujur, serakah,
seranah, serapah, budak hawa nafsu, nepotisme, despotisme, sakit jiwa,
penyalahgunaan wewenang, dan lain sebagainya. Faktor kondisi sosial ekonomi :
kondisi sosial ekonomi yang tidak sehat, kemelaratan, pengangguran, kekayaan
yang membengkak pada golongan minoritas, dan belum berhasilnya usaha
pemerataan hasil pembangunan. Faktor sistem tata-aturan : seperti pengumpulan
dana yang tidak dilindungi oleh undang-undang, sistem management yang tidak
terbuka, sistem pengawasan yang kurang efektif, dan lain sebagainya 10.

B. Perspektif Atau Pandangan Filsafat Hukum Terhadap Kasus Korupsi.


Berbicara masalah pandangan filsafat terhadap kasus korupsi, maka
sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu masalah yang sering dikaji
dalam filsafat hukum salah satunya adalah masalah “keadilan”. Prof.Dr.H.
Muchsin, SH., menyatakan : “ Pada dasarnya KONSEP HUKUM itu
sesungguhhya berbicara pada 2 (dua) konteks persoalan yaitu :

9
Jeje abdul Rojak, Op.Cit., hlm. 3
10
Ibid., hlm. 4

4
Konteks yang pertama adalah KEADILAN yang menyangkut tentang
kebutuhan masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan
konflik di tengah masyarakat.
Konteks yang kedua adalah ASPEK LEGALITAS menyangkut apa yang
disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah
kekuasaan Negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas
nama hukum.
Dua konteks persoalan tersebut diatas seringkali terjadi benturan dimana
terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan dan sebaliknya
rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Untuk mencari jalan
tengahnya maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif yang
ada selalu mencerminkan dari rasa keadilan itu sendiri”11.
Pada makalah ini penulis akan menganalisis perspektif atau pandangan
filsafat hukum terhadap kasus korupsi Gayus Tambunan, khususnya mengenai
unsur “keadilan” dalam putusan terhadap Gayus Tambunan. Vonis 7 tahun
penjara dan denda Rp.300.000.000,00 kepada Gayus Tambunan yang merupakan
intepretasi atau cerminan dari pelaku korupsi yang telah didakwa dengan berbagai
dakwaan suap dan tuntutan maksimal 20 tahun penjara oleh jaksa adalah salah
satu kasus yang menarik untuk dipreteli satupersatu melalui pemikiran filsafat
hukum. Apakah putusan itu benar adil dan pantas untuk perbuatannya yang
merugikan milyaran rupiah uang negara? Atau memang mengusik rasa keadilan
umat manusia? Apakah hakim benar-benar telah melakukan suatu putusan
naluriah atau ada rasa lain?12.
Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum karena hukum
dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib
membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan
kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas
pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan
menjadi unsur konstitutif hukurn13. Dalam bukunya Nicomachean Ethics,
Aristoteles juga telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia
menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar
manusia14. Dalam NORMA-NORMA KEHORMATAN MAHKAMAH AGUNG

11
Tolib Setiady, Op.Cit., hlm. 127
12
http://filsafat.kompasiana.com/2011/02/14/vonis-gayus-dalam-kacamata-pospositivisme/
13
Ibid.
14
Prof. Darji Darmodiharjo, SH dan DR. Shidarta, SH., MHum, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 156.

5
disebutkan “Bahwa ADIL pada hakikatnya bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya dimuka
hukum”15.
Keadilan versi positivisme sangatlah tekstual, melanggar undang-undang
berarti melanggar hukum maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan sanksi yang ada pada undang-undang tanpa memikirkan kemungkinan-
kemungkinan lain yang terjadi di luar kehendak si pelanggar, dengan begitu
terciptalah keadilan yang sejati. Maka dalam hal vonis 7 tahun penjara Gayus
sangatlah mengusik hati nurani, karena si pelanggar tidak dijatuhi sanksi sesuai
dengan yang dituntut jaksa selama 20 tahun. Cap tidak adil itupun meluber
kemana-mana seolah-olah hakim terkesan tebang pilih. Karena pada kasus jaksa
Urip yang menerima suap saja hakim dengan berani memvonisnya dengan sanksi
maksimal yaitu 20 tahun penjara. Fikiran dan pendapat seperti itu sah-sah saja.
Jika kita menilik lebih dekat maka kita akan lebih mengerti bahwa pendapat
seperti itu dikeluarkan oleh para positivisme. Tak ada yang salah dengan sikap
seperti itu, suatu penghargaan terhadap para pemikir positivisme. Lalu bagaimana
dengan vonis 7 tahun itu? Seorang postpositivisme akan berfikir jauh dari itu. Ia
akan memandang suatu masalah dengan lebih mendalam tanpa melupakan kaidah
substansinya16.
Hukum yang diwakili undang-undang memang kerap mempertanyakan
tentang rasa adil itu sendiri. Ukuran seperti apa yang pantas untuk mengukur rasa
keadilan. Maka seorang pospositivisme akan menggeser sedikit cara berpikir
seorang positivisme dengan melakukan pengingkaran terhadap apa yang sudah
tertulis dalam beberapa hal dengan alasan yang naluriah. Ketika undang-undang
tersebut telah sampai pada sebuah institusi legal suatu negara dan diterapkan
lewat putusan hakim maka akan tercipta keadilan versi paradigma si hakim.
Dalam kasus Gayus jelas sekali bahwa Ibu Albertina Ho, selaku hakim yang
memutus perkara Gayus adalah seorang postpositivisme. Beliau hati-hati sekali
dalam memutus. Tanpa mengurangi esensi yang substansial dari suatu aturan
perundang-undangan beliaupun melihat fakta lain yang mengusik hati nurani
sehingga menggeserkan putusannya dari tekanan-tekanan publik sesuai dengan
apa yang memang seharusnya. Albertina Ho mengingkari undang-undang secara
tekstual dan tidak terpengaruh dari tekanan-tekanan publik untuk membuat suatu

15
Tolib Setiady, Op.Cit., hlm. 128.
16
http://filsafat.kompasiana.com/2011/02/14/vonis-gayus-dalam-kacamata-pospositivisme/

6
putusan yang sangat dimengerti bagi para ahli hukum. Putusan 7 tahun itu
merupakan hasil pemikiran seorang pospositivisme yang sangat cekatan. Beliau
melihat realitas secara eksternal, real dan objektifyang tidak dipahami secara
sempurna karena keterbatasannya sebagai manusia. Dengan mengandakan
metodologi yang informasi yang secara situasional beliau paham betul tentang
“kesalahan” yang disalahkan pada gayus juga tentang kesalahan yang tidak
mutlak karena Gayus17.
Bodenheimer mengatakan, “ada keraguan serius”, apakah sistem sosial
yang memenuhi syarat-syarat kepastian aturan atau hukum bisa efektif tanpa
kehadiran unsur yang substansial yaitu keadilan. Jika rasa keadilan sebagian besar
masyarakat dihina dan diperkosa oleh sebuah sistem yang mengaku hukum untuk
menegakkan kondisi-kondisi hidup yang sesuai dengan aturan, maka otoritas
publik akan mengalami kesulitan dalam menjaga sistem hukum melawan usaha-
usaha subversif. Orang-orang tidak akan bertahan lama menghadapi sebuah
tatanan yang mereka rasa sama sekali tidak sesuai dan tidak masuk akal.
Pemerintah yang mempertahankan aturan semacam itu akan terjerat dalam
kesulitan-kesulitan serius dalam pelaksanaannya. Artinya, sebuah tatanan yang
tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang
tidak aman dan berbahaya. Sebagaimana diungkapkan John Dickinson “Kita tidak
hanya membutuhkan sebuah sistem peraturan umum yang bercampur baur, tetapi
aturan yang berdasarkan pada prinsip keadilan” 18.
Maka lagi-lagi keadilan sulit diindikasikan dengan alat apapun yang paling
mutakhir. Pada kasus Gayus ketika dibebaskan oleh Pengadilan Negeri
Tangerang sungguh mengusik rasa keadilan masyarakat. Ketika muncul berita
nenek tua janda pejuang kemerdekaan yang tertatih-tatih di pengadilan sebagai
terdakwa karena menempati rumah dinas milik pemerintah, Gayus yang
mengelapkan pajak miliaran rupiah justru melengang bebas dari jeratan hukum.
Penggelapan pajak sebesar Rp 25 miliar oleh Gayus ibarat gunung es. Nilai yang
sesungguhnya yang telah digelapkan pegawai Ditjen Pajak golongan III A ini
diyakini lebih besar lagi. Sebab yang terungkap di permukaan hanya sebagian
kecil dari yang sesungguhnya terjadi, karena praktek curang itu sudah dilakukan
bertahun-tahun terhadap lebih dari satu Wajib Pajak (WP). Pada perkara inilah
seorang postpositivisme pasti akan lebih sependapat dengan para positivisme,

17
Ibid.
18
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah Aliran Dan Pemaknaan, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2006). Hlm. 57.

7
karena putusan bebas pada waktu itu memang tidak masuk akal. Namun seorang
pospositivisme akan berpikir lebih terang lagi mengenai mengapa dakwaan ini
bebas dengan mudah19.
Dari penjelasan diatas terlihat betapa masalah keadilan ini sangatlah
abstrak maksud atau pengertiannya. Dalam hal menilik keadilan dalam putusan
terhadap kasus korupsi Gayus Tambunan saja ada beberapa versi terhadap apa
yang disebut adil abgi seorang Gayus Tambunan. Paling tidak hal tersebut dapat
memberikan sedikit gambaran betapa masalah keadilan ini tidak mudah untuk
dirumuskan. Dalam lapangan hukum yang berbeda atau dalam tempat dan waktu
yang berlainan, persepsi keadilannya mungkin sekali menjadi berlainan pula20.

2.3 Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif Hukum Alam Dengan Didasarkan


Pada Ajaran Islam.
Seperti yang diketahui bahwa gagasan mengenai hukum alam didasarkan
pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat
diketahui, dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta
tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum
yang sengaja dibentuk oleh manusia. Menurut sumbernya aliran hukum alam
dapat dibedakan dalam dua macam : (1) irasional yang berpendapat bahwa hukum
yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung, dan
(2) rasional yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abdi
itu adalah rasio manusia21. Serta hukum alam memiliki sifat universal,abadi dan
tidak terbatas oleh waktu.
Ajaran Islam merupakan suatu kaidah hukum alam juga karena ajaran
Islam itu bersumber langsung dari Tuhan serta bersumber dari rasio Rasulullah
dalam menafsirkan ketentuan Allah yang tercantum dalam Al-Quran. Islam
sebagai agama yang universal dapat berlaku di segala tempat, waktu dan keadaan
dan untuk semua manusia di dunia ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an
surat surat (21) al-‘Anbiya’ ; 107:
   
 

19
http://filsafat.kompasiana.com/2011/02/14/vonis-gayus-dalam-kacamata-pospositivisme/
20
Prof. Darji Darmodiharjo, SH dan DR. Shidarta, SH., MHum, Op.Cit., hlm. 158.
21
Ibid., hlm. 103-104.

8
(Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam)22.
Menilik kasus korupsi yang dilakukan oleh Gayus Tambunan maka hal
tersebut bertentangan dengan ketentuan Tuhan maupun rasio manusia karena
korupsi didalamnya terdapat tindakan mencuri dimana dalam Ajaran Islam, Allah
melarang seseorang mengambil harta orang lain yang bukan haknya. Serta
Rasulullah-pun melarang perbuatan korupsi seperti hadits berikut :
“Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan
yang menerima suap dalam hukum. (H.R. Turmuzi)”23.
Sanksi dalam syariat Islam terhadap korupsi bervariasi karena tidak
adanya nash qath‟i yang berkaitan dengan tindak kejahatan yang satu ini. Artinya
sanksi syariat yang mengatur hal ini bukanlah merupakan paket jadi dari Allah
swt. yang siap pakai. Sanksi dalam perkara ini termasuk sanksi ta‟zir, di mana
seorang hakim (imam/ pemimpin) diberi otoritas penuh untuk memilih tentunya
sesuai dengan ketentuan syariat bentuk sanksi tertentu yang efektif dan sesuai
dengan kondisi ruang dan waktu, di mana kejahatan tersebut dilakukan24.
Dalam lembaran sejarah Islam, telah diberikan beberapa langkah
terobosan penanggulangan korupsi seperti kebijakan-kebijakan Khalifah ‘Umar
bin al-Khathtab ra., pada masa pemerintahannya, untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi antara lain : 1) Memberi gaji yang cukup bagi biaya hidup
karyawan dan keluarganya. 2) Dilakukan wajib daftar kekayaan bagi para
pegawai. Kekayaan de facto pegawai dibanding dengan kekayaan de jure pegawai
sesuai dengan daftar kekayaan. Selisih lebih kekayaan itu, yang separohnya disita,
dimiliki oleh negara. Kebijaksanaan seperti itu dikenal dengan “Ta’dibul-
muwazhaf bil muqasamah-fil-amwal”. 3) Merealisasikan ayat 7 surat (59) al-
Hasyr ;
(… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya).
4) Melakukan “at-Taftisy” (waskat) oleh “Shahibul-Ummal” kepada bawahannya.
“Rasulullah s.a.w. melarang seorang pegawai menerima “risywah” (suap) dari
rakyat. Beliau menjatuhi hukuman administratif berupa tegoran, dalam peristiwa

22
Jeje abdul Rojak, Op.Cit., hlm. 6.
Irdamisraini, “Korupsi Perspektif Pidana Islam” dalam Hukum Islam. Vol. VIII No2, (Riau:
23

UIN SUSKA, 2008), hlm. 122


24
Ibid.

9
Ibnul Lutabiyah yang diangkat menjadi pegawai zakat dan menerima hadiah dari
salah seorang anggota masyarakat wajib zakat. (Al-Bukhari, Muslim, dan Abu
Dawud)25.”
Pada saat ini penanggulangan korupsi berdasarkan syariat Islam dapat
dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
Pertama, sistem penggajian yang layak. Aparat pemerintah harus bekerja dengan
sebaik-baiknya. Hal itu sulit berjalan dengan baik bila gaji tidak mencukupi. Para
birokrat tetaplah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan hidup serta
kewajiban untuk mencukup nafkah keluarga. Agar bisa bekerja dengan tenang dan
tidak mudah tergoda berbuat curang, mereka harus diberikan gaji dan tunjangan
hidup lain yang layak. Berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan hidup aparat
pemerintah, Rasul dalam hadis riwayat Abu Dawud berkata, “Barang siapa yang
diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan
rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu
hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan
(kendaraan) hendaknya diberi. Adapun barang siapa yang mengambil selainnya,
itulah kecurangan”.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Hadiah dan suap yang diberikan
seseorang kepada aparat pemerintah pasti mengandung maksud agar aparat itu
bertindak menguntungkan pemberi hadiah. Tentang suap Rasulullah berkata,
“Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap” (HR Abu Dawud). Tentang
hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada
para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur”
(HR Imam Ahmad).
Ketiga, perhitungan kekayaan.
Keempat, teladan pemimpin. Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk
milik putranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan digembalakan bersama di
padang rumput milik Baitul Mal Negara.
Kelima, hukuman setimpal.
Keenam, pengawasan masyarakat26.
Dari uraian diatas terlihat sangat jelas bahwa penaggulangan terhadap
tindak korupsi menurut hukum Islam sebagai suatu norma yang bersumber
langsung dari Tuhan sangatlah kompleks dan jelas dalam pengaturannya,baik

25
Jeje abdul Rojak, Op.Cit., hlm. 8-9.
26
http://khalidwahyudin.wordpress.com/2008/06/24/syariat-islam-dalam-pemberantasan-
korupsi/

10
yang bersifat preventif maupun regresif. Maka pantaslah apa yang dikatakan oleh
Socrates bahwa hukum alam kedudukannya lebih tinggi dari hukum positif, serta
pendapat Sophocles bahwa hukum alam merupakan dasar bagi berlakunya hukum
positif27, hal ini terbukti dalam kaidah-kaidah hukum Islam yang berumber dari
Allah dan merupakan hukum alam, dimana dalam pengaturannya mengenai
korupsi sudah sangat lengkap sehingga pengaturannya tersebut dapat dijadikan
dasar yang sangat cukup untuk hukum positif yang mengatur tindak korupsi.

27
Tolib Setiady, Op.Cit., hlm. 170.

11
BAB III
KESIMPULAN

Menurut Andi Hamzah, Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau
“Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis
“Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie”, dan selanjutnya dalam bahasa
Indonesia dengan sebutan “Korupsi”. John M. Echols dan Hasan Shadily
menerjemahkan korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk, sedangkan A.I.N
Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi.
Timbulnya kejahatan korupsi disebabkan karena adanya niatan, kesempitan, dan
kesempatan. Tegasnya, penyebab timbulnya korupsi terdiri dari tiga faktor : 1)
Faktor mental, 2) Faktor kondisi sosial ekonomi, 3) Faktor sistem tata-aturan.
Perspektif atau pandangan filsafat hukum terhadap kasus korupsi Gayus
Tambunan, khususnya mengenai unsur “keadilan” dalam putusan terhadap Gayus
Tambunan adalah Keadilan versi positivisme sangatlah tekstual, melanggar
undang-undang berarti melanggar hukum maka si pelanggar akan mendapatkan
sanksi sesuai dengan sanksi yang ada pada undang-undang tanpa memikirkan
kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi di luar kehendak si pelanggar,
dengan begitu terciptalah keadilan yang sejati. Pospositivisme akan menggeser
sedikit cara berpikir seorang positivisme dengan melakukan pengingkaran
terhadap apa yang sudah tertulis dalam beberapa hal dengan alasan yang naluriah.
Ketika undang-undang tersebut telah sampai pada sebuah institusi legal suatu
negara dan diterapkan lewat putusan hakim maka akan tercipta keadilan versi
paradigma si hakim.
Penanggulangan korupsi berdasarkan syariat Islam dapat dilakukan
dengan upaya sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap dan hadiah,
perhitungan kekayaan, teladan pemimpin, hukuman setimpal, pengawasan
masyarakat.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. Filsafat Hukum Sejarah Aliran Dan Pemaknaan.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2006.

Edi Setiadi dan Rena Yulia. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010.

Irdamisraini. “Korupsi Perspektif Pidana Islam” dalam Hukum Islam. Vol. VIII
No 2. Riau: UIN SUSKA, 2008.

Prof. Darji Darmodiharjo, SH dan DR. Shidarta, SH., MHum. Pokok-Pokok


Filsafat Hukum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen


Pendidikan Nasional, 2008.

Tolib Setiady. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Dalam Penelusuran Kepustakaan.


Bandung: Dewa Ruchi, 2007.

Jeje Abdul Rojak. “Penanggulangan Korupsi Dalam Perspektif islam,” .


Surabaya..
Hidayatullah. “Kitapun Bisa Jadi Pemberantas Korupsi” .

http://ahmadfk.wordpress.com/2007/10/19/jalur-penal-dan-non-penal-harus-
sejalan/
http://filsafat.kompasiana.com/2011/02/14/vonis-gayus-dalam-kacamata-
pospositivisme/
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/08/11/fenomena-korupsi-dari-sudut-
pandang-filsafat-ilmu/
http://khalidwahyudin.wordpress.com/2008/06/24/syariat-islam-dalam-
pemberantasan-korupsi/

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU


No. 31 Tahun 1999, LN No. 140 Tahun 1999, TLN No. 3874.

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31


Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20
Tahun 2001, LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150.

13
KAJIAN FILSAFAT HUKUM TERHADAP
KASUS KORUPSI DI INDONESIA
(Studi Kasus Vonis Gayus Tambunan)

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Mata Kuliah : Sejarah Peradilan Islam

Dosen Pengampu : Muhamad Masrur, S.H.I., M.E.I

Disusun oleh :

NASRUDDIN
NIM. 2011315503

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN


FAKULTAS SYARIAH
TAHUN 2018

14
15

Anda mungkin juga menyukai