Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya
disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks, obstruksi limfoid, fekalit, benda asing,
dan striktur karena firosis akibat peradangan neoplasma.1
Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbadingan antara pria dan wanita
mempunyai kemungkinan yag sama untuk menderita penyakit ini. Namun
penyakit ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antara umur 10-30 tahun.
Insiden tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita berusia 15-19
tahun. Laki-laki lebih banyak menderita apendisitis dari pada wanita pada usia
pubertas dan pada usia 25 tahunn. Apendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-
anak dibawah 2 tahun.1
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi abses, peritonitis bahkan shock dan perforasi. Insiden
perforasi adalah 10% sampai 32%. Insiden tertinggi pada anak kecil dan lansia.
Perforasi terjadi secara umum 24 jam pertama awitan nyeri. Angka kematian
akibat terjadinya perforasi adalah 10-15% dari kasus yang ada, sedangkan angka
kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8% yang berhubungan dengan
komplikasi peyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Apendisitis


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi,
apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal.
Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.2

Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di


belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon
ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari
a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren.2,1
3

2.2 Definisi Apendisitis Akut


Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat
mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering
menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun Apendisitis adalah penyebab paling
umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Apendisitis adalah
peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut. 1,3

2.3 Epidemologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada dinegara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apedisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-
30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada
lelaki lebih tinggi.1

2.4 Etiologi
Apensiditis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasi jaringan limf
fekalit, tumor apindeks, dan cacing askaris dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.hilolytica.1,3
Penetiaan epidemologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh kontipasi terhadap timbulnya apensisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
4

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik 1,4
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik mc.burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan
terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan

b. Apendisitis akut purulenta (supurative appendicitis)


Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik mc. Burney, defans muskuler dan
5

nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum

c. Apendisitis akut gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen

d. Apendisitis infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.1

e. Apendisitis abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal

f. Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
6

apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik


apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks, sumbatan
parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di
mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara
1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan
disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas
sudah adanya pembentukan jaringan ikat.1

2.6 Patologi
Patologi apendisitis dapat dimulai dimukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya
perthanan tubuh berusaha membatasan proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus,atau adneksa sehingga terbentuk
masa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat
apendiks. Didalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan masa periapendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
mengalami eksaserbasi akut.4

2.7 Gambaran Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
terjadinya peradangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsangan peritoneum
lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri visceral didaerah epigastrium
disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah.
Umumnya, nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan
7

berpindah kekanan bawah ke titik mcburney. Disini, nyeri dirasakan lebih


tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap
berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.1
. Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh
sakit perut bila berjalan atau batuk.
Bila apendiks terletak retrosekal retroperitineal, tanda nyeri perut kanan
bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal karena
apendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih kearah perut sisi kanan atau
nyeri timbul pada saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal.
Radang pada apendiks apendiks yang terletak dirongga pelvis dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum menjadi lebih
cepat serta berulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkat frekuensi kencing akibat rangsangan apendiks terhadap
dinding kandung kemih.
Gejala apendiks akut pada anak tidak spesifik. Pada anak sering hanya
menunjukkan gejala rewel dan tidak mau makan, anak sering tidak bisa
melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian, anak akan muntah
sehingga menjadi lemah dan latergik. Karena gejala yang tidak khas tadi,
apendisitis sering baru dikenal setelah terjadi perforasi. Pada bayi 80-90%
apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.1

Gambaran klinis apendisitis akut


 Tanda awal
 Nyeri mulai diepigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan
anoreksi
 Nyeri pindah kekanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik mcburney
8

 Nyeri tekan
 Nyeri lepas
 Defans muskuler
 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(bumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti nafas dalam
berjalan, batuk, mengedan.

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga


tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya pada orang
berusia lanjut, gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderitaan baru dapat dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhann apendisitis adalah nyeri perut, mual, muntah.
Hal ini perlu dicermati karena pada kehamilan trimester pertama sering juga
terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sakum dan apendiks
terdorong kekraniolteral sehingga keluhan tidak dirasakan diperut kanan
bawah tetapi lebih diregio lumbal kanan.1

2.8 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 -38,5 C. Bila suhu
lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 1 C. Pada inspeksiperut, tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler.
Pada palpasi,didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan,
bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut
9

kanan bawah yang disebut tanda rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.1
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolateraldorsal oleh uterus,
keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester ii dan iii akan
bergeser kekanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester
I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan
apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring
ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses
bukan berasal dari apendiks. Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat
menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh apendisitis perforata. 1
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat
dicapa dengan jari telunjuk misalnya pada apendisitis pelvika. Pada
apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas
dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih sering dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan. Kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
kemudian menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Derakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika.

2.9 Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis apendisitis akut masih mungkin salag pada sekiat 15-20 % kasus.
Kesalahan didiagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama
10

yang masih muda, sering tombul gangguan yang menyerupai apendisitis akut.
Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang
dipelvis atau penyakit ginekologik lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagosis apendisitis akut, hila
diagnosis meragukan, sebaiknya penderita diobservasi dirumah sakit dengan
frekuensi setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dipercaya. Ultrasonografi dapat
meningkatka n akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang
meragukan.1

2.10 Diagnosis banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena
penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus
menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu
24 jam.
11

6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan


keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di
luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di
pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis. 5

2.11 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang didiagosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat
dilakukan observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1

2.12 Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
12

Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

2.13 Prognosis
Kematian dari appendisitis di amerika serikat telah terus menurun dari
tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada
1986. Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan
dalam anestesi, antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama
dalam kematian adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan
usia pasien. Angka kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah
0,06%. Angka kematian keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah
sekitar 3%-peningkatan 50 kali lipat. Tingkat kematian appendisitis
perforasi pada orang tua adalah sekitar 15% peningkatan lima kali lipat dari
tingkatkeseluruhan.5

2.14 Peritonitis
Peritonitis merupakan respon inflamasi atau supurasi di daerah
peritoneal akibat iritasi secara langsung pada peritoneum. Peritonitis bisa
muncul setelah perforasi, inflamasi, infeksi, atau luka iskemik dari sistem
13

gastrointestinal atau genitourinari. Berikut ini merupakan beberapa


penyebab peritonotis yang umum :
Tingkat Keparahan Penyebab Angka Mortalitas
Ringan Apendisitis <10%
Perforasi ulkus gastroduodenal
Salpingitis akut
Sedang Divertikulitis (perforasi lokal) <20%
Perforasi usus halus nonvaskular
Kolesistitis gangren
Multipel trauma
Berat Perforasi usus besar 20 – 80%
Luka iskemik usus halus
Pankreatitis nekrotik akut
Komplikasi post operasi

Klasifikasi Peritonitis
A. Primary peritonitis
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi bakteri akut
pada cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari
translokasi bakteri di dinding usus atau saluran limfatik mesenterika
dan, lebih jarang, melalui paparan hematogen di hadapan bakteremia.
SBP dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang
menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan sindrom
Budd -Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau lupus eritematosus
sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP. Risiko
tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan
dekompensasi.5
Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan
rendahnya kadar komplemen merupa kan faktor resiko yang tinggi
dalam kejadian peritonitis. Pasien dengan kadar protein rendah dalam
cairan asites (<1 g / dL) memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi
14

mengalami SBP dibandingkan dengan tingkat protein lebih dari 1 g / dL.


Sekitar 10 -30% pasien dengan sirosis dan asites mengalami SBP.
Insiden meningkat menjadi lebih dari 40% dengan asites isi protein
cairan kurang dari 1 g / dL (yang terjadi pada 15% dari pasien), mungkin
karena penurunan Kegiatan opsonic cairan asites 6

B. Secondary peritonitis
Peritonitis sekunder (SP) terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus
lambung dan duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan
diverculitis, volvulus, kanker dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis
juga dapat dikaitkan dengan peritonitis dalam kasus infeksi pada
jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat dalam SP saluran pencernaan
proksimal berbeda dengan saluran pencernaan distal. Organisme Gram-
positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian atas, dengan
pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam saluran GI atas pada
pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari
usus kecil distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan
pelepasan beberapa ratus spesies bakteri (dan jamur), respon imun tubuh
dengan cepat menghilangkan sebagian besar organisme ini. Hasil
pemeriksaan bakteri peritonitis hampir selalu polymicrobial, berisi
campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi organisme
gram negatif. Pada banyak pasien, tanda dan gejala klinis saja tidak
sensitif atau cukup spesifik untuk andal membedakan antara 2 entitas.
Sejarah menyeluruh, evaluasi dari cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan diperlukan untuk melakukannya, indeks kecurigaan yang
tinggi diperlukan7

C. Tertiary peritonitis
Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada
orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang
signifikan. Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa
15

komplikasi, insiden peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan


perawatan ICU untuk infeksi perut yang parah mungkin setinggi 50-
74%.8

D. Peritonitis kimia
Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium,
atau bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral
(misalnya, Crohn’s disease) tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal.
Tanda dan gejala klinis bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal,
dan pendekatan diagnostik dan terapeutik harus sama.6

E. Abses peritoneal
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang
terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan / atau
organ viseral yang berdekatan. Mayoritas abses terjadi setelah SP.
Pembentukan abses dapat merupakan komplikasi operasi. Insiden
pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-2%, bahkan
ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses
meningkat menjadi 10-30% pada kasus perforasi pra operasi dari organ
berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal,
iskemia usus, diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan
kebutuhan untuk operasi kembali, serta pengaturan imunosupresi.
Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan
pengembangan peritonitis tersier.8

Manifestasi klinis peritonitis menunjukkan tingkat keparahan dan


durasi infeksi. Temuan fisik dapat dibagi menjadi tanda abdominal dan
tanda sistemik. Peritonitis akut merupakan kasus akut abdomen. Temuan
lokal yaitu nyeri perut, nyeri tekan, rigiditas, distensi, udara bebas
peritoneal, dan berkurangnya peristaltik (tanda yang menunjukkan iritasi
peritoneum parietal dan mengakibatkan ileus). Temuan sistemik
16

diantaranya demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipnu, dehidrasi,


oliguri, disorientasi, dan bisa saja syok refraktori. Syok yang terjadi
merupakan kombinasi dari hipovolemi dan septikemi dengan gagal organ
multipel. Syok berulang yang tak dapat dijelaskan menunjukkan sepsis
intraperitoneal yang serius. 8
17

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identifikasi
Identitas pasien
Nama : M. Ilham bin Saifudin
TTL / usia : Tanjung Batu, 04-09-2004 (14 tahun)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Lintas Kayu Agung-Indralaya, Kec. Payaraman
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
MRS : 18 Septermber 2018
No. RM : 56-23-89

3.2. Anamnesis (autoanamnesis dan alloanamnesis)


A. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 5 hari SMRS

B. Riwayat perjalanan penyakit


Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di bagian kanan bawah.
Nyeri dirasakan sejak 5 hari SMRS. Nyeri timbul secara tiba-tiba dan
kemudian menetap. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, Pada awalnya nyeri
dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah di perut kanan bawah. Nyeri
dirasakan terutama saat berjalan dan batuk. Nyeri terjadi terus menerus
dan semakin lama semakin memberat. Pasien juga mengeluh mual,
muntah, perut terasa kembung, dan nafsu makan menurun. Pasien
mengalami demam 1 hari SMRS. Demam dirasakan terus menerus
sepanjang hari. BAB cair frekuensi >3x tidak bercampur darah dan lendir.
BAK (+) normal, flatus (+).
18

C. Riwayat penyakit dahulu


 Keluhan yang sama sebelumnya disangkal

D. Riwayat penyakit keluarga


 Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga (-)

3.3. Pemeriksaan fisik


Keadaan umum
 Keadaan sakit : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Anemia : (-)
 Sianosis : (-)
 Dyspnoe/orthopnea : (-)
 Oedema : (-)
 Dehidrasi : (-)
 Keadaan gizi : baik
 Kebersihan : cukup
 Cara berjalan : sesuai
 Cara berbaring/ morbiditas : sesuai
 Umur menurut dugaan pemeriksa : sesuai usia
 Nadi/pulse rate
 Frekuensi : 105 x /menit
 Irama : regular
 Isi : tegangan cukup
 Pernafasan
 Frekuensi : 22x/menit
 Irama : regular
 Tipe : thoracal
 Temperatur : 38,0OC
 Tekanan darah : 120/90 mmHg
19

Kulit
 Warna : sawo matang
 Efloresensi : (-)
 Pigmentasi : (-)
 Jaringan parut : (-)
 Turgor : kembali cepat
 Keringat : normal
 Pertumbuhan rambut : normal, tidak mudah dicabut
 Lapisan lemak : cukup
 Icterus : (-)
 Lembab/kering : lembab

Kelenjar getah bening


 Submandibula : pembesaran (-)
 Leher : pembesaran (-)
 Subclavicula : pembesaran (-)
 Axilla : pembesaran (-)
 Anal : pembesaran (-)
 Ingunal : pembesaran (-)

Pemeriksaan organ
1. Kepala
Bentuk : normocephali deformitas : (-/-)
Ekspresi : wajar perdarahan temporal : (-/-)
Simetri muka : simetris nyeri tekan : (-/-)
Rambut : tidak mudah dicabut bsising : (-/-)

2. Mata
Exophtalmus : (-/-) sclera : icteric (-/-)
20

Enopthalmus : (-/-) cornea : jernih


Kelopak : (-/-) pupil : isokor
Conjungtiva : anemis (-/-) visus : terbatas (-/-)
Palpebra : edema (-/-) gerakan : terbatas (-/-)
Bulbi : anemis (-/-) lap. Pandang : terbatas (-/-)

3. Telinga
Lubang : lapang tophi : (-/-)
Selaput : (-/-) nyeri tekan : (-/-)
Pendengaran : baik promastoideus : (-/-)

4. Hidung
Bagian luar : sianosis (-/-) ingus : (-/-)
Septum : deviasi (-/-) penyumbatan : (-/-)
Selaput lendir : baik perdarahan : (-/-)

5. Mulut
Bibir : sianosis (-/-) selaput lendir : (-)
Gigi-geligi : (-/-) pharynx : hiperemis (-)
Gusi : berdarah (-/-) tonsil : T1-T1
Lidah : kotor (-/-) bau nafas : (-)

6. Leher
Kel.getah bening:pembesara (-) tekanan vena : JVP 5-2 cm H2O
Kel. Gondok : pembesaran (-) kaku kuduk : (-)
Trachea : pembesaran (-) tremor : (-)

7. Dada
Bentuk : simetris nyeri tekan : (-)
Pembuluh darah: spidernevi, venektasi (-) nyeri ketok : (-)
Buah dada : normal krepitasi : (-)
21

8. Paru-paru
Depan
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan dan kiri Stem fremitus kanan dan
simetris kiri simetris
Perkusi Sonor pada semua lapang Sonor pada semua lapang
paru kanan dan kiri paru kanan dan kiri
Auskultasi Vesikuler (+/+) normal, Vesikuler (+/+) normal,
ronchi (-/-), wheezing (-/-) ronchi (-/-), wheezing (-/-)

9. Jantung
Pemeriksaan Interpretasi
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi  Batas jantung kanan atas ics ii linea parasternalis
dextra
 Batas jantung kanan bawah ics iv linea parasternalis
dextra
 Batas jantung kiri atas ics ii parasternalis sinistra
 Batas jantung kiri bawah ics iv medio clavicularis
sinsitra
Auskultasi Bj i/ii (+) normal, murmur (-), gallop (-)

10. Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), masa (-), spider nevi (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Palpasi : defans muscular (+) dikuadran kanan bawah,massa (-),
Mc. Burney sign (+), rovsing sign (+),
psoas sign (+), obturator sign (+)
22

Perkusi : Tympani, ascities (-), shifting dullness (-)


Hati : tidak teraba
Limfa : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba, ballotment (-/-), nyeri ketok cva (-/-)

11. Ekstremitas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Lengan
 Tonus Eutoni Eutoni
 Gerakan Terbatas Terbatas
 Kekuatan 5 5

 Otot Atropi (-) Atropi (-)

 Sendi Deformitas (-) Deformitas (-)

 Lain-lain - -

Tangan
 Warna telapak Normal Normal
 Kuku Normal Normal
 Tremor Normal Normal

 Ujung jari Normal Normal

 Kelainan jari Normal Normal

 Lain-lain - -

Tungkai dan kaki


 Tonus Eutoni Eutoni
 Gerakan Bebas Bebas
 Kekuatan 5 5

 Otot Atropi(-) Atropi(-)

 Sendi Deformitas (-) Deformitas (-)

 Varises - -
- -
 Parut
- -
 Luka
23

 Edema (-) (-)

Refleks
 Biceps Normal Normal
 Triceps Normal Normal
 Patella Normal Normal

 Achilles Normal Normal

 Cremaster Normal Normal

 Babynski Normal Normal


Normal Normal
 Kernig

Genitalia eksterna : tidak diperiksa

3.4. Pemeriksaan penunjang


Skor Alvarado
Manifestasi Nilai
Gejala Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual dan/atau muntah 1
Tanda Nyeri tekan kuadran kanan bawah 2
Nyeri tekan lepas 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Lab Leukositosis 2
Hitung leukosit  terdapat pergeseran 1
kekiri (neutrofil > 75%)
10
Interpretasi :
Skor 9-10 terdapat appendisitis dan harus dilakukan operasi
24

Skor 7-8  kemungkinan besar terdapat appendisitis


Skor 5-6  compatible

Tabel 1. Hasil laboratorium


Hasil pemeriksaan Nilai normal Interpretasi
Hemoglobin 12,6 g/dl L : 14-16 g/dl Normal
P : 12-14 g/dl
Leukosit 20.500 /ul 5.000-10.000/ul Leukositosis
150.000-450.000/ul Normal
Trombosit 400.000/ul
Hematokrit 37% L : 40-48% Normal
P : 37-43%
Diff. Count 0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8 Shift to the left
0,1/0,1/0/89/4,5/6,3

3.5. Diagnosis banding


 Peritonitis ec susp. appendicitis akut perforasi
 Peritonitis ec perforasi gaster
 Peritonitis ec gastoenteritis

3.6. Diagnosis kerja


 Peritonitis ec susp. appendicitis perforasi

3.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan non farmakologi:
1) Preventif
Merubah gaya hidup dengan mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung serat seperti sayur dan buah-buahan
25

2) Kuratif:
a) Non medikamentosa
Pre-Operatif
1) Bedrest.
2) Monitor tanda kegawatan
3) Pasien dengan apendisitis sebaiknya tidak diberikan
apapun melalui mulut
4) Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika
ada dehidrasi
5) Pemasangan pipa nasogastrik untuk mengosongkan
lambung agar mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah
Operatif: Laparotomi Appendiktomi
Post-Operatif
1) Observasi Tanda Vital
2) Puasa kurang lebih 12 jam
3) Diet makanan saring, makanan lunak, makanan biasa

b) Medikamentosa
1) Pemberian antibiotik kombinasi spectrum luas untuk
profilaksis, Ceftriaxone 2x1g (IV) dan inf.
metronidazole 3x500mg (IV)
2) IVFD RL gtt 20 x/menit
3) Konsul Dokter Spesialis Bedah untuk Rencana
pembedahan (laparotomi appendiktomi)

3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
26

BAB IV
ANALISIS MASALAH

Pasien berinisial M.I datang ke IGD RSUD Bari dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah sejak 5 hari yang lalu.
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di bagian kanan bawah. Nyeri
dirasakan sejak 5 hari SMRS. Nyeri timbul secara tiba-tiba dan kemudian
menetap. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati,
kemudian berpindah di perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terutama saat berjalan
dan batuk. Nyeri terjadi terus menerus dan semakin lama semakin memberat.
Pasien juga mengeluh mual, muntah, perut terasa kembung, dan nafsu makan
menurun. Pasien mengalami demam. Demam dirasakan terus menerus sepanjang
hari. BAB cair frekuensi >3x tidak bercampur darah dan lendir. BAK (+) normal,
flatus (+).
Kemudian dari hasil pemeriksaan fisik KU : tampak sakit sedang, TD :
120/90 mmHg, Nadi : 105 x/m, Pernafasan 22x/m, Temperatur : 38,00C.
Pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi : cembung, lemas, palpasi : nyeri tekan
perut kanan bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg Sign (+) Distensi (+), Perkusi
: Timpani (+), Auskultasi : bising usus menurun. Alvarado Skor didaptkan 10.
Leukosit : 20.500
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan bahwa diagnosis pasien ini
sudah tepat, dari gejala yang telah didapatkan sesuai meteri gejala klasik
apendisitis ialah nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan
ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah kekanan bawah ke titik
mcburney. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Dari pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa
telah terjadi peritonitis yang disebabkan oleh perforasi apendisitis. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, pada kasus ini sudah
terjadi sedikit peningkatan leukosit yaitu 19.700 /ul. Jika leukosit lebih tinggi
biasanya dicurigai telah terjadi perforasi
27

Pada palpasi,didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut kanan
bawah yang disebut tanda rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal,
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih sering dilakukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan. Kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang
meradang kemudian menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks
yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil.
Penatalaksanaan yang diberikan terapi pembedahan. Bedasarkan teori
yang telah ada bahwa penatalaksanaan sudah tepat. Bila diagnosis klinis sudah
jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah
apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan
antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
Pengobatan pada kasus Appendicitis yang telah berkembang menjadi
peritonitis adalah pertama dengan memperbaiki keadaan umum yaitu penggantian
cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, dekompresi dengan
pemasangan NGT dan katheter untuk menilai balance cairan, pemberian antibiotik
untuk kuman aerob dan anaerob, dan dilakukan laparatomi segera untuk
mencegah terjadinya sepsis.
Prognosis quo ad vitam dan quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena
dengan diagnosis yang akurat dan penanganan yang cepat, tingkat morbiditas dan
mortalitas penyakit ini kecil.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, R et al. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC.

2. Snell, Richard S. 2012. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed


6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Prince, A Sylvia, Wilson, Lorraine M. 2006.Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit, Ed 6, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

4. Depkes RI., 2013 , Angka Kejadian Gawat Abdomen


http://www.infokedokteran.com/arsip/angka -kejadian-peritonitis-di-
dunia.html

5. Runyon B. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis. In: Feldman


M, Friedman LS, Sleisenger MH, eds. Sleisenger & Fordtran's
Gastrointestinal and Liver Disease . Vol 2. 8th ed. Philadelphia, Pa:
Saunders; 2004:1935 -64.

6. Lata J, Stiburek O, Kopacova M. Spontaneous bacterial peritonitis: a


severe complication of liver cirrhosis. World J Gastroenterol. Nov 28
2009;15(44):5505 -10.

7. Schrock. T. R., 2008, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu


Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

8. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 200 9, Peritonitis dan


Abces Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6,
alih bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai