PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.3 Epidemologi
Insidens appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada dinegara
berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apedisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang
dari satu tahun jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-
30 tahun, setelah itu menurun. Insiden pada laki-laki dan perempuan
umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, ketika insidens pada
lelaki lebih tinggi.1
2.4 Etiologi
Apensiditis akut merupakan infeksi bakteri. Berbagai hal berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor
yang diajukan sebagai faktor pencetus. Di samping hiperplasi jaringan limf
fekalit, tumor apindeks, dan cacing askaris dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.hilolytica.1,3
Penetiaan epidemologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh kontipasi terhadap timbulnya apensisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulya
sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora
kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.
4
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik 1,4
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik mc.burney. Nyeri dirasakan
lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan
terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat
terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum
d. Apendisitis infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum
sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu
dengan yang lainnya.1
e. Apendisitis abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah
(pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal,
subsekal dan pelvikal
f. Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren
yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi
peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi
dikelilingi oleh jaringan nekrotik
2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik
6
2.6 Patologi
Patologi apendisitis dapat dimulai dimukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Upaya
perthanan tubuh berusaha membatasan proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus,atau adneksa sehingga terbentuk
masa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat
apendiks. Didalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan masa periapendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya
akan mengurai diri secara lambat.
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
mengalami eksaserbasi akut.4
Nyeri tekan
Nyeri lepas
Defans muskuler
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(bumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti nafas dalam
berjalan, batuk, mengedan.
2.8 Pemeriksaan
Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5 -38,5 C. Bila suhu
lebih tinggi mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu
aksilar dan rektal sampai 1 C. Pada inspeksiperut, tidak ditemukan gambaran
spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikuler.
Pada palpasi,didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan,
bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut
9
kanan bawah yang disebut tanda rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal, diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.1
Karena terjadi pergeseran sekum ke kraniolateraldorsal oleh uterus,
keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester ii dan iii akan
bergeser kekanan sampai ke pinggang kanan. Tanda pada kehamilan trimester
I tidak berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan
apakah keluhan nyeri berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring
ke kiri, nyeri akan berpindah sesuai dengan pergeseran uterus, terbukti proses
bukan berasal dari apendiks. Peristalsis usus sering normal tetapi juga dapat
menghilang akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang
disebabkan oleh apendisitis perforata. 1
Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat
dicapa dengan jari telunjuk misalnya pada apendisitis pelvika. Pada
apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Pemeriksaan uji psoas
dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih sering dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot
psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul
kanan. Kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang
kemudian menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Derakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika.
2.9 Diagnosis
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis
klinis apendisitis akut masih mungkin salag pada sekiat 15-20 % kasus.
Kesalahan didiagnosis lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
dengan laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama
10
yang masih muda, sering tombul gangguan yang menyerupai apendisitis akut.
Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang
dipelvis atau penyakit ginekologik lain.
Untuk menurunkan angka kesalahan diagosis apendisitis akut, hila
diagnosis meragukan, sebaiknya penderita diobservasi dirumah sakit dengan
frekuensi setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dipercaya. Ultrasonografi dapat
meningkatka n akurasi diagnosis. Demikian pula laparoskopi pada kasus yang
meragukan.1
2.11 Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan
satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah
sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi.
Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh ahli
bedah. Pada penderita yang didiagosisnya tidak jelas, sebaiknya dilakukan
observasi terlebih dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi dapat
dilakukan observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi,
tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera
menentukan akan dilakukan operasi atau tidak.1
2.12 Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
12
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess:
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau
usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
2.13 Prognosis
Kematian dari appendisitis di amerika serikat telah terus menurun dari
tingkat 9,9 per 100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada
1986. Diantara faktor-faktor yang bertanggung jawab adalah kemajuan
dalam anestesi, antibiotik, cairan intravena, dan produk darah. Faktor utama
dalam kematian adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah dan
usia pasien. Angka kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah
0,06%. Angka kematian keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah
sekitar 3%-peningkatan 50 kali lipat. Tingkat kematian appendisitis
perforasi pada orang tua adalah sekitar 15% peningkatan lima kali lipat dari
tingkatkeseluruhan.5
2.14 Peritonitis
Peritonitis merupakan respon inflamasi atau supurasi di daerah
peritoneal akibat iritasi secara langsung pada peritoneum. Peritonitis bisa
muncul setelah perforasi, inflamasi, infeksi, atau luka iskemik dari sistem
13
Klasifikasi Peritonitis
A. Primary peritonitis
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi bakteri akut
pada cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari
translokasi bakteri di dinding usus atau saluran limfatik mesenterika
dan, lebih jarang, melalui paparan hematogen di hadapan bakteremia.
SBP dapat terjadi sebagai komplikasi dari setiap keadaan penyakit yang
menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal jantung dan sindrom
Budd -Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau lupus eritematosus
sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP. Risiko
tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan
dekompensasi.5
Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan
rendahnya kadar komplemen merupa kan faktor resiko yang tinggi
dalam kejadian peritonitis. Pasien dengan kadar protein rendah dalam
cairan asites (<1 g / dL) memiliki risiko 10 kali lipat lebih tinggi
14
B. Secondary peritonitis
Peritonitis sekunder (SP) terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus
lambung dan duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan
diverculitis, volvulus, kanker dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis
juga dapat dikaitkan dengan peritonitis dalam kasus infeksi pada
jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat dalam SP saluran pencernaan
proksimal berbeda dengan saluran pencernaan distal. Organisme Gram-
positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian atas, dengan
pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam saluran GI atas pada
pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari
usus kecil distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan
pelepasan beberapa ratus spesies bakteri (dan jamur), respon imun tubuh
dengan cepat menghilangkan sebagian besar organisme ini. Hasil
pemeriksaan bakteri peritonitis hampir selalu polymicrobial, berisi
campuran bakteri aerobik dan anaerobik dengan dominasi organisme
gram negatif. Pada banyak pasien, tanda dan gejala klinis saja tidak
sensitif atau cukup spesifik untuk andal membedakan antara 2 entitas.
Sejarah menyeluruh, evaluasi dari cairan peritoneal, dan tes diagnostik
tambahan diperlukan untuk melakukannya, indeks kecurigaan yang
tinggi diperlukan7
C. Tertiary peritonitis
Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada
orang dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang
signifikan. Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa
15
D. Peritonitis kimia
Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium,
atau bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral
(misalnya, Crohn’s disease) tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal.
Tanda dan gejala klinis bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal,
dan pendekatan diagnostik dan terapeutik harus sama.6
E. Abses peritoneal
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang
terinfeksi dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan / atau
organ viseral yang berdekatan. Mayoritas abses terjadi setelah SP.
Pembentukan abses dapat merupakan komplikasi operasi. Insiden
pembentukan abses setelah operasi perut kurang dari 1-2%, bahkan
ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi akut. Risiko abses
meningkat menjadi 10-30% pada kasus perforasi pra operasi dari organ
berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal,
iskemia usus, diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan
kebutuhan untuk operasi kembali, serta pengaturan imunosupresi.
Pembentukan abses adalah penyebab utama infeksi persisten dan
pengembangan peritonitis tersier.8
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Identifikasi
Identitas pasien
Nama : M. Ilham bin Saifudin
TTL / usia : Tanjung Batu, 04-09-2004 (14 tahun)
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Lintas Kayu Agung-Indralaya, Kec. Payaraman
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Islam
MRS : 18 Septermber 2018
No. RM : 56-23-89
Kulit
Warna : sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : kembali cepat
Keringat : normal
Pertumbuhan rambut : normal, tidak mudah dicabut
Lapisan lemak : cukup
Icterus : (-)
Lembab/kering : lembab
Pemeriksaan organ
1. Kepala
Bentuk : normocephali deformitas : (-/-)
Ekspresi : wajar perdarahan temporal : (-/-)
Simetri muka : simetris nyeri tekan : (-/-)
Rambut : tidak mudah dicabut bsising : (-/-)
2. Mata
Exophtalmus : (-/-) sclera : icteric (-/-)
20
3. Telinga
Lubang : lapang tophi : (-/-)
Selaput : (-/-) nyeri tekan : (-/-)
Pendengaran : baik promastoideus : (-/-)
4. Hidung
Bagian luar : sianosis (-/-) ingus : (-/-)
Septum : deviasi (-/-) penyumbatan : (-/-)
Selaput lendir : baik perdarahan : (-/-)
5. Mulut
Bibir : sianosis (-/-) selaput lendir : (-)
Gigi-geligi : (-/-) pharynx : hiperemis (-)
Gusi : berdarah (-/-) tonsil : T1-T1
Lidah : kotor (-/-) bau nafas : (-)
6. Leher
Kel.getah bening:pembesara (-) tekanan vena : JVP 5-2 cm H2O
Kel. Gondok : pembesaran (-) kaku kuduk : (-)
Trachea : pembesaran (-) tremor : (-)
7. Dada
Bentuk : simetris nyeri tekan : (-)
Pembuluh darah: spidernevi, venektasi (-) nyeri ketok : (-)
Buah dada : normal krepitasi : (-)
21
8. Paru-paru
Depan
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Palpasi Stem fremitus kanan dan kiri Stem fremitus kanan dan
simetris kiri simetris
Perkusi Sonor pada semua lapang Sonor pada semua lapang
paru kanan dan kiri paru kanan dan kiri
Auskultasi Vesikuler (+/+) normal, Vesikuler (+/+) normal,
ronchi (-/-), wheezing (-/-) ronchi (-/-), wheezing (-/-)
9. Jantung
Pemeriksaan Interpretasi
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
Perkusi Batas jantung kanan atas ics ii linea parasternalis
dextra
Batas jantung kanan bawah ics iv linea parasternalis
dextra
Batas jantung kiri atas ics ii parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah ics iv medio clavicularis
sinsitra
Auskultasi Bj i/ii (+) normal, murmur (-), gallop (-)
10. Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), masa (-), spider nevi (-)
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Palpasi : defans muscular (+) dikuadran kanan bawah,massa (-),
Mc. Burney sign (+), rovsing sign (+),
psoas sign (+), obturator sign (+)
22
11. Ekstremitas
Pemeriksaan Kanan Kiri
Lengan
Tonus Eutoni Eutoni
Gerakan Terbatas Terbatas
Kekuatan 5 5
Lain-lain - -
Tangan
Warna telapak Normal Normal
Kuku Normal Normal
Tremor Normal Normal
Lain-lain - -
Varises - -
- -
Parut
- -
Luka
23
Refleks
Biceps Normal Normal
Triceps Normal Normal
Patella Normal Normal
3.7. Tatalaksana
Penatalaksanaan non farmakologi:
1) Preventif
Merubah gaya hidup dengan mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung serat seperti sayur dan buah-buahan
25
2) Kuratif:
a) Non medikamentosa
Pre-Operatif
1) Bedrest.
2) Monitor tanda kegawatan
3) Pasien dengan apendisitis sebaiknya tidak diberikan
apapun melalui mulut
4) Penderita perlu cairan intravena untuk mengoreksi jika
ada dehidrasi
5) Pemasangan pipa nasogastrik untuk mengosongkan
lambung agar mengurangi distensi abdomen dan
mencegah muntah
Operatif: Laparotomi Appendiktomi
Post-Operatif
1) Observasi Tanda Vital
2) Puasa kurang lebih 12 jam
3) Diet makanan saring, makanan lunak, makanan biasa
b) Medikamentosa
1) Pemberian antibiotik kombinasi spectrum luas untuk
profilaksis, Ceftriaxone 2x1g (IV) dan inf.
metronidazole 3x500mg (IV)
2) IVFD RL gtt 20 x/menit
3) Konsul Dokter Spesialis Bedah untuk Rencana
pembedahan (laparotomi appendiktomi)
3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
26
BAB IV
ANALISIS MASALAH
Pasien berinisial M.I datang ke IGD RSUD Bari dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah sejak 5 hari yang lalu.
Pasien datang dengan keluhan nyeri perut di bagian kanan bawah. Nyeri
dirasakan sejak 5 hari SMRS. Nyeri timbul secara tiba-tiba dan kemudian
menetap. Nyeri seperti ditusuk-tusuk, Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati,
kemudian berpindah di perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terutama saat berjalan
dan batuk. Nyeri terjadi terus menerus dan semakin lama semakin memberat.
Pasien juga mengeluh mual, muntah, perut terasa kembung, dan nafsu makan
menurun. Pasien mengalami demam. Demam dirasakan terus menerus sepanjang
hari. BAB cair frekuensi >3x tidak bercampur darah dan lendir. BAK (+) normal,
flatus (+).
Kemudian dari hasil pemeriksaan fisik KU : tampak sakit sedang, TD :
120/90 mmHg, Nadi : 105 x/m, Pernafasan 22x/m, Temperatur : 38,00C.
Pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi : cembung, lemas, palpasi : nyeri tekan
perut kanan bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg Sign (+) Distensi (+), Perkusi
: Timpani (+), Auskultasi : bising usus menurun. Alvarado Skor didaptkan 10.
Leukosit : 20.500
Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan bahwa diagnosis pasien ini
sudah tepat, dari gejala yang telah didapatkan sesuai meteri gejala klasik
apendisitis ialah nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan
ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya, nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam, nyeri akan berpindah kekanan bawah ke titik
mcburney. Disini, nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Dari pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa
telah terjadi peritonitis yang disebabkan oleh perforasi apendisitis. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis, pada kasus ini sudah
terjadi sedikit peningkatan leukosit yaitu 19.700 /ul. Jika leukosit lebih tinggi
biasanya dicurigai telah terjadi perforasi
27
Pada palpasi,didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri diperut kanan
bawah yang disebut tanda rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau retroileal,
diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang
lebih sering dilakukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan. Kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang
meradang kemudian menempel di otot psoas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat bilamana apendiks
yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang merupakan
dinding panggul kecil.
Penatalaksanaan yang diberikan terapi pembedahan. Bedasarkan teori
yang telah ada bahwa penatalaksanaan sudah tepat. Bila diagnosis klinis sudah
jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah
apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan
antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata.
Pengobatan pada kasus Appendicitis yang telah berkembang menjadi
peritonitis adalah pertama dengan memperbaiki keadaan umum yaitu penggantian
cairan dan elektrolit yang hilang secara intravena, dekompresi dengan
pemasangan NGT dan katheter untuk menilai balance cairan, pemberian antibiotik
untuk kuman aerob dan anaerob, dan dilakukan laparatomi segera untuk
mencegah terjadinya sepsis.
Prognosis quo ad vitam dan quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena
dengan diagnosis yang akurat dan penanganan yang cepat, tingkat morbiditas dan
mortalitas penyakit ini kecil.
28
DAFTAR PUSTAKA