1. DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan
ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbiohidrat, lemak, dan protein,
mengarah ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2009). Diabetes Militus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa
hilangnya toleransi karbohidrat (Price & Wilson, 2012). Menurut Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (2015), diabetes mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik,
ditandai dengan hiperglikemia, yang diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau keduanya. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diabetes
mellitus merupakan penyakit kronik yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat
yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) karena
ketidakefektifan insulin.
Tipe II: Diabetes mellitus - Terjadi di segala usia, biasanya > 30 tahun
tidak tergantung - Seringkali berhubungan dengan obesitas
insulin (Non Insulin - Etiologi: faktor obesitas, herediter, dan lingkungan
Dependent Diabetes - Produksi insulin menurun
Mellitus/NIDDM) - Insulin tidak mutlak diperlukan
- Jarang mengalami ketoasidosis kecuali dalam keadaan stres atau menderita infeksi
Gestasional Diabetes - Terjadi selama kehamilan, biasanya trimester kedua atau ketiga, bersifat sementara
Mellitus/GDM
4. ETIOLOGI DIABETES MELLITUS
a. Diabetes Mellitus Tipe I (IDDM)
DM tipe I ditandai dengan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans (pankreas) yang
mengakibatkan defisiensi insulin absolut. DM tipe 2 dapat disebabkan oleh:
- Faktor genetik
Individu yang peka secara genetik memberikan respon terhadap kejadian pemicu yang
diduga berupa infeksi virus dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel β yang
mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin (Price & Wilson, 1995). Seseorang yang
mempunyai kecenderungan genetic untuk terjadinya diabetes mellitus dimana
ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen)
tertentu yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya.
- Faktor imunologi
Terjadi respon imun dimana merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap
seolah olah jaringan asing (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010). Autoantibody
terhadap sel-sel langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat
diagnosis dibuat dan bahkan beberapa tahan sebelum timbulnya tanda-tanda klinis
diabetes tipe 1.
- Faktor lingkungan
Hasil dari penelitian bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun
yang dapat menimbulkan dekstruksi sel beta.
6. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis DM dikaitakan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin.
Pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa
plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa plasma sesudah makan karbohidrat.
Adapun gejala klinisnya adalah (Black & Hawks, 2009):
a. Poliuri (peningkatan frekuensi BAK)
Poliuri merupakan gejala awal diabetes berhubungan dengan efek langsung dari kadar
gula darah yang tinggi. Glukosa merupakan zat penting yang tidak ikut difiltrasi ke
dalam urine. Saat hiperglikemia, dimana kadar gula darah mencapai > 200 mg/dl,
ginjal tidak mampu lagi menahan glukosa karena ambang batas filtrasi ginjal terhadap
glukosa adalah 180 mg/dl, sehingga glukosa akan terfiltrasi masuk ke dalam nefron
dan keluar bersama urine. Glukosa akhirnya masuk ke tubulus yang dalam keadaan
normal akan mereabsorpsi air ke pembuluh darah. Pada hiperglikemia konsentrasi
cairan di tubulus lebih tinggi dibandingkan sel-sel tubuh lain karena cairan di tubulus
menjadi lebih pekat sehingga reabsorpsi menurun yang mengakibatkan produksi urine
meningkat, maka penderita sering berkemih dalam jumlah banyak (poliuri). Proses
tersebut disebut osmotic diuresis, yaitu peningkatan volume urine karena peningkatan
osmotik.
b. Polidipsi (peningkatan rasa haus)
Polidipsi atau rasa haus timbul akibat peningkatan pengeluaran urine.
c. Polifagi (peningkatan rasa lapar)
Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami mengalami
keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin
membesar timbul akibat kehilangan kalori dan kelaparan sekunder terhadap
katabolisme jaringan.
d. Penurunan berat badan
Kehilangan awal sekunder terhadap penipisan simpanan air, glukosa, dan trigliserid,
kehilangan kronis sekunder terhadap penurunan masa otot karena asam amino
dialihkan untuk membentuk glukosa dan keton.
e. Pandangan kabur berulang
Efek sekunder dari paparan kronis retina dan lensa mata terhadap cairan hiperosmolar
f. Pruritus, infeksi kulit, vaginitis: akibat infeksi jamur dan bakteri pada kulit
g. Ketonuria
Saat glukosa tidak dapat digunakan sebagai energi oleh sel tergantung insulin, asam
lemak digunakan untuk energi; asam lemak dipecah menjadi keton dalam darah dan
diekskresikan oleh ginjal. Pada DM tipe 2, insulin cukup untuk menekan berlebihan
penggunaan asam lemak tapi tidak cukup untuk penggunaan glukosa.
h. Lemah, letih, pusing
Penurunan isi plasma mengarah kepada postural hipertensi, kehilangan kalium dan
katabolisme protein berkontribusi terhadap kelemahan.
i. Sering asimtomatik
Tubuh dapat beradaptasi terhadap peningkatan kadar glukosa darah secara perlahan
sampai tingkat lebih besar dibandingkan peningkatan yang cepat.
7. KOMPLIKASI
Komplikasi Akut
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada DM tipe 1 atau 2 apabila kadar glukosa darah turun di
bawah 50-60 mg/dl akibat pemberian insulin atau preparat oral yang berlebihan,
konsumsi makanan yang terlalu sedikit, makan yang tidak tepat, atau karena aktivitas
fisik yang berat. Berikut jenis hipoglikemia serta gejala yang menyertainya:
- Hipoglikemi ringan, gejala yang muncul seperti perspirasi, tremor, takikardi,
palpitasi, kegelisahan, berkeringat, dan rasa lapar.
- Hipoglikemi sedang, gejala yang muncul seperti ketidakmampuan berkonsentrasi,
sakit kepala, vertigo, mengantuk, lemah, konfusi, penurunan daya ingat, baal di
daerah bibir dan lidah, bicara pelo, gerakan tak terkoordinasi, perubahan
emosional, perilaku tidak rasional, penglihatan ganda, perasaan ingin pingsan.
- Hipoglikemia berat, gejala yang muncul seperti disorientasi, serangan kejang, sulit
dibangunkan dari tidur, dan kehilangan kesadaran.
b. Ketoasidosis diabetik
Terjadi biasanya pada DM tipe 1, mungkin juga pada DM tipe 2 yang disebabkan
oleh tidak adanya insulin atau jumlah insulin yang tidak mencukupi. Gambaran klinis
yang penting pada ketoasidosis diabetik adalah dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan
asidosis. Gejala klinis lain dari ketoasidosis diabetik diantaranya kulit hangat /
kering, tampak kemerahan, membaran mukosa kering, hipotonia bulbi, napas
kussmaul atau takipnea, nyeri perut, kelemahan, kesadaran terganggu, hipotensi,
takikardia, napas berbau aseton, kehilangan BB akut (anoreksia), polidipsi, poliuria
(awal), oliguri/anuria (akhir). Faktor yang mempercepat terjadinya ketoasidosis
diabetikum diantaranya diabetes yang tak terdiagnosis, lupa dosis
insulin/penggunaan insulin tidak teratur, pubertas, infeksi, gangguan pembuluh
jantung, stress emosional atau fisik, seperti kehamilan dan pembedahan, serta
trauma.
c. HHNS (hyperglycemic hyperosmolar nonketotic syndrome)
Terjadi pada DM tipe 2. Gejala klinisnya sama seperti KAD, kecuali napas kussmaul
dan napas aseton biasanya tidak ada. Perubahan tingkat kesadaran, dehidrasi berat,
mual muntah tidak ada, takipnea, dan napas dangkal. Factor yang mempercepat
terjadinya HHNS diabetes tidak terdiagnosis, infeksi atau stress lain, pengobatan,
dialysis, perdarahan GI, hiperalimentasi, infark miokard, pancreatitis akut, gangguan
system saraf pusat, rehidrasi luka bakar mayor dengan volume tinggi glukosa.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Kadar Glukosa Darah Puasa
Diagnosis DM dibuat ketika kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl (Black & Hawks,
2009). Nilai antara 110-125 mg/dl mengindikasikan intoleransi glukosa puasa,
pengukuran kadar glukosa darah puasa memberikan indikasi paling baik dari keseluruhan
homeostasis glukosa dan metode terpilih untuk mendiagnosis DM.
b. Kadar Glukosa Darah Sewaktu
Klien mungkin juga didiagnosis DM berdasarkan manifestasi klinis dan kadar glukosa
darah sewaktu > 200 mg/dl (Black & Hawks, 2009). Sampel glukosa darah sewaktu-
waktu tanpa puasa. Peningkatan kadar glukosa darah mungkin terjadi setelah makan,
situasi penuh stress, dan dalam sampel yang diambil.
c. Kadar Glukosa Darah setelah Makan
Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl selama tes toleransi glukosa oral
(OGTT) memperkuat diagnosis DM (Black & Hawks, 2009). Pada lansia kadar glukosa
setelah makan lebih tinggi secara spesifik meningkat 5-10 mg/dl per dekade setelah usia
50 tahun karena penurunan normal toleransi glukosa berhubungan dengan usia. Merokok
dan minum kopi dapat mengarah kepada peningkatan nilai palsu saat 2 jam sedangkan
stress olahraga dapat mengarah pada penurunan nilai palsu.
d. Uji Laboratorium terkait Diabetes Mellitus
1) Kadar Hemoglobin Glikosilase
Glukosa secara normal melekat dengan sendirinya pada molekul hemoglobin pada sel
darah merah. Sekali melekat, glukosa ini tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu lebih
tinggi kadar glukosa darah, kadar hemoglobin glikosilat juga lebih tinggi (HbA1c).
Batasan HbA1c dirujuk sebagai A1c. A1c adalah kadar glukosa darah yang diukur
lebih dari 3 bulan sebelumnya. A1c dinyatakan dalam presentase dan bermanfaat
dalam mengevaluasi pengendalian glikemi jangka panjang. Untuk menghindari
komplikasi terkait diabetes, ADA merekomendasikan A1c dibawah 7%.
ADA merekomendasikan bahwa tes A1c dilakukan secara rutin pada semua orang
dengan DM, yang seharusnya dilakukan setiap 6 bulan pada klien yang telah
memenuhi target primer pengendalian glikemik (<7%), dan tiap 3 bulan bagi klien
yang belum mencapai target primer pengendalian glikemik. Kondisi-kondisi yang
meningkatkan pergantian eritrosit seperti perdarahan, kehamilan, atau asplenia (tidak
memiliki lien seperti setelah splenektomi) mengarah kepada konsentrasi A1C rendah
palsu. Dosis tinggi aspirin, alcohol, terapi heparin dapat menyebabkan peningkatan
kadar A1C palsu.
2) Kadar Albumin Glikosilase
Glukosa juga melekat pada protein, albumin secara primer. Kosentrasi albumin
glikosilat (fruktosamin) mencerminkan kadar glukosa darah rata-rata lebih dari 7-10
hari sebelumnya. Pengukuran ini bermanfaat ketika penentuan glukosa darah rata-rata
jangka pendek diperlukan aplikasi klinis dan reliabilitas secara terus menerus dapat
dievaluasi.
3) Kadar Connecting Peptide (C-Peptide)
Ketika proinsulin diproduksi oleh sel beta pancreas sebagian dipecah oleh enzim, 2
produk terbentuk, insulin, dan connecting peptide, umumnya disebut C-Peptide. Oleh
karena C-Peptide dan insulin dibentuk dalam jumlah yang sama, pemeriksaan ini
mengindikasikan jumlah produksi insulin endogen. Klien dengan DM tipe 1 biasanya
memiliki kosentrasi C-Peptide rendah atau tidak ada. Klien dengan DM tipe 2
cenderung memiliki kadar normal atau peningkatan C-Peptide.
4) Ketonuria
Adanya keton dalam urine mengindikasikan bahwa tubuh memakai lemak sebagai
sumber utama energy, yang mungkin mengakibatkan ketoasidosis. Hasil pemeriksaan
yang menunjukkan perubahan warna mengindikasikan adanya keton. Semua klien
dengan DM seharusnya memeriksakan keton dalam urine selama mengalami sakit
akut atau stress, ketika kadar glukosa darah naik (240 mg/dl) dan ketika hamil
memiliki bukti ketoasidosis (missal mual, muntah, atau nyeri perut).
5) Proteinuria
Mikroalbuminuria mengukur jumlah protein di dalam urine secara mikroskopis.
Adanya mikroalbuminuria dalam urine adalah gejala awal dari penyakit ginjal.
Pemeriksaan urine untuk mikroalbuminuria menunjukkan nefropati awal.
10. PENATALAKSANAAN
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan DM yang bertujuan untuk mencapai kadar
glukosa darah normal tanpa terjadinya hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktifitas
pasien, yaitu (Smeltzer, Burke, Hinkle, & Cheever, 2010):
a. Pendidikan kesehatan DM (Edukasi)
Pasien selain harus memiliki kemampuan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna
menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah mendadak, juga harus memiliki
perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetes jangka
panjang.
b. Pengaturan aktivitas
Aktivitas dapat menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan
glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin serta mengurangi faktor risiko
kardiovaskuler dengan mengubah kadar lemak darah.
c. Pengaturan nutrisi (Diet DM)
- Memberikan semua unsur makanan esensial
- Mencapai dan mempertahankan BB yang sesuai
- Memenuhi kebutuhan energi
- Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap hari
- Menurunkan kadar lemak darah jika meningkat
d. Obat oral antihipertensi.
e. Insulin
Pada DM tipe I tubuh kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin sehingga insulin
eksogenus harus diberikan. Sedangkan pada DM tipe II, insulin mungkin diperlukan untuk
terapi jangka panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemia oral tidak mampu mengontrolnya. Preparat insulin digolongkan menurut 4
karakteristik:
a. Perjalanan waktu (Black & Hawks, 2009)
Lama kerja Agen Awitan Puncak Durasi Indikasi
Quick acting Humalog (insulin lispro) 5-10 1 jam 2-4 jam Biasanya diberikan 10 menit sebelum
Novolog (insulin aspart) menit makan
Short acting Reguler (R) 0.5-1 jam 2-4 jam 4-6jam Biasanya diberikan 20-30menit sebelum
makan, dapat diberikan sendiri atau
bersama dengan insulin long acting
Intermediate Neutral Protamine 2-4 jam 4-10 jam 10-16 jam Biasanya diberikan sesudah makan
acting Hagedorn (NPH)
Lente (L)
Long acting Ultra Lente (UL) 6-10 jam 12-16 jam 10-20 jam Digunakan terutama untuk
mengendalikan kadar glukosa darah
puasa
b. Konsentrasi
Konsentrasi insulin yang paling sering digunakan di Amerika Serikat adalah U-100 yang
berarti terdapat 100 unit insulin per 1 cm3.
c. Spesies (sumber)
Preparat insulin dahulu diperoleh dari pankreas sapi dan babi, namun sekarang telah
tersedia “Human Insulin” yang diproduksi melalui teknologi DNA rekombinan.
d. Lokasi penyuntikan insulin
Pemilihan dan rotasi tempat penyuntikan preparat insulin meliputi 4 daerah utama yaitu:
abdomen, lengan (permukaan posterior), paha (permukaan anterior) dan bokong. Insulin
diabsorpsi paling cepat di abdomen dan menurun secara progresif pada lengan, paha, serta
bokong. Rotasi penyuntikan dilakukan secara sistematis untuk mencegah perubahan
jaringan lemak setempat (lipodistrofi).
Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Risiko ketidakstabilan kadar Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 Manajemen hiperglikemia
glukosa jam status nutrisi pasien normal dengan indikator : 1. Monitor kadar gula darah
Darah - kadar glukosa darah normal 2. Pantau tanda hiperglikemia GDS >300 mg/dl nafas bau aseton, keton
Definisi : Risiko terhadap variasi - tidak ada tanda-tanda hipoglikemi dan hiperglikemia plasma positif, sakit kepala, penglihatan kabur, mual, muntah, letargi,
kadar glukosa/gula darah dari - individu mampu mendemontrasikan cara mecegah hipotensi, takikardi, kusmaull
rentang normal komplikasi akibat hiperglikemia 3. Kolaborasi pemberian insulin
Manajemen hipoglikemia
1. Monitor kadar gula darah
2. Pantau tanda hipoglikemia GDS <60 mg/dl, pucat, gugup, diaofresis,
tremor, menggigil, kedingina, sakit kepala, penglihatan kabur, takikardi
3. Kolaborasi pemberian glukosa
4. Pantau diet pasien dan insulin yang diberikan
Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 Manajemen nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh jam status nutrisi pasien normal dengan indikator : a. Tingkatkan kalori makanan pasien sesuai dengan kebutuhan tubuh
Definisi : Asupan nutrisi tidak - Intake nutrien normal b. Tingkatkan intake protein dan vitamin
cukup untuk memenuhi - Intake makanan dan cairan normal c. Sediakan makanan yang tinggi kalori dan protein
kebutuhan metabolic - Berat badan normal d. Monitor berat badan pasien dalam interval tertentu
- Massa tubuh normal e. Ajarkan kepada pasien mengenai pentingnya mematuhi diet
- Pengukuran biokimia normal f. Jelaskan kepada pasien mengenai kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan
- Kadar gula darah dalam batas normal (gula darah oleh pasien
puasa <120 mg/dl, GDS < 200 mg/dl) g. Monitor intake nutrisi pasien
- Tidak ada tanda-tanda hiperglikemia/hipoglikemia
(pusing, hipotensi ortostastik, keringat dingin) Monitor Nutrisi
1. Monitor adanya penurunan berat badan
2. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakuakan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x24 3. Monitor lingkungan selama makan
jam status nutrisi: intake nutrient pasien adekuat 4. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
dengan indikator : 5. Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
- intake kalori 6. Monitor turgor kulit
- intake protein 7. Monitor kekeringan, rambut kusam, total protein, Hb dan
- intake lemak kadar Ht
- intake karbohidrat 8. Monitor makanan kesukaan
- intake vitamin 9. Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
- intake mineral 10. Monitor kalori dan intake nutrisi
- intake zat besi 11. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas
- intake kalsium oval
Kerusakan Intergritas Kulit Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .......x 24 Skin Surveillance
Definisi: perubahan/gangguan jam integritas kulit kemb ali normal dengan 1. Inspeksi kulit dan membrane dari kemerahan, edema, suhu yang ekstrem,
epidermis dan / dermis indikator: atau drainase.
- Temperature kulit tidak terganggu 2. Observasi ekstremitas untuk warna, panas, keringat, nadi, tekstur,
- Sensasi tidak terganggu edema, dan luka
- Tekstur tidak terganggu 3. Monitor adanya infeksi
- Pigmentasi abnormal tidak ada 4. Monitor kulit adanya rashes dan abrasi
- Lesi kulit tidak ada 5. Monitor warna kulit dan temperatur kulit
- Jaringan scar tidak ada 6. Catat perubahan kulit dan membran mukosa
- Eritema tidak ada Manajemen perawatan luka dan kontrol infeksi
- Scaling kulit tidak ada h. Rawat luka dengan baik dan benar : membersihkan luka secara aseptic,
- Berkurangnya odema sekitar luka menggunakan larutan yang tidak iritatif, angkat sisa balutan yang
- Pus dan jaringan yang mati berkurang menempel pada luka dan nekrotomi jaringan yang mati.
- Adanya jaringan granulasi i. Anjurkan klien untuk melakukan mobilisasi
- Bau busuk pada luka berkurang j. Observasi daerah luka
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M., & Hawks, J.H., (2009). Medical Surgical Nursing Clinical Management for
Positive Outcomes. 8th Edition. St Louis Missouri : Elsevier Saunders.
Bulecheckk, G.M., Butcer, H.K. Dochterman, J.McC., Wagner, C.M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th Ed.). Missouri: Elsevier Mosby
Herdman, T.H., Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions
& Classification 2015–2017(10th Ed.). Oxford: Wiley Blackwell
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M.L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC): Measurement of Health Outcomes (5th Ed.). Missouri: Elsevier
Mosby
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2015). Konsesus pengelolaan dan pencegahan
diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
Price, A., Wilson, L.M. (2012). Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Vol 2
6th ed. Jakarta: EGC
Smeltzer,S.C., Burke,B.G., Hinkle,J.L & Cheever,K.H. (2010). Brunner & Suddarth’s
Textbook of Medical Surgical Nursing. 12th Edition. Philadelphia: Lippincott William
& Wilkins.
Penghancuran sel α & β pankreas
Napas
BB Osmolaritas kadar gula glukoneogenesis asidosis berbau
darah aseton
poliuri
massa tubuh fatigue
polifagi Gangguan
keseimbangan nutrisi
kronik glukosa darah BB : kurang dari
kebutuhan
Risiko Neuropati Small vessel glikoprotein dinding sel
ketidakstabilan kadar diabetik disease
glukosa darah
NIC :
Retinopati diabetik atherosklerosis Kerusakan 1. Managemen
fungsi imun nutrisi
NIC : 2. Nutrisi
1. Manajemen Hiperglikemi monitoring
2. Manajemen Hipoglikemi
Nefropati diabetik
3. Penyuluhan program Gangguan
pelaksanaan penglihatan infeksi
End stage
renal failure Penyembuhan
hipertensi
luka terhambat
Kerusakan Integritas Neuropati otonom Kulit kering
Jaringan
Coronary Artery
Sensasi Disease
gastroparesis
NIC :
1. Skin surveillance Baal & geli pada
ekstremitas level LDL
2. Manajemen Perawatan
Luka dan Kontrol impoten
Infeksi
Diabetic foot ulceration
Neurogenic bladder