Anda di halaman 1dari 22

2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara

aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit

tersebut ia tidak akan menderita penyakit tersebut (Depkes RI, 2004). Imunisasi atau

vaksinasi adalah suatu tindakan pemberian vaksin terhadap penerima vaksin

(resipien) yang bertujuan untuk membentuk kekebalan terhadap penyakit tertentu

(Depkes RI, 2005). Menurut Handayani (2005), imunisasi adalah suatu cara

meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen dengan tujuan

mencegah penyakit tertentu pada seseorang, menghilangkan penyakit tertentu pada

sekelompok orang, atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu di dunia seperti

misalnya penyakit cacar.

Imunisasi dibedakan menjadi imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah

pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan

tujuan merangsang tubuh untuk memproduksi antibodinya sendiri, seperti imunisasi

campak, polio, dan lain-lain. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah

antibodi sehingga kadarnya dalam tubuh meningkat. Contoh imunisasi pasif adalah

penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum) pada orang yang mengalami luka akibat

kecelakaan (Hartati, 2008).

2.2 Jenis-Jenis Imunisasi

Menurut Depkes RI (2004) dalam Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi,

pokok-pokok kegiatan imunisasi meliputi imunisasi rutin, imunisasi tambahan,

7
8

imunisasi dalam penanganan KLB, dan imunisasi massal dalam rangka pemutusan

mata rantai penyakit.

2.2.1 Imunisasi Rutin

Imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara rutin dan

terus-menerus pada periode waktu yang telah ditetapkan. Menurut Muchlastriningsih

(2005a), berdasarkan kelompok sasarannya, imunisasi rutin dibedakan menjadi :

1. Imunisasi dasar pada bayi umur 0-11 bulan meliputi BCG (1 kali

pemberian), DPT (3 kali), Polio (4 kali), hepatitis B (3 kali), dan campak

(1 kali)

2. Imunisasi lanjutan pada anak sekolah yaitu imunisasi DT (1 kali) dan TT

(2 kali)

3. Imunisasi lanjutan pada wanita usia subur (WUS) yaitu TT (5 kali

pemberian)

Pada imunisasi rutin juga terdapat kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk

melengkapi imunisasi pada bayi dan WUS yaitu kegiatan sweeping pada bayi dan

akselerasi Maternal Neonatal Tetabus Elimination (MNTE) pada WUS (Depkes RI,

2004).

2.2.2 Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang dilaksanakan tidak rutin,

hanya dilaksanakan atas dasar penemuan masalah dari hasil pemantauan atau

evaluasi. Beberapa kegiatan imunisasi tambahan adalah backlog fighting dan crash

program. Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak

yang berumur 1-3 tahun pada desa non UCI setiap 2 tahun sekali. Sedangkan crash

program ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat karena

adanya masalah khusus seperti angka kematian bayi yang tinggi atau angka PD3I
9

yang tinggi. Karena crash program menggunakan biaya dan tenaga yang banyak

dengan waktu relatif panjang, maka pemantauan, supervisi, dan evaluasi sangat

diperlukan (Depkes RI, 2004).

2.2.3 Imunisasi dalam Penanganan KLB

Imunisasi dalam penanganan KLB adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan

sebagai respon terjadinya KLB atau outbreak PD3I di mana pedoman

pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit (Depkes RI,

2004).

2.2.4 Imunisasi Massal dalam Rangka Pemutusan Mata Rantai Penyakit

Kegiatan imunisasi ini biasanya dilakukan secara massal untuk antigen

tertentu dalam skup wilayah yang luas dan waktu tertentu. Adapun kegiatan

imunisasi yang termasuk adalah kegiatan PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub PIN,

dan catch up campaign campak. PIN merupakan upaya mempercepat pemutusan

siklus kehidupan virus polio importasi dengan memberikan vaksin polio kepada

setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa mempertimbangkan status imunisasi

sebelumnya. Pemberian imunisasi dilakukan 2 kali masing-masing 2 tetes dengan

selang waktu 1 bulan. Pemberian imunisasi polio pada saat PIN selain untuk

memutuskan rantai penularan juga berfungsi sebagai booster atau imunisasi ulangan

polio. Sub PIN merupakan upaya untuk memutuskan rantai penularan polio bila

ditemukan 1 kasus polio dalam wilayah terbatas, misalnya kabupaten, dengan

pemberian 2 kali imunisasi polio dalam interval waktu 1 bulan secara serentak pada

seluruh sasaran berumur kurang dari 1 tahun. Sedangkan catch up campaign campak

merupakan upaya pemutusan transmisi penularan virus campak pada anak sekolah

dan balita dengan melakukan imunisasi campak secara serentak pada anak sekolah

dasar dari kelas I sampai kelas VI tanpa mempertimbangkan status imunisasi


1
0

sebelumnya. Sama seperti PIN, kegiatan ini selain untuk memutus rantai penularan

virus juga berfungsi sebagai booster campak (Depkes RI, 2004).

2.3 Pengertian Vaksin

Vaksin adalah produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman,

atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan dan berguna untuk

merangsang kekebalan tubuh seseorang (Depkes RI, 2004). Vaksin adalah produk

biologis yang diberikan untuk membentuk kekebalan dalam tubuh terhadap penyakit

tertentu (Depkes RI, 2005).

Pengertian lainnya menurut Direktorat Jendral PP & PL Departemen

Kesehatan RI (2005), vaksin adalah produk biologis yang terbuat dari kuman

maupun komponen kuman (bakteri, virus, atau riketsia) ataupun racun kuman

(toxoid) yang telah dilemahkan atau dimatikan dan akan menimbulkan kekebalan

spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Menurut Kristini dkk (2007), vaksin

merupakan produk biologis yang berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan

spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu, bersifat rentan dan memiliki

karakteristik tertentu sehingga memerlukan penanganan khusus.

Vaksin merupakan kumpulan molekul yang kompleks, mengandung substansi

imun yang mampu mempengaruhi imunitas spesifik, aktif, dan protektif seseorang

untuk melawan penyakit menular. Vaksin terdiri dari campuran kompleks antara

protein, karbohidrat, lipid, mikroorganisme mati atau mikroorganisme yang telah

dilemahkan serta stabilisator, adjuvants, pengawet, dan zat lainnya yang

mempengaruhi efikasi dan keamanan vaksin di mana efektivitasnya sangat rentan

dipengaruhi oleh faktor lingkungan. (WHO, 2006).


11

2.4 Karakteristik Vaksin

Pada awal pengembangan program imunisasi, penyediaan vaksin di Indonesia

dibantu oleh UNICEF melalui pengadaan vaksin dari luar negeri. Seiring dengan

kemampuan keuangan pemerintah dan kemampuan produksi vaksin, maka kini

kebutuhan vaksin dalam negeri dipenuhi oleh PT. Bio Farma. Vaksin yang diproduksi

oleh PT. Bio Farma meliputi vaksin BCG, DPT, polio, campak, TT (Tetanus Toxoid),

DT (Difteri Tetanus), Hepatitis B, dan DPT-HB (Difteri, Pertusis, Tetanus, dan

Hepatitis B) (Handayani, 2005).

Umumnya, semua vaksin akan rusak bila terpapar sinar matahari langsung

serta sinar ultra violet (lampu neon, lampu halogen). Namun, berdasarkan tingkat

kepekaan vaksin terhadap paparan suhu, vaksin dibedakan menjadi vaksin yang

sensitif terhadap panas (heat sensitive) dan vaksin yang sensitif terhadap pembekuan

(freeze sensitive). Vaksin sensitif terhadap panas adalah golongan vaksin yang

potensinya akan rusak terhadap paparan panas yaitu vaksin Polio, Campak, dan

BCG. Vaksin yang sensitif terhadap pembekuan adalah golongan vaksin yang

o
potensinya akan rusak jika terpapar suhu dingin di bawah 0 C (beku). Golongan

vaksin ini antara lain vaksin Hepatitis B, DPT-HB, DT, dan TT. (Depkes RI, 2004,

Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005, Nelson et al, 2004).

Hal ini diakibatkan karena bila vial vaksin beku, retakan yang terbentuk akan

o
memudahkan kontaminasi bakteri sehingga vaksin yang terpapar suhu di bawah 0 C

harus dibuang (Gazmararian et al, 2002). Sedangkan menurut Depkes RI (2004), bila

terpapar suhu beku vaksin freeze sensitive akan rusak akibat meningkatnya

konsentrasi zat pengawet yang merusak antigen.

Setiap vaksin memiliki karakteristik spesifik masing-masing. Adapun

karakteristik setiap vaksin dapat dilihat pada tabel berikut.


12

Tabel 2.1 Karakteristik Vaksin serta Rekomendasi Suhu Penyimpanannya

Jenis Kemasan/Warna Bentuk Dosis Suhu Pelarut Suhu


Sifat Vaksin Penyimpanan Penyimpanan
Vaksin Kemasan Vaksin Vaksin Vaksin
Vaksin Pelarut
Mudah rusak bila terkena sinar matahari 2-25oC, dapat
disimpan pada
Vial/ Beku 10 dosis langsung dan panas, tidak rusak karena -15 sampai Aquabid
Campak lemari
Coklat atau gelap kering @ 0,5 ml pembekuan, dapat bertahan hingga 7 hari -25oC atau 2-8 oC es (5 ml)
pendingin atau
pada suhu ambient (34oC) suhu kamar
Mudah rusak bila terkena sinar matahari NaCl
Ampul/ Beku 20 dosis langsung, tidak rusak karena -15 sampai
BCG 0,9%
Coklat atau gelap kering @ 0,5 ml pembekuan, dapat bertahan hingga 7 hari -25oC atau 2-8 oC
(4ml)
pada suhu ambient (34oC)
Mudah rusak bila terkena sinar matahari
Polio Vial/ Cairan 10 dosis langsung dan panas, tidak rusak karena -15 sampai - -
Putih bening @ 0,5 ml pembekuan, dapat bertahan hingga 2 hari -25oC atau 2-8 oC
pada suhu ambient (34oC)
Rusak terhadap suhu < 0oC dan bila
terkena sinar matahari langsung, dapat
Vial/ 10 dosis bertahan hingga 14 hari pada suhu
DPT Cairan ambient (34oC) dan dapat bertahan 2-8 oC - -
Bening @ 0,5 ml
maksimal 1,5 - 2 jam pada suhu -5
sampai -10oC sebelum VVM
menunjukkan vaksin rusak
Rusak terhadap suhu < 0oC dan bila
terkena sinar matahari langsung, stabil
Vial/ 10 dosis terhadap panas, dapat bertahan hingga
TT Cairan 30 hari pada suhu ambient (34oC) dan 2-8 oC - -
Bening @ 0,5 ml
dapat bertahan maksimal 1,5 - 2 jam
pada suhu -5 sampai -10oC sebelum
VVM menunjukkan vaksin rusak
13

(lanjutan Tabel 2.1)

Jenis Kemasan/Warna Bentuk Dosis Suhu Pelarut Suhu


Sifat Vaksin Penyimpanan Penyimpanan
Vaksin Kemasan Vaksin Vaksin Vaksin
Vaksin Pelarut
Rusak terhadap suhu < 0oC dan bila
terkena sinar matahari langsung, stabil
Vial/ 10 dosis terhadap panas, dapat bertahan hingga
DT Cairan 14 hari pada suhu ambient (34oC) dan 2-8 oC - -
Putih bening @ 0,5 ml
dapat bertahan maksimal 1,5 - 2 jam
pada suhu -5 sampai -10oC sebelum
VVM menunjukkan vaksin rusak
Rusak terhadap suhu < 0oC dan bila
terkena sinar matahari langsung, stabil
Hepatitis Uniject/ 1 dosis @ terhadap panas, dapat bertahan hingga
Cairan 30 hari pada suhu ambient (34oC) dan 2-8 oC - -
B Putih bening 0,5 ml
dapat bertahan maksimal ½ jam pada
suhu -0,5oC sebelum VVM
menunjukkan vaksin rusak
Rusak terhadap suhu < 0oC dan bila
terkena sinar matahari langsung, stabil
Vial/ 5 dosis terhadap panas, dapat bertahan hingga
DPT-HB Putih keruh Cairan @ 0,5 ml 14 hari pada suhu ambient (34oC) dan 2-8 oC - -
dapat bertahan maksimal ½ jam pada
suhu -0,5oC sebelum VVM
menunjukkan vaksin rusak

Sumber : CDC, 2011, Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005, Nelson et al, 2004
1
4

2.5 Pengertian Pengelolaan Vaksin

Pengelolaan vaksin merupakan upaya untuk menata vaksin untuk kebutuhan

imunisasi meliputi proses pembuatan di pabrik, distribusi, penyimpanan, penggunaan

di unit pelayanan, serta pencatatan dan pelaporan di semua tingkat administrasi.

Dalam hal ini pembuatan vaksin di pabrik tidak dimasukkan dalam pengelolaan

vaksin karena terdapat prosedur tersendiri di pabrik sesuai dengan ketentuan WHO

dan persyaratan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Direktorat Jendral PP &

PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

Sistem cold chain atau sistem rantai dingin adalah suatu prosedur yang

digunakan untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan mulai dari

pembuatan vaksin sampai pada saat pemberiannya kepada sasaran imunisasi

sehingga terjaga kualitasnya. Vaksin harus disimpan dalam cold chain karena vaksin

merupakan produk biologis yang sangat peka terhadap sinar matahari, panas, dan

pembekuan (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

2.6 Tahap-Tahap Pengelolaan Vaksin

Tahap-tahap pengelolaan vaksin meliputi penerimaan vaksin, penyimpanan,

pemantauan suhu, penanganan vaksin yang rusak, dan penanganan sisa vaksin.

2.6.1 Pengambilan Vaksin/Penerimaan Vaksin

1. Pencatatan persediaan vaksin di sarana pelayanan dilakukan minimal

sebulan sekali. Sebaiknya pencatatan dilakukan sebelum pemesanan

vaksin untuk mengetahui persediaan vaksin yang masih tersisa.

2. Pengambilan vaksin dari puskesmas ke kabupaten/kota dengan

menggunakan peralatan rantai vaksin yang sudah ditentukan (cold box


15

atau vaccine carrier) yang disesuaikan dengan jumlah vaksin yang akan

diambil

3. Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, lakukan

pemeriksaan indikator VVM, kecuali BCG. Vaksin yang boleh diterima

dan digunakan adalah yang indikator VVM-nya berada pada tingkat A dan

B.

4. Masukkan cool pack ke dalam vaccine carrier dan letakkan termometer

muller di bagian tengah

5. Selama perjalanan vaccine carrier yang sudah berisi vaksin tidak boleh

dibuka dan hindarkan dari sinar matahari langung

(Departement of Health and Human Services CDC, 2011, Direktorat Jendral

PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005)

2.6.2 Penyimpanan Vaksin

1. Penempatan Lemari Es

Sebelum menyimpan vaksin pada lemari es, pastikan penempatan lemari

es sebagai berikut :

a. Jarak minimal lemari es dengan dinding belakang 10-15 cm atau

sampai pintu lemari es dapat dibuka maksimal sehingga pengambilan

vaksin dapat dilakukan dengan cepat

b. Jarak minimal antara lemari es yang satu dengan lemari es lainnya

adalah 15 cm

c. Tempatkan lemari es sehingga tidak terkena sinar matahari langsung

d. Ruangan penyimpanan vaksin memiliki sirkulasi udara yang cukup

atau dapat juga menggunakan exhaust fan

e. Setiap unit lemari es/freezer menggunakan hanya 1 stop kontak listrik


1
6

2. Penyimpanan Vaksin pada Lemari Es

a. Segera setelah vaksin sampai di sarana pelayanan (puskesmas) dari

kabupaten/kota, semua vaksin disimpan pada lemari es dengan suhu

o
2-8 C

b. Letakkan cool packs atau botol-botol berisi air dingin pada bagian

dasar pendingin serta pintu lemari es (untuk lemari es pintu buka dari

depan) dan pada dinding lemari es yang jauh dari evaporator (untuk

lemari es pintu buka dari atas). Hal ini akan membantu menahan

dingin dan menjaga kestabilan suhu dalam lemari es pada saat terjadi

mati listrik maupun pada saat pintu lemari es dibuka

c. Pisahkan letak vaksin sesuai peruntukannya yaitu vaksin untuk anak-

anak, remaja, dan orang dewasa. Simpan masing-masing vaksin pada

kontainer dan beri label sesuai dengan jenis vaksinnya. Jangan

menyimpan vaksin pada pintu atau bagian paling dasar lemari es

d. Atur penempatan vaksin-vaksin heat sensitive (BCG, Campak, dan

Polio) dekat evaporator, sedangkan vaksin-vaksin freeze sensitive

(DPT-HB, TT, DT, dan Hepatitis B) diletakkan lebih jauh dari

evaporator

e. Atur penempatan vaksin dari depan ke belakang untuk lemari es pintu

buka dari depan dan dari atas ke bawah untuk jenis lemari es pintu

buka dari atas berdasarkan tanggal kadaluarsa terpendek. Hal ini

bertujuan untuk memastikan vaksin dengan tanggal kadaluarsa paling

pendek dikeluarkan dan digunakan terlebih dahulu.


1
7

f. Vaksin selalu disimpan dalam kotak kemasan aslinya sampai tiba

waktunya penggunaan. Hal ini bertujuan agar vaksin tidak terpapar

sinar ultra violet

g. Berikan jarak antar kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan

agar terjadi sirkulasi udara yang baik. Berikan juga jarak yang sama

dengan dinding lemari es

h. Letakkan 1 buah termometer muller di bagian tengah lemari es dan

letakkan 1 buah freeze tag di antara vaksin Hepatitis B dan DPT

i. Pelarut campak dan BCG disimpan pada suhu kamar. Sehari sebelum

pemakaian, pelarut disimpan di lemari es agar suhunya sama dengan

suhu vaksin dengan catatan pelarut tidak boleh beku

j. Jangan menyimpan bahan makanan, minuman, maupun obat-obatan

lainnya pada lemari es tempat penyimpanan vaksin agar tidak terjadi

kontaminasi dan mempengaruhi frekuensi buka-tutup pintu lemari es

yang tidak perlu

(Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005,

Immunization Branch of California Departement of Public Health, 2009,

Mavimbe dan Gunnar Bjune, 2007).

2.6.3 Pemantauan Suhu

Suhu pada lemari es cenderung mengalami fluktuasi sepanjang hari. Suhu

pada lemari es harus dipantau pada awal dan akhir jam kerja untuk mengetahui

apakah suhu lemari es terlalu dingin atau terlalu hangat. Pemantauan suhu bertujuan

untuk mengetahui suhu vaksin selama pendistribusian dan penyimpanan serta

memastikan apakah vaksin pernah terpapar atau terkena sinar berlebihan ataupun

suhu yang terlalu dingin (beku) sehingga petugas dapat mengetahui kondisi vaksin
1
8

yang digunakan dalam keadaan baik atau tidak (Direktorat Jendral PP & PL

Departemen Kesehatan RI, 2005).

Menurut Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI (2005), di

tingkat puskesmas terdapat beberapa alat pemantau suhu untuk mengetahui kondisi

vaksin, yaitu :

1. VVM (Vaccine Vial Monitor)

VVM adalah alat pemantau paparan suhu panas (tidak dapat memantau

paparan suhu dingin), berbentuk lingkaran dengan segi empat pada bagian

dalamnya dengan diameter 0,7 cm yang ditempelkan pada setiap vaksin.

VVM berfungsi memantau suhu vaksin selama distribusi dan

penyimpanan, tidak dapat mengukur potensi vaksin secara langsung

namun dapat memberikan informasi layak tidaknya suatu vaksin

digunakan. Setiap jenis vaksin kecuali BCG mempunyai karakteristik

VVM yang spesifik. Karena bentuknya sangat kecil, maka petugas harus

teliti dalam pembacaannya. Cara membaca VVM dapat dilihat pada tabel

berikut.

Tabel 2.2 Cara Membaca VVM

SimbolKondisi Keterangan Tindakan


VVM
Warna segi empat lebih
Kondisi A terang dari warna gelap Vaksin dapat digunakan
di sekelilingnya
Warna segi empat mulai
Kondisi B berwarna gelap namun Vaksin segera digunakan
masih lebih terang dari
warna di sekelilingnya
Warna segi empat sama
Kondisi C dengan warna gelap di Vaksin jangan digunakan lagi
sekelilingnya
Warna segi empat lebih
Kondisi D gelap daripada warna Vaksin jangan digunakan lagi
gelap di sekelilingnya

Sumber : Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005


1
9

2. Termometer muller

Termometer muller adalah alat pengukur suhu tanpa menggunakan sensor

pengukur yang diletakkan di dalam lemari es di antara kemasan vaksin.

Jarum pada termometer muller akan menunjukkan suhu di dalam lemari

es (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

Idealnya lemari es dilengkapi termometer yang mengukur suhu dalam

lemari es sepanjang hari. Selain termometer muller, termometer

maksimum-minimum merupakan termometer yang bagus untuk

memantau suhu tempat penyimpanan vaksin. Akan lebih baik lagi jika

pemantauan suhu dilakukan secara rutin dan selalu dicatat pada

temperature log dengan mengisi waktu pengecekan suhu, petugas yang

melakukan pengecekan, dan pemberian tanda “X” pada kolom suhu sesuai

dengan yang ditunjukkan termometer pada lemari es. Temperature log

sudah diformat khusus dengan zona putih untuk rentang suhu yang ideal

o
(2-8 C) serta zona berwarna pada temperature log mengindikasikan suhu

lemari es di luar rentang yang diperbolehkan. Apabila suhu yang tercatat

berada pada zona merah, harus dilakukan tindakan sebagai berikut :

a. Lakukan pngecekan kondisi lemari es. Apakah suhu yang tercatat di

luar rentang karena pintu lemari es tidak ditutup rapat, pintu lemari es

tidak dapat tertutup rapat karena terhalang debu, atau termometer

rusak sehingga suhu yang ditunjukkan lebih tinggi atau rendah dari

yang seharusnya. Jika hal tersebut terjadi, catat tanggal, waktu, suhu,

dan masalah yang ditemukan pada lemari es, tindakan yang diambil,

serta hasilnya. Cek kembali suhu tiap 2 jam. Apabila suhu masih tetap
20

berada di luar rentang ideal, hubungi teknisi untuk melakukan

pengecekan.

b. Simpan vaksin pada kondisi yang tepat sesegera mungkin

c. Untuk sementara berikan label “jangan digunakan” sampai dapat

dipastikan apakah vaksin tersebut masih layak digunakan atau tidak.

d. Hubungi pengelola program imunisasi pada dinas kesehatan setempat

atau produsen vaksin untuk memastikan apakah vaksin masih dapat

digunakan (Departement of Health and Human Services CDC, 2011).

Temperature log sebaiknya diarsipkan dengan baik minimal 3 tahun ke

belakang. Hal ini akan sangat membantu mengetahui pola seberapa lama

dan seberapa sering temperatur lemari es berada di luar rentang ideal,

tindakan apa yang tepat untuk mengatasinya, serta dapat pula

dimanfaatkan untuk merencanakan pengadaan lemari es baru

(Departement of Health and Human Services CDC, 2011).

3. Freeze Watch/Freeze Tag

Freeze watch/freeze tag adalah alat untuk memantau suhu dingin di bawah

o
0 C (paparan beku) yang diletakkan di antara kemasan vaksin bersifat

freeze sensitive. Freeze watch menggunakan indikator cairan putih yang

akan berubah menjadi biru bila terpapar suhu beku, sedangkan freeze tag

menggunakan sistem elektronik dengan indikator tanda rumput (√) yang

akan berubah menjadi tanda silang (X) bila terpapar suhu beku lebih dari

1 jam. Jika indikator freeze watch/freeze tag berubah, maka harus

dilakukan uji kocok pada vaksin freeze sensitive untuk memastikan

apakah vaksin masih layak digunakan atau sudah rusak. Uji kocok

dilakukan sebagai berikut :


2
1

a. Pilih satu contoh dari tiap jenis vaksin yang dicurigai pernah beku,

utamakan yang letaknya paling dekat dengan evaporator, beri label

“tersangka beku”. Bekukan dengan sengaja satu contoh dari tiap jenis

vaksin hingga padat seluruhnya, beri label “dibekukan”

b. Biarkan contoh “dibekukan” dan “tersangka beku” mencair

seluruhnya, kocok secara bersamaan, kemudian amati bersebelahan

untuk membandingkan waktu pengendapan (5-30 menit)

c. Bila pengendapan vaksin “tersangka beku” lebih lambat dari contoh

“dibekukan”, maka vaksin dapat digunakan. Bila pengendapan vaksin

“tersangka beku” sama atau lebih cepat dari contoh “dibekukan”,

maka vaksin jangan digunakan lagi karena sudah rusak

d. Lakukan uji kocok untuk setiap jenis vaksin freeze sensitive

(Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

2.6.4 Penanganan Vaksin Rusak

Vaksin disebut rusak apabila VVM (Vaccine Vial Monitor) berada pada

tingkat C dan D, vaksin telah lewat tanggal kadaluarsanya (expiry date), vaksin beku

(cairan pada freeze watch berwarna biru atau freeze tag menampilkan tanda silang

(X)), atau vaksin dalam keadaan pecah. Penanganan untuk vaksin yang rusak adalah

dikeluarkan dari lemari es, dilaporkan kepada atasan petugas, dan dicatat pada buku

stok pada kolom penyesuaian. Bila vaksin yang rusak jumlahnya hanya sedikit dapat

dimusnahkan oleh pihak puskesmas dengan cara membakar atau mengubur. Bila

jumlah vaksin yang rusak banyak, maka vaksin yang rusak dikumpulkan di tempat

yang aman (dapat dikumpulkan di kabupaten/kota), kemudian dibuatkan berita acara

pemusnahannya (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).


2
2

2.6.5 Penanganan Sisa Vaksin

Sisa vaksin yang sudah dibawa ke lapangan namun belum dibuka harus

segera digunakan pada pelayanan berikutnya sedangkan vaksin yang telah dibuka

pada pelayanan imunisasi di posyandu tidak boleh dipergunakan lagi (Depkes RI,

2004, Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005). Vaksin yang

telah dibuka pada pelayanan imunisasi statis yang dilakukan di puskesmas maupun

poliklinik dapat dipergunakan lagi dengan ketentuan :

1. Vaksin tidak melewati tanggal kadaluarsa

o
2. Tetap disimpan pada suhu 2-8 C

3. Vial vaksin tidak pernah tercampur atau terendam air

4. VVM masih menunjukkan kondisi A atau B

5. Pada label ditulis tanggal pada saat vial pertama kali digunakan atau

dibuka untuk memastikan waktu di mana vaksin masih boleh

dipergunakan yaitu vaksin DPT, DT, TT, Hepatitis B, dan DPT-HB dapat

digunakan kembali hingga 4 minggu sejak vial vaksin dibuka, vaksin

polio dapat digunakan kembali hingga 3 minggu sejak vial dibuka,

sedangkan vaksin campak karena tidak mengandung pengawet hanya

boleh digunakan maksimal 8 jam sejak dilarutkan, dan vaksin BCG hanya

boleh digunakan 3 jam setelah dilarutkan

(Depkes RI, 2004, Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI,

2005)

2.7 Perencanaan Kebutuhan Vaksin

Perhitungan kebutuhan jumlah dosis vaksin direncanakan oleh unit pelayanan

imunisasi di Puskesmas. Perhitungan jumlah vaksin biasanya berdasarkan jumlah


2
3

sasaran imunisasi, target cakupan yang diharapkan untuk setiap jenis imunisasi, serta

index pemakaian vaksin pada tahun sebelumnya (Depkes RI, 2004, Direktorat

Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

Untuk menghitung kebutuhan vaksin target cakupan harus diterjemahkan

secara rinci sampai ke masing-masing kontak antigen. Target cakupan untuk vaksin

BCG, DPT1, dan Polio1 sama dengan cakupan kontak pertama, sedangkan cakupan

imunisasi lengkap sama dengan DPT3, Polio4, dan Campak. Untuk kontak kedua

DPT dan Polio dapat didasarkan pada pengalaman cakupan tahun sebelumnya atau

dengan membagi rata-rata angka drop out. Dari perhitungan tersebut akan diperoleh

jumlah dosis “bersih” masing-masing antigen yang diperlukan untuk mencapai target.

Untuk menjaga mutu pelayanan program terdapat kebijakan untuk membuka

vial/ampul baru meskipun sasaran yang datang hanya 1 bayi sehingga sisa vaksin

akan dibuang. Karena itu, dosis “bersih” harus dibagi dengan indeks pemakaian

vaksin (IP) tahun sebelumnya (Depkes RI, 2004).

Kemungkinan timbulnya kesenjangan dengan jumlah vaksin yang telah

direncanakan dapat terjadi jika banyak sasaran datang dari luar wilayah ataupun

banyak sasaran yang pergi ke wilayah lain. Untuk menghindari penumpukan vaksin,

maka jumlah kebutuhan akan dikurangi sisa vaksin tahun sebelumnya. Selain itu

kebutuhan dalam satuan jumlah kemasan vial/ampul harus diterjemahkan ke dalam

satuan dosis dan volume vaksin. Pada saat ini dilakukan pembulatan ke atas dari

jumlah kemasan vaksin setelah sebelumnya disesuaikan dengan volume

penyimpanan vaksin setempat (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan

RI, 2005).
2
4

2.8 Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold chain/Rantai Dingin Vaksin

Setiap obat yang berasal dari bahan biologis harus terlindung dari sinar

matahari langsung sehingga diperlukan kemasan berwarna untuk melindunginya,

misalnya ampul berwarna cokelat untuk melindungi vaksin BCG dan campak di

samping menggunakan kemasan luar (box). Vaksin yang sudah dilarutkan tidak dapat

disimpan terlalu lama karena potensi vaksin akan berkurang. Karena itu, vaksin beku

kering harus disimpan dalam kemasan tertutup rapat/kedap (hermetically sealed).

Ketentuan-ketentuan tersebut harus dipenuhi untuk menjaga kualitas vaksin. Sarana

cold chain khusus digunakan untuk menjaga potensi vaksin. Di puskesmas terdapat

beberapa sarana cold chain yang biasa digunakan dengan kelebihan dan

kekurangannya masing-masing (Depkes RI, 2004). Pengelolaan cold chain sesuai

dengan prosedur bertujuan menjaga vaksin tersimpan pada suhu dan kondisi yang

ditetapkan mulai dari distribusi setelah proses produksi hingga sampai ke sasaran

imunisasi (Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005).

2.8.1 Lemari Es

Setiap puskesmas harus memiliki 1 lemari es sesuai standar program. Pustu

yang potensial atau aktif melakukan kegiatan imunisasi juga harus dilengkapi dengan

lemari es. Berdasarkan jenis pintunya, lemari es dibedakan menjadi lemari es dengan

pintu buka dari depan dan lemari es dengan pintu buka dari atas. Perbedaan antara

kedua lemari es tersebut adalah sebagai berikut.


25

Tabel 2.3 Perbedaan Lemari Es Bentuk Pintu Buka dari Depan dan dari Atas

No. Bentuk Buka dari Depan Bentuk Buka dari Atas


1. Suhu tidak stabil pada saat pintu lemari Suhu lebih stabil pada saat pintu lemari
es dibuka karena suhu dingin dari atas
akan turun ke bawah dan keluar es dibuka karena suhu dingin dari atas
akan turun ke bawah dan tertampung
2. Suhu relatif tidak dapat bertahan lama Suhu relatif dapat bertahan lama bila
bila listrik padam listrik padam
3. Jumlah vaksin yang dapat ditampung Jumlah vaksin yang dapat ditampung
sedikit lebih banyak

4. Penyusunan vaksin mudah dan terlihat Penyusunan vaksin agak sulit karena
jelas dari samping depan vaksin bertumpuk dan tidak jelas
terlihat dari atas
5. Banyak digunakan dalam rumah tangga Biasanya digunakan untuk menyimpan
bahan makanan, ice cream, daging.

atau pertokoan untuk menyimpan Lebih dianjurkan digunakan untuk


makanan, minuman, dan buah-buahan
menyimpan vaksin
dengan sifat penyimpanan terbatas.
Sudah tidak dianjurkan untuk
penyimpanan vaksin
Sumber : Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005

2.8.2 Kotak Dingin (Cold Box)

Cold box adalah wadah dengan insulasi/isolator tebal untuk menyimpan

vaksin sementara (dalam keadaan darurat saat listrik padam) atau untuk membawa

vaksin. Cold box ada yang terbuat dari plastik dengan insulasi polyuretan dan terbuat

dari kardus dengan insulasi polyuretan. Bila penyimpanan vaksin dilakukan sesuai

dengan ketentuan dan cold box tidak dibuka-buka, maka vaksin dapat bertahan

selama 2 hari.

2.8.3 Vaccine Carrier/Thermos

o
Vaccine carrier/thermos adalah alat yang dapat mempertahankan suhu 2-8 C

untuk mengirim atau membawa vaksin dari puskesmas ke posyandu atau tempat

pelayanan lainnya. Khusus untuk thermos, karena kemampuan mempertahankan

suhunya kurang lebih 10 jam, maka thermos lebih cocok digunakan untuk daerah

pelayanan dengan transportasi mudah dijangkau.


26

2.8.4 Kemasan Dingin

Kemasan dingin adalah wadah plastik berbentuk segi empat berukuran besar

ataupun kecil yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan. Bila kemasan dingin

tidak ada, maka dapat dibuat dengan kantong plastik bening. Kemasan dingin

dibedakan menjadi kemasan dingin cair (cool pack) dan kemasan dingin beku (cold

pack). Kemasan dingin cair adalah wadah plastik berbentuk segi empat berisi air

o
yang kemudian didinginkan pada suhu 2 C selama 24 jam dalam lemari es.

Sedangkan kemasan dingin beku adalah wadah plastik berbentuk segi empat berisi

o
air yang kemudian dibekukan pada suhu -5 sampai -15 C selama 24 jam dalam

freezer.

2.9 Perawatan Lemari Es atau Lemari Pendingin

Perawatan lemari es atau lemari pendingin bertujuan menjaga suhu tetap

stabil sehingga vaksin tidak rusak. Perawatan lemari es atau lemari pendingin

dilakukan secara teratur baik harian, mingguan, maupun tiga bulanan.

2.9.1 Perawatan Harian

1. Pemeriksaan suhu lemari es 2 kali sehari yaitu setiap pagi dan sore serta

pencatatan suhu pada buku grafik suhu atau log.

2. Menghindari seringnya frekuensi membuka dan menutup lemari es karena

akan mempengaruhi fluktuasi suhu pada lemari es dan mempertebal

pembentukan bunga es sehingga fungsi pendinginan akan menurun.

Waktu membuka lemari es tidak boleh lebih dari 5 menit.

3. Tidak mengubah posisi thermostat apabila suhu lemari es sudah stabil

o
2 - 8 C.

(CDC, 2011, Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005)


2
7

2.9.2 Perawatan Mingguan

1. Membersihkan bagian luar lemari es sehingga tidak berkarat.

2. Memastikan kontak listrik pada stop kontak tidak kendor.

(Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005)

2.9.3 Perawatan Tiga Bulanan

1. Membersihkan bagian luar dan bagian dalam lemari es/freezer.

2. Membersihkan dan memeriksa kerapatan karet seal pintu lemari es.

Apabila diperlukan, berikan bedak atau talk. Pemeriksaan kerapatan

dilakukan dengan meletakkan kertas HVS pada karet pintu. Apabila saat

pintu tertutup kertas susah ditarik, berarti kerapatan pintu masih berfungsi

dengan baik. Jika sebaliknya, maka pintu mulai renggang dan

kemungkinan suhu di bagian dalam lemari es tidak stabil.

3. Memeriksa engsel pintu lemari es dan memberikan pelumas jika

diperlukan.

4. Memperhatikan timbulnya bunga es pada dinding yang telah dilapisi

lempeng aluminium atau acrylic atau multiplex. Bila telah timbul bunga

es, segera lakukan pencairan. Sebelum proses pencairan, vaksin disimpan

dalam kotak dingin. Matikan lemari es dengan mencabut kontak listrik,

bukan dengan memutar thermostat. Biarkan pintu lemari es terbuka.

Pencairan dapat dipercepat dengan menyiramkan air hangat, namun

jangan menggunakan pisau atau benda tajam untuk mencongkel bunga es.

Bersihkan air yang menempel pada dinding dalam lemari es dan hidupkan

kembali lemari es dengan memasang kontak listrik. Setelah suhu lemari es

o
stabil (2 - 8 C), masukkan kembali vaksin.

(Direktorat Jendral PP & PL Departemen Kesehatan RI, 2005)


2
8

2.10 Standar Tenaga di Tingkat Puskesmas dan Pelatihan Teknis

Menurut Depkes RI (2004) terdapat beberapa kualifikasi yang harus dimiliki

oleh pengelola program imunisasi termasuk petugas yang melakukan kegiatan

imunisasi maupun dalam melaksanakan pengelolaan cold chain.

2.10.1 Petugas Imunisasi

Petugas yang melakukan kegiatan imunisasi minimal merupakan tenaga

perawat atau bidan yang telah mengikuti pelatihan. Selain memberikan pelayanan

imunisasi, petugas imunisasi juga bertugas memberikan penyuluhan.

2.10.2 Pelaksana Cold Chain

Di puskesmas pelaksana cold chain biasanya langsung dilakukan oleh

penanggung jawab program imunisasi. Namun, bila pengelolanya berbeda, maka

minimal berpendidikan SMA atau SMK dan telah mengikuti pelatihan cold chain.

Tugasnya antara lain mengelola vaksin dan merawat lemari es, mencatat suhu lemari

es, mencatat pemasukan dan pengeluaran vaksin, serta mengambil vaksin di

Kabupaten/Kota sesuai kebutuhan per bulan.

2.10.3 Pengelola Program Imunisasi

Pengelola program imunisasi merupakan petugas imunisasi, pelaksana cold

chain, atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan untuk pengelolaan program

imunisasi dengan tugas membuat perencanaan vaksin dan logistik lain, mengatur

jadwal pelayanan imunisasi, mengecek catatan pelayanan imunisasi, membuat dan

mengirim laporan ke Kabupaten/Kota, membuat dan menganalisa PWS bulanan,

serta merencanakan tindak lanjut.

Anda mungkin juga menyukai