Anda di halaman 1dari 9

Balia, Ritual Penyembuhan Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah

Ada banyak cara menyembuhkan penyakit, mulai dari berobat ke dokter hingga mencari bahan
herbal tertentu. Namun di Palu, Sulawesi Tengah memiliki suatu ritual penyembuhan yang
disebut Ritual Balia.
Tradisi ini dilakukan masyarakat Kaili yang mendiami lembah Palu. Kini, ritual Balia kadang
dilakukan ketika upaya medis tidak kunjung berhasil mendatangkan kesembuhan.
Sebagai kata pembuka, ini adalah sebuah tulisan sederhana tentang " Balia ", sebuah upacara
ritual penyembuhan, wujud sebuah kebudayaan yang ada di kalangan etnis Kaili, yang
mendiami wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. Secara singkat digambarkan bahwa etnis Kaili
merupakan etnis yang memiliki populasi terbesar dari 12 etnis yang ada di Sulawesi Tengah,
tersebar di 3 wilayah yaitu : Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi. Secara
etimologi "Balia" berasal dari bahasa Kaili "Nabali ia" artinya "berubah ia". Perubahan yang
dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh
halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian
orang tersebut akan berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang
masuk ke dalam tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara berpakainnya
seperti memakai sarung, kemeja, kopiah dan merokok. Gerak, tingkah laku dan cara
berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki. Sebaliknya, hal ini juga berlaku pada pelaku Balia pria
yang dimasuki oleh roh halus wanita, dalam bahasa Kaili disebut "Bayasa" ( laki-laki yang
berperilaku wanita ). Pengertian lain tentang kata "Balia" adalah "bali ia" atau "robah dia".
Dalam pengertian ini, kata "robah dia" lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita
seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah
seseorang yang "sakit" menjadi "sembuh". Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan
konsep - konsep mengenai apa yang hidup dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat
mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, penting, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga
masyarakat tersebut. Demikian halnya dengan upacara ritual penyembuhan "Balia". Dari
pengertian kebudayaan serta unsur - unsurnya secara umum, Balia merupakan salah satu sistem
kepercayaan etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili ( To Kaili ) memeluk agama
Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme
dimana segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik buruknya, semua ada yang
mengaturnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Kaili: "Tupu Taala"). Selain kekuatan
"Tuhan", orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan roh yang dapat
mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia. Di kalangan etnis
Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana, dalam pengertian bahwa langit
dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit
disebut "karampua" dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut "anitu". Selain itu segala
isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni.
Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni
dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana
atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat,
memohon kepada "Penguasa" alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit
yang diderita. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual
"Balia" dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan
keselamatan bagi umat manusia. Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi,

1
menurut legenda, cikal bakal orang Kaili berasal dari "bambu kuning", erat kaitannya dengan
"Sawerigading" Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya
sama dengan bahasa Kaili "Topebete ribolovatu mbulava" atau "orang yang lahir / muncul dari
bambu kuning". Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka,
sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk
Balia. Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia,
bahwa yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan
oleh Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami
trance. Kala itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit.
Anehnya ketika menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang
menonton Balia, ia menjadi sembuh. Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang
Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat
kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga
alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili seperti yang telah disebutkan
bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya
( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ). Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban
dewasa ini, Balia sebagai salah satu media penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh
orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang
sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh, sebagai
upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual Balia. Pelaksanaan
upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman
rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong
royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya.
Bangunan ini disebut "Bantaya" atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku
upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari
selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat
setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia
instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk
mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan
roh halus. Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini
menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain
sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat
bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen
ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue,
minuman, dan lain - lain. Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih
terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi
Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari
ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni
yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan
yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ).
Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke - Bhinneka - an
kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai
perekat pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai
pemilik kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
kebudayaannya.

2
Gerbang menuju tempat ritual dihiasi dengan jumbai-jumbai untuk menandakan upacara
Balia sedang dilaksanakan di tempat itu, 31 Desember 2015.

Para penari mulai beraksi mengelilingi pedupaan yang mengawali upacara adat Balia.

Sesajen dihidangkan dalam upacara adat Balia dan dipersembahkan saat upacara
penyembuhan.

3
Orang yang sakit harus melewati permadani putih saat menuju tempat pelaksanaan prosesi
penyembuhan.

Anggota keluarga mengusung orang yang sakit menuju tempat ritual penyembuhan.

4
Tetua adat membacakan mantra di depan kerbau yang akan disembelih. Penyembelihan dinilai
sebagai bentuk pengorbanan agar permohonan penyembuhan dapat dikabulkan.

Tetua adat menombak kerbau yang akan disembelih. Tancapan tombak di tubuh kerbau
menjadi syarat penyembelihan.

Tetua adat menyapukan darah kerbau di kening para penari sebelum prosesi pembacaan
mantra dimulai.

Prosesi penyembuhan dipimpin tetua adat dengan kepala kerbau diletakkan di antara kaki
orang yang sakit.

5
Sambil menari tetua adat menebas pohon pisang untuk mengusir “roh jahat” yang dipercaya
merasuki tubuh orang yang sakit.

Batang pisang yang ditebas kemudian dipotong-potong dalam ukuran kecil yang dipercaya
bisa mencegah roh jahat masuk kembali ke tubuh orang yang sakit.

Penari menyiapkan bara api, yang kemudian diinjak-injak sebagai simbol peredaman amarah
akibat sakit

6
Pada akhir upacara Balia, sesajen dilarungkan bersama seekor anak ayam ke sungai untuk
menandai "pelepasan" penyakit.

Waktu masih menunjukkan pukul 16.00 waktu setempat, namun gendang yang dimainkan
empat orang terdengar bertalu-talu hingga ujung lorong. Tujuh perempuan dan dua laki-laki
menari beruntun dengan gerakan yang nyaris tak beraturan mengelilingi pedupaan yang mirip
kursi-kursi yang ditumpuk.
Aroma kemenyan tercium hingga ke sudut-sudut tenda plastik tidak jauh dari pusat ritual itu,
menyatu dengan tembang yang dilantunkan dalam bahasa masyarakat setempat yaitu Kaili.
Ritual itu disebut Balia, yakni ritual adat yang dilaksanakan untuk penyembuhan. Masyarakat
etnis Kaili yang kebanyakan beragama Islam mendiami Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Ritual
ini bisa diadakan secara individu maupun secara berkelompok. Kadang ritual ini juga dilakukan
setelah upaya medis tidak berhasil menyembuhkan suatu penyakit.
Prosesi bisa berlangsung hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung berat ringannya jenis
penyakit. Pada masa silam, upacara adat Balia ini adalah hal yang lumrah dilakukan, terutama
bagi kalangan ningrat.
Prosesi dimulai dengan penyiapan bahan-bahan upacara mulai dari pedupaan, keranda, buah-
buahan hingga hewan kurban yang bisa berupa ayam, kambing, atau kerbau, tergantung kasta
orang yang mengadakan hajatan.
Biayanya ditanggung oleh yang punya hajat ditambah dengan ongkos lelah bagi peritual. Jika
semua sudah siap, pawang yang harus laki-laki mulai beraksi dengan mantra-mantranya,
memanggil arwah penguasa panutannya. Sejumlah sesajian yang berbeda setiap prosesinya
dihidangkan dekat pedupaan.
Tari Balia pun terus mengiringi hingga orang yang sakit diusung untuk mengikuti prosesi
puncak, yaitu penyembelihan kerbau. Darah kerbau yang disembelih itu menjadi simbol
kesungguhan harapan atas kesembuhan.
Kebanyakan warga setempat sangat meyakini efektivitas ritual ini, meski tidak sedikit juga dari
mereka - yang sudah terbiasa dengan gaya hidup modern-menganggapnya tak lebih dari
peninggalan budaya yang perlu dijaga agar tidak punah.
Jakarta, CNN Indonesia -- Ada banyak cara menyembuhkan penyakit, mulai dari berobat ke
dokter hingga mencari bahan herbal tertentu. Namun di Palu, Sulawesi Tengah, ada cara lain
7
dengan menginjak bara api, bernama ritual balia.

Tradisi ini dilakukan masyarakat Kaili yang mendiami lembah Palu. Ritual ini biasa dilakukan
oleh masyarakat adat yang percaya api dapat mengusir penyakit. Konon, ritual ini erat
kaitannya dengan kalangan ningrat. Kini, ritual ini kadang dilakukan ketika upaya medis tak
kunjung berhasil mendatangkan kesembuhan. Prosesi yang mulai jarang dilakukan oleh
generasi modern ini bukan hanya sekadar menginjak bara api. Tercatat, ada sepuluh ritual yang
harus dilakukan dalam prosesi balia. Ritual-ritual tersebut terdiri atas ritual pompoura atau tala
bala'a, ritual adat enje da'a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual manuru viata,
ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga.

Berbagai ritual tersebut dapat memakan waktu hingga tujuh hari tujuh malam, tergantung
tingkat keparahan penyakit yang ingin diobati.

Prosesi dimulai dengan persiapan berbagai bahan upacara mulai dari dupa, keranda, buah-
buahan, hingga hewan kurban seperti ayam, kambing, atau kerbau tergantung kasta sang
penyelenggara prosesi.

Ketika persiapan rampung, pawang yang harus dibawakan oleh laki-laki mulai menyebut jampi
dan mantra. Ia menyebutkan berbagai mantra untuk memanggil arwah dan memberikan
sejumlah sesajian berbeda pada tiap prosesi yang diletakkan dekat dupa.

Tarian khas balia juga harus terus dilakukan menemani orang sakit yang diusung hingga acara
puncak, penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban tersebut adalah simbol harapan
kesungguhan atas kesembuhan.

Berbagai prosesi tersebut kini coba diangkat kembali dalam sebuah perayaan budaya dalam
Festival Palu Nomoni yang baru saja digelar, tepatnya tanggal 24 hingga 26 September di Palu,
Sulawesi Tengah.

Rangkaian adat ritual balia itu sendiri dilakukan di lima area yang masing-masing rangkaian
ritual dilakukan oleh sebuah kelurahan.

"Kami hanya ingin ritual ini menjadi seni pertunjukkan, karena sudah hampir punah. Sehingga
dengan jadi pertunjukan, generasi saat ini masih dapat menyaksikan tradisi ini," kata Wali Kota
Palu, Hidayat.

Berbagai lokasi sudah disiapkan dan diharapkan dapat menarik perhatian masyarakat
mengetahui bagian kekayaan masyarakat Kaili tersebut. Kegiatan itu sendiri juga mendukung
penyelenggaraan festival yang digelar sejauh 7,2 kilometer sepanjang Teluk Palu.

"Kegiatan akan mengangkat ritual adat dan budaya dan uniknya kendaraan yang boleh
digunakan selama festival berlangsung hanya dua, yakni dokar dan sepeda," kata Hidayat.

Sebelumnya, Festival Palu Nomoni ini bernama Festival Teluk Palu dan menjadi ajang promosi
ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah tersebut sebagai destinasi unggulan di provinsi itu.

8
Pihak penyelenggara memprediksi selama tiga hari penyelenggaraan festival ini akan
menyedot 300 ribu wisatawan domestik dan 500 ribu wisatawan mancanegara.

Anda mungkin juga menyukai