Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MAKALAH MANAJEMEN PENANGGGULANGAN BENCANA

TUJUAN KOORDINASI DAN MEKANISME KOORDINASI PPAM DAN


PELAKSANA PPAM

DISUSUN OLEH : KELOMPOK I

NAMA-NAMA ANGGOTA : 1. SILVIA ANGGRAINI

2. SISI VALETA

3. SITTAH RISMAN DELA

4. SUCI HARISANTI

5. TIKA MAYASARI

6. UMY FADHILLAH

7. WITRI APRILIA

8. YOLANDARI PERMATA SARI

9. YUNI ELISA

TINGKAT/SEMESTER : III A / 5

DOSEN PENGAJAR : H. A. KADIR S.Pd,M.Kes

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG

PRODI D3 KEBIDANAN

TAHUN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap semua jenis bencana yang
tidak semuanya dapat diperkirakan datangnya dan tidak semuanya dapat dicegah. Bencana
tersebut dapat berupa bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia.
Konflik antar pemeluk agama maupun antar etnis telah beberapa kali terjadi di
Indonesia seperti konflik yang terjadi di Kabupaten Sampit dan Sambas di Kalimantan,
konflik antar agama di Ambon dan Sulawesi Tengah (Kota Palu dan Kabupaten Poso), dll.
Diantara semua jenis bencana, bencana alam merupakan bencana yang paling sering
terjadi dan kerap menyebabkan korban jiwa dan dampak kerusakan yang hebat. Tsunami yang
melanda provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir tahun
2004 menyebabkan kematian lebih dari 160,000 orang, 37,000 orang hilang dan 500.000
penduduk kehilangan rumah. Menyusul Tsunami, Gempa besar melanda Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah (Jateng) pada akhir bulan Mei 2006 dan
merusak lebih dari 550.000 rumah penduduk, 5.760 korban jiwa dan 37,000 korban luka.
Setelah kejadian dua bencana besar tersebut, bencana lain datang silih berganti seperti
tsunami di pantai selatan Pangandaran, Cilacap sampai Yogyakarta, dan tanah longsor di
Sumatera Barat dan beberapa bencana di daerah lainnya . Banyak pihak telah berupaya
memberikan pelayanan kesehatan pada kondisi krisis akibat bencana di atas, namun masih
terbatas pada penanganan masalah kesehatan secara umum; sedang kesehatan reproduksi
masih belum menjadi prioritas dan sering kali tidak tersedia. Padahal pada kondisi darurat,
tetap saja ada ibu-ibu hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap ada proses kelahiran yang
tidak bisa ditunda ataupun adanya kebutuhan akan layanan keluarga berancana temasuk juga
kebutuhan khusus perempuan.
Dalam kondisi darurat resiko terjadinya kekerasan berbasis jender cenderung untuk
meningkat oleh karena itu perlu adanya upaya pencegahan maupun penanganannya. Guna
mewujudkan tersedianya pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas pada situasi
apapun terutama situasi emergensi diperlukan kesiapsiagaan semua pihak lintas sektor dan
lintas program, baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Departemen Kesehatan RI telah
menterjemahkan dan mengadopsi buku “Reproductive Health in refugee situation” yang
disusun oleh Inter Agency Working Group on Reproductive Health in emergency situation
menjadi buku pedoman: “Kesehatan Reproduksi bagi pengungsi” dan juga telah memulai
program kegiatan program penanggulangan kekerasan berbasis gender sejak tahun 2003
sebagai upaya untuk meningkatkan kesiapan dan pelaksanaan program kesehatan reproduksi
dalam penanganan bencana. Namun demikian, penerapan panduan tersebut di lapangan masih
sangat kurang dan program kesehatan reproduksi masih kerap terabaikan. Oleh karena itu,
untuk memudahkan pemahaman dan penerapan program kesehatan reproduksi dalam situasi
bencana, Departemen Kesehatan dengan dukungan dari United Nations Population Fund
(UNFPA) telah menyusun pedoman praktis pelaksanaan program kesehatan reproduksi dalam
situasi bencana bencana.

B. Rumusan Masalah
1. Apa mekanisme koordinasi PPAM?
2. Apa tujuan koordinasi dan pelaksanaan PPAM?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menetahui langkah – langkah penanganan kesehatan reproduksi pada tiap tahap
enanggulangan bencana pada pasca bencana
2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui mekanisme koordinasi PPAM
 Untuk mengetahui tujuan koordinasi dan pelaksanaan PPAM

D. Manfaat
Memberikan pengetahuan lebih mengenai penanganan bencana pada tiap tahan
penanggulangan bencana baik mekanisme koordinasi PPAM, tujuan koordinasi dan
pelaksanaan PPAM
BAB II
PEMBAHASAN

Koordinasi kegiatan MISP diperlukan di beberapa tingkat, termasuk di dalam setiap


instansi yang menanggapi situasi darurat selain di tingkat lokal/kamp, instansi, sub-regional,
negara dan internasional. Koordinasi di dalam dan di antara berbagai tingkat ini dan lintas
sektor ditujukan untuk memastikan bahwa upaya tidak dilaksanakan dua kali, data dan
informasi yang bermanfaat dapat dibagi di antara para pelaku kemanusiaan dan sumberdaya
yang langka dapat digunakan dengan efisien.
Sub-regional, negara dan internasional dalam tiga kondisi terpisah. Perlu diingat bahwa
ini merupakan skenario ideal dan dalam kenyataannya situasi mungkin tidak seperti yang
ditata. Namun yang penting dari contoh ini adalah untuk menunjukkan koordinasi di semua
tingkat.
a. Tingkat Lokasi
Di tingkat lokasi, diagram memperlihatkan berbagai konfigurasi yang menunjukkan
berbagai cara di mana instansi kemanusiaan dapat ditata untuk melayani kebutuhan populasi
pengungsi internal yang tertampung dalam kondisi seperti itu. Lokasi A memiliki dua instansi
kemanusiaan yang menyediakan layanan di lokasi yang mencakup kesehatan, perlindungan/
hukum, layanan masyarakat dan manajemen lokasi (Untuk contoh ini, layanan dibagi menjadi
empat bidang utama, tetapi hal ini bisa saja bervariasi tergantung kondisi). Lokasi B memiliki
tiga instansi yang menyediakan layanan yang sama,sementara di Lokasi C semua layanan
disediakan oleh satu instansi.
Berikut adalah beberapa contoh bagaimana kegiatan koordinasi dapat berlangsung:
Lokasi A yang mengelola sektor perlindungan/hukum, menerima laporan mengenai
insiden perkosaan dan membawa segera korban bersangkutan yang selamat ke layanan
kesehatan yang disediakan oleh Instansi. Setelah kasus ini ditangani dan dikoordinasi di
antara kedua instansi, korban bersangkutan yang selamat dapat mengakses layanan klinik dan
juga mendapatkan bantuan hukum apabila ia memilih untuk berbuat demikian.
Lokasi B instansi yang bertanggung-jawab atas layanan masyarakat, bekerja sama
dengan instansi yaitu
 Penyedia layanan kesehatan, untuk mendapatkan kondom.
 Manajer layanan masyarakat meletakkan kondom di tempat yang sesuai seperti kantor dan
ruang memastikan kondom gratis dan terlihat oleh populasi pengungsi internal dan juga
oleh staf instansi. Manajer layanan masyarakat juga meminta Instansi, manajer lokasi,
untuk meletakkan kondom di tempat lain yang sesuai di mana staf dan pengungsi internal
berkumpul.
 Koordinasi dalam kondisi ini dapat menjadi upaya yang lebih menantang sehubungan
dengan jumlah instansi yang terlibat dalam menyediakan layanan kepada populasi
pengungsi internal di lokasi ini.
Lokasi C: Instansi, meskipun merupakan penyedia layanan tunggal di kamp, dan dengan
demikian yang menjadi masalah bukan koordinasi dengan instansi lain, harus mengenal
praktek yang baik dan perkembangan yang terjadi di lokasi lain. Misalnya, instansi yang
bekerja di Lokasi A dan B baru-baru ini melaksanakan penilaian fasilitas kesehatan atas
dua rumah sakit rujukan setempat. Mereka menemukan bahwa satu fasilitas mengalami
rusak berat dalam konflik setempat sehingga mereka memutuskan untuk menutup fasilitas
ini dan terfokus pada memperlengkapi dan menyediakan staf penuh untuk fasilitas lain
yang juga lebih dekat ke lokasi. Hal ini merupakan informasi penting untuk diketahui oleh
Instansi #4 agar pihaknya dapat membawa pasien ke fasilitas kesehatan yang paling tepat.

b. Tingkat Sub-Regional:
Yang penting adalah semua instansi yang menanggapi situasi darurat mengambil bagian
dalam kegiatan koordinasi yang terjadi di antara lokasi, baik berupa rapat mingguan, dua
mingu sekali atau bulanan. Peran Koordinator Kesehatan Reproduksi di tingkat ini adalah
bekerjasama dengan MOH pemerintah tuan rumah bila memungkinkan untuk memberikan
bantuan teknis Kesehatan Reproduksi kepada instansi-instansi ini; memastikan bahwa
koordinasi berlangsung di antara berbagai sektor untuk memastikan pelaksanaan multi-
sektoral kegiatan MISP; dan memberikan sesi orientasi khusus mengenai MISP untuk staf
instansi, yang dapat mencakup pekerja kesehatan, pejabat layanan masyarakat, pejabat
keamanan, pengungsi internal, dsb. Selain itu, Koordinator Kesehatan Reproduksi dapat
memastikan bahwa protokol yang telah dibakukan digunakan oleh para instansi untuk
memfasilitasi pelaksanaan MISP.
Contoh:
Koordinator Kesehatan Reproduksi dapat memastikan bahwa tiap instansi menggunakan
Clinical Management of Rape Survivors [Manajemen Klinis Atas Mereka Yang Selamat dari
Perkosaan] 10 dari WHO/UNHCR atau protokol baku lainnya untuk manajemen medis bagi
mereka yang selamat dari perkosaan (misalnya: protokol dari Médecins Sans Frontières atau
MOH) dan bahwa staf mendapat pelatihan mengenai protokol. Formulir pengawasan
kesehatan lokasi juga harus disesuaikan untuk mendokumentasi jumlah mereka yang selamat
dari kekerasan seksual yang ditangani serta kematian ibu dan bayi. Koordinator Kesehatan
Reproduksi juga dapat memperkenalkan formulir sederhana untuk memantau kegiatan MISP
(atau menyesuaikan formulir di mana staf instansi sudah terbiasa dengannya). Formulir ini
dapat mencakup informasi lebih lanjut setelah situasi beranjak ke tahap stabil dan layanan
Kesehatan Reproduksi lengkap ditetapkan.
Meskipun kematian ibu dan bayi relatif jarang, kecuali jika telah didokumentasi, namun
kematian ibu dan bayi mungkin belum ditangani. Selain itu, Koordinator Kesehatan
Reproduksi bertanggung-jawab mengumpulkan informasi dari setiap kondisi lokasi dan
menghimpunnya dalam suatu laporan yang dapat digunakan bersama di tingkat negara
bersama PBB dan instansi pemerintah.

c. Tingkat Negara:
Seperti yang ditunjukkan oleh diagram, Koordinator Kesehatan Reproduksi juga harus
ditunjuk di tingkat negara untuk mengumpulkan informasi dari seluruh sub-wilayah. Personil
ini memiliki gambaran lengkap mengenai persoalan Kesehatan Reproduksi untuk populasi
pengungsi internal di negara.
Contoh:
Dalam menanggapi krisis tsunami, UNFPA menugaskan Koordinator Kesehatan
Reproduksi di lapangan di Indonesia dan Sri Lanka. Koordinator Kesehatan Reproduksi
memprakarsai rapat koordinasi di setiap negara di awal krisis yang memicu lebih banyak
instansi yang awalnya tertarik dengan Kesehatan Reproduksi untuk turut ambil bagian dan
berbagi informasi mengenai kegiatan penyediaan layanan Kesehatan Reproduksi mereka.
memantau kebutuhan pasokan instansi selain mempermudah pengumpulan data.

d. Tingkat Internasional:
Di tingkat internasional, IAWG merupakan mekanisme di mana terjadi kerjasama di
antara PBB dan instansi pemerintah, donor dan LSM. Kelompok menyediakan forum di mana
mitra lokal dan internasional dapat berbagi kegiatan dan sumberdaya, memprakarsai upaya
kolaborasi dan menganalisa persoalan di lapangan yang harus ditangani.

A. TUJUAN KOORDINASI DAN PELAKSANAAN PPAM


1. Tujuan Koordinasi
· Memastikan adanya kesatuan gerak dalam organisasi;
· Saling berkomunikasi dan bantu membantu antar pejabat/unit;
· Menjamin kesatuan kebijaksanaan untuk hal-hal yang sama;
· Menghindarkan kecenderungan merasa paling penting dalam organisasi (arogansi
sektoral)

2. Tujuan Koordinasi PPAM


a. MEMASTIKAN sektor/cluster kesehatan menetapkan suatu organisasi untuk
mengkoordinasi pelaksanaan PPAM. Lembaga koordinator kesehatan reproduksi:
 menominasikan seorang petugas kesehatan reproduksi untuk memberi dukungan
teknis dan operasional untuk semua lembaga yang menyediakan pelayanan kesehatan
 menjadi tuan rumah pertemuan reguler para stakeholders untuk memfasilitasi
pelaksanaan PPAM
 melapor kembali kepada pertemuan sektor/cluster kesehatan mengenai isu-isu yang
terkait dengan pelaksanaan PPAM
 membagi informasi tentang ketersediaan sumber daya dan supply kesehatan
reproduksi

b. MENCEGAH DAN MENANGANI konsekuensi kekerasan seksual:


 Melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi penduduk yang terdampak, terutama
perempuan dan anak perempuan, dari kekerasan seksual
 Membuat perawatan klinik tersedia untuk korban/penyintas perkosaan
 Memastikan masyarakat mengetahui tersedianya layanan klinik

c. MENGURANGI penularan HIV:


 Memastikan praktik transfusi darah yang aman
 Memfasilitasi dan menekankan penerapan standard kewaspadaan universal
 Menyediakan kondom gratis

d. MENCEGAH meningkatnya kesakitan dan kematian maternal dan neonatal


 Memastikan tersedianya layanan kegawatdaruratan kebidanan (EmOC = emergency
obstetric care ) dan layanan perawatan bayi baru lahir, termasuk:
 Di fasilitas kesehatan: bidan-bidan yang terampil dan perlengkapan untuk
persalinan normal dan penanganan komplikasi kebidanan dan neonatal.
 Di rumah sakit rujukan: staf medis yang terampil dan perlengkapan untuk
penanganan kedaruratan kebidanan dan neonatal
 Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan komunikasi dari
masyarakat ke puskesmas dan antara puskesmas dan rumah sakit.
 Menyediakan kit persalinan bersih untuk wanita hamil yang terlihat dan penolong
persalinan untuk persalinan bersih dirumah jika terpaksa karena akses ke fasilitas
kesehatan tidak memungkinkan

e. RENCANAKAN untuk layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif dan


terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar ketika situasi memungkinkan.
Mendukung partners sektor/cluster kesehatan untuk:
 Mengkoordinasikan pemesanan peralatan dan supply kesehatan reproduksi
berdasarkan perkiraan maupun pengamatan konsumsi.
 Mengumpulkan data latar belakang yang ada
 Mengidentifikasi lokasi yang cocok untuk menyelenggarakan layanan kesehatan
reproduksi yang komprehensif di masa depan.
 Menilai kapasitas staf untuk memberikan layanan kesehatan reproduksi yang
komprehensif dan rencana untuk pelatihan / pelatihan kembali staf.

Pelaksanaan PPAM
Tindakan pelaksanaan dari rencana kesiapsiagaan dibedakan menjadi respon awal dan
respon lanjutan.
1. Respon Awal
a. Penentuan Tingkat wewenang penanganan bencana: tingkat kabupaten/ propinsi/
nasional Tim Siaga Kesehatan Reproduksi Propinsi PPK regional setempat Tim Siaga
Kesehatan Reproduksi Kabupaten Tim Siaga Kesehatan Reproduksi PPK Pusat Tidak
tertangani Tidak tertangani Tidak tertangani BENCANA Keterangan. Dalam hal terjadi
bencana, maka tanggung jawab pertama upaya penanganan kesehatan reproduksi ada
pada tingkatan kabupaten/kota, Manakala masalah Kesehatan Reproduksi yang timbul
tidak tertangani oleh tim tingkat kabupaten, maka upaya penanganan akan mendapat
dukungan dari tingkat di atasnya.
b. Mengintegrasikan tim siaga kespro ke dalam tim koordinasi Badan Penanggulangan
Bencana
2. Mobilisasi tim siaga kesehatan reproduksi untuk melakukan penilaian awal dan kegiatan
lain secara simultan sesuai fungsi dari masing-masing sub tim. Penilaian Awal
Kesehatan Reproduksi secara Cepat
a. Tujuan:
 untuk mengukur besarnya masalah yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi akibat
bencana, dampak yang terjadi maupun yang mungkin terjadi terhadap kesehatan
reproduksi.
 menjadi acuan bagi upaya kesehatan reproduksi yang tepat dalam penanggulangan
dampak bencana terhadap kesehatan reproduksi.
b. Penanggung jawab: koordinator bidang penilai pada tim siaga kesehatan reproduksi
c. Waktu pelaksanaan: terintegrasi dengan penilaian kesehatan secara umum, dan waktu
pelaksanaannya tidak lebih dari 72 jam setelah bencana terjadi. Penilaian awal
kesehatan secara cepat dilakukan melalui alur sebagai berikut;
BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Tiap-tiap fase bencana memiliki karakteristik/kondisi yang tertentu. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langkah yang berbeda untuk setiap tahapan bencana. Agar kegiatan dapat
berjalan dengan terarah, maka rencana yang disusun oleh Tim Siaga Kesehatan PASCA
BENCANA.
Kegiatan difokuskan pada upaya pemulihan kondisi kesehatan reproduksi. Secara
definisi pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat
dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dan difokuskan
pada perencanaan pelaksanaan kesehatan reproduksi komprehensif.
Tujuan Koordinasi
· Memastikan adanya kesatuan gerak dalam organisasi;
· Saling berkomunikasi dan bantu membantu antar pejabat/unit;
· Menjamin kesatuan kebijaksanaan untuk hal-hal yang sama;
· Menghindarkan kecenderungan merasa paling penting dalam organisasi (arogansi sektoral)

B. SARAN
Diharapkan pembaca dapat mengetahui mengenai langkah – langkah dalam penanganan
kesehatan reproduksi pada tiap tahap penanganan bencana khususnya pada pasca bencana
seperti mekanisme koordinasi PPAM, tujuan koordinasi dan pelaksanaan PPAM
DAFTAR PUSTAKA

Budihardja . 2008. Pedoman Praktis Kesehatan Reproduksi Pada Penanggulangan Bencana


Indonesia. Jakarta

iawg. 2010. Buku Pedoman Lapagan Antar – Lembaga Kesehatan Reproduksi Dalam Situasi
Darurat Bencana. Revisi untuk peninjauan lapangan : Inter-agency Working Group on
Reproductive Health in Crises

Rhrc, consortium. 2004. gender-based Violence Tools Manual for a ssessment and
Programme design, Monitoring and evaluation. USAID

Anda mungkin juga menyukai