Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Well Cementing


Pada umumnya operasi penyemenan bertujuan untuk melekatkan casing pada
dinding lubang sumur, melindungi casing dari masalah-masalah mekanis sewaktu
operasi pemboran (seperti getaran), melindungi casing dari fluida formasi yang
bersifat korosi dan untuk memisahkan zona yang satu terhadap zona yang lain di
belakang casing. Menurut alasan dan tujuannya, penyemenan dapat dibagi dua, yaitu
Primary Cementing (Penyemenan Utama) dan Secondary atau Remedial Cementing
(Penyemenan Kedua atau Penyemenan perbaikan). Primary Cementing adalah
penyemenan pertama kali yang dilakukan setelah casing diturunkan ke dalam sumur.
Sedangkan secondary cementing adalah penyemenan ulang untuk menyempurnakan
primary cementing atau memperbaiki penyemenan yang rusak. (Rubiandini, 2010)

2.2 Primary Cementing


Pada primary cementing, penyemenan casing pada dinding lubang sumur
dipengaruhi oleh jenis casing yang akan disemen. Penyemenan conductor casing
bertujuan untuk mencegah terjadinya kontaminasi fluida pemboran (lumpur
pemboran) terhadap lapisan tanah permukaan. Penyemenan surface casing bertujuan
untuk melindungi air tanah agar tidak tercemar dari fluida pemboran, memperkuat
kedudukan surface casing sebagai tempat dipasangnya alat BOP (Blow Out
Preventer), untuk menahan beban casing yang terdapat di bawahnya dan untuk
mencegah terjadinya aliran fluida pemboran atau fluida formasi yang akan melalui
surface casing. Penyemenan intermediate casing bertujuan untuk menutup tekanan
formasi abnormal atau untuk mengisolasi daerah lost circulation. Penyemenan
production casing bertujuan untuk mencegah terjadinya aliran antar formasi ataupun
aliran fluida formasi yang tidak diinginkan, yang akan memasuki sumur. Selain itu
untuk mengisolasi zona produktif yang akan diproduksikan fluida formasi
(perforated completion), dan juga untuk mencegah terjadinya korosi pada casing
yang disebabkan oleh material-material korosif. (Rubiandini, 2010)

2.3 Secondary cementing


Penyemenan atau cementing didefinisikan sebagai suatu proses pekerjaan
yang meliputi perancangan, pengujian, pencampuran aditif, pengadukan dan
pemompaan slurry cement (bubur semen) ketempat yang telah ditentukan dalam
sumur. Secondary cementing secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses
pekerjaan penyemenan kedua setelah pekerjaan penyemenan pertama telah dilakukan
sebelumnya, dengan maksud-maksud sebagai perbaikan. Secondary cementing dapat
dilakukan pada saat pengeboran, penyelesaian sumur, dan kerja ulang. (Nelson, EB.
1990)

Gambar 2.1 Squeeze Cementing


(Nelson, EB. 1990)

Secondary cementing juga dapat digunakan untuk menurunkan rasio fluida


produksi. Bagian perforasi tertentu mungkin harus ditutup dengan pemompaan
suspensi semen, sehingga volume gas dan air dapat dikurangi dengan penyemenan di
bagian atas dan bawah perforasi secara berurutan. Pertimbangan yang paling penting
dalam operasi secondary cementing adalah teknik penempatan dan pembuatan
suspensi semen yang akan digunakan. (Nelson, EB. 1990)

2.4 Tujuan Secondary cementing


2.4.1 Memperbaiki Pekerjaan Primary cementing
Pekerjaan primary cementing yang tidak sempurna, seperti penempatan dan
volume lumpur displacement yang tidak baik akan mengakibatkan terdapatnya ruang
atau saluran kosong yang ada di belakang casing, sehingga dari masalah seperti itu
maka pekerjaan secondary cementing dapat dilakukan untuk menyempurnakan
pekerjaan primary cementing.

Gambar 2.2 Channel Pada Primary cementing


(Nelson, EB. 1990)

2.4.2 Menutup Zona Air


Gangguan dari fluida air disuatu sumur (biasanya disebabkan oleh adanya
coning) dapat terjadi selama hidup dari sumur tersebut. Water coning merupakan
masalah yang serius dalam produksi minyak di lapangan baik pada sumur horisontal
dan sumur vertikal. Produksi minyak yang mengalami Water dan coning dapat
mengurangi produksi minyak yang cukup berarti, sehingga perlu untuk
meminimalkan atau paling tidak menunda atau mencagah terjadinya coning terlalu
dini. Sebagai jalan keluarnya adalah dengan melakukan secondary cementing agar air
yang tidak diharapkan dapat berkurang atau hilang.

2.4.3 Menurunkan Nilai GOR


Dalam setiap sumur nilai GOR dapat meningkat melebihi batas ekonomi,
sehingga memerlukan tindakan perbaikan, yaitu salah satunya dengan melakukan
pekerjaan secondary cementing terhadap lubang perforasi yang ada, dan melakukan
perforasi kembali pada zona interval lainnya.

2.4.4 Memperbaiki Casing Yang Rusak Dan Bocor


Secondary cementing juga diterapkan untuk memperbaiki cacat pada casing.
Namun, ketika berhadapan dengan casing yang tua dan berkarat, kita harus
menyadari bahwa itu mungkin akan dapat mengakibatkan kerusakan lebih karena
adanya pekerjaan squeeze dan dari tekanan yang akan yang dihasilkan. Sehingga
dapat dikatakan untuk perawatan sumur-sumur tua yang bermasalah dengan casing
yang sudah terkorosi ini, mungkin disarankan untuk mencabut casing lama (jika
mungkin) dan menurunkan casing yang baru.

2.4.5 Menutup Zona Yang Tidak Produktif


Zona-zona produksi pada suatu sumur memiliki batas umur produksi, dan jika
umur produksinya telah habis maka untuk melakukan penutupan zona tersebut dapat
dilakukan pekerjaan secondary cementing, dengan melakukan plug-off terhadap
perforasi yang ada.
2.5 Metode Secondary Cementing
Untuk menyelesaikan tujuan dilakukannya secondary cementing hanya
dibutuhkan volume semen yang relatif kecil, tetapi harus ditempatkan pada titik yang
tepat didalam sumur. Kadang-kadang kesulitan utama adalah membatasi semen
terhadap lubang bor. Untuk itu diperlukan perencanaan yang baik terutama
perencanaan bubur semen dan pemilihan tekanan dan penggunaan metode yang
digunakan untuk berhasilnya pekerjaan. Secara umum pengerjaan secondary
cementing dapat dibagi atas 2 klasifikasi, yaitu; squeeze cementing dan plug
cementing. (Nelson, EB. 1990)

2.5.1 Squeeze Cementing


Adalah pekerjaan memasukkan slurry semen dengan memberikan tekanan
tertentu ke dalam lubang sumur, dengan maksud-maksud perbaikan, dan terdapat
pembagian jenis-jenis metode pekerjaan didalamnya seperti;
A. Low-pressure Squeeze
Teknik tekanan rendah atau dikenal juga dengan semen fluid loss rendah adalah
teknik squeeze cementing dengan memberikan tekanan yang lebih kecil dari gradien
rekah formasi. Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengisi rongga perforasi dan void
saling berhubungan dengan semen dehidrasi. Biasanya volume slurry yang digunakan
pada operasi ini sedikit, dan kontrol tepat untuk tekanan hidrostatik kolom semen
adalah penting, karena tekanan yang berlebihan dapat mengakibatkan pembentukan
hasil penyemenan tidak sesuai dengan yang diharapkan. (Nelson, EB. 1990)
B. High-pressure Squeeze
Teknik tekanan tinggi, tekanan ini mencakup perekahan formasi dan
pemompaan bubur semen kedalam rekahan hingga tekanan tertentu tercapai dan
terlaksana tanpa kebocoran. Biasanya digunakan semen bersih yaitu dengan fluid loss
yang sangat tinggi.
Gambar 2.3 High-pressure Squeeze
(Nelson, EB. 1990)

C. Bradenhead Squeeze
Pada metode ini biasanya digunakan ketika pekerjaan low-pressure squeeze
digunakan, dan juga ketika tidak ada sedikit masalah dengan kapasitas casing untuk
menahan dari pressure yang dihasilkan. Metode ini di gunakan dengan cara
menempatkan cement slurry di depan perforasi dan di sebut “balancing plug“ setelah
slurry dicampur, slurry kemudian di pompa ke dalam tubing dan di ikuti oleh
sejumlah fluida work over yang sudah di hitung sehingga membentuk suatu
keseimbangan (kesamaan tinggi) kolom slurry di dalam tubing dan annulus. Tubing
di angkat di atas cement slurry dan tubing di lakukan sirkulasi balik untuk
membersihkan kelebihan semen. Tekanan squeeze di berikan untuk menekan slurry
ke dalam perforasi, setelah final squeeze pressure didapat, tubing kemudian
diturunkan untuk sirkulasi balik kelebihan semen, sampai cement plug masih tinggal
beberapa meter di atas perforasi.
Gambar 2.4 Proses Metode Bradenhead Squeeze
(Nelson, EB. 1990)
D. Squeeze Tool Technique
Pada metode ini pekerjaan squeeze dibantu oleh beberapa peralatan tambahan.
Teknik ini dapat dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu retrievable squeeze packer
method dan drillable cement retainer method. Tujuan utama menggunakan peralatan
tambahan ini adalah untuk mengisolasi casing dan kepala sumur ketika tekanan
squeeze yang tinggi diberikan kepada sumur.
Gambar 2.5 Bridge Plug Dan Squeeze Packer
(Nelson, EB. 1990)

E. Hesitation Squeeze
Hesitation squeeze adalah satu-satunya prosedur pemompaan yang
menghasilkan nilai fluid loss yang kecil dari semen yang masuk ke dalam lubang
perforasi. Pekerjaan pemompaan ini secara langsung memiliki proses tahapan
pemompaan (dari ¼ sampai ½ bbl/min), dan dipisahkan oleh selang waktu 10 sampai
20 menit untuk tekanan leak off agar hilangnya filtrat ke dalam formasi.

2.5.2 Plug Cementing


Gambar 2.6 Plug Cementing
(Nelson, EB. 1990)

Adalah salah satu bagian dari pekerjaan secondary cementing yang bertujuan
untuk mem-plug suatu zona tertentu dalam sebuah sumur. Dimana biasanya pekerjaan
plug ini dilakukan pada trayek open hole, atau formasi yang lemah yang tidak
dimungkinkan untuk dipasang casing. Dan berdasarkan metode pengerjaannya maka
plug cementing dapat dibedakan menjadi:

A. Dump Bailer Method


Gambar 2.7 Dump Bailer Method
(Nelson, EB. 1990)

Dump boiler method, adalah salah satu metode penempatan plug cementing
menggunakan alat tambahan bernama dump boiler, dimana ketika pengerjaannya
digunakan wireline untuk menurunkan alat ini, dan biasanya dibantu oleh bridge plug
untuk membatasi zona di bawahnya.

2.6 Sifat – Sifat Semen


2.6.1 Densitas
Densitas suspensi semen didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah
berat bubuk semen, air pencampur dan aditif terhadap jumlah volume bubuk semen,
air pencampur dan aditif. Densitas suspensi semen sangat berpengaruh terhadap
tekanan hidrostatis suspensi semen di dalam lubang sumur. Bila formasi tidak
sanggup menahan tekanan suspensi semen, maka akan menyebabkan formasi pecah,
sehingga terjadi lost circulation. (Rubiandini, 2010). Densitas suspensi semen yang
rendah sering digunakan dalam operasi primary cementing dan remedial cementing,
guna menghindari terjadinya fracture pada formasi yang lemah. Untuk menurunkan
densitas dapat dilakukan dengan hal-hal berikut:
1. Menambahkan clay atau zat-zat kimia silikat jenis extender.
2. Menambahkan bahan-bahan yang dapat memperbesar volume suspensi
semen, seperti pozzolan.
Sedangkan densitas suspensi semen yang tinggi digunakan bila tekanan
formasi cukup besar. Untuk memperbesar densitas dapat ditambahkan pasir atau
material-material pemberat ke dalam suspensi semen, seperti barite. Pengukuran
densitas di laboratorium berdasarkan dari data berat dan volume tiap komponen yang
ada dalam suspensi semen, sedangkan di lapangan dengan menggunakan alat
'pressurized mud balance'.

2.6.2 Thickening Time dan Viskositas


Thickening time didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan suspensi semen
untuk mencapai konsistensi sebesar 100 UC (Unit of Consistency). Konsistensi
sebesar 100 UC merupakan batasan bagi suspensi semen masih dapat dipompa lagi.
Dalam penyemenan, sebenarnya yang dimaksud dengan konsistensi adalah viskositas,
cuma dalam pengukurannya ada sedikit perbedaan prinsip. Sehingga penggunaan
konsistensi ini dapat dipakai untuk membedakan viskositas pada operasi penyemenan
dengan viskositas pada operasi pemboran (lumpur pemboran). (Rubiandini, 2010)
Thickening time suspensi semen ini sangatlah penting. Waktu pemompaan
harus lebih kecil dari thickening time, karena bila tidak, akan menyebabkan suspensi
semen akan mengeras lebih dahulu sebelum seluruh suspensi semen mencapai target
yang diinginkan. Dan bila mengeras di dalam casing merupakan kejadian yang sangat
fatal dalam operasi pemboran selanjutnya. Untuk sumur-sumur yang dalam dan untuk
kolom penyemenan yang panjang, diperlukan waktu pemompaan yang lama,
sehingga thickening time harus diperpanjang. Untuk memperpanjang atau
memperlambat thickening time perlu ditambahkan retarder ke dalam suspensi semen,
seperti kalsium lignosulfonat, carboxymethyl hydroxyethyl cellulose dan senyawa-
senyawa asam organik. Pada sumur-sumur yang dangkal maka diperlukan thickening
time yang tidak lama, karena selain target yang akan dicapai tidak terlalu panjang,
juga untuk mempersingkat waktu. Untuk mempersingkat thickening time, dapat
ditambahkan accelerator kedalam suspensi semen. Yang termasuk accelerator adalah
kalsium klorida, sodium klorida, gipsum, sodium silikat, air laut dan aditif yang
tergolong dalam dispersant.
Gambar 2.8 adalah hubungan antara pumpability time dan temperatur.
Perencanaan besarnya thickening time bergantung kepada kedalaman sumur dan
waktu untuk mencapai daerah target yang akan disemen. Di laboratorium,
pengukuran thickening time menggunakan alat High Pressure High Temperature
Consistometer (HPHT), disimulasikan pada kondisi temperatur dan tekanan sirkulasi.
Thickening time suspensi semen dibaca bila pada alat diatas telah menunjukkan 100
UC untuk standar API, namun ada perusahaan lain yang menggunakan angka 70 UC
(seperti pada Hudbay) dengan pertimbangan faktor keselamatan, kemudian
diekstrapolasi ke 100 UC.

Gambar 2.8 Pumpability Time vs Temperature


Perhitungan konsistensi suspensi semen di laboratorium ini dilakukan dengan
mengisi sampel kedalam silinder, lalu diputar konstan pada 150 rpm kemudian dibaca
harga torsinya. Dan harga konsistensi suspensi semen dapat dihitung dengan
menggunakan rumus :

Dimana: UC = Konsistensi Suspensi Semen


T = Pembacaan Harga Torsi, g-cm

2.6.3 Filtration Loss


Filtration loss adalah peristiwa hilangnya cairan dari suspensi semen ke dalam
formasi permeabel yang dilaluinya. Cairan ini sering disebut dengan filtrat. Filtrat
yang hilang tidak boleh terlalu banyak, karena akan menyebabkan suspense semen
kekurangan air. Kejadian ini disebut dengan flash set. Bila suspensi semen mengalami
flash set maka akan mengakibatkan friksi di annulus dan juga dapat mengakibatkan
pecahnya formasi. Pengujian filtration loss di laboratorium menggunakan alat filter
press pada kondisi temperatur sirkulasi dengan tekanan 1.000 psi. Namun filter loss
mempunyai kelemahan yaitu temperatur maksimum yang bisa digunakan hanya
sampai 82°C (180°F). Filtration loss diketahui dari volume filtrat yang ditampung
dalam sebuah tabung atau gelas ukur Selama 30 menit masa pengujian. Bila waktu
pengujian tidak sampai 30 menit, maka besarnya filtration loss dapat diketahui
dengan rumus :

F30 = =

Dimana:
F30 = Filtrat pada 30 menit, ml
Ft = Filtrat pada t menit,ml
T = Waktu pengukur, menit
Pada primary cementing, filtration loss yang diijinkan sekitar 150-250 cc
yang diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325 mesh dan
pada tekanan 1.000 psi. Sedangkan pada squeeze cementing, filtration loss diijinkan
sekitar 55 - 65 cc selama 30 menit.

2.6.4 Water Cement Ratio (WCR)


Water cement ratio adalah perbandingan air yang dicampur terhadap bubuk
semen sewaktu suspensi semen dibuat. Jumlah air yang dicampur tidak boleh lebih
atau kurang, karena akan mempengaruhi baik-buruknya ikatan semen nantinya.
Batasan jumlah air dalam suspensi semen didefinisikan sebagai kadar minimum dan
kadar maksimum air.
A. Kadar Minimum Air
Kadar minimum air adalah jumlah air yang dicampurkan tanpa menyebabkan
konsistensi suspensi semen lebih dari 30 UC. Bila air yang ditambahkan lebih kecil
dari kadar minimumnya, maka akan terjadi gesekan gesekan (friksi) yang cukup besar
di annulus sewaktu suspensi semen dipompakan dan juga akan menaikan tekanan di
annulus.
B. Kadar Maksimum Air
Kadar maksimum air dicari sebagai berikut : Diambil sebuah tabung yang
berisi suspensi semen sebanyak 250 ml, kemudian didiamkan selama 2 jam sehingga
terjadi air bebas pada bagian atas tabung. Air bebas yang terjadi tidak boleh lebih dari
3,5 ml. Bila air bebas yang terjadi melebihi 3,5 ml maka akan terjadi pori-pori pada
semen. Dan ini mengakibatkan semen mempunyai permeabilitas yang besar.
Kandungan air normal dalam suspensi semen yang direkomendasikan oleh API
diberikan dalam Tabel 2.1. Kadar air yang terdapat dalam suspensi semen harus
berada antara kadar minimum dan kadar maksimumnya. (Rubiandini, 2010)
Tabel 2.1 Kandungan Air Normal Dalam Suspensi Semen
API Class Water (%) by Water
Cement weight of cement Gal per-sack L per Sack
A and B 46 5.19 19.6
C 56 6.32 23.9
D, E,F,and H 38 4.29 16.2
G 44 4.97 14.8
J (tentative) - - -

2.6.5 Waiting on Cement


Waiting on cement atau waktu menunggu pengerasan suspensi semen adalah
waktu yang dihitung saat wiper plug diturunkan sampai kemudian plug dibor kembali
untuk operasi selanjutnya. WOC ditentukan oleh faktor-faktor seperti tekanan dan
temperatur sumur, WCR, compressive strength dan aditif-aditif yang dicampur ke
dalam suspensi semen (seperti accelerator atau retarder), pada umumnya diambil
angka sekitar 24 jam. (Rubiandini, 2010)

2.6.6 Permeabilitas
Permeabilitas diukur pada semen yang mengeras, dan bermakna sama dengan
permeabilitas pada batuan formasi yang berarti kemampuan untuk mengalirkan
fluida. Semakin besar permeabilitas semen maka semakin banyak fluida yang dapat
melalui semen tersebut, dan begitu pula untuk keadaan yang sebaliknya. Dalam hasil
penyemenan, permeabilitas semen yang diinginkan adalah tidak ada atau sekecil
mungkin. Karena bila permeabilitas semen besar akan menyebabkan terjadinya
kontak fluida antara formasi dengan annulus dan strength semen berkurang, sehingga
fungsi semen tidak akan seperti yang diinginkan, yaitu menyekat casing dengan
fluida formasi yang korosif. (Rubiandini, 2010)
Bertambahnya permeabilitas semen dapat disebabkan karena air pencampur
terlalu banyak, karena kelebihan aditif atau temperatur formasi yang terlalu tinggi.
Perhitungan permeabilitas semen di laboratorium dapat dilakukan dengan
menggunakan 'Cement Permeameter'. Dengan menggunakan sampel semen,
permeabilitas diukur dengan mengukur laju alir air yang melalui luas permukaan
sampel yang diberi perbedaan tekanan sepanjang sampel tersebut. Perhitungan
permeabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Darcy berikut :

k=

dimana:
k = Permeabilitas, D
q = Laju alir, ml/s

= Viscositas air, cp

L = Panjang sampel, cm
A = Luas permukaan sampel, cm2
∆P = Perbedaan tekanan, atm

2.6.7 Compressive Strength Dan Shear Strength


Strength pada semen terbagi dua, yakni compressive strength dan shear
strength. Compressive strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan
tekanan-tekanan yang berasal dari formasi maupun dari casing, sedangkan shear
strength didefinisikan sebagai kekuatan semen dalam menahan berat casing. Jadi
compressive strength menahan tekanan-tekanan dalam arah horizontal dan shear
strength semen menahan tekanan- tekanan dari arah vertikal. Dalam mengukur
strength semen, seringkali yang diukur adalah compressive strength dari pada shear
strength. Umumnya compressive strength mempunyai harga 8 - 10 kali lebih dari
harga shear strength. Pengujian compressive strength di laboratorium dilakukan
dengan menggunakan alat Curing Chamber dan Hydraulic Mortar. Curing Chamber
dapat mensimulasikan kondisi lingkungan semen untuk temperatur dan tekanan tinggi
sesuai dengan temperatur dan tekanan formasi.
Hydraulic Mortar merupakan mesin pemecah semen yang sudah mengeras
dalam Curing Chamber. Strength minimum yang direkomendasikan oleh API untuk
dapat melanjutkan operasi pemboran adalah 6, 7 MPa (1.000 psi) Untuk mencapai
hasil penyemenan yang diinginkan, maka strength semen harus:
 Melindungi dan menyokong casing
 Menahan tekanan hidrolik yang tinggi tanpa terjadinya perekahan.
 Menahan goncangan selama operasi pemboran dan perforasi.
 Menyekat lubang dari fluida formasi yang korosif.
 Menyekat antar lapisan yang permeabel.

2.6.8 Pengendapan Partikel dan Air Bebas


Efek sampingan dari penambahan dispersant adalah akan terjadinya
sedimentasi dan terjadi degradasi densitas suspensi semen dari bagian atas dan bagian
bawahnya serta adanya air bebas dibagian atas suspensi semen. Pengendapan partikel
(sedimentasi) akan menyebabkan terbentuknya semen yang mempunyai pori-pori
yang cukup besar sehingga akan terbentuk semen yang memiliki permeabilitas yang
cukup besar pula. Dengan adanya free water di permukaan semen, akan
memperburuk hasil penyemenan, terutama untuk penyemenan sumur-sumur miring
atau horizontal sehingga akan menimbulkan chaneling yang cukup panjang terutama
dibagian atas dari suspensi semen. (Rubiandini, 2010)

2.7 Klasifikasi Semen Dan Additive


Dalam proses pembuatan slurry semen diperlukan ketepatan antara menentukan
jenis semen dan additive yang dipakai, dengan kondisi interval yang akan dilakukan
pekerjaan penyemenan, hal-hal yang dapat dipertimbangkan seperti: kedalaman
interval, temperatur, dan juga jenis formasi. (Nelson, EB. 1990)
2.7.1 Klasifikasi Semen
A. Semen kelas A
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman permukaan (0
ft) sampai 6000 ft. Semen jenis ini tidak tahan terhadap sulfat.
B. Semen Kelas B
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman permukaan (0
ft) sampai 6000 ft. Semen jenis ini tahan terhadap sulfat.
C. Semen Kelas C
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman permukaan (0
ft) sampai 6000 ft, tahan terhadap sulfat dan mempunyai strength awal yang tinggi.
D. Semen Kelas D
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman 6000-10000 ft,
untuk temperatur dan tekanan formasi medium sampai tinggi, tersedia untuk semen
yang tidak tahan terhadap sulfat.
E. Semen Kelas E
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman 10000-14000
ft, untuk temperatur dan tekanan tinggi, tersedia untuk jenis yang tidak tahan sulfat
dan yang tahan terhadap untuk tekanan tinggi.
F. Semen Kelas F
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman 10000-16000
ft, untuk temperatur dan tekanan tinggi
G. Semen Kelas G
Semen ini dapat digunakan pada penyemenan dengan kedalaman permukaan (0
ft) sampai 8000 ft dan merupakan semen dasar, bila diinginkan untuk kondisi lain
dapat ditambahkan zat aditif yang sesuai.
H. Semen Kelas H
Semen kelas H juga merupakan semen dasar, tersedia jenis tahan terhadap sulfat
untuk tingkat moderat. Semen ini dapat digunakan pada kedalaman permukaan (0 ft)
sampai 8000 ft.
2.7.2 Additive
A. Accelerator
Accelerator adalah aditif yang dapat mempercepat proses pengerasan suspensi
semen. Selain itu dapat juga mempercepat naiknya strength semen dan mengimbangi
aditif lain (seperti dispersant dan fluida loss control agent), agar tidak tertunda proses
pengerasan suspensi semennya. Sumur-sumur yang dangkal seringkali menggunakan
accelerator, karena selain temperatur dan tekanan yang umumnya rendah, juga
karena jarak untuk mencapai target tidak terlalu panjang. Contoh-contoh aditif yang
berlaku sebagai accelerator adalah kalsium klorida , sodium klorida, gipsum, sodium
silikat dan air laut. (Rubiandini, 2010)
 Kalsium Klorida
Umumnya penambahan kalsium klorida antara 2 - 4% saja kedalam suspensi
semen. Pengaruhnya dapat mempercepat thickening time dan menaikkan
compressive strength.
 Sodium Klorida
Sodium klorida atau Narium klorida dengan kadar sampai 10% BWOMW
(by weight on mix water) berlaku sebagai accelarator. Pengaruhnya
terhadap thickening time dan compressive strength semen dapat dilihat pada
gambar 2.11.

Gambar 2.9 Efek Sodium Klorida pada Thickening Time dan Compressive Strength

B. Retarder
Retarder adalah aditif yang dapat memperlambat proses pengerasan suspensi
semen, sehingga suspensi semen mempunyai waktu yang cukup untuk mencapai
kedalaman target yang diinginkan. Retarder sering digunakan dalam menyemen
casing pada sumur-sumur yang dalam, sumur-sumur yang bertemperatur tinggi atau
untuk kolom penyemenan yang panjang. Aditif yang berlaku sebagai retarder antara
lain lignosulfonat, senyawa-senyawa asam organik dan CMHEC.
C. Extender
Extender adalah aditif yang berfungsi untuk menaikkan volume suspensi
semen, yang berhubungan dengan mengurangi densitas suspensi semen tersebut. Pada
umumnya penambahan extender ke dalam suspensi semen diikuti dengan
penambahan air. Adapun yang termasuk extender antara lain bentonite, attapulgite,
sodium silikat, pozzolan, perlite dan gilsonite.
D. Weighting agents
Weighting agents adalah aditif-aditif yang berfungsi menaikkan densitas
suspensi semen. Umumnya weighting agents digunakan pada sumur-sumur yang
mempunyai tekanan formasi yang tinggi. Aditif-aditif yang termasuk ke dalam
weighting agents adalah hematite, ilmenite, barite dan pasir.
E. Dispersant
Dispersant adalah aditif yang dapat mengurangi viskositas suspensi semen.
Pengurangan vikositas atau friksi terjadi karena dispersant mempunyai kelakuan
sebagai thinner (pengencer). Hal ini menyebabkan suspensi semen menjadi encer,
sehingga dapat mengalir dengan aliran turbulen walaupun dipompa dengan rate yang
rendah. Aditif-aditif yang tergolong dispersant adalah senyawa-senyawa sulfonat.
Polymelamine Sulfonate. Polymelamine sulfonate (PMS) dengan kandungan 0,4%
BWOC sering dicampur dengan suspensi semen sebagai dispersant. Sampai
temperatur 85°C (185°F), PMS tetap efektif karena unsur-unsur kimianya masih
stabil.

F. Fluid-Loss Control Agents


Fluid-loss control agent adalah aditif-aditif yang berfungsi mencegah
hilangnya fasa liquid semen ke dalam formasi, sehingga terjaga kandungan cairan
pada suspensi semen. Pada primary cementing, fluid-loss yang diijinkan sekitar 150 -
250 cc yang diukur selama 30 menit dengan menggunakan saringan berukuran 325
mesh dan pada tekanan 1.000 psi. Sedang pada squeeze cementing, fluid- loss yang
diijinkan sekitar 55-65 cc selama 30 menit dengan menggunakan saringan ukuran 325
mesh dan pada tekanan 1.000 psi. Aditif-aditif yang termasuk ke dalam fluid-loss
control agents diantaranya polymer, CMHEC dan latex.
G. Lost Circulation Control Agents
Lost circulation control agents merupakan aditif-aditif yang mengontrol
hilangnya suspensi semen ke dalam formasi yang lemah atau bergoa. Biasanya
material lost circulation yang dipakai pada lumpur pemboran digunakan pula dalam
suspensi semen. Aditif-aditif yang termasuk dalam lost circulation control agents
diantaranya gilsonite, cellophane flakes, gipsum, bentonite dan nut shell.
H.Anti Foam
Untuk menghilangkan busa yang ada akibat dari semen dan mix Water pada
saat mix slurry semen dilakukan. Sedikit konsentrasi dari anti foam akan mencegah
permasalahan ketika dilakukan mixing. Range konsentrasi yang digunakan dalam
penggunaan anti foam adalah 0.01 – 0.05 gps.

2.8 Perhitungan Pekerjaan Cementing


Untuk mendapatkan hasil penyemenan yang baik hanya tergantung dari teknik
atau peralatan yang dapat bekerja dengan baik, akan tetapi harus dilakukan
perhitungan perencanaan penyemenan. Adapun perhitungan yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
A. Kapasitas Dan Volume Semen Slurry
Kapasitas atau luas suatu ruang yang akan di semen dan volume annulus harus
diketahui, jumlah volume annulus yang akan disemen sama dengan jumlah volume
cement slurry yang dibutuhkan. Volume bubur semen dapat di hitung dengan
persamaan :
1. Volume Casing
2
V  ID  Depth
ca sin g
1029.4 …………………...………………. (2.1)
2. Volume
Annulus
Dimana :
ID = inside diameter casing, inch
OD = outside diameter casing, inch
1029.4 = konversi dalam satuan volume, bbl
V = volume cement slurry, bbl
Depth = kedalaman / ft

B. Yield Dan Jumlah Semen


Jumlah sak semen dapat didefinisikan sebagai jumlah sak semen yang
dibutuhkan dalam suatu proses penyemenan. Jumlah sak semen berbeda-beda pada
tiap-tiap suspensi, tergantung dari yield semen yang diinginkan. Berat semen dalam
satu sak umumnya adalah 94 lb. Sehingga jumlah sak semen dan yield semen dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

 Sak Semen =

 Yield =

Dimana :
7.481 = konversi satuan dari gallon volume menjadi cuft volume

C. Mixing Water
Mixing Water adalah jumlah air yang dibutuhkan campuran semen dan
additive untuk menjadi cement slurry. Perhitungan mixing Water ditentukan dengan
persamaan:
 Mixing Water = total sak semen x mix Water

D. Volume Displacement
Volume displacement merupakan volume fluida pendorong yang dibutuhkan
untuk mendorong suspensi semen dari dalam casing agar keluar ke annulus. Besarnya
displacement volume merupakan volume casing dari permukaan sampai collar.
Volume displacement ditentukan dengan persamaan:
 Displacement volume = Ccasing x Hcollar
Dimana :
C = kapasitas casing, bbl
H = kedalaman, ft

2.9 Peralatan Penyemenan


Dalam pekerjaan secondary cementing, peralatan yang digunakan dalam proses
pengerjaannya juga sangat diperlukan selain pembuatan desain bubur slurry, maupun
penentuan teknik yang digunakan. Karena peralatan-peralatan inilah yang secara
langsung berhubungan untuk membuat dan juga mentransfer slurry baik dari tank
menuju cementing unit maupun dari cementing unit menuju sumur. Dan secara umum
peralatan ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu peralatan utama dan peralatan aksesoris.

2.9.1 Peralatan Utama


A. Cementing Unit
Cementing Unit merupakan satu unit pompa yang berguna untuk memompakan
suspensi semen atau fluida pendorong dalam proses penyemenan. Cementing unit
dapat berupa truck (Long Vehicle) atau skid yang didalamnya terdapat perlengkapan
penyemenan, antara lain : Slurry Tub, Displacement Tank, Tornado, Pompa, Engine,
dsb.
Gambar 2.10 Cementing Unit
(Nelson, EB. 1990)

B. Tornado Atau PSM (Pressicion Slurry Mixer)


Tornado atau yang biasa PSM adalah alat pengaduk yang juga berada didalam
bagian cementing unit.
C. Batch Mixer
Batch Mixer adalah tempat untuk menampung/menyimpan air, atau cement
slurry, atau juga fluida displacement dalam jumlah volume yang besar.
D. Water Tank
Water Tank adalah tanki untuk menyimpan zat cair (Fresh Water) yang
dibutuhkan sebagai pencampur semen kering, atau sebagai tempat fluida hasil
pencampuran.
E. Air Compressor
Air Compressor adalah engine yang menghasilkan tekanan, biasanya
digunakan untuk mengirimkan semen kering dari cutting bottle ke gravity silo,
Pneumatic/ pressurized silo, dan Surge tank melalui hose.

2.9.2 Peralatan Aksesoris


A. Line
Adalah pipa besi yang berfungsi sebagai penghubung dan juga penyalur fluida
maupun slurry semen, baik dari tangki ke pompa, maupun dari pompa menuju sumur.
B. Swivel
Swivel terdiri atas long joint dan short joint yang merupakan treating line
untuk mengalirkan bubur semen atau fluida lain.
C. Hose
Hose merupakan selang fleksibel yang berfungsi untuk mengalirkan air, fluida
hasil mixing ataupun dry cement dengan ukuran diameter bervariasi (3”, 4”, 6”).
Kondisi kerja hose terdiri atas high pressure dan low pressure.

Anda mungkin juga menyukai