Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Rule of law adalah istilah dari tradisi common law dan berbeda dengan persamaannya
dalam tradisi hukum Kontinental, yaitu Rechtsstaat (negara yang diatur oleh hukum).
Keduanya memerlukan prosedur yang adil (procedural fairness), due process dan persamaan
di depan hukum, tetapi rule of law juga sering dianggap memerlukan pemisahan kekuasaan,
perlindungan hak asasi manusia tertentu dan demokratisasi. Baru-baru ini, rule of law dan
negara hukum semakin mirip dan perbedaan di antara kedua konsep tersebut menjadi semakin
kurang tajam.

Rule of law tumbuh dan berkembang pertama kali pada negara-negara yang menganut
system seperti Inggris dan Amerika Serikat, kedua negara tersebut mengejewantahkannya
sebagai perwujudan dari persamaan hak, kewajiban, dan derajat dalam suatu negara di hadapan
hukum. Hal tersebut berlandaskan pada nilai-nilai hak asasi manusia (HAM), di mana setiap
warga negara dianggap sama di hadapan hukum dan berhak dijamin HAM-nya melalui sistem
hukum dalam negara tersebut.

Rule of law jamak diartikan sebagai penegakan hukum, dimana segala sesuatu harus
dilaksanakan sesuai dengan hukum. Aturan atau kaidah dilaksanakan sesuai dengan hukum
yang berlaku. Secara kontras berbeda dengan rule by law yang berarti penegakan hukum
disesuaikan dengan aturan atau kaidah yang berlaku. Saya memahaminya, bahwa dalam rule
by law, hukum merupakan panglima terhadap kaidah, sedangan dalan rule by law, kaidahlah
yang menjadi panglima bagi hukum. Demi rule of law, dibutuhkan ketegasan penegak hukum-
tidak pandang bulu, tegas dan tajam. Sementara, dalam rule by law, sarat dengan kepentingan.
Hukum dikondisikan dapat mengamankan kebijakan kekuasaan. Dalam rangka mengamankan
kebijakan kekuasaan maka hukum-hukum baru diciptakan. Sesuai atau tidak dengan kaidah
hukum atau tidak, bukanlah menjadi pertimbangan penting, bahkan di sengaja
dikesampingkan. Rule of law kental dengan muatan aspek keadilannya, sementara rule by law,
kental dengan berbagai bentuk diskriminasi dan pemaksaan kehendak penguasa terhadap objek
yang dikuasainya, yaitu rakyat. Lebih jauh dapat dijelaskan sebagai berikut “Rule by law is
prudential: one rules by law (properly speaking) not because the law is higher than oneself but
because it is convenient to do so and inconvenient not to do so. In rule of law, the law is

1
something the government serves; in rule by law, the government uses law as the most
convenient way to govern”.

Lalu, bagaimana kita melihat produk hukum kita saat ini. Pergantian era, dari Orde Baru,
ke Era Reformasi ternyata belum juga menunjukkan kesungguhan penguasa memahami arti
sebenarnya rule of law. Berbagai produk hukum seperti Undang-undang, Kepmen, maupun
Perda-perda, masih sarat dengan nafas rule by law. Negara bukanlah institusi yang kebal
hukum, negara dapat dipersalahkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran hukum.
Rule of law mengandung asas "dignity of man" yang harus dilindungi dari tindakan sewenang-
wenang pemerintah/penguasa. (Oemar Seno Adji, 1980). Inti dari rule of law adalah terciptanya
tatanan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana rakyat bisa memperoleh
kepastian hukum, rasa keadilan, rasa aman, dan dijamin hak-hak asasinya.

Banyak peristiwa pada saat ini yang menjadi dasar perlunya rule of law atau penegakan
hukum. Indonesia pada saat ini, mengalami permasalahan yang besar dalam hal; illegal logging
atau pencurian kayu dari hasil hutan. Pencurian hasil hutan ini mengakibatkan kerugian negara
lebih Rp 100 triliun dalam empat tahun terakhir. Mengapa hal ini terjadi? Lemahnya penegakan
hukum menjadi jawabannya. Hutan memang dalam wewenang Departemen Kehutanan, namun
luasnya hutan tidak mungkin ditangani departemen ini sendiri, dibutuhkan bantuan kepolisian,
bahkan TNI. Pencuri hasil hutan ini juga tidak jera, karena hukuman yang ringan, atau sulitnya
mencari bukti. Dalam hal ini peranan kejaksaan, dan lembaga peradilan menjadi sangat
penting.

2
BAB II
PEMBAHASAN

1. Rule Of Law

Indonesia sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law dalam
negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang terlibat dalam
proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala kebobrokan masa lalu dan
menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang baru, yang memiliki the rule of law
dalam negaranya.

Konstitusi dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh
negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “government by laws,
not by men” yang artinya pemerintah berdasarkan hukum bukan, bukan berdasarkan kemauan
penguasa. Abad 19 dan permulaan abad 20 gagasan mengenai perlunya pembatasan kekuasaan
mendapat landasan yuridis. Sejak ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immannuel
Khant (1724-1804) dan Fredrich Julius Stahl memakai istilah rechsstaat, sedangkan ahli Anglo
Saxon seperti AV Dicey memakai istilah rule of law. Empat pilar demokrasi yang didasarkan
rechsstaat dan rule of law dalam arti klasik adalah :

a. Penghargaan terhadap hak asasi manusia.


b. Pemisahan dan pembagian kekuasaan yang popular dengan “trias politica.
c. Pemerintah berdasarkan undang-undang.
d. Peradilan ( Miriam Budiardjo, 1983:57)

Sebagai perbandingan pilar-pilar demokrasi yang didasarkan konsep rule of law menurut
AV Dicey adalah :

1. Tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang.


2. Kedudukan yang sama dalamhukum (dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun
untuk pejabat)
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang.

Ada tidaknya penegakan hukum, tidak cukup hanya ditentukan oleh adanya hukum saja, akan
tetapi lebih dari itu, ada tidaknya penegakan hukum ditentukan oleh ada tidaknya keadilan yang
dapat dinikmati setiap anggota masyarakat. Rule of law tidak saja hanya memiliki sistem
peradilan yang sempurna di atas kertas belaka, akan tetapi ada tidaknya rule of law di dalam

3
suatu negara ditentukan oleh kenyataan, apakah rakyatnya benar-benar dapat menikmati
keadilan, dalam arti perlakuan yang adil dan baik dari sesama warga negaranya, maupun dari
pemerintahannya, sehingga inti dari rule of law adanya jaminan keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat/bangsa. Rule of law merupakan suatu legalisme yang mengandung gagasan bahwa
keadilan dapat dilayani melalui pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang bersifat
objektif, tidak memihak, tidak personal dan otonom.

Fungsi rule of law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan”
bagi rakyat Indonesia dan juga ‘’keadilan sosial’’, sehingga diatur pada pembukaan UUD 1945,
bersifat tetap dan instruktif bagi penyelenggaraan negara. Dengan demikian, inti dari Rule of
Law adalah jaminan adanya keadilan bagi masyarakat, terutama keadilan sosial. Prinsip-prinsip
di atas merupakan dasar hukum pengambilan kebijakan bagi penyelenggara
negara/pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang berkaitan dengan jaminan atas
rasa keadilan, terutama keadilan sosial.

Penjabaran prinsip-prinsip rule of law secara formal termuat di dalam pasal-pasal UUD
1945, yaitu:

a. Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3);


b. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24
ayat1);
c. Segenap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hokum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya (Pasal 27 ayat 1);
d. Dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia, memuat 10 pasal, antara lain bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum
yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (pasal 28 ayat 1);
e. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 ayat 2).

Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang
membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan mengandung
keinginan untuk terciptanya negara hukum, yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat.
Penegakan rule of law harus diartikan secara hakiki (materiil), yaitu dalam arti ‘’pelaksanaan
dari just law.’’ Prinsip-prinsip rule of law secara hakiki (materiil) sangat erat kaitannya dengan

4
‘’the enforcement of the rules of law’’ dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam
hal penegakan hukum dan implementasi prinsip-prinsip rule of law.

Berdasarkan pengalaman berbagai negara dan hasil kajian menunjukkan bahwa


keberhasilan ‘’the enforcement of the rules of law’’ tergantung pada kepribadian nasional
masing-masing. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa rule of law merupakan institusi sosial
yang memiliki struktur sosiologis yang khas dan mempunyai akar budayanya yang khas pula.
Rule of law ini juga merupakan legalisme, suatu aliran pemikiran hukum yang di dalamnya
terkandung wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar manusia, masyarakat dana
negara, yang dengan demikian memuat nilai-nilai tertentu dan memiliki struktur sosiologisnya
sendiri. Legalisme tersebut mengandung gagasan bahwa keadilan dapat dilayani melalui
pembuatan sistem peraturan dan prosedur yang sengaja bersifat objektif, tidak memihak, tidak
personal, dan otonom. Secara kuantitatif, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
rule of law telah banyak dihasilkan di negara kita, namun implementasi/penegakannya belum
mencapai hasil yang optimal, sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule of
law belum dirasakan sebagian besar masyarakat.

Minimal Tiga Hal Untuk dapat mewujudkan rule of law di Indonesia, Indonesia harus
melakukan minimal tiga hal, yaitu;

a. Pertama, hukum di Indonesia harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.


Maksudnya, sejak dari proses legislasi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) para
wakil rakyat harus bisa mengejawantahkan aspirasi keadilan rakyat dalam
rancangan undang-undang yang sedang dikerjakannya. Hukum yang diciptakan
harus responsif terhadap tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan hukum yang
diciptakan harus bersih, murni dari intervensi politik, ekonomi, dan kepentingan
sekelompok orang.
b. Kedua, Indonesia harus menjalankan suatu sistem peradilan yang jujur, adil, dan
bersih dari KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Sistem peradilan Indonesia saat
ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya karena kurangnya pemahaman dan
kemampuan atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam
sistem peradilan, baik penyidik, penuntut umum, hakim, penasihat hukum, bahkan
masyarakat pencari keadilan.
c. Proses peradilan yang berjalan tidak sebagaimana mestinya, padahal Indonesia
memiliki asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya murah, namun akhirnya

5
semua itu hanya menjadi slogan semata. Disinyalir, sistem peradilan di Indonesia
telah terkontaminasi oleh "mafia peradilan". Jika ini semua belum dapat diberantas
mustahil rule of law dapat terwujud. Kasus Akbar Tanjung yang akhirnya
dibebaskan oleh Mahkamah Agung, kasus HAM Timor-Timur, dan pembubaran
TGTPK oleh judicial review MA merupakan contoh yang sangat melukai rasa
keadilan masyarakat.

Akses Publik Ketiga, Akses publik ke peradilan harus ditingkatkan. Hukum positif
Indonesia telah merumuskan sejumlah hak masyarakat pencari keadilan yang terlibat dalam
proses peradilan pidana. Secara umum dapat dikatakan bahwa hak yang diberikan kepada
pencari keadilan dalam sistem peradilan Indonesia tidak tertinggal dari negara-negara lain, dan
umumnya mengikuti norma dan prinsip dalam instrumen internasional. Akan tetapi dalam
banyak peristiwa justru kewenangan yang dijalankan oleh aparat penegak hukum tersebut telah
disalahgunakan sehingga merugikan hak para pencari keadilan. Sejumlah kenyataan lain yang
sering dijumpai adalah awal pemeriksaan yang tidak pasti, intimidasi, meremehkan keterangan
yang diberikan, dan lain sebagainya. Tidak jarang pula pemeriksaan terhadap tersangka
memiliki kendala yang dialami oleh penyidik. Salah satunya yang sering muncul adalah
tersangka memiliki kendala yang dialami oleh penyidik. Salah satunya yang sering muncul
adalah tersangka dengan sengaja mempersulit jalannya pemeriksaan. Ini mengakibatkan polisi
sebagai penyidik menggunakan berbagai upaya baik yang lazim maupun tidak agar
penyelesaian dapat berjalan cepat. Oleh karena itu untuk mewujudkan rule of law, akses publik
ke peradilan jelas harus ditingkatkan.

2. Masyarakat Madani
Ungkapan lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini,
seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai dengan
munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru, yang berusaha
mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat yang
madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid, Abdulrahman Wahid, A.S.
Hakim, Azyumardi Azra dan lain-lain, banyak mengemukakan tentang tatanan masyarakat
madani, setelah istilah dan konsep diperkenalkan oleh Datuk Anwar Ibrahim, mantan Wakil
Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian, mewujudkan masyarakat madani tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Membentuk masyarakat madani memerlukan proses
panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa ini untuk
mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.

6
Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society sebenarnya
berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi dan Society yang berarti
masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh
sebab itu, kata civil society dapat diartikan komunitas masyarakat kota, yakni masyarakat yang
telah berperadaban maju. Konsepsi seperti ini, menurut Madjid; seperti yang dikutip Mahasin
(1995), pada awalnya lebih merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat kota
Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah masyarakat nonmadani adalah kaum
pengembara, badawah, yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan pengetahuan
yang sempit, masyarakat puritan, tradisional penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan
kekuasaan dan kekuatan, sering dan suka menindas, serta sifat-sifat negatif lainnya. Gellner
(1995) menyatakan bahwa masyarakat madani akan terwujud ketika terjadi tatanan masyarakat
yang harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Pendek kata, masyarakat madani
ialah kondisi suatu komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan kekuasaan. Kebenaran
dan kekuasaan adalah milik bersama. Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan,
ditakut-takuti, diganggu kebebasannya, semakin dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya merupakan proses
panjang dan produk sejarah yang abadi, dan perjuangan melawan kazaliman dan dominasi para
penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.

Sementara itu, Seligman (Mun’im, 1994) mendefinisikan istilah civil society sebagai
seperangkat gagasan etis yang mengejewantah dalam berbagai tatanan sosial, dan yang paling
penting dari gagasan ini adalah usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan
antar individu, masyarakat dan negara. Sedangkan civil society menurut Havel (Hikam, 1994)
ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar tentang aturan-aturan main melalui
dialog demokratis dan penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni.
Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan untuk merekonstruksi ikatan solidaritas
dalam masyarakat yang telah hancur akibat kekuasaan monolitik. Secara normative politis, inti
strategi ini adalah usaha untuk memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat, sebagai
warga negara memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas
segala yang mereka lakukan atas nama pemerintah.

Istilah Madani menurut Munawir (1997) sebenarnya berasal dari bahasa Arab, madany.
Kata madany berakar dari kata kerja madana yang berarti mendiami, tinggal atau membangun.
Kemudiian berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab, orang kota, orang sipil dan
yang bersifat sipil atau perdata. Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arab

7
mempunyai banyak arti. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hall (1998), yang menyatakan
bahwa masyarakat madani identik dengan civil society, artinya suatu ide, angan-angan,
bayangan, cita-cita suatu komunitas yang dapat terjewantahkan ke dalam kehidupan social.
Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang teguh pada peradaban dan
kemanusiaan. Hefner (1998) menyatakan bahwa masyarakat madani merupakan masyarakat
modern yang bercirikan kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di masyarakat
diharapkan mampu mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri dalam mewujudkan
peradaban. Mereka akhirnya mampu mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global,
kompleks, penuh persaingan dan perbedaan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani pada


prinsipnya memiliki multimakna, yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika
dan moralitas, transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten,
memiliki perbandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral, mengakui
emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah masyarakat yang demokratis.

Menurut Srijanti et. all. (2007) karakteristik masyarakat madani antara lain :

1. Diakui semangat pluralism. Artinya pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang
tidak dapat diletakkan, sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah
yang abadi. Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam
kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif
dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas, yang
terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan
penting adalah sebuah perdaban yang kosmopolit akan tercipta manakala manusia
memiliki sikap inklusif, dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri
terhadap lingkungan sekitar. Namun, identitas sejati atas parameter otentik agama tetap
terjaga;
2. Tingginya sikap toleransi. Baik terhadap saudara sesama agama maupun terhadap umat
agama lain. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar,
dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish
Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan
kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun, juga mengakui eksistensi agama lain
dengan memberinya hak hidup berdampingan, dan saling menghormati satu sama lain;

8
3. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekadar kebebasan dan persaingan,
demokrasi adalah suatu pilihan bersama-sama membangun, dan memperjuangkan
perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.

Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan kepada Tuhan yang tinggi, hidup
berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan
progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak dan moral yang baik, mempunyai
pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, dan menentukan nasib masa depan yang
baik melalui kegiatan sosial, dan lembaga masyarakat.

Pengembangan masyarakat madani di Indonesia tidak bias dipisahkan dari pengalaman


sejarah bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan, adat istiadat, pandangan hidup, kebiasaan, rasa
sepenanggungan, cita-cita dan hasrat bersama sebagai warga dan sebagai bangsa, tidak
mungkin lepas dari lingkungan serta sejarahnya. Lingkungan dan akar sejarah kita, warga dan
bangsa Indonesia, sudah diketahui baik kekurangan maupun kelemahan, juga diketahui
keunggulan dan kelebihannya. Di antara keunggulan bangsa Indonesia adalah berhasilnya
proses akulturasi, dan inkulturasi yang kritis dan konstruktif. Hidayat Nur Wahid (Srijanti
et.all., 2007) mencirikan masyarakat madani sebagai masyarakat yang memegang teguh
ideologi yang benar, berakhlak mulia, secara politik-ekonomi-budaya bersifat mandiri serta
memiliki pemerintahan sipil.

Sedangkan menurut Hikam, ciri-ciri masyarakat madani adalah:

a. Adanya kemandirian yang cukup tinggi di antara individu dan kelompok masyarakat
terhadap negara;
b. Adanya kebebasan menentukan wacana dan praktik politik di tingkat publik; dan
c. Kemampuan membatasi kekuasaan negara untuk tidak melakukan intervensi.

Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus diperhatikan,
yaitu :

1. Adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan


masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan;
2. Tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki
komitmen untuk independen;
3. Terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik menjdai
budaya yang lebih modern dan lebih independen;

9
4. Berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam;
5. Adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan;
6. Adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.

10
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
a. Indonesia sebagai negara hukum, secara teori pasti dapat mewujudkan rule of law
dalam negaranya. Semua itu tergantung dari niat dan keikhlasan semua pihak yang
terlibat dalam proses hukum untuk berkorban dan berjuang menyingkirkan segala
kebobrokan masa lalu dan menatap pada masa depan negara hukum Indonesia yang
baru, yang memiliki the rule of law dalam negaranya.
b. Empat pilar demokrasi yang didasarkan rechsstaat dan rule of law dalam arti klasik
adalah :
1. Penghargaan terhadap hak asasi manusia.
2. Pemisahan dan pembagian kekuasaan yang popular dengan “trias politica.
3. Pemerintah berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan ( Miriam Budiardjo, 1983:57)
c. Masyarakat madani berasal dari bahasa Inggris, civil society. Kata Civil Society
sebenarnya berasal dari bahasa Latin yaitu Civitas dei yang artinya kota Illahi dan
Society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya membentuk kata civilization
yang berarti peradaban. Oleh sebab itu, kata civil society dapat diartikan komunitas
masyarakat kota, yakni masyarakat yang telah berperadaban maju.
d. Untuk membangun masyarakat madani di Indonesia, ada enam faktor yang harus
diperhatikan, yaitu :
1. Adanya perbaikan di sektor ekonomi, dalam rangka peningkatan pendapatan
masyarakat dan dapat mendukung kegiatan pemerintahan;
2. Tumbuhnya intelektualitas dalam rangka membangun manusia yang memiliki
komitmen untuk independen;
3. Terjadinya pergeseran budaya dari masyarakat yang berbudaya paternalistik
menjdai budaya yang lebih modern dan lebih independen;
4. Berkembangnya pluralisme dalam kehidupan yang beragam;
5. Adanya partisipasi aktif dalam menciptakan tata pamong yang baik dan;
6. Adanya keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang melandasi moral kehidupan.

11
2. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih baik kedepannya. Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga
bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah di
jelaskan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Audigier, Francois. 2000. Basic Concepts and Core Competencies for Educa tion for
Democratic Citizenship, Strasbourg: Councii for Cultural Co operation, Council
of Europe.

Azra, Azyumardi. 2001 (forthcoming). "Is lamic Perspective on the NationState:


Political Islam in Post Soeharto Indonesia", in Virginia Hooker&AminBaikal
(eds.), Islamic Perspectiveon the New t\/lillennium, Canberra &Singapore:
TheAustra lian National University (ANU) & In stitute of Southeast Asian
Studies (ISEAS).

Azra, Azyumardi. 2001. "Sustaining the TransitionfromAuthoritarian Rule to


Democracy:A SpecialReference to Indonesia", makalah pada Interna tional
Conference of International Council on Human Rights Policy (ICHRP)Jakarta:
16 Maret 2001.

Azra, Azyumardi. 2001b. "Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia",


Kompas, 14K/Iaret2001.

Azra, Azyumardi. 2000. "Membangun Keadaban Demokratis: Ke Arah Budaya Politik


Baru Indonesia", dalam NinokLeksono (ed.), Indone sia AbadXX. Jakarta:
Kompas.

Azra ,Azyumardi. 1999. Menuju fi/Jasyarakat fAadani: Gagasan, Fakta dan


Tantangan. Bandung: Rosda Karya.

13

Anda mungkin juga menyukai