Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH

TAXATION I

RINA MARIA HENDRIYANI SE., MM.

2-MA-4

KELOMPOK 4 :

DASAR-DASAR PERPAJAKAN, KUP, DAN PPH

HARUN FIRDAUS 1710631020096

HILDA ZILVIANA SODIKIN 1710631020098

INDRI PUTRI AMALIA 1710631020103

IRSYAD FADHLURROHMAN 1710631020107

ISZA FITRI FEBRIANI 1710631020109

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS

UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG

2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik
dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keguruan.

Makalah ini di susun untuk memenuhi salah satu tugas Taxation I. Adapun isi makalah ini
berkaitan dengan Taxation I yaitu : Dasar-Dasar Perpajakan, KUP, dan PPH

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-
masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pada kesempatan ini kami sertakan pula ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada
Ibu Nurani Dewi SE., MM. & Ibu Rani Maria Hendriyani SE., MM. Semoga makalah ini
menjadi bekal ilmu pengatahuan bagi pembaca dan menjadi rahmat yang tak putus bagi
penulis.

Karawang, 30 September 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1

1. Latar Belakang................................................................................................................. 1

2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................. 2

1. Dasar-Dasar Perpajakan .................................................................................................. 2

2. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ............................................................... 19

3. Pajak Penghasilan Umum ............................................................................................. 25

BAB III KESIMPULAN ................................................................................................................ 43

1. Kritik .............................................................................................................................. 43

2. Saran ............................................................................................................................. 43

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 44

ii
BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pajak merupakan pendapatan terbesar bagi negara karena hampir semua kegiatan yang
dilakukan masyarakat dikenakan pajak. Sebesar 70% lebih penerimaan negara Republik
Indonesia bersumber dari pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah. Oleh karena itu,
pemerintah harus berusaha menaikkan target penerimaan pajak dari tahun ke tahun, agar
program-program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat
ditingkatkan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, pajak adalah sebagai kontribusi wajib
kepada negara yang terutag oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memeksa
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang termasuk dasar-dasar perpajakan ?
2. Apa itu KUP ?
3. Apa yang di maksud pajak penghasilan umum dan bagaimana cara menghitungnya ?

1
BAB II PEMBAHASAN

1. Dasar-Dasar Perpajakan
1.1 Pengertian

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Prof. DR. Rochmat
Soemitro, S.H)

Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa
(menurut norma2 yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan
semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran2 umum. (DR. N.J. Feldmann)

Pajak adalah iuran kepada negara (dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan2 dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran2 umum
berhubungan dgn tugas negara yg menyelenggarakan pemerintahan ( Prof. DR. P.J.A.
Adriani)

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. ( UU No.16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan )

Dari pengertian di atas dapat di simpulkan, pajak adalah pungutan rakyat kepada negara
berdasarkan undang-undang yang berlaku dan tidak mendapat balas jasa. Pemberlakuan
pajak pada suatu negara berjalan berdasarkan dasar-dasar perpajakan yang telah
ditetapkan. Dasar-dasar tersebut menjadi patokan dalam mengelola pungutan pajak.

1.2 Unsur-Unsur Yang Terkandung Dalam Pengertian Pajak

Dari semua definsi pajak, Safri Nurmantu (2003) mengemukakan beberapa unsur pokok
dalam perpajakan, yaitu sebagai berikut.

2
A. Iuran atau pungutan

Dilihat dari segi arah arus dana pajak, pajak terbagi menjadi dua. Pajak yang berasal yang
bersal dari pemerintah disebut pungutan.

B. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

Salah satu karakteristik pokok dari pajak adalah pemungutannya harus berdasarkan
Undang-undang. Hal ini dikarenakan pajak adalah beban yang harus dipikul oleh rakyat
banyak, sehingga perumusan, jenis, dan berat-ringannya tarif pajak ditentukan oleh rakyat
melalui wakil-wakilnya di Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.

C. Pajak dapat dipaksakan

Fiskus mendapat wewenang dari Undang-undang untuk memaksa wajib pajak agar
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kekuasaan tersebut dapat dilihat dengan adanya
ketentuan sanksi administratif ataupun sanksi pidana fiskal dalam Undang-Undang
Perpajakan, khususnya dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007.

D. Tidak menerima atau memperoleh kontraprestasi secara langsung

Ciri khas utama dari pajak adalah wajib pajak yang membayar pajak tidak menerima atau
memperoleh jasa timbal balik atau kontraprestasi dari pemerintah dari pemerintah. Jika
seseorang wajibpajak membayar pajak penghasilan, fiskus tidak akan memberi imbalan apa
pun kepadanya sebagai jasa timbal balik.

E. Membiayai pengeluaran umum pemerintah

Pajak dipergunakan untuk membiayai peneluaran umum pemerintah dalam menjalankan


pemerintahan. Uang yang dikumpulkan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk
ABRI, dan sebagainya.

1.3 Sumber-Sumber Pajak Untuk Penghasilan Negara

Berangkat dari pengertian pajak menurut Rochman Soemitro (1992) bahwa pajak ialah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak medapat jasa timbal balik (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

3
digunakan untuk membayar pengeluaran umum maka sumber-sumber pajak untuk
penghasilan negara, adalah sebagai berikut.

A. Konstribusi/Pajak

Pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada sejumlah penduduk yang menggunakan
fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah.

B. Bea dan Cukai

Pungutan negara yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian
Keuangan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang berlaku.

C. Retribusi

Pungutan yang dilakukan secara langsung oleh negara berkaitan dengan penggunaan jasa
yang disediakan oleh negara, baik berupa jasa umum, jasa usahamaupun perizinan tertentu
tanpa mendapat kontraprestasi dai negara.

D. Sumbangan

Pungutan yang dilakukan oleh negara bagi golongan penduduk tertentu sehingga biaya yang
dikeluarkan dari kas umum untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari
kas umum.

E. Laba dari BUMN

Pendapatan negara yang diperoleh dari penghasilan BUMN hasilnya akan dimasukkan
kembali ke APBN.

1.4 Kedudukan, Jenis, dan Fungsi Pajak


A. Kedudukan Hukum Pajak.

Menurut Rochmat Soemitro (1992), hukum pajak mempunyai kedudukan berikut.

1. Hukum Perdata, mengatur tentang hubungan antara satu idividu dengan individu
lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyatnya. Hukum ini
dapat diperinci lagi sebagai berikut :

4
 Hukum tata negara;
 Hukum tata usaha (hukum administrasi);
 Hukum pajak;
 Hukum pidana
3. Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak
dan rakyat sebagai wajib pajak. Ada dua macam hukum pajak, yaitu :
 Hukum pajak material, memuat norma yang menerangkan keadaan perbuatan
peristiwa hukum yang dikenai pajak (objek pajak), pihak yang dikenakan pajak
(subjek), besarnya pajak yang dikenakan (tarif), segala sesuatu tentang timbul dan
hapusnya utang pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.
Contonya, Undang-undang Pajak Penghasilan
 Hukum pajak formal, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil
menjadi kenyataan (cara melaksanakan hukum pajak materiil). Hukum ini memuat
sebagai berikut :
 Tata cara penyelenggaraan (prosedur) penetapan suatu utang pajak.
 Hak-hak fiscus untuk mengadakan pengawasan terhadap para wajib pajak
mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak.
 Kewajiban wajib pajak, misalnya menyelenggarakan pembukuan/pencatatan,
dan hak-hak wajib pajak, misalnya mengajukan keberatan dan bandingan.
Contoh: kekuatan umum dan tata cara perpajakan.
B. Fungsi Pajak

Pajak mempunyai peranan penting dalam kehidupan bernegara, khususnya dalam


pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk
membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.

Pajak mempunyai beberap fungsi, sebagai mana dikutip Mardiasmo (2004), yaitu sebagai
berikut.

1. Fungsi anggaran (budgetair)

Fungsi ini terletak pada sektor publik, yaitu mengumpulkan uang pajak sebanyak-
banyaknya, sesuai dengan undang-undang yang berlaku untuk membiayai pengeluaran
negara.

5
2. Fungsi mengatur (regulerend)

Fungsi mengatur berarti pajak dijadikan alat bagi pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu, baik dalam bidang ekenomi moneter, sosial, kultural, maupun dalam bidang
politik.

3. Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang
berkaitan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini dapat dilakukan
dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan
pajak yang efektif dan efisien.

4. Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara digunakan untuk membiayai semua kepentingan
umum, termasuk untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan
kerja yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

C. Struktur Pajak di Indonesia

Struktur pajak di Indonesia terdiri atas :

1. Pajak Penghasilan (PPh)


2. Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa Kena Pajak, dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewa (PPN/PPnBM);
3. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
4. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
5. Perolehan Hak Atas Tanah dan/ atau Bangunan (BPHTB);
6. Bea Materai.
D. Jenis Pajak
1. Pajak Menurut Golongan
 Pajak Langsung
Pajak yg harus ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan pembebanannya
tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain
Contoh : Pajak Penghasilan
 Pajak Tidak Langsung

6
Pajak yg pembebanannya dapat dilimpahkan pada pihak lain

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai

2. Pajak Menurut Sifatnya


 Pajak Subyektif

Pajak yang berdasarkan pada subyeknya, selanjutnya dicari syarat objektifnya


dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak

Contoh : Pajak Penghasilan

 Pajak Objektif

Pajak yang berdasarkan objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib


Pajak

Contoh : Pajak Pertambahan Nilai, PBB

3. Pajak Menurut Lembaga Pemungutannya


 Pajak Pusat

Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai
rumah tangga negara

Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan


atas Barang Mewah

 Pajak Daerah

Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk


membiayai rumah tangga daerah

 Pajak Daerah t.d :


 Pajak Provinsi, ct : Pajak Kendaraan Bermotor
 Pajak Kabupaten / Kota, ct : Pajak Reklame, Pajak Restoran, Pajak
Hotel

7
1.5 Pemungutan Pajak
A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 23 ayat 2 merupakan dasar hukum pemungutan
pajak oleh negara. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak
(termasuk bea dan cukai) untuk keperluan negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-
undang.

Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 mempunyai arti yang sangat dalam, yaitu menetapkan nasib
rakyat. Rakyat menentukan nasibnya sendiri. Untuk itu, segala tindakan yang menempatkan
beban kepada rakyat, seperti pajak harus ditetapkan dengan undang-undang dengan
persetujuan wakil-wakil mereka yang duduk di lembaga legislatif.

B. Syarat-syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, pemungutan pajak
harus memenuhi syarat sebagaimana dikutip Waluyo dan Wirawan (2000: 5).

1. Adil (syarat keadilan). Undang-undang dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus


bersifat adil. Adil dalam perundang-undangan, di antaranya mengenakan pajak
secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan keamampuan masing-masing.
2. Sesuai dengan undang-undang (syarat yuridis). Hal ini memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, hak bagi negara maupun warganya yang diatur dalam
UUD 1945 Pasal 23 ayat 2.
3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi). Pemungutan tidak boleh
mengganggu kelancaran kegiatan produksi ataupun perdagangan sehingga tidak
menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Efisien (syarat finansial). Biaya pemungutan harus dapat ditekan sehingga lebih
rendah dari hasil pemungutannya sesuai dengan fungsi budgeter.
5. Sederhana. Sistem pemungutan yang sedehana akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban untuk membayar pajak.
C. Tata Cara Pemungutan Pajak

Pemungutan pajak sebagaimana dikutip Mardiasmo (2004) dapat diakukan berdasarkan


pengenaan berikut.

8
1. Pengenaan di belakang/stelsel nyata (riil stelsel)

Penganaan pajak berdasarkan objek (penghasilan) yang nyata sehingga pemungutan


dilakukan pada akhir tahun setelah penghasilan sesungguhnya telah diketahui.

Kebaikannya adalah pajak yang dikenakannya leih realistik. Adapaun kelemahannya


adalah pajak baru dikenakan pada akhir periode setelah penghasilan real diketahui.

2. Pengenaan dikenakan di depan/stelsel anggapan (fictive stelsel)

Pengenaan pajak berdasarkan anggapan yang diatur Undang-undang. Misalnya,


penghasilan satu tahun dianggap sama dengan penghasilan tahun sebelumnya,
sehingga besarnya pajak terutang dapat ditetapkan untuk tahun pajak berjalan.

Kebaikannya, antara lain pajak dapat dibayar selama tahun berjalan tanpa harus
menunggu sampai akhir tahun. Adapun kelemahannya pajak tidak berdasarkan
keadaan sesungguhnya. Dengan demikian, besarnya pajak yang dipungut belum
tentu sesuai dengan besar pajak yang sesungguhnya.

3. Pengenaan campuran/stelsel campuran

Pengenaan ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan,
pengenaan pajak pada awal tahun dapat dihitung berdasarkan anggapan dan pada
akhir tahun besarnya disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya.

Kebaikannya adalah pemungutan pajak dapat dilakukan pada awal tahun. Selain itu,
besarnya pajak sesuai dengan jumlah pajak yang sesungguhnya. Adapun
kelemahannya ada tambahan pekerjaan administrasi karena pajak dihitung dua kali
yaitu pada awal tahun dan akhir tahun.

1.6 Subjek dan Objek Pajak

Yang menjadi subjek pajak adalah :

A. Diri pribadi atau perseorangan;


B. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak;
C. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu dengan yang lain
berlainan yang berhak;
1. Perseroan Terbatas (PT), Naamlose Vennotschap (NV);

9
2. Perseroan Terbatas;
3. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dapat berupa Perjan, Persero dan Perum,
dengan nama atau bentuk apa pun;
4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama atau bentuk apa pun;
5. Persekutuan (Maatschap);
6. Perseroan atau perkumpulan lainnya;
7. Firma;
8. Perkumpulan Koperasi;
9. Yayasan atau Lembaga;
D. Bentuk usaha tetap.

Adapun objek pajak adalah segala sesuatu yang ada dalam masyarakat yang dapat dijadikan
sebagai objek pajak, baik keadaan, perbuatan maupun peristiwa. Sesuai dengan peraturan
atau undang-undang yang berlaku, objek pajak meliputi:

1. Objek pajak pendapatan;


2. Objek pajak perseroan;
3. Objek pajak penghasilan;
4. Objek pajak pertambahan nilai;
5. Objek pajak kerdaraan bermotor;
6. Objek bea balik nama kendaraan bermotor;
7. Objek pajak bumi dan bangunan.
1.7 Hambatan Dalam Pemungutan Pajak

Pentingnya peran masyarakat untuk membayar pajak dalam perannya menanggung


pembiayaan negara, menuntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban
kenegaraan. Akan tetapi, sebagian warga masyarakat tidak memenuhi kewajiban membayar
pajak timbul hambatan dalam pemungutan pajak atau perlawanan terhadap pajak.

Hambatan/perlawanan terhadap pemungutan pajak dapat dikelompokka menjadi dua,


sebagaimana yang dikutip Waluyo dan Wirawan (2000:5), yaitu sebagai berikut.

10
A. Perlawanan Pasif

Perlawanan pasif, yaitu tidak mau (pasif) membayar pajak karena berbagai alasan,
antara lain:

1. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat;


2. Sistem perpajakn yang mungkin sulit dipahami;
3. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dengan baik.
B. Perlawanan Aktif

Perlawanan aktif meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan
kepada fiskus dengan tujuan menghindari pajak. Bentuknya, antara lai:

1. Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar Undang-
undang;
2. Tax evation, usaha meringankan beban pajak dengan cara melanggar Undang-
undang (mengepalkan pajak).
1.8 Landasan Filosofis, Asas-Asas, dan Sistem Pemungutan Pajak
A. Landasan Filosofis Pemungutan Pajak

Tugas negara pada prinsipnya adalah menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Itulah
sebabnya, negara harus bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama
bidang perekonomian untuk tercapainya kesejahteraan umat manusia.

Untuk mencapai dan menciptakan masyarakat sejahtera, dibutuhkan biaya-biaya yang


cukup besar. Untuk itu, negara mencari pembiayaan dengan cara menarik pajak.

Di negara maju, pajak merupakan conditiesine qua non bagi penambahan keuangan negara.
Tanpa pemungutan pajak, keuangan negara akan lumpuh. Dengan membangun seperti
Indonesia atau negara yag baru terbebas dari belenggu kolonialis, pajak merupakan darah
bagi tubuh negara.

Atas dasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pemungutan pajak
adalah pendekatan benefit approuch atau pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan
dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara yang berdiam di
dalamnya sehingga negara berwenang memungut pajak dari rakyat dengan cara yang dapat
dipaksakan.

11
Manfaat yang dapat dinikmati warga negara adalah kesejahteraan, pelayanan umum,
perlindungan hukum, kebebasan, dan penggunaan fasilitas umum, seperti pelabuhan,
jalanan, jembatan, tempat hiburan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat
tersebut.

B. Prinsip Pemunguntan Pajak

Prinsip-prinsip atau asas-asas pemungutan pajak yang mengacu pada prinsip pemungutan
pajak adalah sebagai berikut:

1. Kesamaan (Equality)

Pemungutan pajak harus adil disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak. Perusahaan
besar dikenakkan pajak yang tinggi, dan perusahaan kecil dikenakkan pajak yang rendah.

2. Prinsip Kepastian (Certainty)

Dalam pemugutan pajak harus jelas, tegas, dan pasti sehingga dipahami wajib pajak. Dengan
demikian, perhitungan dan pengadministrasian akan menjadi mudah.

3. Prinsip Kelayakan (Convinience)

Pemungutan pajak jangan memberatkan wajib pajak. Misalnnya, seseorang yang sedang
mengalami kerugian usah sebaiknya tidak dibebani pajak tingggi sehingga usanhanya dapat
dipertahankan.

4. Prinsip Ekonomi (Economic)

Prinsip ekonomi dalam pemungutan pajak adalah mempertimbangkan bahwa biaya


pemungutan tidak melebihi hasil pemungutan.

5. Asas-asas Pemungutan Pajak

Berdasarkan asas pemungutan pajak yang dikemukakan Adam Smith, Indonesia menganut
asas pemungutan pajak sebagai berikut:

 Hukum (yuridis), yaitu jelas dan berdasarkan aturan atau Undang-undang yang
berlaku;
 Falsafah hukum, yaitu adil sesuai dengan teori daya pikul (ability to pay) yang
dikemukakan Adam Smith atau disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak;

12
 Ekonomis, yaitu tidak memberatkan wajib pajak;
 Finansial, yaitu memerhatikan efisiensi bahwa biaya pemungutan lebih rendah
daripada hasil pemungutan pajak;
 Elastisitas, yaitu peka terhadap perubahan pendapatan yang terjadi.

Menurut Mardiasmo (2003), asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.

 Domisili (asas tempat tinggal); negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari dalam maupun luar negeri.
 Sumber; negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memerhatikan tempat tinggal wajib pajak.
 Kebangsaan; pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara,
misalnya pajak bangsa asing di Indonesia dikenakkan pada setiap orang yang bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia.
C. Sistem Pemungutan Pajak

Menurut Mardiasmo (2003), sistem pemungutan pajak di Indonesia adalah sebagai


berikut.

1. Official Assesment System

Official assesment system, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada fiskus untuk menetukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya,
sebagai berikut:

 Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus;


 Wajib pajak bersiaft pasfi;
 Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self Assesment System

Self Assesment System, yaitu sistem pemungutan pajak yang meberi wewanang kepada
wajib pajak untuk menenttukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya adalah:

 Wewenang untuk menetukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak;
 Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang;

13
 Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. With Holding System

With holding system, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada
pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan
besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

1.9 Hukum, Teori, dan Aksioma Pemungutan Pajak


A. Hukum Perpajakan

Tujuan huku pajak adalah mengabdi pada keadilan, sesuai dengan tujuan pemungutan
pajak pada umumnya. Asas keadilan ini harus dipegang teguh, baik dalam prinsip
mengenai perundang-undangannya maupun dalam praktik sehari-hari.

Keadilam merupakan sendi pokok yang harus diperhatikan oleh negara dalam
melakukan pemungutan pajak. Keadilan ini bersifat relatif, karena sesuatu yang dulu
dianggap adil, sekarang tidak. Demikian pula sebaliknya.

Mencari keadilan dalam masalah pemungutan pajak memunculkan berbagai pendapat


dan teori, sebagai hasil pemikiran sarjana Barat, untuk membenarkan serta memberikan
dasar hukum pemungutan pajak dan meyakinkan bahwa pemungutan pajak itu adalah
“halal”, bukan rampasan sewenang-wenang.

B. Teori Perpajakan

Dalam literatur ilmu keuangan negara, terdapat teori-teori yang memberikan dasar
pembenaran atau landasan filosofis bagi negara untuk memungut pajak dengan cara
yang dapat dipaksakan. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.

1. Teori Asuransi

Menurut teori ini, negara dalam melaksanakan tugas/fungsinya mencakup pula tugas
perlindungan terhadap jiwa dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara
bekerja atau bertindak sebagai perusahaan asuransi.

Untuk perlindungan itu, warga negara membayar premi dan pembayaran pajak
dipandang sebagai premi itu. Teori ini sudah lama ditinggalkan, dan tidak ada lagi

14
pembelanya, sebab negara tidak mengganti kerugian apabila timbul kerugian atas orang-
orang yang bersangkutan, misalnya dibunuh atau hartanya dicuri.

2. Teori Kepentingan

Menurut teori ini, pajak mempunyai hubungan dengan kepentinga individu yang
diperoleh dari pekerjaan negara. Semakin banyak individu mengenyam atau menikmati
jasa dari pekerjaan pemerintah, semakin besar pula pajaknya.

Walaupun masih berlaku pada retribusi, teori ini sulit untuk dipertahankan karena
seseorang yang miskin dan pengangguran yang banyak memperoleh bantuan dari
pemerintah dan menikmati jasa dari pekerjaan negara justru enggan membayar pajak.

3. Teori Daya Pikul

Teori ini mengemukakan bahwa semua orang dalam pembebanan pajak harus sama
beratnya, artinya pajak harus dibayarkan sesuai dengan daya pikul tiap-tiap individu.

Devinisi daya pikul yang dikemukakan oleh para pakar berbeda-beda, tetapi
substansinya sama. Menurut Prof.. W.J.De Langen, daya pikul adalah besarnya kekuatan
seseorang untuk mencapai pemuasan kebutuhan setinggi-tingginya setelah dikurangi
dengan yang mutlak kebutuhan primer (biaya hidup yang sangat mendasar). Menurut
Mr. A.J. Cohan Stuat, daya pikul diibaratkan jembatan, yang pertama-tama harus dapat
memikul bobotnya sendiri sebelum dibebani dengan beban yang lain. Untuk mengukur
daya pikul digunakan dua endekatan yaitu:

 Unsur objektif, yaitu dengan besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimilki
oleh seseorang;
 Unsur subjektif, yaitu dengan memerhatikan besarnya kebutuhan material yang
harus dipenuhi.

Teori ini mengajarkan bahwa pemungutan pajak harus sesuai dengan kekuatan
membayar dari wajib pajak (individu). Pajak harus sesuai dengan daya pikul wajib pajak
dengan memerhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, serta pengeluaran
belanja wajib pajak tersebut. Gaya pikul ini dipengaruhi oleh bermacam-macam
komponen, terutama:

15
 Pendapatan;
 Kekayaan;
 Susunan dari keluarga wajib pajak, dengan memerhatikan faktor-faktor yang
memengaruhi keadaannya.
4. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini didasari oleh paham organisasi negara (organische staatsleer) bahwa negara
sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Negara harus mengambil tindakan atau keputusan yang diperlukan, termasuk keputusan
dalam bidang pajak. Menurut sifat ini, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut
pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda baktinya.

Teori ini berpendirian bahwa tanpa negara, individu tidak mungki hidup bebas berusaha
di negara. Oleh karena itu, negara mempunyai hak mutlak untuk memungut pajak.
Tanpa negara, individu pun tidak ada, dan pembayaran pajak oleh individu kepada
negara dipandang sebagai tanda pengorbanan atau tanda baktinya kepada negara.

Teori ini terlalu menitikberatkan kepada negara yaitu individu seolah-olah tidak dapat
hidup tanpa negara, tetapi negara dapat hidup tanpa individu. Padahal, realitasnya tidak
demikian sebab negara pun tidak mungkin hidup/ada tanpa individu.

5. Teori Daya Beli

Teori ini menekankan bahwa pembayaran pajak dilakukan pada negara untuk
memelihara masyarakat di negara yang bersangkutan. Menurut Wirawan B. Illiyas dan
Richar Burton, teori ini bersifat universal dan beraku diseluruh dunia, karena memungut
pajak berarti menarik daya beli rumah tangga masyarakat untuk negara. Denga kata lain,
kemaslahatan suatu masyarakat tetap terjamin dengan adanya pembayaran pajak
berdasarkan teori daya beli ini.

Teori ini tidak memandang asal mula negara memungut pajak, tetapi melihat “efek”
yang baik sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu
ataupun kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi
keduanya. Dengan demikian, teori ini menitikberatkan pada fraksi kedua dari fraksi
pajak, yaitu fraksi mengatur (regulerend).

16
C. Aksioma dalam Pemungutan Pajak

Teori-teori di atas merupakan pemecahan atas dasar keadilan dalam pemungutan pajak
oleh negara. Oleh karena itu, para ahli bidang keuangan negara, khususnya di bidang
perpajakan menamakannya sebagai asal menurut falsafah hukum, yang oleh Adam
Smith dimasukkan dalam maxim pertama dalam ajarannya The Four Mamxims (empat
aksioma/asas dalam pemungutan pajak).

Walaupun demikian, beberapa prinsip/asas berhasil dikembangkan sehingga dapat


digunakan sebagai kriteria sistem perpajakan yang adil. Prinsip atau asas ini sebagai
berikut.

1. Prinsip Manfaat

Salah satu tujuan pemerintah pada masyarakat adalah memberikan manfaat kepada
warga negaranya. Semakin besar manfaat yang diterima masyarakat/warga negara,
semakin tinggi kesadaran warga negara untuk membayar manfaat tersebut dalam
jumlah yang besar. Pembayaran inilah yang disebut pajak. Pemberian jasa oleh
pemerintah kepada warganya yang dirasakan besar manfaatnya akan menimbulkan rasa
kesadaran yang tinggi untuk mengabdi kepada negara.

Dengan kata lain, pemerintah memberikan public service (pelayanan jasa) kepada
warganya, baik secara perseorangan maupun secara kolektif, dan warga negara
memberikan kontraprestasi berupa uang dalam bentuk pembayaran pajak kepada
pemerintah.

2. Rendahnya Kesadaran Warga Negara untuk Membayar Pajak

Rendahnya kesadaran warga negara untuk membayar pajak ditentukan leh sejauh mana
rakyat dapat mengenal dan menikmati manfaat jasa-jasa dari negara.

Jasa-jasa dari negara, seperti jaminan keamanan/ketertiban, pelayanan yang


memuaskan ketika mengurus kepentingannya yang berkaitan dengan hak-hak
perdatanya, seperti mengurus kartu penduduk dan surat keterangan lainnya.

17
3. Menikmati Jasa atau Manfaat

Menikmati jasa atau manfaat dari negara sangat erat kaitannya dengan tingkat
kesadaran dari rakyat untuk membayar pajak.

Kesadaran membayar pajak merupakan salah satu aspek atau bagian kesadaran
berwarga negara. Semakin tinggi kesadaran berwarga negara, semakin tinggi pula
keinginan untuk membayar pajak.

Kesadaran membayar pajak juga dipengaruhi oleh efisiensi dan efektivitas kegiatan
pemerintah. Apabila dalam melaksanakan kegiatan pemerintah atau penggunaan uang
banyak terjadi kebocoran, korupsi, dan penyelewengan lain, keinginan masyarakat untuk
membayar pajak akan berkurang.

4. Asas Kemampuan Membayar

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay) mempunyai dua bagian terpisah, (1) tidak
hanya dinyatakan bahwa yang kaya harus membayar lebih banyak, (2) mereka
berkedudukan atau berpenghasilan sama harus membayar pajak yang sama pula.
Gagasan kedua bahwa yang sama harus diperlakukan sama dinamakan kewajiban
horizontal. Adapun pembagian beban pajak yang sesuai di antara orang-orang yang
berbeda kemampuan membayarnya dinamakan kewajiban vertikal.

1.10 Peran dan Manfaat Pajak Dalam Pembangunan


A. Manfaat Pajak bagi Pembangunan

Hampir setiap proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai dari
dana pajak yang telah dikumpulkan dari masyarakat.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam APBN terdapat tiga sumber penerimaan yang
menjadi pokok andalan:

1. Penerimaan dari sektor pajak;


2. Penerimaan dari sektor migas (minyak dan gas bumi);
3. Penerimaan dari sektor bukan pajak.

18
Dari ketiga sumber penerimaan tersebut, penerimaan dari sektor pajak merupakan
sumber penerimaan terbesar negara. Dari tahun ke tahun, penerimaan pajak terus
meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan negara.

Adapun penerimaan dari migas yang dahulu menjadi andalan penerimaan negara, saat
ini tidak dapat diharapkan menjadi sumber penerimaan keuangan negara yang terus
menerus karena sifatnya yang tdak dapat diperbaharui (non renewable resources).

Penerimaan migas pada suatu waktu akan habis, sedangkan pajak selalu dapat
diperbaharui sesuai dengan perkembangan eonomi dan masyarakatnya.

B. Manfaat Pajak bagi Perekonomian dan Masyarakat

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Dengan membayar pajak


masyarakat akan mendapatkan manfaat:

1. Fasilitas umum dan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dan
puskesmas;
2. Pertahanan dan keamanan, seperti bangunan, senjata, dan perumahan;
3. Subsidi atas pangan dan bahan bakar minyak;
4. Kelestarian lingkungan hidup dan budaya;
5. Dana pemilu;
6. Pengembanganalat transportasi masa, dan lain-lain.

Uang pajak juga dipakai oleh negara untuk memberi subsidi barang-barang yang
dibutuhkan oleh masyarakat dan membayar utang-utang negara, menunjang usaha
mikro, kecil, dan menengah sehingga perekonomian dapat terus berkembang.

2. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan


2.1 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang “Ketentuan Umum


dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28
tahun 2007. Undang-undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”

19
dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban aparat pemungut
pajak, serta sanksi perpajakan.

Sistem perpajakan yang dianut di Indonesia adalah self assesment, yaitu Wajib Pajak
diberikan kepercayaan untuk mendaftarkan diri, menghitung pajak yang terutang,
menyetornya, serta melaporkan penghitungan dan penyetoran pajak tersebut,
sedangkan fungsi Direktorat Jenderal pajak adalah melakukan pengawasan atas sistem
self assesment tersebut agar Wajib Pajak melaksanakannya sesuai dengan ketentuan
undang-undang perpajakan. Penghitungan pajak yang terutang diatur dalam undang-
undang material perpajakan sebagaimana tersebut dalam UU PPh dan UU PPN.
Sementara itu pendaftaran, penyetoran, dan pelaporan pajak, serta wewenang
Direktorat Jenderal pajak diatur dalam undang-undang formal perpajakan sebagaimana
tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut
UU KUP), yang mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak serta wewenang
Direktorat Jenderal Pajak, termasuk sanksi perpajakan apabila Wajib Pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan.

2.2 Nomor Pokok Wajib Pajak

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana dalam administrasi perpajakan
yangdipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak Setiap WP
(WajibPajak) hanya diberikan satu NPWP. NPWP juga dipergunakan untuk menjaga
ketertibandalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan. Apabila
Wajib PajakPindah Alamat harus melakukan perubahan data alamat atau update alamat
ke Kantor Pajaktempat terdaftarnya Wajib Pajak, apabila pindah alamatnya diluar
Wilayah Kantor Pajaksemula, maka dilakukan permohonan pindah kantor pajak.

Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui


identitasPengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak
dankewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah sertauntuk pengawasan administrasi perpajakan. Terhadap pengusaha yang
telah memenuhisyarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya

20
untuk dikukuhkansebagai Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturanperundang-undangan perpajakan.Terhadap WP atau Pengusaha Kena Pajak
yang tidak memenuhi kewajiban untukmendaftarkan diri dan/atau melaporkan
usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok WajibPajak dan/atau pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan.NPWP terdiri atas 15 digit, meliputi 9 digit pertama
merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 digitberikutnya merupakan Kode Administrasi
Perpajakan.

Deff: Suatu sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
diri atau identitas Wajib Pajak.

A. Fungsi NPWP:
1. Untuk mengetahui identitas Wajib pajak;
2. Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan
administrasi perpajakan;
3. Untuk keperluan yang berhubungan dengan dokumen perpajakan;
4. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, misalnya dalam pengisian SSP;
5. Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan
pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal : Dokumen Impor
(PPUD, PIUD). Setiap WP hanya diberikan satu NPWP.
B. Pencantuman NPWP

NPWP harus dituliskan dalam setiap dokumen perpajakan, antara lain:

1. Formulir pajak yang dipergunakan Wajib Pajak,


2. Surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan.
3. Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan mengisi NPWP.
C. Pendaftaran Untuk Mendapatkan NPWP
1. Berdasarkan sistem self assessment setiap WP wajib mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) atau melalui Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi
Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat
kedudukan WP, untuk diberikan NPWP.
2. Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang
dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan

21
hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
3. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang mempunyai tempat usaha
berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke KPP yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri
ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas,
bila sampai dengan suatu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya telah
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) setahun, wajib mendaftarkan diri
paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
5. WP Orang Pribadi lainnya yang memerlukan NPWP dapat mengajukan
permohonan untuk memperoleh NPWP.
D. Tatacara Pendaftaran NPWP

Untuk mendapatkan NPWP Wajib Pajak (WP) mengisi formulir pendaftaran dan
menyampaikan secara langsung atau melalui pos ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) setempat dengan
melampirkan:

1. Untuk WP Orang Pribadi Non-Usahawan: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi


penduduk Indonesia atau foto kopi paspor ditambah surat keterangan tempat
tinggal dari instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang
asing.
2. Untuk WP Orang Pribadi Usahawan :
 Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah
surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal
Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing;
 Surat Keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari
instansi yang berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa.
3. Untuk WP Badan :
 Fotokopi akte pendirian dan perubahan terakhir atau surat keterangan
penunjukkan dari kantor pusat bagi BUT;

22
 Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor ditambah
surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang berwenang minimal
Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari salah seorang pengurus
aktif;
 Surat Keterangan tempat kegiatan usaha dari instansi yang berwenang
minimal Lurah atau Kepala Desa.
 Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong:
 Fotokopi KTP bendaharawan;
 Fotokopi surat penunjukkan sebagai bendaharawan.
 Untuk Joint Operation sebagai wajib pajak Pemotong/pemungut:
 Fotokopi perjanjian kerja sama sebagai joint operation;
 Fotokopi NPWP masing-masing anggota joint operation;
 Fotokopi KTP bagi penduduk Indonesia atau fotokopi paspor
ditambah surat keterangan tempat tinggal dari instansi yang
berwenang minimal Lurah atau Kepala Desa bagi orang asing, dari
salah seorang pengurus joint operation.
 Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha
tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan
foto kopi surat keterangan terdaftar.
 Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi
dengan surat kuasa khusus.
4. Wajib Pajak Pindah

Dalam hal WP pindah domisili atau pindah tempat kegiatan usaha, WP melaporkan diri
ke KPP lama maupun KPP baru dengan ketentuan:

 Wajib Pajak Orang Pribadi Usahawan Pindah tempat tinggal atau tempat
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas adalah surat keterangan tempat
tinggal baru atau tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang baru
dari instansi yang berwenang (Lurah atau Kepala Desa)
 Wajib Pajak Orang Pribadi Non Usaha, Surat keterangan tempat tinggal
baru dari Lurah atau Kepala Desa, atau surat keterangan dari pimpinan
instansi perusahaannya.

23
 Wajib Pajak Badan, Pindah tempat kedudukan atau tempat kegiatan
usaha adalah surat keterangan tempat kedudukan atau tempat kegiatan
yang baru dari Lurah atau Kepala Desa.
5. Penghapusan NPWP dan Persyaratannya
 WP meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, disyaratkan adanya
fotokopi akte kematian atau laporan kematian dari instansi yang
berwenang;
 Wanita kawin tidak dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan,
disyaratkan adanya surat nikah/akte perkawinan dari catatan sipil;
 Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai Subjek Pajak.
Apabila sudah selesai dibagi, disyaratkan adanya keterangan tentang
selesainya warisan tersebut dibagi oleh para ahli waris;
 WP Badan yang telah dibubarkan secara resmi, disyaratkan adanya akte
pembubaran yang dikukuhkan dengan surat keterangan dari instansi yang
berwenang;
 Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang karena sesuatu hal kehilangan statusnya
sebagai BUT, disyaratkan adanya permohonan WP yang dilampiri
dokumen yang mendukung bahwa BUT tersebut tidak memenuhi syarat
lagi untuk dapat digolongkan sebagai WP;
 WP Orang Pribadi lainnya yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai WP.
6. Penerbitan NPWP Secara Jabatan

KPP dapat menerbitkan NPWP secara jabatan, apabila WP tidak mendaftarkan diri untuk
diberikan NPWP. Bila berdasarkan data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak ternyata
WP memenuhi syarat untuk memperoleh NPWP maka terhadap wajib pajak yang
bersangkutan dapat diterbitkan NPWP secara sepihak oleh Direktorat Jenderal Pajak.

7. Sanksi Yang Berhubungan Dengan NPWP

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau
menggunakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

8. Format NPWP

24
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama merpakan Kode Wajib Pajak dan 6 digit
berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.

- Formatnya adalah sbb: XX . XXX . XXX . X – XXX . XXX

Catatan:

 WP yang tidak diwajibkan mendaftarkan diri apabila memerlukan NPWP, dapat


mendaftarkan diri dan kepadanya akan diberikan NPWP.
 Setiap WP hanya mempunyai satu NPWP untuk demua jenis pajak.
 Untuk perusahaan perseoraangan, NPWP atas nama pemiliknya.
 Untuk Badan (misalnya PT) yang beru berdiri sebaiknya tetap memunyai NPWP
karena apabila rugi dapat dikompensasi dengan tahun berikutnya.
2.3 Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

NPPKP (No. pengukuhan pengusaha kena pajak) adalah setiap wajib pajak sebagai
pengusaha yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) berdasrkan undang-undang
PPN wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan pengusaha kena pajak (PKP) dan
atau pengusaha yang dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak memiliki
suratpengukuhan kena pajak yang berisi identitas dan kewajban perpajakan Pengusaha
kena pajak.

3. Pajak Penghasilan Umum


3.1 Pengertian

Undang-undang No. 7 tahun tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984.
Undang-undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah
dengan undang-undang nomor 36 tahun 2008.

Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajah Penghasilan terhadap


subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-undang PPh
disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan

25
dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajaknya subjeknya dimulai atau berakhir pada
tahun pajak.

Undang-undang PPh menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang
terutang tidak tergantung kepada surat ketetapan pajak.

3.2 Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Yang menjadi subjek pajak adalah :

1. Orang pribadi,
2. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
3. Badan, terdiri atas perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social
politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk
kontrak investasi kolektif,
4. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
A. Subjek pajak dapat dibedakan menjadi :
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
 Subjek pajak orang pribadi, yaitu :
 Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
nilai bertempat tinggal di Indonesia.
 Subjek pajak badan, yaitu :

Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintahan yang memenuhi criteria :

 Pembentukkannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,


 Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,

26
 Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintahan pusat atau
pemerintah daerah,
 Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.
 Subjek pajak warisan, yaitu :

Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

B. Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari :


1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia, dan
2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada
di Indonesia dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia tidak
dari menjalakan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek
pajak badan dalam negeri menjadi wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan
sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia atau yang melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan
perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang yang telah memenuhi
kewajiban subjektif dan objektif.

Perbedaan wajib pajak dalam dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah :

Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri

Dikenakan pajak atas penghasilan baik Dikenakan pajak hanya atas


yang diterima atau diperoleh dari Indonesia penghasilan yang berasal dari sumber

27
dan dari luar indonesia. penghasilan di Indonesia

Dikenakan pajak berdasarkan


penghasilan netto.

Tarif pajak yang digunakan adalah tarif


Dikenakan pajak berdasarkan
umum (tariff UU PPh pasal 17)
penghasilan bruto
Wajib menyampaikan SPT
Tarif pajak yang digunakan adalah
tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26)

Tidak wajib menyampaikan SPT.

C. Kewajiban Pajak Subjektif

Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak
dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table mulai dan
berakhirnya pajak subjektif.

1. Kewajiban pajak subjektif

MULAI BERAKHIR

Subjektif pajak dalam negeri orang pribadi: Subjektif pajak dalam negeri orang pribadi:

Saat dilahirkan Saat meninggal

Saat berada di indonesia atau bertempat Saat meninggalkan indonesia untuk


tinggal di indonesia selama-lamanya

Subjektif pajak dalam negeri badan: Subjektif pajak dalam negeri badan:

Saat didirikan atau bertempat kedudukan Saat dibubarkan atau tidak bertempat
di indonesia kedudukan di indonesia

28
Subjek pajak luar negeri melalui BUT: Subjek pajak luar negeri melalui BUT:

Saat menjalankan usaha atau melakukan Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
kegiatan melalui BUT di indonesia melakukan kegiatan melalui BUT di
indonesia

Subjek pajal luar negeri tidak melalui BUT: Subjek pajal luar negeri tidak melalui BUT:

Saat menerima atau memperoleh Saat tidak lagi menerima atau


penghasilan dari indonesia memperoleh penghasilan dari indonesia

Warisan belum terbagi: Warisan belum terbagi:

Saat timbulnya warisan yang belum Saat warisan telah selesai dibagikan
terbagi

2. Tidak Termasuk Subjek Pajak

Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :

 Kantor perwakilan Negara asing.


 Pejabat perwakilan diplomatik dan konsultan atau pejabat lain dari Negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat :
 Bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau
memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
 Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
 Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri keuangan
no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana telah diubah terkhir
dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni
1998, dengan syarat:

29
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota.
 Pejabat perwakilan organisasi internasional, sebagai mana dimaksud dalam
keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994
sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
 Bukan warga Negara Indonesai.
 Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan di Indonesia.
3.3 Objek Pajak

Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapar dipakai untuk konsumsi atau utnuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk :

A. Pergantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, grafitasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-
undang ini;
B. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
C. Laba usaha;
D. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau
anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pegambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam
bentuk apa pun;

30
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali, yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan social termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan.
E. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
F. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan penegmbalian
utang;
G. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
H. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
I. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
J. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
K. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
L. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
M. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
N. Premi asuransi;
O. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
P. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
Q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
R. Imbalan bunga sebagaimana dimaksus dalam Undang-undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
S. Surplus Bank Indonesia.

31
Penghasilan tersebut dapat dikelompokan menjadi:

A. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktik dokter, notaries, aktuaris, akuntan, pengacara,
dan sebagainya.
B. Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
C. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen,
royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
D. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti:
1. Keuntungan karena pembebanan utang.
2. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
3. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
4. Hadiah undian.

Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri,
yang menjadi Objek Pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.

Tidak termasuk objek pajak :

1. Bantuan atau sumbangan


2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dan instansi lainnya seperti:
badan pendidikan, badan sosial,koperasi dll
3. Warisan
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham.
5. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau
pemerintah
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi beasiswa

32
7. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia
dengan syarat :
 Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
 Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah
25%Dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar
kepemilikan Saham tersebut.
8. Iuran yang diterima atau dana pensiun
9. Penghasilan dari modal yang telah ditanamkan oleh dana pensiun
10. Bagian laba yang diterima
11. Penghasilan yang diterima perusahaan modal berupa laba
12. Beasiswa
13. Laba lebih yang diterima atau lembaga nirlaba bidang pendidikan
14. Bantuan atau santunan
3.4 Dasar Pengenaan Pajak Dan Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak
A. Dasar pengenaan Pajak

Untuk wajib pajak dalam negeri dan untuk usaha tetap ( BUT ) yang menjadi dasar
pengenaan pajak adalah penghasilan kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri
adalah penghasilan bruto.

Yang perlu diingat besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak pada badan dihitung
sebesar penghasilan netto

Penghasilan kena pajak (WP badan ) = penghasilan netto

Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung dari pengfhasilan netto – PTKP

Penghasilan kena pajak (WP orang pribadi ) = penghasilan netto- PTKP

B. Cara menghitung penghasilan kena pajak

Penghitungan besarnya penghasilan netto bagi wajib pajak didalam negeri dan badan usaha
tetap dapat dilakukan dengan dua cara:

1. Menggunakan pembukuan
33
2. Menggunakan norma penghitungan penghasilan netto

Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan pembukuan,Pembukuan adalah


suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak
berakhirembukuan

Untuk WP badan besar penghasilan kena pajak = penghasilan netto yaitu penghasilan bruto
dikurangi PPH .

Penaghasilan Kena pajak ( WP badan)

= Penghasilan Netto

= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh-PTKP

Untuk WP Orang Pribadi besar penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan netto
dikurangi dengan PTKP

Penaghasilan Kena pajak ( WP orang pribadi)

= Penghasilan Netto-PTKP

= Penghasilan Bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap
ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan , menagih , dan
memelihara penghasilan termasuk:

1. Biaya secara langsung dan tidak langsung


2. Penyusutan atas pengeluaran
3. Iuran kepada dana pensiun yang telah didahkan oleh menteri keuangan
4. Kerugian karna penjualan
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing
6. Biaya penelitian pengembangan perusahaan yang dilakukan di indonesia
7. Biaya beasiswa,magang, pelatihan

34
8. Piutang yang nyata
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang sudah diatur
dengan peraturan pemerintah
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan
11. Biaya pembangunan insprastruktur sosial
12. Sumbangan fasilitas pendidikan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya( min 5 th)

Untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan
usaha tetap tidak boleh dikurangkan:

1. Pembagian laba
2. Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi
3. Pembentukan atau pemupukan dana cabang kecuali
 Cadangan piutang
 Cadangan untuk usaha asuransi
 Cadangan penjaminan
 Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
 Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan
 Cadangan biaya penutypan dan pemeliharaan tempat
4. Premi asuransi kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja
5. Penggantian atau imbalan
6. Jumlah yang melebihi kewajaran sebagai imbalan yang dibayarkan kepada pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
7. Harta yang dihibahkan
8. Pajak penghasilan
9. Biaya yang dibebankan
10. Gaji
11. Sanksi administrasi
12. Biaya pengeluaran yang dikenakan PPH yang bersifat final dan bukan objek PPH
13. Biaya-biaya pengeluaran yang digunakan penghitungan penghasilan netto

35
Menghitung penghasilan kena pajak dengan menggunakan norma penghitungan
penghasilan Netto

Untuk menghitung penghasilan kena pajak maka wajib pajak menggunakan norma
penghitungan penghasilan netto.

Dimana penghasilan netto adalah besar penghasilan netto sama dengan besarnya
(persentase) NPPN

Untuk Menghitung menentukan penghasilan netto perlu disempurnakan secara terus


menerus dan di terbikan oleh direktur jendral pajak yang di tentukan mentri keuangan

Wajib pajak yang boleh menggunakan NPPN adalah WP orang pribadi yang memenuhi
syarat sebagai berikut:

1. Predaran bruto kurang dari Rp.4.800.000.000,00 Per tahun


2. Mengajukan permohonan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun buku
3. Menyelenggarakan pencatatan

Contoh penghitungan pajak yang terutang (NPPN)

Diket: anto menikah ( istri tidak bekerja) dan memiliki 3 orang anak, anto seorang dokter
bertempat tinggal dijakarta ia memiliki industri rotan. Misalnya besar presentase norma
untuk industri rotan dicirebon 12,5% , dan dokter jakarta 45%.

Peredaran usaha dari industri rotan dicirebon setahun Rp.400.000.000 , penerimaan


seorang dokter dijakarta setahun Rp. 100.000.000, hitunglah penghasilan netto?

Jawaban:

Dari industri rotan: 12,5% x Rp.400.000.000 Rp. 50.000.000

Sebagai seorang dokter: 45% x Rp. 100.000.000 RP. 45.000.000

Jumlah penghasilan netto RP. 95.000.000

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK Rp. 21.120.000

Penghasilan kena pajak Rp. 73.880.000

36
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah ;

1. Rp.15.840.000,00 untuk wajib pajak orang pri badi


2. Rp.1.320.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin
3. Rp.15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung
dengan penghasilan suami, dengan syarat :
 Penghasilan istri tidak semata-mata di terima atau diperoleh dari satu pemberi kerja
yang telah di potong pajak berdasarkan ketentuan dalam UU PPh pasal 21, dan
 Pekerjaan istri tidak ada hubungan dengan usah atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya
4. Rp 1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat menjadi tanggungan
sepenuhnya (maksimal 3 orang )
C. Tarif Pajak

Wajib pajak orang pribadi dalam negri

1. Tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi wajip pajak orang
pribadi dalam negri adalah sebagai berikut

Lapisan penghasilan kena pajak Tarif pajak

Sampai dengan Rp.50.0000.000,00 5%

Di atas Rp 50.0000.000,00 sampai dengan Rp


15%
250.0000.000,00

Diatas 250.0000.000,00 sampai dengan Rp.


25 %
500.0000.000,00

Diatas Rp. 500.0000.000,00 30%

2. Wajib pajak badan usaha dalam negri dan bentuk usaha tetap

37
 Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk
wajib pajak badan dalam negri dan bentuk usaha tetap Adalah sebesar 28 % .
 Sedangkan tarif pajak yang di terapkan untuk penghasilan kena pajak untuk
wajib pajak badan dalam negri mulai berlaku sejak tahun pajak 2010 diturunkan
menjadi 25 %
 Wajib pajak badan dalam negri berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40 % dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek
di indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya memperoleh tarif
sebesar 5 %
 Wajib pajak badan dalam negri dengan peredarfan bruto sampai dengan
Rp.50.0000.000,00 mendapat fasilitas pengurangan tarif 50 % yang dikenakan
atas penghasilan kenapajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp.4.800.000.000,00.

Cara menghitung pajak

Rumus menghitung wajib pajak badan

Pajak penghasilan ( wajib pajak badan)

= penghasilan kena pajak x tarif pasal 17

= penghasilan netto x tarif pasal 17

= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) x tarif pasal 17

Rumus menghitung wp orang pribadi

Pajak penghasilan ( WP orang pribadi)

= penghasilan kena pajak x tarif pasal


17

= penghasilan netto – PTKP ) x tarif pasal 17

= (penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU pph) -PTKP x tarif pasal 17

38
Catatan: untuk keperluan menghitung PPh yangn terutang pada akhir tahun, penghasilan
kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh.

Contoh:

Gunawan pada tahun 2010 mempunyai PKP sebesar Rp.241.850.600,00 besarnya pajak
penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh gunawan adalah:

Penghasilan kena pajak Rp.241.850.600,00

(dibulatkan kebawah hingga ribuan penuh)

Pajak penghasilan yang harus dibayar : Rp.2.500.000,00

5% x Rp. 50.000.000,00Rp.28.777.500,00

15% x Rp. 191.850.000,00 Rp. 31.277.500,00

Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final

Pemotongan atau pemungutan PPh tetap dilaporkan dalam surat pemberitahuan ( SPT ),
hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan penghasilan lainnya.

Cara Melunasi Pajak

Cara melunasi pajak ada 2 cara:

1. Pelunasan pajak tahun berjalan,yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang
meliputi:
 Pembayaran sendiri oleh WP ( PPh pasal 25 ) untuk setiap masa pajak.
 Pembayaran pajak melalui pemotongan / pemungutan pihak ketiga berupa kredit
pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak yang terutang selama
tahun pajak, yaitu:
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan (PPh
pasal 21)
 Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau
lainnya(PPh pasal 22)
 Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan dharta oleh
orang lain,jasa, hadiah , dan penghargaan ( PPh pasal 23)

39
 Pelunasan PPh di luar negeri atas penghasilan di luar negeri ( PPh pasal 24)
 Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas WP luar negeri ( PPh
pasal 26)
 Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-
tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di
bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan
serta penghasilan tertentu lainnya(PPh pasal 4 ayat (2) untuk PPh 4 ayat (2)
tidak dapat dikredit.
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.

Pelunasan pajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:

 Menbayar pajak yang kurang disetor yaitu dengan menghitung sendiri jumlah
pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurangi dengan jumlah
kredit pajak tahun yang bersangkutan.
 Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau
surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh direktur jenderal pajak, apabila
terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar

Kesimpulan

Maksud baik pemerintah untuk mendorong peningkatan daya beli masyarakat pekerja
melalui program stimulus fiskal berupa Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung oleh
pemerintah (PPh Pasal 21 DTP) sepertinya belum ditanggapi sebagaimana yang diharapkan.
Dalam beberapa kesempatan, Dirjen Pajak menyatakan realisasi PPh Pasal 21 DTP yang
telah diberikan kepada pekerja masih jauh dari anggaran dalam APBN 2009 sebesar Rp.6,5
triliun. Melalui Surat Edaran (SE) Nomor SE-64/PJ/2009 tanggal 7 Juli 2009, Dirjen Pajak
menginstruksikan jajarannya untuk melakukan sosialisasi PPh Pasal 21 DTP kepada serikat
pekerja, dinas tenaga kerja maupun asosiasi perusahaan terkait.

Yang Mendapat Stimulus

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 43/PMK.03/2009, PPh Pasal 21 DTP
diberikan kepada pekerja yang penghasilan brutonya dalam satu bulan di atas Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) dan tidak lebih dari Rp.5.000.000. Pekerja yang mendapat stimulus

40
fiskal ini adalah yang bekerja pada pemberi kerja tiga kategori usaha tertentu, yaitu
pertanian termasuk perkebunan dan peternakan, perburuan dan kehutanan, dimana
didalamnya terdapat 74 sub sektor usaha, perikanan dengan 19 sub sektor usaha dan
industri pengolahan yang mencakup 370 sub sektor usaha.

Pengertian pekerja, sebagaimana ditegaskan dalam SE-64/PJ/2009, termasuk pekerja di


cabang perusahaan dan pekerja pada perusahaan penyedia tenaga kerja (outsourcing) yang
ditempatkan pada perusahaan pemberi kerja yang berusaha pada tiga kategori usaha
tersebut di atas. Termasuk pula pekerja pada pemberi kerja yang melakukan pekerjaan
pengolahan barang berdasarkan pesanan (maklon) yang pekerjaan pengolahannya
memenuhi kategori usaha industri pengolahan.

PPh Pasal 21 DTP diberikan mulai masa pajak Februari 2009 sampai dengan masa pajak
November 2009. Sampai dengan masa pajak Juni 2009, PPh Pasal 21 DTP diberikan kepada
seluruh pekerja, baik yang sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun yang
belum. Besarnya PPh Pasal 21 DTP yang diterima pekerja adalah sebesar pajak terutang
berdasarkan tarif umum UU PPh dan tidak termasuk kenaikan tarif pajak 20% lebih tinggi
bagi pekerja yang belum memiliki NPWP.

Hak PekerjaPPh Pasal 21 DTP wajib dibayarkan secara tunai pada saat pembayaran
penghasilan oleh pemberi kerja kepada pekerja sebesar PPh Pasal 21 yang terutang atas
penghasilan pekerja. Sebagai contoh, seorang pegawai yang penghasilan brutonya sebulan
Rp.5.000.000, dengan status menikah dan mempunyai 2 anak serta yang bersangkutan
membayar iuran pensiun Rp.25.000 sebulan, PPh Pasal 21 yang terutang sebulan adalah
sebesar Rp.153.750. Dengan adanya PPh Pasal 21 DTP, PPh Pasal 21 yang terutang tersebut
tidak disetor pemberi kerja ke kas negara, tetapi diberikan kepada pegawai yang
bersangkutan. Penghasilan pegawai akan bertambah sebesar PPh Pasal 21 yang terutang
sehingga penghasilan yang diterima adalah Rp.4.975.000 (penghasilan bruto dikurangi iuran
pensiun, tanpa ada pengutangan PPh Pasal 21).

Dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 kepada pekerja atau
menanggung PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan pekerja, PPh Pasal 21 yang
dirunjang atau ditanggung tersebut tetap harus diberikan kepada pekerja yang mendapat
PPh Pasal 21 DTP. Dengan menggunakan contoh tersebut di alas, apabila selama ini PPh

41
Pasal 21 ditanggung perusahaan maka dengan adanya PPh Pasal 21 DTP penghasilan yang
diterima pegawai menjadi sebeur Rp.5.128.750 (penghasilan bruto dikurangi iurang pensiun
ditambah PPh Pasal 21 yang terutang).

PPh Pasal 21 DTP, berapapun jumlahnya, adalah hak pekerja yang pemenuhannya
dilaksanakan oleh perusahaan sebagai pemberi kerja. Dengan mekanisme pembayaran
seperti ini, mestinya pekerja akan menuntut haknya kepada pemberi kerja jilca selama ini
penghasilannya tidak ditambah dengan PPh Pasal 21 DTP Apabila selama ini pekerja tidak
mempermasalahkan haknya, salah satu sebabnya mungkin adalah karena ketidaktahuan
adanya stimulus fiskal ini. Pada sisi lain, pekerja juga harus diberikan pengertian bahwa
penambahan penghasilan ini terbatas jangka waktunya, yaitu hanya dari masa pajak
Februari sampai dengan November 2009, sehingga mulai masa pajak Desember 2009 dan
seterusnya tidak akan ada lagi tambahan penghasilan dari PPh Pasal 21 DTP.

42
BAB III KESIMPULAN

Pajak adalah pungutan rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang yang berlaku dan
tidak mendapat balas jasa. Pemberlakuan pajak pada suatu negara berjalan berdasarkan
dasar-dasar perpajakan yang telah ditetapkan. Dasar-dasar tersebut menjadi patokan dalam
mengelola pungutan pajak.

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang “Ketentuan Umum dan


Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 9 tahun 1994, dengan UU No. 16 tahun 2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007.
Undang-undang tentang “Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi falsafah
Pancasila dan UUD 1945. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban
Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.

Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajah Penghasilan terhadap


subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun
pajak. Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan.
Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-undang PPh
disebut Wajib Pajak. Wajib pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan
dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajaknya subjeknya dimulai atau berakhir pada
tahun pajak.

1. Kritik

Dari pembuatan makalah ini kami berharap adanya tambahan informasi yang ada melalui
media internet ataupun media berupa buku agar makalah ini jauh lebih baik lagi.

2. Saran

Makalah ini di buat untuk memberi motivasi pada pembaca agar pembaca dapat lebih
memahami tentang pajak. Semoga makalah ini berguna, saran dan kritiknya kami harapkan
dari pembaca demi makalah ini.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. https://dokumen.tips/documents/dasar-dasar-perpajakan-55b4f998139a5.html
2. http://aspirasipajak.blogspot.com/2017/03/konsep-dasar-perpajakan.html
3. http://kampusmaroon.blogspot.com/2013/12/pajak-penghasilan-umum.html
4. http://aditiaa.blogspot.com/2009/03/ketentuan-umum-dan-tata-cara-
perpajakan.html

44

Anda mungkin juga menyukai